Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Jamban adalah suatu bangunan yang dipergunakan untuk membuang

tinja/kotoran manusia yang sering disebut WC sehingga kotoran tersebut dalam satu

tempat tertentu, tidak menjadi penyebab penyakit dan mengotori lingkungan

pemukiman (Depkes RI, 1995). Sementara menurut Soemardji (1985), pembuangan

kotoran adalah pengumpulan kotoran manusia pada suatu tempat tertentu dengan

maksud agar kotoran tersebut tersimpan sedemikian rupa, sehingga tidak

memungkinkan kuman-kuman atau bibit penyakit yang ada pada kotoran manusia

sampai kepada orang lain serta mengganggu estetika.

Maka dapat disimpulkan bahwa jamban suatu suatu bangunan yang

dipergunakan untuk membuang tinja/kotoran manusia agar kotoran tersebut tersimpan

sedemikian rupa, sehingga tidak memungkinkan kuman-kuman atau bibit penyakit yang

ada pada kotoran manusia sampai kepada orang lain serta mengganggu estetika.

Berdasarkan data WHO pada tahun 2010 diperkirakan sebesar 1,1 milyar orang

atau 17% penduduk dunia masih buang air besar di area terbuka, dari data tersebut

diatas sebesar 81% penduduk yang Buang Air Besar Sembarangan (BABS) terdapat di

10 negara dan Indonesia sebagai negara kedua terbanyak ditemukan masyarakat

buang air besar di area terbuka, yaitu India (58%), Indonesia (12,9%), China (4,5%),

Ethiopia (4,4%), Pakistan (4,3%), Nigeria (3%), Sudan (1,5%), Nepal (1,3%), Brazil

(1,2%) dan Niger (1,1%) (WHO, 2010).


Berdasarkan laporan MDGs, di Indonesia tahun 2010 akses sanitasi layak

hanya mencapai 51,19% (target MDGs sebesar 62,41%) dan sanitasi daerah pedesaan

sebesar 33,96% (target MDGs sebesar 55,55%) (Kementerian PPN, 2010).

Hasil Riskesdas 2013 tentang proporsi rumah tangga berdasarkan penggunaan

fasilitas buang air besar. Rerata nasional perilaku buang air besar di jamban adalah

(82,6%). Lima Provinsi dengan persentase tertinggi rumah tangga yang berperilaku

benar dalam buang air besar diantaranya DKI Jakarta (98,9%), DI Yogyakarta (94,2%),

Kepulauan Riau (93,7%), Kalimantan timur (93,7%), dan Bali (91,1%). Sedangkan lima

provinsi terendah diantaranya Sumatera Barat (29,0%), Papua (29,5%), Kalimantan

Selatan (32,3%), Sumatera Utara (32,9%) dan Aceh (33,6%). Jawa tengah menduduki

urutan ke 15 dengan penduduk berperilaku buang air besar di jamban yakni 82,7% dari

beberapa provinsi yang ada di Indonesia (Kemenkes, 2014).

Sedangkan data dari Dinas Kesehatan Kabupaten Sragen tahun 2013,

penggunaan jamban sebagai fasilitas Buang Air Besar (BAB) di Kabupaten Sragen

masih rendah yaitu persentase rumah tangga menurut kepemilikan jamban sehat

sebesar 119.375 (74%) sedangkan yang tidak memiliki jam ban sebesar 153.185

(26%).

Kepemilikan jamban dimasyarakat dipengaruhi oleh status ekonomi, tingkat

pengetahuan, sikap dan peranan petugas mempunyai hubungan yang bermakna

dengan kepemilikan jamban keluarga. ( Vivi Maya Sari, 2011, Otik Widyastutik 2015 ,

Eti Martina, Drs. Junaid, Wd. Sitti Zalmariyah Andisiri. 2016)


Penelitian yang dilakukan oleh oleh Vivi Maya Sari ( 2011) Didapatkan tingkat

pendidikan, tingkat pengetahuan, sikap, status ekonomi dan peranan petugas

kesehatan mempunyai hubungan yang bermakna dengan kepemilikan jamban keluarga

​ engan tingkat kemaknaan p < 0,05.


menggunakan uji ​chi-square d

Penelitan yang sama dilakukan oleh Otik Widyastutik (2015) Analisis statistik

​ asil penelitian menunjukkan bahwa adanya hubungan


menggunakan uji ​chi square. H

penghasilan terhadap kepemilikan jamban (p = 0.037), pengetahuan (p = 0.037) dan

sikap (p = 0.037).

Dan penelitian yang dilakukan oleh Eti Martina, Drs. Junaid, Wd. Sitti Zalmariyah

Andisiri (2016) , bahwa penelitian menunjukkan bahwa tingkat ekonomi masyarakat

mempunyai hubungan yang bermakna terhadap kepemilikan jamban dengan nilai

signifikansi sebesar 0,015 yang berarti p < 0,05, dukungan keluarga mempunyai

hubungan yang bermakna terhadap kepemilikan jamban dengan nilai signifikansi

sebesar 0,027 yang berarti p < 0,05, dan tingkat pendidikan mempunyai hubungan yang

bermakna terhadap kepemilikan jamban dengan nilai signifikansi sebesar 0,025 yang

berarti p < 0,05.

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah yang diangkat adalah

Faktor apakah yang menjadi Determinan kepemilikan jamban di Macorawalie,

Watang Sawitto Tahun 2017 ?

C. TUJUAN

1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui faktor Determinan Kepemilikan Jamban pada mayarakat

yang ada di Macorawalie, Watang Sawitto.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui hubungan status ekonomi dengan kepemilikan jamban

di Macorawalie , Wattang Sawitto.

b. Untuk mengetahui hubungan tingkat pengetahuan dengan kepemilikan

jamban di Macorawalie , Wattang Sawitto.

c. Untuk mengetahui hubungan sikap dengan kepemilikan jamban di

Macorawalie , Wattang Sawitto.

D. MANFAAT

1. Manfaat Ilmiah.

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai sumbangan ilmiah

atau bahan bacaan bagi seluruh lapisan masyarakat dalam memahami faktor

penyebab kurangnya kepemilikan jamban keluarga.

