Anda di halaman 1dari 7

Sebuah Paradigma

Sebagian dari yang ingin saya sampaikan dibawah ini adalah hal-hal yang mungkin tidak disampaikan oleh orang lain
kecuali pada pada teman-temanya sendiri (dalam tanda kutip) rombongan atau dalam skenanya sendiri-sendiri. Haha,
kaya paling skena aja wkwk. Tapi, ini adalah sebuah kontemplasi, dan sebuah tamparan bagi kita semua yang rajin
membaca tuntas, bukan asal nyeplos karena modal pinter ngomong!haha. Semoga ini adalah hal baik untuk kita semua,
dan sekali lagi, ini bukan sebagai ajang menentukan siapa yang paling hebat atau skena siapa yang paling solid, tetapi
hanya seutas kontemplasi! Sekian, selamat menikmati.

Sebuah pelajaran

Episentrum Musik Indonesia

Sebagai tonggak awal, mungkin saya akan memilih bandung sebagai episentrum musik indonesia, diluar jakarta
yang otomatis menjadi tujuan pusat dari sebuah industri — termasuk major label dari beberapa kota lain. Selain banyak
band-band yang saya sukai disana hehe, ada juga faktor penting lain seperti berkembangnya infrastruktur penunjang
yang bermunculan pada periode 70an sampai akhir 90an, dan yang paling penting adalah polarisasi dalam wilayah
manajerial musik, yang menyebabkan ketatnya persaingan dalam industri musik, dimana major label mengintervensi
ide-ide kreatif dari musisi karena dianggap tidak memenuhi keinginan pasar.

Tidak berakhir sampai disitu, masa keemasan bandung yang dihitung kira-kira berasal dari periode 70an, kini
sampai pada periode 90'an, kira-kira karena popularitas yang menanjak di jagat musik arus utama, menyebabkan
seniman atau musisi pada saat itu tertantang dan membuat produksi album secara mandiri. Singkat cerita, sekitar 1994,
richard mutter bersama dua rekannya helvi dan dxxxt mendirikan studio musik reverse di jalan sukasenang, bandung.
Sejak saat itu, berbagai aliran dari kalangan musik berlatih di studio tersebut, dan keuntungan yang didapatkan
kemudian dipakai untuk membangun unit baru, seperti reverse outfit yang memasarkan produk-produk spesifik impor
dan lokal, berupa cakram padat, kaset, poster, artwork, dan aksesoris-aksesoris lainnya. Lebih lanjut lagi, reverse outfit
kemudian beralih nama menjadi reverse clothing company, tak sekadar menjadi salah satu pelopor distribution store
(distro), tetapi juga menjadi ruang interaksi awal antara kelompok-kelompok musik indie label di bandung.

1
Atau lebih dikenal dengan "hangout cultur" dalam diy style karya brent luvaas seorang antropolog asal amerika. Tidak
hanya reverse, ada juga studio palapa ujung berung yang menjadi embrio lahirnya skena musik metal seperti, jasad,
disinfected, burgerkill, forgotten, sonic torment. Dan tidak lupa, ada juga (bip) Bandung Indah Plaza, Sebuah mall yang
berlokasi di jalan merdeka, bandung. Dan jika kita melihat ke belakang, pada masa 1990an, ternyata bip sering menjadi
tempat tongkrongan beberapa anak punk, dan beberapa band terkenal seperti, keparat, jeruji, runtah, dan masih
banyak lagi. Juga punawarman yang menjadi tempat berkumpulnya anak-anak grunge.

2
Seperti yang kita semua tau, kolektif adalah menghilangkan hierarki dari suatu komunal
dan dilakukan bersama untuk bersama. Tapi di Tegal, makna kolektiv beralih fungsi, "siapa,
dan dari skena apa yang menggunakan kata kolektiv, juga menjual kata kolektif untuk
memperbesar namanya sendiri, lalu meraup keuntungan dari tiketing untuk kepentingan
dirinya sendiri". Menyedihkan bukan?

Semiotika kolektiv

Oke, dengan sub judul diatas. Mungkin kalian akan ngomong "anjing, kaya pakar aja pake judul berat, haha".
Tapi bukan itu intinya, mari kita kesampingkan dulu judul diatas, walaupun emang dari awal saya berniat jadi sok pinter
si haha. Next, seperti yang tertera di atas. Kolektiv adalah suatu hal yang dilakukan antara satu individu dengan individu
yang lain, dengan maksud dan tujuan untuk menghilangkan kelas atau hierarki diantara satu sama lain atau di dalam
beberapa skena itu sendiri, dan oleh inilah kenapa polemik kolektif ini saya bahas karena sedang ramai dibicarakan di
beberapa skena musik di Tegal akhir ini.

