Anda di halaman 1dari 9

DA’I DAN ASAP DAPUR

“Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah


sedikitpun kepadamu atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk
orang-orang yang mengada-adakan. Al Quràn ini tidak lain
hanyalah peringatan bagi semesta alam.”. [QS Shad : 86-87]

Prolog: Da’i juga manusia


Jelang hari raya Idhul Fithri 1433 H lalu, seorang da’i dan
juga teman dekat saya tampak sibuk membereskan meja
kerjanya. Katanya ia hendak pulang kampung. Da’i yang sehari-
hari menerima jadwal kajian cukup padat ini nampak serius betul-
betul ingin pulang, meskipun tidak sedikit dari rekan-rekannya
yang memberikan pandangan; jangan!. Mengingat kampung
halaman cukup jauh, dan lebih dari itu, tesis juga sudah bertahun-
tahun belum selesai.
Tiba-tiba, secara sengaja ia menunjukkan segepok amplop
yang katanya hasil mengisi ceramah yang dikumpulkan selema
bulan Ramadhan. ”Uang ini ana simpan sengaja untuk persiapan
pulang kampung. Setiap ada yang ngasih, langsung ana simpan
dan tidak diberikan ke istri,” katanya. Sayapun tertegun sejenak,
lalu bertanya; ”jadi, selama ini antum ngisi ceramah li-ajli (untuk)
pulkam gitu,”?. ”Yah, faktanya memang demikian. Kalau tidak
seperti ini ana gak bisa pulang. Inilah kemampuan ana. Ana
belum mampu menyisihkan dari yang lain. Adanya ya ini,”
belanya. Sayapun tersenyum-senyum mencoba memahami.
Potret jauh lebih parah lagi pernah saya temukan pada
kejadian-kejadian lain. Ada da’i yang saya tahu sangat aktif
mencari jadwal-jadwal khatib jum’at diberbagai tempat dengan
alasan; ”lumayan untuk kebutuhan selama sebulan.” Gaji pas-
pasan yang ia terima ditempat kerja atau di yayasan mungkin
tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Padahal yang

1
Da’wah Jalan Kami
saya tahu, ia sudah beristri hanya saja belum diberi momongan.
Artinya, tanggungan hanya istri dan dirinya sendiri. Saya bahkan
menemukan potret da’i lain yang lebih miris dari hal-hal di atas.
Ada da’i yang rela membatalkan jadwal khatibnya hanya karena
menerima jadwal baru ditempat lain yang bayarannya 3 x lipat
lebih besar. Na’udzubillah.
Seringkali kita mendengar bahwa untuk mencari
pembenaran suatu perbuatan salah, orang sering mengatakan;
”kita kan manusia juga.” Sayapun bergumam; ”da’i kan juga
manusia.” Begitulah kira-kira. Benar ataupun salah aggapan itu,
faktanya memang da’i itu adalah manusia. Manusia yang masih
butuh makan, tempat tinggal, pasangan hidup, dan lain-lain.
Idealisme-idealisme sebagai manusia juga satu warna yang tidak
mungkin dipisahkan dari diri da’i.
Da’i memang manusia. Tapi apakah kemanusiaan da’i itu
lantas menjadikan tindakan di atas sebagai tindakan manusiawi.
Manusia itu sendiri sangat unik. Bahkan Allah menyebutkan
penciptaan manusia sebagai; ” Ahsan at Taqwim” (QS At Tiin: 4).
Artinya, manusia memiliki kelebihan-kelebihan dibandingkan
dengan ciptaan Allah yang lain. Sebagai contoh, manusia lebih
baik struktur penciptaannya dari hewan, mungkin semua kita
sudah maklum. Tetapi, manusia pada suatu keadaan tertentu
bahkan bisa menjadi lebih baik dari malaikat yang tidak pernah
berbuat dosa sekalipun. Apalagi, manusia itu menyandang
predikat sebagai mu’min yang da’i.

Da’i bukan manusia biasa


Sebenarnya da’i itu juga bukan sembarang manusia. Da’i
yang sejati tentu beda dengan manusia pada umumnya. Da’i
sejati adalah da’i yang benar-benar memiliki sifat-sifat khusus
sebagai da’i (sifat ad da’iyah). Dengan memiliki sifat-sifat sebagai
da’i, ia menjadi berbeda dengan yang lain, bahkan tidak hanya di

