Anda di halaman 1dari 21

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/346474381

LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA TERMOKROMIS Oleh: INDAYANA RATNA SARI

Experiment Findings · November 2020

CITATIONS READS

0 646

1 author:

Indayana Ratna Sari


Universitas Negeri Yogyakarta
13 PUBLICATIONS   0 CITATIONS   

SEE PROFILE

All content following this page was uploaded by Indayana Ratna Sari on 30 November 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


LAPORAN PRAKTIKUM KIMIA

TERMOKROMIS

Oleh:

INDAYANA RATNA SARI

NIM: 19728251019

Pendidikan Kimia C

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA


PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2019
PERCOBAAN II

TERMOKROMIS
I. Tujuan

Senyawa kompleks memiliki warna yang berbeda-beda dalam berbagai larutan


dan dalam termperatur yang berbeda. Peristiwa ini dipahami sebagai peristiwa
termokromis.

II. Dasar Teori

2.1 Kobalt(II)

Kobalt(II) merupakan salah satu logam transisi dengan konfigurasi elektron


[Ar] 3d7 yang dapat membentuk kompleks. Kobalt relatif stabil sebagai Co(II)
ataupun Co(III). Namun dalam senyawa sederhana, Co(II) lebih stabil daripada
Co(III). Ion-ion Co2+ dan ion terhidrasi [Co(H2O)6]2+ stabil dalam air. Kompleks
kobalt dimungkinkan dapat terbentuk dengan berbagai macam ligan (Soekarjo,
1999).

Konfigurasi elektron kobalt adalah [Ar] 3d7 4s2, sedangkan konfigurasi


elektron kobalt(II) adalah [Ar] 3d7 4s0 seperti disajikan pada Gambar 1:

Co : [18Ar] ↑↓ ↑↓ ↑ ↑ ↑ ↑↓ ... ... ... ... ... ... ... ...

3d7 4s2 4p0 4d0

Co2+ : [18Ar] ↑↓ ↑↓ ↑ ↑ ↑ ... ... ... ... ... ... ... ... ...

3d7 4s0 4p0 4d0

Gambar 1. Konfigurasi Elektron Kobalt dan Kobalt(II)

2.2 Ligan

Ligan adalah ion yang dapat berupa anion atau molekul netral yang memiliki
sepasang atau lebih elektron yang dapat disumbangkan. Ligan merupakan basa
Lewis yang dapat terkoordinasi pada ion logam sebagai asam Lewis membentuk
senyawa kompleks (Cotton & Wilkinson, 1984 ).

Ligan-ligan yang berbeda akan menghasilkan kekuatan medan ligan yang


berbeda pula. Fajans dan Tsuchida berhasil membuat urutan relatif kekuatan
beberapa ligan, sebagai berikut: I-< Br- < S2- < SCN- < Cl- < NO3- < F- < OH- < ox2-
~O2 < H2O < NCS < NH3~py < en < bipy < fen < NO2- < CN- < CO (Ox = oksalat,
en = etilendiamin, bipy = bipiridina dan fen = fenantrolin) (Huheey & Keither,
1993). Urutan ligan-ligan berdasarkan kekuatannya tersebut disebut deret
spektrokimia atau deret Fajans-Tsuchida.

Pada ligan-ligan netral, kemudahan atom donor untuk mendonorkan pasangan


elektron bebas (PEB) dipengaruhi oleh keelektronegatifannya. Semakin tinggi
keelektronegatifan atom donor, semakin sulit PEB pada atom donor tersebut untuk
didonorkan pada atom pusat (Effendy, 2007).

2.3 Teori Pembentukan Kompleks

Ada tiga teori yang menjelaskan mengenai terbentuknya senyawa


koordinasi kompleks:

1. Teori Ikatan Valensi

Teori ikatan valensi membahas orbital atom logam dan ligan yang digunakan
untuk berikatan. Berdasarkan teori ikatan valensi, ikatan pada ion kompleks terjadi
karena ligan mempunyai pasangan elektron bebas dan atom logam mempunyai
orbital yang masih kosong (Lee, 1994). Sidgwick mempertimbangkan bahwa
proses pembentukan ikatan kovalen koordinat sebagai suatu kesempatan bagi ion
pusat untuk mencapai konfigurasi inert gas mulia yang kemudian dikenal sebagai
nomor atom efektif. Dalam pembentukan kompleks, Co(II) harus menyediakan
orbital kosong sebanyak ligan yang terkoordinasi pada ion pusat untuk ditempati
pasangan elektron bebas dari ligan. Lebih lanjut Linus Pauling (1931)
mengembangkan ikatan valensi modern untuk senyawa koordinasi yang kemudian
dikenal sebagai VBT dengan mengenalkan konsep hibridisasi.
2. Teori Medan Kristal

