Anda di halaman 1dari 25

BAB V

PEMBAHASAN

BAB V ini membahas hasil penelitian yang telah dilaksanakan di

Kelurahan Bandarjo Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang bertujuan

untuk mengetahui perbedaan perilaku masyarakat dalam buang air besar sebelum

dan sesudah dilakukan bimbingan konseling metode focus group discussion

tentang program open defecation free di Kelurahan Bandarjo Kecamatan Ungaran

Barat Kabupaten Semarang dengan jumlah responden 20 orang.

A. Analisis Univariat

1. Gambaran Perilaku Masyarakat dalam Buang Air Besar sebelum

Dilakukan Bimbingan Konseling Metode Focus Group Discussion tentang

Program Open Defecation Free

Hasil penelitian menunjukkan perilaku masyarakat dalam buang air

besar sebelum dilakukan bimbingan konseling metode focus group

discussion tentang program open defecation free di Kelurahan Bandarjo

Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang digambarkan dengan 2

kategori, yaitu kategori cukup sebanyak 5 responden (25,0%), dan kategori

baik sebanyak 15 responden (75,0%) yang ditunjukkan dengan responden

yang menyatakan tidak merasa air sumur tidak tercemar jika membuat

jamban di rumah dan menghindari punggung tangan saat mencuci tangan

setelah BAB dengan sabun. Hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti

juga dikaitkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Febrian (2016) yang
70

menunjukkan masyarakat di Desa Sumbersari Metro Selatan yang

mempunyai perilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) sebanyak

55,8%. Penelitian yang dilakukan Ridwan (2011) juga menunjukkan

perilaku buang air besar yang sehat di RT 01/RW 01 Dusun Klampisan

Desa Ngrangkok Kecamatan Kandangan Kabupaten Kediri setelah

diberikan penyuluhan tentang pemanfaatan jamban sebagian besar tidak

memenuhi syarat sebanyak (56,5%).

Responden yang memiliki perilaku penggunaan jamban yang

kurang baik yang mana tidak merasa air sumur dapat tercemar jika

membuat jamban di rumah. Menurut Water and Sanitation Program

(2009) salah satu syarat perilaku penggunaan jamban yang sehat yaitu

adanya septic tank dalam pengelolaan kotoran. Menurut Soemirat (2014),

jarak septic tank dengan sumur gali yang sehat adalah lebih dari 10 meter.

Jarak sumur dan septic tank yang kurang dari 10 meter menyebabkan air

sumur tercemar dengan feses sehingga menimbulkan berbagai macam

penyakit pencernaan seperti kolera, tifus, disentri, cacingan dan lain-lain

dengan gejala diare.

Masyarakat di Kelurahan Bandarjo Kecamatan Ungaran Barat

Kabupaten Semarang tidak mengetahui jarak sehat antara sumur dengan

septic tank. Hal ini ditunjukkan dalam pengisian kuesioner No.4 yang

dilakukan oleh responden bahwa sebagian besar tidak mengetahui jarak

sehat antara sumur galian dengan septic tank yaitu sebanyak 7 orang

(43,8%). Mereka menyatakan bahwa “tidak tahu berapa jarak sehat antara
71

sumur dengan septic tank”. Responden yang menyatakan jarak sehat

antara sumur galian dengan septic tank sejauh 5 meter yaitu sebanyak 7

orang (43,8%). Mereka mengatakan, “jarak sehat antara sumur dengan

septic tank yang aman adalah 5 meter”. Responden yang menyatakan jarak

sehat antara sumur galian dengan septic tank lebih dari 5 meter yaitu

sebanyak 7 orang (43,8%). Mereka mengatakan, “jarak sehat antara sumur

dengan septic tank yang aman minimal 5 meter”.

Alasan yang mereka kemukakan sebagian menyatakan tidak ada

lahan/tempat yaitu sebanyak 9 orang (56,2%). Mereka mengatakan,

“halaman sudah habis digunakan untuk kamar atau teras, sehingga tidak

mempunyai tempat untuk membuat saptic tank”. Responden lainnya

mengatakan sudah tidak memiliki lahan/ tempat yang mencukupi.

Responden yang menyatakan selama ini mereka tidak ada masalah yaitu

sebanyak 4 orang (25,0%). Mereka mengatakan, “sumur yang dimiliki

sampai saat ini tidak pernah menimbulkan masalah kesehatan pada diri

mereka dan keluarga”. Responden ada yang menyatakan tidak tahu atau

sudah ada keberadaan sumurnya secara turun temurun yaitu sebanyak 3

orang (18,8%). Mereka mengatakan, “tidak tahu, sumur sudah ada sejah

mereka kecil atau warisan dari keluarga”.