2
Da’wah Jalan Kami
hadapan manusia, tapi juga dihadapan Allah Ta’ala. Fadhilatus
Syaikh Abdullah ibn Bazz di dalam kitab Fadhlu ad Da’wati Ilallah
menerangkan diantara sifat-sifatnya yaitu; (1) Ikhlas, (2) berilmu
tentang apa yang dida’wahkan, (3) lemah-lembut, (4)
mengamalkan ilmu dan menjadi teladan kebaikan dari apa yang
dida’wahkan (lihat, Fadhlu ad Da’wati Ilallah hal. 32-34).
Berbeda dengan Allahuyarham Syaikh Ibn Bazz, Dr. Shalih
bin Fauzan dalam muqaddimah kitab Manhaj Al Anbiya’ fi Da’wah
ilallah mengatakan bahwa sifat atau akhlak da’i yang harus
dimiliki yaitu; (1) mengilmui apa yang dida’wahkan, (2)
mengamalkan apa yang dida’wahkan, (3) ikhlas dalam berda’wah,
(4) memulai dari yang terpenting kemudian yang penting, (5)
bersabar dalam da’wah, (6) berbudi pekerti luhur dan
menggunakan hikmah dalam da’wah, dan (7) tekad bulat serta
cita-cita kuat.
Pendek kata, jika ingin jadi da’i. Ia harus siap dengan sifat-
sifat di atas, sebelum memiliki sifat-sifat di atas, keda’iannya tentu
tidak sempurna atau bahkan bukan da’i. Seperti contoh, sifat
keikhlasan adalah sifat wajib bagi da’i. Tapi untuk mencapai
tingkatan ini, da’i harus benar-benar disiplin. Disiplin untuk tetap
ikhlas tentunya. Meskipun perkara ikhlas ini bukan perkara lahir,
indikasi-indikasinya bisa kita rasakan. Sebagai contoh, Nabi
pernah bersabda;

”Barang siapa yang mempelajari suatu ilmu dari jenis-jenis ilmu


yang tujuannya untuk mencari keridhaan Allah, sedang ia tidak
mempelajarinya melainkan untuk mendapatkan sesuatu bahagian
dari dunia, niscaya ia tidak akan dapat mencium baunya surga,
pada hari kiamat kelak.” (HR. Abu Dawud dan disahihkan oleh
Albani)
Jika kita kaitkan dengan sifat ikhlas bagi da’i, tentu bisa saja.
Orang-orang yang mengabdikan diri sebagai da’i, harus

3
Da’wah Jalan Kami
menjadikan aktifitasnya hanya karena Allah. Mengharap ridha
Allah, dan mengharap pahala hanya dari Allah. Jika tujuan da’wah
sudah berorientasi dunia, jelas hal itu sudah salah. Selogan da’i
yang memang senang dengan ”amplop” biasanya sering berkata;
”saya kan ikhlas menerima ampol ini.” Ini ikhlas atau memang
sesuai harapan ?, keikhlasan di sini seolah-olah jadi pelesetan.
Jangan jangan nanti akan ada yang bilang; korupsi yang ikhlas,
terima suap yang ikhlas, dan lain-lain.
Namun persoalannya tidak semudah itu. Mempertahankan
keikhlasan ketika berbenturan dengan hal-hal dunia bukan hal
mudah. Tak terkecuali bagi da’i. Namun itulah tantangan da’i. Ia
harus bisa dan harus mampu. Jika tidak, maka ia belum da’i yang
sebenarnya. Tapi ada hal yang menggelitik saya. Apa benar, kita
tidak boleh menerima imbalan dalam menjalankan aktifitas
da’wah ?. kalau boleh seperti apa, kalau tidak juga seperti apa.
Saya teringat dengan hadits Nabi berikut ini;

Dari Ibnu Abbas ra bahwasanya Rasulullah saw telah bersabda:


“Sesungguhnya yang paling patut kalian ambil upahnya adalah al
Qur’an.” (HR. Bukhari).
Melalui hadits sahaih itu, Rasulullah dengan sangat
gamblang membolehkan mengambil upah dalam pengajaran al
Qur’an. Mulanya hadits ini sempat menjadi pembenaran saya
tentang bolehnya mengambil upah dalam pengajaran al Qur’an
atau hal-hal yang terkait denganya. Namun setelah dilihat, hadits
ini berkaitan dengan peristiwa sahabat yang meruqyah dengan al
Qur’an dan diberi imbalan. Jadi bukan secara umum tapi terkait
dengan imbalan meruqyah dengan ayat al Qur’an.
Dalam sebuah atsar sahabat juga diceritakan bahwa; Dari
Ibnu as Sa’idy al Maliki, bahwasanya ia berkata: “Umar bin
Khattab mempekerjakanku untuk mengumpulkan sedekah.
Tatkala selesai dan telah aku serahkan kepadanya, ia

