Anda di halaman 1dari 14

Hisbah Institution

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. M. Nizarul Alim, S.E., M.Si, Ak., CA

Disusun Oleh:

Falikul Isbah (220251100002)

Anita Firdausy (22025110003)

Agus (2202511000_)

PROGRAM MAGISTER AKUNTANSI


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS TRUNOJOYO MADURA
Konsep Hisbah
Secara harfiyah (etimologi) hisbah berarti melakukan suatu tugas dengan penuh
perhitungan (Ahmad 2001). Sedangkan Dr. Jaribah mendefinisikan hisbah secara etimologi
berkisar pada memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran (amar ma’ruf nahi
mungkar). Hisbah oleh al-Mâwardî secara terminologis dikemukakan merupakan perintah
untuk melaksanakan perbuatan yang baik, jika perbuatan baik tersebut telah nampak
ditinggalkan serta mencegah perbuatan mungkar, jika perbuatan munkar tersebut telah
nampak dilakukan. Definisi al-Mâwardî tersebut masih dianggap terlalu umum karena qadhâ
dan mazhâlim tidak dapat dipisahkan dari pelaksanaan amar ma’rûf nahî munkar serta
mendamaikan masyarakat, sehingga definisi tersebut akan sulit dibedakan antara wewenang
hisbah, qadhâ, dan mazhâlim. Amar ma’ruf nahi mugkar merupakan fardlu kifayah.
Demikian halnya dengan kekuasaan amirul mu’minin dan yang dibawahnya secara struktural
seperti raja, kementrian, perkantoran seperti kantor pos dan kantor kas negara. Pada otoritas
militer, otoritas peradilan, otoritas sub bagian dari kewenangan disyariatkan juga untuk
beramar ma’ruf nahi mungkar.
Ibnu Taimiyah menyatakan hisbah sebagai lembaga yang memiliki wewenang dalam
menegakkan amar ma’ruf nahi mungkar yang bukan termasuk umara, Qadha, dan wilayah
al-mazalin. Ibnu Khaldun mendefinisikan hisbah sebagai institusi keagamaan yang menjadi
bagiaan dari amar ma’ruf nahi mungkar sebagai kewajiban bagi seluruh umat muslim.
Mu’jam Al Wasith menyatakan hisbah sebagai sebuah lembaga yang dibentuk oleh negara
Islam dengan mengangkat seorang kepala yang bertugas mengawasi urusan umum, harga dan
adab umum.
Berdasarkan definisi diatas terdapat tiga hal penting mengenai institusi hisbah, yaitu:
1. Hisbah merupakan lembaga (departemen) yang secara khusus dibentuk oleh
pemerintah.
2. Tugas hisbah secara umum melakukan amar ma’ruf nahi mungkar.
3. Tugas hisbah secara spesifik mengawasi berbagai kegiatan ekonomi di pasar, menjaga
mekanisme pasar berjalan normal dan tidak tradistorsi, serta melakukan tindakan
korektif ketika terjadi distorsi pasar.
Konsep hisbah diatas mengulas agar bisa mencakup semua anggota masyarakat yang
mampu memerintahkan kebaikan dan mencegah kemungkaran. Sebagaimana ruang lingkup
hisbah mencakup sisi kehidupan termasuk bidang ekonomi. Hisbah dapat diartikan juga
sebagai lembaga yang fungsi pokoknya adalah menghimbau agar masyarakat melakukan
kebaikan dan menjauhi kemungkaran. Namun demikian wilayah fungsi kontrol ini tidak
sebatas bidang agama dan moral. Tetapi menurut Muhammad al-Mubarak melebar ke
wilayah ekonomi dan secara umum bertalian dengan kehidupan kolektif atau publik untuk
mencapai keadilan dan kebenaran menurut prinsip Islam dan dikembangkan menjadi
kebiasaan umum pada satu waktu dan tempat.
Landasan Hukumnya adalah al-Qur’an surat Ali Imran ayat 104 yang artinya; “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh
kepada yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar; mereka itulah orang-orang yang
beruntung”. Al-Qur’an Surat An-Nahl: 90, yang artinya, “sesungguhnya Allah menyuruh
(kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran
kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.” Dasar hukum berupa hadis yaitu; Nabi
Muhammad SAW bersabada: “Barang siapa yang melihat kemungkaran, maka rubahlah
dengan tangannya. Jika ia tidak bisa, maka rubahlah dengan mulutnya. Jika ia tidak bisa juga,
maka dengan hatinya, dan itu adalah selemah-lemahnya iman.” Di Indonesia dalam kaitan
dengan masalah pengawasan di bidang ekonomi (bisnis), apabila mengacu pada perundangan
yang berlaku, antara lain diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun
1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (Muhammad
2004: 176). Selanjutnya juga dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Fungsi pengawasan yang diatur dalam kedua undang-
undang ini menitikberatkan pada masalah pengawasan dalam bidang usaha (bisnis) dengan
maksud agar kepentingan masyarakat, terutama konsumen, bisa terlindungi. Dengan
demikian dilihat dari fungsi pokok yang dibebankan, secara substansial sama dengan fungsi
pengawasan dalam institusi hisbah dalam Islam.
Hisbah dalam kegiatan ekonomi mempunyai beberapa tujuan. Pengawasan pasar
merupakan tugas pertama seorang muhtasib (pengawas) pada masa permulaan Islam. Untuk
itu pembahasan ini dibagi menjadi dua, yaitu; pertama, tujuan hisbah dalam kegiatan
ekonomi adalah untuk mewujudkan tujuan-tujuan berikut (al-Haritsi 2006: 591):
a. Memastikan dijalankannya aturan-aturan kegiatan ekonomi. Peran pengawasan dari
luar untuk mencegah orang-orang yang lalai untuk menjaga aturan-aturan kegiatan
ekonomi. Aturan terpentingnya adalah: Disyariatkannya kegiatan ekonomi, aturan
terpenting kegiatan ekonomi dalam Islam adalah bahwa kegiatan ekonomi tersebut
disyariatkan. Senantiasa terhindar dari maisir, gharar, dan riba. Menyempurnakan
pekerjaan dan melawan penipuan. Penipuan merupakan satu tindakan buruk yang
dapat menyebabkan bahaya besar tehadap umat dan juga kegiatan ekonominya. Di
mana penipuan mempunyai akibat bagi kesejahteraan konsumen,dan juga
pertumbuhan ekonominya. Bentuk- bentuk penipuan ini dapat berupa: kualitas,
kuantitas, harga dan waktu penyerahan barang/jasa (A. Karim 2007: 203). Tidak
membahayakan orang lain
b. Mewujudkan keamanan dan ketentraman. Keamanan dan ketrentraman merupakan
menciptakan iklim investasi yang sesuai, dan mewujudkan pertumbuhan ekonomi.
c. Mengawasi keadaan rakyat. Menurut Umar bin Khattab tujuan hisbah adalah berjalan
pada malam dan siang hari untuk mengetahui keadaan rakyat, mengetahui kebutuhan-
kebutuhan mereka, dan menyantuni orang-orang yang membutuhkan (al-Haritsi 2006:
596).
d. Melarang orang membuat aliran air tanpa adanya kebutuhan. Islam memerintahkan
agar setiap orang berusaha mewujudkan ketercukupan untuknya dan ketercukupan
untuk orang yang berada dalam tanggungannya dan tidak memperbolehkan orang
yang mampu menjadi beban orang lain (al-Haritsi 2006: 597).
e. Menjaga kepentingan umum. Kepentingan umum adalah kemaslahatan bagi umat,
dimana umat tidak bisa terpisah dari kepentingan tersebut. Maka harus ada
pengawasan terhadap kepentingan umum tersebut untuk menjaga dan melindunginya
dari orang yang berbuat sia-sia (al-Haritsi 2006: 596).
f. Mengatur transaksi di pasar. Pengawasan pasar dan mengatur persaingan di dalamnya
yaitu dengan memerangi transaksi yang merusak persaingan tersebut.
Kedua, tujuan hisbah terhadap pasar. Pasar mempunyai peran yang besar dalam
ekonomi. Pasar adalah tempat yang mempunyai aturan yang disisipkan untuk tukar menukar
hak milik dan menukar barang antara produsen dan konsumen. Tujuan terpenting dari
pengawasan pasar dan aturan transaksi di dalamnya yaitu:
a. Kebebasan keluar masuk pasar. Kebebasan transaksi dan adanya persaingan yang
sempurna di pasar Islam tidak terwujud selama halangan- halangan tidak dihilangkan
dari orang-orang yang melakukan transaksi di pasar. Maka mereka masuk pasar dan
keluar dengan bebas,juga di berikan kebebasan mengangkut barang dari satu tempat
ke tempat lain dan memindahkan unsur produksi diantara bermacam – macam
kegiatan ekonomi sesuai fluktuasi persediaan dan permintaan barang.
b. Mengatur promosi dan propaganda. Tujuan pengawasan pasar adalah menunjukkan
para pedagang tentang cara-cara promosi dan propaganda yang menyebabkan lakunya
dagangan mereka. Dengan syarat dalam masyarakat Islam berdiri atas dasar kejujuran
dan amanat dalam semua cara yang diperbolehkan untuk memperluas area pasar di
depan barang yang siap dijual.