Teori medan kristal pada mulanya dikembangkan oleh J. Bethe dan Van Vleck
pada tahun 1932. Teori ini mengasumsikan bahwa dalam senyawa kompleks, atom
pusat dan ligan-ligan dipandang sebagai titik-titik yang bermuatan listrik. Oleh
karena itu prinsip interaksi elektrostatik yaitu tolak-menolak antara elektron-
elektron orbital d atom pusat dengan elektron-elektron atom donor dalam ligan
menjadi peran utama. Dalam senyawa kompleks, pasangan elektron atom-atom
donor ligan diarahkan kepada atom pusat untuk membentuk ikatan kovalen
koordinat. Dengan demikian, ligan memberikan medan ligan listrik negatif di
seputar atom pusat sehingga menghasilkan interaksi tolakan dengan elektron-
elektron xd terluar dari atom pusat ini. Akibatnya, energi elektron-elektron dx
mengalami kenaikan. (Catatan: sesungguhnya ligan tidak hanya berperan
sebagai titik bermuatan, melainkan juga berperan dalam pembentukan ikatan
kovalen; oleh karena itu kemudian teori medan kristal lebih tepat disebut
teori medan ligan) (Sugiyarto, 2012).

1. Kompleks Oktahedral

Pada kompleks oktahedral atom pusat berikatan dengan 6 atom donor.


Kompleks oktahedral memiliki tingkat simetri tertinggi apabila ligan-ligan yang
terikat pada atom pusat merupakan ligan monodentat.

Gambar 2. Interaksi antara 6 Ligan Monodentat dengan 5 Orbital d dari Ion


Logam pada Medan Oktahedral (Huheey, Keither & Keiter, 1993).
2. Kompleks Tetrahedral

Pada kompleks tetrahedral atom pusat terletak ditengah kubus dan empat dari
kedelapan sudutnya terisi oleh ligan, seperti yang ditunjukkan oleh Gambar 3.

Gambar 3. Posisi Ligan Tetrahedral dalam Koordinat Cartesius dengan


Atom Logam di pusat Koordinat dalam Medan Kubus (Saito, 1996).

3. Teori Orbital Molekular (MOT)

Teori ini dipelopori oleh Hund dan Mulliken. Seperti halnya pada senyawa-
senyawa sederhana, konsep orbital molekular juga dapat diterapkan pada senyawa
kompleks sekalipun lebih rumit. Namun demikian dapat disederhanakan dengan
hanya mempertimbangkan orbital-orbital atomik yang benar-benar berperan dalam
pembentukan orbital molekular (OM) yaitu orbital 3d, 4s, dan 4p bagi atom pusat
dari logam transisi seri pertama dan orbital s-p atau bentuk hibridisasinya bagi atom
donor dari ligan yang bersangkutan. Khususnya bagi ligan-ligan yang sama, orbital-
orbital atomik (OA) ini tentu mempunyai tingkat energi yang sama dan oleh karena
itu dapat dikelompokkan menjadi satu tingkatan energi orbital atomik kelompok
ligan (Ligand Group Orbital Atomic-LGOA). Umumnya tingkatan energi ligan
lebih rendah (karena lebih elektronegatif) dibandingkan dengan energi orbital atom
pusat kompleks, sehingga ikatan memiliki sejumlah kandungan sifat ionik
(Sugiyarto, 2012).

2.4 Spektrofotometer UV-Vis

Prinsip dari spektrofotometer UV-Vis adalah penyerapan sinar tampak dengan


suatu molekul yang dapat menyebabkan terjadinya eksitasi molekul dari tingkat
energi dasar ketingkat energi yang lebih tinggi. Pengadsorbsian sinar ultra violet
dan sinar tampak oleh suatu molekul umumnya menghasilkan eksitasi elektron
bonding, akibatnya panjang absorbsi maksimum dapat dikorelasikan dengan jenis
ikatan yang ada didalam molekul (Hendayana, 1994).