4
Da’wah Jalan Kami
memerintahkan aku untuk mengambil upah.” Lalu aku berkata:
”Aku bekerja hanya karena Allah, dan imbalanku dari Allah.” Lalu
ia berkata: “Ambillah yang telah aku berikan kepadamu.
Sesungguhnya aku bekerja di masa Rasulullah saw dan
mengatakan seperti apa yang engkau katakan.” Lalu Rasulullah
saw bersabda kepadaku: “Jika aku memberikan sesuatu yang
tidak engkau pinta, makanlah dan sedekahkanlah .” (HR. Muslim).
Jika dicermati hadits ini, ternyata menerima imbalan itu
tidak selamanya tercela. Syaratnya, kita tidak meminta imbalan
dan kalaupun diberi, sebagian dimakan dan sebagian lagi
disedekahkan. Tapi hadits ini juga bukan spesifik terkait dengan
pengajaran agama.
Yang kemudian saya tertegun, ternyata tidak sedikit hadits-
hadits yang melarang mengambil upah dari pengajaran al Qur’an,
padahal pengajaran al Qur’an adalah materi da’wah itu sendiri.
Bahkan ada ayat al Qur’an yang menyebutkan seperti ini;

‫ ِإْن ُه َو ِإَّال ِذ ْك ٌر ِلْلَع اَلِميَن‬. ‫ُقْل َم آَأْس َئ ُلُك ْم َع َلْي ِه ِمْن َأْج ٍر َو َم آَأَن ا ِمَن اْلُم َتَك ِّلِفيَن‬
Artinya: “Katakanlah (hai Muhammad): “Aku tidak meminta upah
sedikitpun kepadamu atas dakwahku, dan bukanlah aku termasuk
orang-orang yang mengada-adakan. Al Quràn ini tidak lain
hanyalah peringatan bagi semesta alam.”. [QS Shad : 86-87]
Larangan-larangan yang disebutkan oleh hadiats bahkan
sampai tingkat ancaman. Beberapa contoh haditsnya seperti;
1. Dari Abu Darda’ Radhiyallahu 'anhu, bahwa Rasulullah
Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
"Barangsiapa mengambil sebuah busur sebagai upah dari
mengajarkan Al Quràn, niscaya Allah akan mengalungkan
kepadanya busur dari api neraka pada hari Kiamat". [Hasan
lighairihi, diriwayatkan oleh Ibnu ‘Asakir dalam kitab Tarikh
Dimasyq (II/427), Al Baihaqi dalam Sunan-nya (VI/126) dari jalur
Utsman bin Sa’id Ad Darimi, dari Abdurrahman bin Yahya bin

5
Da’wah Jalan Kami
Isma’il bin Ubaidillah, dari Al Walid bin Muslim, dari Sa’id bin
Abdul ‘Aziz, dari Ismail bin Ubaidillah, dari Ummu Darda’
Radhiyallahu 'anha)
2. Diriwayatkan dari ‘Ubadah bin Ash Shamit Radhiyallahu
'anhu, ia berkata:
“Aku mengajarkan Al Quràn dan menulis kepada ahli Shuffah.
Lalu salah seoarang dari mereka menghadiahkan sebuah busur
kepadaku. Kata hatiku, busur ini bukanlah harta, toh dapat
kugunakan untuk berperang fi sabilillah. Aku akan mendatangi
Rasulullah dan menanyakan kepada Beliau. Lalu aku pun
menemui Beliau dan berkata: “Wahai Rasulullah, seorang lelaki
yang telah kuajari menulis dan membaca Al Quràn telah
menghadiahkan sebuah busur kepadaku. Busur itu bukanlah harta
berharga dan dapat kugunakan untuk berperang fi sabilillah”.
Rasulullah bersabda: "Jika engkau suka dikalungkan dengan
kalung dari api neraka, maka terimalah! " [Hadits shahih,
diriwayatkan oleh Abu Dawud, Bab Abwabul Ijarah Fi Kasbil
Muallim (3416); Ibnu Majah (2157); Ahmad (V/315 dan 324); Al
Hakim (II/41, III/356); Al Baihaqi (VI/125) dan selainnya dari dua
jalur].
3. Diriwayatkan dari Imran bin Hushain Radhiyallahu 'anhu,
bahwa ia melihat seorang qari sedang membaca Al Quràn lalu
meminta upah. Beliau mengucapkan kalimat istirja’
( ‫) َّن ِهَّلِل َو ِإَّن ِإ ْي ِه َر اِج ُع ْو َن‬, kemudian berkata: Rasulullah bersabda:
‫َل‬ ‫َإ‬
"Barangsiapa membaca Al Quràn, hendaklah ia meminta
pahalanya kepada Allah. Sesungguhnya akan datang beberapa
kaum yang membaca Al Quràn , lalu meminta upahnya kepada
manusia". [Hasan lighairihi, diriwayatkan oleh At Tirmidzi (2917);
Ahmad (IV/432-433,436 dan 439); Al Baghawi dalam Syarhus
Sunnah (1183), dari jalur Khaitsamah, dari Al Hasan, dari Imran bin
Hushain Radhiyallahu 'anhu]