2. Manfaat Insitusi

Diharapkan dari hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu sumber

informasi bagi institusi terkait dalam hal penentu kebijakan untuk menangani

masalah kepemilikann jamban.

3. Manfaat Praktis
Penelitian merupakan pengalaman berharga dalam upaya menambah

wawasan dan ilmu pegetahuan tentang hal-hal yang berhubungan dengan

kepemilikan jamban keluarga,

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Tentang Jamban

1. Pengertian Jamban

Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran

manusia yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa

atau tanpa leher angsa (cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan

kotoran dan air untuk membersihkannya.Buang air besar (BAB) sembarangan

bukan lagi zamannya. Dampak BAB sembarangan sangat buruk bagi kesehatan

dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis penyakit ditularkan.Sebagai

gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus

diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak

menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.

Sedangkan menurut(Depkes RI, 1995), Jamban adalah suatu bangunan yang

digunakan untuk membuang dan mengumpulkan kotoran manusia dalam suatu


tempat tertentu, sehingga kotoran tersebut dalam suatu tempat tertentu tidak

menjadi penyebab penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman .

Jamban keluarga didefinisikan suatu bangunan yang dipergunakan untuk

membuang tinja/kotoran manusia bagi keluarga, lazimnya disebut kakus.

Penyediaan sarana pembuangan kotoran manusia atau tinja (kakus/jamban)

adalah bagian dari usaha sanitasi yang cukup penting peranannya, khususnya

dalam usaha pencegahan penularan penyakit saluran pencernaan. Ditinjau dari

sudut kesehatan lingkungan, maka pembuangan kotoran yang tidak saniter akan

dapat mencemari lingkungan, terutama dalam mencemari tanah dan sumber air

(Soeparman dan Suparmin, 2002).

Penyediaan sarana jamban merupakan bagian dari usaha sanitasi yang cukup

penting peranannya. Ditinjau dari sudut kesehatan lingkungan pembuangan

kotoran yang tidak saniter akan dapat mencemari lingkungan terutama tanah dan

sumber air.Untuk mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan maka

pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik.

Salah satu upaya untuk meningkatkan derajat kesehatan masyarakat adalah

adanya sarana kesehatan lingkungan yang memenuhi syarat kesehatan antara

lain tersedianya jamban keluarga. Untuk meningkatkan cakupan jamban

keluarga dan mewujudkan Indonesia Sehat di tahun 2010 diperlukan suatu

perencanaan yang matang dan didukung data yang lengkap dan akurat. Untuk

memperoleh gambaran cakupan jamban di masyarakat maka dirasakan perlu

teknik pengumpulan data yang dapat menggambarkan keadaan sehat di


masyarakat dan dapat digunakan sebagai penunjang dari sistem informasi yang

ada. (Burmawi S.,2004).

Di negara berkembang masih banyak terjadi pembuangan tinja secara

sembarangan akibat tingkat sosial ekonomi yang rendah, pengetahuan dibidang

kesehatan lingkungan yang kurang dan kebiasaan buruk dalam pembuangan

tinja yang diturunkan dari generasi ke generasi. kondisi tersebut terutama

ditemukan pada masyarakat di pedesaan dan daerah kumuh perkotaan(Chandra

B.,2007).

Pembuangan tinja secara tidak baik dan sembarangan dapat mengakibatkan

kontaminasi pada air, tanah v atau menjadi sumber infeksi dan akan

mendatangkan bahaya bagi kesehatan karena penyakit yang

tergolong​waterborne disease​ akan mudah terjangkit (Chandra B., 2007).

Suatu jamban tersebut sehat jika memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai

berikut (Depkes RI, 1995):

a. Tidak mencemari sumber air minum (untuk ini dibuat lubang

penampungan kotoran paling sedikit berjarak 10 meter dari sumber air).

b. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus.

c. Air seni, air pembersih dan penggelontoran tidak mencemari tanah

disekitarnya.

d. Mudah dibersihkan, aman digunakan dan harus terbuat dari bahan-bahan

yang kuat dan tahan lama.


e. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna

terang.

f. Luas ruangan cukup.

g. Ventilasi cukup baik.

h. Tersedia air dan alat pembersih.

i. Cukup penerangan.

Ada beberapa macam jamban yang sesuai dengan konstruksi dan

carapembuatannya (ada 4 macam) jamban: (Entjang, 2000)

a. Kakus cemplung

Bentuk kakus ini adalah paling sederhana yang dapat dianjurkan pada

masyarakat.Nama ini dipakai bila orang menggunakan kakus jenis ini

(membuang kotorannya kekakus semacam ini), maka kotorannya lansung

masuk jatuh kedalam tempat penampungan kotoran yang dalam bahasa

jawanya​Nyemplung​.Kakus cemplung ini hanya terdiri dari sebuah lubang

galian diatasnya diberi lantai dan tempat jongkok, sedang dari tempat

jongkok kelubang galian tidak terdapat alat apapun sebagai penyalur

maupun penghalang.Lubang galian terdapat penampungan itu sendiri

dapat tanpa diberi pasangan tembok, atau ditembok seluruh bagian

dalamnya termasuk dasarnya, sehingga kakus ini bernama kakus

cemplung, dapat disebut juga ​beerput (​ bila seluruh bagian dalam tempat

penampungan itu termasuk dasarnya ditembok), dapat juga

disebut ​zink-put ​(bila sisi-sisinya saja yang ditembok, sedang dasarnya


tidak).Lantai kakus ini pun dapat dibuat dari bambu atau kayu , tapi dapat

juga dari pasangan batu bata atau beton. Agar tidak menjadi sarang dan

makanan serangga penyebar penyakit, maka lubang tempat jonkk harus

ditutup bila tidak dipakai.Kakus semaca ini masuh menimbulkan gangguan

karena bau busuknya.

