Relativitas Kejahatan
Kejahatan didefinisikan oleh masyarakat dan negara, oleh karena itu hanya sedikit tipe
tingkah laku manusia disebutkan sebagai kejahatan di sepanjang masa dan oleh seluruh
kelompok masyarakat. Hanya ketidakloyalan – treason (pengkhianatan) dalam kelompok
tertentu dan incest (persetubuhan dalam keluarga) yang memberikan status sebagai
kejahatan universal.
Banyak kejahatan dianggap sebagai kejahatan oleh sebagaian besar masyarakat
modern seperti pembunuhan, pencurian dan pembakaran, tetapi pemikiran seperti tida dari
berbagai sudut pandang – relatif terhadap waktu, tempat, orang dan berbagai keadaan
yang terlibat. Hanya tindakan-tindakan tertentu disebut kejahatan karena secara effektif
diberi label demikian. Setiap masyarakat cenderung untuk menentukan perbuatan mana
yang ditakutkan akan mencederai strukturnya.
Dalam hal ini label kriminal oleh negara theokratis jelas ditekankan kepada
norma tingkah laku yang dikaitkan dengan aspek-aspek religius. Dalam negara dengan
rezim totaliratian melarang perbedaan pandangan politis dan dalam masyarakat
kapitalis dibentuk berbagai ketentuan yang ditujukan kepada perlindungan
kepemilikan privat.
Bukan hanya definisi kejahatan berbeda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain,
tetapi setiap orang, pengaturan dan penegakan ketentuan legal bisa jadi relatif kepada
kebutuhan dan keadaan masyarakat tertentu. Seperti misalnya: pencurian kuda
merupakan kejahatan berat di frontier Amerika. Aborsi dan upaya artifisial pengaturan
kelahiran merupakan pembatasan legal pada masa kelangkaan penduduk tetapi pembatasan
itu secara perlahan menghilang pada saat kelebihan penduduk. Di samping itu kebanyakan
pembatasan legal dalam fungsi tingkah laku untuk melindungi kehidupan, milik atau
ketertiban sosial, antara lain akibat adanya berbagai taboo moral dan religi yang biasa
disebut “blue laws”, misalnya larangan penjualan barang tertentu di hari Minggu dianggap
lebih melayani fungsi religi dibandingkan sosial.
Di samping itu, banyak ahli kriminologi mempertanyakan pengaturan melawan
“kejahatan tanpa korban” yang mereka katakan tidak membahayakan siapapun (with the
possible wxception of the participants themselves) – seperti hubungan homoseksual mau
sama mau antara orang dewasa atau pelacuran. Penelitian menunjukan upaya untuk
mengontrol moral pribadi ternyata mendorong kepada kejahatan selanjutnya (secondary
crime) seperti pemerasan, penyuapan dan kejahatan terorganisir.
Kejahatan lanjutan ini dapat menimbulkan ancaman yang lebih besar terhadap
stabilitas masyarakat dibandingkan “kejahatan tanpa korban” yang dilarang dan
ditentukan aturan hukumnya – originally prohibited. Upaya di tahun 1920-an untuk
menghilangkan penjualan minuman alkohol di AS mengilustrasikan dampak yang berbahaya
dari usaha untuk melegalkan moral individual.
Ahli kriminologi mendapatkan adanya kebutuhan segera masyarakat untuk
mempolisikan dirinya sendiri dan menegakan hukum-hukumnya tetapi apda saat yang sama
menyatakan bahwa pencegahan kejahatan tergantung terutama kepada pengertian mengenai
sebab terjadinya kejahatan. Bagi masyarakat pada umumnya, kejahatan adalah ancaman
terhadap individu yang membutuhkan perlindungan polisi dan tanggapan serta penuntutan
terhadap para penjahat. Para kriminolog mempelajari secara mendalam tingkah laku kriminil,
dan para sosiolog mempunyai asumsi dasar bahwa hampir semua tingkah laku adalah tingkah
laku yang dipelajari. Oleh karena tingkah laku kriminal begitu berbeda dari satu kelompok ke
kelompok lain, maka akar yang menyebabkannya dapat ditelusuri dari kondisi masyarakat.
Perspektif sejarah memandang bahwa penanganan kejahatan dapat juga dilihat
sebagai fungsional dalam arti kata ilustrasi dari perawatan norma sosial. Karena penahanan,
pengadilan dan penjatuhan hukuman dipublikasikan secara luas dan dinyatakan sebagai
bagian penting dari proses pendidikan masyarakat. Dalam hal ini dapat terjadi konsekuensi
yang tidak menguntungkan ketika politisi, jurnalis dan lembaga penegak hukum kadang-
kadang menggunakan “fear of crime” untuk kepentingannya sendiri. Jurnalis Amerika
Lincoln Steffens menggambarkan bagaimana dia membentuk crime wave. Hero Hitller dan
banyak politisi oportunis telah membentuk crime wave untuk memusnahkan suatu kelompok
minoritas demi kepentingan kekuatan politik.
Sebagai besar sektor dari pelayanan publik juga dapat mengambil keuntungan dari
kejahatan. Di Amerika Serikat the President’s Commission on Law Enforcement and
Administration of Justice menunjukkan bahwa kejahatan terorganisir berkembang lebih
karena berkembangnya tuntutan akan pelayanannya. Ambivalensi publik Amerika Serikat
seperti misalnya terhadap operasi perjudian membuat penegakan hukum di wilayah tertentu
sangat sukar bahkan tidak mungkin berhasil.
Sikap masyarakat terhadap hukum dan aplikasinya merupakan sahabat tetapi juga
sebagai musuh dari kejahatan. Hal itu sangat terlihat dalam kejahatan kerah putih seperti
dalam penentuan dan penggelapan pajak. Pada kasus-kasus tersebut terjadi konflik antara
hukum dan norma sosial dari kebebasan berkompetisi. Publik tidak selalu mengharapkan atau
mampu untuk membedakan antara shrewd operators – orang curang dalam bidang bisnis
dan mereka yang membahayakan kesejahteraan masyarakat.
