Anda di halaman 1dari 18

WABI - SABI

Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah


NIHONJIJO

Dosen Pengampu:
Aulia Arifbillah Anwar,S.S,M.Hum

Oleh:
Kelompok 8
Naylaa Dwi Aliyyah NIM. 12423082
Hani Dwi Fadillah NIM.12423084
Fira Varadilla NIM.12423061
KELAS 1B
PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG
FAKULTAS SASTRA
INSTITUT PENDIDIKAN DAN BAHASA INVADA CIREBON
TAHUN 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmatnya penyusun dapat menyelesaikan makalah ini tepat waktu
tanpa ada halangan yang berarti dan sesuai dengan harapan.
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada bapak Aulia Arifbillah
Anwar,S.S,M.Hum sebagai dosen pengampu mata kuliah Nihonjijo yang telah
membantu memberikan arahan dan pemahaman dalam penyusunan makalah ini.
Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih banyak
kekurangan karena keterbatasan kami. Maka dari itu penyusun sangat
mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah ini. Semoga apa
yang ditulis dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkan.

Cirebon, 11 November 2023

Kelompok 8

i
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Peralatan Wabi Sabi................................................................................6


Gambar 2 Perabotan dalam jangka panjang.............................................................6
Gambar 3 Unsur Alam.............................................................................................7
Gambar 4 Barang-barang tua...................................................................................7
Gambar 5 Ikebana....................................................................................................8
Gambar 6 Puisi Jepang.............................................................................................8
Gambar 7 Kesenian Keramik...................................................................................9
Gambar 8 Teater Drama Noh...................................................................................9
Gambar 9 Patung Pieta...........................................................................................10
Gambar 10 Novel Joseito karya Osamu Dazai......................................................10
Gambar 11 Gereja Terang......................................................................................11
Gambar 12 Taman Zen..........................................................................................11
Gambar 13 Sushi....................................................................................................12

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR GAMBAR...............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
1.1 Latar Belakang...............................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah..........................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN.........................................................................................2
2.1 Filosofi Wabi-Sabi..........................................................................................2
2.2 Sejarah Singkat Wabi-Sabi.............................................................................2
2.3 Definisi Wabi-Sabi.........................................................................................3
2.4 Manfaat Mempelajari Filosofi Wabi-Sabi.....................................................5
2.4.1 Membantu Kita Menghargai Keindahan Dalam Kesederhanaan............5
2.4.2 Mendorong Kita Untuk Lebih Merelakan Perubahan dan Kehilanga.....5
2.4.3 Mengajarkan Kesederhanaan dan Keterbukaan.......................................5
2.4.4 Mendorong Kreativitas dan Inovasi.........................................................5
2.4.5 Membantu Kita Mencapai Kedamaian Batin..........................................5
2.5 Penerapan Wabi-Sabi.....................................................................................6
2.5.1 Penerapan dalam Rumah Tangga............................................................6
2.5.2 Penerapan Dalam Bidang Kesenian.........................................................8
2.5.3 Penerapan dalam bidang Arsitektur.......................................................11
2.5.4 Penerapan dalam bidang makanan.........................................................12
BAB III KESIMPULAN........................................................................................13
3.1 Kesimpulan...................................................................................................13
3.2 Saran.............................................................................................................13
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Jepang merupakan bangsa yang dekat dengan alam. Istilah shizen o maderu
yang bermakna “mencintai alam” melekat dalam kehidupan orang Jepang.
Kecintaan terhadap alam ini berakar dari agama Buddha dan telah mempengaruhi
seni dan sastra Jepang selama berabad-abad. Hal ini dapat terlihat dari tradisi
musiman di Jepang. Seperti tradisi menikmati bunga sakura atau hanami di musim
semi, festival kembang api di musim panas, tradisi melihat bulan dan daun momiji
di musim gugur, dan menikmati kesunyian salju di musim dingin. Tradisi-tradisi
tersebut ada sebagai bentuk apresiasi masyarakat Jepang terhadap alam.
Semua konsep ini merupakan hasil dari ajaran Siddhartha Gautama atau
Buddha yang kemudian menyabar ke Cina lalu masuk ke Jepang melalui Korea.
Perkembangan zen di Jepang memberi petunjuk lebih lanjut mengenai konsep
keindagan wabi-sabi yang dikemudian hari akan menjadi kunci berbagai kesenian
zen selama berabad-abad.
Seiring perkembangannya wabi-sabi bukanlah sekedar konsep estetika semata.
Konsep ini telah menjadi dasar dari kerangka berfikir orang Jepang hingga saat
ini. Wabi-sabi melekat pada diri setiap orang Jepang. Meski begitu sulit bagi
orang Jepang untuk mendefinisikan wabi-sabi tetapi wabi-sabi merupakan sesuatu
yang dirasakan sehingga sulit untuk dijelaskan karena konsep ini hidup dan
tumbuh bersama mereka. Gambaran terdekat dari wabi-sabi bisa dilihat dalam
berbagai karya seni dan tradisi ynag dibuat berdasarkan prinsip zen. Salah satunya
adalah seremoni teh atau yang biasa dikenal dengan chanoyu.
Konsep wabi-sabi menekankan pada apresasi terhadap keindahan yang fana.
Wabi-sabi adalah keindahan yang bersahaja dengan estetik sederhana, kasar dan
tidak sempurna yang membuat kita menemukan keindahan dalam ketidakkekalan
dari segala sesuatu. Wabi-sabi embawa manusia untuk melepas kehidupan
duniawi agar dapat kembali pada alam. Kesederhanaan dan ketidakkekalan
merupakan ciri mendasar zen dan wabi-sabi yang telah mengilhami perjalanan
Sen no Rikyu dalam membawa filosofi asli dari seremoni teh.