b. Kakus Plengsengan

Plensengan berasal dari bahasa Jawa (​mlengseng)​ berarti

miring.nama itu dipakai karena dari lubang tempat jongok ketempat

penampungan kotoran dihubungkan oleh suatu saluran yang miring

(​mlengseng)​ .Jadi tempat jongkok dari kakus ini dibuat/diletakkan persis

diatas penampungan, melainkan agak menjauh disampingnya.Juga kakus

ini dapat disebut ​beerput​ ataupun ​zinkput​, bila ita memperhatikan

konstrusi tempat penampungan kotorannya (lihat kakus cemplung).Kakus

semacam ini sedikit lebih baik dan menguntungkan dari pada kakus

cemplung, karena baunya agak berkurang, dan keamanan bagi pemakai

lebih terjamin (tidak ada bahaya kejeblos/terperosok).Seperti halnya pada

kakus cemplung, maka lubang dari tempat jongkok harus dibuatkan

tutup.Sama seperti kakus cemplung, hanya lantai kakus tidak dibuat

diatas tempat penampungan, dan harus memasang saluran yang

menghubungkan lubang tempat jongkok dan lubang penampungan

kotoran.Pembuatan kakus cemplung dan kakus plengsengan tidak

mengalami kesukaran bila itu diselenggarakan disuatu daerah dimana


permuakaan air tanahberada jauh dibawah permukaan tanah, demikian

juga daerah yang tidak merupakan daerah banjir diwaktu hujan.Bila

penyelenggaraannya berada didaerah yang permukaan air tanahnya

dekat sekali dengan permukaan tanah atau yang merupakan daerah banjir

diwaktu hujan kita harus selalu selalu ingat bahwa lantai dan tempat

jongkok harus ditinggikan dan berada diatas permukaan air setingi waktu

banjir.Bagi daerah yang susunan tanahnya mudah runtuh, maka kita tidak

hanya membuat gakian biasa untuk tempat penampungan kotoran, tetapi

haru mempergunakan selonsong bambu dibagian dalam dari lubang

galian itu, atau ditembok sisi-sisinya.

c. Kakus Bor

Dinamakan demikian karena tempat penampungan kotorannya dibuat

dengan mempergunakan bor. Bor yang digunakan adalah bor tangan

yang disebut ​boor aunger​ dengan diameter antara 30-40 cm. Sudah

barang tentu lubang itu harus jauh lebih dalamdibandingkan dengan

lubang yang digali seperti pada kakus cemplung atau plengsengan,

karena diameter kakus bor ini jauh lebih kecil. Pengeboran pada umumya

dilakukan sampai mengenai air tanah. Perlengkapan lainnya dan cara

mempergunakan, dapat pula diatur seperti pada kakus cemplung dan

kakus plengsengan.
d. Kakus Angsatrine (​Water Seal Laterine)

Kakus ini, dibawak tempat jongkoknya ditempatkan atau

dipasangkan suatu alat yang berbentuk seperti leher angsa yang

disebut ​bowl.Bowl ​ini berfungsi mencegah timbulnya bau. Kotoran yang

berada ditempat penampungan tidak tercium baunya, karena terhalang

oleh air yang selalu terdapat dalam bagian yang melengkung, dengan

demikian juga dapat mencegah hubungan lalat dengan kotoran.Karena

dapat mencegah gangguan lalat dan bau, maka memberikan keuntungan

untuk dibuat didalam rumah.Agar terjaga kebersihannya, kakus semacam

ini harus cukup tersedia air.

Adapun faktor-faktor yang perlu diperhatikan dalam metode pembuangan

tinja antara lain faktor non teknis. (Ricki, 2005)

a. Faktor teknis meliputi:

1) Faktor dekomposisi ekskreta manusia

Fenomena terjadinya dekomposisi ekskreta manusia memegang peranan

yang amat penting dalam perencanaan sistem sarana pembuangan

tinja.Banyak sarana pembuangan tinja direncanakan kapasitas serta

prinsip kerjanya dengan mendasarkan pada fenomena ini. Dekomposisi

ekskreta yang merupakan proses dan berlansung secara alamiah ini

melaksanakan 3 aktivitas utama :


a) Pemecahan senyawa-senyawa organik kompleks seperti protein

dan urea kedalam bentuk-bentuk yang lebih sederhana dan stabil.

b) Pengukuran volume dan massa (kadang-kadang sampai mencapai

80%) bahkan yang mengalami dekomposisi dengan menghasilkan

gas-gas seperti methan, carbon dioxide, ammonia, dan nitrogen

yang dibebaskan ke atmosfir dan dengan menghasilkan

bahan-bahan yang terlarut yang dalam keadaan tertentu meresap

masuk dalam tanah.

c) Penghancuran organisme pathogenyang dalam beberapa hal tidak

bertahan hidup dalam proses-proses dekomposisi atau terhadap

serangan kehidupan biologik yang sangat banyak terdapat dalam

massa yang mengalami dekomposisi.Bakteri memainkan peranan

utama dalam dekomposisi dan aktivitas bakteri baik aerobik

maupun anaerobik melansungkan proses dekomposisi ini.

2) Faktor kuantitas tinja manusia

Kuantitas kotoran manusia yang dihasilkan dipengaruhi oleh kondisi

setempat, bukan hanya faktor physiologis, tetapi juga faktor-faktor budaya

dan agama. Apabila di suatu daerah tidak tersedia data hasil penelitian

setempat maka keperluan perencanaan dapat digunakan angka total

produksi ekskreta 1 kg (berat bersih) per orang/hari.

3) Faktor pencemaran tanah dan air tanah


Pada penemaran tanah dan air tanah oleh ekskreta merupakan informasi

penting yang harus dipertimbangkan dalam perencanaan sarana

pembuangan tinja, khususnya dalam perencanaan lokasi kaitannya

dengan sumber-sumber air minum yang ada.Jarak perpindahan bakteri

dalam tanah dipengaruhi berbagai faktor, salah satu faktor penting adalah

faktor parositas tanah. Perpindahan bakteri air tanah biasanya mencapai

jarak kurang dari 90 cm, dan secara vertikal kebawah kurang dari 3 m

pada lubang yang terbuka terhadap hujan lebat dan tidak lebih dari 60 cm

biasanya pada tanah yang poreus.