Ketiga, larangan menimbun barang. Penimbunan barang adalah halangan terbesar


dalam pengaturan persaingan dalam pasar Islam. Para pelaku monopoli mempermainkan
barang yang dibutuhkan oleh umat dan manfaatkan hartanya untuk membeli barang,
kemudian menahannya sambil menunggu naiknya harga barang itu tanpa memikirkan
penderitaan umat karenanya perilaku ini dilarang oleh Islam.
Monopoli identik dengan penimbunan. Pembahasan monopoli muncul sebagai akibat
dari masalah pemberian harga karena persaingan tidak sempurna. Prinsipnya adalah
seseorang tidak boleh menimbun hanya karena ingin memperoleh harga yang lebih tinggi dan
menyengsarakan atau member dampak negative bagi orang lain. Dan praktek monopoli ini
justru akan membunuh mekanisme kebebasan pasar.
Dengan menahan dan menyembunyikan, sesungguhnya, menyebabkan seseorang
menjadi lebih miskin dalam arti yang sebenarnya. Sebab dengan demikian miliknya tidak
dapat digunakan orang lain di masa kekurangan. Sebagai upaya akhir sesungguhnya Negara
Islam mempunyai wewenang untuk mencabut hak milik perusahaan spekulatif dan anti sosial
dalam melakukan penimbunan. Tindakan tegas ini untuk mencegah kenaikan harga yang
tidak semestinya.
Keempat, mengatur perantara perdagangan. Kelima, pengawasan harga. Sangat
harmonis kehidupan ekonomi yang diatur secara islami, bila diterapkan dengan disiplin.
Tidak akan pernah ada praktek-praktek yang tidak sehat dalam bisnis karena sejak Rasulullah
SAW telah melarangnya. Beliau tidak menganjurkan campur tangan apapun dalam proses
penentuan harga oleh Negara ataupun individual, apalagi bila penentuan harga ditempuh
dengan cara merusak perdagangan yang fair antara lain melalui penimbunan barang.
Negara disini adalah membiarkan pasar secara bebas sesuai faktor-faktor alamiah
tanpa campur tangan pihaknya yang memaksakan orang untuk menjual dengan harga yang
tidak mereka setujui atau untuk membeli dengan harga yang tidak mereka terima. Sehingga
sangat sejajar dengan pendapat Ibnu taimiyah tentang mekanisme pasarnya bahwa harga di
tentukan berdasarkan tingkat demand dan suplly secara alami (A. Karim 2010: 364). Namun
tidak sekaligus melepaskan peran lembaga hisbah sebagai bentuk pengawasanya sampai tidak
ada pihak yang terdzolimi.
Keenam, pengawasan barang yang diimpor. Pada masa Umar bin Khattab telah
menunjuk para pengawas pasar. Diantara tugasnya adalah mengawasi barang yang diimpor
dan mengambil Usyur (pajak 10%) dari barang tersebut dengan tingkatan yang berbeda
sesuai pentingnya barang tersebut dan kebutuhan umat Islam kepadanya (al-Haritsi 2006:
618). Tujuan dibalik hisbah tidak hanya memungkinkan pasar dapat beroperasi secara bebas
sehingga harga, upah dan laba dapat ditentukan oleh kekuatan permintaan dan penawaran
melainkan juga untuk menjamin bahwa semua agen ekonomi dapat memenuhi tugasnya
antara satu sama lain dan mematuhi ketentuan syariat (Chapra 2001: 64).