Spektrum Uv-Vis merupakan hasil interaksi antara radiasi elektromagnetik


dengan molekul. Bentuk energi radiasi elektromagnetik mempunyai sifat
gelombang dan partikel (foton). (Harmita, 2006). Besarnya tenaga foton berbanding
lurus dengan frekuensi dari radiasi elektromagnetik dinyatakan dengan rumus:
E = hv
Dimana: E = Energi ( Joule.molekul-1)
h = Tetapan Planck = 6,63.10-34 Joule.S.molekul-1
v = Frekuensi (S-1)

Pengukuran serapan dapat dilakukan pada panjang gelombang daerah


ultraviolet ( panjang gelombang 190 nm – 380 nm) atau pada daerah cahaya tampak
(panjang gelombang 380 nm – 780 nm).

Pengukuran serapan dari suatu sampel dapat dilakukan dengan perhitungan


Lambert-Beer sebagai berikut :

𝐿𝑜𝑔 𝐼𝑜
A= = ɛ. b.c = a. b. c
𝐿𝑜𝑔 𝐼𝑡

Dimana : A= serapan; a = daya serap; b = tebal lapisan zat yang menyerap sinar
(kuvet) (cm); c = kadar (g/L); ɛ = absorbsivitas molekuler (mol.cm.L-1); Io =
intensitas sinar datang; It = intensitas sinar yang diteruskan.

Senyawa atau zat yang dapat dianalisis menggunakan spektrofotometer Uv-


Vis adalah senyawa yang memiliki ikatan rangkap terkonjugasi yang lebih dikenal
dengan istilah kromofor. Senyawa yang mengandung gugus kromofor akan
mengabsorbsi radiasi sinar ultraviolet dan cahaya tampak jika diikat oleh senyawa
–senyawa bukan pengabsorbsi (auksokrom). Gugus auksokrom yaitu gugus yang
mempunyai elektron tidak berikatan dan tidak menyerap radiasi UV jauh.
Contohnya –OH, -NH2, - NO2, -X, (Harmita, 2006).
Spektrum serapan adalah hubungan antara serapan dengan panjang
gelombang dan digambarkan dalam bentuk grafik. Identifikasi suatu zat pada
daerah ultraviolet pada umumnya dilakukan dengan menggambarkan spektrum
serapan larutan zat dalam pelarut dan dengan kadar yang tertera seperti pada
monografi, untuk menetapkan serapan maksimum atau minimum. Spektrum
serapan dari zat yang diperiksa kadang-kadang perlu dibandingkan dengan
pembanding kimia yang sesuai. Pembanding kimia tersebut dikerjakan dengan cara
yang sama dan kondisi yang sama dengan zat yag diperiksa. Blanko digunakan
untuk koreksi serapan yang disebabkan pelarut, pereaksi, sel ataupun pengaturan
alat. Pengukuran serapan biasanya dilakukan pada panjang gelombang serapan
maksimum atau yang tercantum dalam monografi (Departemen Kesehatan, 2000
dalam Mely Mailandari, 2012)

Jenis spektrofotometer UV-Vis ada dua yaitu single beam dan double beam.
Pada single beam celah keluar sinar monokromatis hanya satu, wadah kuvet yang
dapat dilalui sinar hanya satu dan setiap perubahan panjang gelombang alat harus
dinolkan. Pada double beam celah keluar sinar monokromais ada dua, wadah
melalui dua kuvet sekaligus dan cukup satu kali dinolkan dengan cara mengisi
kedua kuvet dengan larutan blanko dan sampel (Harmita, 2006 dalam Mely
Mailandari, 2012).
III. Metode Penelitian

3.1 Alat dan Bahan

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini adalah Spektrofotometer UV-Vis,


penangas air, spiritus, korek api, gelas beker 100 mL, gelas ukur 50 mL, neraca
analitik, pengaduk kaca, spatula, gelas arloji, termometer, tabung reaksi, dan wadah
air es.

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah Kobalt(II) Klorida


Heksahidrat (CoCl3.6H2O), aseton, akuades dan es batu.