Hasil penelitian tersebut menunjukkan mereka tidak mengetahui

jarak sehat antara sumur dan septic tank dengan alasan karena terpaksa

tidak mempunyai lahan/halaman, tidak mengetahui dan selama ini tidak

ada masalah dengan kesehatan yang berarti terkait dengan keberadaan


72

sumur yang dimiliki. Pengamatan dari peneliti ketika pelaksanaan

penelitian menemukan bahwa rata-rata rumah di Kelurahan Bandarjo

Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang mempunyai halaman

yang terbatas bahkan beberapa rumah tidak mempunyai halaman sama

sekali (full bangunan). Ditemukan pula rumah yang mempunyai sumur

yang terletak di depan rumah dan disisi belakang rumah sehingga

berdekatan dengan septic tank. Kelurahan Bandarjo dibelah oleh beberapa

sungai kecil dimana ditepinya didirikan bangunan rumah sehingga peneliti

menemukan rumah yang terletak ditepi sungai sebagian besar membuang

kotoran (tinja) dan limbah rumah tangga ke sungai belakang rumah. Hal

ini tentu saja menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan. 4 responden

mengatakan jarak rumah yang dekat dengan sungai membuatnya untuk

membuang tinja dan limbah ke sungai.

Perilaku mencuci tangan dengan sabun setelah BAB yang kurang

baik ditunjukkan dengan masih adanya responden yang menghindari

punggung tangan saat mencuci tangan dengan sabun. Menurut Kemenkes

RI (2014), CTPS merupakan perilaku cuci tangan dengan menggunakan

sabun dan air bersih yang mengalir. Waktu penting perlunya CTPS, antara

lain sebelum makan, sebelum mengolah dan menghidangkan makanan,

sebelum menyusui, sebelum memberi makan bayi/balita, sesudah buang

air besar/kecil dan sesudah memegang hewan/unggas. Kriteria utama

sarana CPTS yaitu air bersih yang dapat dialirkan, sabun dan

penampungan atau saluran air limbah yang aman.


73

Dampak ataupun resiko sungai yang terkontaminasi feses dapat

menularkan berbagai penyakit berbasis lingkungan (diare) serta menjadi

tempat berkembang biaknya (habitat) virus atau bakteri. Perilaku buang air

besar sembarangan dapat berakibat secara langsung/tak langsung pada

terkontaminasinya sumber air maupun dan makanan. Hal ini berpotensi

menimbulkan penyakit yang salah satunya disebabkan oleh air yang

tercemar (Wandansari, 2014).

Perilaku buang air besar juga dapat berpotensi mencemari

lingkungan. Ditinjau dari kesehatan lingkungan membuang kotoran ke

sembarang tempat menyebabkan pencemaran tanah, air dan udara yang

menimbulkan bau (Kumoro, 2018). Penyakit-penyakit infeksi yang

berhubungan dengan oral-fekal transmisi sebenarnya penyakit yang dapat

dikontrol dan dicegah melalui sanitasi yang baik, khususnya sistem

pembuangan tinja manusia (jamban). Menurut Murwati (2012), salah satu

faktor yang menyebabkan perilaku BAB yang kategori kurang adalah jenis

pekerjaan.

Masyarakat yang pada umumnya berada pada tingkat ekonomi

rendah sehingga sulit untuk membangun fasilitas jamban. Menurut

Soemardji (2009), pekerjaan merupakan salah satu tugas perkembangan

manusia dan termasuk karakteristik yang menjadi faktor predisposisi

terjadinya perilaku. Jenis pekerjaan tertentu akan terjadi penyesuaian-

penyesuaian terhadap perilaku tertentu yang dapat dipengaruhi oleh

lingkungan. Alasan yang dikemukakan oleh 7 responden masih menunggu


74

dana dari pemerintah untuk dibuatkan septic tank yang layak bagi mereka.

Rata-rata pekerjaan masyarakat yaitu pada sektor non formal (buruh,

petani, pedagang/wiraswasta) kebanyakan masyarakat bekerja sebagai

buruh sehingga penghasilan yang diperoleh tidak menentu dan kurang

memenuhi kebutuhan sehari-hari. Masyarakat yang bekerja pada sektor

formal terbiasa dengan lingkungan pekerjaan yang bersih dan sehat

sehingga mind set masyarakat yang bekerja di sektor formal lebih baik

dan merasa perlu untuk hidup sehat dan beraktifitas sesuai pekerjaannya

(Soemardji, 2009).

Menurut Murwati (2012), pekerjaan merupakan salah satu tugas

perkembangan manusia dan termasuk karakteristik yang menjadi faktor

predisposisi terjadinya perilaku. Jenis pekerjaan tertentu akan terjadi

penyesuaian-penyesuaian terhadap perilaku tertentu yang dapat

dipengaruhi oleh lingkungan. Lingkungan kerja yang sehat akan

mendukung kesehatan pekerja yang akan meningkatkan produktivitas dan

akhirnya meningkatkan derajat kesehatan. Menurut Simanjutak (2009)

status ekonomi seseorang termasuk faktor predisposisi terhadap perilaku

kesehatan. Semakin tinggi status ekonomi seseorang menjadi faktor yang

memudahkan untuk terjadinya perubahan perilaku.

Hal ini juga sejalan dengan penelitian Widowati (2015) tentang

hubungan karakteristik pemilik rumah dengan perilaku buang air besar

sembarangan di Kabupaten Sragen didapatkan hasil bahwa responden

dengan pekerjaan tidak formal memiliki risiko perilaku 3,535 kali lebih
75

besar untuk berperilaku Buang Air Besar Sembarangan (BABS) daripada

responden dengan pekerjaan formal. Selain itu, jenis pekerjaan dapat

mempengaruhi status ekonomi seseorang. Berdasarkan hasil penelitian

Simanjutak (2009) penghasilan yang rendah berpengaruh 4 kali terhadap

penggunaan jamban.