Rukun Hisbah
Dalam hisbah terdapat empat rukun diantaranya: 1) Muhtasib yaitu orang yang
menjalankan tugas-tugas hisbah dalam masyarakat dan negara Islam. Muhtasib dilantik
secara resmi oleh pihak imam atau pemerintah untuk memastikan kebaikan yang dibuat dan
kemungkaran ditinggalkan; 2) Muhtasib ‘Alaih yaitu orang yang melakukan atau perilaku
yang buruk; 3) Muhtasib Fiil yaitu perbuatan yang dicegah merupakan segala bentuk
kemungkaran yang terlarang untuk dilakukan dan wajib dicegah, baik sudah mukallaf
maupun yang tidak; 4) Nafs al- ihtisab adalah cara mencegah kemungkaran.

Lembaga Hisbah Pada Zaman Rasulullah SAW


Al-Hisbah adalah institusi keagamaan yang sangat penting dalam lintasan sejarah
Ekonomi Islam. Pada Dasarnya al-hisbah ini sudah ada pada masa Nabi Muhammad SAW
bahwa hisbah belum terbentuk menjadi sebuah lembaga, yang ada hanyalah praktik-praktik
penegakan amr ma’ruf nahy munkar. Rasulullah sebagai kepala Negara yang berperan
sebagai decision maker, dan supervisor dalam masalah ekonomi telah meletakkan pondasi
Al-Hisbah. Beliau sendirilah yang berperan sebagai muhtasib pertama dalam islam.
Rasulullah SAW secara langsung melakukan inspeksi ke pasar-pasar untuk mengecek harga
dan mekanisme pasar. Semasa hidupnya, Rasulullah langsung menangani segala hal yang
berkaitan dengan amr ma'ruf nahy munkar, seperti kasus Zubair bin Awwan yang enggan
memberikan air minum kepada penduduk Ansar di musim kemarau. Kemudian, Rasul
menegurnya dan memerintahkan agar Zubair memberikan air minum kepada laki-laki
tersebut.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, pada suatu hari Rasul berjalan ke pasar dan
menghampiri penjual makanan dan memasukkan tangannya ke dalam tumpukan makanan
tersebut. beliau terkejut mendapati tangannya basah. Rasul berkata wahai penjual makanan
apa ini? ia menjawab makanan itu kena hujan ya Rasulullah. Lalu Nabi mengatakan kenapa
tak engkau letakkan makanan yang basah berada diatas sehingga orang bisa melihatnya, siapa
yang melakukan penipuan bukan berasal dari golonganku (HR Muslim). Peristiwa ini
membuktikan bahwa lembaga al-hisbah telah ada pada masa Rasulullah Saw.
Suatu ketika di masa Rasulullah SAW. harga di pasar Madinah begitu tidak masuk akal.
Rakyat kecil menjerit, dan para sahabat pun datang kepada Rasulullah, yang sekaligus
pemimpin negara untuk meminta kebijakan dari beliau. “Wahai Rasullullah, tentukanlah
harga untuk kami.” Ujar para sahabat yang dikutip dari hadist riwayat Anas. Tetapi, ternyata
Muhammad SAW menolak permintaan para sahabat tersebut. “Allah adalah dzat yang
menentukan dan mengatur harga, penahan, pencurah serta penentu rezeki. Aku mengharapkan
dapat menemui Tuhanku di mana salah seorang dari kalian tidak menuntutku karena
kezaliman dalam hal darah dan harta.” Dari hadist yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dapat
disimpulkan bahwa kebijakan membiarkan mekanisme pasar berjalan dengan sendirinya yang
sudah pasti dengan bimbingan Allah, dan sudah menjadi kebijakan Rasulullah di masa itu.
Titik tolak dari teori ini adalah anggapan bahwa setiap pelaku dalam perekonomian
bertindak secara rasional dan ekonomis. Misalnya sebagai pembeli, masyarakat akan
membeli sebanyak banyaknya barang dengan sejumlah uang tertentu. Sebagai pemilik faktor
produksi, masyarakat akan senantiasa berusaha memperoleh pendapatan maksimal dari
tenaga dan keahlian yang mereka tawarkan. Sebaliknya, para pengusaha akan melakukan
tindakan yang sama. Misalnya sebagai produsen, mereka akan berusaha memproduksi barang
pada tingkat dimana dia bisa memperoleh keuntungan maksimal. Sebagai pembeli faktor
produksi, pengusaha akan menggunakan faktor produksi yang diperlukannya sedemikian rupa
agar diperoleh efisiensi yang optimal .
Dalam pelaksanaan pengawasan pasar ini, tugas hisbah masih di emban langsung oleh
Rasulullah SAW, akan tetapi pada masa-masa berikutnya setelah penaklukan kota Mekkah,
seiring dengan semakin luasnya wilayah kekuasaan Islam, tugas hisbah untuk mengawasi
pasar mulai didelegasikan kepada sahabatnya. Seperti, untuk pengawasan pasar Madinah
beliau delegasikan kepada Umar bin Khattab. Sedangkan untuk mengawasi pasar di Mekkah
beliau delegasikan kepada Sa’ad bin Said bin Ash. Selain pengawasan terhadap pasar
tersebut, Rasulullah juga pernah menyuruh Ali bin Abi Thalib untuk menghancurkan seluruh
berhala beserta bangunan kuburan di Madinah. Menurut penjelasan di atas, penerapan Hisbah
pada zaman Nabi Muhammad SAW masih dilakukan langsung oleh beliau sebagai Kepala
Negara. Beliau juga mengarahkan para sahabat untuk melaksanakan sebagai bagian dari
pembelajaran mereka untuk masa depan.