I.2 Rumusan Masalah


 Apa pengertian dari wabi-sabi?
 Penggunaan wabi-sabi dalam makna kehidupan

1
BAB II
PEMBAHASAN

II.1 Filosofi Wabi-Sabi


Mengejar kesempurnaan telah menjadi norma di dunia saat ini, di mana
ketidakpuasan kronis, kelelahan, depresi, dan kecemasan menjadi hal yang paling
utama. Kita menerapkan standar yang tidak realistis dan secara ketat mengejar
cita-cita yang mustahil dicapai.
Kesempurnaa adalah apa yang perlu kita capai. Wajah yang simetris
sempurna, bentuk tubuh yang sempurna, rambut yang sempurna, kulit, garis
rahang, rumah, teman, keluarga, pasangan, anak-anak, liburan, atau singkatnya
‘keberadaan tanpa kesalahan’. Namum hal ini bukan hanya mustahil dan
melelahkan untuk dilakukan, itu juga tidak wajar jika dilihat dari pandangan
dunia Jepang tentang wabi-sabi.
Wabi-sabi menolak pengejaran kesempurnaan dan menerima kenyataan
ketidaksempurnaan. Filosofi di balik wabi-sabi dapat membantu kita keluar dari
roda hamster dalam mengejar kehidupan ideal dan megajarkan kita untuk
menghargai keberadaan apa adanya atau ‘tidak sempurna’.

II.2 Sejarah Singkat Wabi-Sabi


Kelas penguasa Jepang pada abad ke-15 senang memamerkan kekayaan
mereka dan meminum teh dari cangkir-cangkir Cina, terutama saat bulan
purnama. Namun, biksu Zen Murata Shukou berusaha mengubah upacara tersebut
dari perayaan kekayaan menjadi acara yang lebih sederhana dengan menggunakan
barang-barang sederhana buatan Jepang.
Penerus Shukou selanjutnya mengubah upacara minum the dengan
menyederhanakan ritual dan bahan yang digunakan, menambahkan unsur-unsur
alami dan merangkul sifat keberadaan yang sementara. Misalnya, alih-alih
menggunakan cangkir keramik yang dihias dengan mahal, mereka menggunakan
cangkir yang sederhana dan kuno, dan alih-alih minum saat bulan purnama, sudah
menjadi kebiasaan untuk minum saat bulan purnama atau bulan mendung.
Upacara minum teh menjadi penghormatan terhadap kesederhanaan,
ketidakkekalan, dan ketidaksempurnaan. Dan itu dianggap sebagai contoh sejarah
wabi-sabi yang menonjol.
Kita juga dapat melihat unsur-unsur Buddhis pada inti wabi-sabi, yaitu apa
yang disebut dengan tiga tanda keberadaan: ketidakkekalan (anicca), penderitaan
(dukkha), dan kekosongan (anatta).

