Anda di halaman 1dari 18

PEMERTAHANAN BUDAYA LOKAL DALAM TRADISI MAKEPUNG

DI KABUPATEN JEMBRANA

OLEH :

GEDE RISKY ANTARA PUTRA

NPM : 1910121286

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS WARMADEWA

DENPASAR

2019
KATA PENGANTAR

Pertama-tama perkenankanlah penulis memanjatkan puji syukur ke hadapan Ida Sang

Hyang Widhi Wasa, karena telah melimpahkan rahmat-Nya berupa kesempatan dan

pengetahuan sehingga makalah ini bisa selesai pada waktunya.

Rasa Bahagia penulis tak terhingga karena telah menyelesaikan tugas yang diberikan

dosen untuk makalah penulis yang berjudul “ PEMERTAHANAN BUDAYA LOKAL

DALAM TRADISI MAKEPUNG DI KABUPATEN JEMBRANA ”

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu

kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu saya harapkan demi

kesempurnaan makalah ini.

Semoga Ida Sang Hyang Widhi Wasa/ Tuhan Yang Mahaesa selalu melimpahkan

rahmat-Nya kepada semua pihak yang telah membantu pelaksanaandan penyelesaian

Makalah ini, serta kepada penulis sekeluarga.

Denpasar, 20 Oktober 2019

Gede Risky Antara Putra

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................................. ii

DAFTAR GAMBAR ............................................................................................................... iv

BAB I PENDAHULUAN .........................................................................................................1

1.1 Latar Belakang .....................................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................................3

1.3Tipe Penelitian ......................................................................................................................3

1.4 Tujuan Penelitian .................................................................................................................3

1.5 Manfaat Penelitian ...............................................................................................................3

1.6 Tempat dan Waktu Penelitian ..............................................................................................4

BAB II PEMBAHASAN .........................................................................................................5

2.1 Definisi Makepung...............................................................................................................5

2.2 Sejarah Makepung ...............................................................................................................5

2.3 Pelaksanaan Makepung ........................................................................................................6

2.4 Mekanisme Makepung .........................................................................................................7

2.5 Upaya pemertahanan tradisi Makepung...............................................................................8

2.6 Kendala-kendala dalam pemertahanan tradisi Makepung ...................................................8

2.7 Alternatif pemecah ...............................................................................................................9

BAB III PENUTUP .................................................................................................................10

3.1 Kesimpulan ........................................................................................................................10

ii
3.1 Saran ...............................................................................................................................10

DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................12

iii
DAFTAR GAMBAR

1.1 Sesi wawancara narasumber ..............................................................................................13

iv
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kebudayaan sebagai aktivitas manusia yang melibatkan unsur karsa, rasa dan cipta

diibaratkan lingkaran yang tiak mengenal ujung ataupun pangkalnya. Suatu produk budaya

dikatakan merupakan awal, dalam waktu yang singkat bisa menjadi pijakan untuk kegiatan

budaya yang baru lainnya. Hal ini karena kegiatan kebudayaan berhubungan dengan kondisi

yang berhubungan dengan manusia sebagai aktornya maupun alam dan benda sebagai

objeknya selalu berubah atau berkembang. Budaya adalah suatu cara hidup yang berkembang

dan dimiliki bersama oleh sebuah kelompok orang dan diwariskan dari generasi ke generasi.

Budaya dibentuk dari banyak unsur yang rumit, termasuk sistem agama dan politik, adat

istiadat, bahasa, perkakas, pakaian, bangunan, dan karya seni. Kebudayaan perlu dihimpun

karena berpotensi hilang atau musnah yang bisa berarti putusnya rantai sejarah suatu

peradaban, hilangnya nilai kearifan, ilmu pengetahuan dan keindahan, serta keunikannya.

Setelah dihimpun kebudayaan juga perlu dirawat untuk menjaga eksistensinya. Tahap

berikutnya kebudayaan perlu disebarkan karena, kebudayaan membutuhkan apresiasi dan

kritik agar dapet terus berkembang serta berdayaguna. Mempertahankan, memelihara,

mengembangkan serta menyempurnakan kebudayaan merupakan kewajiban masyarakat baik

dalam arti keseluruhan. Ciri khas dan kepribadian suatu bangsa terutama terletak pada

kebudayaan yang dimilikinya.