Fungsi Hisbah
Fungsi hisbah pada perekonomian negara Islam pada masa lalu menurut Ibnu
Taimiyah merupakan sebuah sistem yang digambarkan sebagai pelaksanaan kebijakan dan
kewajiban oleh muhtasib yang berkaitan dengan agama dan yuridis dalam penguasaannya.
Fungsi utama muhtasib yaitu melakukan pengawasan dan pengendalian. Untuk memberikan
sebuah hukuman harus dipastikan perbuatan tersebut benar-benar melanggar ketentuan
syariah. Muhtasib dapat bersikap bijaksana sehingga tindakannya tidak menimbulkan
masalah yang lebih besar dari masalah yang akan dihilangkan. Sebelum muhtasib
menghentikan atau menghukum pelanggaran, maka harus menyusun rencana untuk
mengantisipasi reaksi balik yang ditimbulkan. Hisbah memiliki beberapa fungsi sebagai
berikut:
1. Pengawasan terhadap kecukupan barang dan jasa di pasar. Hisbah melalui muhtasib
harus mengontrol adanya ketersediaan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat
berupa kebutuhan pokok. Jika terjadi kekurangan barang-barang maka muhtasib
memiliki otoritas untuk menyediakan sendiri secara langsung.
2. Pengawasan terhadap industri. Muhtasib memiliki tugas dalam pengawasan standar
produk dan juga mempunyai otoritas untuk menjatuhkan sanksi pada perusahaan yang
terbukti merugikan masyarakat atau negara. Muhtasib juga harus memecahkan
perselisihan antara majikan dengan buruh dalam penetapan upah minimum.
3. Pengawasan atas jasa. Muhtasib memiliki wewenang untuk mengawasi apakah para
penjual jasa telah melakukan tugasnya secara layak atau belum, pengawasan atas jasa
juga berlaku pada penjualan jasa tingkat bawah misalnya seperti buruh pabrik dan
lain-lain.
4. Pengawasan atas perdagangan. Muhtasib mengevaluasi pasar umum dan berbagai
praktek dagang yang berbeda-beda, serta mengawasi timbangan, ukuran, kualitas
produk, menjamin pedagang agar tidak melakukan kecurangan dan praktek yang
merugikan konsumen.
5. Perencanaan dan pengawasan kota dan pasar. Muhtasib berfungsi untuk menjamin
pembangunan rumah atau toko-toko agar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
hukum dan memberikan keamanan publik.
6. Pengawasan terhadap keseluruhan pasar. Muhtasib harus menjamin segala bentuk
kebutuhan agar persaingan pasar berjalan dengan Islami. Beberapa hal tersebut
diantaranya menyediakan transparansi informasi bagi para pelaku pasar, menghapus
berbagai bentuk retriksi untuk keluar dan masuk pasar serta membongkar berbagai
praktek penimbunan.
Hisbah juga berfungsi sebagai pejabat kota untuk menjamin pembangunan rumah dan
toko agar dilaksanakan sesuai dengan ketentuan hukum untuk memberikan rasa aman kepada
publik serta tidak mengganggu lalu lintas. Hisbah juga melakukan kajian keamanan publik
pada lokasi industri dan melakukan pemisahan industri satu dengan yang lain jika
diperkirakan akan membahayakan dan menggangu. Misalnya pada industri yang
menghasilkan asap atau polusi tidak boleh berdampingan dengan industri pangan dan
sandang. Ibnu Taimiyah memuat ihtisar peran religius sosial, dan ekonomi bahwa muhtasib
memerintahkan semua yang berada di bawah wewenangnya untuk melaksanakan shalat
jum’at, menunaikan shalat wajib lainnya, menegakkan kebenaran, membayar hutang,
melarang perbuatan buruk, berbuat tidak jujur, mengurangi timbangan, melakukan penipuan
dalam industri perdagangan, agama dan lain- lainnya.

Lembaga Hisbah Pada Zaman Modern


Dengan banyaknya jenis penyelewengan pasar yang terjadi di negara ini, maka
dibutuhkan lembaga pengawas pasar seperti hisbah di Indonesia untuk mengatasi berbagai
jenis penyelewengan pasar.
Memang, penipuan komersial di Indonesia merupakan ancaman serius bagi
masyarakat Indonesia pada umumnya. Maka sudah menjadi tanggung jawab pemerintah
untuk mengatasi berbagai jenis distorsi pasar ini karena dalam Undang-Undang Dasar 1945
di bagian pembukaan dijelaskan tujuan negara salah satunya kesejahteraan umum,
pemerintah harus memperhatikan nasib rakyatnya, termasuk dalam perekonomian.
Pemerintah harus memberikan solusi atas ketidakseimbangan pasar yang terjadi di
masyarakat berupa undang-undang yang mengawasi pasar komoditas dan barang lainnya.
Untuk itu, pemerintah harus membentuk lembaga independen seperti Hisbah yang
mengawasi operasional pasar. Sebagai lembaga pengawasan pasar seperti Hisbah, pemerintah
harus mampu melindungi masyarakat yang memiliki perekonomian dalam jangka pendek
hingga menengah. Peran Hisbah sangat diperlukan dan diterapkan dalam suatu negara, karena
berfungsi untuk melindungi perekonomian penduduk suatu negara.
Adanya mekanisme pasar yang sehat akan menghasilkan perekonomian yang sehat
pula. Hisbah sendiri dapat diterapkan di zaman modern ini dengan mengembangkan sistem
lembaga Hisbah yang dipimpin oleh Nabi hingga Khilafah Utsmaniyah terakhir sesuai
dengan kebutuhan keadaan dan perkembangan zaman. Agar berjalan maksimal, dibutuhkan
adanya intervensi pemerintah dalam pengoptimalisasian lembaga hisbah.