4) Faktor penempatan sarana air tinja

Tidak ada aturan yang pasti untuk menentukan jarak yang aman antara

jamban dan air minum, sebab hal itu dipengaruhi oleh banyak faktor,

seperti kemiringan dan ketinggian air tanah serta permeabilitas tanah.

5) Faktor perkembangbiakan lalat pada ekskreta

Perlu dihindarkan atau dicegah terjadinya perkembang biakan lalat pada

tinja dalam lubang jamban.Kondisi lubang jamban yang gelap dan tertutup

sebenarnya sudah dapat mencegah perkembang biakan lalat ini, baik

​ ositif
karena kerapatannya maupun karena sifat lalat yang ​phototropismep

(tertarik pada sinar dan menjauhi kegelapan atau permukaan yang gelap).

6) Faktor tutup lubang jamban

Harus diupayakan adanya tutup lubang jamban yang dapat mendorong

pemakai jamban untuk memfungsikan sebagaiman mestinya.Dalam


konstruksi yang sederhana mungkin hingga pemakai tidak terlalu sulit

untuk menggunakannya.

7) Faktor tekhnis ​engineering

Dalam perencanaan dan pembangunan sarana pembuangan tinja agar

diupayakan:

i. Penerapan pengetahuan tekhnik ​engineering,​ misalnya dalam

melakukan pemilihan tipe instalasi sesuai dengan kondisi lapisan

tanah yang ada.

ii. Pengguanaan bahan bangunan yang ada setempat untuk dapat

melakukan penghematan biaya secara berarti, misalnya

pengguanaan bambu untuk penahan runtuhnya dinding lubang,

untuk tulang penguat slab dan sebagainya.

iii. Pemilihan dan penentuan desain bangunan instalasi yang dapat

ditangani oleh pekerja setempat, juga tenaga terampil yang ada

perlu dimanfaatkan semaksimal mungin.

b. Faktor non teknis:

1) Faktor manusia

Dalam soal pembuangan tinja, faktor manusia sama pentingnya dengan

faktor tekhnis. orang tidak akan mau menggunakan jamban dari tipe yang

tidak disukainya atau yang tidak memberikan ​privacy​ yang cukup

padanya, atau yang tidak dapat dipelihara kebersihannya. Tahap pertama

dalam perencanaan system pembuangan tinja disuatu daerah adalah


perbaikan system yang sudah ada.Pengembangan system tersebut

selanjutnya harus senantiasa mengupayakan

pemberian/penciptaan ​privacy​ yang secukupnya bagi calon

pemakai.Aplikasi dari pada prinsip ini adalah perlunya dilakukan

pemisahan yang jelas antara ruang jamban untuk jenis kelamin yang

berbeda, perlunya disediakan jumlah ruang jamban yang cukup sesuai

dengan jumlah pemakai.Satu lubang jamban cukup untuk satu keluarga

yang terdiri dari 5 atau 6 orang. Jamban umum yang digunakan untuk

perkemahan, pasar atau tempat-tempat yang sejenisnya harus disediakan

minimal 1 lubang untuk 15 orang dan untuk sekolah 1 lubang jamban

untuk 15 orang wanita dan satu lubang + 1 urinoir untuk 25 orang pria.

2) Faktor biaya

Jenis jamban yang dianjurkan bagi masyarakat dan keluarga harus

sederhana, dapat diterima, ekonomis pembangunan, pemeliharaan serta

penggantiannya. Faktor biaya ini bersifat relatif, sebab system paling

mahal pembuatannya dapat menjadi paling murah untuk perhitungan

jangka panjang, mengingat masa penggunaannya yang lebih panjang

karena kekuatannya serta paling mudah dan ekonomis dari segi

pemeliharaannya. Dalam perencanaan dan pemilihan tipe jamban, biaya

tidak boleh dijadikan faktor dominant.Perlu dicarikan jalan tengah

berdasarkan pertimbangan yang seksama atas semua unsure yang


terkait, yang dapat menciptakan lingkungan yang saniter serta dapat

diterima oleh keluarga.

B. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEPEMILIKAN JAMBAN

a. Status Ekonomi

Kata ekonomi sendiri berasal dari kata Yunani​oikos​ yang berarti keluarga,

rumah tangga dan ​nomos​, atau peraturan, aturan, ​hukum​, dan secara

garis besar diartikan sebagai aturan rumah tangga atau manajemen

rumah tangga. Ekonomi adalah adanya ketidakseimbangan antara

kebutuhan ​manusia​ yang tidak terbatas dengan alat pemuas kebutuhan

yang jumlahnya terbatas.(wikipedia, 2009)

Persoalan ekonomi di Indonesia ini tak hanya terbatas pada

indikator-indikator itu.Keberadaan mereka di daerah-daerah terisolasi

sering luput dari sentuhan pembangunan, seperti terjangkitnya diare dan

penyakit kulit dari kontaminasi air dan tanah akibat kotoran manusia di

sepanjang kawasan pesisir pantai dan sungai.(Ingga, 2008)

Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi pada

sejumlah orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum

berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bukan

semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan

kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan, (Ingga, 2008)

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penyebab tingginya

jumlah orang miskin di daerah-daerah ini karena perekonomiannya sangat


bergantung pada empat bidang utama yang seluruhnya dikuasai oleh

pelaku ekonomi yang tidak berbasiskan usaha kecil dan

menengah.Keempat bidang utama tersebut adalah perkebunan,

pertambangan, kehutanan, dan perdagangan.Dengan penghasilan

pas-pasan, cukup untuk makan saja, mereka sering dijadikan contoh

kasus kemiskinan yang melandasi masyarakat terus berusaha mendapat

kucuran dana lebih dari pemerintah pusat,(Slamet, 2002)Data kemiskinan

Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) menekankan delapan

indikator penilaian, yaitu: frekuensi makan yang minimal dua kali sehari,

konsumsi lauk-pauk yang berprotein, kepemilikan pakaian, aset, luas

lantai hunian per kapita minimal delapan meter persegi, jenis lantai,

ketersediaan air bersih, dan kepemilikan jamban, (Slamet, 2002)