2
3

II.3 Definisi Wabi-Sabi


Saat ini, “wabi’ mengacu pada hal-hal sederhana, tetapi lebih bersifat
mendasar, kasar, tidak sempurna, asimetris, seperti yang kita temukan di alam.
Kehidupan wabi atau wabi zumai merupakan kehidupan yang sederhana, penuh
keindahan dan keanggunan. Dalam pengertian keindahan, konsep wabi
merupakan ungkapan yang khas dari karya seni Jepang. Konsep wabi mengacu
pada keindahan alam dalam konteks ruang.
Sedangkan “sabi” mengacu pada hal-hal yang disentuh oleh waktu; yang
menunjukkan tanda-tanda pembusukan atau kerusakan. Pengertian lainnya adalah
“ 閑 寂 な 趣 ” (kanjaku na omomuki) yang dapat diartikan sebagai tenang, sepi,
tentram.
Ya, ada filosofi di baliknya, tapi wabi-sabi bukanlah filosofi itu sendiri.
Mungkin, kita dapat mendeskripsikannya sebagai sebuah pengalaman:
perjumpaan yang jelas dengan sifat keberadaan yang sementara dan tidak
sempurna. Dalam pengertian yang paling sederhana, wabi-sabi adalah sebuah
kesenian dan filosofi Jepang yang digunakan untuk mencari keindahan dalam
ketidaksempurnaan dunia dan menerimanya, serta menerima siklus alami dari
pertumbuhan, kematian, dan pembusukan.
Jika Wabi merupakan konsep keindahan berdasarkan Ruang, maka Sabi
adalah keindahan yang terjadi karena berlalunya waktu. Dilihat dari sejarahnya,
dapat disimpulkan bahwa Wabi Sabi adalah konsep spiritual yang telah melekat
kuat dan menjadi identitas dari pemikiran orang Jepang mengenai keindahan.

Ahli Jepang Beth Kempton (2018) menggambarkan wabi-sabi sebagai sesuatu


yang sangat sulit didefinisikian karena merupakan pengalaman yang berpusat
pada hati dan menghindari batasan bahasa.
Menurut filosofi zen, wabi-sabi bertumpu pada tujuh prinsip estetika:
1. Kanso – Kesederhanaan
Mempunyai pengertian sederhana melainkan kesederhanaan konteks yang
ada. Nilai tertinggi dari suatu kesederhanaan itu yaitu sesuatu yang dapat
mewakili atau mencerminkan sifat dari suatu benda yang ditampilkan
secara utuh yang diekspresikan melalui garis, warna atau unsur-unsur seni
yang lain. Selanjutnya warna yang sederhana adalah warna yang tidak
menyolok, monokromatik dan tidak mempunyai nilai rendah sedangkan
bentuk yang sederhana adalah bentuk yang tidak bervariasi, bersifat naif,
polos dan mempunyai unsur kesengajaan.
2. Fukinsei – Asimetri atau Ketidakteraturan
Mempunyai pengertian ketidakaturan (untuk menampilkan kesan
4