Perbedaan Lembaga Hisbah Zaman Rasulullah dengan Modern


Perbedaan yang terlihat terdapat pada spesifikasi, jika hisbah hanya dalam satu lembaga
atau belum terbentuknya lembaga, walaupun seiring perkembangannya ada tugas khusus
seperti bukan hanya mengawasi transaksi dan pasar namun ada tugas untuk mengawasi
perencanaan dan industri. Sedangkan pada zaman modern, semua lembaga telah di
kelompokkan masing-masing ke dalam fungsinya, seperti BPOM yang mengawasi khusus
dalam perdagangan yang berkaitan dengan pangan, obat dan kosmetik, kemudian Pasca lahir
dan berlakunya Undang-Undang No. 33 Tahun 2014, LPPOM MUI tidak lagi memiliki hak
penuh atas pengeluaran dan penetapan sertifikasi jaminan produk halal, melainkan hanya
sebagai mitra, lalu KPPU (Komisi Pengawas Persaingan Usaha) yang mengawasi dalam
aspek ekonomi persaingan usaha skala makro dalam pelanggaran monopoli dan persaingan
usaha yang tidak sehat seperti YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia) serta OJK
yang terkait dalam pengawasan industri keuangan, dan lembaga DPS yang mengawasi
produk bank atau lembaga keuangan syariah apakah sesuai atau tidak dengan fatwa yang
telah ditetapkan.
Pada zaman Rasul, hisbah selain menindak lanjuti dalam bentuk hukuman preventif dan
juga bisa memberikan hukuman berupa tas’ir. Sedangkan pada zaman modern, hanya dalam
bentuk pengawasan dan mencegah langsung jika terjadi pelanggaran dalam kasus berat akan
dilaporkan ke pihak yang berwajib untuk diadili secara hukum tertulis. Dalam hisbah pada
zaman Rasul, pengawas atau muhtasib tersebar di semua pasar agar lebih terawasi secara
teratur dan tertata. Sedangkan pada zaman modern, para petugas ditempatkan hanya di kota
besar dan jarang terjun langsung ke tempat kejadiannya, pemeriksaan dan fungsi pengawasan
hanya berjalan jika hari-hari besar islam. Hisbah dalam pengawasannya hanya dalam aspek
distribusi dan produksinya saja. Sedangkan pada zaman modern, masing-masing mempunyai
kekhususan walaupun rata-rata hampir sama dalam aspek produksi dan distribusi, karena
tidak ada lembaga yang khusus mengawasi dalam aspek konsumsinya. Jika hisbah dijalankan
dalam Negara Islam yang dimulai sejak zaman Rasulullah, dan itu dalam bentuk Negara
Islam sampai kekhalifahan setelahnya. Pada zaman modern, dijalankan di Indonesia dalam
bentuk republik dan Negara yang menganut UUD dan Pancasila bukan Negara Islam.
Institusi hisbah adalah elemen pelengkap dalam menjaga syariat Islam. Pada zaman modern
juga sebagai elemen pelengkap dalam tugas Negara menyejahterakan masyarakatnya yang
tertuang dalam UU No. 5 tahun 1999 “Terwujud Ekonomi Nasional Yang Efisien Dan
Berkeadilan Untuk Kesejahteraan Rakyat”