Pola penyakit di Indonesia ini setara dengan negara-negara lain yang

berpenghasilan kurang lebih sama. Hal ini tampak jelas bahwa negara

tergolong miskin keadaan gizinya rendah, pengetahuan tentang

kesehatannyapun rendah, sehingga keadaan kesehatan lingkungannya

juga buruk dan status kesehatannya buruk pula,(Slamet, 2002)

Ketiadaan uang untuk ditabung sehubungan dengan menurunnya

pendapatan (karena krisis ekonomi), meningkatnya biaya kontruksi

(semenjak 1998 sampai saat ini) serta tak adanya lahan untuk

membangun sarana sanitasi lingkungan rumah tangga dan jauhnya


sumber air bersih. Umumnya masalah-masalah ini ditemukan pada

masyarakat miskin atau berpenghasilan rendah,(Chandra, 2006)

Di Negara berkembang, sebagai akibat tingkat sosial ekonomi yang

rendah, sanitasi lingkungan yang belum diperhatikan masih merupakan

masalah utama sehingga munculnya berbagai jenis penyakit menular

tidak dapat dihindari dan pada akhirnya akan menjadi penghalang bagi

tercapainya kemajuan bidang sosial dan ekonomi. Kondisi ini umumnya

terjadi pada masyarakat pedesaan dan daerah kumuh

perkotaan, (Chandra, 2006)

Keluarga di Indonesia dikategorikan dalam lima tahap, yakni keluarga pra

sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III

dan keluarga sejahtera III plus. Keluarga pra sejahtera adalah keluarga

yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang, pangan

dan papan. Keluarga sejahtera I adalah keluarga yang walaupun

kebutuhan dasar telah terpenuhi, namun kebutuhan sosial psikologis

belum terpenuhi. Keluarga sejahtera II adalah keluarga yang telah dapat

memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologisnya, tapi belum dapat

memenuhi kebutuhan pengembangan. Keluarga sejahtera III adalah

keluarga yang sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis,

pengembangan tapi belum dapat memberi sumbangan secara teratur

pada masyarakat sekitarnya. Keluarga sejahtera tahap III plus adalah

keluarga yang telah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis,


pengembangan, serta telah dapat memberikan sumbangan yang teratur

dan berperan aktif dalam kegiatan kemasyarakatan.

Limpahan ekskreta manusia dalam berbagai bentuk,

khususnya ​feces,​ menyebabkan air sungai sewarna keruh.Bau tak sedap

menjadi suguhan setiap hari bagi warga sekitar.Namun, karena

keterbatasan pengetahuan dan ekonomi, warga terpaksa tetap

menggunakan air sungai untuk keperluan sehari-hari seperti mandi dan

mencuci, di luar kebutuhan.Kandungan limbah yang sangat tinggi, selain

pengaruh situasi alam, memunculkan bencana baru berupa panyakit yang

meningkat setiap tahun,(Chandra, 2006)

Menurut Departemen Kesehatan, selama 30 tahun terakhir, anggaran

yang dialokasikan untuk perbaikan sanitasi hanya sekitar 820 juta dollar

AS atau setara Rp 200/orang/tahun. Padahal, kebutuhannya mencapai Rp

470/rupiah/tahun. Versi Bank Pembangunan Asia, perlu Rp 50 triliun

untuk mencapai target MDGs 2015, dengan 72,5 persen penduduk akan

terlayani oleh fasilitas air bersih dan sanitasi dasar.Dalam APBN tahun

2008, anggaran untuk sanitasi itu, menurut seorang narasumber, hanya

1/214 dari anggaran subsidibahan bakar minyak (BBM). Selain lemahnya

visi menyangkut pentingnya sanitasi, terlihat pemerintah belum melihat

anggaran untuk perbaikan sanitasi ini sebagai investasi, tetapi mereka

masih melihatnya sebagai biaya (​cost​).Padahal, menurut perhitungan

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) dan sejumlah lembaga lain, setiap 1


dollar AS investasi di sanitasi, akan memberikan manfaat ekonomi

sebesar 8 dollar AS dalam bentuk peningkatan produktivitas dan waktu,

berkurangnya angka kasus penyakit dan kematian ( Sri Hartati, 2008).

Pemerintah Indonesia selama ini selalu memberikan perhatian yang besar

terhadap upaya penanggulangan kemiskinan karena pada dasarnya

pembangunan yang dilakukan bertujuan untuk meningkatkan

kesejahteraan masyarakatIndonesia. Perhatian pemerintah terhadap

penanggulangan kemiskinan semakin besar lagi setelah krisis ekonomi

melandaIndonesia pada pertengahan 1997. pemerintah secara tegas

menetapkan upaya penanggulangan kemiskinan sebagai salah satu

prioritas pembangunan sebagaimana termuat dalam undang-undang

nomor 25 tahun 2000 tentang program pembangunan nasional

(PROPENAS). Target yang ditetapkan pada periode tahun 2000-2004

adalah berkurangnya persentase penduduk miskin, dari 19% pada tahun

1999 menjadi 14% pada tahun 2004. keseriusan pemerintah ini juga

terlihat dengan dikeluarkannya keputusan Presiden Republik Indonesia

nomor 124 tahun 2001 pembentukan komite penanggulangan kemiskinan

(KPK). Tidak lama setelah itu pada tahun 2002 KPK juga telah

menerbitkan dokumen interim strategi penanggulangan kemiskinan

(Ritonga, 2008).

Tindakan ekonomi adalah setiap usaha manusia yang dilandasi oleh

pilihan yang paling baik dan paling menguntungkan. Misalnya : Ibu


memasak dengan kayu bakar karena harga minyak tanah sangat mahal

(wikipedia, 2009).

Tindakan ekonomi terdiri dari dua aspek, yaitu (wikipedia, 2009):

a. Tindakan ekonomi rasional, setiap usaha manusia yang

dilandasi oleh pilihan yang paling menguntungkan dan

kenyataannya demikian.

b. Tindakan ekonomi irrasional, setiap usaha manusia yang

dilandasi oleh pilihan yang paling menguntungkan namun

kenyataannya tidak demikian.