6
Da’wah Jalan Kami
4. Diriwayatkan dari Abu Sa’id al Khudri Radhiyallahu 'anhu,
bahwasanya ia mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam
bersabda:
"Pelajarilah Al Quràn, dan mintalah surga kepada Allah sebagai
balasannya. Sebelum datang satu kaum yang mempelajarinya dan
meminta materi dunia sebagai imbalannya. Sesungguhnya ada
tiga jenis orang yang mempelajari Al Quràn. Orang yang
mempelajarinya untuk membangga-banggakan diri dengannya,
orang yang mempelajarinya untuk mencari makan, orang yang
mempelajarinya karena Allah semata". [Hadits hasan, diriwayatkan
oleh Ahmad (III/38-39); Al Baghawi (1182); Al Hakim (IV/547) dan
selainnya dari dua jalur. Hadits ini hasan, Insya Allah. Lihat Silsilah
Ahadits Ash Shahihah, no. 258].
5. Diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu 'anhu, ia
berkata: Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam keluar menemui
kami. Saat itu kami sedang membaca Al Quràn. Di antara kami
terdapat orang-orang Arab dan orang-orang ‘Ajam (non Arab).
Beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata : "Bacalah Al Quràn.
Bacaan kalian semuanya bagus. Akan datang nanti beberapa
kaum yang menegakkan Al Quràn seperti menegakkan anak
panah. Mereka hanya mengejar materi dunia dengannya dan
tidak mengharapkan pahala akhirat". [Hadits shahih, diriwayatkan
oleh Abu Dawud (830) dan Ahmad (III/357dan 397) dari jalur
Muhammad bin Al Munkadir dari Jabir. Sanadnya shahih. Lihat
Shahih Sunan Abi Dawud, III/418 no. 783]
6. Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Syibl Al Anshari
Radhiyallahu 'anhu, bahwasanya Mu’awiyah berkata kepadanya:
“Jika engkau datang ke kemahku, maka sampaikanlah hadits yang
telah engkau dengar dari Rasulullah!” Kemudian ia berkata: Aku
mendengar Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
"Bacalah Al Quràn, janganlah engkau mencari makan darinya,
janganlah engkau memperbanyak harta dengannya, janganlah

7
Da’wah Jalan Kami
engkau anggap remeh dan jangan pula terlalu berlebihan ."
[Hadits shahih, diriwayatkan oleh Ath Thahawi dalam Musykilul
Atsar (4322) dan Ma’anil Atsar (III/18); Ahmad (III/428 dan 444)
dan Thabrani dalam Mu’jamul Ausath (III/273 no. 2595) dari jalur
Yahya bin Abi Katsir, dari Zaid bin Salam, dari Abu Sallam, dari
Abu Rasyid Al Habrani, dari Abdurrahman bin Syibl Al Anshari.
Sanad tersebut shahih dan perawinya tsiqah].
Hadits-hadits di atas, selain berbicara tentang ancaman, ada
pula yang berbicara tentang prediksi. Prediksi yang Nabi
sampaikan di atas juga mengindikasika dua hal; pertama, hal itu
pasti akan terjadi dan kita hari ini sudah melihatnya secara jelas.
Kedua, prediksi yang mengandung berita bahwa mengambil upah
dari al Qur’an adalah tercela.

Penutup
Hadits-hadits di atas sepatutnya menjadi renungan kita
bersama. Kalaupun ada yang membolehkan menerima upah dari
kegiatan da’wah, hal yang harus diperhatikan tentunya adalah
kebersihan hati. Bagi penganut ”bolehisme”, tentu saja pilihan
yang paling enak jatuh kepada bolehnya menerima imbalan
dalam da’wah. Tapi ternyata yang terjadi tidak sekedar boleh atau
mubah. Yang terjadi malah menjadikan kegiatan-kegiatan itu
sebagian dari ma’isyah (mata pencaharian). Untuk yang ini, saya
yakin tidak seorang ulama’pun menyetujuinya. Kecuali jika rasa
malu telah hilang dari dirinya.
Marilah kita contoh para da’i yang kini sedang membina
ummat di daerah-daerah terpencil di pedalaman. Apakah ada ?,
jelas-jelas ada. Da’i Dewan Da’wah menyebar diseluruh pelosok
nusantara dan sebahagian bersar terkonsentrasi di wilayah-
wilayah terpencil dan terisolasi. Demikian pula da’i-da’i ormas
Hidayatullah. Mereka juga mengambil seting yang tak jauh
berbeda. Masuk keluar hutan membina masyarakat dusun yang

8
Da’wah Jalan Kami
butuh siraman agama. Lantas apakah mereka mendapatkan upah
melimpah sebagaimana da’i-da’i di perkotaan ?. Semoga menjadi
renungan. Wallahu A’lam bishawab.

9
Da’wah Jalan Kami

Anda mungkin juga menyukai