Responden yang melakukan buang air besar di sembarang tempat

juga disebabkan karena mind set masyarakat yang menganggap bahwa

membangun jamban itu harus bagus dan menghabiskan dana berjuta-juta.

Sehingga jika hanya diberikan bantuan kloset saja hal itu belum cukup

untuk membantu pembangunan jamban. 3 responden mengatakan sudah

membuat septic tank kecil-kecilan, namun dirasa kurang sesuai dengan

keadaan yang dialami oleh responden lainnya . Mind set inilah yang masih

sulit untuk dikikis. Padahal untuk membangun jamban tidak harus

menghabiskan dana jutaan rupiah asal sudah memenuhi syarat jamban

sehat. Masyarakat masih enggan untuk mengeluarkan uangnya untuk

membangun jamban.

Hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian Pane (2009),

yang menyatakan berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan aparat desa

dan beberapa kader posyandu, diketahui bahwa alasan sebagian besar

warga desa tidak mau membuat jamban karena pembuatan jamban yang

memenuhi syarat kesehatan (jamban leher angsa dengan septic tank)

dianggap mahal, sehingga warga memilih buang air besar di sungai atau

empang karena tidak memerlukan biaya. Masyarakat enggan untuk


76

membuat jamban sederhana seperti jamban cemplung/cubluk. Alasannya

karena kondisi wilayah yang dilintasi aliran sungai serta rawan banjir,

sehingga jika sungai meluap dan banjir terjadi maka tinja pada tempat

penampungan kakus cubluk akan meluap bersama banjir. Hal tersebut

menyebabkan masyarakat desa tidak mau membuat kakus cubluk

walaupun lebih murah biayanya dibandingkan jamban leher angsa dengan

septic tank.

Hasil penelitian menunjukkan perilaku masyarakat dalam buang air

besar sebelum dilakukan bimbingan konseling metode focus group

discussion tentang program open defecation free di Kelurahan Bandarjo

Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang kategori baik yaitu

sebanyak 15 responden (75,0%). Hal tersebut ditunjukkan dengan

responden yang menyatakan BAB setiap hari di jamban (100,0%),

mencuci tangan setelah BAB dengan menggunakan air bersih yang

mengalir (100,0%).

Hasil penelitian ini didukung oleh penelitian Winarti (2010) yang

menunjukkan perilaku buang air besar (BAB) di Desa Krajan Kecamatan

Jatinom Kabupaten Klaten sebagian besar kategori baik (65,3%).

Penelitian Sari (2016), juga menunjukkan perilaku buang air besar

keluarga di Desa Kerjokidul Kecamatan Ngadirojo Kabupaten Wonogiri

sebagian besar kategori baik (90,0%). Hasil penelitian tersebut tidak

didukung oleh penelitian dari Antuli (2012) yang menunjukkan perilaku


77

buang air besar di Desa Sogu Kecamatan Monano Kabupaten Gorontalo

Utara sebagian besar kategori tidak baik (90,4%).

Masyarakat di Kelurahan Bandarjo Kecamatan Ungaran Barat

Kabupaten Semarang menyatakan BAB setiap hari di jamban. Menurut

Madjid (2009), jamban merupakan suatu bangunan yang dipergunakan

untuk membuang tinja atau kotoran manusia bagi suatu keluarga yang

lazim disebut kakus atau WC. Menurut Kemenkes RI (2014), jamban sehat

efektif untuk memutus mata rantai penularan penyakit. Jamban sehat harus

dibangun, dimiliki, dan digunakan oleh keluarga dengan penempatan (di

dalam rumah atau di luar rumah) yang mudah dijangkau oleh penghuni

rumah.

Penggunaan jamban masyarakat di Kelurahan Bandarjo Kecamatan

Ungaran Barat Kabupaten Semarang juga sudah baik. Mereka membangun

jamban yang dipergunakan untuk membuang tinja atau kotoran manusia

bagi keluarganya yang lazim disebut kakus atau WC. Jamban keluarga

yang digunakan terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan

leher angsa da nada airnya yang dilengkapi dengan unit penampungan

kotoran dan air untuk membersihkannya. Menurut Murwati (2012), faktor-

faktor yang mempengaruhi perilaku BAB sembarangan, diantaranya

pendidikan.

Pendidikan merupakan kebutuhan dasar manusia yang sangat

penting untuk mengembangkan diri, karena dengan pendidikan yang tinggi

seseorang dapat memiliki pengetahuan yang lebih baik. Menurut


78

Notoatmodjo (2010), pendidikan termasuk dalam faktor predisposisi.

Faktor predisposisi adalah faktor yang dapat mempermudah terjadinya

perilaku atau tindakan pada diri seseorang atau masyarakat. Faktor ini

digunakan untuk menggambarkan fakta bahwa tiap individu mempunyai

kecenderungan untuk menggunakan pelayanan kesehatan yang berbeda-

beda faktor.

Tingkat pendidikan mempermudah terjadinya perubahan perilaku.