Penyempitan Makna Dalam Skena

Bagian pertama

Selain dalam definisi semotika kolektiv diatas, mari kita persempit lagi jarak antara pengertian dan penggunaan
kata kolektiv, seperti kutipan diatas, dan pengimplementasianya dalam gigs-gigs yang dibuat oleh skena musik di Tegal
dan Slawi akhir-akhir ini.

Nah, seringkali. Di kota kami tercinta ini, terutama di Slawi sendiri, tampak sedang ramai sekali pembicaraan tentang
"etika skena" terutama dalam skena dan beberapa band karena keikutsertaan mereka (band) di beberapa event musik
yang diadakan oleh "Sarana Ego" salah satu agency di Slawi dengan menggaet salah satu korporat atau sponsor. Tapi
karena beberapa provokasi dari "30=isnwiln*\=\'wveyeu" (tidak lulus sensor haha), beberapa band yang awalnya
antusias karena mendapat panggung, akhirnya satu persatu mulai meng-cancle dengan cara mendadak setelah flyer
event disebar. Oleh karena itu, saya sebagai salah dari anggota agency tersebut (haha) mulai menanyakan "apa dan
kenapa" beberapa band meng-cancle dengan cara tersebut, dengan cara langsung mendatangi beberapa teman-teman
band tersebut.

3
Dan ternyata, begini. Hanya karena mereka (beberapa band) menyandang label atau bergenre "punk" mereka kerap kali
mendapat provokasi dari @10-&/):73&'ap (sensor) dengan menjual kata "etika skena dan kolektiv" tanpa menjelaskan
pengertian dari kata tersebut, atau dengan kata lain, ia 0/72!:&:"-9 mendorong beberapa band supaya mereka yang
menjadi tameng agar dirinya sendiri merasa aman dan tanpa perlu mempertanggung jawabkan hal tersebut.

Dari hal diatas, bisa kita simpulkan bahwa nilai dari kolektivitas di sini hanya diukur dari apakah band itu menyandang
label punk atau tidak, juga apakah band punk itu tidak boleh menerima panggung dari temannya yang mengapresiasi
karya band temanya? Atau apakah emang dari pelaku provokasi merasa bahwa dirinya merasa tertinggal dari teman-
teman yang lainya?

Entahlah haha.

4
Bagian kedua

"kita punk, bangun siang liat flyer gigs kolektif tiket 50k. Ya mending lanjut tidur"
- Slawi Scene Kolektif

Setelah terjadinya kasus di bagian pertama, berlanjut dengan kutipan di atas. Slawi Scene Kolektiv adalah kumpulan
dari skena punk yang merasa akhir-akhir ini kok banyak gigs yang mengatasnamakan kolektiv tapi tiketingnya mahal,
apalagi kalo teman-teman band selaku bagian paling penting dalam gigs juga ikut iuran dan kadang ada juga yang
disuruh beli tiket. Ditambah sewa tempat, alat dan sound juga pasti nutup dari hasil tiketing tersebut.

Dan lantas pertanyaan yang ingin diajukan adalah;

"kemana sisa dari tiketing tersebut? Katanya kolektiv, kenapa kalo emang tebok, selalu yang dibicarakan
adalah angka? Dan yang paling penting, bukankah tujuan (gigs kolektiv) adalah untuk apresiasi teman-teman
band yang ga pernah dapet panggung juga?"

Nah, dari beberapa pertanyaan diatas, mungkin ada beberapa yang relevan jika dikatakan dalam gigs tersebut si panitia
bertanggung jawab harus menyiapkan budget lebih untuk membiayai atau membayar band yang diundang, dan diluar
hal tersebut, kita semua pasti sudah tau akan suatu sebab dan musabab mengenai kerugian/tebok yang akan terjadi
selanjutnya. Bukan apa/kenapa, tapi karena, dibalik pembuatan gigs yang memerlukan budget yang kemungkinan besar
seharusnya dan pasti sudah melewati berbagai persiapan panjang yang matang,

5
jadi tidak perlu lagi repot-repot mengurusi kerugian/tebok karena pasti sudah dipersiapkan dengan matang
antisipasinya, mengingat gigs atau event yang sifatnya adalah gambling apalagi. Dan seharusnya jika gigs tersebut
mengalami kerugian, dilain hari ataupun setelah gigs selesai, pasti tidak akan ada acara minum-minuman yang hanya
bisa dinikmati oleh segelintir panitia, yang sedangkan ketika teman-teman band main mereka repot-repot harus bawa
alkohol sendiri.

Lalu berdasarkan hal diatas, nilai kolektivitas disini hanya berdasarkan dihitung dengan angka, kenapa? Karena jika gigs
yang dibuat mengalami suatu kerugian, pasti yang dibicarakan adalah mengenai angka, dan bahkan dari si panitia sendiri
selalu mengeluhkannya kepada audiens yang mereka kenal dan beberapa band yang dirasa dekat dengan mereka, tetapi
bukan mengenai rasanya bagaimana mereka dapat bersama-sama.