Keluarga di Indonesia dikategorikan dalam lima tahap, yakni

keluarga pra sejahtera, keluarga sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga

sejahtera III dan keluarga sejahtera III plus. Keluarga pra sejahtera adalah

keluarga yang belum mampu memenuhi kebutuhan dasar seperti sandang,

pangan dan papan. Keluarga sejahtera I adalah keluarga yang walaupun

kebutuhan dasar telah terpenuhi, namun kebutuhan sosial psikologis belum

terpenuhi. Keluarga sejahtera II adalah keluarga yang telah dapat memenuhi

kebutuhan dasar, sosial-psikologisnya, tapi belum dapat memenuhi

kebutuhan pengembangan. Keluarga sejahtera III adalah keluarga yang

sudah dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan

tapi belum dapat memberi sumbangan secara teratur pada masyarakat

sekitarnya. Keluarga sejahtera tahap III plus adalah keluarga yang telah

dapat memenuhi kebutuhan dasar, sosial-psikologis, pengembangan, serta


telah dapat memberikan sumbangan yang teratur dan berperan aktif dalam

kegiatan kemasyarakatan.( Chandra B., 2006)

Masalah ekonomi yang perlu mendapatkan perhatian serius

adalah kemiskinan. kemiskinan adalah kekurangan dan keterbelakangan. di

Indonesia batas garis kemiskinan yang ditetapkan badan puasat statistik

(BPS), dalam statisitik Indonesia 1999 mengacu pada kebutuhan minimum

non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi

kebutuhan dasar untuk sandan dan pangan serta kebutuahan mendasar

lainnya (Yudistira, 2007).

Masalah ekonomi yang perlu mendapatkan perhatian serius

adalah kemiskinan. kemiskinan adalah kekurangan dan keterbelakangan. di

Indonesia batas garis kemiskinan yang ditetapkan badan puasat statistik

(BPS), dalam statisitik Indonesia 1999 mengacu pada kebutuhan minimum

non makanan yang merupakan kebutuhan dasar seseorang yang meliputi

kebutuhan dasar untuk sandan dan pangan serta kebutuahan mendasar

lainnya (Yudistira, 2007).

Kriteria keluarga miskin berdasarkan Jaminan Pendanaan

Sosial-Badan Kemiskinan (JPS – BK) adalah :

a. Keluarga tidak bisa makan dua kali sehari


b. Keluarga tidak mampu mengobati anak / keluarga yang sakit
kepelayanan kesehatan.
c. Kepala keluarga terkena PHK massal

d. Pada keluarga terdapat anak yang ​drop​ ​out​ karena masalah ekonomi.
Sistem ekonomi Indonesia mempunyai acuan yang telah diatur

dalam undang – undang dasar 1945 yang menentukan demokrasi

ekonomi sebagai dasar pelaksana pembangunan ekonomi Indonesia guna

kemakmuran masyarakat utamanya bukan kemakmuran individu atau

golongan.

Beberapa masalah ekonomi dengan skala prioritas tinggi

di Indonesia yaitu : (yudistira, 2007).

a. Kemiskinan

Menurut BPS tahun 2003 tercatat sekitar 40.000.000

penduduk Indonesia berada pada garis kemiskinan, ada

dua macam ukuran kemiskinan yang umum dipergunakan

yaitu kemiskianan absolut dan kemiskinan relatif.

b. Keterbelakangan

Keterbelakangan tampak pada banyak hal seperti tingkat

pendidikan masyarakat yang masih rendah daya saing dan

kualitas manusia yang rendah, infrastruktur pembangunan,

penguasaan tekhnologi dan lain – lain.

c. Pengangguran

Banyaknya angkatan kerja yang tidak tertampung karena

sempitnya lapangan kerja, masalah ini menyangkut

infastruktur maupun kualitas kerja.


Kemiskinan didefinisikan sebagai suatu tingkat kekurangan materi

pada sejumlah orang dibandingkan dengan standar kehidupan yang umum

berlaku dalam masyarakat yang bersangkutan. Kemiskinan bukan

semata-mata kekurangan dalam ukuran ekonomi, tapi juga melibatkan

kekurangan dalam ukuran kebudayaan dan kejiwaan (Suburratno

dalam​ ​Ingga, 2008).

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan penyebab

tingginya jumlah orang miskin di daerah-daerah ini karena perekonomiannya

sangat bergantung pada empat bidang utama yang seluruhnya dikuasai oleh

pelaku ekonomi yang tidak berbasiskan usaha kecil dan menengah.

Keempat bidang utama tersebut adalah perkebunan, pertambangan,

kehutanan, dan perdagangan. Dengan penghasilan pas-pasan, cukup untuk

makan saja, mereka sering dijadikan contoh kasus kemiskinan yang

melandasi masyarakat terus berusaha mendapat kucuran dana lebih dari

pemerintah pusat (Slamet, 2002).

Data kemiskinan Badan Penelitian dan Pengembangan

(Balitbang) menekankan delapan indikator penilaian, yaitu: frekuensi makan

yang minimal dua kali sehari, konsumsi lauk-pauk yang berprotein,

kepemilikan pakaian, aset, luas lantai hunian per kapita minimal delapan

meter persegi, jenis lantai, ketersediaan air bersih, dan kepemilikan jamban

(Slamet, 2002).
Persoalan ekonomi di Indonesia ini tidak hanya terbatas pada

indikator-indikator itu. Keberadaan mereka di daerah-daerah terisolasi sering

luput dari sentuhan pembagunan, seperti terjangkitnya diare dan penyakit

kulit dari kontaminasi air dan tanah akibat kotoran manusia di sepanjang

kawasan pesisir pantai dan sungai (Suburratno dalam Ingga, 2008)

Pola penyakit di Indonesia ini setara dengan negara-negara lain

yang berpenghasilan kurang lebih sama. Hal ini tampak jelas bahwa negara

tergolong miskin keadaan gizinya rendah, pengetahuan tentang

kesehatannyapun rendah, sehingga keadaan kesehatan lingkungannya juga

buruk dan status kesehatannya buruk pula (Slamet, 2002).

Penegetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang

melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu. Penginderaan

terjadi melalui panca indra manusia yakni indera penglihatan, pendengaran,

penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengalamn manusia diperoleh

melalui mata dan telinga.Sikap dasar manusia adalah keingin tahuan tentang

sesuatu. Dorongan untuk memenuhi keinginan tersebut akan menyebabkan

seseorang melakukan upaya pencarian. Serangkaian pengalaman selama

proses interaksi dalam lingkungan akan mengahasilkan sesuatu

pengetahuan bagi orang tersebut, (Notoatmodjo, 2003)

b. Tingkat Pengetahuan

Penegetahuan adalah hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang
melakukan penginderaan terhadap sesuatu objek tertentu. Penginderaan
terjadi melalui panca indra manusia yakni indera penglihatan, pendengaran,
penciuman, rasa, dan raba. Sebagian besar pengalamn manusia diperoleh
melalui mata dan telinga.Sikap dasar manusia adalah keingin tahuan tentang
sesuatu. Dorongan untuk memenuhi keinginan tersebut akan menyebabkan
seseorang melakukan upaya pencarian. Serangkaian pengalaman selama
proses interaksi dalam lingkungan akan mengahasilkan sesuatu
pengetahuan bagi orang tersebut, (Notoatmodjo, 2003)

Pengetahuan adalah kesan didalam fikiran manusia sebagai hasil


penggunaan panca inderanya, yang berbeda sekali dengan kepercayaan,
tahayul, dan penerangan yang keliru. (Notoatmodjo, 2003)

Tentang kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek


kedalam komponen-komponen, tetapi masih didalam suatu struktur
organisasi dan masih ada kaitannya satu sama lain yang dapat diaplikasikan
sebagai suatu kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari
pada situasi atau kondisi real (sebenarnya) sehingga didalam evaluasi ini
akan berkaitan dengan kemampuan untuk melakukanjustivikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau objektif, (Notoatmodjo, 2003)

Pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6


tingkat yaitu: (Notoatmodjo, 2003) :

a. Know(tahu)

Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang dipelajari

sebelumnya termasuk dalam pengetahuan. Tingkat ini adalah

mengingat kembali (recall) terhadap sesuatu yang spesifik dari

seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah

diterima. Tahu merupakan tingkatan pengetahuan yang paling

rendah. Kata kerja untuk mengukurnya antara lain menyebutkan,

menguraikan, mengindentifikasi, menyatakan dan sebagainya.

b. Comprehension (memahami)Memahami diartikan sebagai suatu

kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang


diketahui dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara

benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus

dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan,

meramalkan dan sebagainya.

c. Aplication(aplikasi)

Aplikasi diartikan sebagai suatu kemampuan menggunakan materi

yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi riil (sebenarnya).

d. Analysis(analisis)

Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau

suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih dalam

suatu struktur organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu

sama lain.

e. Evaluation(evaluasi)

Evaluasi berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan

justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau suatu objek.

Penilaian ini didasarkan suatu criteria yang telah ada.

Pengetahuan yang dicakup dalam domain kognitif mempunyai enam

tingkatan, yaitu:

1. Tahu (know) Yang dimaksud tahu adalah mengingat suatu materi

yang telah dipelajari sebelumnya. Tahu ini merupakan tingkat

pengetahuan paling rendah.


2. Memahami (comprehension)Yang dimaksud memahami adalah

suatu kemampuan menjelaskan secara benar tentang objek yang

diketahui dan dapat menginterprestasikan materi dengan benar.

3. Aplikasi (application)Yang dimaksud aplikasi adalah kemampuan

untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau

kondisi riil (sebenarnya).

4. Analisis (analysis).Yang dimaksud analisis adalah suatu

kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu objek ke dalam

komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur

organisasi tersebut dan masih ada kaitannya satu sama lain.

5. Sintesis (Synthesis).Yang dimaksud sintesis adalah suatu

kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap

suatu materi atau objek.

6. Evaluasi (Evaluation)Yang dimaksud evaluasi adalah kemampuan

untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi

atau objek. Piaget menyatakan bahwa proses dasar yang terjadi

pada penyusunanpengetahuan adalah adaptasi (assimilasi dan

akomodasi) yang diatur oleh ekuilibrasi.

Ditinjau dari sifat dan cara penerapannya pengetahuan terdiri dari dua

macam, yakni : “declarative knowledge dan procedural kowledge”.

Decarative knowlede lazim juga disebut propositional knowledge.


Pengetahuan deklatarif atau pengetahuan prososisional ialah pengetahuan

mengenai informasi faktual yang pada umumnya bersifat statis-normatif dan

dapat dijelaskan secara lisani atau verbal. Sebaliknya pengetahuan

prosedural adalah pengetahuan yang mendasari kecakapan atau

keterampilan perbuatan jasmaniah yang cenderung bersifat dinamis”.

Pada awal penelitiannya tentang bagaimana anak berfikir telah dapat

mengidentifikasi empat periode atau tahap perkembangan kognitif. Tahap

perkembangan tersebut adalah sensorimotoris, praoperasional, operasional

konkrit, dan operasional formal”.

Selanjutnya perkembangan kognitif bahwa :Pada usia 11–17 tahun

mencapai operasi formal, dimana pada tahap ini anak telah memiliki

kemampuan mengkoordinasikan baik secara simultan maupun berurutan.

Dua ragam kemampuan kognitif, yakni:

1) Kapasitas menggunakan hipotesis,

2) Kapasitas menggunakan prinsip-prinsip abstrak.

Dengan kapasitas menggunakan hipotesis, seorang remaja akan mampu

berpikir hipotesis, yakni berpikir mengenai sesuatu, khususnya dalam hal

pemecahan masalah dengan menggunakan anggapan dasar yang relevan

dengan lingkungan yang direspon oleh siswa. Dengan kapasitas

menggunakan prinsip abstrak, remaja akan mampu menerapkan logika ke

semua tipe masalah termasuk yang abstrak.