Semakin tinggi tingkat pendidikan semakin mudah seseorang untuk

menerima informasi-informasi baru yang sifatnya membangun. Menurut

Notoatmodjo (2010), tingkat pendidikan seseorang dapat meningkatkan

pengetahuannya tentang kesehatan. Pendidikan akan memberikan

pengetahuan sehingga terjadi perubahan perilaku positif. Seseorang yang

memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi lebih berorientasi pada tindakan

preventif, mengetahui lebih banyak tentang masalah kesehatan dan

memiliki status kesehatan yang lebih baik.

Tingkat pendidikan seseorang termasuk faktor predisposisi

terhadap perilaku kesehatan. Berdasarkan hasil penelitian bahwa tingkat

pendidikan tidak ada hubungannya dengan pemanfaatan jamban keluarga

(Pane, 2009). Pendidikan yang baik menyebabkan banyak masyarakat

yang tidak mengetahui fungsi dari memanfaatkan jamban. Menurut

Notoatmodjo (2010), pendidikan merupakan faktor yang berpengaruh

dalam membentuk pengetahuan, sikap, persepsi, kepercayaan dan

penialaian seseorang terhadap kesehatan, sehingga dapat disimpulkan


79

bahwa semakin tinggi pendidikan seseorang makan semakin tinggi pula

kesadarannya untuk tetap menjaga kebersihan dan lingkungannya. Tingkat

pendidikan tinggi biasanya akan mengikuti gaya hidup yang sehat,

menurut penelitian yang dilakukan oleh Cozma, et al. (2014) dengan

mengikuti gaya hidup yang sehat, berapapun usianya, akan mendapatkan

manfaat kesehatan yang dibuktikan dengan perilaku hidup sehat dapat

mengurangi resiko penyakit, baik dari penyakit kardiovaskuler, resiko

keganasan, dll.

Penelitian Widowati, Nilansari Nur (2015), menyebutkan bahwa

masyarakat yang berpendidikan rendah yang tidak memiliki jamban dan

yang sudah memiliki jamban perlu dilakukan suatu pendekatan dan

penerapan pola hidup bersih dan sehat. Menurut penelitian Suherman

(2009), ada hubungan pendidikan dengan ketidakmauan menggunakan

jamban, dimana responden yang berpendidikan rendah memiliki resiko

untuk tidak mau menggunakan jamban pada waktu buang air besar (BAB).

Penelitian Erlinawati (2009) juga membuktikan pendidikan ibu memiliki

hubungan yang erat dengan perilaku keluarga terhadap penggunaan

jamban. Berbeda dengan penelitian Sutedjo (2013) yang menyebutkan

tidak ada hubungan antara pendidikan dengan praktek responden dalam

menggunakan jamban. Perbedaan ini dikarenakan menurut Sutedjo

pendidikan formal seseorang tidak bisa dijadikan patokan untuk

berperilaku hidup bersih dan sehat terutama dalam menggunakan jamban,


80

2. Gambaran Perilaku Masyarakat dalam Buang Air Besar Sesudah

Dilakukan Bimbingan Konseling Metode Focus Group Discussion

Tentang Program Open Defecation Free

Hasil penelitian menunjukkan perilaku masyarakat dalam buang air

besar sesudah dilakukan bimbingan konseling metode focus group

discussion tentang program open defecation free di Kelurahan Bandarjo

Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang kategori cukup yaitu

sebanyak 1 responden (5,0%). Hal tersebut ditunjukkan dengan responden

yang menyatakan merasa air sumur dapat tercemar jika membuat jamban

di rumah (45,0%) dan mengeringkan tangan dengan cara mengangin-

anginkan ketika tidak ada handuk kecil (60,0%).

Penggunaan jamban masyarakat di Kelurahan Bandarjo Kecamatan

Ungaran Barat Kabupaten Semarang kategori cukup ditunjukkan dengan

tidak membuat sumur yang berdekatan dengan jamban di rumah. Menurut

Madjid (2009), penggunaan jamban akan bermanfaat untuk menjaga

lingkungan bersih, sehat, dan tidak berbau. Jamban mencegah pencemaran

sumber air yang ada disekitarnya. Jamban juga tidak mengundang

datangnya lalat atau serangga yang dapat menjadi penular penyakit diare,

kolera disentri, typus, kecacingan, penyakit saluran pencernaan, penyakit

kulit dan keracunan.

Peneliti mendapatkan data banyak dari warga yang mempunyai

jamban di belakang rumah baik di dalam kamar mandi atau bersebelahan

dengan kamar mandi dan meletakkan saptic tank di depan rumah bagian
81

ujung. Jenis jamban yang digunakan adalah leher angsa dilengkapi dengan

air. Rumah warga yang mempunyai sumur, meletakkan jambannya dengan

jarak lebih dari 10 meter yaitu di halaman depan rumah. Informasi yang

diperoleh peneliti dari warga, salah satu tujuan mereka meletakkan jamban

di depan rumah supaya mudah ketika melakukan penyedotan ketika

jamban sudah penuh disamping untuk mencegah meresapnya air jamban

ke dalam sumur.