dinamis) dan merupakan salah satu karakteristik dari ajaran


Zen. Ketidakaturan yang dimaksudadalah proporsi alami yang terjadi di
alam, selalu muncul ketika terjadi harmoni geometris, maknanya
membuang nafsu duniawi atau kehidupan bukan saja berorientasi pada
kesempurnaan tetapi juga pada
ketidak sempurnaan, karena suatu kesempurnaan yang sempurna adalah
sesuatu yang tidak sempurna atau sebaliknya.
3. Shibumi – Keindahan Yang Bersahaja
Mempunyai pengertian esensi atau hakikat dari suatu benda yang
tercermin melalui karakteristiknya, untuk memeproleh kehakikian itu perlu
melakukan pemahaman.
4. Shizen – Kealamian Tanpa Pretensi
Merupakan sesuatu yang terjadi dengan sendirinya,secara wajar dan apa
adanya, tanpa pamrih atau tanpa diawali dengan pemikiran dan tujuan
tertentu melainkan bersifat asli, alami, wajar dan bukan sesuatu yang
dibuat-buat.
5. Yugen – Rahmat Halus
Mempunyai pengertian interprestasi, kesan atau makna yang ditangkap
oleh manusia terhadap keadaan alam yang ada di luar penalaranya yang
ditentukan oleh latar masing-masing. Akan tetapi di dalam pengertian Zen
itu sendiri makna dari yuugen ini adalah konsentrasi dan menciptakan
suasana hening.
6. Datsuzoku – Kebebasan
Mempunyai pengertian tentang kebebasan yang tidak terikat pada
polapola,patokan ataupun rumus. Bagi Zen hal-hal ini dapat menghambat
aktivitas dan kreativitas seseorang. Sehingga kebebebasan di sini bukan
berarti bebas secara rasio tetapi bebas di bawah aturan dan aturan itu
merupakan suatu kebebasan yang tak terbatas. Digunakan sebagai dasar
untuk memperoleh kebebasan manusia dalam berimajinasi dan berkreasi
dalam menuangkan ide-idenya kedalam suatu karya seni.
7. Seijaku – Ketenangan
Mempunyai pengertian ketenangan yang bersifat dinamis, dalam konsep
Zen ketenangan itu diekspresikan dalam keadaan diam tetapi mempunyai
bentuk yang bergerak.
Kunci dari ketujuh pilar estetika ini adalah keaslian. Keindahan diungkapkan
melalui penampilan terbuka atas kekurangan-kekurangan, bukan penghapusannya.
Kasih sayang terhadap diri sendiri dan orang lain, dan penerimaan terhadap
kerentanan kita juga merupakan elemen pola pikir wabi-sabi.
5

II.4 Manfaat Mempelajari Filosofi Wabi-Sabi


Mempelajari filosofi wabi-sabi dapat memberikan banyak manfaat, yaitu
diantaranya:
II.4.1 Membantu Kita Menghargai Keindahan Dalam Kesederhanaan
Wabi-sabi mengajarkan kita untuk melihat keindahan dalam hal-hal
yang sederhana, seperti keramik yang tidak sempurna atau alam
yang tidak teratur. Hal ini dapat membantu kita lebih menghargai
keindahan dalam kehidupan sehari-hari yang seringkali diabaikan.
II.4.2 Mendorong Kita Untuk Lebih Merelakan Perubahan dan
Kehilanga
Konsep wabi-sabi yang menekankan pada ketidaksempurnaan dan
ketidakabadian dapat membantu kita mengurangi rasa takut dan
kecemasan yang sering muncul akibat ketidakpastian.
II.4.3 Mengajarkan Kesederhanaan dan Keterbukaan
Wabi-sabi juga mengajarkan pentingnya hidup dengan sederhana
dan terbuka terhadap pengalaman hidup yang berbeda-beda. Hal ini
dapat membantu kita lebih memprioritaskan hal-ha; yang benar-
benar penting dalam hidup dan mengurangi kecenderungan kita
untuk memaksakan kehendak dan ambisi yang berlebihan.
II.4.4 Mendorong Kreativitas dan Inovasi
Konsep wabi-sabi yang menekankan pada ketidaksempurnaan dan
ketisakabadian dapat mendorong kreativitas dan inovasi. Dengan
menghargai keindahan dalam hal-hal yang tidak sempurna, kita
dapat terinspirasi untuk menciptakan hal-hal yang unik dan berbeda
dari yang lain.
II.4.5 Membantu Kita Mencapai Kedamaian Batin
Wabi-sabi juga mengajarkan pentingnya hidup dalam ketenangan
dan kedamaian batin. Dengan menerima dan menghargai
ketidaksempurnaan dalam hidup, kita dapat merasa lebih tenang dan
damai menghadapi segala macam tantangan hidup.
II.5 Penerapan Wabi-Sabi
II.5.1 Penerapan dalam Rumah Tangga
 Menaruh peralatan rumah tangga dengan desain yang
artistik
Menaruh hiasan dan furnitur unik dapat mempercantik
menciptakan rumah yang menarik. Menerapkan filosofi wabi
sabi dengan memilih perabotan rumah dengan desain yang
artistik, sehingga tidak meminimalkan penempatan dekorasi yang
berlebihan. Beberapa perabotan dan furnitur yang bisa Anda pilih
6