Kriminologi
Materi III, 20-21 Maret 2018
Klasifikasi Penjahat
Untuk menyusun klasifikasi pelaku kejahatan maka ada beberapa aspek yang dapat kita
gunakan, yakni:
1. Menurut status sosial pelaku kejahatan
Ditinjau dari aspek status sosial pelaku kejahatan maka kita akan memperoleh
klasifikasi penjahat menurut kelas sosialnya, antara lain sebagai berikut:
a. White Collar Criminal atau Elite Criminal, yaitu pelaku kejahatan yang
tergolong mempunyai status sosial tinggi dan kedudukan terhormat dalam
suatu masyarakat. Pada umumnya mereka melakukan kejahatannya dalam
rangka pelaksanaan pekerjaannya. Mereka ini antara lain para pejabat, para
pengusaha, para cendikiawan ataupun para ahli dalam berbagai bidang
pekerjaan. Para pelaku kejahatan yang mempunyai status sosial yang tinggi ini
juga dinamakan the upper class criminal atau penjahat tingkat atas. Praktek
atau kejahatan yang mereka lakukan biasanya berupa penyalahgunaan jabatan
atau wewenang, penyalahgunaan kedudukan dan profesi, atau penyalahgunaan
keahlian, dan sebagainya.
b. Lower-class Criminal, yakni para pelaku kejahatan yang tidak mempunyai
status sosial tinggi di masyarakat. Pada umumnya jenis kejahatan yang
dilakukan oleh mereka adalah yang terkait dengan motif ekonomi. Lower-
class criminal ini biasanya meliputi kejahatan jalanan (street crimes), seperti
pencopetan, perampasan, penodongan, penjambretan, penganiayaan, dan
sebagainya. Kejahatan juga biasanya termasuk jenis kejahatan yang tidak
direncanakan atau bersifat spontan. Karena sifatnya yang spontan itu, bisa saja
penjahat jalanan ini melakukan hal-hal diluar perkiraan, seperti menusuk
korbannya, bahkan juga dapat membunuh korbannya.
2. Menurut Tingkat Kerapihan Organisasi
Ditinjau dari sudut terorganisir atau tidaknya pelaku kejahatan dalam melakukan
aktivitas kejahatannya, maka akan diperoleh klasifikasi sebagai berikut:
a. Organized Criminals, yaitu para pelaku kejahatan yang tergabung dalam kejahatan
terorganisasi. Mereka melakukan tindak kejahatannya dengan menggunakan dan
menerapkan prinsip-prinsip manajemen, seperti adanya perencanaan, koordinasi,
pengarahan, dan pengawasan yang dikendalikan oleh kelompok mereka.
b. Non-Organized Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang dalam aktivitasnya
bersifat individual dan tidak terorganisasi.
3. Menurut Kepentingan Pencarian Nafkah
Ditinjau dari sudut atau kepentingan mata pencahariannya, maka dapat diperoleh
klasifikasi yang merujuk kepada:
a. Professional Criminals, yaitu para pelaku kejahatan yang telah menjadikan
kejahatan sebagai profesinya, sebagai mata pencaharian pokoknya.
b. Non-Professional Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan
kejahatan secara insidental saja. Dengan kata lain, mereka melakukan kejahatan
tidak sebagai mata pencaharian tetapi hanya didorong oleh situasi dan kondisi
tertentu pada suatu waktu, tempat, dan keadaan tertentu.
4. Menurut Aspek Kejiwaan Dari Pelaku Kejahatan
Ditinjau dari aspek kejiwaan pelaku kejahatan maka akan diperoleh klasifikasi
sebagai berikut:
a. Episodic Criminals, yakni pelaku kejahatan yang melakukan kejahatannya sebagai
akibat dorongan perasaan/emosi yang mendadak tak terkendali. Misalnya, seorang
ayah yang membunuh seorang laki-laki sewaktu ia melihat perempuannya
diperkosa oleh laki-laki tersebut.
b. Mentally Abnormal Criminals, yakni pelaku kejahatan yang jiwanya abnormal,
misalnya orang yang psikopatis.
c. Non Malicious Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan
karena menurut keyakinan mereka perbuatan tersebut bukan merupakan
kejahatan. Misalnya seorang pengikut aliran sesat dari kepercayaan tertentu yang
melakukan hubungan seks bebas sesama anggota aliran itu karena mereka percaya
bahwa mereka harus saling mengasihi meskipun tidak terikat oleh perkawinan.
5. Menurut Aspek Kebiasaan Dilakukannya Kejahatan
Ditinjau dari segi kebiasaan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan maka dapat
diperoleh klasifikasi sebagai berikut:
a. Habitual Criminals, yakni orang yang melakukan kejahatan, baik dalam arti
yuridis maupun dalam arti kriminologis, secara terusmenerus sebagai kebiasaan.
Misalnya seorang pelacur, pemabok, penjudi, dan sebagainya.
b. Non-Habitual Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan
bukan karena kebiasaannya tetapi ditentukan oleh kondisi dan situasi tertentu.
6. Menurut Aspek Tertentu Dari Sifat Perbuatannya
Ditinjau dari beberapa aspek yang terkait dengan sifat perbuatan jahat yang dilakukan
oleh pelaku atau penjahat maka diperoleh klasifikasi sebagai berikut:
a. Casual Offenders, yakni orang-orang yang melanggar ketertiban masyarakat.
Misalnya orang yang melanggar jam malam, mengadakan pesta tanpa ijin dan
sebagainya. Sebenarnya perbuatan-perbuatan semacam ini ditinjau dari sudut
yuridis bukanlah termasuk sebagai kejahatan.
b. Occasional Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan
ringan. Misalnya, mengendarai kendaraan bermotor dan menabrak orang yang
mengakibatkan luka ringan, atau melanggar lampu lalu lintas.
c. Smuggler, yaitu penyelundup. Penyelundup ialah orang yang memasukkan atau
mengeluarkan sesuatu (biasanya barang, tetapi dapat juga orang/manusia) dari
atau ke luar negeri tanpa ijin dari pemerintah/yang berwajib (illegal importer dan
Illegal exporter).
7. Menurut Umur Dari Pelaku Kejahatan
Ditinjau dari segi umur pelaku kejahatan maka diperoleh klasifikasi sebagai berikut:
a. Adult Offenders atau Adult Criminal, yakni para pelaku kejahatan yang
berdasarkan ketentuan hukum dari suatu masyarakat termasuk golongan orang-
orang yang telah dikategorikan sebagai orang dewasa.
b. Juvenile Delinquent atau Juvenile Offenders, yakni para pelaku yang melakukan
kejahatan atau perbuatan-perbuatan anti sosial lainnya yang berdasarkan ketentuan
hukum dari suatu masyarakat termasuk golongan anak-anak atau remaja.
Ukuran orang yang dianggap dewasa atau masih tergolong anak-anak dan atau
remaja dalam aturan hukum di berbagai negara tidaklah sama. Di Indonesia,
ukuran usia atau umur pelaku kejahatan diatur pada Pasal 45 KUHP yang
menyatakan bahwa orang yang belum dewasa adalah mereka yang berumur di
bawah 16 tahun. Sedangkan mereka yang telah berumur 17 ke atas dikategorikan
sebagai orang dewasa, sehingga apabila orang yang dikategorikan sebagai orang
dewasa ini melakukan pelanggaran hukum, maka sanksi yang akan diberikan itu
didasarkan pada hukum atau ketentuan untuk orang dewasa.
Kriminologi
Materi IV, 27-28 Maret 2018
TEORI KEJAHATAN
Setiap orang mempunyai teori tentang kejahatan. Meskipun sebelum anda membaca satu
kata saja dalam tulisan ini atau tulisan lain tentang kejahatan, anda pasti sudah mempunyai
berbagai pemikiran mengenai pertanyaan apa yang penting untuk ditanyakan, seperti
pertanyaan, Mengapa begitu banyak terjadi kejahatan? Siapa yang melakukan kejahatan dan
mengapa? Apa pengaruh yang diberikan kelompok teman sebaya? Apa hubungan antara
kejahatan dengan situasi ekonomi, keluarga, psikologi, umur, ras, atau pendidikan para
penjahat? Mengapa beberapa negara mempunyai kejahatan lebih sedikit atau lebih banyak
dibandingkan negara lain? Apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejahatan? Apa cara
yang efektif untuk menangani penjahat?.
Berbagai pertanyaan itu kelihatannya jelas untuk ditanyakan meskipun jawabannya
belum tentu jelas. Betapapun, meskipun kejahatan telah ada selama ribuan tahun, baru pada
abad ke delapan belas orang mulai memikirkannya secara sistematis. Para ahli filsafat jauh di
masa Yunani kuno telah menulis tentang hukum. Tetapi mereka tidak secara spesifik
menaruh perhatian terhadap hukum pidana dan mereka mengabaikan pertanyaan tentang
kejahatan itu sendiri, apa yang menyebabkannya dan bagaimana mengatasinya.
Selama berabad-abad sedikit sekali orang membuat catatan mengenai teori yang
dipikirkannya tentang kejahatan. Betapapun, meskipun mungkin kita tidak mengetahui persis
apa pemikiran mereka tentang kejahatan, dari catatan sejarah kita mengetahui apa yang
dilakukan mereka, sehingga dengan mengamati apa yang mereka lakukan, kita dapat
membangun berbagai pemikiran yang menginspirasi mereka. Misalnya, pada abad
pertengahan, suatu sengketa pidana mungkin diselesaikan melalui peradilan dengan adu fisik
atau pertarungan, di mana tertuduh dan penuduh bertarung hingga mati. Dengan perkiraan,
oleh karena Tuhan tidak akan membiarkan seorang pembohong menang, siapapun yang benar
maka akan menang. Pada beberapa kasus, pengadilan memutuskan kesalahan dengan
pengadilan berbasis siksaan, di mana tertuduh dapat membuktikan dirinya tidak bersalah
dengan mengatasi beberapa ujian. Salah satu ujian misalnya, siksaan air dingin, seorang
pendeta akan mensucikan air dan tertuduh akan diikat dan dimasukkan ke dalamnya. Air
yang disucikan tidak akan mau menerima seseorang yang bersalah, oleh karena itu seseorang
yang bersalah akan didorong ke atas oleh air itu. Artinya seseorang yang mengambang
tentunya bersalah dan yang tenggelam tidak bersalah.
Karena proses peradilan pidana bergantung kepada tanda-tanda supernatural mengenai
bersalah dan tidak bersalah, kita dapat memperkirakan bahwa orang-orang – paling tidak
yang menjalankan pengadilan – berpendapat bahwa kejahatan disebabkan oleh kekuatan
supernatural. Penjahat terlepas dari rahmat Tuhan dan dipengaruhi oleh setan. Yang
berwewenang pastilah menggunakan teori tersebut untuk mengaitkan kejahatan dengan
pertenungan, tetapi mereka mungkin saja menerapkan hal ini juga pada berbagai kejahatan
yang lain. Pemikiran bahwa kejahatan pada dasarnya merupakan masalah spiritual juga
tercermin dalam penyiksaan – yang tidak hanya merupakan cara efektif untuk mendapatkan
pengakuan; penyiksaan juga dianggap berguna untuk menyelamatkan jiwa, yang jauh lebih
penting daripada tubuh. Untuk kebaikan tertuduh, tubuhnya harus dibersihkan betapapun
sakitnya, untuk menyelamatkan jiwanya.
Seperti perlakuan terhadap tertuduh, hukuman terhadap kesalahan pada berbagai waktu
dan tempat lain dapat juga terlihat tidak rasional dan sangat kejam bagi kita. Apabila kita
amati rincian diskripsi mengenai penyiksaan dan metode eksekusi pada masa itu, kita
mungkin mempunyai tiga reaksi yang berbeda. Pertama, perasaan sangat ngeri dan terkejut
terhadap kekejaman yang mampu dilakukan orang. (Tentu saja, kita tidak seharusnya terkejut
karena kita tahu bahwa penyiksaan masih terjadi hingga saat ini, bahkan dilakukan oleh orang
‘terdidik’ dan dalam masyarakat ‘modern’). Kedua, kita membayangkan bahwa mungkin ada
penjelasan yang rasional dari praktik itu; mungkin orang percaya bahwa penyiksaan dan
penghukuman di depan publik akan mencegah orang lain melakukan kejahatan. Ketiga, kita
percaya bahwa kekejaman seharusnya mempunyai dasar pemikiran yang melewati pemikiran
rasional karena transformasi dan perusakan tubuh sering berlanjut jauh setelah korban itu
meninggal. Kadang-kadang perlakuan itu begitu aneh/asing sehingga sukar untuk
membayangkan apa pemikiran yang ada di baliknya. Sebagai contoh, di Eropa pada abad
pertengahan, hukuman semacam itu juga dilakukan terhadap binatang yang dianggap
melakukan kesalahan. Seekor babi yang membunuh seorang anak, mungkin akan dibawa ke
pengadilan, dan jika dinyatakan bersalah, dijatuhi hukuman gantung, dipotong anggota
tubuhnya atau dibakar hidup-hidup.
Tujuan dari penghukuman tentulah sesuatu di luar pencegahan kejahatan. Tentu saja
pembalasan dendam merupakan bagiannya, para hakim menjatuhkan hukuman mati yang
paling menakutkan untuk kejahatan yang menurut pendapat mereka paling ofensif. Mungkin
komponen lain adalah sekedar keingintahuan sadistik, seperti seorang anak yang mencabuti
sayap seekor capung, untuk memperlihatkan apa yang bisa dilakukan terhadap sebuah tubuh.
Atau mungkin dengan memancung pelaku atau memotong organ tubuh atau membakar
mereka, masyarakat melindungi dirinya terhadap kembalinya roh jahat dari yang meninggal.
Tentu saja banyak dari hukuman bersifat ritualistik dan berbasis pada kekuatan yang tak
terlihat seperti roh, setan, jiwa dan sebagainya. Di samping semua itu, terlihat ada pandangan
bahwa seseorang melakukan kejahatan karena kekuatan supernatural, tertutama yang dimiliki
oleh setan karena selama abad pertengahan dan bahkan setelahnya, banyak kejahatan yang
atasnya, pelakunya disiksa dan dihukum adalah kejahatan religius seperti penodaan agama,
bidaah dan sihir.
ketangkasan tinggi; relatif kurang peka terhadap rasa sakit; kurang merasakan
sentuhan ..... mampu cepat sembuh dari luka ......tajam terhadap kenikmatan
sensual ............ tidak punya impuls kepekaan ..........perpisahan..........ketidakhati-hatian,
yang kadang-kadang terlihat seperti keberanian dan lagi seperti kecerobohan yang berubah
menjadi sifat pengecut ...... suka bersolek: suka berjudi dan mabuk; kejam tetapi
menghanyutkan; percaya takhayul; sangat sensitif terhadap kepribadian tertentu ........
kebiasaan bertatoo; kekejaman dalam permainan, bahasa tubuh berlebihan.
Lombroso beralasan sebagai berikut: (1) Penjahat mempunyai karakteristik (implusif dan
bertatoo) demikian juga orang biadab; (2) orang biadab berada pada tingkat pertama tangga
evolusi; (3) oleh karena itu, penjahat juga secara evolusioner tentu terlempar kembali ke sana.
Para penjahat paling tidak yang atavis pada dasarnya biadab yang karena kecelakaan alamiah
terlahir di abad ke sembilan belas di Eropa.
Pada titik ini anda mungkin bertanya. Apabila Lombroso dengan pemikirannya mengenai
dagu dan telinga penjahat, adalah bapak kriminologi, apa yang dapat kita harapkan dari
kriminolog generasi berikutnya? Tetapi hal yang penting dari Lombroso terletak bukan pada
kekhususan teori atavisnya. Faktanya teorinya dikritik begitu muncul, dan hingga
kematiannya di tahun 1909 hanya sedikit orang yang mempercayainya. Kita sekarang
mengetahui kesalahan dasar dari teori Lombroso: Manusia Itali di abad ke 19 – penjahat
ataupun bukan – secara biologis tidaklah mungkin berkembang, banyak ataupun sedikit
dibandingkan manusia di waktu atau tempat lain seperti yang telah dibaca oleh Lombroso.
TIPE TUBUH
Pemikiran bahwa bentuk fisik mencerminkan kepribadian mengambil pendekatan
berbeda di tahun 1940an dengan tehnik somatotype. William Sheldon seorang doktor dan
pengikut Hooton, mengembangkan sebuah skema untuk mengklasifikasi manusia
berdasarkan bangunan tubuhnya. Teori somatotype berpegang bahwa ada tiga tipe bentuk
dasar manusia – endomorphic, mesomorphic, ectomorphic – masing-masing terkait kepada
tipe temperamen tertentu.
- Endomorphic, tubuh lembut dan bundar; extrovert, temperamen santai
- Mesomorphic, berotot, tubuh atletis, aktif, temperamen agresif
- Ectomorphic, langsing, tubuh bertulang kecil, introvert, temperamen
sensitif.
Setiap manusia mempunyai kombinasi dari ketiga karakteristik tersebut. Yang penting adalah
proporsinya (atau profil somatypenya), yang beraneka dari orang satu ke orang yang lain.
Dalam risetnya tentang kejahatan, Sheldon membandingkan profil somatype dari 200 remaja
nakal dengan 200 remaja sekolah menengah, dan dia mendapati bahwa remaja nakal rata-rata,
lebih banyak mesomorphic dan sangat sedikit ectomorphic dibandingkan kelompok kontrol
koleganya itu.
Mungkin ada validitas dari hasil Sheldon. Kelompok remaja nakal mungkin saja lebih
banyak bertipe mesomorphic dan hanya sedikit yang kurus, tipe nervous. Betapapun,
beberapa aspek dari riset Sheldon diragukan implikasinya terhadap studi tentang kejahatan.
Pertama, Sheldon menggunakan definisi remaja nakal yang aneh. Bukannya mengukur
jumlah atau keseriusan kejahatan, ia bahkan mendefinisikan kenakalan sebagai “ tingkah laku
mengecewakan diluar harapan yang logis”. Kedua, Sheldon menyatakan bahwa tipe tubuh ini
tidaklah unik bagi penjahat. Dia mendapatkan perlakuan yang sama di kalangan pedagang
dan politikus (persamaan di kalanganan pedagang, politikus dan penjahat kelihatannya
bukanlah suatu kebetulan). Ketiga, Sheldon juga berkeyakinan sama dengan orang lain,
kembali kepada Lombroso bahwa penjahat adalah “ organisme manusia yang inferiour” dan
inferioritas ini terletak berbasis pada keadaan fisik orang tersebut. Jelas bahwa sesorang tidak
akan mendapatkan karakter fisik ini dengan mempelajarinya; dia lahir dengan keadaan itu
sebagai implikasinya, tingkah laku inferior yang dipunyai mereka, tentu sudah menjadi
bagian dari bentuk tubuhnya. Dengan perkataan lain, lebih dari tujuh puluh tahun setelah
teori Lombroso tentang atavisme pertama kali muncul dicetak, beberapa ilmuwan sosial
masih saja berbicara tentang “lahir sebagai penjahat”.
Kriminologi
Materi IV, 3-4 April 2018
SEMUA DALAM KELUARGA Selama empat puluh tahun terakhir sebagian besar
riset biological diabaikan dalam arus utama kriminologi. Pada tahun 1950an pandangan
dominan dalam ilmu tingkah laku – sosiologi, psikologi dan antropologi – memutuskan untuk
melawan uraian biologis tentang tingkah laku. Ideologi yang umum berlaku menganut
pendapat bahwa semua tingkah laku itu dipelajari dan bukan didapat sejak lahir dan bahwa
faktor lingkungan ditekankan sejauh-jauhnya sebagai pengaruh terbesar pada tingkah laku
manusia. Betapapun, ada sedikit peneliti yang terus mencari faktor biologis pada kejahatan.
Sebagian dari mereka sebagaimana kita lihat, mengejar biologi kejahatan dengan
menggunakan metode klinis tradisional (seperti laboratorium), menganalisa contoh darah.
Tetapi peneliti berorientasi biologis yang lain memilih pendekatan epistemologi yaitu
mempelajari distribusi kejahatan seolah-olah suatu penyakit dan menggunakan metode ilmu
pengetahuan sosial. Alih-alih mencari elemen biologi khusus (seperti testoteron) yang
mungkin berkaitan dengan kejahatan, para peneliti ini hanya mencoba memperlihatkan
bahwa tingkah laku dan kepribadian memang mempunyai dasar biologis dan diturunkan,
meskipun kita mungkin tidak tahu faktor spesifik yang terlibat.
Sebagian besar riset ini mencoba menghubungkan kesamaan biologis dengan kesamaan
tingah laku. Apabila ada faktor genetik dalam kejahatan, makin besar kesamaan biologis
antara dua orang, akan lebih besar kesamaannya dalam kejahatan. Misalnya, orang dalam
keluarga yang sama secara biologis akan sama satu dengan yang lain dibandingkan yang
bukan anggota keluarga. Jadi kita mungkin dapat melihat catatan kejahatan sesama saudara.
Apabila seseorang mempunyai catatan kejahatan apakah saudaranya juga punya? Tentu saja
anda akan segera melihat masalah di sini. Meskipun bersaudara itu sama-sama mempunyai
catatan kejahatan, penyebab dari kesamaan tersebut dengan mudah dapat disebutkan baik
karena lingkungan maupun keturunan. Mereka mewarisi materi genetik yang sama, tetapi
mereka mungkin juga dibesarkan dalam lingkungan yang sama. Bagaimana kita mengetahui
yang mana penyebab sebenarnya dari kesamaan dalam kejahatan itu?.
KEMBAR - FRATERNAL DAN IDENTIK Ada dua strategi umum riset untuk
menguraikan simpul dari lingkungan dan keturunan. Metode pertama membandingkan
pasangan kembar fraternal dengan pasangan kembar identik. Fraternal atau dizygotic (DZ),
kembar disebabkan oleh karena dua telur terpisah dibuahi pada saat yang sama. Secara
genetik mereka tidak berbeda dengan dua telur terpisah yang dibuahi pada waktu berbeda,
nah itulah, kembar fraternal tidak berbeda secara genetik, mereka seperti kakak beradik
biasa. Mereka berbagi sekitar separuh gennya. Betapapun pada beberapa kasus sebuah telur
yang telah dibuahi memecah diri menjadi dua embrio dan berkembang menjadi indentikal
atau kembar monozygotik (MZ). Mereka berbagi semua materi gen, dan itulah mengapa
kembar identikal selalu mempunyai seks sama sedang kembar fraternal mungkin berbeda.
Para peneliti telah mencari derajat kesesuaiannya atau concordance antar para kembar
dari ke dua tipe. Umumnya, mereka menemukan kesamaan kejahatan yang lebih besar antara
kembar identik dibandingkan kembar fratenal. Misalnya, sebuah studi Denmark terhadap
3.500 pasangan kembar menemukan kesesuaian untuk kembar MZ lebih dua kali lipat dari
kembar DZ. Apabila seorang kembar MZ mempunyai catatan kejahatan, yang lain
mempunyai kemungkinan 52 persen untuk juga mempunyai catatan kejahatan. Untuk kembar
DZ, angkanya hanya 22 persen. Terlihat bahwa kembar MZ dibesarkan dalam lingkungan
yang sama dengan kembar DZ, sehingga kesamaan yang lebih kuat harusnya disebabkan oleh
karena kesamaan genetik yang lebih kuat. Tentu saja, faktor lain pasti juga memainkan peran
karena bahkan di antara kembar identikal MZ, hanya setengah pasangan yang mempunyai
kesesuaian.
ORANG TUA DAN ANAK Strategi kedua adalah melihat kesamaan kejahatan antara
orang tua dan anak, apabila ada komponen genetik terhadap kejahatan, maka akan dialirkan
dari orang tua kepada anak dengan material genetik yang lain. Sekali lagi di sini, kita
menghadapi masalah mengurai keturunan dengan lingkungan. Apabila kita menemukan anak
meniru orang tua dalam kejahatan, sebabnya mungkin sifat genetik yang dialirkan, tetapi juga
dapat disebabkan oleh berbagai faktor sosial. Anak mungkin mengambil cara orang tuanya
melalui peniruan. Kalau begitu, bagaimana kita mengetahui sejauh mana kesamaan itu adalah
biologikal dan sejauh mana sosial?
Suatu cara memisahkan keturunan dengan lingkungan adalah dengan mempunyai dua
pasangan orang tua yang terpisah, satu untuk keturunan dan yang lain untuk lingkungan, dan
kemudian dilihat pada siapa anak mempunyai kesamaan. Tentu saja kita tidak dapat dengan
sengaja melakukan percobaan seperti itu, tetapi seperti yang anda sudah ketahui, sesuatu yang
sangat dekat dengan percobaan seperti itu sudah tersedia: adopsi. Yang perlu kita lakukan
adalah mencari tahu kriminalitas dari orangtua adopsi, orang tua biologi dan anak itu sendiri.
Tabel 10-1 memperlihatkan hasil dari studi dari anak laki-laki yang diadopsi dan orang
tuanya di Denmark.
Tabel 10-1
Kriminalitas anak laki-laki – sons
Apakah orang tua adopsi Apakah orang tua biologi kriminal?
keriminal?
Tidak Ya
Tidak 13,5% (dari 2.492) 20,0% (dari 1.226)
Ya 14,7% (dari 204) 24,5%(dari 143)
Sumber: hal 320
Pertama lihatlah kolom dalam tabel. Membesarkan anak dalam rumah yang kriminal hanya
berdampak sedikit perbedaan 1,2 atau 4,5 persen, tergantung pada kriminalitas orang tua
biologis. Betapapun dengan membaca baris, dapat anda lihat bahwa dampak dari orang tua
biologis jauh lebih besar (dalam studi ini ‘kriminal’ berarti pernah dijatuhi hukuman sekali
atau lebih. Kejahatan orang tua adopsi biasanya hanya sekali dijatuhi hukuman; kejahatan
orang tua biologi sering kali dua kali atau lebih dijatuhi hukuman).
URAIAN BIOLOGIS TENTANG KEJAHATAN: METODE, KEGUNAAN DAN
IDEOLOGI
Studi tentang kembar dan adopsi ini, seperti riset biologis lain yang disebutkan dalam
bab ini telah menerima banyak kritik. Kritik menunjukkan bahwa dalam studi tentang adopsi,
perbedaan antara kelompok sangat kecil; bahwa inti dari studi yang menggunakan hanya ayah
dan bukan kedua orang tua, memperlihatkan tidak ada perbedaan signifikan; dan para peneliti
harus selalu menyesuaikan sampelnya hingga mereka menemukan hubungan yang diinginkan
antara orang tua biologis dan anak.
Meskipun kita menyetujui bahwa studi biologis akurat, kita masih harus
mempertanyakan interpretasi dan kegunaannya. Tak seorangpun, bahkan para kriminolog
yang paling berorientasi biologis, mengklaim bahwa faktor biologi atau genetik secara
absolut menyebabkan kejahatan. Apalagi, bukankah banyak orang dengan testoteron tinggi
atau serotonin rendah atau faktor lain yang bisa dikaitkan dengan kejahatan, tetap tidak
menjadi penjahat. Sebaliknya, beberapa kriminolog mengatakan bahwa faktor-faktor ini
mempredisposisi seseorang kepada kejahatan. Apakah kecenderungan itu mengambil bentuk
kejahatan atau disalurkan pada tujuan nonkriminal tergantung kepada berbagai kekuatan
sosial.
Mungkin lebih mudah untuk melihat gambaran interaksi antara biokemikal dan faktor
sosial dengan melihat bukan kepada hormon atau bahan kimia lain yang diproduksi di dalam
badan tetapi dengan melihat bahan kimia yang lebih familiar yang diproduksi di luar yang
dimasukkan orang dalam tubuhnya – bahan kimia seperti kokain, amphetamin, PCD
(phencylidine, atau bubuk malaikat) dan alkohol. Jelas bahwa bahan-bahan ini memproduksi
perubahan bahan kimia yang mempengaruhi cara seseorang merasa dan bertingkah laku
(apabila tidak, semua itu tidak akan semahal itu) dan juga jelas, semua itu memainkan peran
penting dalam kejahatan dan kekerasan. Kita dapat mengatakan bahwa semua itu
mempredisposisi orang terhadap kejahatan, meskipun semua itu tidak mempengaruhi setiap
orang secara sama. Lebih penting lagi, meskipun obat-obatan meningkatkan agresifitas atau
perasaan anti sosial seseorang, orang itu mungkin tercegah untuk melakukan apa yang
dirasakannya itu karena moralnya atau karena pengaruh orang lain dalam situasi itu.
Oleh karena itu, debat mengenai biologi dan lingkungan (atau ‘nature’ dan ‘nurture’)
sebenarnya lebih kepada masalah penekanan. Sebagian besar peneliti setuju bahwa faktor
biologi memainkan bagian kurang penting dalam kriminalitas. Bahkan Lombroso
menyatakan bahwa dua pertiga penjahat secara biologis tidaklah berbeda dengan yang bukan
penjahat. Baru-baru ini Sarnoff Mednick seorang biolog terkemuka Amerika melakukan riset
mengenai kejahatan mengatakan “Faktor sosial sangat lebih penting dalam etiologi (sebab)
kejahatan dan semua orang tahu akan hal itu, terutama para biolog”
Sebagai tambahan, teori biologi mempunyai relevansi terbatas; mereka dapat menolong
untuk menjelaskan perbedaan individual, tetapi hampir tak ada gunanya dalam menjelaskan
fakta sosial mengenai kejahatan, seperti misalnya perubahan besar dalam angka kejahatan.
Biologi dari gen dan keadaan genetik dari penduduk tidaklah berubah. Sensus gen di AS di
tahun 1970 pada dasarnya sama dengan di tahun 1960, meskipun selama dekade itu angka
kejahatan berlipat dua kali. Ada sesuatu yang berubah, yang jelas bukan biologi.
Akhirnya, teori biologi merupakan isu politik. Tujuan politis dari teori biologis dimulai
dengan klaim bahwa pemikiran biologi mengalihkan perhatian dari sumber sosial kejahatan.
Pertama, apabila kejahatan adalah masalah warisan biogenetik, kita tidak lagi harus kuatir
tentang kemiskinan, ketidaksetaraan, hubungan ras, atau semua masalah berkaitan dengan
reformasi sosial. Kedua, kritik takut bahwa sebagian orang akan mengambil teori biologis
untuk mengartikan bahwa individu dan kelompok tertentu adalah inferior. Asumsi biologis,
apakah melalui studi mutahir ataupun tulisan dari Lombroso, adalah bahwa orang berbeda
dalam keadaan dasar biologisnya dan perbedaan ini mungkin diwarisi. Orang yang
merupakan penjahat, mungkin secara biologis dan moral inferior. Bagaimanakah apabila kita
menerapkan pemikiran ini tidak saja kepada penjahat sebagai individu tetapi juga kepada
angka kejahatan? Misalnya, apabila angka kejahatan tinggi di antara orang miskin,
mungkinkah itu berarti bahwa orang miskin secara biologis inferior?
Pertanyaan semacam itu akan makin kontroversial apabila dikaitkan dengan perbedaan
rasial dalam kejahatan. Orang Amerika keturunan Afrika hari ini, Orang Amerikan keturunan
Italia se abad yang lalu, orang Irlandia di Inggris – semua kelompok ini mempunyai angka
kejahatan tinggi dibandingkan mayoritas penduduk yang lain. Apalagi, kelompok rasial atau
etnik ini tidak seperti kelas sosial yang berbeda, mungkin mempunyai perbedaan biologis dari
mayoritas penduduk. Mereka punya bentuk fisik yang berbeda, yang diturunkan secara
genetik dari orang tua kepada anaknya. Pertanyaannya adalah apakah sifat moral atau tingkah
laku juga bagian dari warisan biogenetik. Saat ini, tidak ada biolog bertanggung jawab yang
mau mengklaim bahwa suatu kelompok ras secara moral superior atas dasar warisan
biologisnya, tetapi beberapa biolog memang mengklaim bahwa mungkin ada komponen
biogenetik dalam kriminalitas. Para pengritik takut bahwa pemikiran itu dapat menjurus
kepada kekerasan. Beberapa kekejaman yang paling parah dalam sejarah disebabkan oleh
pemikiran mengenai inferioritas rasial.
Sedikit orang bahkan pengriktik yang paling keras, bener-benar percaya bahwa teori
biologis kejahatan dapat menuju kepada persaingan atau sesuatu yang menyamai
pembunuhan jutaan orang yang ‘inferior secara rasial’ dibawah naziisme atau perbudakan.
Tetapi sebagian orang memang takut bahkan terhadap kebijakan yang tidak terlalu ekstrem
yang dapat muncul karena pemikiran itu. Kebijakan ini mungkin melibatkan penggunaan
informasi biologis untuk menentukan bagaimana perlakuan yang diterima seorang penjahat.
Seorang penjahat, yang secara biogenetik sudah diidentifikasi sebagai berisiko tinggi akan
menerima hukuman berbeda dengan yang diterima oleh mereka yang diidentifikasi berisiko
rendah. Kebijakan ini, betapapun, akan menghukum seseorang atas dasar keadaan
biogenetiknya dan bukan karena kejahatannya.
PERSPEKTIF FREUDIAN
Di luar laboratorium penelitian, psikologi datang di bawah pengaruh dari teori yang sangat
berbeda: psikoanalisa. Teori dan terapi psikoanalisa terutama merupakan kreasi Sigmund
Freud, yang pemikirannya dikembangkan dari perawatannya terhadap pasien kelas menengah
yang menderita simtom neurotik seperti phobia, tingkah laku obsesif dan histeria (yang
simtom phisiknya adalah – paralisis, anesthesia dan batuk-batuk – yang tanpa sebab phisik).
Freud sendiri hanya sedikit menulis tentang kejahatan dan penjahat, tetapi pemikirannya
memang memberikan penjelasan yang sangat umum. Freud seperti layaknya ahli tingkah
laku, percaya bahwa apa yang mencegah orang untuk melakukan kejahatan adalah kesadaran
(dan ini mungkin satu-satunya hal yang dibagi-share oleh kedua mashab tersebut). Betapapun
teori Freudian menyodorkan model psikis (pikiran atau jiwa – mind or soul) yang sangat
berbeda. Pemikiran ini melihat pikiran bukan sebagai seperangkat refleks yang dikondisikan,
tetapi sebagai struktur dengan tiga bagian. Tanpa kesadaran, orang akan dipimpin oleh Id-
bagian psikis yang melayani sebagai sebuah penyimpanan energi seksual dan agresivitas.
Ego, komponen kedua psikis, adalah bagian yang merupakan diri sendiri-the self . Ego
menangani realitas hidup sehari-hari, bernegosiasi di kehidupan nyata untuk memuaskan
keinginan instinktif dari Id. Id beroperasi dalam prinsip kenikmatan; yang dipikirkan hanya
kesenangan atau ketidakadaannya di dunia nyata saat ini. Ego harus beroperasi dalam prinsip
realitas, menunda kepuasan.
Apabila psikis hanya terdiri Ego dan Id, orang akan melakukan semua yang bisa
dilakukannya untuk memuaskan impulsnya. Betapapun, kebanyakan orang tidak melakukan
kejahatan – meskipun yang mungkin dapat diatasinya. Bahkan pemikiran itu tidak pernah
masuk dalam pikiran (kesadaran) mereka, atau apabila ada, ini disertai dengan rasa takut atau
bersalah – kepedihan hati nurani. Mekanisme yang tidak disadari yang secara otomatis
mencegah orang untuk melakukan yang terlarang ini disebut Superego. Dalam teori Freud,
superego bukanlah bagian dari keadaan asli mental seseorang; tetapi hal ini berkembang di
awal kehidupan anak-anak ketika anak menginternalisasi kehendak orang tua. Kekuatan
superego tergantung kepada hubungan antara anak dengan orang tuanya. Penjahat yang
mengabaikan aturan masyarakat, yang tidak memperlihatkan penyesalan, yang tidak peduli
atas penderitaan korban atau orang lain dalam mengejar kesenangannya sendiri – ini adalah
tipe yang cocok dengan gambaran dari supereogo yang lemah. Kejahatannya, seperti simtom
neurotik, merupakan cara simbolik untuk menangani impian dan konflik yang tidak
disadarinya dan motivasinya sangat rumit dan sering kali tidak disadari.
Menemukan pemikiran khusus mengenai ketidaksadaran yang secara simbolik
mencerminkan kejahatan mungkin menarik. Misalnya, psikiater psikoanalis yang terlatih
mungkin menemukan bahwa mencuri merupakan kompensasi simbolik dari rasa cinta yang
didambakan oleh penjahat itu yang tidak didapatkannya dari ibunya pada masa kecilnya.
Kesulitan dalam interpretasi semacam ini bukan pada keakuratannya (meskipun pemikiran
Freudian lama diserang, dan narapidana yang dirawat dengan tipe psikoterapi Freud
kelihatannya tidak menunjukkan perbaikan dan perbedaan dalam menghindari masalah
dibandingkan dengan narapidana lain). Masalah sebenarnya adalah bahwa intepretasi tidak
dapat digeneralisasi di atas kasus individual. Psikoanalisa dapat menerangkan banyak tentang
penjahat secara individual tetapi hanya sedikit tentang kejahatan.
Baik model Freudian dan model tingkah laku berusaha untuk memperlihatkan bagaimana
penjahat gagal dalam mendapatkan kesadaran. Kedua teori tersebut juga berfokus kepada
perkembangan. Keduanya mulai dengan asumsi bahwa kita semua lahir sebagai penjahat
(bandingkan dengan perkiraan Lombroso yang adalah sepertiga dari populasi seluruh
penjahat) tetapi bahwa pada tahun-tahun awal kehidupan kita, kebanyakan dari kita
mengembangkan mekanisme psikologis yang membuat kita bukan penjahat. Teori ini
merupakan upaya mulia – berusaha untuk mendefinisikan proses untuk menjadi orang
bermoral – tetapi sesuatu yang bukti konklusifnya sukar didapatkan. Kedua teori itu
membutuhkan observasi hati-hati dan sistematik mengenai interaksi sehari-hari anak dengan
orang tuanya. Semua itu juga membutuhkan pemikiran untuk mengubah pemikiran-pemikiran
khas seperti ‘internalisasi’ atau ‘penguatan-reinforcement’ menjadi bentuk khusus dari
tingkah laku yang dapat dikenali oleh setiap pemerhati-observer.
Mungkin karena teori perkembangan sangat sukar dibuktikan, teori psikologi yang lain
ditempatkan dengan kurang ditekankan kepada bagaimana seorang anak berkembang menjadi
penjahat dan lebih ditekankan kepada pencarian dari masalah ciri-ciri psikologikal dan
personal yang biasa ada di antara penjahat. Apakah ada beberapa kumpulan ciri-ciri yang
dapat diidentifikasi yang dapat membedakan penjahat dan non pejahat. Intinya, apakah ada
pikiran penjahat – criminal mind ?
“PIKIRAN KRIMINAL”
Apakah ada kepribadian kriminal?. Dibalik pertanyaan itu ada dua asumsi penting: pertama,
bahwa ‘pikiran penjahat’ berbeda dari yang pikiran normal, dan bukan penjahat; dan kedua,
bahwa perbedaan tersebut berakar sebagian besar pada cara berpikir dan bertindak yang tidak
disadari yang dapat ditemukan hanya melalui tes psikologi yang rumit/halus. Jawaban ringkas
atas pertanyaan itu adalah ‘ya’. Banyak studi yang menggunakan tes kepribadian memang
mendapatkan perbedaan antara kelompok penjahat dan kelompok bukan penjahat. Melihat
hanya pada hasilnya, kita mungkin berpikir bahwa tes tersebut mempunyai kemampuan untuk
meraba ke dalam pikiran dan mendapatkan perbedaan psikologis yang penting, untuk
mengetahui siapa yang penjahat dan siapa yang bukan, dan bahkan memprediksi siapa yang
akan melakukan kejahatan. Betapapun, ketika kita melihat lebih dekat pada tes itu sendiri,
diagnose ini sering kali muncul sebagai akibat dari proses yang jauh lebih mendalam.
KEPRIBADIAN PENJAHAT
MMPI itu obyektif dan empirik. Sebuah komputer dapat memberi skor tes itu dan membuar
diagnosa. Faktanya, apabila komputer sudah ada di tahun 1940, ia akan bisa tanpa program
yang rumit, akan dapat mengeluarkan ukuran asli sendiri. Dengan cara ini teknik MMPI
berbeda dari banyak pendekatan klinik lain yang berbasis pada observasi dan wawancara.
MMPI merupakan sebuah alat terstandar yang digunakan terutama untuk menempatkan
seseorang dalam beberapa kategori diagnostik. Sebaliknya seorang ahli klinis, mendengarkan
pasien lama dan menginterpretasikan proses pemikiran dan motivasi yang ada dibalik apa
yang dikatakan dan dilakukan pasien.
Untuk hampir tiga abad, pendekatan obyektif gaya-MMPI mendominasi studi
psikologis dari kejahatan. Betapapun, pada tahun 1978 dua orang ahli klinis Samuel
Yochelson dan Staton Samenow, mempublikasikan studi dalam dua buku yang disebut
“Kepribadian Penjahat – Criminal Personality” semua itu didasari pada wawancara panjang
dan berulang-ulang dengan 240 penjahat laki-laki, sebagian dari mereka telah dimasukkan ke
rumah sakit jiwa dengan alasan tidak bersalah atas dasar kegilaan.
Yochelson dan Samenow menyimpulkan bahwa tidak ada dari orang-orang tersebut
yang gila. Mereka tidak berhalusinasi atau mendengar suara-suara dan mereka jelas berpijak
pada dunia nyata. Artinya para ahli klinis tersebut mengabaikan banyak pemikiran
konvensional. Mereka juga mulai memulai dengan gagasan bahwa penjahat-penjahat ini
merupakan korban dari lingkungan yang rusak atau perawatan anak yang buruk, laki-laki
dewasa yang, melalui wawasan yang dicapai dalam psikoterapi, dapat merehabilitasi dirinya
sendiri untuk hidup nonkriminal. Setelah upaya keras untuk mengubah penjahat, kedua ahli
klinis tersebut menyerah atas gagasannya. Yang paling penting mereka meninggalkan
pemikiran bahwa penjahat adalah korban dari lingkungan. Sebaliknya mereka sampai pada
kesimpulan bahwa sebab kejahatan terletak seluruhnya dalam pikiran penjahat dan tidak
banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam bukunya, Yochelson dan Samenow tidak
berspekulasi pada apa yang menyebabkan seseorang sampai pada mental penjahat, tetapi
mereka memang mengatakan bahwa prosesnya berlangsung pada masa sangat awal
kehidupannya. Mereka bahkan menggunakan istilah “penjahat anak” untuk menyebutkan
penjahat di awal hidupnya. Dia bukan seorang anak yang tanpa dosa yang diabaikan oleh
teman yang jahat. Apabila ia mempunyai teman buruk adalah karena diaberusaha mebuat
yang lain seperti dia. Apabila sekolah atau orang tua menolaknya semua itu disebabkan
dialah yang pertama-tama menolak mereka.
Mereka kemudian membuat daftar 52 tipe ‘pikiran keliru’ penjahat, meskipun semua ini
kedengaran seperti karakteristik kepribadian yang dicatat oleh peneliti lain.
- Penuh ketakutan – takut ditolak, luka, dan kematian
- Superoptimis – tidak punya rasa takut sama sekali yang menguasainya saat ia
melakukan kejahatan, meski yang berisiko tinggi
- ‘Zero state’ – merasa tidak berguna, tidak ada harapan, betapun tidak seperti depresi
pada nonkriminal, ‘zero state’ ini tidak berhubungan dengan pengunduran diri tetapi
karena kemarahan.
- Marah – konstan; kadang-kadang terekspresi dan seringkali hanya di bawah
permukaan.
- Sombong – biasanya dikaitka dengan kelelakian, ketidaktergantungan, superior
terhadap orang lain
- Orientasi saat ini – tidak memikirkan konsekuensi jangka panjang
Apabila beberapa di antaranya terlihat kontradiktif (penuh ketakutan vs. superoptimis;
zero state vs. sombong), itu semua hanyalah sebuah tanda dari kualitas mengambang dari
emosi penjahat (“Saya bisa berubah dari ‘airmata’ ke ‘es’ dalam semenit”). Penjahat selalu
mengukur situasi untuk melihat apakah mereka dapat mengeksploitasinya untuk kejahatan,
dan ia juga mengambil pandangan ekspliotatif dan manipulatif yang sama terhadap orang
lain. Pikirannya didominasi oleh pemusatan pada dan memikirkan diri sendiri; meskipun dia
menuntut orang lain memperlakukannya dengan rasa hormat dan ramah, dia tidak
menghormati hak dan perasaan orang lain. Ia tidak mampu melakukan apapun yang
mendekati hubungan yang akrab dan percaya dengan orang lain. Betapapun, dia juga menjaga
kepercayaan pada dirinya sebagai orang baik, meskipun ia mampu melakukan kejahatan
brital tanpa kesadaran atau penyesalan.
Masalah dari penjelasan ini bukan pada akurasinya. Harus ada yang berlanjut ketika kita
mendapatkan kesamaan yang mencolok antara kualitas yang diuraikan di sini dan yang
didapatkan para pemerhati mengenai hal ini seabad yang lalu, kembali kepada Lombroso.
Masalahnya adalah keterwakilannya. Penjahat yang dijelaskan oleh Yochelson dan
Samenow hanya proporsi kecil dari populasi penjahat, meskipun mereka mengaku proporsi
substansial dari kejahatan (persisnya berapa kita tidak punya cara akurat untuk
mengetahuinya). Dalam setiap kasus, mereka bukan tipikal dari semua penjahat. Hanya
sedikit penjahat dihakimi tidak bersalah karena kegilaan. Penjahat ini, dikenal sebagai
psikopat atau sosiopat atau penjahat kronis adalah paling banyak 10-15 persen dari populasi
penjahat. Menurut Wolfgang adalah 18 persen dari seluruh penjahat remaja. Dari 524
penjahat menurut Robins, 243 (45 persen) adalah pencuri; di antaranya 31persen didiagnosa
sosiopat –sekitar 15 persen dari seluruhnya.