Perilaku mengeringkan tangan masyarakat di Kelurahan Bandarjo

Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang kategori cukup juga

ditunjukkan dengan pernyatakaan mereka ketika mengeringkan tangan

dengan cara mengangin-anginkan ketika tidak ada handuk kecil. Menurut

Kemenkes RI (2014), mengeringkan tangan dapat dilakukan dengan

menggunakan handuk kecil atau diangin-anginkan tetapi tidak

menggunakan mesin pengering. Mengeringkan tangan dengan cara

diangin-anginkan tidak masalah jika tidak menyentuh apa-apa saat setelah

di cuci. Tidak dianjurkan mengeringkan tangan dengan mesin pengering

karena setelah tangan bersih, justru kuman bisa kembali lagi, termasuk

kuman yang berasal dari pengering. Belum lagi, dengan sistem

pengeringan dengan angin membuka kemungkinan kuman-kuman bisa

bertebaran di area cuci tangan. Menurut Murwati (2012), faktor-faktor

yang diduga meningkatkan perilaku BAB masyarakat diantaranya adalah

umur.
82

Perkembangan pengetahuan didasarkan atas kematangan dan

belajar. Menurut Potter and Perry (2015), pemahaman seseorang

meningkat seiring dengan bertambahnya usia, dalam hal pencegahan

penyakit, usia merupakan faktor resiko yang berhubungan dengan sejarah

keluarga dan kebiasaan personal. Seiring dengan pertambahan umur,

seseorang mengetahui mana yang benar dan mana yang salah yang akan

mewujudkan perilaku yang sehat (Murwati, 2012). Faktor perkembangan

seperti usia dapat mempengaruhi pengambilan keputusan terhadap status

kesehatan. Seseorang yang berusia 35-60 tahun bertanggung jawab secara

sosial membantu anak dan lingkungan menjadi dewasa, sehingga

mengetahui cara mewujudkan perilaku sehat (Hurlock, 2010).

Hasil penelitian Sutedjo (2013) menyebutkan presentase responden

dengan umur muda dan tua tidak berbeda partisipasinya dalam program

kesehatan (p > 0,05), sehingga tidak perlu adanya penggolongan umur

untuk program peningkatan partisipasi masyarakat. Namun penelitian

Sutedjo tidak sesuai dengan penelitian Hulland, et al (2014) yang

menyebutkan bahwa umur dan jenis kelamin merupakan faktor penting

untuk menentukan siapa di dalam rumah tangga yang memiliki

kemampuan dalam menggunakan teknologi. Dalam sebuah penelitian

penyediaan jamban di Gambia Afrika, menyebutkan faktor umur yaitu

umur dewasa sangat berpengaruh dalam menentukan penggunaan jamban,

penggunaan jamban di Gambia 94% penggunaannya diprioritaskan untuk


83

kepala keluarga, selanjutnya istri pertama, hanya laki laki atau hanya

perempuan.

Hasil penelitian ini juga menunjukkan perilaku masyarakat dalam

buang air besar sesudah dilakukan bimbingan konseling metode focus

group discussion tentang program open defecation free di Kelurahan

Bandarjo Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang kategori baik

yaitu sebanyak 19 responden (95,0%). Hal tersebut ditunjukkan dengan

responden yang menyatakan setiap hari BAB di jamban, menggunakan air

yang cukup (100,0%). Mereka juga tidak buang air besar di sungai bahkan

ketika berada diluar rumah, tidak melakukan BAB di sawah/sungai

(100,0%).

Penggunaan jamban masyarakat di Kelurahan Bandarjo Kecamatan

Ungaran Barat Kabupaten Semarang kategori baik ditunjukkan dengan

menggunakan jamban dan air yang cukup setiap hari ketika BAB. Menurut

Dedi dan Ratna (2013), salah satu upaya untuk mencegah berkembangnya

penyakit dan menjaga lingkungan menjadi bersih dan sehat dengan cara

membangun jamban di setiap rumah. Jamban merupakan salah satu

kebutuhan pokok manusia. Maka diharapkan tiap individu untuk

memanfaatkan fasilitas jamban untuk buang air besar. Penggunaan jamban

akan bermanfaat untuk menjaga lingkungan tetap bersih, nyaman dan tidak

berbau.

Perilaku cuci tangan masyarakat di Kelurahan Bandarjo Kecamatan

Ungaran Barat Kabupaten Semarang kategori baik ditunjukkan dengan


84

mencuci tangan setelah BAB menggunakan air bersih mengalir dan sabun

dengan menggosok sela-sela jari lalu dikeringkan dengan handuk kecil.

Menurut Erman (2009), untuk mengatasi kuman dibutuhkan pengertian

akan pentingnya kebiasaan mencuci tangan oleh siapapun. Bukan hanya

sekedar mencuci tangan saja melainkan juga menggunakan sabun dan

dilakukan di bawah air yang mengalir karena sabun bisa mengurangi atau

melemahkan kuman yang ada di tangan. Tujuan utama dari cuci tangan

secara higienis adalah untuk menghalangi transmisi patogen-patogen

kuman dengan cepat dan secara efektif. Menurut Widoyono (2018),

pendapatan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat

wawasan masyarakat mengenai perilaku buang air besar.