Pengetahuan mengacu kepada kemampuan mengenal atau mengingat

kembali yang sudah dipelajari dari yang sederhana sampai pada

teori-teori yang sukar”. salah satu faktor yang penting adalah kemampuan

mengingat keterangan dengan benar. Dari teori-teori di atas, dapat

disimpulkan bahwa, pengetahuan adalah segenap apa yang kita ketahui

dan kemampuan mengenal dan mengingat kembali yang sudah dipelajari

dari yang sederhana sampai pada teori-teori yang sukar yang diperoleh

melalui pengalaman setelah melakukan penginderaan terhadap suatu

objek tertentu.

c. Sikap

Pengertian Sikap​ adalah merupakan reaksi atau proses seseorang yang

masih tertutup terhadap suatu stimulus atau obyek. Sikap tidak dapat

dilihat langsung tetapi hanya dapat di tafsirkan terlebih dahulu dari

perilaku yang tertutup. Sikap secara nyata menunjukkan konotasi adanya

kesesuaian reaksi terhadap stimulus tertentu. Dalam kehidupan

sehari-hari adalah merupakan reaksi yang bersifat emosional terhadap

stimulus sosial (Notoatmodjo, 1993).

Newcomb dalam Notoatmodjo (1993), menyatakan bahwa ​definisi

sikap​ itu merupakan kesiapan atau kesediaan seseorang untuk bertindak.

Sikap itu masih merupakan reaksi tertutup, bukan merupakan reaksi

terbuka atau tingkah laku yang terbuka. Dan sikap merupakan kesiapan

untuk bereaksi terhadap obyek. Sedangkan dalam pengertian umum


perilaku adalah segala perbuatan atau tindakan yang dilakukan oleh

makhluk hidup,perilaku dapat dibatasi sebagai keadaan jiwa untuk

berpendapat, berfikir, bersikap, dan lain sebagainya yang merupakan

refleksi dari berbagai macam aspek, baik fisik maupun non fisik.

Pada dasarnya bentuk perilaku dapat diamati, melalui sikap dan tindakan,

namun demikian tidak berarti bahwa bentuk perilaku itu hanya dapat

dilihat dari sikap dan tindakannya saja, perilaku dapat pula bersifat

potensial, yakni dalam bentuk pengetahuan, motivasi dan persepsi.

Bloom (1956), membedakannya menjadi 3 macam bentuk perilaku, yakni

Coqnitive, Affective dan Psikomotor, Ahli lain menyebut Pengetahuan,

Sikap dan Tindakan, Sedangkan Ki Hajar Dewantara, menyebutnya Cipta,

Rasa, Karsa atau Peri akal, Peri rasa, Peri tindakan.

Bentuk perilaku dilihat dari sudut pandang respon terhadap stimulus,

maka perilaku dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1) Perilaku tertutup, Perilaku tertutup adalah respon seseorang

terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon atau

reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi,

pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi belum bisa diamati

secara jelas oleh orang lain.

2) Perilaku terbuka, Perilaku terbuka adalah respon seseorang

terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon


terhadap terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan

atau praktek (practice)

Proses pembentukan perilaku dipengaruhi oleh beberapa faktor yang berasal

dari dalam diri individu itu sendiri, faktor-faktor tersebut antara lain :

1. Persepsi, Persepsi adalah sebagai pengalaman yang dihasilkan

melalui indera penglihatan, pendengaran, penciuman, dan sebagainya.

2. Motivasi, Motivasi diartikan sebagai dorongan untuk bertindak untuk

mencapai sutau tujuan tertentu, hasil dari pada dorongan dan gerakan ini

diwujudkan dalam bentuk perilaku

3. Emosi, Perilaku juga dapat timbul karena emosi, Aspek psikologis

yang mempengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani,

sedangkan keadaan jasmani merupakan hasil keturunan (bawaan), Manusia

dalam mencapai kedewasaan semua aspek yang berhubungan dengan

keturunan dan emosi akan berkembang sesuai dengan hukum

perkembangan, oleh karena itu perilaku yang timbul karena emosi

merupakan perilaku bawaan.

4. Belajar, Belajar diartikan sebagai suatu pembentukan perilaku

dihasilkan dari praktek-praktek dalam lingkungan kehidupan. Barelson (1964)

mengatakan bahwa belajar adalah suatu perubahan perilaku yang dihasilkan

dari perilaku terdahulu.

Perilaku manusia terjadi melalui suatu proses yang berurutan. Penelitian

Rogers (1974) mengungkapkan bahwa sebelum orang mengadopsi perilaku


baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang

berurutan, yaitu:

1. Awareness (kesadaran), yaitu orang tersebut menyadari atau

mengetahui stimulus (objek) terlebih dahulu.

2. Interest (tertarik), yaitu orang mulai tertarik kepada stimulus.

3. Evaluation (menimbang baik dan tidaknya stimulus bagi dirinya). Hal

ini berarti sikap responden sudah lebih baik lagi.

4. Trial, orang telah mulai mencoba perilaku baru

5. Adoption, subjek telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan,

kesadaran, dan sikapnya terhadap stimulus.

Tingkatan dari Sikap

a. Menerima (receiving)

Menerima diartikan bahwa orang (subyek) mau dan memperhatikan

stimulus yang diberikan (obyek). Misalnya sikap orang terhadap gizi

dapat dilihat dari kesediaan dan perhatian orang itu terhadap

informasi-informasi tentang gizi.

b. Merespon (responding)

Memberikan jawaban apabila ditanya, mengerjakan dan menyelesaikan

tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap. Karena dengan

suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang


diberikan, terlepas dari tugas tersebut benar atau salah adalah berarti

bahwa orang tersebut menerima ide tersebut.

c. Menghargai (valuing)

Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan suatu

masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat tiga. Misalnya seorang ibu

yang mengajak ibu yang lain pergi ke Puskesmas untuk menggunakan

alat kontrasepsi, ini adalah suatu bukti bahwa si ibu tersebut telah

mempunyai sikap positif terhadap alat kontrasepsi.

d. Bertanggung jawab (responsible)

Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan

segala resiko adalah merupakan sikap yang paling tinggi , meskipun

mendapat tantangan dari suami atau orang tuanya sendiri.

Anda mungkin juga menyukai