Indonesia merupakan Negara yang memiliki keanekaragaman yang melimpah dalam hal

suku, agama, budaya serta Bahasa yang tersebar di berbagai daerah. Setiap daerah memiliki

berbagai macam ciri khasnya masing-masing, baik dari segi budaya, tradisi maupun tempat

wisatanya. Salah satu tempat wisata yang paling dikenal oleh seluruh dunia ialah Bali. Bali

1
terkenal dengan objek wisatanya, namun sebenarnya Bali masih memiliki keberagaman

budaya lainnya masih banyak orang-orang yang belum mengetahuinya.

Salah satunya adalah budaya yang terdapat di Kabupaten di Jembrana. Kabupaten

Jembrana terletak di bagian barat Pulau Bali yang berbatasan langsung dengan Pulau Jawa

lewat Pelabuhan Gilimanuk. Jembrana sebagai wilayah agraris ternyata memiliki banyak

potensi budaya yang masih belum dikelola secara maksimal, salah satunya tradisi yang

dikenal sebagai Makepung yang dilaksanakan sebagai acara yang selalu diadakan setiap

tahun.

Tradisi makepung merupakan sebuah kompetisi yang menggunakan kerbau sebagai

penarik kendaraan yang disebut dengan cikar. Kerbau tersebut dihiasi dengan hiasan kepala

yang sangat menarik dengan warna keemasan. Panjang lintasan yang dilalui sekitar 4 km.

kompetisi Makepung ini merupakan kompetisi yang dilakukan dalam sebuah grup, dimana

peserta terbagi atas grup barat dan grup timur. Sebagai pembatas antar grup barat dan grup

timur adalah sebuah sungai yang melintang di tengah-tengah kota Negara yang bernama

Sungai Ijo Gading. Dalam kompetisi ini tidak ada juara perorangan melainkan juara beregu

atau kelompok.dalam pelaksanaan lomba ini selalu diiringi dengan musik Jegog dan tari

Makepung yang dibawakan oleh remaja putri Jembrana. Acara ini diselenggarakan sebagai

upaya pelestarian potensi budaya Makepung itu sendiri sekaligus sebagai upaya inventarisasi

dan pengembangan seni budaya asli Jembrana, dimana dalam pengembangan tersebut

diharapkan mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan juga dalam pelaksanaan

kompetisi Makepung ini mampu mengangkat nilai-nilai sportifitas dan rasa tanggung jawab

yang terdapat didalamnya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari serta diupayakan

Makepung dapat dikemas dan dikembangkan sebagai salah satu daya tarik wisata yang

mampu mengundang minat wisatawan untuk berkunjung ke Jembrana.

2
Namun akhir-akhir ini tradisi Makepung dirasakan semakin tenggelam digerus oleh

perkembangan zaman, ini dapat dilihat dari banyaknya jalanan sawah yang dahulunya

digunakan untuk tradisi Makepung kini sudah berubah menjadi jalan yang berbatu dan

beraspal, sehingga tidak dapat lagi dapat digunakan untuk melaksanakan tradisi Makepung.

Perhatian Pemerintahan Provinsi Bali pun mulai berkurang terhadap kelangsungan tradisi

Makepung ini.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan rumusan

masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana upaya pelestarian Tradisi Makepung ?

2. Bagaimana sejarah Tradisi Makepung ?

1.3 Tipe Penilitian

Tipe penulisan yang saya gunakan adalah tipe Empiris, dengan

melakukan observasi dan wawancara narasumber langsung ke lapangan.

1.4 Tujuan Penelitian

Berdasarkan penelitian yang telah saya lakukan, maka adapun tujuan dari penelitian yaitu,

sebagai berikut :

1. Mengetahui apa yang dimaksud dengan tradisi Makepung.

2. Mengetahui bagaimana pelaksanaan tradisi Makepung.

3. Mengetahui bagaimana upaya dalam pelestarian tradisi Makepung.

1.5 Manfaat Penelitian

3
Berdasarkan penelitian yang telah saya lakukan, maka adapun manfaat dari penelitian ini

yaitu, sebagai berikut :

1. Masyarakat dapat mengetahui sejarah dari tradisi Makepung

2. Masyarakat dapat melestarikan tradisi Makepung.

1.6 Tempat dan Waktu penelitian

Tempat dan waktu penelitian yang saya lakukan pada 10 Oktober 2019 bertempat di

Banjar Tibu Beleng, Desa Penyaringan, Kecamatan Mendoyo, Kabupaten Jembrana.