Hasil penelitian menunjukkan sebagian responden tingkat

pendapatan yang tinggi dan berperilaku buang air besar yang baik, hal ini

karena dengan pendapatan yang diperoleh respnden digunakan untuk

membangun jamban sendiri sebagai tempat buang air besar, sehingga

masyarakat mempunyai perilaku buang air besar yang baik. Hal tersebut

sesuai dengan pernyataan dari Daud (2009), bahwa pendapatan merupakan

faktor yang berhubungan dengan kualitas Perilaku Hidup Bersih dan Sehat

(PHBS). Tingkat pendapatan berkaitan dengan kemiskinan yang

berpengaruh pada status kesehatan masyarakat.

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Widowati (2015)

bahwa pendapatan berhubungan dengan perilaku Buang Air Besar

Sembarangan (BABS). Penelitian Suryaningtias (2016) menunjukkan


85

faktor yang berhubungan dengan perilaku buang air besar sembarangan

adalah status ekonomi. Pada variabel pendapatan ditunjukkan dengan

masyarakat yang pada umumnya berada pada tingkat ekonomi tinggi

sehingga masyarakat mudah atau mampu untuk membangun fasilitas

jamban sehingga berpengaruh pada penggunaan maupun pemanfaatan

jamban. Menurut Murwati (2012), faktor lain yang mempengaruhi perilaku

BAB sembarangan, diantaranya jenis kelamin.

Jenis kelamin merupakan karakteristik manusia sebagai faktor

predisposisi terhadap perilaku. Perempuan adalah orang yang paling

dirugikan apabila keluarga tidak mempunyai jamban dan berperilaku

BABS, mereka merasa terpenjara oleh siang hari karena mereka hanya

dapat pergi dari rumah untuk buang air besar pada periode gelap baik di

pagi buta atau menjelang malam, apalagi ketika mereka sedang mengalami

menstruasi, dalam sebuah penelitian dikatakan bahwa terjadi peningkatan

11% anak perempuan yang mendaftar kesuatu sekolah setelah

pembangunan jamban di sekolah (Cairncross, 2013).

Jenis kelamin menunjukkan perbedaan antara perempuan dengan

laki-laki secara biologis sejak seseorang lahir. Gender merupakan suatu

konsep kultural yang berupaya membuat pembedaan (distinction) dalam

hal peran, perilaku, metalitas dan karakteristik emosional antara laki-laki

dan perempuan yang berkembang dalam masyarakat dianggap pantas

sesuai norma-norma dan adat istiadat, kepercayaan, atau kebiasaan

masyarakat. Gender mencakup semua atribut sosial mengenai laki-laki dan


86

perempuan, misalnya laki-laki digambarkan mempunyai sifat maskulin

seperti keras, kuat, rasional, dan gagah. Sementara perempuan

digambarkan memiliki sifat feminim seperti halus, lemah, peras, sopan,

dan penakut (Mubarak, 2009). Penelitian yang dilakukan oleh Collen

(2018) menemukan bahwa hubungan teoritis antara pikiran, perasaan, dan

perilaku dikonfirmasi dari perbedaan jenis kelamin yang diidentifikasi.

Pikiran memiliki efek langsung pada perasaan dan efek tidak langsung

melalui perasaan pada perilaku sehatuntuk kedua jenis kelamin.

Beberapa penelitian yang mendukung diantaranya penelitian

Cairncross (2013) yang menyebutkan jenis kelamin merupakan faktor

predisposisi perilaku. Perempuan merupakan individu yang paling

dirugikan jika suatu keluarga tersebut tidak memiliki jamban. Mereka

hanya bisa pergi untuk BAB pada saat hari gelap saja entah itu menjelang

pagi hari atau pada malam hari apalagi pada saat menstruasi. Sebuah

penelitian menyebutkan terjadi peningkakatan sebesar 11%.

B. Analisis Bivariat

Hasil penelitian menunjukkan rata-rata perilaku masyarakat dalam

buang air besar sebelum dilakukan bimbingan konseling metode focus group

discussion tentang program open defecation free pada kepala keluarga di

Kelurahan Bandarjo Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten Semarang sebesar

14,5000 dengan standar deviasi 1,73205, sedangkan rata-rata perilaku

masyarakat dalam buang air besar sesudah dilakukan bimbingan konseling


87

metode focus group discussion tentang program open defecation free pada

kepala keluarga di Kelurahan Bandarjo Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten

Semarang sebesar 16,1500 dengan standar deviasi 1,59852.

Hasil penelitian menunjukkan terjadi peningkatan perilaku

masyarakat dalam buang air besar sesudah dilakukan bimbingan konseling

metode focus group discussion tentang program open defecation free dimana

responden menyatakan membangun jamban sehat untuk mencegah

pencemaran air di lingkungan (15,0%), merasa air sumur dapat tercemar jika

membuat jamban di rumah (25,0%), menggosok sela-sela dan buku-buku jari

dengan menggunakan sabun saat mencuci tangan (15,0%), mengusap

permukaan tangan saat mencuci tangan dengan sabun (60,0). Peneliti juga

mendapatkan penurunan perilaku masyarakat dalam buang air besar sesudah

dilakukan bimbingan konseling metode focus group discussion tentang

program open defecation free dimana responden menyatakan menyeka tangan

mulai dari ujung jari sampai permukaan tangan ketika mengeringkan tangan

(25,0%). Menurut Murwati (2012), faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku BAB sembarangan, diantaranya peningkatan pengetahuan.