Bagian ketiga

Selanjutnya adalah mengenai alegori — n; simbol, logo, lambang dll. Lantas apa yang perlu kita bicarakan
mengenai hal tersebut?

“kita merasa menjadi bagian di suatu event atau gigs ya karena adanya identitas kita
disana, bahwa kita bertanggung jawab sebagai itu, walaupun mungkin hanya sebatas logo
di flyer”
- Meraga

Sepertinya sangat sering kita jumpai di kota tercinta ini, bahwa polemik mengenai suatu gigs kolektiv hanya di ukur dari
tidak adanya satu logopun di flyer, dan ketika memang tidak ada, maka bisa dipastikan dengan sah bahwa itu adalah gigs
kolektiv, atau DIY. Tetapi apakah bener itu adalah puncak ekonomi kolektif yang sesungguhnya?

Dengan menimbang kutipan dari meraga, maka kita bisa melihat satu dari sudut pandang yang berbeda dari
biasanya, bahwa sebagian dari kawan – kawan mungkin ada yang merasa dirinya dilibatkan ketika apa yang mereka
bangun bisa diikutsertakan oleh kawan – kawan yang lainya, walaupun mungkin ini ga bisa dipukul rata, tapi –

6
setidaknya kita bisa mengumpulkan mereka tanpa memandang identitas mereka sebagai apa, karena yang kita bangun
bersama adalah dengan nama kolektif seperti pada bagian pertama diatas. Dalam arti lain, gigs kolektif dapat dibangun
oleh kita dan mereka bersama – sama tanpa menitik beratkan pada identitas salah satu, tetapi lebih mementingkan apa
yang dibangun oleh beberapa sub identitas yang menjadi satu, dengan mengatasnamakan kolektiv. Dan seperti sebagian
dari beberapa ekonomi kolektiv yang berjalan sampai sekarang, mereka yang melakukan itu tidak merasa bahwa itu
sebagai suatu masalah pokok yang perlu dibahas sampai berlarut – larut, tetapi yang mereka bersama pikirkan adalah
bagaimana ini (sesuatu yang dibangun bersama) dapat terus dilanjutkan, dan bagaimana generasi kedepannya bisa
merasakan apa yang mereka rasakan dan meneruskannya.

Kesimpulan

Tetapi barangkali yang dimaksud adalah identitas gigs kolektiv tersebut, dan apakah itu bersifat sangat – sangat
underground atau tidak. Sebagian besar kawan – kawan mungkin banyak yang memiliki perbedaan pendapat dalam hal
ini, tapi bukan berarti ketika tak setuju kita harus beda kubu, walaupu ternyata di kota kita tercinta ini perilaku tersebut
masih banyak ditemukan di beberapa teman – teman yang lain.

Dan paling penting yang harus dipahami oleh kita adalah bagaimana cara kita untuk menghilangkan ego satu sama lain.
Bukan tidak? Karena mungkin inilah yang dimaksud dengan esensi kolektivitas, bahwa ketika kita mampu menurunkan
ego kita sendiri dan mampu mengakomodir beberapa skena dan berbagai jaringan, maka secara tidak langsung kita telah
menghilangkan sekat di antar mereka, dan berhasil menghilangkan struktur kelas atau hierarki di antara satu sama lain
dengan cara berdiri bersama – sama, tanpa ada sekat siapa yang berkontribusi paling tinggi. Bukankah yang dimaksud
kita semua adalah kolektif? Kalaupun ada yang berbeda dari apa yang kita paham, apakah itu membuat putus
pertemanan? Katanya kolektif, tak setuju kok beda kubu hehe.

Catatan kaki :

Hangout Culture – DIY Style; Brent Luvaa’s US Antropolloghy, MEDIUM Media, Kultus Underground, Rossi Media, Ghozi
Hiban “pola pikir punk, merdeka dan tidak merugikan” lpm prapanca, A History of Western Philosophy; Betrand Russell.
Pict;https://www.lpmprapanca.com/2023/01/pola-pikir-punk-merdeka-dan-tidak.html - https://richmusiconline.com/9-
dokumentasi-scene-underground-bersejarah-yang-diambil-di-era-saparua/ - https://www.google.com/search?
q=studio+revers+bandung&sca_esv=579161870&tbm=isch&source=lnms&sa=X&ved=2ahUKEwixsuGPgKiCAxUg7TgGHX
7pCbsQ_AUoAXoECAIQAw&biw=1366&bih=669&dpr=1#imgrc=QPrx5vCNxreGJm,

Anda mungkin juga menyukai