4
BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Definisi Makepung

Makepung dalam bahasa Indonesia berarti berkejar-kejaran. Tradisi ini sudah lama

melekat di masyarakat Bali sebagai lomba pacu kerbau. Pada awalnya hanya berupa kegiatan

iseng para petani di sela-sela kegiatan membajak sawah, ketika itu kerbau dipacu dengan

diikatkan pada sebuah gerobak yang dikendarai oleh seorang joki. Lama kelamaan,

makepung ini semakin banyak diminati orang, terbukti banyaknya penonton yang datang

ketika permainan ini dilakukan. Sehingga saat ini tradisi Makepung dianggap sebagai sebuah

atraksi budaya yang menarik dan harus dilestarikan. ( Haridianta dan dkk, 2015 )

2.2 Sejarah Makepung

Tradisi Makepung awalnya muncul pada saat para petani melakukan proses

melumatkan tanah menjadi lumpur dengan menggunakan alat yang dinamakan bajak lampit.

Bajak lampit ditarik oleh dua ekor kerbau dan dikendalikan oleh seroang joki atau juga sering

disebut sais. Dalam melakukan proses melumatkan tanah menjadi lumpur tersebut para petani

di Desa Kaliakah dahulu selalu bergotong-royong dan saling membantu antara satu dengan

yang lainnya. Suatu saat untuk menghilangkan jenuh dalam proses membajak, para joki mulai

mempunyai keinginan untuk mengadu kekuatan kerbau mereka masing-masing dalam

menarik bajak lampit. Ternyata hal tersebut menimbulkan kesenangan di kalangan para

petani sehingga dilakukan secara berulang-ulang pada setiap kegiatan membajak sawah. Dari

kegiatan inilah awal mula tradisi Makepung di tanah sawah yang berlumpur. Di desa

5
Kaliakah kegiatan Makepung di tanah sawah pertama kali dilakukan sekitar tahun 1930.

Seiring berjalannya waktu, lama-kelamaan tradisi Makepung di tanah yang berlumpur

mengalami pergeseran dan berkembang menjadi Makepung di tanah yang kering. Makepung

yang semula dilakukan di sawah bergeser menjadi menjadi Makepung yang dilakukan di

jalan yang berada di sekitaran sawah. Tradisi Makepung di jalan sawah di Desa Kaliakah

berkembang sekitaran tahun 1960 hingga saat ini, dimana Tradisi Makepung ini dibentuk

organisasi yang terdiri dari dua kelompok, yaitu Ijo Gading Timur dan Ijo Gading Barat.

Sarana yang digunakan dalam tradisi Makepung di jalan sekitar sawah tidak lagi bajak lempit,

melainkan menggunakan gerobak kecil yang dihiasi dengan ukiran yang dinamakan cikar.

( Haridianta dan dkk, 2015 )

2.3 Pelaksanaan Makepung

Pelaksanaan tradisi Makepung di Desa Kaliakah dimulai dengan melakukan

pertemuan atau sangkep yang dihadiri oleh oleh para pemilik kerbau Pepadu dan para

pengurus organisasi Makepung baik kelompok Ijo Gading Timur maupun Ijo Gading Barat,

pada saat malam sebelum dilakukannya tradisi Makepung. Pertemuan ini bertujuan untuk

memberi nomor pada masing-masing pasangan kerbau Pepadu serta mencari lawan yang

akan ditandingkan pada saat Makepung nantinya. Setelah semua peserta mendapatkan nomor

keesokan harinya para pemilik kerbau dari seluruh Desa di Kabupaten Jembrana berkumpul

di lintasan Makepung Blatung Cina di Desa Kaliakah dengan membawa kerbau miliknya

masing-masing. Terdapat beberapa alat-alat yang digunakan oleh pemilik kerbau Pepadu di

Desa Kaliakah dalam mengikuti tradisi Makepung yaitu, berupa cikar, uge, cagak, kronongan,

gongsang, tungked, sarung tanduk dan kerbau Pepadu dihias dengan berbagai macam

aksesoris agar terlihat menarik, aksesoris yang dipakaikan seperti rumbing, selongsong

tanduk, kronongan dan gondang kaki. Makepung dimulai dengan membacakan nama-nama

kerbau berdasarkan nomor urutan masing-masing. ( Haridianta dan dkk, 2015 )

6
Desa Kaliakah yang memiliki kerbau Pepadu biasanya melakukan latihan atau nguruk

pada setiap hari minggu, mulai dari bulan Mei di lintasan Makepung Blatung Cina, yaitu

lintasan Makepung kebanggaan masyarakat Desa Kaliakah. Kegiatan latihan ini selalu rutin

dilakukan setiap hari minggu, hal ini bertujuan untuk mengetahui dan melatih kemampuan

kerbau Pepadu sebelum diikutkan dalam Makepung, dimana biasanya kerbau yang sudah

sering dilatih akan lebih terbiasa dalam menghadapi orang banyak, sehingga mental kerbau

tersebut akan semakin baik untuk diikutkan dalam Makepung. ( Haridianta dan dkk, 2015 ).