Menurut model komunikasi/persuasi, bahwa perubahan pengetahuan

dan sikap merupakan prekondisi bagi perubahan perilaku kesehatan dan

perilaku-perilaku yang lain (Glanz et al, 2009). Menurut Curtis (2011), upaya

peningkatan pengetahuan melalui promosi kesehatan mempengaruhi

perubahan perilaku. Pengetahuan merupakan hasil tahu setelah melakukan

penginderaan terhadap suatu objek tertentu. Pengetahuan umumnya datang


88

dari pengalaman dan juga diperoleh dari informasi yang disampaikan orang

lain maupun didapat dari buku atau media massa. Pengetahuan tentang

kesehatan dapat ditingkatkan melalui penyuluhan baik secara individu

maupun kelompok untuk meningkatkan pengetahuan kesehatan yang

bertujuan untuk tercapainya perubahan perilaku individu, keluarga dan

masyarakat dalam mewujudkan kesehatan yang optimal.

Pengetahuan sangat erat hubungannya dengan tindakan seseorang,

dalam hal ini pengetahuan tentang pemanfaatan jamban keluarga dirumah.

Pengetahuan rendah akan sangat mempengaruhi perilaku dalam memilih hal

ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan dan informasi masyarakat

dalam pemanfaatan jamban keluarga yang sehat selain itu juga masyarakat

masih berperilaku BABS di empang/kolam, sungai, dan numpang(sharing).

Sedangkan masyarakat yang memiliki pengetahuan kategori tinggi

berperilaku BAB dijamban tetapi masih ada juga masyarakat yang

berpengetahuan tinggi yang masih BABS dimana memiliki WC tetapi

dialirkan ke kolam. Salah satu bentuk objek kesehatan dapat dijabarkan oleh

pengetahuan yang diperoleh dari pengalaman sendiri (Wawan dan Dewi,

2010).

Pengetahuan yang rendah memungkinkan tidak adanya tindakan yang

positif tentang perilaku pemanfaatan jamban. Menurut Arito (2011), semakin

tinggi pengetahuan seseorang mengenai jamban, maka semakin baik pula

pemanfaatan jamban. Menurut penelitian Erlinawati (2009) menyebutkan

bahwa variabel pengetahuan ibu tentang jamban merupakan variabel


89

confounder terhadap hubungan pendidikan ibu dengan perilaku keluarga

terhadap penggunaan jamban. Penjelasannya karena ibu yang memliki

pengetahuan tinggi tentang jamban pada umumnya adalah ibu yang

berpendidikan tinggi. Hal ini disebabkan karena ibu yang berpendidikan

tinggi lebih mudah memahami (comprehension) dan mudah menerapkan

(application) secara benar objek yang diketahui pada kehidupan sehari hari.

Menurut Notoatmodjo (2010), pengetahuan merupakan domain yang

sangat penting dalam pembentukan tindakan seseorang. Sejalan dengan

Sarwono (1997) dalam Otayya (2012) menyebutkan pengetahuan merupakan

hasil tahu setelah seseorang melakukan suatu observasi tehadap suatu objek.

Maka dikatakan pengetahuan merupakan aspek paling penting sebelum

melakukan sebuah tindakan.

Penelitian Kamria, dkk (2013) menunjukkan bahwa tingkat

pengetahuan responden mempunyai hubungan dengan pemanfaatan jamban

(ρ=0,006). Penelitian tersebut juga sejalan dengan hasil penelitian Ibrahim,

dkk (2012) yang menyebutkan terdapat hubungan antara pengetahuan dengan

pemanfaatan jamban (p=0,000) di Padangsidimpuan Angkola Jalu. Menurut

Green, 1980 dalam Notoadmodjo, (2010) promosi untuk memanfaatkan

jamban seharusnya dilakukan secara optimal sebagai upaya dalam rangka

menggerakan dan memberdayakan masyarakat yaitu melalui pemberian

informasi secara terus menerus dan berkesinambungan mengikuti

perkembangan sasaran, yang diharapkan sasaran (responden) tersebut

berubah dari tidak tahu menjadi tahu, sadar dari tahu menjadi mau dan dari
90

mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan.

Pengetahuan masyarakat tentang kesehatan lingkungan sangat penting, karena

akan mempengaruhi perilaku masyarakat selanjutnya dalam hal pengadaan

jamban keluarga atau sarana maupun dalam hal pemanfaatan hingga

pemeliharaan jamban keluarga, peran serta dari petugas kesehatan ataupun

kader mampu menjadi faktor penguat dalam mendukung perkembangan dari

perilaku masyarakat yang diharapkan.

Berdasarkan hasil wilcoxon rank test didapatkan p-value = 0,046 <

0,05 (α), maka dapat simpulkan bahwa ada perbedaan yang bermakna

perilaku masyarakat dalam buang air besar sebelum dan sesudah dilakukan

bimbingan konseling metode focus group discussion tentang program open

defecation free di Kelurahan Bandarjo Kecamatan Ungaran Barat Kabupaten

Semarang.