misalnya keranjang majalah dari rotan, lemari kayu, kursi dari


akar pohon, piring dari keramik.

Gambar 1 Peralatan Wabi Sabi

 Membeli perabotan yang dapat digunakan dalam jangka


waktu lama
Tidak terlalu banyak melakukan pengeluaran untuk membeli
barang-barang rumah tangga berulang-kali. Selain memilih
perabotan yang awet, untuk menerapkan konsep wabi-sabi hanya
perlu menggunakan barang yang benar-benar yang dibutuhkan
saja. Singkirkan semua tumpukan barang yang tidak bermanfaat
dan hanya membuat rumah menjadi terlihat penuh sesak.

Gambar 2 Perabotan dalam jangka panjang

 Mendesain rumah dengan sirkulasi udara dan cahaya yang


baik serta memasukkan unsur alam
Rumah yang didesain agar sirkulasi udara dan cahaya alami
bisa masuk dengan bebas akan terlihat lebih segar dan cerah.
Buat jendela dengan ukuran cukup besar dan langit-langit yang
memungkinkan cahaya matahari langsung masuk ke ruangan.
Anda bisa menyiasatinya dengan menggunakan cat tembok
berwarna abu-abu atau hijau, serta menaruh tanaman di dalam
7

rumah. Selain membuat rumah Anda tampak asri, memasukkan


unsur alam akan membuat hunian semakin nyaman dan sehat.

Gambar 3 Unsur Alam

 Menghargai barang-barang tua yang usang atau perabotan


yang memiliki tanda-tanda penuaan.

Gambar 4 Barang-barang tua

II.5.2 Penerapan Dalam Bidang Kesenian


 Ikebana

Ikebana adalah kesenian merangkai bunga Jepang. Kesenian ini sudah


dilakukan sejak abad ketujuh, yang berasal dari tradisi Tiongkok untuk
memberikan persembahan kepada Buddha. Bentuk ikebana bergaya yang
pertama disebut rikka, yang berarti "bunga berdiri". Terdapat beberapa
bentuk ikebana lainnya, seperti bentuk nagaire dan chabana, yang dibuat
oleh Sen no Rikyū. Chabana merupakan rangkaian-rangkaian bunga yang
dipajang saat upacara teh.
8

Gambar 5 Ikebana

 Puisi Jepang
Puisi yang memiliki isi yang sedikit dan lebih pendek dibandingkan
puisi dari Barat. Salah satu bentuk puisi Jepang yang paling terkenal
adalah haiku. Haiku biasa hanya ditulis dengan tiga kalimat, dan
mempunyai pola puisi 5-7-5.

Gambar 6 Puisi Jepang

 Kesenian Keramik
Kerajinan yang terdapat banyak di Jepang, seperti mangkuk
teh, stoples, vas bunga, wadah dupa, dan lainnya. Jenis
tembikar raku menjadi salah satu karya keramik paling berharga. Mangkuk
teh raku pertama kali dibuat oleh Chojiro, seorang pembuat ubin, dengan
bantuan Rikyū.

Gambar 7 Kesenian Keramik


9

 Teater Drama Noh


Teater drama noh adalah kesenian drama Jepang yang dibuat
soleh Kan'ami pada zaman Muromachi di abad ke-13. Kesenian ini lalu
dikembangkan oleh Zenchiku dan Zeami.