2.4 Mekanisme Makepung

Melepaskan pasangan kerbau dalam Makepung dilakukan dengan meletakkan

pasangan kerbau yang satu di depan dan yang satu pasang lagi di belakang dengan jarak 10

meter. Tradisi makepung mempunyai aturan yang terbilang unik, karena lintasannya yang

berbentuk huruf U jadi peraturannya adalah pergi dan pulang. Kerbau yang di lepaskan pada

saat garis start kemudian diberhentikan di tempat pemberhentian. Pada saat kerbau

dilepaskan dari garis start atau pada saat pergi menuju tempat pemberhentian itu lebih

sebagai pemanasan dan para joki biasanya tidak begitu sering memukul kerbaunya dengan

tungked atau tongkat penyalin berpaku untuk memukul kerbau. Kemudian kerbau tersebut

dilepaskan kembali dari tempat pemberhentian ke garis start awal. Biasanya saat inilah para

joki secara habis-habisan memukuli pasangan kerbau dengan tungked dari penyalin berpaku,

agar pasangan kerbau yang dikendalikannya tersebut mampu berlari dengan sekencang-

kencangnya. Jika pasangan kerbau yang berada didepan berjarak lebih dari 10 meter dari

pasangan kerbau yang berada di belkangnya maka pasangan kerbau yang di depannya lah

yang menjadi pemenangnya, dan jika pasangan kerbau yang berada di depan berjarak kurang

dari 10 meter dari pasangan kerbau yang berada dibelakangnya maka pasangan kerbau yang

berada di belakanglah yang menjadi pemenangnya. Jadi dalam tradisi Makepung daris start

awal juga sekaligus sebagai garis finish.( Haridianta dan dkk, 2015 ).

7
2.5 Upaya pemertahanan tradisi Makepung

Upaya yang dilakukan dalam mempertahankan tradisi Makepung adalah :

1. Menyediakan sarana seperti lintasan Makepung menjadi lebih baik serta dapat

digunakan baik dalam perlombaan maupun pelatihan untuk kerbau Pepadu yang

akan diikut sertakan dalam tradisi Makepung nantinya.

2. Menyelenggarakan tradisi Makepung ini setiap tahunnya, dimana salah satunya

Desa Kaliakah yang selalu menyelenggarakan tradisi ini tiap tahun oleh karena itu

secara tidak langsung akan dapat menjaga dan melestarikan tradisi Makepung ini,

sehingga nantinya akan terus dapat terus berlangsung dari generasi ke generasi.

3. Desa Kaliakah juga tidak memungut biaya apapun menyangkut perlombaan dalam

tradisi Makepung, upaya ini diharapkan akan membuat para pemilik kerbau

menjadi semakin semangat dalam mengikuti lomba Makepung.

2.6 Kendala-kendala dalam pemertahanan tradisi Makepung

Kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya pemertahanan tradisi Makepung adalah :

1. Masalah modal, modal disini baik dalam pengadaan atau pembelian kerbau

Pepadu maupun pemeliharaannya, dimana untuk membeli dan memelihara kerbau

Pepadu membutuhkan biaya yang sangat besar, disebabkan oleh harga kerbau

Pepadu jauh lebih mahal dibandingkan dengan kerbau biasa. Membeli atau

membuat alat-alat yang digunakan dalam tradisi Makepung seperti cikar, uge,

cagak, kronongan dan lain-lain itu membutuhkan biaya yang besar.

2. Susahnya mencari bibit-bibit kerbau Pepadu yang akan digunakan dalam tradisi

Makepung, dimana bibit-bibi kerbau Pepadu baik untuk makepung itu sudah

jarang ditemukan di Bali sehingga tidak jarang para pecinta Makepung biasanya

8
harus mencari dan mendatangkan bibit kerbau yang baik dan berkualitas dari luar

pulau Bali.