3.2 Metode Kerja

3.2.1 Preparasi larutan CoCl3.6H2O

Ditimbang sebanyak 1,1868 gram padatan CoCl3.6H2O, dimasukkan ke


dalam gelas beker, dilarutkan dengan ditambahkan 10 mL akuades dan 40 mL
aseton.

3.2.2 Pembuatan larutan blanko

Larutan blanko dibuat dengan mencampurkan akuades dan aseton dengan


perbandingan 1:4, dimana akuades diambil sebanyak 2 mL dan aseton sebanyak 8
mL. Kemudian larutan dimasukkan ke dalam tabung reaksi.

3.2.3 Pengukuran larutan menggunakan Spektrofotometer UV-Vis

Larutan CoCl3.6H2O yang telah disiapkan kemudian dibagi menjadi 3


bagian dan dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Tabung reaksi ke-1 dibiarkan pada
suhu kamar, tabung reaksi ke-2 dimasukkan dalam air es dan tabung reaksi ke-3
dimasukkan ke dalam air panas suhu 70oC. Setelah itu masing-masingnya diukur
absorbansinya menggunakan spektrofotometer UV-Vis pada panjang gelombang
maksimum 642,19 nm.
IV. Data Pengamatan

Tabel 1. Hasil Pengamatan Efek Kromatis Kobalt(II) dan Absorbansinya

Perubahan
Warna
Larutan Tabung Suhu A
Absorbansi (400-800 nm)
Awal Akhir

Puncak dominan λ sekitar


1 Kamar 515 nm, puncak 2λ sekitar
670 nm Ungu Ungu
Puncak dominan λ sekitar
CoCl3.6H2O 2 Air es 510 nm, puncak 2λ sekitar Merah
675 nm Ungu Muda
Air Panas Puncak dominan λ sekitar
3 (Suhu 670 nm, puncak 2λ sekitar
70oC) 518 nm Ungu Biru

V. Pembahasan

Telah dilakukan percobaan berjudul “Termokromis” pada hari Jum’at,1


November 2019 dengan tujuan percobaan untuk memahami peristiwa termokromis,
yaitu senyawa kompleks yang memiliki warna berbeda-beda dalam berbagai larutan
dan dalam termperatur yang berbeda. Pada percobaan ini senyawa kompleks yang
akan diteliti peristiwa termokromisnya yaitu Kobalt (II) Klorida Heksahidrat.

Prosedur percobaan yang pertama kali dilakukan adalah menyiapkan larutan


sampel dengan menimbang 1,1868 gram padatan CoCl3.6H2O dan dilarutkan
dengan menggunakan 10 mL akuades dan 40 mL aseton. Akuades dan aseton
berfungsi sebagai ligan yang membentuk senyawa kompleks dengan Kobalt (II).
Langkah kedua yaitu pembuatan larutan blanko. Blanko dibuat dengan cara
mencampurkan 2 mL akuades dan 4 mL aseton. Blanko berfungsi sebagai larutan
standar pembanding sampel. Sebelum dilakukan pengukuran absorbansi sampel
larutan Kobalt (II), sampel yang telah dibuat dibagi menjadi 3 bagian sama rata lalu
dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Warna awal sampel dalam tiga tabung reaksi
sebelum diberi perlakuan pada temperatur berbeda adalah berwarna ungu seperti
terlihat pada Gambar 4.

Gambar 4. Sampel Kobalt(II) sebelum diberi perlakuan dan blanko

Ketiga tabung reaksi diamati efek termokromis-nya dengan diberi perlakuan


pada temperatur berbeda, dimana tabung reaksi ke-1 dibiarkan pada suhu kamar,
tabung reaksi ke-2 dimasukkan ke dalam wadah berisi air es, dan tabung reaksi ke-
3 dimasukkan ke dalam wadah berisi air panas suhu 70oC. Setelah itu senyawa
kompleks tersebut diamati perubahan warnanya. Dari hasil pengamatan, terlihat
perbedaan perubahan warna dari sampel. Tabung reaksi ke-1 yang ditempatkan
pada suhu kamar tidak mengalami perubahan warna sama sekali, yaitu warnanya
tetap berwarna ungu. Tabung reaksi ke-2 yang ditempatkan dalam wadah berisi air
es mengalami perubahan warna menjadi warna pink. Sedangkan Tabung reaksi ke-
3 yang ditempatkan dalam wadah berisi air panas suhu 70oC berubah warna menjadi
warna biru. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Sampel Kobalt(II) setelah diberi perlakuan pada temperatur
berbeda dan blanko