Gambar 8 Teater Drama Noh

 Patung
Pada 21 Mei 1972, patung Pieta buatan Michaelangelo dirusak oleh
orang yang tak dikenal, orang itu menghantam Pieta dengan palu sebanyak
15 kali sambil berteriak “aku adalah yesus! Ibuku tidak terlihat seperti
itu”. Patung itu dapat diselamatkan tetapi tidak dengan hidung maria. Italia
mau tidak mau harus merestorasi patung yang baru, tetapi itu bukan buatan
michaelangelo. Walaupun patung yang asli itu rusak tetapi karena bagian
yang rusak itulah yang membuat pieta terlihat lebih sempurna.

Gambar 9 Patung Pieta


10

 Novel
Novel berjudul ‘Joseito’ karya Dazai Osamu. Novel ini bercerita
tentang kehidupan tokoh Joseito yang mempunyai nilai-nilai
individual (honne), dan Joseito ingin menyamakannya dengan nilai-nilai
kolektif (tatemae). Namun Joseito tidak bisa menyatukan dua nilai yang
bertolak belakang itu dan menerima kontradiksi.

Gambar 10 Novel Joseito karya Osamu Dazai

II.5.3 Penerapan dalam bidang Arsitektur


 Bangunan Minimalis
Salah satu bangunan minimalis di Jepang yang cukup terkenal adalah
bangunan “Church of the Light” karya Tadao Ando yang berada di
Ibaraki, Osaka, Jepang. Church of the Light atau Gereja Terang
merupakan bangunan yang sangat unik dari segi pengaplikasian konsep
minimalis yang sederhana. Desain Minimalis Church of the light ini
menerapkan karakteristik dari nilai esetika wabi sabi.

Gambar 11 Gereja Terang


11

 Taman Zen
Taman Zen ( 枯山水 Karesansui) atau dapat disebut sebagai taman
batu Jepang, memiliki sebuah istilah yaitu sebuah taman yang ada di
kuil Zen Budhism di Kyoto. Taman Zen adalah taman kering, taman yang
dilukis dengan pasir dan batu. Taman Zen pada umumnya dibuat tanpa
adanya air, tapi inilah keunikan taman Zen, walau disebut taman kering,
ukiran pasir tersebut membentuk sebuah lukisan dengan arah aliran air
yang melewati batu-batu kali, sehingga orang-orang yang melihatnya bisa
berimajinasi jika taman Zen tersebut adalah air yang mengalir.

Gambar 12 Taman Zen

II.5.4 Penerapan dalam bidang makanan


 Sushi
Sushi disajikan dalam dalam bentuk yang sederhana, namun tetap
indah. Wabi dapat dilihat ketika koki memberikan perhatian kepada tamu
secara penuh dan tidak meremehkan mereka. Hal ini dikarenakan adanya
kemungkinan kekurangan dari keahlian memasak sushi. Bentuk perhatian
dan penghargaan tamu terhadap kerja koki yang menyajikan sushi juga
bisa disebut wabi.
Sabi dapat terlihat dari tata cara penyajian sushi, dan peralatan yang
digunakan selama makan. Sushi yang sempurna mungkin akan disajikan
dengan menggunakan papan kayu tua, dan sumpitnya mungkin kasar.

Gambar 13 Sushi
BAB III
KESIMPULAN

III.1 Kesimpulan
Sederhananya, wabi sabi memberi anda izin untuk menjadi diri sendiri. Ini
mendorong untuk melakukan yang terbaik tetapi tidak membuat diri sakit dalam
mengejar tujuan kesempurnaan yang tidak dapat dicapai. Ini dengan lembut
menggerakkan anda untuk rileks, memperlambat dan menikmati hidup. Dan ini
menunjukkan bahwa keindahan dapat ditemukan di tempat yang paling tidak
terduga, menjadikan setiap hari sebagai pintu menuju kesenangan.
Pola pikir wabi sabi bisa menjadi penawar yang berguna bagi mereka yang
dihanui oleh momok perfeksionis dan kebutuhan untuk mengatasi perfeksionisme.
Secara keseluruhan, mempelajari filosofi wabi sabi dapat membantu kita
mencapai kehidupan yang lebih sederhana, terbuka, kreatif, dan damai. Karena
dalam konsep pemikiran wabi sabi, terdapat kesadaran akan keberadaan manusia
dai dalam semesta dadan pentingnya hidup dalam harmoni dengan lingkungan
sekitar.