3. Terbatas dan sulitnya mencari rumput segar pada saat musim kemarau. Meskipun

desa Kaliakah dikenal sebagai desa yang subur, tetapi tetap saja pada musim

kemarau datang, para pemilik kerbau Pepadu sulit mendapatkan rumput segar

yang dijadikan sebagai pakan kerbau mereka. Pakan berupa rumput gajah dan

rumput tegalan yang tidak lagi tersedia, dikarenakan rumput tersebut mati dan

tidak tumbuh lagi pada musim kemarau.

2.7 Alternatif pemecah kendala-kendala

Setelah saya melakukan observasi dan wawancara mengenai alternatif apa saja yang

dapat dilakukan dalam menyikapi kendala-kendala tersebut adalah :

1. Kepedulian pemerintah berupa bantuan dana kepada para pemilik kerbau Pepadu

pada saat menjelang perlombaan Makepung, dimana diharapkan dengan adanya

bantuan dari pemerintah dapat meringankan beban para pemilik kerbau Pepadu

sehingga tidak pusing dengan memikirkan biaya-biaya lain seperti transportasi

dan konsumsi setiap mengikuti Makepung.

2. Penyediaan bibit-bibit kerbau Pepadu dari pihak pemerintah, agar para pecinta

Makepung tidak perlu mencari dan mendatangkan bibit-bibit kerbau dari luar

pulau Bali.

3. Mencari dan membeli pakan berupa rumput segar di luar desa. Daerah desa Yeh

Mbang, Trgal cangkring dan desa-desa lainnya masih memiliki rumput segar

ataupun pakan alternative berupa pohon jagung yang dapat diberikan sebagai

pakan untuk kerbau Pepadu.

9
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Tradisi Makepung muncul pada saat para petani melakukan proses meluatkan

tanah menjadi lumpur dengan menggunakan alat yang dinamakan bajak lampit.

Tradisi ini berkembang sekitaran tahun 1960 hingga sekarang. Strategi dalam

pemertahanan tradisi Makepung dengan cara menyediakan sarana seperti lintasan

Makepung, menyelenggarakan tradisi tiap tahun, dan tidak memungut biaya apapun

dalam perlombaan Makepung. Kendala-kendala yang dihadapi dalam upaya

pemertahanan tradisi Makepung, maslaah modal, susahnya mencari bibit-bibit

kerbau Pepadu, dan terbatas persediaan rumput pada musim kemarau. Alternatif

pemecahnya yaitu, kepedulian pemerintah dalam bentuk dana, penyediaan bibit

kerbau Pepadu.

3.2 Saran

1. Diharapkan kepada generasi muda untuk terus menjaga dan melestarikan

tradisi Makepung, karena tradisi Makepung merupakan tradisi khas

masyarakat Jembrana yang merupakan warisan turun temurun yang harus

dipertahankan agar tidak hilang begitu saja dimakan oleh perkembangan

zaman.

10
2. Bagi perbekel Desa Kaliakah diharapkan agar mengeluarkan kebijakan-

kebijakan terkait dengan kemudahan dalam melaksanakan tradisi Makepung

di Desa Kaliakah.

3. Bagi para pemilik kerbau Pepadu diharapkan agar selalu ikut dan

menyemarakan setiap lomba Makepung, agar tradisi Makepung selalu terjaga

eksistensinya sehingga tradisi ini dapat terus berlangsung kedepannya.

4. Diharapkan kepada pemerintah, baik Kabupaten maupun provinsi agar

memberi perhatian lebih terhadap tradisi Makepung, karena dukungan

pemerintah sangat penting demi kelestarian dan kelangsungan tradisi ini.

5. Diharapkan kepada para pengurus Makepung di Desa Kaliakah agar lebih

berperan aktif dalam melestarikan tradisi Makepung, karena pengurus

Makepung disini berperan untuk mengatur bagaimana kelangsungan tradisi

Makepung kedepannya.

11
DAFTAR PUSTAKA

Hardianta, I.K.S., Sudiatmaka, K., Si, M., Sanjaya, D.B. and Si, M., 2015. Identifikasi Nilai-

nilai Pendidikan Karakter Pada Tradisi Makepung Sebagai Sumber Belajar PPKn

Di SMP N 4 Mendoyo (studi kasus di Desa Pakraman Delod Berawah Kecamatan

Mendoyo, Kabupaten Jembrana, Bali). Jurnal Pendidikan Kewarganegaraan

Undiksha, 3(1).

12
DAFTAR GAMBAR

( gambar 1.1 narasumber ) ( gambar 1.2 wawancara narasumber )

13

Anda mungkin juga menyukai