Perubahan warna pada larutan setelah diberi perlakuan dengan temperatur


yang berbeda disebabkan karena berubahnya struktur geometri pada Kobalt(II).
Ketika Kobalt(II) ditambahkan dengan akuades, teramati larutan berwarna merah
muda, kemudian setelah ditambahkan aseton larutan berubah warna menjadi ungu.
Hal ini disebabkan karena pada kondisi sebelum penambahan aseton, senyawa
kompleks berada pada lingkungan oktahedrik [Co(H2O)6]2+ sedangkan setelah
penambahan aseton senyawa kompleks berada pada lingkungan tetrahedrik
[CoCl4]2-. Penambahan aseton juga berfungsi sebagai penarik ligan H2O dalam
senyawa kompleks CoCl3.6H2O.

Senyawa kompleks pada kesetimbangan atau suhu kamar membentuk warna


ungu karena pada kondisi tersebut senyawa kompleks berada pada lingkungan
oktahedral dan tetrahedral secara bersamaan dalam larutan. Adapun reaksi yang
terjadi ketika berada pada kondisi kesetimbangan ialah:

[Co(H2O)6]2+ + 4Cl- ↔ [CoCl4]2- + 6H2O


Pada suhu dingin atau temperatur rendah, terjadi perubahan warna dari ungu
ke merah muda. Hal ini disebabkan karena pada kondisi tersebut senyawa kompleks
yang dominan adalah senyawa oktahedral. Adapun pada suhu panas atau temperatur
tinggi 70oC, warnanya berubah dari ungu menjadi biru disebabkan karena senyawa
kompleks yang dominan adalah senyawa tetrahedral.

Gambar 6. Warna larutan pada suhu dingin (a) dan suhu panas (b)

Langkah terakhir yang dilakukan adalah mengukur absorbansi sampel pada


temperatur yang berbeda tersebut menggunakan Spektrofotometer UV-Vis pada
panjang gelombang 400-800 nm. Prinsip kerja dari Spektrofotometer UV-Vis
adalah interaksi antara molekul zat dengan sinar elektromagnetik berupa serapan
sinar monokromatis oleh suatu larutan berwarna pada panjang gelombang tertentu.

Berdasarkan hasil pengukuran dan dapat dilihat pada Tabel 1 dan Gambar
7. bahwa absorbansi tertinggi terjadi ketika senyawa kompleks berada pada suhu
tinggi atau panas suhu 70oC dengan puncak dominan λ sekitar 670 nm dan puncak
2λ sekitar 518 nm, kemudian diikuti pada suhu kamar dengan puncak dominan λ
sekitar 515 nm dan puncak 2λ sekitar 670 nm serta absorbansi terendah ketika
senyawa kompleks berada pada suhu dingin dengan puncak dominan λ sekitar 510
nm dan puncak 2λ sekitar 675 nm.
Gambar 7. Spektra hasil pengukuran Kobalt(II) menggunakan Spektrofotometer
UV-Vis

Berdasarkan spektra, dapat dilihat puncak absorbansi tertinggi ketika


senyawa kompleks berada pada suhu panas. Hal ini disebabkan karena pada suhu
panas, Sampel Kobalt(II) membentuk tetrahedral dengan mengikat ligan Cl- yang
memiliki energi yang lebih tinggi dibandingkan ligan H2O.
VI. Kesimpulan

Berdasarkan hasil percoban dapat disimpulkan bahwa:

Kobalt(II) mempunyai warna berbeda-beda pada temperatur yang berbeda-


beda. Pada suhu dingin atau temperatur rendah, senyawa kompleks yang dominan
adalah senyawa oktahedral sehingga warnanya berubah dari ungu menjadi merah
muda membentuk [Co(H2O)6]2+. Sedangkan pada suhu panas atau temperatur tinggi
70oC, senyawa kompleks yang dominan adalah senyawa tetrahedral sehingga
warnanya berubah dari ungu ke biru membentuk [CoCl4]2-. Adapun pada suhu
kamar senyawa kompleks yang dominan adalah senyawa tetrahedral dan
oktahedral. Karena pada suhu kamar terjadi kesetimbangan. Sehingga warnanya
tetap berwarna ungu.