III.2 Notulensi Diskusi


Pertanyaan dari Nur Syamsi Kusuma: “Apa perbedaan konsep estetika wabi
sabi dengan konsep estetika lainnya?”
Jawaban:
Yang membedakan konsep estetika wabi sabi dengan konsep estetika yang lain
yaitu, jika wabi sabi mengajarkan untuk menerima ketidaksempurnaan, maka
konsep estetika yang lain lebih mengejar kesempurnaan yang tidak berujung.

Pertanyaan dari Lusiana Prasetyowati: “contoh sederhana dari keindahan wabi


sabi dalam ketidaksempurnaan?”
Jawaban:
Sebuah mangkuk keramik retak yang tetap digunakan dan dihargai karena usia
dan penggunaannya, lalu ada seni membenarkan mangkuk yang retak dengan
emas yang disebut ‘kintsugi’.

Pertanyaan dari Faridah Salamah: “Makna Cangkir teh yang berbeda beda
pada perayaan minum teh di Jepang”
Jawaban:
Cangkir teh yang berbeda-beda pada perayaan minum teh mencerminkan nilai-
nilai budaya dan estetika yang mendalam. Sebagai contoh, cangkir teh yang

12
13

digunakan dalam upacara teh mungkin dipilih berdasarkan musim atau tema
tertentu untuk meningkatkan pengalaman esetetis dan spiritual.
14

DAFTAR PUSTAKA

Andrew, J. (2003). Wabi-Sabi: The Japanese Art of impermanence. 2003.

Delorie, O. L. (2018). Wabi Sabi: Finding Beauty in Imperfection. Quarto Press.

Hisamatsu, S. (1982). Zen and the fine art. Tokyo; New York Kondansha International.

Juniper, A. (2003). Wabi-Sabi: The Japanese Art of Impermanence. 2003.

Kempton, B. (2018). Wabi Sabi: Japanese Wisdom for a Perfectly Imperfect Life. Little,
Brown Book Group.

Kondo, D. (1985). The way of tea: A Symbolic in Analysis. 287-306.

Koren, L. (1994). Wabi-Sabi for Artists, Designers, Poets, & Philosopher. Point Reyes, CA:
imperfect publishing.

Lawrence, R. G. (2004). The Wabi-Sabi House: The Japanese Art of Imperfect Beauty.
New York: Clarkson Potter.

Muhammad, S. (2023, May 1). Japanese Concept 4:Wabi Sabi. Retrieved from Linkedin.

Pilgrim, R. B. (1977). The Artistic Way and Religio-Aesthetic Tradition in Japan.


Philosophy East and West, 285-305.

Powell, R. R. (2004). Wabi Sabi Simple. Adams Media.

Saito, Y. (2007). The Moral Dimension of Japanese Aesthetic. The Journal of Aesthetics
and Art Criticism, 85-97.

Seidel, J., & David, W. J. (2014). Wabi Sabi and the Pedagogical Countenance of Names.
15-25.

Suzuki, D. T. (1960). Zen and Japanese Culture. New York: Pantheon Books.

Suzuki, N. (2021). Wabi Sabi: The Wisdom in Imperfection. Tuttle Publishing.

Syam. (2013, march thursday,28). Haiku dan alam di jepang. Retrieved from Dunia
Syam.

Wulan, S. (2021). The Philosophy of Wabi-Sabi on Chashitsu Tai-an Myokian Shrine.


Japanese Research on Linguistics,Literature,and Culture.

Anda mungkin juga menyukai