Peran Lembaga Hisbah dalam Perekonomian (Bisnis) Islam


Dalam sejarah perekonomian Islam, terdapat suatu lembaga yang dinamakan hisbah,
yang tugasnya adalah memantau, mengawasi praktik-praktik kegiatan perekonomian yang
tidak sesuai dengan kaidah al-Qur’an dan Hadist. Lembaga ini dapat membimbing jalannya
kehidupan masyarakat kearah sesuai dengan al-Qur’an dan Hadist. Sehingga masalah
kemiskinan dapat terpecahkan. Memang masalah kemiskinan adalah karena tidak
dilakukannya kegiatan perekonomian sebagaimana yang diatur dalam al-Qur’an dan Hadist.
Hisbah mempunyai peran yang sangat penting dalam Ekonomi (bisnis), yaitu: pertama,
standarisasi Mutu yang cukup tinggi. Masyarakat khususnya kaum pedagang harus
menyediakan barang terbaiknya karena hisbah juga mengatur tentang mutu barang yang ada
di masyarakat. Ketika ada penipuan atau kecurangan mutu barang yang dilakukan oleh
produsen dan mendzalimi konsumen, maka petugas hisbah siap bertindak. Kualitas barang
harus sesuai dengan harga yang di tetapkan produsen dan yang dijanjikan oleh produsen
kepada konsumen. Produsen pun tidak bisa menjiplak karya produsen lain, karena dengan
adanya peniruan dalam karya produksi akan menyebabkan kerugian baik bagi produsen yang
punya hak cipta atau bagi masyarakat pengguna. Dan jelas, penjiplakan yang mendzolimi
dilarang dalam Islam.
Kedua, regulasi perdagangan lebih teratur. Lembaga hisbah mempunyai pengawas
yang siap mengawasi setiap kezaliman dalam perdagangan, maka masyarakat akan cenderung
hati-hati dalam berdagang. Apalagi ada dasar Al- Qur’an dan ketakutan yang tinggi pada
Allah menjadikan masyarakat lebih jujur dalam berdagang, lebih jujur dalam menyediakan
supply barang, tidak ada lagi penimbunan barang yang membuat peningkatan harga di
masyarakat. Dengan adanya regulasi ini system perdagangan lebih terkendali.
Ketiga, terhindarnya ekonomi biaya tinggi. Dengan regulasi yang teratur juga akan
menyebabkan biaya yang tercipta rendah karena tidak ada uang pungutan liar sana-sini yang
biasa di pungut oleh pihak birokrat ataupun orang-orang yang ingin mengambil keuntungan
diatas penderitaan orang lain.
Keempat, harga yang terbentuk di masyarakat. Dengan adanya lembaga Hisbah ini
harga yang terbentuk di masyarakat lebih stabil karena senantiasa ada pengawasan.Bila harga
terlalu tinggi maka dapat diatur khususnya kebutuhan bahan pokok. Hisbah akan melindungi
masyarakat dari harga yang mencekik yang umumnya di lakukan oleh perusahaan yang
bermain secara monopoli.
Kelima, kesejahteraan Masyarakat akan lebih merata. Ketika barang yang dibutuhkan
masyarakat hadir secara cukup dengan harga yang layak, akan membuat masyarakat jauh dari
kemiskinan dan dekat dengan kesejahteraan. Pendapatan dan kepemilikan barang akan
cenderung merata atau distribusi merata. Sehingga gap atau kecemburuan sosial dapat di
cegah.
Keenam, kecerdasan masyarakat dalam ekonomi yang berperan di Hisbah tidak hanya
petugas hisbah saja, namun juga masyarakat umum. Karena pengaduan akan kedzoliman bisa
saja di lakukan oleh masyarakat umum. Secara tidak langsung, masyarakat di buat untuk
lebih punya pemahaman dalam hal ekonomi dan bisnis, agar tidak mudah untuk di dzolimi
dan agar bisa membantu anggota masyarakat lain yang sedang terdzolimi.

Kewenangan Lembaga Hisbah dan kewenangan dalam Mengatur Bisnis


Seiring pemberlakuan undang-undang Republik Indonesia No 44 tahun 1999 tentang
penyelenggaraan keistimewaan provinsi daerah istimewa Aceh dan UU Republik Indonesia
No 18 tahun 2001 tentang otonomi Khusus bagi provinsi Nanggroe Aceh Darussalam serta
PERDA No 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam maka terbentuklah sebuah
lembaga WH yang dikuatkan dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Nanggroe Aceh
Darussalam No 01 tahun 2004 tentang organisasi dan tata kerja Wilayatul Hisbah yang
keberadaannya diharapkan untuk mengawasi pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam. Di samping itu untuk memperkuat pengawasannya di lapangan dibentuk pula
muhtasib-muhtasib gampong yang terdiri dari tuha peut gampong dan tokoh-tokoh muda
sebagai Wilayatul Qura yang bekerja secara suka rela ditingkat gampong masing-masing,
lembaga ini diharapkan bisa bekerja mengawasi pelaksanaan Syari’at Islam di tingkat yang
paling rendah dan satu hubungan yang bersifat koordinatif, konsultatif dan komunikatif
dengan Wilayatul Hisbah yang bertugas di kecamatan dan Kabupaten.
Imam Mawardi dalam al-ahkam al-sulthaniyyah mengatakan; WH mempunyai tugas
melaksanakan amar ma’ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi
mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya. WH mempunyai tugas yang sangat
banyak dan luas, tak heran kalau Ibnu Khaldun menyetarakan fungsi wilayatul hisbah dengan
fungsi Khilafah (pemerintahan). Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh syara’ adalah
tugas muhtasib (petugas WH) untuk mengawasi terlaksana atau tidak di dalam masyarakat. Ia
memasuki hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kewajibannya tidak terbatas dalam
hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan orang yang lalai shalat jumat, melarang
berbagai maksiat dan kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi
praktik jual beli dari riba, gharar, serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan ukuran
yang biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan
masyarakat, mengawasi makanan halal, juga aspek sosial-budaya, seperti melarang kegiatan
hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas judi buntut, minuman keras, praktik
asusila.
WH memasuki lorong-lorong kecil di kampung-kampung, setiap hari kerjanya adalah
amar makruf nahi mungkar, tidak ada perkara syariat yang luput dari perhatiannya. WH
adalah lembaga yang setiap hari berkampanye menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan
mengawasi pelaksanaannya dalam masyarakat. Sebab itu, muhtasib yang baik adalah yang
lebih sering berada di jalanan, di pasar, di kampung-kampung memantau pelaksanaan syariat
oleh masyarakat, daripada hanya sekedar berada di kantor.
Namun demikian WH hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak dan sudah
ma’ruf di kalangan masyarakat, yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan
ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga
disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian masyarakat.
Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, syak wasangka, dan
memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan
wewenang WH, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayatul qadha’ atau
wilayatul mazalim. Untuk Aceh, WH juga bertugas mengawasi qanun-qanun yang berkaitan
dengan syariat Islam yang telah ditetapkan.
Sebagaimana di kutip dari Dr, Jaribah dalam Fikih Ekonomi Umar Bin Khattab bahwa
Hisbah merupakan cara pengawasan terpenting yang dikenal Islam pada masa permulaan
Islam yang menyempurnakan pengawasan pribadi yang mempunyai kelemahan,untuk itu
datanglah fungsi pengawas yang juga mengawasi tentang moral dan ekonomi. Lembaga ini
memerintahkan kebaikan dan mencegah kemunkaran. Semua yang diperintahkan dan
dilarang oleh syara’ adalah tugas muhtasib (petugas Hisbah) untuk mengawasi terlaksana
atau tidak di dalam masyarakat. Ia memasuki hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat.
Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan
orang yang lalai shalat jum’at, melarang berbuat maksiat dan kemungkaran, tetapi juga dalam
bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli dari riba, gharar, serta kecurangan,
mengawasi standar timbangan dan ukuran yang biasa digunakan, memastikan tidak ada
penimbunan barang yang merugikan masyarakat, mengawasi makanan halal, juga aspek
social budaya, melarang kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas
judi, minuman keras.
Menurut Al-Mawardi kewenangan lembaga hisbah ini tertuju kepada tiga hal yaitu:
pertama, dakwaan yang terkait dengan kecurangan dan pengurangan takaran atau timbangan.
Kedua, dakwaan yang terkait dengan penipuan dalam komoditi dan harga seperti
pengurangan takaran dan timbangan pasar, menjual bahan makanan yang sudah kadarluarsa.
Ketiga, dakwaan yang terkait dengan penundaan pembayaran hutang padahal pihak yang
berhutang mampu membayarnya (Al-Mawardi t. tp:1973).
Wilayatul Hisbah adalah sebuah badan atau lembaga yang diperkenalkan kembali
kepada masyarakat Aceh. Lembaga ini sudah sekian lama tidak dikenal oleh masyarakat
seiring perkembangan zaman ke arah medernisasi. Sejarawan menyebutkan bahwa Wilayatul
Hisbah merupakan lembaga yang popular di masa- masa kejayaan agama Islam, sehingga
istilah WH (kontek kekinian) terdapat dalam kitab-kitab fiqh terutama as-Siyasatusy
Syar’iyyah, al-Ahkamus Sulthaniyyah atau an-Nuzhumul Islamiyah.
Dalam kitab As-Siyasatusy Syar’iyyah diuraikan tiga otoritas penegakan Hukum
yaitu: pertama, Wilayatul Qadha yaitu lembaga atau badan yang berwenang untuk
menyelesaikan sengketa sesama rakyat atau badan arbitrase (perdamaian). Kedua, Wilayatul
Mazhalim yaitu lembaga atau badan yang berwenang menyelesaikan sengketa ketataniagaan
negara serta sengketa antara pejabat dengan rakyat atau antara bangsawan dengan rakyat
jelata (dalam istilah yudikatif sekarang disebut PTUN). Ketiga, Wilayatul Hisbah yaitu badan
pemberi ingat dan badan pengawas. Atau yang berwenang mengingat anggota masyarakat
tentang aturan-aturan yang harus di ikuti, cara menggunakan dan mentaati peraturan serta
tindakan yang harus dihindari karena pertentangan dengan peraturan.

Tugas Muhtasib
Hisbah adalah sebuah institusi yang menjaga amar makruf dan menjauhi
kemungkaran. Hisbah dalam cakupan yang luas, mengatur segala jenis hal dalam kehidupan
kemasyarakatan. Termasuk ekonomi di dalamnya. Ketika Hisbah berdiri tegak dengan
perangkat-perangkatnya, maka Ekonomi dapat berjalan dengan lancar dan sesuai dengan
syariatNya. Subyek pelaku, dalam hal ini pejabat yang bertanggung jawab atas lembaga
hisbah ini disebut muhtasib. Seorang muhtasib adalah orang yang diangkat oleh penguasa
atau wakilnya untuk memonitor urusan rakyat, melihat kondisi mereka dan melindung
kemaslahatannya (Chapra 2001: 64).
Tugas menjadi muhtasib adalah tugas yang berat. Tugas dimana segala sesuatu harus
dijalankan dengan komprehensif. Muhtasib haruslah orang yang paham dalam kehidupan
sosial terutama perdagangan atau perekonomian. Tugas seorang muhtasib dapat dibedakan
sebagai berikut: pertama, berhubungan dengan hak-hak Allah. Mencegah tindak
kemungkaran dalam muamalah, seperti riba, jual beli yang batil, penipuan dalam jual beli,
kecurangan dalam harga, timbangan serta takaran. Kedua, berhubungan dengan hak-hak
manusia. Mencegah tindakan menunda-nunda dalam menunaikan hak dan utang. Ketiga,
berhubungan dengan layanan public, yaitu; menekankan pemilik hewan ternak untuk
memberikan makan, dan tidak memanfaatkannya untuk pekerjaan yang tidak kuat,
mengawasi transaksi pasar, jalan-jalan umum dan penarikan pajak, dan memuliakan produsen
sehingga produknya bisa bersaing (Abu Sinn 2006: 199).
Diantara tujuan muhtasib (pengawas) adalah berusaha mewujudkan keamanan dan
ketentraman serta memberantas segala tanda-tanda kerusakan keduanya. Derajat pengukuran
hisbah; tindakan muhtasib menurut Imam Abu Hamid Al Ghazali yang harus dilakukan
dengan benar dan penuh kesungguhan, yaitu: pertama, mencari tahu tentang kemungkaran
tanpa harus memata-matai atau memaksa orang untuk memberi informasi.
Kedua, menasihati orang yang berbuat kedzaliman tersebut sebelum memberi
hukuman. Ketiga, melarang dan menasihati dengan kata-kata. Keemapat, menggiatkan untuk
takut yang sebenarnya pada Allah SWT. Kelima, mengingatkan dengan keras ketika kata-
kata lembut sudah tidak mempan. Keenam, usahakan untuk membuat kemungkaran di jauhi
secara fisik. Ketujuh, mewaspadai hal-hal yang mungkin akan buruk di masa yang bentar lagi
datang, apalagi jika si pembuat kemungkaran belum sadar. Kedelapan, menjatuhi hukuman
fisik tanpa menggunakan senjata untuk menghindari kerusakan atau darah tertumpah.
Kesembilan, untuk memaksa regulasi, bisa lewat bantuan polisi juga untuk menuntut si
pelaku kemungkaran dalam sistem konvensional ketika perangkat-perangkat sudah tegak
dalam penerapan hisbah, maka hisbah akan sangat berperan dalam hal ekonomi (al-Haritsi
2006: 595).
Setelah kehadiran Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006
kedudukan WH menjadi lebih jelas. Kalau sebelumnya keberadaan WH hanya berdasarkan
Qanun Aceh, maka dalam undang-undang ini WH dianggap sebagai bagian dari SATPOL PP
dan diberi nama Polisi Wilayatul Hisbah. Pengaturan tentang kewenangan, tugas, dan jenjang
kepangkatan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Secara
nasional, tugas penegakan peraturan daerah dibebankan kepada SATPOL PP sesuai dengan
jenjangnya masing-masing. Artinya Qanun Provinsi ditegakkan oleh Satpol PP Provinsi
sedang Qanun kabupaten/kota ditegakkan oleh Satpol PP kabupaten/kota. Sedang tugas
penyidikan atas pelanggaran PERDA menjadi tugas/kewenangan PPNS sesuai dengan
jenjangnya masing-masing. Dengan demikian Polisi WH hanya berwenang melakukan
sosialisasi, pengawasan dan pembinaan qanun syari’at Islam dan tidak berwenang melakukan
penyidikan.
Menurut Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006, otonomi
khusus yang diberikan kepada Aceh, termasuk pelaksanaan Syari’at Islam (yang akan
menjadi hukum Aceh) adalah kewenangan Provinsi dan dilaksanakan melalui Qanun Provinsi
(Aceh). Qanun kabupate/kota tidak berwenang mengatur pelaksanaan Syari’at Islam
(otonomi khusus) kecuali atas perintah Qanun Provinsi. Sedang tugas dan kewenangan
penyidikan atas pelanggaran Qanun Provinsi menurut Undang-Undang Pemerintahan Aceh
Nomor 11 Tahun 2006 dibebankan kepada PPNS Provinsi dan Penyidik Polisi, bukan hanya
kepada PPNS. Dengan demikian Polisi WH baru berwenang melakukan penyidikan kalau
telah memenuhi syarat dan sudah diangkat sebagai PPNS, sesuai dengan peraturan yang
berlaku secara nasional.

Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat di ambil kesimpulan betapa pentingnya peranan wilayatul
hisbah dalam suatu pemerintahan, khususnya dalam hal pengawasan pasar. Peran WH sangat
dibutuhkan sekali untuk membantu mewujudkan masyarakat yang memiliki standar moral
yang tinggi, keunggulan akhlak dan menaati perkara-perkara yang sudah diwajibkan ataupun
dilarang oleh syariat. Alangkah baiknya pembentukan WH dapat dijadikan salah satu agenda
penting bagi pemerintah Indonesia di masa yang akan datang, bukan hanya saja di aceh,
penerapan ini bisa dilaksanakan di keseluruhan bagian negeri ini, agar dengan kehadiran
instutusi ini dapat menentramkan kehidupan perekonomian masyarakat. maka dari itu
pemerintah dapat menyiapkan semua perangkat dan sumber daya manusia uang mempunyai
kualitas untuk menjadi muhtasib sehingga proses penerapan WH dapat terwujud.
Untuk Aceh, hirarki struktural WH berada di bawah Dinas Syariat Islam. Tugas
utamanya adalah mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh masyarakat. Posisinya sebagai
“jantung” dalam Dinas Syariat Islam sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan Dinas
ini menegakkan syariat. Untuk itu landasan hukum tersendiri yang jelas yang mengatur tugas
dan wewenang institusi hisbah sangat diperlukan di samping tekad yang kuat dari petugas
WH menegakkan syariat.Pembentukan institusi ini adalah sangat positif dan perlu dukungan
padu semua pihak. Kunci kesuksesan WH nantinya akan terlihat ketika masyarakat dengan
kesadaran keagamaan yang tinggi terwujud. Yaitu masyarakat dengan standar moral yang
tinggi, keunggulan akhlak, dan menaati perkara-perkara yang sudah diwajibkan atau dilarang
oleh syari'at. Tetapi, ketika maksiat kembali merajalela, perbuatan amoral merebak,
masyarakat berlaku curang, menipu, dan memakan riba dalam berdagang, maka jelas, WH
tidak berperan dengan sempurna. WH, juga aparat pemerintah lainnya telah gagal
menegakkan syari’at.

Daftar Pustaka

Abu Sinn, Ahmad Ibrahim. 2006 . Manajemen Syariah: Sebuah Kajian Historis Dan
Kontemporer. Jakarta:Raja Grafindo Persada.

Al-Mawardi. 1973. Al-Ahkam as-Sulthaniyah wa al-Wilayah ad-Diniyyah. Kairo, tp. al-


Haritsi, Jaribah bin Ahmad. 2006. Fikih Ekonomi Umar bin al-Khattab, terj. Asmuni
Zamakhsyari. Solihan. Jakarta: Khalifa.

Chapra. M. Umer. 2001. Masa Depan Ilmu Ekonomi, Sebuah Tinjauan Islam. Jakarta: Gema
Insani.

Ahmad, Mustaq. 2001. Business Ethics In Islam, terj. Indonesia: Etika Bisnis Dalam Islam
oleh Samson Rahman, Jakarta: Pustaka al-Kautsar.

Adiwarman A., Karim. 2007. Ekonomi Mikro Islami; edisi ketiga. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.

-----------. 2010. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.

Harahap, Sofyan S. 2011. Etika Bisnis dalam Perspektif Islam. Jakarta : Salemba Empat.
Hafas Furqoni. 2007. http://id.acehinstitute.org

Ibrahim Abu Sinn, Ahmad. 2006. Manajemen Syariah:sebuah kajian historis dan
kontemporer. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Karim, Adiwarman A. 2001. Ekonomi Islam, suatu kajian kontemporer. Jakarta: Gema Insani
Press.

Muhammad. 2004. Etika Bisnis Islami. Yogyakarta: UPP-AMP YKPN.

Anda mungkin juga menyukai