Perilaku buang air besar sembarangan atau open defecation berakibat

secara langsung/tak langsung pada terkontaminasinya sumber air minum

maupun terjadinya pencemaran ulang (rekontaminasi) pada sumber air dan

makanan yang disantap di rumah. Praktek buang air besar sembarangan

diartikan menjadi buang air besar sembarang tempat dan membiarkan

tinjanya pada tempat terbuka. Padahal sanitasi dan perilaku hidup sehat akan

mengurangi kejadian penyakit yang menular melalui air, serta memberikan

manfaat sosial, lingkungan, dan ekonomi yang signifikan (Pedoman STBM,

2009).
91

Penelitian Arsunan, dkk (2013), yang menyatakan pengetahuan yang

rendah sebagai salah satu faktor yang mendukung proses terjadinya penularan

berbagai penyakit, diantaranya dipengaruhi oleh perilaku buang air besar di

sembarang tempat. Oleh sebab itu masyarakat yang berpengetahuan kurang

mempunyai peluang lebih besar lebih menyukai buang air besar di sembarang

tempat, sehingga mudah tertular berbagai penyakit seperti diare, typhus,

muntaber, disentri, cacingan dan gatal-gatal, dibandingkan dengan yang

berpengetahuan cukup. Dengan demikian perlu adanya pengetahuan dan

pemahaman yang baik terhadap penggunaan jamban. Menurut Tohirin,

(2009) dalam bukunya, salah satu upaya untuk meningkatkan pemahaman

adalah pemberian bimbingan konseling.

Menurut Surya (2014) dalam bukunya menyebutkan bahwa

bimbingan konseling merupakan bagian dari proses pendidikan yang teratur

dan sistematik yaitu antar pribadi, di mana satu orang yang dibantu oleh yang

lainnya untuk meningkatkan pemahaman dan kecakapan menemukan masalah

guna membantu pertumbuhan dalam menentukan dan mengarahkan sesuatu,

yang pada akhirnya dapat memperoleh pengalaman-pengalaman yang dapat

memberi sumbangan yang berarti bagi masyarakat. Bimbingan konseling itu

sendiri bertujuan mendapatkan pemahaman yang lebih baik sesuai dengan

potensi yang dimiliki, mampu memecahkan sendiri masalah yang dihadapi,

dapat menyesuaikan diri secara lebih efektif baik terhadap dirinya sendiri

maupun lingkungannya sehingga memperoleh tujuan yang ingin dicapai


92

(Tohirin, 2009). Menurut penelitian yang dilakukan Lehoux dkk (2016), salah

satu metode bimbingan konseling adalah Focus Group Discussion (FGD).

Focus Group Discussion (FGD) atau diskusi kelompok terfokus

merupakan suatu metode pengumpulan data yang lazim digunakan pada

penelitian kualitatif sosial, tidak terkecuali pada penelitian keperawatan.

Metode ini mengandalkan perolehan data atau informasi dari suatu interaksi

informan atau responden berdasarkan hasil diskusidalam suatu kelompok

yang berfokus untuk melakukan bahasan dalam menyelesaikan permasalahan

tertentu. Data atau informasi yang diperoleh melalui teknik ini, selain

merupakan informasi kelompok, juga merupakan suatu pendapat dan

keputusan kelompok tersebut. Keunggulan penggunaan metode FGD adalah

memberikan data yang lebih kaya dan memberikan nilai tambah pada data

yang tidak diperoleh ketika menggunakan metode pengumpulan data lainnya,

terutama dalam penelitian kuantitatif (Lehoux dkk, 2016).

Penelitian Sholikhah (2014), menunjukkan ada hubungan pelaksanaan

program ODF (Open Defecation Free) dengan perubahan perilaku

masyarakat dalam buang air besar di luar jamban di Desa Kemiri Kecamatan

Malo Kabupaten Bojonegoro (PV = 0,000). Penelitian Ridwan (2013),

menunjukkan ada perbedaan perilaku buang air besar sebelum dan sesudah

penyuluhan di RT 01/RW 01 Dusun Klampisan Desa Ngrangkok Kecamatan

Kandangan Kabupaten Kediri (p value = 0,001 < 0,05). Penelitian Subarkah

(2016), menunjukkan ada pengaruh pemberian layanan bimbingan

konseling terhadap perilaku siswa kelas VIII SMP Muhamadiyah 1


93

Pleret. Semakin baik dan efektif layanan bimbingan konseling maka semakin

baik perilaku, sebaliknya semakin kurang pelaksanaan layanan bimbingan

konseling maka semakin kurang perilaku.

C. Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini tidak lepas dari adanya keterbatasan dimana beberapa

variabel tidak dapat dikendalikan sepenuhnya oleh peneliti diantaranya

pengetahuan, tingkat ekonomi maupun pendapatan. Faktor-faktor tersebut

dimungkinkan juga dapat meningkatkan atau menurunkan perilaku buang air

besar dari responden, akan tetapi bukan karena faktor bimbingan konseling

yang diberikan. Keterbatasan lainnya yaitu pengukuran perilaku buang air

besar responden di ukur dengan menggunakan kuesioner yang dijawab oleh

responden sehingga dimungkinkan adanya faktor ketidak jujuran dari

responden ketika melakukan pengisian. Peneliti mencoba menekan hal

tersebut, dengan melakukan pendampingan ketika proses pengisian kuesioner.

Anda mungkin juga menyukai