Pertanyaan:

1. Pada temperatur rendah, bentuk yang manakah dari senyawa kompleks di atas
yang dominan? Demikian juga pada temperatur kamar dan temperatur tinggi?

Jawaban: Pada suhu dingin atau temperatur rendah, senyawa kompleks yang
dominan adalah senyawa oktahedral. Sedangkan pada suhu panas atau temperatur
tinggi 70oC, senyawa kompleks yang dominan adalah senyawa tetrahedral. Adapun
pada suhu kamar senyawa kompleks yang dominan adalah senyawa tetrahedral dan
oktahedral. Karena pada suhu kamar terjadi kesetimbangan.

2. Jelaskan fenomena pertanyaan No.1 tersebut berdasarkan kekuatan ligan H2O


dan Cl-.

Jawaban: Berdasarkan teori, kekuatan ligan H2O lebih besar daripada ligan Cl-.
Namun ligan Cl− memiliki energi yang lebih tinggi dibandingkan H2O, sehingga
spin elektronnya juga lebih tinggi dibandingkan dengan ligan H2O. Maka, pada saat
suhu rendah ligan H2O yang telah diikat akan membentuk sruktur molekul geometri
oktahedral [Co(H2O)]6+ sedangkan pada saat suhu panas ligan H2O terlepas
sehingga yang terikat hanyalah ligan Cl− yang kemudian membentuk struktur
molekul geometri tetrahedral [CoCl4]2−.
Daftar Pustaka

Cotton, F.A dan Wilkinson, G. 1989. Kimia Anorganik Dasar. Jakarta: UI Press.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2002. Parameter Standar Umum
Ekstrak Tumbuhan Obat. Jakarta: Departemen Kesehatan republik
Indonesia. 9-12.
Effendy. 2007. Prespektif Baru Kimia Koordinasi. Malang: Bayumedia
Publishing.
Harmita, Hayun, Hariyant,, Herman S., Nelly D.L., Sabarijah W., Umar M., 2006.
Analisis Kuantitatif Bahan Baku dan Sediaan Farmasi. Depok: Departemen
Farmasi FMIPA UI. 134-153.
Hendayana, Sumar. 1994. Kimia Analitik Instrumen. Semarang: Semarang Press.
Huheey, J. E, & Keither, R. L. 1993. Kimia Organik Edisi 4. New York: Hamper
Collins College Publisher.
Lee, J. D. 1994. Ringkasan Kimia Anorganik Edisi 4. London: Chapman and Hall.
Meilandari, Mely, 2012, Uji Aktivitas Antioksidan Ekstrak Daun Garcinia kydia
Roxb. Dengan Metode DPPH dan Identifikasi Senyawa Kimia Fraksi yang
Aktif, Skripsi, Program Studi Ekstensi Farmasi, Fakultas MIPA,
Universitas, Depok.
Saito, Taro. 1996. Buku Teks Kimia Anorganik (Alih bahasa: Ismunandar). Tokyo:
Kanagawa University.
Sugiyarto, Kristian H. 2012. Dasar-Dasar Kimia Anorganik Transisi. Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Sukardjo. 1999. Kimia Koordinasi. Jakarta: Rineka Cipta
Lampiran – lampiran

Lampiran 1. Bahan- bahan yang digunakan


Lampiran 2. Alat Spektrofotometer UV-Vis

Lampiran 3. Pelarutan Padatan Kobalt (II) Klorida Heksahidrat dengan akuades


Lampiran 4. Pelarutan Padatan Kobalt (II) Klorida Heksahidrat yang dilarutkan
akuades, ditambah aseton

Lampiran 5. Larutan yang telah dibagi rata menjadi 3 bagian beserta blanko
Lampiran 6. Larutan setelah diperlakukan pada suhu yang berbeda

Larutan pada suhu Warna


Kamar Ungu
Suhu dingin (air es) Pink
Air panas Biru

Lampiran 7. Spektra Pembacaan Larutan


Lampiran 8. Laporan Sementara

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai