Anda di halaman 1dari 39

Kriminologi

Materi I, 27-28 Febuari 2018

Pengertian Kriminologi dan Objek Studi Kriminologi


Permasalahan kejahatan memang telah banyak menarik perhatian para ilmuwan. Mereka
tergerak untuk ikut serta mengamati dan menganalisis masalah kejahatan melalui metode
ilmiah. Kondisi kemajuan dalam bidang ilmu pengetahuan lain seperti ilmu alam, kedokteran,
dan biologi menambah peluang bagi pelacakan dan pembahasan perilaku manusia yang
menyimpang dari norma-norma hukum (pidana).
Kriminologi merupakan ilmu pengetahuan yang masih relatif muda usianya, karena baru
muncul pada permulaan abad ke-19. Hingga saat ini batasan tentang arti dan ruang
lingkupnya masih tetap diperdebatkan karena masih adanya perbedaan atau silang pendapat
yang menyangkut pengertian dan lingkup Kriminologi. Namun demikian, merujuk kepada
pengertian bahwa kriminologi adalah ilmu pengetahuan tentang kejahatan dan penjahat maka
tentunya tugas dari kriminologi tidaklah sederhana. Kriminologi, oleh karenanya, harus dapat
menjelaskan faktor-faktor atau aspek-aspek yang terkait dengan kehadiran kejahatan dan
menjawab sebab-sebab seseorang melakukan perbuatan jahat.
Dalam upaya mempelajari kejahatan maka kita perlu mengetahui faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan terjadinya perbuatan yang telah didefinisikan sebagai jahat itu. Untuk
mengetahui faktor-faktor apa yang menyebabkan munculnya perbuatan jahat maka kita juga
harus menggali pengetahuan tentang sebab-sebab mengapa seorang pelaku kejahatan
(penjahat) melakukan perbuatan jahatnya. Dengan kata lain, dengan mempelajari kriminologi
seseorang tidak hanya dapat menjelaskan masalah-masalah kejahatan tetapi juga diharapkan
akan dapat mengetahui dan menjelaskan sebab-sebab mengapa kejahatan itu timbul dan
bagaimana pemecahan masalahnya.
Menurut Sutherland (1960) yang termasuk dalam bidang kriminologi adalah proses-
proses dari pembuatan Undang-undang, pelanggaran terhadap Undang-undang tersebut, dan
reaksi-reaksi terhadap pelanggaran Undang-undang tersebut. Proses-proses tersebut
sebenarnya meliputi tiga buah aspek yang terjalin satu sama lain, yakni pembuatan undang-
undang, pelanggaran terhadap Merujuk pada tiga aspek tersebut maka Sutherland (1960)
menganggap bahwa apa yang dipelajari oleh kriminologi dapat dibagi dalam 3 (tiga) bagian
yang terkonsentrasi dalam 3 (tiga) bidang ilmu, yakni:
1. Sosiologi Hukum yang bertugas mencari penjelasan tentang kondisi-kondisi
terjadinya/terbentuknya hukum pidana melalui analisis ilmiah. Bidang ilmu ini juga
merupakan analisis sosiologis terhadap hukum.
2. Etiologi kriminal yaitu bertugas mencari penjelasan tentang sebab-sebab terjadi
kejahatan secara analisis ilmiah. Bidang ilmu ini, sebenarnya, muncul karena berbagai
dorongan ketidakpuasan para ahli hukum pidana atas kenyataan bahwa pelanggaran
hukum (pidana) masih tetap saja terjadi walaupun hukum (pidana) tersebut telah
sedemikian rupa dikembangkan untuk menangkal kejahatan.
Dengan Etiologi Kriminal ini kemudian kita sadari bahwa dalam mempelajari alasan
mengapa seseorang melanggar hukum (pidana) atau kejahatan kita harus
mempertimbangkannya dari berbagai faktor (multiple factors) tidak lagi hanya
melihat faktor hukum atau legalnya saja (single factor).
3. Penologi artinya berarti ilmu pengetahuan tentang terjadinya atau berkembangnya
hukuman, artinya dan manfaatnya berhubungan dengan upaya “control of crime”
(pengendalian kejahatan) yang meliputi upaya preventif maupun represif. Penologi
bertujuan untuk menjelaskan sejarah perkembangan penghukuman, teori-teori dan
masalah korelatif penghukuman, konteks perkembangan penghukuman dan
pelaksanaan penghukuman.
Objek studi kriminologi, menurut Mannheim, tidak saja perbuatan-perbuatan yang oleh
penguasa dinyatakan dilarang, tetapi juga tingkah laku yang oleh masyarakat (kelompok-
kelompok masyarakat) dianggap tidak disukai, meskipun tingkah laku ini tidak dilarang atau
belum dilarang oleh hukum pidana. Perubahan ini, di satu sisi, menimbulkan suatu kekaburan
mengenai objek kriminologi, tetapi sekurang-kurangnya perubahan ini juga memberikan
kepastian bahwa bentuk-bentuk penting dari tingkah laku yang bersifat anti sosial dapat
memperoleh perhatian yang cukup seksama dalam kriminologi
Kejahatan diartikan oleh Bemmelen sebagai setiap kelakuan yang menimbulkan
kegoncangan sedemikian besar dalam suatu masyarakat tertentu, sehingga masyarakat itu
berhak mencela dan mengadakan perlawanan terhadap kelakuan tersebut dengan jalan
menjatuhkan dengan sengaja suatu nestapa (penderitaan) terhadap pelaku perbuatan itu
(pembalasan). Dalam pengertian yang diberikannya tentang kejahatan tersebut, Bemmelen
juga membahas tentang pemberian hukuman bagi pelaku kejahatan, di mana pada gilirannya
masalah penjatuhan hukuman ini juga dicermati melalui bidang ilmu yang kemudian
berkembang menjadi Penologi. Pada inisiasi ini kita akan fokus pada pembahasan penologi
Kembali pada pentingnya mempelajari penologi dalam menjelaskan kriminologi, berikut ini
akan diberikan contoh uraian dari salah satu aspek yang dipelajari dalam penologi, yakni
alasan pembenaran pemberian penghukuman. Penjelasan tentang alasan pembenaran
pemberian hukuman didasarkan pada teori tentang penghukuman yang terdiri dari 5 (lima)
teori besar yakni:
1. Retribution
2. Utilitarian prevention: deterrence
3. Special deterrence: intimidation.
4. Behavioral prevention: incapacitation.
5. Behavioral prevention: rehabilitation
Penjelasan yang menyangkut peran dari salah satu bidang ilmu yang dipelajari dalam
kriminologi, yakni Penologi yang menjelaskan alasan pembenaran pemberian hukuman
sebagai salah satu aspek yang dikaji olehnya, maka kita kembali pada peran kriminologi itu
sendiri.
Merujuk pada ruang lingkup kriminologi maka jelaslah bahwa selain luasnya ruang
lingkup perhatian para kriminolog, kita juga harus menyadari begitu penting dan mulianya
tugas para kriminolog yang antara lain ikut berperan serta secara aktif dalam penyusunan
rencana-rencana pembangunan nasional. Dibandingkan dengan para dokter, ekonom ataupun
para teknokrat, maka peranan kriminolog tidaklah kalah pentingnya dalam rangka
pelaksanaan dan keberhasilan pembangunan. Peran kriminolog tentunya memberikan suatu
analisis, penjelasan dan prediksi tentang kehadiran sosok kejahatan yang apabila dibiarkan
dan terjadi berlarut-larut dan dapat menggerogoti hasil pembangunan yang telah dicapai.
Sebagai contoh, salah satu indikasi keberhasilan pembangunan adalah banyaknya sarana
kepentingan umum/fasilitas umum (fasos) yang berhasil dibangun, seperti jaringan
komunikasi (misalnya telepon umum), sarana transportasi umum, penerangan (listrik masuk
desa) dan sebagainya. Sarana kepentingan umum atau fasos itu tentunya difungsikan guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Namun apa yang dapat kita lihat dalam kehidupan
sehari-hari? Begitu banyak sarana umum umum yang dirusak oleh warga masyarakat yang
tidak bertanggung jawab, bahkan baru-baru ini sudah ada yang berani merusak pos polisi.
Perusakan itu pun didasari oleh motivasi yang bervariasi. Ada yang berusaha mengambil
keuntungan dari perbuatannya tersebut, ada yang bermotifkan dendam kepada sesuatu hingga
pada motif yang tidak jelas, hanya iseng belaka. Apa yang dapat kita kaji dari kejadian
tersebut? Tentunya adalah pengrusakan dan penggerogotan hasil pembangunan yang telah
dicapai dengan susah payah oleh perbuatan-perbuatan yang tidak bertanggung jawab.
Bagaimana mungkin kita dapat menyelesaikan persoalan ini jika tidak terlebih dahulu
mengerti dan mempelajari perbuatan destruktif tersebut dengan segala aspek yang terkait
padanya. Disinilah peran kriminolog, yang setelah mempelajari sebab-sebab dilakukannya
perbuatan jahat (kejahatan). Kriminolog dapat memberi sumbangan pemikiran, alternatif, dan
solusi sehingga perbuatan tersebut dapat dicegah. Kontribusi itu bukan saja mencegah agar
sarana umum yang telah ada tidak dirusak kembali, tetapi secara lebih luas dapat memberikan
sumbangan pemikiran tentang aspek-aspek apa saja yang harus dipertimbangkan apabila
pemerintah akan membangun sarana umum yang baru agar terhindar dari kemungkinan
perusakan.
Setelah kita membahas tentang ruang lingkup dari kriminologi maka perlu kiranya
kita secara lebih rinci membahas pula apa yang menjadi objek studi dari kriminologi itu
sendiri. Kriminologi, sebenarnya, mengacu pada penggunaan metode ilmiah di dalam studi
dan analisa tentang keteraturan, keseragaman, pola teladan, dan faktor penyebab yang
berhubungan dengan kejahatan dan penjahat dan reaksi sosial terhadap kejahatan maupun
penjahat (Sellin, 1998). Dalam pengertian ini, kriminologi tidak lagi dipahami sebagai ilmu
pengetahuan tentang kejahatan atau penjahat saja tetapi sudah merupakan ilmu pengetahuan
yang mempelajari “the world of crime” (dunia kejahatan), atau “the whole aspects of crime”
(keseluruhan aspek yang terkait dengan kejahatan). Dalam mempelajari dunia kejahatan
maka kriminologi memiliki asumsi dasar yang nmenyatakan: tidak mungkin kejahatan dapat
dipelajari tanpa mempelajari aspek-aspek yang terkait dengannya, yakni penjahat dan reaksi
sosial terhadap keduanya, baik terhadap kejahatan maupun terhadap penjahat.
Kriminologi tidak lagi dipahami sebagai ilmu pengetahuan tentang kejahatan atau penjahat
saja tetapi sudah merupakan ilmu pengetahuan yang mempelajari the world of crime (dunia
kejahatan), atau the whole aspects of crime (keseluruhan aspek yang terkait dengan
kejahatan). Secara definitif, Kriminologi dapat diartikan sebagai ilmu pengetahuan yang
mempelajari kejatan, penjahat, reaksi sosial terhadap kejahatan dan penjahat, serta kedudukan
korban kejahatan.
Mempelajari kejahatan berarti mempelajari hal-hal yang terkait dengan perbuatan
yang dilakukan oleh orang-orang tertentu di mana perbuatan tersebut adalah perbuatan yang
melanggar hukum (atau melanggar norma-norma tingkah laku sosial lainnya). Mengapa
orang-orang tertentu melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai kejahatan sementara
orang-orang lainnya tidak melakukan perbuatan tersebut, adalah suatu hal yang juga harus
dijelaskan oleh kriminologi – yang tidak terlepas dari penjelasan tentang kejahatan itu
sendiri. Reaksi sosial terhadap kejahatan dan penjahat juga merupakan faktor penting dalam
penjelasan mengapa kejahatan dapat terjadi di masyarakat dan dilakukan oleh orang-orang
tertentu.
Kita ambil contoh, pencurian misalnya. Secara sederhana kita tahu bahwa pencurian
adalah suatu perbuatan melanggar hukum (pidana dan norma-norma tingkah laku sosial)
yakni mengambil barang milik orang lain tanpa seijin atau sepengetahuan pemiliknya.
Terhadap perbuatan tersebut masyarakat akan memberikan sanksi negatif. Lalu bagaimana
dengan pencurian oleh seorang anak terhadap uang milik ibunya? Anak yang bersangkutan
bisa saja merasa bahwa dia tidak bersalah pada waktu mengambil uang milik ibunya yang
tergeletak di atas meja di mana uang itu digunakan untuk membayar taksi ataupun untuk
bekal dia pergi dengan pacarnya. Ia mungkin menganggap bahwa perbuatannya adalah
sesuatu hal yang wajar dan akan dia ceritakan kepada ibunya esok harinya, namun apapun
alasannya, anak tadi telah melakukan suatu perbuatan yang dilarang oleh undang-undang
(hukum pidana). Lalu bagaimana reaksi ibunya pada waktu dia mengetahui bahwa uangnya
telah diambil oleh anaknya tanpa meminta ijin terlebih dahulu? Apakah ibu tersebut tahu
bahwa perbuatan anaknya adalah mencuri? Bagaimanakah reaksi ibu tersebut terhadap
pencurian? Katakanlah ibu tersebut sangat membenci perbuatan mencuri, tetapi bagaimana
reaksi ibu tersebut pada waktu mengetahui bahwa yang mencuri uangnya adalah anaknya
sendiri? Ibu tersebut memang benci dengan pencurian tetapi dia tidak melakukan reaksi apa-
apa terhadap pencurinya yang dalam hal ini adalah anak kandungnya sendiri.
Apa yang bisa anda simpulkan dari contoh kasus atau ilustrasi tersebut? Reaksi sosial
terhadap kejahatan dan penjahat ternyata seringkali tidak konsisten. Sebenarnya, reaksi
terhadap kejahatan akan senada dengan reaksi terhadap penjahat. Kondisi reaksi sosial
terhadap kejahatan dan penjahat juga dapat mempengaruhi kejahatan dan penjahat itu sendiri.
Karena tidak diberikan reaksi yang negatif, besar kemungkinan si anak akan mengulang
kembali perbuatannya dan kejahatan akan dengan mudah terjadi.
Sabung Ayam di Bali. Bagian dari budaya masyarakat Bali. Inti dari budaya sabung
ayam di Bali. adalah pengorbanan pada kekuatan jahat Bhuta dan Kala untuk menghindari
kemarahannya. Jika dihadapkan dengan Hukum Nasional maka perilaku budaya ini menjadi
suatu pelanggaran hukum.
Kini kita ambil contoh yang lain. Di suatu desa di salah satu pulau di Indonesia, sebut
saja desa Murbai, marak terjadi judi sabung ayam. Orang tidak segan-segan untuk melakukan
judi sabung ayam tersebut. Anehnya, di desa sebelahnya segala perbuatan judi sangat dibenci
oleh penduduknya. Sebenarnya pula orang desa Murbai juga tidak mendukung segala
perjudian, namun judi ini tetap berlangsung karena judi sabung ayam tersebut dikoordinir
oleh aparat desa di mana sebagian pendapatan pemilik arena sabung ayam tadi diserahkan ke
kas desa untuk biaya pembangunan desa secara swadana.
Dalam ilustrasi ini tampak bahwa penduduk desa tadi tidak konsisten dalam
melakukan reaksi terhadap kejahatan dan penjahat. Mereka tidak suka judi tetapi judi sabung
ayam tetap didukung karena dianggap bermanfaat bagi pembangunan desa. Mereka juga tidak
memberikan sanksi negatif bagi pelakunya yang pada umumnya adalah orang desa tersebut.
Sekali lagi, bahwa reaksi sosial, baik terhadap kejahatan maupun penjahat, dapat berpengaruh
bagi eksistensi kejahatan itu sendiri.
Kriminologi
Materi II, 13-14 Maret 2018

Relativitas Kejahatan
Kejahatan didefinisikan oleh masyarakat dan negara, oleh karena itu hanya sedikit tipe
tingkah laku manusia disebutkan sebagai kejahatan di sepanjang masa dan oleh seluruh
kelompok masyarakat. Hanya ketidakloyalan – treason (pengkhianatan) dalam kelompok
tertentu dan incest (persetubuhan dalam keluarga) yang memberikan status sebagai
kejahatan universal.
Banyak kejahatan dianggap sebagai kejahatan oleh sebagaian besar masyarakat
modern seperti pembunuhan, pencurian dan pembakaran, tetapi pemikiran seperti tida dari
berbagai sudut pandang – relatif terhadap waktu, tempat, orang dan berbagai keadaan
yang terlibat. Hanya tindakan-tindakan tertentu disebut kejahatan karena secara effektif
diberi label demikian. Setiap masyarakat cenderung untuk menentukan perbuatan mana
yang ditakutkan akan mencederai strukturnya.
Dalam hal ini label kriminal oleh negara theokratis jelas ditekankan kepada
norma tingkah laku yang dikaitkan dengan aspek-aspek religius. Dalam negara dengan
rezim totaliratian melarang perbedaan pandangan politis dan dalam masyarakat
kapitalis dibentuk berbagai ketentuan yang ditujukan kepada perlindungan
kepemilikan privat.
Bukan hanya definisi kejahatan berbeda dari satu kebudayaan ke kebudayaan lain,
tetapi setiap orang, pengaturan dan penegakan ketentuan legal bisa jadi relatif kepada
kebutuhan dan keadaan masyarakat tertentu. Seperti misalnya: pencurian kuda
merupakan kejahatan berat di frontier Amerika. Aborsi dan upaya artifisial pengaturan
kelahiran merupakan pembatasan legal pada masa kelangkaan penduduk tetapi pembatasan
itu secara perlahan menghilang pada saat kelebihan penduduk. Di samping itu kebanyakan
pembatasan legal dalam fungsi tingkah laku untuk melindungi kehidupan, milik atau
ketertiban sosial, antara lain akibat adanya berbagai taboo moral dan religi yang biasa
disebut “blue laws”, misalnya larangan penjualan barang tertentu di hari Minggu dianggap
lebih melayani fungsi religi dibandingkan sosial.
Di samping itu, banyak ahli kriminologi mempertanyakan pengaturan melawan
“kejahatan tanpa korban” yang mereka katakan tidak membahayakan siapapun (with the
possible wxception of the participants themselves) – seperti hubungan homoseksual mau
sama mau antara orang dewasa atau pelacuran. Penelitian menunjukan upaya untuk
mengontrol moral pribadi ternyata mendorong kepada kejahatan selanjutnya (secondary
crime) seperti pemerasan, penyuapan dan kejahatan terorganisir.
Kejahatan lanjutan ini dapat menimbulkan ancaman yang lebih besar terhadap
stabilitas masyarakat dibandingkan “kejahatan tanpa korban” yang dilarang dan
ditentukan aturan hukumnya – originally prohibited. Upaya di tahun 1920-an untuk
menghilangkan penjualan minuman alkohol di AS mengilustrasikan dampak yang berbahaya
dari usaha untuk melegalkan moral individual.
Ahli kriminologi mendapatkan adanya kebutuhan segera masyarakat untuk
mempolisikan dirinya sendiri dan menegakan hukum-hukumnya tetapi apda saat yang sama
menyatakan bahwa pencegahan kejahatan tergantung terutama kepada pengertian mengenai
sebab terjadinya kejahatan. Bagi masyarakat pada umumnya, kejahatan adalah ancaman
terhadap individu yang membutuhkan perlindungan polisi dan tanggapan serta penuntutan
terhadap para penjahat. Para kriminolog mempelajari secara mendalam tingkah laku kriminil,
dan para sosiolog mempunyai asumsi dasar bahwa hampir semua tingkah laku adalah tingkah
laku yang dipelajari. Oleh karena tingkah laku kriminal begitu berbeda dari satu kelompok ke
kelompok lain, maka akar yang menyebabkannya dapat ditelusuri dari kondisi masyarakat.
Perspektif sejarah memandang bahwa penanganan kejahatan dapat juga dilihat
sebagai fungsional dalam arti kata ilustrasi dari perawatan norma sosial. Karena penahanan,
pengadilan dan penjatuhan hukuman dipublikasikan secara luas dan dinyatakan sebagai
bagian penting dari proses pendidikan masyarakat. Dalam hal ini dapat terjadi konsekuensi
yang tidak menguntungkan ketika politisi, jurnalis dan lembaga penegak hukum kadang-
kadang menggunakan “fear of crime” untuk kepentingannya sendiri. Jurnalis Amerika
Lincoln Steffens menggambarkan bagaimana dia membentuk crime wave. Hero Hitller dan
banyak politisi oportunis telah membentuk crime wave untuk memusnahkan suatu kelompok
minoritas demi kepentingan kekuatan politik.
Sebagai besar sektor dari pelayanan publik juga dapat mengambil keuntungan dari
kejahatan. Di Amerika Serikat the President’s Commission on Law Enforcement and
Administration of Justice menunjukkan bahwa kejahatan terorganisir berkembang lebih
karena berkembangnya tuntutan akan pelayanannya. Ambivalensi publik Amerika Serikat
seperti misalnya terhadap operasi perjudian membuat penegakan hukum di wilayah tertentu
sangat sukar bahkan tidak mungkin berhasil.
Sikap masyarakat terhadap hukum dan aplikasinya merupakan sahabat tetapi juga
sebagai musuh dari kejahatan. Hal itu sangat terlihat dalam kejahatan kerah putih seperti
dalam penentuan dan penggelapan pajak. Pada kasus-kasus tersebut terjadi konflik antara
hukum dan norma sosial dari kebebasan berkompetisi. Publik tidak selalu mengharapkan atau
mampu untuk membedakan antara shrewd operators – orang curang dalam bidang bisnis
dan mereka yang membahayakan kesejahteraan masyarakat.
Kriminologi
Materi III, 20-21 Maret 2018

Arti dan Status Penjahat


Setelah mengetahui beberapa konsep mengenai kejahatan, maka timbul persoalan siapakah
yang dimaksudkan dengan penjahat (criminal) itu? Pengetahuan kita mengenai penjahat/si
pelaku (pelanggar) pidana ini, kebanyakan adalah hanya mengenai mereka yang ada dalam
penjara-penjara (si terpidana). Dan memang secara yuridis, maka yang dapat kita namakan
penjahat adalah mereka yang telah melanggar aturan-aturan pidana dan dinyatakan bersalah
oleh pengadilan. Elliot (1952) dan Sutherland (1960), berpendapat bahwa penjahat adalah
seseorang yang telah melanggar undang-undang, seseorang yang telah melakukan kejahatan.
Merujuk pada pendapat Sutherland dan Elliot di atas maka batasan penjahat dari
aspek hukum atau segi yuridis hanya mengantarkan kita pada status formal seseorang yang
dapat dinyatakan sebagai penjahat. Penjahat, dengan demikian, adalah orang-orang yang
melanggar undang-undang atau hukum pidana, tertangkap tangan, dituntut, dibuktikan
kesalahannya di muka pengadilan, serta dinyatakan bersalah dan dihukum (sebagian berada
di penjara atau Lembaga Pemasyarakatan). Sutherland (1961) mengakui pentingnya putusan
pengadilan, tetapi menurut pendapatnya, untuk tujuan-tujuan ilmu pengetahuan, kita tidak
perlu terlalu terikat pada putusan-putusan pengadilan. Cukup bilamana kita mengetahui
bahwa suatu perbuatan adalah kejahatan dan bahwa ada seseorang yang telah melakukan
perbuatan tersebut. Si pelaku inilah jang merupakan penjahat, mungkin ia tertangkap
mungkin ia tidak, mungkin ia diketahui mungkin pula tidak. Suatu masalah yang sukar
dijawab adalah berapa lama seseorang itu dapat dinamakan penjahat. Sebenarnyalah bahwa
pertanyaan seperti itu mudah dijawab, yaitu selama orang yang bersangkutan menjalani
hukuman atau pidananya. Mengapa demikian? Secara singkat kita dapat menjawab karena
penjahat adalah terhukum. Jadi setelah ia bebas dari hukumannya, secara yuridis, ia bukan
penjahat lagi.
Dalam mencari jawaban tentang sosok penjahat, seringkali orang tidak puas jika tidak
membuat semacam profil penjahat. Mungkin sekali bahwa dengan mengetahui profil atau
karakteristik penjahat, masyarakat akan memperoleh jawaban yang lebih rinci dan konkret
siapa orang-orang yang disebut sebagai penjahat.

Batasan dan Ciri-ciri Penjahat


Beberapa ahli kriminologi memberi batasan mengenai istilah penjahat ini dengan merujuk
pada mereka yang memenuhi ciri-ciri tertentu yaitu seorang pelanggar hukum yang
mempunyai keahlian-keahlian, sikap-sikap dan hubungan-hubungan sosial yang
menunjukkan kematangan dalam kebudayaan penjahat. Bagaimana cara yang termudah
menemui penjahat tersebut, atau dengan kata lain dimanakah kita dapat menemui orang-
orang yang dinamakan penjahat? Jawaban yang tepat, adalah di dalam penjara atau di dalam
Lembaga Pemasyarakatan.
Elliot (1952), menyatakan bahwa pengetahuan kita mengenai penjahat, atau tepatnya
terpidana, sebenarnya merupakan pengetahuan mengenai tipe penjahat yang kurang ahli (less
skillful type). Penjahat yang demikian ini adalah mereka yang tidak cukup pandai untuk
melepaskan diri dari kejaran polisi. Akan tetapi meskipun demikian para terpidana itu
sebenarnya cukup mencerminkan lapisan-lapisan/tipe (penjahat) di dalam masyarakat.
Sebagian terpidana adalah mereka yang benar-benar jahat (viccious). Orang-orang ini
berwatak keras yang akan menembak dan membunuh apabila mereka merasa perlu
melakukannya. Sebagian besar dari para terpidana tersebut adalah orang-orang yang lemah
yang tidak sanggup menyesuaikan diri dalam mengikuti aturan-aturan yang telah ditentukan
dalam masyarakat yang sangat kompetitif. Sebagian kecil dari terpidana tersebut adalah
bukan orang-orang lemah maupun orang-orang yang bermusuhan dengan masyarakat, mereka
kadang-kadang sama terkejut dan mendongkolnya seperti teman-teman dan kenalan-kenalan
mereka, bahwa mereka adalah pelanggar-pelanggar undang-undang. Orang-orang ini adalah
mereka yang dalam keadaan krisis gagal mengikuti aturan-aturan negara, yang sebenarnya
aturan itu mereka hormati juga.
Dikatakan pula oleh Elliot (1952), bahwa seperti ucapan Socrates di mana semua
orang adalah pembohong, maka dapat pula dikatakan bahwa semua orang adalah penjahat.
Apa sebab? Oleh karena menurut Elliot, hampir semua orang yang telah mencapai usia
dewasa, pada suatu waktu mungkin telah melakukan suatu pelanggaran di mana ia
sebenarnya dapat menerima pidana atas pelangaran yang dilakukannya itu, misalnya membeli
karcis bioskop catutan, mencuri buah-buahan dari kebun orang lain, memberi ‘hadiah’
(tepatnya menyuap) pada seorang pegawai negeri, atau kepada seorang polisi lalu lintas;
sampai kepada hal atau kasus yang berat seperti: perkosaan yang tidak dilaporkan karena
akan menimbulkan malu bagi si korban, anak mencuri dari orang tuanya, wanita yang
memeras seorang pria, penggelapan, korupsi, dan lain-lain.
Banyak percobaan telah dilakukan untuk menentukan ciri-ciri atau sebab musabab
seseorang melanggar aturan/hukum. Ada yang mengatakan bahwa intelijensi si pelaku yang
menyebabkan ia melakukan pelanggaran. Jadi pelanggaran hukum yang dilakukan si penjahat
disebabkan karena intelijensi mereka yang kurang atau rendah untuk mengikuti/mematuhi
permintaan-permintaan/ketentuan-ketentuan masyarakat. Pandangan yang lain,
menghubungkan dengan (tingkat) pendidikan, yaitu bahwa penjahat datang dari golongan-
golongan masyarakat yang berpendidikan rendah kurang atau buta huruf. Akan tetapi baik
berdasarkan penelitian-penelitian maupun berdasarkan apa yang telah diuraikan di atas yaitu
bahwa setiap orang dapat dikatakan sebagai pelanggar pidana, maka ciri-ciri mengenai si
pelanggar hukum ini tidak dapat diterima. Ciri-ciri tersebut mungkin hanya berlaku untuk
sebagian kecil penjahat, yaitu penjahat yang tertangkap atau si terpidana.
Penjahat dalam konteks yang luas tidak hanya mereka yang telah melanggar undang-
undang, akan tetapi juga mereka yang bersikap anti sosial
Elliot (1952), kemudian mengemukakan bahwa tidaklah cukup hanya menentukan
bahwa penjahat adalah mereka yang dipidana, bahwa mereka telah melanggar undang-
undang. Perlu ditambahkan suatu ciri-ciri yang khas lain yaitu bahwa penjahat ini adalah
mereka yang tidak mau mengakui nilai-nilai yang berlaku di dalam masyarakat. Banyak
orang, walaupun berada di luar penjara, tetapi mempunyai ciri-ciri tertentu, misalnya sifat
egoistik, yang hanya mementingkan diri sendiri. Falsafah mereka adalah “Apakah
keuntungannya untuk saya?”
Orang seperti ini pada dasarnya memang anti-sosial. Menurut Elliot (1952), orang-
orang seperti inilah yang merupakan “penjahat” yang tidak terhukum, sedangkan para
residivis yang tidak tertangkap adalah penjahat yang sebenarnya. Sebab orang-orang seperti
ini yang telah mengatur hidupnya tanpa mengindahkan nilai-nilai sosial.
Dihubungkan dengan keberhasilan usaha pemasyarakatan, maka tentunya upaya
pemasyarakatan itu harus bertujuan merubah nilai-nilai yang sesat tadi. Perlu diperhatikan
pula mengenai penjahat-penjahat yang terpidana, yaitu bahwa mereka umumnya melanggar
satu atau dua aturan hukum saja. Sedang pada umumnya mereka adalah orang-orang yang
taat pada hukum. Suatu hal yang tidak boleh dilupakan yaitu bahwa penjahat-penjahat
terpidana, hanya merupakan sebagian kecil saja dari keseluruhan penjahat yang ada. Hanya
sebagian kecil yang tertangkap, sebagian kecil dari mereka dituntut, sebagian kecil lagi
dipidana. Statistik penjara, pada kenyataannya, hanya menunjukkan sekelompok kecil dari
(keseluruhan) penjahat.

Klasifikasi Penjahat
Untuk menyusun klasifikasi pelaku kejahatan maka ada beberapa aspek yang dapat kita
gunakan, yakni:
1. Menurut status sosial pelaku kejahatan
Ditinjau dari aspek status sosial pelaku kejahatan maka kita akan memperoleh
klasifikasi penjahat menurut kelas sosialnya, antara lain sebagai berikut:
a. White Collar Criminal atau Elite Criminal, yaitu pelaku kejahatan yang
tergolong mempunyai status sosial tinggi dan kedudukan terhormat dalam
suatu masyarakat. Pada umumnya mereka melakukan kejahatannya dalam
rangka pelaksanaan pekerjaannya. Mereka ini antara lain para pejabat, para
pengusaha, para cendikiawan ataupun para ahli dalam berbagai bidang
pekerjaan. Para pelaku kejahatan yang mempunyai status sosial yang tinggi ini
juga dinamakan the upper class criminal atau penjahat tingkat atas. Praktek
atau kejahatan yang mereka lakukan biasanya berupa penyalahgunaan jabatan
atau wewenang, penyalahgunaan kedudukan dan profesi, atau penyalahgunaan
keahlian, dan sebagainya.
b. Lower-class Criminal, yakni para pelaku kejahatan yang tidak mempunyai
status sosial tinggi di masyarakat. Pada umumnya jenis kejahatan yang
dilakukan oleh mereka adalah yang terkait dengan motif ekonomi. Lower-
class criminal ini biasanya meliputi kejahatan jalanan (street crimes), seperti
pencopetan, perampasan, penodongan, penjambretan, penganiayaan, dan
sebagainya. Kejahatan juga biasanya termasuk jenis kejahatan yang tidak
direncanakan atau bersifat spontan. Karena sifatnya yang spontan itu, bisa saja
penjahat jalanan ini melakukan hal-hal diluar perkiraan, seperti menusuk
korbannya, bahkan juga dapat membunuh korbannya.
2. Menurut Tingkat Kerapihan Organisasi
Ditinjau dari sudut terorganisir atau tidaknya pelaku kejahatan dalam melakukan
aktivitas kejahatannya, maka akan diperoleh klasifikasi sebagai berikut:
a. Organized Criminals, yaitu para pelaku kejahatan yang tergabung dalam kejahatan
terorganisasi. Mereka melakukan tindak kejahatannya dengan menggunakan dan
menerapkan prinsip-prinsip manajemen, seperti adanya perencanaan, koordinasi,
pengarahan, dan pengawasan yang dikendalikan oleh kelompok mereka.
b. Non-Organized Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang dalam aktivitasnya
bersifat individual dan tidak terorganisasi.
3. Menurut Kepentingan Pencarian Nafkah
Ditinjau dari sudut atau kepentingan mata pencahariannya, maka dapat diperoleh
klasifikasi yang merujuk kepada:
a. Professional Criminals, yaitu para pelaku kejahatan yang telah menjadikan
kejahatan sebagai profesinya, sebagai mata pencaharian pokoknya.
b. Non-Professional Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan
kejahatan secara insidental saja. Dengan kata lain, mereka melakukan kejahatan
tidak sebagai mata pencaharian tetapi hanya didorong oleh situasi dan kondisi
tertentu pada suatu waktu, tempat, dan keadaan tertentu.
4. Menurut Aspek Kejiwaan Dari Pelaku Kejahatan
Ditinjau dari aspek kejiwaan pelaku kejahatan maka akan diperoleh klasifikasi
sebagai berikut:
a. Episodic Criminals, yakni pelaku kejahatan yang melakukan kejahatannya sebagai
akibat dorongan perasaan/emosi yang mendadak tak terkendali. Misalnya, seorang
ayah yang membunuh seorang laki-laki sewaktu ia melihat perempuannya
diperkosa oleh laki-laki tersebut.
b. Mentally Abnormal Criminals, yakni pelaku kejahatan yang jiwanya abnormal,
misalnya orang yang psikopatis.
c. Non Malicious Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan
karena menurut keyakinan mereka perbuatan tersebut bukan merupakan
kejahatan. Misalnya seorang pengikut aliran sesat dari kepercayaan tertentu yang
melakukan hubungan seks bebas sesama anggota aliran itu karena mereka percaya
bahwa mereka harus saling mengasihi meskipun tidak terikat oleh perkawinan.
5. Menurut Aspek Kebiasaan Dilakukannya Kejahatan
Ditinjau dari segi kebiasaan yang dilakukan oleh pelaku kejahatan maka dapat
diperoleh klasifikasi sebagai berikut:
a. Habitual Criminals, yakni orang yang melakukan kejahatan, baik dalam arti
yuridis maupun dalam arti kriminologis, secara terusmenerus sebagai kebiasaan.
Misalnya seorang pelacur, pemabok, penjudi, dan sebagainya.
b. Non-Habitual Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan
bukan karena kebiasaannya tetapi ditentukan oleh kondisi dan situasi tertentu.
6. Menurut Aspek Tertentu Dari Sifat Perbuatannya
Ditinjau dari beberapa aspek yang terkait dengan sifat perbuatan jahat yang dilakukan
oleh pelaku atau penjahat maka diperoleh klasifikasi sebagai berikut:
a. Casual Offenders, yakni orang-orang yang melanggar ketertiban masyarakat.
Misalnya orang yang melanggar jam malam, mengadakan pesta tanpa ijin dan
sebagainya. Sebenarnya perbuatan-perbuatan semacam ini ditinjau dari sudut
yuridis bukanlah termasuk sebagai kejahatan.
b. Occasional Criminals, yakni para pelaku kejahatan yang melakukan kejahatan
ringan. Misalnya, mengendarai kendaraan bermotor dan menabrak orang yang
mengakibatkan luka ringan, atau melanggar lampu lalu lintas.
c. Smuggler, yaitu penyelundup. Penyelundup ialah orang yang memasukkan atau
mengeluarkan sesuatu (biasanya barang, tetapi dapat juga orang/manusia) dari
atau ke luar negeri tanpa ijin dari pemerintah/yang berwajib (illegal importer dan
Illegal exporter).
7. Menurut Umur Dari Pelaku Kejahatan
Ditinjau dari segi umur pelaku kejahatan maka diperoleh klasifikasi sebagai berikut:
a. Adult Offenders atau Adult Criminal, yakni para pelaku kejahatan yang
berdasarkan ketentuan hukum dari suatu masyarakat termasuk golongan orang-
orang yang telah dikategorikan sebagai orang dewasa.
b. Juvenile Delinquent atau Juvenile Offenders, yakni para pelaku yang melakukan
kejahatan atau perbuatan-perbuatan anti sosial lainnya yang berdasarkan ketentuan
hukum dari suatu masyarakat termasuk golongan anak-anak atau remaja.
Ukuran orang yang dianggap dewasa atau masih tergolong anak-anak dan atau
remaja dalam aturan hukum di berbagai negara tidaklah sama. Di Indonesia,
ukuran usia atau umur pelaku kejahatan diatur pada Pasal 45 KUHP yang
menyatakan bahwa orang yang belum dewasa adalah mereka yang berumur di
bawah 16 tahun. Sedangkan mereka yang telah berumur 17 ke atas dikategorikan
sebagai orang dewasa, sehingga apabila orang yang dikategorikan sebagai orang
dewasa ini melakukan pelanggaran hukum, maka sanksi yang akan diberikan itu
didasarkan pada hukum atau ketentuan untuk orang dewasa.
Kriminologi
Materi IV, 27-28 Maret 2018

TEORI KEJAHATAN
Setiap orang mempunyai teori tentang kejahatan. Meskipun sebelum anda membaca satu
kata saja dalam tulisan ini atau tulisan lain tentang kejahatan, anda pasti sudah mempunyai
berbagai pemikiran mengenai pertanyaan apa yang penting untuk ditanyakan, seperti
pertanyaan, Mengapa begitu banyak terjadi kejahatan? Siapa yang melakukan kejahatan dan
mengapa? Apa pengaruh yang diberikan kelompok teman sebaya? Apa hubungan antara
kejahatan dengan situasi ekonomi, keluarga, psikologi, umur, ras, atau pendidikan para
penjahat? Mengapa beberapa negara mempunyai kejahatan lebih sedikit atau lebih banyak
dibandingkan negara lain? Apa yang dapat dilakukan untuk mengurangi kejahatan? Apa cara
yang efektif untuk menangani penjahat?.
Berbagai pertanyaan itu kelihatannya jelas untuk ditanyakan meskipun jawabannya
belum tentu jelas. Betapapun, meskipun kejahatan telah ada selama ribuan tahun, baru pada
abad ke delapan belas orang mulai memikirkannya secara sistematis. Para ahli filsafat jauh di
masa Yunani kuno telah menulis tentang hukum. Tetapi mereka tidak secara spesifik
menaruh perhatian terhadap hukum pidana dan mereka mengabaikan pertanyaan tentang
kejahatan itu sendiri, apa yang menyebabkannya dan bagaimana mengatasinya.
Selama berabad-abad sedikit sekali orang membuat catatan mengenai teori yang
dipikirkannya tentang kejahatan. Betapapun, meskipun mungkin kita tidak mengetahui persis
apa pemikiran mereka tentang kejahatan, dari catatan sejarah kita mengetahui apa yang
dilakukan mereka, sehingga dengan mengamati apa yang mereka lakukan, kita dapat
membangun berbagai pemikiran yang menginspirasi mereka. Misalnya, pada abad
pertengahan, suatu sengketa pidana mungkin diselesaikan melalui peradilan dengan adu fisik
atau pertarungan, di mana tertuduh dan penuduh bertarung hingga mati. Dengan perkiraan,
oleh karena Tuhan tidak akan membiarkan seorang pembohong menang, siapapun yang benar
maka akan menang. Pada beberapa kasus, pengadilan memutuskan kesalahan dengan
pengadilan berbasis siksaan, di mana tertuduh dapat membuktikan dirinya tidak bersalah
dengan mengatasi beberapa ujian. Salah satu ujian misalnya, siksaan air dingin, seorang
pendeta akan mensucikan air dan tertuduh akan diikat dan dimasukkan ke dalamnya. Air
yang disucikan tidak akan mau menerima seseorang yang bersalah, oleh karena itu seseorang
yang bersalah akan didorong ke atas oleh air itu. Artinya seseorang yang mengambang
tentunya bersalah dan yang tenggelam tidak bersalah.
Karena proses peradilan pidana bergantung kepada tanda-tanda supernatural mengenai
bersalah dan tidak bersalah, kita dapat memperkirakan bahwa orang-orang – paling tidak
yang menjalankan pengadilan – berpendapat bahwa kejahatan disebabkan oleh kekuatan
supernatural. Penjahat terlepas dari rahmat Tuhan dan dipengaruhi oleh setan. Yang
berwewenang pastilah menggunakan teori tersebut untuk mengaitkan kejahatan dengan
pertenungan, tetapi mereka mungkin saja menerapkan hal ini juga pada berbagai kejahatan
yang lain. Pemikiran bahwa kejahatan pada dasarnya merupakan masalah spiritual juga
tercermin dalam penyiksaan – yang tidak hanya merupakan cara efektif untuk mendapatkan
pengakuan; penyiksaan juga dianggap berguna untuk menyelamatkan jiwa, yang jauh lebih
penting daripada tubuh. Untuk kebaikan tertuduh, tubuhnya harus dibersihkan betapapun
sakitnya, untuk menyelamatkan jiwanya.
Seperti perlakuan terhadap tertuduh, hukuman terhadap kesalahan pada berbagai waktu
dan tempat lain dapat juga terlihat tidak rasional dan sangat kejam bagi kita. Apabila kita
amati rincian diskripsi mengenai penyiksaan dan metode eksekusi pada masa itu, kita
mungkin mempunyai tiga reaksi yang berbeda. Pertama, perasaan sangat ngeri dan terkejut
terhadap kekejaman yang mampu dilakukan orang. (Tentu saja, kita tidak seharusnya terkejut
karena kita tahu bahwa penyiksaan masih terjadi hingga saat ini, bahkan dilakukan oleh orang
‘terdidik’ dan dalam masyarakat ‘modern’). Kedua, kita membayangkan bahwa mungkin ada
penjelasan yang rasional dari praktik itu; mungkin orang percaya bahwa penyiksaan dan
penghukuman di depan publik akan mencegah orang lain melakukan kejahatan. Ketiga, kita
percaya bahwa kekejaman seharusnya mempunyai dasar pemikiran yang melewati pemikiran
rasional karena transformasi dan perusakan tubuh sering berlanjut jauh setelah korban itu
meninggal. Kadang-kadang perlakuan itu begitu aneh/asing sehingga sukar untuk
membayangkan apa pemikiran yang ada di baliknya. Sebagai contoh, di Eropa pada abad
pertengahan, hukuman semacam itu juga dilakukan terhadap binatang yang dianggap
melakukan kesalahan. Seekor babi yang membunuh seorang anak, mungkin akan dibawa ke
pengadilan, dan jika dinyatakan bersalah, dijatuhi hukuman gantung, dipotong anggota
tubuhnya atau dibakar hidup-hidup.
Tujuan dari penghukuman tentulah sesuatu di luar pencegahan kejahatan. Tentu saja
pembalasan dendam merupakan bagiannya, para hakim menjatuhkan hukuman mati yang
paling menakutkan untuk kejahatan yang menurut pendapat mereka paling ofensif. Mungkin
komponen lain adalah sekedar keingintahuan sadistik, seperti seorang anak yang mencabuti
sayap seekor capung, untuk memperlihatkan apa yang bisa dilakukan terhadap sebuah tubuh.
Atau mungkin dengan memancung pelaku atau memotong organ tubuh atau membakar
mereka, masyarakat melindungi dirinya terhadap kembalinya roh jahat dari yang meninggal.
Tentu saja banyak dari hukuman bersifat ritualistik dan berbasis pada kekuatan yang tak
terlihat seperti roh, setan, jiwa dan sebagainya. Di samping semua itu, terlihat ada pandangan
bahwa seseorang melakukan kejahatan karena kekuatan supernatural, tertutama yang dimiliki
oleh setan karena selama abad pertengahan dan bahkan setelahnya, banyak kejahatan yang
atasnya, pelakunya disiksa dan dihukum adalah kejahatan religius seperti penodaan agama,
bidaah dan sihir.

BECCARIA DAN TEORI KLASIK


Abad ke delapan belas membawa pencerahan, ‘Abad mengenai Sebab’- the Age of
Reason. Di tahun 1700an pada umumnya ahli filsafah mulai menekankan kepada rasionalitas
dan logika dibandingkan misteri. Pemikir yang paling berpengaruh dalam kejahatan dan
keadilan berbagi pendekatan ini, dan menciptakan yang kemudian disebut sebagai teori
klasik. Mungkin penulis yang paling terkenal pada mashab klasik adalah Cecare Beccaria,
seorang Italia yang di tahun 1764 menerbitkan sebuah esai berjudul “On Crimes and
Punishments”. Banyak dari pemikiran Beccaria yang terlihat tidak penting dan sudah
sewajarnya bagi kita yang hidup pada saat ini, tetapi kita harus ingat bahwa jaman
pertengahan telah memudar dan jaman pencerahan telah dimulai dan kemudian digantikan
jaman modern, tetapi sebagian kekejaman yang sama masih berlangsung. Beccaria menulis
pada saat di mana seorang hakim mungkin mendapatkan seseorang bersalah karena sebuah
kesalahan kecil dan menjatuhkan hukuman kejam; saat di mana penyiksaan digunakan untuk
mendapatkan pengakuan, saat di mana di Inggris massa yang beringas berteriak-teriak
melihat penjahat digantung di depan publik, bahkan sering kali, untuk kejahatan yang tidak
lebih serius dari pada mencuri ikan.
Waktu dan jaman benar-benar matang untuk esai seperti kepunyaan Beccaria itu yang
memasukkan beberapa proposal ini:
- Tujuan satu-satunya dari penghukuman seharusnya adalah pencegahan kejahatan.
- Pencegahan kejahatan, beratnya hukuman, tidaklah sepenting hukuman yang cepat
dan pasti.
- Hukuman seharusnya proporsional dengan seriousnya kejahatan.
- Hukuman seharusnya cukup berat untuk mengimbangi keuntungan yang didapat dari
melakukan kejahatan.
- Penjatuhan hukuman seharusnya tergantung dari keadaan kejahatan, bukan dari
keadaan atau posisi pelaku. Penjatuhan hukuman seharusnya diterapkan setara bagi
siapa saja yang dinyatakan bersalah atas kejahatan yang tersebut.
Dasar dari pemikiran Beccaria adalah filsafat yang dikenal sebagai utilitarianisme. Menurut
pemikiran ini, bagi seorang individu, kehidupan ini adalah mengejar kesenangan dan
menghindari penderitaan dengan menggunakan pemikiran dan perhitungan penuh (rasional).
Bagi masyarakat, agar dapat menjaga dirinya harus dicari cara bagaimana ‘menetapkan
keseimbangan antara keinginan individu yang bertentangan dengan kebaikan bersama’ dan
keseimbangan itu didapatkan dengan menghukum orang atas kejahatannya. Patut dicatat di
sini, bahwa pada pandangan utilitarian, masyarakat menghukum penjahat bukan untuk
membalas dendam – bukan karena penjahat itu melakukan suatu kesalahan – tetapi karena
penghukuman itu berguna untuk mencegah kejahatan. Seperti kata Jeremy Bentham seorang
utilitarian Inggris, hukuman bukanlah karena seseorang pantas menerimanya tetapi karena
ada yang harus dilakukan untuk menjaga keseimbangan itu. Hukuman yang tidak perlu
(unneccesarry) tidaklah masuk akal dan harus dihapuskan.
Esai Beccaria menggarisbawahi sebuah pemikiran yang menyatakan bahwa sepertinya
waktunya sudah tiba untuk membangun sebuah prosedur pidana Eropa, meskipun secara
rasional hal itu sesungguhnya merupakan sebuah kebutuhan akan perubahan. Beccaria
mungkin telah membesar-besarkan irasionalitas dan kekejaman pengadilan di masanya.
Betapapun, pemikirannya langsung diterima oleh pengadilan di Eropa, dari Rusia hingga ke
Inggris dan juga di koloni-koloni Amerika. Di tahun 1770, John Adams, sebagai pengacara
serdadu Inggris yang dituntut dalam pembunuhan massa di Boston, membuka pembelaannya
dengan sebuah kutipan dari tulisan Beccaria.
Meskipun demikian pengambil kebijakan dan para pembuat teori kemudian menolak dan
mengubah sebagian pemikiran Beccaria, misalnya penolakannya terhadap hukuman mati dan
persetujuannya terhadap hukuman badan untuk mereka yang dituduh melakukan kejahatan
dengan kekerasan. Undang-undang baru juga menolak pemikiran Beccaria yang sangat tidak
fleksibel mengenai hukuman berdasarkan kejahatan semata-mata dan bukan penjahatnya.
Andaikata Beccaria menulis undang-undang, dia tidak akan memperbolehkan fleksibilitas
hukuman karena pelakunya gila atau sangat muda (anak-anak). Betapapun, banyak
pemikirannya yang tetap relevan, dan beberapa riset kriminologi yang sangat berpengaruh
pada tahun-tahun terakhir ini mencerminkan kembalinya pemikiran kepada teori-teori klasik.
Beccaria lebih banyak menaruh perhatian terhadap keadilan dan pencegahan
dibandingkan terhadap sebab-sebab terjadinya kejahatan. Baru seabad setelah publikasi
esainya, teori kriminologi mulai mengeksplorasi pemikiran mengenai mengapa seseorang
melanggar hukum. Teori-teori tentang motivasi yang lebih baru melihat penjahat tidak hanya
sebagai individu rasional yang menentukan pilihan tetapi sebagai mahluk yang berbeda
dalam cara yang paling mendasar dibandingkan orang yang taat hukum.

TEORI BIOLOGI DAN PSIKOLOGI KEJAHATAN


Di pertengahan abad ke delapan belas, sebuah ilmu baru tentang kepribadian datang dan
sangat menikmati popularitas. Ini disebut phrenologi dan ini didasarkan pada pemikiran
bahwa tingkah laku berbeda dikontrol oleh area tertentu pada otak. Misalnya, apabila area
‘destruktif’ berkembang berlebihan, maka orang tersebut akan menjadi agresif. Makin
berkembang sebuah area, maka area itu akan makin meluas. Area lebih besar di otak ini akan
mendorong keluar tengkorak di area tertentu yang menyebabkan bentuk tengkorak yang agak
berbeda tergantung kepada agresivitas, dorongan seksual dan kualitas lainnya dari seorang
individu. Dengan meraba lokasi penonjolan pada tengkorak seseorang, seorang phrenologis
yang terlatih dapat menemukan area mana yang paling berkembang. Ini adalah penilaian
kepribadian dengan metode rabaan tangan.
Meskipun saat ini phrenologi mungkin kelihatannya lucu, pada masanya ini sama
ilmiahnya seperti yang lain seperti pengobatan dan ilmu jiwa lain dan sama legalnya. Penjara,
misalnya, melakukan analisis phrenologi terhadap para narapidana. Betapapun, phrenologi
juga merupakan ilmu populer. Beberapa phrenologis bekerja melakukan pertunjukan keliling
-‘road shows’ seperti yang dilakukan tukang obat saat ini. Yang lain melakukan dengan lebih
pantas, berjalan dari satu kota ke kota lain memberikan ceramah dan demonstrasi. Setelah
menerangkan pengetahuan dasar dari ilmunya, phrenologis itu meminta salah satu hadirin
untuk naik panggung, dengan hati-hati meraba kepala orang tersebut dan kemudian
menerangkan karakter orang tersebut. Sebelum meninggalkan kota, phrenologis itu juga
dapat melakukan pembacaan privat – penilaian personal ditambahi nasihat-nasihat. Lalu pada
masa itu, minggu depannya kota itu akan kedatangan seorang hipnotis atau sekelompok
Shakespearean atau sebuah seminar atau pertunjukan foto tentang peradaban daerah Timur
yang misterius. Tujuan uraian ini bukan untuk membuat lelucon terhadap phrenologi atau
mereka yang mempercayainya. Semua ini hanya ingin menunjukkan sebuah pemikiran
menarik yang selalu tumbuh dalam masyarakat: pemikiran tentang perbedaan karakter yang
memperlihatkan diri dalam bentuk tubuh.
Pemikiran tubuh-pikiran ini muncul dalam berbagai bentuk, baik dalam riset ilmiah
maupun dalam gagasan populer. Pemikiran dasarnya tetap seperti ini: ketika orang bertingkah
laku berbeda, pikirannya tentu bekerja berbeda pula, oleh karena itu bentuk fisiknya juga
tentu berbeda. Apabila tingkah lakunya sangat berbeda – seperti kejam, kejahatan dengan
memangsa orang sebagai korban – orang itu dapat sangat berbeda baik di pikiran maupun
tubuh sehingga kurang dari manusia seutuhnya. Ini mungkin lebih dari sekedar ucapan, oleh
karena itu orang dapat menyamakan penjahat sebagai binatang. Ada logika dalam pelabelan
itu. Jika seseorang melakukan sesuatu yang tidak terbayangkan oleh kita, pasti orang itu
berbeda keadaannya, bukan sepenuhnya manusia seperti kita. Seperti ungkapan ‘pembunuh
berdarah dingin’ mencerminkan bahwa tanggapan fisik penjahat tersebut berbeda dari reaksi
darah hangat kita. Pada gilirannya tanpa diragukan sering ada sebuta ‘berdarah panas’ bagi
tipe impulsif, tentu saja hanya sedikit orang yang benar-benar percaya bahwa suhu darah
menentukan temperamen seseorang. Di Eropa misalnya, saat ini tidak ada orang yang masih
percaya pada pendapat (lelucon) bahwa temperamen seseorang ditentukan oleh campuran
dari empat cairan tubuh – lendir, empedu hitam, empedu kuning dan darah. Sebagian besar
orang saat ini tidak lagi tahu bahwa teori semacam itu pernah ada. Tetapi ada sejumlah kata
yang tetap digunakan jauh setelah teori itu dilupakan. Kata-kata seperti phlegmatic-apatis,
melancholic-melankolis, bilious-lamban, dan sanguine-menarik tetap merupakan bagian dari
bahasa Inggris – paling tidak dalam bahasa sehari-hari, atau paling tidak dalam SAT dan
apabila ditelisti kata-kata itu berkaitan dengan cairan tubuh itu. Betapapun, apa yang
mungkin dipercayai orang, adalah bahwa penjahat berbeda secara fisik dibandingkan dengan
kita dalam beberapa hal cukup mendasar dan penting untuk diamati.

LOMBROSO: “THE BORN CRIMINAL – LAHIR SEBAGAI PENJAHAT”


Ini adalah sebuah pemikiran yang menginspirasi sesorang Cesare Lombroso yang
kadang-kadang disebut sebagai bapak kriminologi. Lombroso lahir di Italia di tahun 1835 dan
di sana ia mempelajari ilmu kedokteran dan psikiatri (harus diingat bahwa pada waktu itu
ilmu pengetahuan belum efektif dan pasti). Di tahun 1879 Lombroso mendapatkan sebuah
ilham yang “aha!”, ketika gagasan berbeda dan pengamatan tiba-tiba bersatu dan
menciptakan sebuah pemikiran. Pada tahun itu, teori Darwin tentang evolusi manusia
(dipublikasikan sebelas tahun sebelumnya) menjadi perhatian bukan saja pada biologi tetapi
juga pada ilmu sosial, dan tanpa diragukan Lombroso juga mengenalnya. Pada saat yang
sama Lombroso juga sedang bekerja dengan pengetahuan medis mengenai anatomi dalam
berupaya membedakan secara fisik antara penjahat dan yang gila. Suatu hari, ia melakukan
pemeriksaan postmortem terhadap tengkorak seorang pejahat terkenal dan menengarai bahwa
tidak hanya berbeda dengan tengkorak normal, tetapi juga berbeda dari tengkorak orang
primitif dan binatang yang lebih rendah. Sekilas lintas jelaslah: “Melihat bentuk tengkorak
itu, saya langsung melihat ..... keadaan seorang penjahat, yang pada masa dengan karakter
beradab, memproduksi bukan hanya kebiadaban primitif, tetapi tipe yang lebih jauh lagi
sebagai carnivora-pemakan daging”. Inilah dasar dari suatu teori baru. Penjahat adalah
seorang atavisme: yaitu meskipun ia hidup di masa kini, secara biologis dan psikologis ia
terlempar jauh ke belakang pada awal dari masa evolusi manusia.
Langkah selanjutnya dari Lombroso adalah memulai penelitian kepala para penjahat
dalam pencariannya mengenai atavisme, atau yang disebutnya ‘lahir sebagai penjahat’ (Born
criminal). Setelah melalui penelitian panjang, ia menyimpulkan bahwa mereka mencakup
sepertiga dari populasi penjahat, dan dapat dilihat dengan jelas bentuk mukanya: tulang
tengkorak yang tebal, dagu menonjol, kening rendah dan miring, telinga besar, rambut
keriting dan tebal, cambang tipis. Pada riset selanjutnya Lombroso bahkan mengklaim bahwa
kejahatan tipe khusus mempunyai bentuk muka dan badan yang berbeda. Misalnya: “Pencuri
mempunyai tangan dan muka yang mudah bergerak; mata kecil yang seringkali miring,
pemerkosa, struktur tubuhnya rapuh dan kadang-kadang punggung melengkung. Di antara
pembunuh, hidungnya selalu besar, biasanya bengkok atau sedikit seperti kaitan; rahang
kokoh...” dan seterusnya .
Lombroso juga memasukkan dekripsi karakter seperti pemalas, yang kita pikirkan secara
sosial maupun psikologik. Daftarnya berlanjut dengan gabungan antara fisik, psikologik dan
perlakuan sosial. Lombroso melihat semua itu sebagai pola dasar yang sama yang
mengarisbawahi atavisme:

ketangkasan tinggi; relatif kurang peka terhadap rasa sakit; kurang merasakan
sentuhan ..... mampu cepat sembuh dari luka ......tajam terhadap kenikmatan
sensual ............ tidak punya impuls kepekaan ..........perpisahan..........ketidakhati-hatian,
yang kadang-kadang terlihat seperti keberanian dan lagi seperti kecerobohan yang berubah
menjadi sifat pengecut ...... suka bersolek: suka berjudi dan mabuk; kejam tetapi
menghanyutkan; percaya takhayul; sangat sensitif terhadap kepribadian tertentu ........
kebiasaan bertatoo; kekejaman dalam permainan, bahasa tubuh berlebihan.

Lombroso beralasan sebagai berikut: (1) Penjahat mempunyai karakteristik (implusif dan
bertatoo) demikian juga orang biadab; (2) orang biadab berada pada tingkat pertama tangga
evolusi; (3) oleh karena itu, penjahat juga secara evolusioner tentu terlempar kembali ke sana.
Para penjahat paling tidak yang atavis pada dasarnya biadab yang karena kecelakaan alamiah
terlahir di abad ke sembilan belas di Eropa.
Pada titik ini anda mungkin bertanya. Apabila Lombroso dengan pemikirannya mengenai
dagu dan telinga penjahat, adalah bapak kriminologi, apa yang dapat kita harapkan dari
kriminolog generasi berikutnya? Tetapi hal yang penting dari Lombroso terletak bukan pada
kekhususan teori atavisnya. Faktanya teorinya dikritik begitu muncul, dan hingga
kematiannya di tahun 1909 hanya sedikit orang yang mempercayainya. Kita sekarang
mengetahui kesalahan dasar dari teori Lombroso: Manusia Itali di abad ke 19 – penjahat
ataupun bukan – secara biologis tidaklah mungkin berkembang, banyak ataupun sedikit
dibandingkan manusia di waktu atau tempat lain seperti yang telah dibaca oleh Lombroso.

POSITIVISME Pemikiran utama Lombroso tidaklah terlalu berisi, tetapi yang


penting adalah suatu pendekatan umum dalam mempelajari kejahatan – sebuah pendekatan
yang disebut positivisme. Inti dari mazhab pemikiran positivis adalah pencarian empiris
mengenai sebab dari tingkah laku kriminal. Dengan tetap menghargai keduanya, pendekatan
ini dibedakan dari Beccaria dan para pemikir klasik. Teori klasik Beccaria mungkin terlihat
lebih masuk akal bagi kita saat ini, terutama apabila dibandingkan dengan pemikiran
Lombroso, tetapi Beccaria tidak melakukan riset untuk membangun atau mendukung
pandangannya. Pekerjaannya mungkin masuk akal tetapi tidak ilmiah dalam pemikiran
modern. Beccaria juga mengambil pandangan sederhana mengenai sebab tingkah laku.
Manusia menghitung kesenangan dan penderitaan yang didapat dari tindakan tertentu dan
memutuskan sebaik-baiknya. Dalam pandangan positivis, tingkah laku manusia – terutama
tingkah laku jahat – ada penyebabnya yang rumit dan halus. Apabila mereka mampu
mengungkap sebab-sebab itu, mereka dapat memperkirakan tingkah laku jahat. Hal ini
terlihat sebagai pemikiran yang naif karena dasar suatu ilmu adalah untuk mengidentifikasi
sebab dan memperkirakan akibat. Tetapi apabila ilmu itu berurusan dengan tingkah laku
manusia, maka akan menimbulkan keraguan pada pemikiran bahwa kita punya kebebasan
berkehendak-free will, yaitu bahwa kita bebas memilih apa yang akan kita lakukan dan akan
menjadi apa kita dalam hidup ini.
Perdebatan antara free will dan diterminisme/‘sudah ditentukan-determinism’ merupakan
isu panjang dalam filosofi dan agama, di mana sebagian pemikir menyatakan bahwa Tuhan
menentukan, atau mempra-takdirkan, nasib seseorang. Dalam cara yang sama pendekatan
positivis mempertanyakan determinisme, dalam hal ini ilmiah dan bukan agama. Meskipun
positivis melihat kepada kekuatan alam dan bukan Tuhan, pemikiran mereka setiap hari
menantang asumsi tentang free will. Bukankah apabila tingkah laku saya dapat diperkirakan,
sebagai akibat dari sebab biologis atau sosial atau ekonomi dan apabila saya tidak punya
kekuatan untuk mengubah sebab-sebab itu, seberapa banyak kontrol yang saya punyai untuk
mengatur tingkah laku saya? Apakah saya benar mempunyai kebebasan berkehendak-free
will? Para positivis kemudian, jauh melampaui pemikiran keliru dari Lombroso mengenai
evolusi, mengangkat pertanyaan filsafati paling mendasar dalam ilmu pengetahuan sosial.
Pendekatan Lombroso hidup lebih lama dari pada pemikirannya tentang atavisme pada
area lain yang penting: penekanannya pada kriminal secara individual. Lombroso menaruh
perhatian kepada mengapa penjahat berbeda dengan yang bukan penjahat. Dia juga
menyatakan bahwa karena kejahatan disebabkan oleh kekurangan secara individual,
perawatan khusus mungkin akan membantu penjahat untuk mengatasi kekurangannya.
Bahkan kecenderungan atavistik mungkin dapat disalurkan kepada aktivitas nonkriminal. Hal
ini berlanjut bahwa secara logis penjara seharusnya merupakan tempat untuk rehabilitasi dan
perawatan, bukan hanya penghukuman. Pandangan ini, paling tidak secara prinsip tetap
merupakan ideologi dominan hingga tahun 1960an, meskipun tahun-tahun terakhir ini sudah
menurun. Fokus terhadap kekurangan individual (bukan penyakit sosial) mempengaruhi
bukan hanya kebijakan penjara tetapi juga teori dan riset kriminologis. Positivisme memulai
jalur panjang studi biologis dan psikologis mengenai kejahatan hingga hari ini.

WARISAN LOMBROSO. Penelitian mengenai keadaan penjahat tidak berhenti pada


Lombroso. Awal abad itu seorang peneliti Inggris Charles Goring menghabiskan delapan
tahun untuk mengukur dagu, kening dan telinga demikian juga pendidikan, kebiasaan mabuk
dan standar hidup. Goring mencoba membuktikan bahwa teori atavisme Lombroso salah dan
bahwa metode penelitiannya menyimpang. Mulai tahun 1901, Goring mengambil
mikrometernya dan instrumen lainnya kepada narapidana Inggris dan tepat lain, akhirnya
mengumpulkan data dari 3000 nara pidana dan kelompok pembanding nonkriminal.
Penelitian itu dibuat atas tantangan Lombroso atas kritiknya untuk membentuk komite
imparsial untuk menguji pemikirannya. Penantang atavisme tidak pernah terjadi karena syarat
dari Lombroso bagi komite itu tidak mungkin dipenuhi. Pada saat Goring mempublikasikan
penemuannya, Lombroso telah meninggal empat tahun sebelumnya. Goring menghabiskan
waktu dua tahun lagi untuk menganalisa datanya dengan tehnik statistik modern dan di tahun
1913 dia mempublikasikan kesimpulannya: “Tidak ada apa yang disebut tipe fisik penjahat”.
Goring menambahkan. “Bentuk fisik dan mental baik penjahat maupun orang-orang taat
hukum dari umur, status, kelas dan inteligensia adalah sama”.
Pasti seperti yang terdengar dari pernyataannya. Goring hanya menolak pemikiran
atavisme. Dia tidak membuang pendekatan biologis dari kejahatan. Bahkan sebaliknya
datanya menunjukkan bahwa ketika penjahat Inggris itu ‘normal’, betapapun mereka
terdeteksi oleh kekurangan fisik (misalnya mereka lebih kecil) dan kekurangan kapasitas
mental. Goring juga melihat hubungan antara kejahatan dengan faktor lingkungan yang
diukurnya, dan dia melanjutkan pengembangan teorinya bahwa kejahatan sebagian besar
merupakan kecenderungan secara genetik diwariskan.

PIKIRAN DAN TUBUH


Di Amerika Serikat riset yang menghubungkan kejahatan dengan tubuh dipimpin oleh E.A.
Hooton seorang antropolog Harvard. Di tahun 1930an, Hooton melakukan sebuah studi besar
meliputi 17.000 orang di sepuluh negara bagian. Dia tidak menyebutkan atavisme, tetapi
dalam berbagai hal pekerjaannya menyuarakan tema Lombroso. Penjahat Amerika datang
dari “populasi dengan eleman fisik inferior” inferioritasnya “secara prinsip diwariskan” dan
membawa mereka “tertarik kepada kondisi lingkungan yang tidak baik” di mana yang paling
lemah berubah ke kejahatan. Penjahat adalah “inferior” terhadap nonkriminal dalam semua
pengukuran tubuh dan pikiran. Kedua kelompok itu berbeda dalam bentuk muka – bibir,
telinga, rahang, dan seterusnya. Sedikit penjahat yang mempunyai mata hitam atau biru
sepenuhnya, tetapi mereka biasanya lebih pada tipe campuran. Mereka sering mempunyai alis
tipis , leher panjang dan kurus, kening miring, dan bertatoo (Lombroso juga mencatat tatoo
penjahat, anda mungkin berpikir bahwa tatoo bukan merupakan faktor fisik dan lebih
merupakan kebiasaan yang tidak selalu disenangi orang atau gaya – sesuatu seperti cukur
jenggot/kumis atau menindik telinga atau memakai hak tinggi. Lombroso dan Hooton
berpikir lain, dan mereka sama sekali tidak berpikir demikian. Hidung penjahat yang melebar
merupakan bukti dari “ketidakdewasaan dan keprimitifan”. Seperti juga Lombroso, Hooton
mengklaim bahwa ia dapat menjelaskan perbedaan tipe penjahat: misalnya pemalsu adalah
tinggi dan berat; perampok adalah tinggi dan kurus.

KEBIJAKAN DAN IDEOLOGI


Ketika Hooton mempublikasikan karyanya di tahun 1939, sebagian besar kriminolog tidak
menyetujui pemikirannya dan mengritik risetnya. Tetapi penting untuk mengerti mengapa
karyanya menimbulkan begitu banyak kontroversi. Pada tahun 1939, Amerika sudah mulai
mengenal teori tentang rasialisme dan di mana pemikiran seperti itu telah berkembang di
bawah Nazisme dan Fasisme. Nazi menggunakan antropologi biologi dan fisikal untuk
mendukung klaimnya mengenai ras superior, dan ilmuwan Amerika takut bahwa pemikiran
yang sama akan digunakan terhadap orang hitam, Yahudi dan lainnya di Amerika. Saat ini,
ketika prasangka sebagian besar berbasis pada data sosiologi (misalnya, bahwa orang hitam
faktanya mempunyai angka kejahatan tinggi), kita mungkin akan kehilangan pandangan
tentang ke mana meluasnya prasangka di tahun 1930an di Amerika serikat yang bertumpu
pada pemikiran mengenai aspek biologi dari ras. Hooton mengklaim bahwa adalah keliru
untuk meragukan pemikirannya, mensejajarkannya dengan pemikiran Hitler dan ketika kaum
fasis menyalahgunakan biologi hendaknya tidak digunakan sebagai penyebab dihentikannya
semua riset mengenai sumber biologis terhadap tingkah laku manusia. Ia merasa bahwa
bayinya yang tidak bersalah telah dilempar keluar gara-gara pemikiran kotor Hitler – Hitler’s
dirty bathwater.
Tetapi bagaimanakah sebenarnya perbedaannya? Hooton ingin “meneliti secara serius
karakter anatomi rasial yang merupakan tanda ke depan dari kewarisan-inheritance”
pemikiran yang sama dan pengertian sebenarnya mengenai “ras murni” terletak di jantung
studi Nazi mengenai inferioritas rasial. Apalagi, solusi Hitler mengenai keberadaan manusia
bertaraf rendah dan inferior adalah untuk memusnahkan mereka atau menyekap mereka
dalam kamp konsentrasi. Apakah solusi Hooton akan berbeda? Biarlah dia jawab sendiri.
Penjahat secara organik inferior. Kejahatan adalah akibat dari dampak lingkungan
terhadap organ manusia bertaraf rendah. Selanjutnya penghapusan kejahatan akan
efektif hanya dengan mencabut fisik, mental, moral yang tidak cocok; atau pemisahan
sepenuhnya mereka dari lingkungan sosial yang bisa diterima.

TIPE TUBUH
Pemikiran bahwa bentuk fisik mencerminkan kepribadian mengambil pendekatan
berbeda di tahun 1940an dengan tehnik somatotype. William Sheldon seorang doktor dan
pengikut Hooton, mengembangkan sebuah skema untuk mengklasifikasi manusia
berdasarkan bangunan tubuhnya. Teori somatotype berpegang bahwa ada tiga tipe bentuk
dasar manusia – endomorphic, mesomorphic, ectomorphic – masing-masing terkait kepada
tipe temperamen tertentu.
- Endomorphic, tubuh lembut dan bundar; extrovert, temperamen santai
- Mesomorphic, berotot, tubuh atletis, aktif, temperamen agresif
- Ectomorphic, langsing, tubuh bertulang kecil, introvert, temperamen
sensitif.
Setiap manusia mempunyai kombinasi dari ketiga karakteristik tersebut. Yang penting adalah
proporsinya (atau profil somatypenya), yang beraneka dari orang satu ke orang yang lain.
Dalam risetnya tentang kejahatan, Sheldon membandingkan profil somatype dari 200 remaja
nakal dengan 200 remaja sekolah menengah, dan dia mendapati bahwa remaja nakal rata-rata,
lebih banyak mesomorphic dan sangat sedikit ectomorphic dibandingkan kelompok kontrol
koleganya itu.
Mungkin ada validitas dari hasil Sheldon. Kelompok remaja nakal mungkin saja lebih
banyak bertipe mesomorphic dan hanya sedikit yang kurus, tipe nervous. Betapapun,
beberapa aspek dari riset Sheldon diragukan implikasinya terhadap studi tentang kejahatan.
Pertama, Sheldon menggunakan definisi remaja nakal yang aneh. Bukannya mengukur
jumlah atau keseriusan kejahatan, ia bahkan mendefinisikan kenakalan sebagai “ tingkah laku
mengecewakan diluar harapan yang logis”. Kedua, Sheldon menyatakan bahwa tipe tubuh ini
tidaklah unik bagi penjahat. Dia mendapatkan perlakuan yang sama di kalangan pedagang
dan politikus (persamaan di kalanganan pedagang, politikus dan penjahat kelihatannya
bukanlah suatu kebetulan). Ketiga, Sheldon juga berkeyakinan sama dengan orang lain,
kembali kepada Lombroso bahwa penjahat adalah “ organisme manusia yang inferiour” dan
inferioritas ini terletak berbasis pada keadaan fisik orang tersebut. Jelas bahwa sesorang tidak
akan mendapatkan karakter fisik ini dengan mempelajarinya; dia lahir dengan keadaan itu
sebagai implikasinya, tingkah laku inferior yang dipunyai mereka, tentu sudah menjadi
bagian dari bentuk tubuhnya. Dengan perkataan lain, lebih dari tujuh puluh tahun setelah
teori Lombroso tentang atavisme pertama kali muncul dicetak, beberapa ilmuwan sosial
masih saja berbicara tentang “lahir sebagai penjahat”.
Kriminologi
Materi IV, 3-4 April 2018

KEJAHATAN DAN BIOLOGI – Melihat yang tak terlihat


Pertanyaan yang akan didiskusikan di sini adalah apakah ada dasar biologis yang
membentuk tingkah laku manusia, terutama tingkah laku jahat. Sejauh ini (sekitar tahun
1950an ke atas) peneliti telah mencari bukti dari keadaan fisik yang terlihat oleh mata
telanjang: bentuk telinga, warna mata, tipe tubuh, dan seterusnya. Meskipun para peneliti
mengklaim sendiri bahwa ada bukti yang mendukung pemikiran mereka, mereka
mendapatkan berbagai macam kritik. Bahwa teori mereka absurd-janggal, metodologinya
buruk, pemikirannya sepertinya menyenangkan politik fasis dan rasis. Pemikiran bahwa
sejumlah bayi dilahirkan dengan kecenderungan jahat dan secara moral inferior
berkontradiksi dengan banyak rasa sentimen kita yang paling luhur (semua orang diciptakan
setara). Ini juga berkontradiksi dngan banyak bukti yang memperlihatkan pentingnya faktor
lingkungan dalam kejahatan.

CHROMOSOME, TESTOSTERONE, SEROTONIN Penelitian mengenai lahir


sebagai penjahat tidak dibuang seluruhnya, dan peneliti di paruh akhir abad ke 20
menemukan area fisik lain untuk dijelajahi. Perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan
memungkinkan untuk melihat faktor biologis yang dulu tak terlihat yang mungkin berkaitan
dengan kejahatan. Alih-alih mengukur kemiringan dahi sesorang, sekarang peneliti dapat
mengukur hormon dalam darah, tanggapan kulit Galvanik, gelombang otak dan struktur
kromosom.
Pada tahun 1960an ada perhatian menarik di sekitar kemungkinan adanya hubungan
antara kejahatan dengan abnormalitas genetik, khususnya yang disebut sindrom XYY. Seks
seseorang dientukan oleh sebuah dari dua puluh tiga pasang kromosom warisan orang tuanya.
Setiap orang mewarisi sebuah kromosom X (disebut demikian karena di bawah mikroskop
bentuknya seperti X) dari ibunya. Sebagian orang mewarisi kromosom X kedua, juga dari
ibunya. Orang-orang ini (XX) disebut perempuan. Yang lain mewarisi kromosom Y dari
ayahnya. Orang-orang ini (XY) adalah laki-laki. Ini dialami hampir semua orang. Betapapun,
satu dalam seribu orang mewarisi kromosom ketiga. Mereka dengan ekstra kromosom X
(XXY) dasarnya adalah laki-laki tetapi mempunyai karakter perempuan –mungkin buah dada
mereka juga mengembang – dan biasanya terbelakang. Sekarang, apabila laki-laki dengan
tambahan sebuah kromosom X akan lebih feminin, bagaimana dengan laki-laki dengan ektra
kromosom Y (XYY)? Apakah mereka akan menjadi ‘laki-laki super’ dengan kecenderungan
kelaki-lakian secara berlebihan yang dapat menuju kepada agresifitas, kejahatan dengan
kekejaman?.
Spekulasi seperti itu tumbuh ketika penelitian terhadap narapidana di penjara dengan
keamanan maksimum menunjukkan lebih banyak laki-laki XYY (satu atau dua di antara
seratus dibandingkan dalam masyarakat, satu atau dua di antara seribu), sebagian dari mereka
dengan kejahatan yang “akan memberikan bahan untuk satu seri film horror”. Mulai terlihat
bahwa benar ada komponen genetik dalam kejahatan. Betapapun, ketika data riset lebih lanjut
tentang lebih banyak laki-laki XYY diakumulasikan, pemikiran mengenai laki-laki super
tersebut makin tidak masuk akal. Laki-laki XYY memang berbeda: mereka biasanya lebih
tinggi, dan mempunyai angka IQ lebih rendah; bahkan kelihatannya cenderung lebih mudah
melakukan kejahatan dibandingkan laki-laki normal (XY) dengan IQ, kelas sosial dan sifat
demografi lain yang sama. Meskipun demikian, kejahatan mereka umumnya bukan yang
dengan kekejaman seperti tipe laki-laki super. Sebagai tambahan, abnormalitas XYY terjadi
sangat jarang sehingga penemuan ini mungkin lebih relevan ke dalam bidang genetik di
bandingkan kriminologi. Kejahatan laki-laki XYY amat sangat kecil dibandingkan dengan
jumlah seluruh kejahatan dalam masyarakat kita. Kromosom Y kedua tidak sedikitpun lebih
penting dibandingkan yang pertama.
Beberapa tahun lalu, terjadi kontroversi pahit tentang apakah laki-laki dengan ekstra
kromosom Y yang menentukan – sindrom XYY – adalah hiper maskulin. Seorang
humoris yang tersinggung menulis dalam Science bahwa adalah menggelikan untuk
begitu bergairah terhadap sindrom XYY yang sangat langka, ketika 49 persen dari
species ini telah terdampak oleh XY sindrom - sebuah ketidaktertiban yang tidak
kontroversial yang diketahui menyebabkan hiperaktivitas dan ketidakmampuan belajar
di masa anak-anak, kematian muda pada orang dewasa dan sebuah kecenderungan
mengerikan terhadap kekerasan irasional di sepanjang hidup. “Peracunan testoteron”
disebut oleh seorang teman saya.
Pemikiran untuk menghubungkan kejahatan kepada laki-laki super didasari fakta yang
diketahui semua orang bahwa laki-laki melakukan kejahatan lebih banyak dibandingkan
perempuan. Juga adalah fakta yang diketahui semua orang bahwa laki-laki secara biologis
berbeda dengan perempuan. Kedua fakta ini (perbedaan biologis dan perbedaan kejahatan)
menggiring kepada studi kromosom. Alur pemikiran yang sama juga menggiring peneliti
kepada satu hormon kunci yang membuat laki-laki berbeda dengan perempuan: testoteron.
Oleh karena laki-laki mempunyai testoteron lebih banyak dibandingkan perempuan, apakah
penjahat mempunyai testoteron lebih banyak dibandingkan yang bukan penjahat? Penemuan
riset tidaklah ekstensif, dan sering bergantung kepada sampel kecil. Pada tahun 1970an studi
terhadap dua puluh satu nara pidana mendapatkan bahwa mereka yang melakukan kejahatan
dengan kekerasan saat remaja mempunyai tingkat testoteron lebih tinggi. Studi lebih baru
terhadap sampel yang lebih banyak menemukan bahwa tingkat testoteron tinggi berkaitkan
tidak hanya dengan kejahatan tetapi juga dengan sifat seperti dominasi dan kompetitif. Jadi
meskipun testoteron jelas merupakan faktor biologis dan memberi andil kepada motivasi
tertentu, bentuk khusus yang mendorong motif ini tergantung kepada faktor-faktor sosial.
Laki-laki dengan tingkat testoteron tinggi dan tidak terintegrasi ke dalam masyarakat
akhirnya dapat melakukan kejahatan. Tetapi untuk laki-laki lain, sifat testoteron tinggi akan
muncul sebagai sifat agresif yang secara sosial dapat diterima, misalnya dalam atletik
maupun bisnis.
Riset terbaru berkaitan dengan kejahatan di fokuskan kepada unsur kimia di otak yang
disebut neurotransmitters. Satu di antaranya, serotonin, yang kelihatannya digunakan untuk
menyeimbangkan tanggapan manusia terhadap stimuli emosional. Orang dengan tingkat
serotonin rendah cenderung memberi tanggapan secara impulsif dan penuh kekerasan. Dari
dua karakteritik ini – impulsif dan penuh kekerasan – sebagian besar penelitian tentang
serotonin lebih cenderung kepada yang kedua, tetapi apabila memang ada hubungan
serotonin dengan kejahatan, mungkin kaitannya adalah dengan impulsivitas. Bahkan bagi
kejahatan terhadap harta benda, kebanyakan pejahatnya oportunistik. Kejahatannya tidak
direncanakan dan penjahatnya lebih beraksi karena impuls dibandingkan dengan memikirkan
secara teliti segala tindakannya.

SEMUA DALAM KELUARGA Selama empat puluh tahun terakhir sebagian besar
riset biological diabaikan dalam arus utama kriminologi. Pada tahun 1950an pandangan
dominan dalam ilmu tingkah laku – sosiologi, psikologi dan antropologi – memutuskan untuk
melawan uraian biologis tentang tingkah laku. Ideologi yang umum berlaku menganut
pendapat bahwa semua tingkah laku itu dipelajari dan bukan didapat sejak lahir dan bahwa
faktor lingkungan ditekankan sejauh-jauhnya sebagai pengaruh terbesar pada tingkah laku
manusia. Betapapun, ada sedikit peneliti yang terus mencari faktor biologis pada kejahatan.
Sebagian dari mereka sebagaimana kita lihat, mengejar biologi kejahatan dengan
menggunakan metode klinis tradisional (seperti laboratorium), menganalisa contoh darah.
Tetapi peneliti berorientasi biologis yang lain memilih pendekatan epistemologi yaitu
mempelajari distribusi kejahatan seolah-olah suatu penyakit dan menggunakan metode ilmu
pengetahuan sosial. Alih-alih mencari elemen biologi khusus (seperti testoteron) yang
mungkin berkaitan dengan kejahatan, para peneliti ini hanya mencoba memperlihatkan
bahwa tingkah laku dan kepribadian memang mempunyai dasar biologis dan diturunkan,
meskipun kita mungkin tidak tahu faktor spesifik yang terlibat.
Sebagian besar riset ini mencoba menghubungkan kesamaan biologis dengan kesamaan
tingah laku. Apabila ada faktor genetik dalam kejahatan, makin besar kesamaan biologis
antara dua orang, akan lebih besar kesamaannya dalam kejahatan. Misalnya, orang dalam
keluarga yang sama secara biologis akan sama satu dengan yang lain dibandingkan yang
bukan anggota keluarga. Jadi kita mungkin dapat melihat catatan kejahatan sesama saudara.
Apabila seseorang mempunyai catatan kejahatan apakah saudaranya juga punya? Tentu saja
anda akan segera melihat masalah di sini. Meskipun bersaudara itu sama-sama mempunyai
catatan kejahatan, penyebab dari kesamaan tersebut dengan mudah dapat disebutkan baik
karena lingkungan maupun keturunan. Mereka mewarisi materi genetik yang sama, tetapi
mereka mungkin juga dibesarkan dalam lingkungan yang sama. Bagaimana kita mengetahui
yang mana penyebab sebenarnya dari kesamaan dalam kejahatan itu?.

KEMBAR - FRATERNAL DAN IDENTIK Ada dua strategi umum riset untuk
menguraikan simpul dari lingkungan dan keturunan. Metode pertama membandingkan
pasangan kembar fraternal dengan pasangan kembar identik. Fraternal atau dizygotic (DZ),
kembar disebabkan oleh karena dua telur terpisah dibuahi pada saat yang sama. Secara
genetik mereka tidak berbeda dengan dua telur terpisah yang dibuahi pada waktu berbeda,
nah itulah, kembar fraternal tidak berbeda secara genetik, mereka seperti kakak beradik
biasa. Mereka berbagi sekitar separuh gennya. Betapapun pada beberapa kasus sebuah telur
yang telah dibuahi memecah diri menjadi dua embrio dan berkembang menjadi indentikal
atau kembar monozygotik (MZ). Mereka berbagi semua materi gen, dan itulah mengapa
kembar identikal selalu mempunyai seks sama sedang kembar fraternal mungkin berbeda.
Para peneliti telah mencari derajat kesesuaiannya atau concordance antar para kembar
dari ke dua tipe. Umumnya, mereka menemukan kesamaan kejahatan yang lebih besar antara
kembar identik dibandingkan kembar fratenal. Misalnya, sebuah studi Denmark terhadap
3.500 pasangan kembar menemukan kesesuaian untuk kembar MZ lebih dua kali lipat dari
kembar DZ. Apabila seorang kembar MZ mempunyai catatan kejahatan, yang lain
mempunyai kemungkinan 52 persen untuk juga mempunyai catatan kejahatan. Untuk kembar
DZ, angkanya hanya 22 persen. Terlihat bahwa kembar MZ dibesarkan dalam lingkungan
yang sama dengan kembar DZ, sehingga kesamaan yang lebih kuat harusnya disebabkan oleh
karena kesamaan genetik yang lebih kuat. Tentu saja, faktor lain pasti juga memainkan peran
karena bahkan di antara kembar identikal MZ, hanya setengah pasangan yang mempunyai
kesesuaian.

ORANG TUA DAN ANAK Strategi kedua adalah melihat kesamaan kejahatan antara
orang tua dan anak, apabila ada komponen genetik terhadap kejahatan, maka akan dialirkan
dari orang tua kepada anak dengan material genetik yang lain. Sekali lagi di sini, kita
menghadapi masalah mengurai keturunan dengan lingkungan. Apabila kita menemukan anak
meniru orang tua dalam kejahatan, sebabnya mungkin sifat genetik yang dialirkan, tetapi juga
dapat disebabkan oleh berbagai faktor sosial. Anak mungkin mengambil cara orang tuanya
melalui peniruan. Kalau begitu, bagaimana kita mengetahui sejauh mana kesamaan itu adalah
biologikal dan sejauh mana sosial?
Suatu cara memisahkan keturunan dengan lingkungan adalah dengan mempunyai dua
pasangan orang tua yang terpisah, satu untuk keturunan dan yang lain untuk lingkungan, dan
kemudian dilihat pada siapa anak mempunyai kesamaan. Tentu saja kita tidak dapat dengan
sengaja melakukan percobaan seperti itu, tetapi seperti yang anda sudah ketahui, sesuatu yang
sangat dekat dengan percobaan seperti itu sudah tersedia: adopsi. Yang perlu kita lakukan
adalah mencari tahu kriminalitas dari orangtua adopsi, orang tua biologi dan anak itu sendiri.
Tabel 10-1 memperlihatkan hasil dari studi dari anak laki-laki yang diadopsi dan orang
tuanya di Denmark.

Tabel 10-1
Kriminalitas anak laki-laki – sons
Apakah orang tua adopsi Apakah orang tua biologi kriminal?
keriminal?
Tidak Ya
Tidak 13,5% (dari 2.492) 20,0% (dari 1.226)
Ya 14,7% (dari 204) 24,5%(dari 143)
Sumber: hal 320

Pertama lihatlah kolom dalam tabel. Membesarkan anak dalam rumah yang kriminal hanya
berdampak sedikit perbedaan 1,2 atau 4,5 persen, tergantung pada kriminalitas orang tua
biologis. Betapapun dengan membaca baris, dapat anda lihat bahwa dampak dari orang tua
biologis jauh lebih besar (dalam studi ini ‘kriminal’ berarti pernah dijatuhi hukuman sekali
atau lebih. Kejahatan orang tua adopsi biasanya hanya sekali dijatuhi hukuman; kejahatan
orang tua biologi sering kali dua kali atau lebih dijatuhi hukuman).
URAIAN BIOLOGIS TENTANG KEJAHATAN: METODE, KEGUNAAN DAN
IDEOLOGI
Studi tentang kembar dan adopsi ini, seperti riset biologis lain yang disebutkan dalam
bab ini telah menerima banyak kritik. Kritik menunjukkan bahwa dalam studi tentang adopsi,
perbedaan antara kelompok sangat kecil; bahwa inti dari studi yang menggunakan hanya ayah
dan bukan kedua orang tua, memperlihatkan tidak ada perbedaan signifikan; dan para peneliti
harus selalu menyesuaikan sampelnya hingga mereka menemukan hubungan yang diinginkan
antara orang tua biologis dan anak.
Meskipun kita menyetujui bahwa studi biologis akurat, kita masih harus
mempertanyakan interpretasi dan kegunaannya. Tak seorangpun, bahkan para kriminolog
yang paling berorientasi biologis, mengklaim bahwa faktor biologi atau genetik secara
absolut menyebabkan kejahatan. Apalagi, bukankah banyak orang dengan testoteron tinggi
atau serotonin rendah atau faktor lain yang bisa dikaitkan dengan kejahatan, tetap tidak
menjadi penjahat. Sebaliknya, beberapa kriminolog mengatakan bahwa faktor-faktor ini
mempredisposisi seseorang kepada kejahatan. Apakah kecenderungan itu mengambil bentuk
kejahatan atau disalurkan pada tujuan nonkriminal tergantung kepada berbagai kekuatan
sosial.
Mungkin lebih mudah untuk melihat gambaran interaksi antara biokemikal dan faktor
sosial dengan melihat bukan kepada hormon atau bahan kimia lain yang diproduksi di dalam
badan tetapi dengan melihat bahan kimia yang lebih familiar yang diproduksi di luar yang
dimasukkan orang dalam tubuhnya – bahan kimia seperti kokain, amphetamin, PCD
(phencylidine, atau bubuk malaikat) dan alkohol. Jelas bahwa bahan-bahan ini memproduksi
perubahan bahan kimia yang mempengaruhi cara seseorang merasa dan bertingkah laku
(apabila tidak, semua itu tidak akan semahal itu) dan juga jelas, semua itu memainkan peran
penting dalam kejahatan dan kekerasan. Kita dapat mengatakan bahwa semua itu
mempredisposisi orang terhadap kejahatan, meskipun semua itu tidak mempengaruhi setiap
orang secara sama. Lebih penting lagi, meskipun obat-obatan meningkatkan agresifitas atau
perasaan anti sosial seseorang, orang itu mungkin tercegah untuk melakukan apa yang
dirasakannya itu karena moralnya atau karena pengaruh orang lain dalam situasi itu.
Oleh karena itu, debat mengenai biologi dan lingkungan (atau ‘nature’ dan ‘nurture’)
sebenarnya lebih kepada masalah penekanan. Sebagian besar peneliti setuju bahwa faktor
biologi memainkan bagian kurang penting dalam kriminalitas. Bahkan Lombroso
menyatakan bahwa dua pertiga penjahat secara biologis tidaklah berbeda dengan yang bukan
penjahat. Baru-baru ini Sarnoff Mednick seorang biolog terkemuka Amerika melakukan riset
mengenai kejahatan mengatakan “Faktor sosial sangat lebih penting dalam etiologi (sebab)
kejahatan dan semua orang tahu akan hal itu, terutama para biolog”
Sebagai tambahan, teori biologi mempunyai relevansi terbatas; mereka dapat menolong
untuk menjelaskan perbedaan individual, tetapi hampir tak ada gunanya dalam menjelaskan
fakta sosial mengenai kejahatan, seperti misalnya perubahan besar dalam angka kejahatan.
Biologi dari gen dan keadaan genetik dari penduduk tidaklah berubah. Sensus gen di AS di
tahun 1970 pada dasarnya sama dengan di tahun 1960, meskipun selama dekade itu angka
kejahatan berlipat dua kali. Ada sesuatu yang berubah, yang jelas bukan biologi.
Akhirnya, teori biologi merupakan isu politik. Tujuan politis dari teori biologis dimulai
dengan klaim bahwa pemikiran biologi mengalihkan perhatian dari sumber sosial kejahatan.
Pertama, apabila kejahatan adalah masalah warisan biogenetik, kita tidak lagi harus kuatir
tentang kemiskinan, ketidaksetaraan, hubungan ras, atau semua masalah berkaitan dengan
reformasi sosial. Kedua, kritik takut bahwa sebagian orang akan mengambil teori biologis
untuk mengartikan bahwa individu dan kelompok tertentu adalah inferior. Asumsi biologis,
apakah melalui studi mutahir ataupun tulisan dari Lombroso, adalah bahwa orang berbeda
dalam keadaan dasar biologisnya dan perbedaan ini mungkin diwarisi. Orang yang
merupakan penjahat, mungkin secara biologis dan moral inferior. Bagaimanakah apabila kita
menerapkan pemikiran ini tidak saja kepada penjahat sebagai individu tetapi juga kepada
angka kejahatan? Misalnya, apabila angka kejahatan tinggi di antara orang miskin,
mungkinkah itu berarti bahwa orang miskin secara biologis inferior?
Pertanyaan semacam itu akan makin kontroversial apabila dikaitkan dengan perbedaan
rasial dalam kejahatan. Orang Amerika keturunan Afrika hari ini, Orang Amerikan keturunan
Italia se abad yang lalu, orang Irlandia di Inggris – semua kelompok ini mempunyai angka
kejahatan tinggi dibandingkan mayoritas penduduk yang lain. Apalagi, kelompok rasial atau
etnik ini tidak seperti kelas sosial yang berbeda, mungkin mempunyai perbedaan biologis dari
mayoritas penduduk. Mereka punya bentuk fisik yang berbeda, yang diturunkan secara
genetik dari orang tua kepada anaknya. Pertanyaannya adalah apakah sifat moral atau tingkah
laku juga bagian dari warisan biogenetik. Saat ini, tidak ada biolog bertanggung jawab yang
mau mengklaim bahwa suatu kelompok ras secara moral superior atas dasar warisan
biologisnya, tetapi beberapa biolog memang mengklaim bahwa mungkin ada komponen
biogenetik dalam kriminalitas. Para pengritik takut bahwa pemikiran itu dapat menjurus
kepada kekerasan. Beberapa kekejaman yang paling parah dalam sejarah disebabkan oleh
pemikiran mengenai inferioritas rasial.
Sedikit orang bahkan pengriktik yang paling keras, bener-benar percaya bahwa teori
biologis kejahatan dapat menuju kepada persaingan atau sesuatu yang menyamai
pembunuhan jutaan orang yang ‘inferior secara rasial’ dibawah naziisme atau perbudakan.
Tetapi sebagian orang memang takut bahkan terhadap kebijakan yang tidak terlalu ekstrem
yang dapat muncul karena pemikiran itu. Kebijakan ini mungkin melibatkan penggunaan
informasi biologis untuk menentukan bagaimana perlakuan yang diterima seorang penjahat.
Seorang penjahat, yang secara biogenetik sudah diidentifikasi sebagai berisiko tinggi akan
menerima hukuman berbeda dengan yang diterima oleh mereka yang diidentifikasi berisiko
rendah. Kebijakan ini, betapapun, akan menghukum seseorang atas dasar keadaan
biogenetiknya dan bukan karena kejahatannya.

DARI BIOLOGI KE PSIKOLOGI


Studi terhadap kembar dan adopsi mungkin memperlihatkan bahwa ada dasar biologis pada
kejahatan, tetapi semua itu tidak mencoba untuk mengidentifikasi secara persis komponen
fisik yang mendorong kepada kejahatan. Sebagai suatu cara untuk menerangkan kejahatan,
studi yang lebih canggih ini, tetap tidak cukup memuaskan dan sama saja dengan pemikiran
Sheldon tentang tipe tubuh. Paling tidak Sheldon dapat menghubungkan keadaan fisik
tertentu kepada angka tinggi kenakalan remaja. Betapapun, Sheldon tidak dapat menyatakan
secara jelas apanya pada tipe mesomorphic, atletik yang membuat mereka rentan kepada
kenakalan. Kita harus kembali jauh ke belakang kepada pemikiran Lombroso, bahwa
penjahat baik tubuh maupun pikirannya hanya sedikit berevolusi; menjadi seperti orang
biadab dan bahkan binatang; penjahat tentu saja memangsa sesamanya tanpa menghormati
hukum modern maupun moral.

KESADARAN-CONSCIENCE DAN PENGKONDISIAN-CONDITIONING


Pada tahun 1960an, hubungan dalam kejahatan antara pikiran dan tubuh menjadi fokus bagi
minat psikolog dalam pengkondisian. Terminologi itu merujuk kepada proses di mana reaksi
yang dipelajari menjadi otomatis dan dihayati. Banyak riset dan teori di area ini dalam
psikologi Amerika tradisional dikenal sebagai isme tingkah laku – behaviorism, sebuah
perspektif yang menekankan kepada tingkah laku dan bukan pikiran, dan sejak Pavlov
mengkondisikan seekor anjing untuk ngiler-melelehkan ludah pada bunyi sebuah genta, para
psikolog telah melakukan pengkondisian tingkah laku di laboratorium binatang, hanya sedikit
memikirkan mengenai apa yang ada di pikiran binatang itu. Dari sudut pandang para ahli
tingkah laku, pikiran – baik pada manusia maupun binatang – hanyalah seperangkat refleks
yang dikondisikan.
Perspektif para ahli tingkah laku mengenai kejahatan terletak pada dua asumsi: pertama,
orang melakukan kejahatan karena kesadaran lemah; dan kedua, orang memperoleh
kesadaran sama seperti tikus dapat dikondisikan untuk membelok ke kanan dalam sebuah
labirin atau anjing dapat dikondisikan untuk tidak mengotori karpet. Dalam istilah psikolog
Hans Eysenck, “kesadaran adalah refleks yang dikondisikan”

PHISIOLOGI DAN PSIKOLOGI Apakah hubungan semua ini dengan phisiologi, di


samping adanya fakta yang jelas bahwa dalam penegakannya – terutama ketika
mengkondisikan binatang laboratorium – seringkali phisikal (misalnya, makanan, alat kejut
listrik)? Apabila anda pernah mencoba melatih binatang, anda akan tahu bahwa ada dua sisi
prosesnya – yang dilatih dan pelatihnya. Dari sisi pelatihnya, apabila penghargaan/hadiah dan
hukumannya tidak cukup kuat, atau tidak dilaksanakan secara konsisten atau segera,
pengkondisian itu akan kurang efektif. Misalnya, saat ini manual pengasuhan anak secara
keras menyalahkan ketidakkonsistenan orang tua. Bayangkan seorang orang tua yang dari
waktu ke waktu mengabaikan tingkah laku salah seorang anak atau selalu hanya mengancam
tetapi tidak pernah memberlakukan ancaman tersebut; tetapi sering kali, lama setelah tingkah
laku salah itu dilakukan, orang tua membangkitkannya lagi dan menghukum berat anak
tersebut. Pengasuhan buruk – bad parenting seperti kata manual, dengan disiplni yang tidak
konsisten seperti itu, tak mungkin seorang anak belajar bertingkah laku yang benar.
Kualitas pelatihan mungkin beragam dari seorang pelatih (atau orang tua) ke pelatih yang
lain. Tetapi yang dilatihpun berbeda-beda. Suatu teknik yang sama benar yang berhasil
digunakan untuk seekor anjing ras tertentu, misalnya, mungkin tidak berhasil untuk yang lain.
Anak juga demikian, berbeda satu dengan yang lain. Sebagian mungkin lebih sukar
dikondisikan dibandingkan yang lain. Dan sebagian mungkin memberi tanggapan berbeda
pada penghargaan atau hukuman yang berbeda. Beberapa perbedaan ini terletak pada masalah
temperamen dan kepribadian. Tetapi bagaimana apabila juga ada perbedaan phisiologis yang
membuat sebagian orang kurang dapat dikondisikan. Misalnya, bagaimana apabila sebagian
orang kurang sensitif terhadap rasa sakit? Oleh karena hukuman dirasakan tidak terlalu
menyakitkan maka efektifitasnya juga berkurang. Faktanya beberapa psikolog mengklaim
bahwa bahwa ada orang yang secara umum tidak begitu merasakan sensasi phisik. Orang
seperti ini lebih toleran pada stimulasi yang tinggi; mereka lebih memilih atau bahkan
membutuhkan stimulasi yang dipertinggi. Mereka tertarik kepada olah raga kontak fisik dan
musik keras. Dan tentu saja mereka kelihatannya cenderung untuk melakukan kejahatan.
“Imunitas mereka yang besar terhadap rasa sakit ...... menerangkan, sebagian,
ketidakmampuannya untuk bersimpati yang dirasakan orang lain. Hal ini mungkin
menggaris bawahi keterlibatan mereka yang besar pada kecelakaan, kecerewetan mereka dan
bahkan pemilihan mereka untuk membuat tatoo pada dirinya sendiri”. Apakah gambaran ini
(diambil dari buku text kriminologi tahun 1984 yang ditulis oleh kriminolog yang terkemuka)
terasa tidak asing? Kembalilah dan periksa inventori Lombroso mengenai ciri-ciri penjahat
(buku hal 312).

TANGGAPAN DAN TELAPAK BERKERINGAT-SWEATY PALMS Variasi dari


pemikiran ini datang dari studi konduksi kulit; yaitu bagaimana mudahnya kulit seseorang
mengkonduksi listrik. Konduksi kulit adalah indikator dari naiknya gairah tanggapan seperti
debar jantung dan pernafasan. Apabila seseorang gugup atau ketakutan, permukaan telapak
tangannya jadi lembab dan konduksi kulit naik. Dengan alasan tersebut, ini adalah suatu
ukuran yang digunakan dalam tes poligraf (mesin pendeteksi kebohongan – lie detector).
Dasarnya, hanyalah bahwa bagian dari poligraf ini adalah alat yang sangat peka untuk
mendeteksi telapak yang berkeringat.
Peneliti mendapatkan bahwa penjahat dan non penjahat berbeda satu dengan yang lain
yang disebut sebagai pemulihan konduksi kulit – skin conductance recovery. Inilah
lamanya waktu yang dibutuhkan konduksi kulit untuk kembali ke tingkat normal yang
mengikuti naiknya gairah. Secara tipikal, seseorang dalam percobaan seperti itu menerima
‘stimulus permusuhan’ – diberi suntikan hipodermik atau kejutan listrik, diberitahu bahwa
stimulus seperti itu akan diberikan kepadanya, atau kepadanya diperlihatkan ketika seseorang
bereaksi pada kejutan atau suntikan yang menyakitkan. Di bawah kondisi ini orang akan
menjadi gelisah, tangannya makin lembab dan konduksi kulitnya naik. Pertanyaannya ialah
seberapa jauh kenaikannya dan berapa lama dibutuhkannya untuk kembali normal. Umumnya
dalam studi seperti ini penjahat memperlihatkan lebih sedikit kenaikan gairah dan waktu
pemulihan yang lebih lama.
Menurut teori ini seseorang dengan kenaikan gairah rendah dan pemulihan lambat akan
lebih sukar dikondisikan. Ambil sebuah contoh, seorang anak yang mulai melakukan
tindakan salah, seperti memukul anak lain. Orang tuanya campur tangan, memarahinya,
mengancam untuk menahan rasa sayang atau menghukum anak itu; dalam setiap peristiwa,
orang tua menghadirkan ‘stimulus permusuhan’ yang menumbuhkan rasa takut anak. Anak
berhenti memukul, orang tua menyetujuinya, dan anak tidak lagi merasa takut. Dengan kata
lain anak merasa takut apabila bertindak salah dan terbantu menghentikan tidakan salah.
Anak yang paling terpengaruhi adalah anak yang yang merasakan bangkitnya rasa takut yang
tinggi dan mengalami pengurangan rasa takut yang besar dan cepat. Tetapi bagaimana
dengan anak yang merasakan bangkitnya rasa takut yang rendah dan mengalami pengurangan
rasa takut yang kecil dan lambat? Anak tersebut tidak merasa perbedaan yang besar antara
hukuman dan bantuan, atau antara tingkah laku buruk dan baik. ‘Refleks yang dikondisikan’
yang merupakan kesadaran tidak terlalu kuat. Anak akan lebih melakukan tindakan salah dan
akhirnya melanggar hukum. Dan pada teori telapak berkeringat –seperti juga teori Lombroso,
Hooton, Sheldon dan lainnya – kelemahan kesadaran terletak pada perbedaan phisik pada
tubuh penjahat.

PERSPEKTIF FREUDIAN
Di luar laboratorium penelitian, psikologi datang di bawah pengaruh dari teori yang sangat
berbeda: psikoanalisa. Teori dan terapi psikoanalisa terutama merupakan kreasi Sigmund
Freud, yang pemikirannya dikembangkan dari perawatannya terhadap pasien kelas menengah
yang menderita simtom neurotik seperti phobia, tingkah laku obsesif dan histeria (yang
simtom phisiknya adalah – paralisis, anesthesia dan batuk-batuk – yang tanpa sebab phisik).
Freud sendiri hanya sedikit menulis tentang kejahatan dan penjahat, tetapi pemikirannya
memang memberikan penjelasan yang sangat umum. Freud seperti layaknya ahli tingkah
laku, percaya bahwa apa yang mencegah orang untuk melakukan kejahatan adalah kesadaran
(dan ini mungkin satu-satunya hal yang dibagi-share oleh kedua mashab tersebut). Betapapun
teori Freudian menyodorkan model psikis (pikiran atau jiwa – mind or soul) yang sangat
berbeda. Pemikiran ini melihat pikiran bukan sebagai seperangkat refleks yang dikondisikan,
tetapi sebagai struktur dengan tiga bagian. Tanpa kesadaran, orang akan dipimpin oleh Id-
bagian psikis yang melayani sebagai sebuah penyimpanan energi seksual dan agresivitas.
Ego, komponen kedua psikis, adalah bagian yang merupakan diri sendiri-the self . Ego
menangani realitas hidup sehari-hari, bernegosiasi di kehidupan nyata untuk memuaskan
keinginan instinktif dari Id. Id beroperasi dalam prinsip kenikmatan; yang dipikirkan hanya
kesenangan atau ketidakadaannya di dunia nyata saat ini. Ego harus beroperasi dalam prinsip
realitas, menunda kepuasan.
Apabila psikis hanya terdiri Ego dan Id, orang akan melakukan semua yang bisa
dilakukannya untuk memuaskan impulsnya. Betapapun, kebanyakan orang tidak melakukan
kejahatan – meskipun yang mungkin dapat diatasinya. Bahkan pemikiran itu tidak pernah
masuk dalam pikiran (kesadaran) mereka, atau apabila ada, ini disertai dengan rasa takut atau
bersalah – kepedihan hati nurani. Mekanisme yang tidak disadari yang secara otomatis
mencegah orang untuk melakukan yang terlarang ini disebut Superego. Dalam teori Freud,
superego bukanlah bagian dari keadaan asli mental seseorang; tetapi hal ini berkembang di
awal kehidupan anak-anak ketika anak menginternalisasi kehendak orang tua. Kekuatan
superego tergantung kepada hubungan antara anak dengan orang tuanya. Penjahat yang
mengabaikan aturan masyarakat, yang tidak memperlihatkan penyesalan, yang tidak peduli
atas penderitaan korban atau orang lain dalam mengejar kesenangannya sendiri – ini adalah
tipe yang cocok dengan gambaran dari supereogo yang lemah. Kejahatannya, seperti simtom
neurotik, merupakan cara simbolik untuk menangani impian dan konflik yang tidak
disadarinya dan motivasinya sangat rumit dan sering kali tidak disadari.
Menemukan pemikiran khusus mengenai ketidaksadaran yang secara simbolik
mencerminkan kejahatan mungkin menarik. Misalnya, psikiater psikoanalis yang terlatih
mungkin menemukan bahwa mencuri merupakan kompensasi simbolik dari rasa cinta yang
didambakan oleh penjahat itu yang tidak didapatkannya dari ibunya pada masa kecilnya.
Kesulitan dalam interpretasi semacam ini bukan pada keakuratannya (meskipun pemikiran
Freudian lama diserang, dan narapidana yang dirawat dengan tipe psikoterapi Freud
kelihatannya tidak menunjukkan perbaikan dan perbedaan dalam menghindari masalah
dibandingkan dengan narapidana lain). Masalah sebenarnya adalah bahwa intepretasi tidak
dapat digeneralisasi di atas kasus individual. Psikoanalisa dapat menerangkan banyak tentang
penjahat secara individual tetapi hanya sedikit tentang kejahatan.
Baik model Freudian dan model tingkah laku berusaha untuk memperlihatkan bagaimana
penjahat gagal dalam mendapatkan kesadaran. Kedua teori tersebut juga berfokus kepada
perkembangan. Keduanya mulai dengan asumsi bahwa kita semua lahir sebagai penjahat
(bandingkan dengan perkiraan Lombroso yang adalah sepertiga dari populasi seluruh
penjahat) tetapi bahwa pada tahun-tahun awal kehidupan kita, kebanyakan dari kita
mengembangkan mekanisme psikologis yang membuat kita bukan penjahat. Teori ini
merupakan upaya mulia – berusaha untuk mendefinisikan proses untuk menjadi orang
bermoral – tetapi sesuatu yang bukti konklusifnya sukar didapatkan. Kedua teori itu
membutuhkan observasi hati-hati dan sistematik mengenai interaksi sehari-hari anak dengan
orang tuanya. Semua itu juga membutuhkan pemikiran untuk mengubah pemikiran-pemikiran
khas seperti ‘internalisasi’ atau ‘penguatan-reinforcement’ menjadi bentuk khusus dari
tingkah laku yang dapat dikenali oleh setiap pemerhati-observer.
Mungkin karena teori perkembangan sangat sukar dibuktikan, teori psikologi yang lain
ditempatkan dengan kurang ditekankan kepada bagaimana seorang anak berkembang menjadi
penjahat dan lebih ditekankan kepada pencarian dari masalah ciri-ciri psikologikal dan
personal yang biasa ada di antara penjahat. Apakah ada beberapa kumpulan ciri-ciri yang
dapat diidentifikasi yang dapat membedakan penjahat dan non pejahat. Intinya, apakah ada
pikiran penjahat – criminal mind ?

PSIKOPAT DAN SOSIOPAT – LAHIR SEBAGAI PENJAHAT DILAHIRKAN


KEMBALI
Pada awal abad ke dua puluh, para psikiatris dan pekerja sosial mulai menggunakan
terminologi psikopat untuk menggambarkan penjahat tertentu. Diambil dari kata Yunani
untuk pikiran dan penyakit, terminologi itu merujuk kepada penyakit dan telah digunakan
untuk menggambarkan orang yang melakukan kejahatan tak masuk akal, yang melakukan
tanpa alasan jelas, yang terlihat tidak punya rasa bersalah. Akan tetapi terminologi itu telah
digunakan untuk menetapkan ragam yang luas dari penjahat. Di satu pihak psikopat
dikatakan impulsif tak mampu mengontrol dirinya di pihak lain ia digambarkan sebagai
seseorang yang dingin, yang memanipulasi orang lain untuk keuntungannya sendiri. Dalam
keduanya, mereka tahan terhadap pengaruh orang lain dan tidak menyesali kejahatannya.
Dalam penggunaan aktual, betapapun psikopat sukar untuk ditentukan, kesukaran yang dapat
dimengerti karena label tersebut dapat diterapkan pada keduanya, pada penjahat impulsif dan
penuh kekerasan serta penjahat artis yang licin dan penuh perhitungan. Sepertinya diagnosa
psikopat sering lebih berhubungan dengan orang yang melakukan diagnosa dibandingkan
orang yang didiagnosa. Misalnya di tahun 1925, sebuah klinik untuk remaja bermasalah telah
mendiagnosa psikopat sekitar satu persen dari kasus yang diterimanya. Tiba-tiba, dalam
setahun klinik itu mempunyai enam kali jumlah anak yang diproporsikan sebagai psikopat.
Anak yang dibawa ke klinik itu mungkin sama saja dengan yang datang tahun sebelumnya.
Yang berubah adalah bentuk dari diagnosa psikiatriknya.
Karena penyalahgunaan terminologi psikopat, sebagian psikiater dan pekerja sosial
menggantinya dengan terminologi sosiopat, meskipun artinya tidak terlalu berbeda.
Keduanya merupakan konsep tingkah laku anti sosial dengan melihat itu sebagai simtom dari
suatu penyakit – suatu kondisi yang membuat seseorang tidak mampu mengikuti aturan-
aturan sosial.

MENEMUKAN PATOLOGI Bagaimana kita mengetahui bahwa penyakit seperti itu


ada? Kita tidak dapat melakukan tes laboratorium sebagaimana kita lakukan pada penyakit
phisik. Bukti prinsip haruslah tingkah laku seseorang. Tetapi bagaimana kita tahu bahwa
tingkah laku itu disebabkan oleh suatu penyakit dan bukan karena tanggapan terhadap
tekanan suatu situasi? Satu cara adalah untuk melihat bagaimana orang tersebut bertingkah
laku dalam berbagai situasi dan dalam jangka waktu panjang. Dengan perkataan lain, kita
menanyakan dua pertanyaan: Apakah penjahat ‘jahat-bad’ di hampir semua area sosial? dan
Apakah anak ‘nakal-bad’ tumbuh dewasa menjadi orang dewasa ‘jahat-bad’? Jika demikian,
konsistensi ini merupakan bukti bahwa tingkah laku disebabkan oleh sesuatu dalam diri
seseorang, sesuatu seperti penyakit permanen.
Mungkin riset paling mendalam terhadap pertanyaan ini adalah riset Lee Robins
mengikuti perkembangan anak selama 30 tahun – lebih dari seperempatnya sekitar 18 – yang
pernah dibawa ke klinik pembinaan anak. Sebagian dirujuk oleh pengadilan remaja, yang lain
oleh orang tua atau guru. Robins belum ada pada tahun 1920an untuk diagnosa aslinya.
Betapapun ia telah menyelamatkan berkasnya dan bisa mendapatkan informasi dari 524
anak bermasalah yang saat ini telah dewasa. Dalam banyak kasus, peneliti dapat
mewawancarai orang itu sendiri atau keluarga yang dapat mengganti mereka untuk mengisi
keterangan kehidupan mereka setelahnya. Untuk perbandingan, para peneliti juga
mewawancarai sebuah kelompok kontrol yang anggotanya tidak pernah mengalami masalah
tingkah laku yang serius sewaktu anak-anak tetapi cocok dengan anak-anak dari klinik itu
dalam umur, ras, IQ, dan kelas sosial.
Apakah penjahat anak-anak menjadi penjahat dewasa? Apakah anak-anak yang
didiagnosa psikopat di tahun 1920an menjadi pejahat dewasa paling buruk di kemudian hari?
Sayangnya buku Robins tidak langsung menjawab pertanyaan ini. Betapapun laporannya
memang memberikan kepada kita beberapa bukti yang relevan dengan konsep bahwa tingkah
laku salah adalah suatu penyakit. Robins lebih menaruh perhatian kepada sosiopat, sebuah
pola umum dari tingkah laku anti sosial atau menyimpang, dibandingkan terhadap kejahatan
dengan korban dan bahkan terhadap kejahatan secara umum. Faktanya didiagnosa sebagai
sosiopat, seseorang haruslah antisosial dalam berbagai area. Sehingga ketika Robins menulis
mengenai sosiopat tidak selalu jelas apakah dia merujuk kepada perampokan bersenjata atau
hanya seseorang dengan catatan kerja buruk, perkawinan tidak stabil berlanjut, mabuk-
mabukan, kesehatan buruk dan hanya punya teman sedikit. Betapapun sejumlah fakta muncul
dalam studinya. Pertama, dibandingkan dengan sebuah kelompok kontrol orang dewasa,
anak-anak dari klinik ketika dewasa melakukan lebih banyak kejahatan dan meliwati banyak
waktunya dalam penjara. Kedua, ada ketidakkonsistenan dari masa kanak-kanak hingga
dewasa. di antara anak-anak dengan enam atau lebih simtom antisosial (bohong, mencuri,
minggat, ngompol, membolos dlsb) 30 tahun kemudian, 33 persen didiagnosa sebagai
psikopat dibandingkan dengan 22 persen dari seluruh jumlah anak klinik dan hanya 3 persen
dari kelompok kontrol. Dengan perkataan lain, anak dengan banyak masalah sering kali
menjadi orang dewasa dengan banyak masalah.
Apabila saya melihat angka seperti itu, saya sering membayangkan anak bermasalah
yang lain, 67 persen yang akhirnya tidak menjadi psikopat. Mari saya tunjukkan beberapa
angka kasar berbasis studi tersebut dan beberapa studi lain yang khusus berfokus kepada
kejahatan. Misalnya kita ambil dua kelompok, masing-masing dengan 100 orang anak:
kelompok yang satu berisikan anak yang paling bermasalah dan kelompok lain yang tidak
memperlihatkan tingkah laku bermasalah. Di antara ‘anak baik’ 20 orang mungkin akhirnya
bermasalah dengan hukum, dan sebagian kecil di antaranya akan menjadi pelanggar hukum
serius atau sering. Pada kelompok yang lain sebanyak setengahnya akan ditahan dan 20 orang
akan jadi penjahat serius atau sering yang menjalani waktunya di penjara lebih dari setahun.
Tentu saja angka ini menunjukkan bahwa setengah dari anak nakal menjadi dewasa tanpa
ditahan dan 29 persen anak baik-baik ketika dewasa bisa ditahan. Sehingga dapat diketahui
apakah tingkah laku salah dapat memprediksi kriminalitas selanjutnya. Bahkan untuk anak
kecil seperti 3,4, atau 5 tahun, ada tes yang memprediksi kenakalan remaja di masa depan
dengan akurat. Yaitu anak prasekolah yang diprediksi antisosial rata-rata akan melakukan
lebih banyak kejahatan dibandingkan mereka yang diprediksi lebih tidak bermasalah. Tetapi
angka rata-rata pada kelompok sering menipu, karena di antara anak yang diprediksi
antisosial banyak yang berubah menjadi baik-baik.

KEJAHATAN SEBAGAI PENYAKIT Apakah memang ada penyakit seperti


psikopat atau sosiopat? Apabila memang ada, apakah itu berkontribusi terhadap kejahatan?
Pertama, apabila sosiopat merupakan penyakit, itu akan muncul dalam berbagai tipe situasi
yang berbeda. Sayangnya, studi Robins tidak dapat digunakan di sini karena dia
menggunakan masalah di berbagai area sebagai kriterianya untuk mendefinisikan penyakit
itu. Apabila kita menyeleksi, karena sosiopat, mereka yang menyimpang di berbagai area
dalam hidupnya, kita juga tidak dapat menggunakan sampel orang membuktikan bahwa
penyakit yang menyebabkan penyimpangan di berbagai area. Mungkin benar bahwa orang di
penjara merupakan kegagalan umum – dengan sejarah perkawinan yang bermasalah,
pekerjaan dengan gaji tidak tetap dan rendah dan masalah mabuk dan obat-obatan – tetapi ada
dua cara untuk menginterpretasikan semua fakta itu. Di satu pihak, kita dapat mengatakan
bahwa semua masalah itu adalah simtom dari satu-satunya penyakit yang mendasar, seperti
halnya demam, menggigil, nyeri, kelelahan, atau bersin-bersin semua simtom dari virus
influensa. Di pihak lain, ini mungkin sebuah kemunduran di satu area yang menyebabkan
seseorang merasa berat untuk berhasil di area lain. Kehilangan pekerjaan memberikan
tekanan berat pada perkawinan; kegagalan perkawinan memperberat kehidupan rumah tangga
yang stabil; berpindah-pindah tempat menyulitkan untuk mempertahankan pertemanan.
Kedua, apabila sosiopat merupakan penyakit, hanya apabila penyakit itu disembuhkan
maka orang akan membawanya terus sejak masa kanak-kanak hingga dewasa. tetapi apakah
demikian? Dalam hal ini, di satu pihak kita mempunyai riset Robins: sepertiga anak yang di
sebuah klinik pembinaan anak memperlihatkan berbagai simtom yang didiagnosa 30 tahun
kemudian sebagai sosiopat. Sebagai orang dewasa mereka mempunyai angka ‘ditahan’ yang
tinggi (seperti juga mereka yang tanpa masalah kriminal – kecanduan alkohol, pengangguran
dlsb). Di pihak lain, duapertiga dari anak bermasalah (mereka yang mempunyai enam atau
lebih simtom) tidak menjadi sosiokopat; dan bahkan yang sosiopat, meskipun mereka
mungkin menjalani hidup yang kurang baik, tidak semua menjadi penjahat dengan korban.
Apabila sosiopat merupakan penyakit, tentunya ini merupakan satu penyakit yang sebagian
besar penderitanya secara spontan langsung sembuh.
Mungkin juga penting untuk dicatat bahwa meskipun kata ‘psikopat’ dan ‘sosisopat’
dicatat sebagai penyakit, kondisi ini berbeda dari penyakit phisik. Semua itu membawa
konotasi moral yang berat. Tidak seperti penyakit physik, sebuah “penyakit moral”
merupakan bagian intrinsik pada orang yang terkena. Nyatanya orang itulah penyakitnya.
Normalnya kita menyebut seseorang kena demam atau kena campak. Dengan demikian
penyakit itu bukan bagian dari orang itu; itu hanyalah sesuatu yang pernah dipunyai orang
itu. Tetapi bahkan bagi orang yang sangat percaya kepada penyakit psikologis, ia tidak
mengatakan seseorang punya (penyakit) psikopat tetapi ia akan mengatakan orang itu
psikopat.

“PIKIRAN KRIMINAL”
Apakah ada kepribadian kriminal?. Dibalik pertanyaan itu ada dua asumsi penting: pertama,
bahwa ‘pikiran penjahat’ berbeda dari yang pikiran normal, dan bukan penjahat; dan kedua,
bahwa perbedaan tersebut berakar sebagian besar pada cara berpikir dan bertindak yang tidak
disadari yang dapat ditemukan hanya melalui tes psikologi yang rumit/halus. Jawaban ringkas
atas pertanyaan itu adalah ‘ya’. Banyak studi yang menggunakan tes kepribadian memang
mendapatkan perbedaan antara kelompok penjahat dan kelompok bukan penjahat. Melihat
hanya pada hasilnya, kita mungkin berpikir bahwa tes tersebut mempunyai kemampuan untuk
meraba ke dalam pikiran dan mendapatkan perbedaan psikologis yang penting, untuk
mengetahui siapa yang penjahat dan siapa yang bukan, dan bahkan memprediksi siapa yang
akan melakukan kejahatan. Betapapun, ketika kita melihat lebih dekat pada tes itu sendiri,
diagnose ini sering kali muncul sebagai akibat dari proses yang jauh lebih mendalam.

THE MMPI – MINNESOTA MULTIPHASIC PERSONALITY INVENTORY


Tes yang paling populer pada psikologi adalah tes kepribadian yang disebut MMPI. Ini
dikembangkan di tahun 1940an di Universitas Minnesota dan beginilah cara kerjanya.
Apabila anda melakukan MMPI, hasilnya akan memberi anda skor dalam sepuluh sifat.
Di antaranya, schizophrenia, introversi, maskulinitas-feminitas, hypochondria dan paranoia.
Tes itu sendiri terdiri dari 556 pertanyaan benar atau salah seperti di bawah ini:
- Saya menolak untuk memainkan beberapa permainan karena saya tidak pandai
memainkannya
- Saya kuatir mengenai uang dan bisnis
- Dibutuhkan banyak argumen untuk meyakinkan orang mengenai kebenaran
Jika anda menjawab “benar” pada pertanyaan pertama atau “salah” pada pertanyaan kedua?
Bila demikian jawaban anda akan meningkatkan skor anda pada ukuran schizophrenia.
Anda mungkin bertanya-tanya apa hubungan mencemaskan uang dengan schizophrenia.
Pada kenyataannya, dengan cara MMPI dikembangkan, di sana tidak perlu ada hubungan
jelas atau masuk akal. Alasan pertanyaan tentang uang dihitung bagi diagnosis schizophrenia
adalah bahwa pembuat tes, ketika mencoba membuat pertanyaan terhadap orang-orang,
mendapatkan bahwa schizophrenia sering menjawab pertanyaan ini dengan “salah”
sedangkan orang normal cenderung menjawab “benar”. Tentu saja sebuah pertanyaan tentu
tidak cukup untuk diagnosa yang kuat. Oleh karena itu, diagnosa MMPI didasarkan pada pola
jawaban lebih dari 80 pertanyaan yang mencukupi ukuran schizophrenia. Makin dekat pola
jawaban anda menyerupai yang dari para schizophrenia, makin dekat bahwa anda juga
seorang schizophrenik. Jawaban “salah” pada pertanyaan ketiga di atas, diperhitungkan
terhadap ukuran maskulinitas-feminitas – bukan karena ada argumentasi yang inheren dengan
maskulin atau feminin tetapi karena perempuan dan laki-laki homoseksual menjawab “salah”
Dapatkah MMPI mendiagnosa kejahatan? Dapatkah MMPI mencari profil dari
kepribadian penjahat? Secara khusus, peneliti telah memberikan tes kepada sekelompok
nonkriminal dan sekelompok nara pidana atau remaja nakal dan membandingkan angkanya.
Mereka sangat menaruh perhatian kepada ukuran deviasi-psikopatik – psychopathic-deviate
(Pd), dan di sini MMPI membuktikan kecurigaannya. Penjahat sering (bahkan selalu)
mempunyai angka tinggi pada ukuran Pd. Kesimpulan yang diambil adalah bahwa pelanggar
hukum mempunyai kepribadian berbeda, yang ditandai dengan kecenderungan deviasi-
psikopatik. Pemelintiran dan perbelokan jalur pikirannya, yang dibentuk di masa lalu dan
sekarang sukar diubah, mendorong mereka untuk melakukan kejahatan.
Tetapi apakah benar itulah yang dikatakan MMPI kepada kita? Ukuran Pd sendiri
mempunyai 50 pertanyaan. Oleh karena cara tes itu dinilai, perbedaan hanya pada 4
pertanyaan akan menempatkan anda pada kategori deviasi-psikopatik. (tentu saja anda tidak
akan mengetahui item mana di antara 556 yang diperhitungkan dan dalam ukuran yang mana;
dan sebagai tambahan, beberapa pertanyaan ada di sana hanya untuk mencek apakah anda
melakukan tes tersebut secara serius dan menjawab dengan konsisten. Pertanyaan-pertanyaan
ini diperhitungkan dalam pengukuran validitas. Satu dari 50 pertanyaan itu adalah “Saya
tidak pernah bermasalah dengan hukum”. Yang lain “Saya suka sekolah”. Tetapi yang lain
“Kadang-kadang ketika muda saya mencuri barang-barang”. Melihat pertanyaan yang
sebenarnya memperlihatkan adanya suatu misteri dari penilaian kepribadian. Bukankah
merupakan suatu hal biasa untuk mengatakan bahwa remaja nakal menderita kondisi mental
yang dapat dihitung dari sesuatu yang disebut ukuran deviasi-psikopatik. Lain lagi
masalahnya apabila mengatakan bahwa mereka ‘tidak suka sekolah’, ‘melakukan pencurian-
pencurian kecil’ dan ‘bermasalah dengan hukum’.
Apakah pertanyaan-pertanyaan ini menuju ke arah kepribadian, atau apakah semua itu
hanya mencermikan seperangkat sikap dan pengalaman hidup? Untuk mendefinisikan
masalah sebagaimana kepribadian menunjukkan bahwa penjahat mempunyai seperangkat ciri
psikologi yang sangat mendalam di masa awal hidupnya. Betapapun melihat MMPI sebagai
pengukur sikap menunjukkan sesuatu yang kurang misterius. Sikap adalah cara melihat
dunia, cara yang dipelajari seseorang dari orang lain dan dari pengalaman. Setiap orang yang
dalam posisi sebagai anak nakal, setiap orang yang mengalami dunia yang sama, akan
cenderung untuk membagi pandangan khas anak nakal. Pada dasarnya, riset MMPI
memastikan pemikiran ini. Kita mengetahui bahwa nilai anak nakal dan normal berbeda
dalam ukuran Pd dari MMPI. Tetapi apa yang akan terjadi apabila kita membandingkan anak
nakal dan nonkriminal dari lingkungan pertetanggaan miskin? Dalam perbandingan seperti
itu, perbedaan akan banyak berkurang dan bahkan pada beberapa kasus tidak signifikan.
Satu pendapat akhir mengenai kepribadian kriminal sebagai mana diperlihatkan MMPI:
bukan hanya pada ukuran Pd penjahat mempunyai skor lebih tinggi daripada normal. Mereka
mempunyai skor lebih tinggi pada semua ukuran, membuat hasil yang dapat dikatakan
membingungkan. Kebanyakan studi menggambarkan penjahat sebagai impulsif, tidak
terkendali dan agresif. Mereka mengejar gaya hidup cepat, dilengkapi dengan minuman
keras, obat-obatan dan perempuan. Tetapi mengapa penjahat mengalahkan orang normal
dalam ukuran maskulinitas-feminitas, di mana skor tinggi “sering dikaitkan dengan
homoseksualitas” dan mengindikasikan sikap dan minat feminin yang lebih? Mengapa orang
yang ektrovert, penjahat ‘tidak bisa diam’ mendapat skor tinggi dalam “kecenderungan
terhadap perenungan yang obsesif, perasaan bersalah, kegelisahan, ragu-ragu dan kuatir”
(ukuran psychasthenia)? Atau pada ukuran depresi? Penjahat bahkan mendapat skor sedikit
lebih tinggi dalam ukuran introversi sosial, meskipun perbedaannya signifikan hanya pada
kelompok narapidana yang paling menyimpang. Betapapun, kecuali semua penilaian
kepribadian yang lain salah, skor itu seharusnya bergerak sebaliknya – kepada ekstroversi
dan bukan introvesi.

KEPRIBADIAN PENJAHAT
MMPI itu obyektif dan empirik. Sebuah komputer dapat memberi skor tes itu dan membuar
diagnosa. Faktanya, apabila komputer sudah ada di tahun 1940, ia akan bisa tanpa program
yang rumit, akan dapat mengeluarkan ukuran asli sendiri. Dengan cara ini teknik MMPI
berbeda dari banyak pendekatan klinik lain yang berbasis pada observasi dan wawancara.
MMPI merupakan sebuah alat terstandar yang digunakan terutama untuk menempatkan
seseorang dalam beberapa kategori diagnostik. Sebaliknya seorang ahli klinis, mendengarkan
pasien lama dan menginterpretasikan proses pemikiran dan motivasi yang ada dibalik apa
yang dikatakan dan dilakukan pasien.
Untuk hampir tiga abad, pendekatan obyektif gaya-MMPI mendominasi studi
psikologis dari kejahatan. Betapapun, pada tahun 1978 dua orang ahli klinis Samuel
Yochelson dan Staton Samenow, mempublikasikan studi dalam dua buku yang disebut
“Kepribadian Penjahat – Criminal Personality” semua itu didasari pada wawancara panjang
dan berulang-ulang dengan 240 penjahat laki-laki, sebagian dari mereka telah dimasukkan ke
rumah sakit jiwa dengan alasan tidak bersalah atas dasar kegilaan.
Yochelson dan Samenow menyimpulkan bahwa tidak ada dari orang-orang tersebut
yang gila. Mereka tidak berhalusinasi atau mendengar suara-suara dan mereka jelas berpijak
pada dunia nyata. Artinya para ahli klinis tersebut mengabaikan banyak pemikiran
konvensional. Mereka juga mulai memulai dengan gagasan bahwa penjahat-penjahat ini
merupakan korban dari lingkungan yang rusak atau perawatan anak yang buruk, laki-laki
dewasa yang, melalui wawasan yang dicapai dalam psikoterapi, dapat merehabilitasi dirinya
sendiri untuk hidup nonkriminal. Setelah upaya keras untuk mengubah penjahat, kedua ahli
klinis tersebut menyerah atas gagasannya. Yang paling penting mereka meninggalkan
pemikiran bahwa penjahat adalah korban dari lingkungan. Sebaliknya mereka sampai pada
kesimpulan bahwa sebab kejahatan terletak seluruhnya dalam pikiran penjahat dan tidak
banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Dalam bukunya, Yochelson dan Samenow tidak
berspekulasi pada apa yang menyebabkan seseorang sampai pada mental penjahat, tetapi
mereka memang mengatakan bahwa prosesnya berlangsung pada masa sangat awal
kehidupannya. Mereka bahkan menggunakan istilah “penjahat anak” untuk menyebutkan
penjahat di awal hidupnya. Dia bukan seorang anak yang tanpa dosa yang diabaikan oleh
teman yang jahat. Apabila ia mempunyai teman buruk adalah karena diaberusaha mebuat
yang lain seperti dia. Apabila sekolah atau orang tua menolaknya semua itu disebabkan
dialah yang pertama-tama menolak mereka.
Mereka kemudian membuat daftar 52 tipe ‘pikiran keliru’ penjahat, meskipun semua ini
kedengaran seperti karakteristik kepribadian yang dicatat oleh peneliti lain.
- Penuh ketakutan – takut ditolak, luka, dan kematian
- Superoptimis – tidak punya rasa takut sama sekali yang menguasainya saat ia
melakukan kejahatan, meski yang berisiko tinggi
- ‘Zero state’ – merasa tidak berguna, tidak ada harapan, betapun tidak seperti depresi
pada nonkriminal, ‘zero state’ ini tidak berhubungan dengan pengunduran diri tetapi
karena kemarahan.
- Marah – konstan; kadang-kadang terekspresi dan seringkali hanya di bawah
permukaan.
- Sombong – biasanya dikaitka dengan kelelakian, ketidaktergantungan, superior
terhadap orang lain
- Orientasi saat ini – tidak memikirkan konsekuensi jangka panjang
Apabila beberapa di antaranya terlihat kontradiktif (penuh ketakutan vs. superoptimis;
zero state vs. sombong), itu semua hanyalah sebuah tanda dari kualitas mengambang dari
emosi penjahat (“Saya bisa berubah dari ‘airmata’ ke ‘es’ dalam semenit”). Penjahat selalu
mengukur situasi untuk melihat apakah mereka dapat mengeksploitasinya untuk kejahatan,
dan ia juga mengambil pandangan ekspliotatif dan manipulatif yang sama terhadap orang
lain. Pikirannya didominasi oleh pemusatan pada dan memikirkan diri sendiri; meskipun dia
menuntut orang lain memperlakukannya dengan rasa hormat dan ramah, dia tidak
menghormati hak dan perasaan orang lain. Ia tidak mampu melakukan apapun yang
mendekati hubungan yang akrab dan percaya dengan orang lain. Betapapun, dia juga menjaga
kepercayaan pada dirinya sebagai orang baik, meskipun ia mampu melakukan kejahatan
brital tanpa kesadaran atau penyesalan.
Masalah dari penjelasan ini bukan pada akurasinya. Harus ada yang berlanjut ketika kita
mendapatkan kesamaan yang mencolok antara kualitas yang diuraikan di sini dan yang
didapatkan para pemerhati mengenai hal ini seabad yang lalu, kembali kepada Lombroso.
Masalahnya adalah keterwakilannya. Penjahat yang dijelaskan oleh Yochelson dan
Samenow hanya proporsi kecil dari populasi penjahat, meskipun mereka mengaku proporsi
substansial dari kejahatan (persisnya berapa kita tidak punya cara akurat untuk
mengetahuinya). Dalam setiap kasus, mereka bukan tipikal dari semua penjahat. Hanya
sedikit penjahat dihakimi tidak bersalah karena kegilaan. Penjahat ini, dikenal sebagai
psikopat atau sosiopat atau penjahat kronis adalah paling banyak 10-15 persen dari populasi
penjahat. Menurut Wolfgang adalah 18 persen dari seluruh penjahat remaja. Dari 524
penjahat menurut Robins, 243 (45 persen) adalah pencuri; di antaranya 31persen didiagnosa
sosiopat –sekitar 15 persen dari seluruhnya.

KRITIK DAN KESIMPULAN


Teori biologi dan psikolog tentang kejahatan berfokus pada dua pertanyaan dasar: Dalam cara
begaimana penjahat berbeda dengan non penjahat dan bagaimana perbedaannya? Teori-teori
ini menekankan pada ciri-ciri individual, dan risetnya biasanya berfokus pada karakteristik
yang biasa dipunyai penjahat yang jarang dipunyai oleh non penjahat. Daripada melihat
kejahatan sebagai suatu kemungkinan tanggapan normal dari tekanan situasi, perspektif
individual mencari inti masalah, mendasari perbedaan atau abnormalitas dari seseorang yang
mendorongnya kepada tingkah laku kriminal. Beberapa mendapatkan abnormalitas pada
bentuk muka penjahat atau phisik, yang lain pada unsur kimia dalam darah penjahat atau
kelainan otak.
Suatu generasi yang lalu, buku teks kriminologi cenderung menghilangkan penjelasan
kejahatan atas dasar biolois dan psikologis. Sangat mudah untuk menertawakan Lombroso
dan studi mutakhir, yang mempunyai banyak kesalahan metodologis dan membiarkannya
terbuka bagi banyak tanda tanya, sebagaimana telah saya gambarkan dalam bab terdahulu.
Pada tahun 1950an kriminologi lebih banyak didominasi oleh pandangan sosiologis yang
menekankan kepada faktor lingkungan meremehkan penjelasan berbasis individual terhadap
kejahatan. Pendekatan anti individual tersebut merupakan tanggapan terhadap bukti-bukti
yang tersedia, tetapi juga merupakan tanggapan terhadap peristiwa sejarah yang lebih besar.
Horor dari Nazisme mengendap dalam kesadaran para ilmuwan sosial, yang selalu peka
terhadap implikasi politis dari berbagai teori tentang perbedaan biologis.
Betapapun, bukti-bukti dari sumber biologisa dan psikologis secara bertahap terus
terakumulasi. Apa yang mengejutkan dari studi-studi ini dan apa yang mendukung asumsinya
mengenai perbedaan mendasar adalah bahwa meskipun teori-teori tersebut sekarang dianggap
tidak ilmiah atau keliru dekripsinya mengenai penjahat ternyata sangat serupa. Tentu saja,
tidak ada orang yang menanggapi teori Lombroso tentang atavisme secara serius, tetapi
banyak dari pengamatan terhadap kehidupan sosial dan psikologis penjahat terdengar lebih
ilmiah dibandingkan yang dilakukan seabad lalu.
Dengan dinyatakan dalam berbagai cara, potret penjahat yang muncul adalah tentang
seseorang – hampir selalu laki-laki – dengan kontrol diri rendah. Ia cepat marah dan
bertindak impulsif dalam kemarahan. Ia juga bertindak impulsif dalam keinginannya terhadap
uang dan seks; ia punya kemampuan terbatas untuk menunda kepuasan. Ia tidak cerdas. Ia
gelisah dan suka pada risiko tinggi, aktivitas berbahaya. Semua ciri ini terlihat sejak masa
kanak-kanak. Bahkan setelah dewasa, ia tidak mampu untuk mengkomitkan dirinya pada
upaya jangka panjang dan sebagai akibatnya ia tidak mempunyai hubungan yang stabil. Ia
juga memikirkan diri sendiri hingga pada tahap seolah tidak mempunyai kesadaran dan tidak
mampu serta tidak mau memikirkan konsekuensi dari tindakannya sendiri terhadap orang lain
atau bahkan terhadap dirinya sendiri pada sesaat terjadinya suatu situasi.
Hari ini, teori berbasis individual telah kembali kepada arus utama kriminologi.
Konsistensi tingkah laku anti sosial sejak kanak-kanak hingga dewasa; kesamaan antara
anggota keluarga, bahkan pada mereka yang dibesarkan pada lingkungan berbeda; hubungan
antara kenakalan remaja dan hasil dari tes phisik dan neorologi, semua ini dan sumber bukti
lain, menunjuk kepada adanya suatu tempat faktor biologis dan psikologis dalam penjelasan
kejahatan. Lingkungan tidak dapat menjelaskan semuanya. Sebagian penjahat mempunyai
karakteristik biologis dan psikologis yang cukup laten yang berbeda dari anggota masyarakat
yang lain.
Kritik terhadap teori biologis dan psikologis sebagian besar berfokus apa yang tidak
dapat diterangkan pada faktor individual. Sebagian besar peneliti dalam bidang ini
membenarkan bahwa faktor lingkungan lebih berpengaruh dalam tingkah laku kriminal.
Faktor individual mungkin dapat menyatakan seseorang bersifat egois, bertingkah laku anti
sosial, tetapi lingkungan sosial yang akan menentukan apakah sifat itu akan berubah menjadi
kriminal. Juga tidak jelas bagian penduduk kriminal mana yang dipengaruhi berbagai faktor
biologis dan psikologi yang menyebabkan kejahatan. Lombroso menyatakan rasio orang yang
lahir sebagai penjahat adalah 33 persen. Penelitian selanjutnya menyatakan bahwa jumlah
spikopat adalah 10 persen dari populasi penjahat. Tentu kita akan bertanya-tanya bagaimana
dengan yang 90 persen lainnya.
Masalah kedua dengan pendekatan psikologis adalah bahwa banyak orang, bukan hanya
5 atau 10 persen populasi, mampu melakukan yang oleh seorang pengamat dapat diberi label
berdarah dingin atau bahkan psikopat. Kemungkinan ini sekarang telah diterima secara kuat –
bahwa orang normal mampu melakukan kelakuan patologis – Satu eksperimen yang paling
menakutkan dalam ilmu sosial adalah ‘mock prison’ – kekerasan dalam penjara, dengan
mahasiswa yang diberi peran sebagai penjaga dan nara pidana. meskipun tidak satupu dari
mahasiswa tersebut telah didiagnosa sebagai atau mendekati sifat psikopat, hanya dalam
beberapa hari, sebagian dari penjaga itu menghina para narapidana jauh melebihi apa yang
diperkirakan para pembuat eksperimen itu. Tidak semua penjaga melakukannya, tetapi
bahkan yang tidak berlaku brutal kepada narapidana, tidak melakukan apa-apa untuk
mencegah brutalitas teman-temannya. Tentu saja, meskipun penjaga dan nara pidana terlihat
melakukan perannya dengan serius – terlalu serius – penjara itu hanya sebuah eksperimen.
Juga dalam kehidupan sebenarnya, kekejaman perang dan brutalitas polisi menghasilkan
bukti apa yang dilakukan orang normal dengan cara yang kelihatannya sadis dan psikopat,
tetapi kita tak perlu pergi jauh untuk mendapatkan bukti. Inisiasi perkenalan di universitas
sering memperlihatkan penyiksaan psikis dan phisik (dibawah istilah “perploncoan”) dengan
para penyiksa memperlihatkan tanpa rasa bersalah, kasih sayang atau penyesalan. Mereka
berpendapat bahwa siksaan – baik pada saat itu dan setelahnya – sebagai hiburan. Apakah
senior pemlonco itu sadis atau psikopat?.
Apabila mahasiswa universitas dan lainnya yang normal dapat bertingkah laku
patologis, kita harus mempertanyakan basis lain dari teori itu. Psikologi memperkirakan
bahwa ciri-ciri personalitas menjurus kepada dan menyebabkan tingkah laku kriminal. Tetapi
proses itu dapat berjalan ke arah lain. Yaitu, cara berpikir kriminal sebagai bagian dari semua
itu. Seperti orang yang bergabung dalam tim football sering membutuhkan rasa kekerasan (a
“good hit”) paling tidak di lapangan, penjahat juga demikian, mereka mungkin membutuhkan
cara berpikir khas mereka tentang pekerjaan itu. Atau apabila mereka membawa ciri-ciri
psikologis dengan mereka, kehidupan mereka sebagai kriminal cenderung menunjukkan ciri-
ciri tersebut. Kebalikan yang sama dapat terjadi juga dalam faktor biologis dan neurologis.
Tingkat testoteron yang tinggi dapat membuat seorang laki-laki dominan, tetapi bertingkah
laku dengan cara dominan, paling tidak dalam jangka pendek, dapat menaikkan tingkat
testoteron seorang laki-laki. Sama juga cara hidup dapat menyebabkan defisit
neuropsikologis.
Kritik ketiga adalah, yang telah pernah saya sebutkan, yaitu politis; melihat kepada
kebijakan yang mungkin ditimbulkan oleh teori psikologis. Kebijakan seperti itu akan
mengabaikan faktor sosial seperti ketidaksetaraan di bidang ekonomi. Mereka juga mungkin
menggunakan tes psikologi untuk menentukan nasib seseorang – menghukum mereka atas
dasar tanggapan mereka terhadap tes psikologi dan bukan atas dasar kejahatan yang
dilakukan. Apakah masyarakat atau pengadilan toleran terhadap kebijakan seperti itu? Saya
harap tidak. Betapapun, ketika ketakutan dan perhatian publik meningkat, orang mungkin
menerima proposal manapun yang mengklaim untuk mengajukan sebuah pemecahan yang
nyaman. Misalnya di tahun 1970, dengan munculnya kerusuhan kota pada akhir 1960an,
sebuah komisi nasional menerbitkan sebuah laporan yang menunjukkan kondisi sosial
(ketidakmerataan kesempatan, pendidikan, perumahan dlsb) sebagai penyebab kerusuhan dan
mengharapkan perubahan sosial. tidak semua setuju dengan analisa sosiologis ini. Misalnya
dokter pribadi presiden lebih memilih sebuah penjelasan yang lebih berbasis individual dan
menyarankan:
Sebuah cara yang lebih langsung dan segera untuk mengatasi masalah ini pada akar
masalahnya melalui pemfokusan pada pemikiran kriminal pada anak-anak, pemerintah
harusnya melakukan tes masal terhadap anak umur 6 sampai 8 tahun untuk membantu
mendeteksi anak-anak yang mempunyai kecenderungan kekerasan dan kejahatan.
Koreksi pembetulan dapat dimulai saat itu
Dilihat dari perspektif orang yang dikirim kepada program khusus atau lembaga, seringkali
sukar untuk ditentukan perbedaan antara “ pembinaan” di satu pihak dan “penghukuman” di
pihak lain. Faktanya di banyak negara bagian, penjara secara resmi masih dikenal sebagai
lembaga pembinaan. Proposal tersebut tidak pernah menjadi kebijakan. Tetapi memberikan
posisi berpengaruh kepada pengarangnya, proposal itu memperlihatkan adanya substansi
ketakutan atas penyalahgunaan teori psikologikal mengenai kejahatan.
Kritik keempat terhadap penjelasan psikologis tentang kejahatan merupakan kritik yang
paling kritis: Teori psikologi tentang kejahatan seperti teori biologis, tidak dapat diterapkan
kepada sebagian besar fakta demografik yang penting. Apabila kejahatan merupakan akibat
dari ciri-ciri kepribadian tertentu, mengapa ciri-ciri itu lebih banyak terdapat pada orang kota
dibandingkan pada orang luar kota? Atau pada orang berumur 15-20 tahun dibandingkan 30
tahun? Mengapa ciri-ciri itu lebih sesuai di Amerika serikat dibandingkan Kanada? Dan
bahkan di Amerika Serikat, apakah naik tajamnya kejahatan di dekade 1963 sampai1973
berarti bahwa telah lahir proporsi psikopat yang lebih besar dalam masyarakat?.
Konsep psikologis dapat membantu kita untuk mengerti perbedaan antara penjahat
serius dengan mereka yang melakukan sedikit atau yang tidak melakukan kejahatan. Tetapi
kelihatannya tidak ada teori psikologis yang cukup lengkap untuk menerangkan fakta penting
mengenai distribusi sosial pada kejahatan. Atas dasar alasan tersebut, marilah kita
mengalihkan perhatian kepada penjelasan sosiologis mengenai kejahatan.

Anda mungkin juga menyukai