Anda di halaman 1dari 57

MAKALAH PENYEDIAAN JAMBAN KELUARGA

MAKALAH PENYEDIAAN JAMBAN KELUARGA

SEKOLAH TINGGI KESEHATAN (STIKES) MATARAM

TAHUN AJARAN 2012/2013

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan atas kehadirat ALLAH SWT, karena atas rahmat-Nya
yang telah diberikan pada kami, sehingga makalah “Penyediaan Jamban Keluarga” ini
dapat disusun dengan cermat dan dapat diselesaikan pada waktunya. Tidak lupa pula, dalam
kesempatan ini, kami mengucapkan banyak terima kasih pada teman-teman yang membantu
penyusunan makalah ini dan terutama kami ucapkan terima kasih pada dosen fasilitator yang
telah memberikan kami waktu untuk menyelesaikan makalah ini agar persentasi dapat
dilakukan dengan optimal nantinya.

Kami penyusun, menyadari bahwa penulisan makalah ini tidak jauh dari kesalahan
serta kekurangan, dan kami akan berusaha memperbaikinya untuk proses pembelajaran kami.
Dan tentunya, kami mengharapkan saran dan kritik yang membangun, agar kami dapat
memperbaiki kekurangan dan dapat lebih baik dalam menyusun makalah selanjutnya.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah yang kami susun dapat
dimanfaatkan dengan optimal untuk menunjang kemandirian mahasiswa dalam proses
pembelajaran.

Mataram ,17 November 2012

Penyusun

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah
dalam sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam
tataran undang-undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang
(RUU) tentang Air Limbah Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau
apapun nama lainnya akan terwadahi secara formal dalam sistem regulasi di Indonesia.
Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/2008 tentang Kebijakan dan
Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman tidak
disebutkan adanya istilah jamban. Namun di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan
Prasarana Wilayah nomor 534/2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal disebutkan
adanya sarana sanitasi individual dan komunal berupa jamban beserta MCK-nya. Lebih jauh
lagi di dalam Buku Panduan Penyehatan Lingkungan Permukiman untuk RPIJM 2007
disebutkan adanya pengumpulan data primer tentang jamban keluarga. Di dalam Petunjuk
Teknis Tata Cara Pembuatan Bangunan Jamban Keluarga dan Sekolah 1998 dari Departemen
Pekerjaan Umum, disebutkan bahwa jamban mencakup bangunan atas yang antara lain
terdiri: plat jongkok, leher angsa, lantai, dinding, dll, tetapi tidak termasuk bangunan
bawahnya.

Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 852/2008 tentang Strategi Nasional


Sanitasi Total Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa jamban sehat adalah fasilitas
pembuangan tinja yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Di dalam
Keputusan Menteri Kesehatan nomor 715/2003 tentang Persyarakan Hygiene Sanitasi
Jasaboga disebutkan bahwa usaha jasaboga harus menyediakan WC Umum dengan fasilitas
jamban dan peturasan sesuai dengan jumlah karyawannya.

Cukup menarik karena disebutkan di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional


nomor 24/2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah disebutkan adanya
fasilitas jamban yang harus disediakan sekolah sebagai tempat untuk buang air besar dan/atau
air kecil. Jamban harus mempunyai dinding, atap, dst yang disediakan untuk peserta didik
pria, wanita, dan guru. Lebih menarik lagi adalah Standar Toilet Umum Indonesia dari
Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2004 yang justru tidak menyebutkan
sama sekali istilah jamban dan menggantinya dengan ruang buang air besar (WC) dan ruang
buang air kecil (urinal). Toilet dalam hal ini mencakup pembuangan dan pengolahan
limbahnya, baik secara setempat (on-site) ataupun terpusat (off-site). Tidak kalah menariknya
adalah istilah tempat buang air besar (bukan jamban) yang digunakan oleh Badan Pusat
Statistik di dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) guna mendapatkan informasi
tentang kepemilikan dan kualitas fasilitas BAB tersebut.

Adanya ketidaksamaan istilah tentang jamban ini tentu saja tidak akan mengganggu
proses masyarakat untuk membuang hajatnya. Namun ketidak seragaman istilah ini sangat
menggambarkan ketidakseriusan penanganan sanitasi di lapangan. Buruknya pelayanan
publik tentang sanitasi ini dapat dilihat dari hasil SUSENAS itu sendiri. Kepemilikan tempat
buang air besar secara nasional menurut SUSENAS 2007 baru 59,86%. Dari 59,86% itupun
yang mempunya kloset tipe leher angsa-pun baru 71,5%. Di dalam laporan tersebut tidak
disebutkan bagaimana sebenarnya kualitas dari tempat buang air besar yang ada di lapangan.
Dari 59,86% itupun baru 49,13% yang memiliki tangki septik. Lagi-lagi tidak disebutkan
bagaimana pula sebenarnya kualitas dari tangki septik yang ada di lapangan. Apalagi menurut
Laporan Indonesian Sanitation Sector Development Program (ISSDP, 2004) disebutkan
bahwa masyarakat Indonesia yang masih melakukan buang air besar sembarangan masih
lebih dari 40%. PBB pun menyebutkan kalau masih ada lebih dari 2,6 milyar orang di dunia
yang tidak punya akses sanitasi yang memadai (PBB, 2004). Berbagai informasi ini tentu saja
menggambarkan bagaimana sebenarnya buruknya pelayanan publik untuk sanitasi. Untuk itu
tidak saja harus dibuat keseragaman pengertian tentang jamban atau apapun tentang
kesepakatan namanya, tetapi juga harus adanya sosialisasi dan kesepakatan yang jelas tentang
ini agar kerugian yang hingga Rp 56 trilyun/tahun karena sanitasi yang buruk ini dapat segera
diselesaikan.

Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru mencapai 67,3%.
Dari angka tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang memenuhi syarat bakteriologis.
Sedangkan penduduk yang menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54%. Itulah sebabnya
penyakit diare sebagai salah satu penyakit yang ditularkan melalui air masih merupakan
masalah kesehatan masyarakat dengan angka kesakitan 374 per 1000 penduduk. Selain itu
diare merupakan penyebab kematian nomor 2 pada Balita dan nomor 3 bagi bayi serta nomor
5 bagi semua umur.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan umum

Untuk mengetahui asuhan keperawatan keluarga tentang jamban sehat

Tujuan Khusus

1. Untuk mengetahui konsep dasar jamban sehat

2. Untuk mengetahui konsep keperawatan jamban sehat

C. Rumusan Masalah

1. Bagaimana Konsep Jamban Sehat ?

2. Bagaimana Konsep Keperawatan Jamban Sehat ?

D. Manfaat

1. Kotoran tidak berserakan disembarang tempat sehingga tidak akan mengotori sumber air

2. Lingkungan kita menjadi bersih, sehat dan bebas dari bau

3. Mudah dan aman digunakan setiap saat.


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Pengertian Jamban

Kita berdomisili disuatu wilayah pemukiman, sebut saja wilayah itu setingkat dengan
desa atau kelurahan. Pernahkah kita befikir berapa jumlah rumah di wilayah kita yang
memiliki jamban, dan berapa jumlah rumah yang belum memiliki jamban. Bila rumah yang
memiliki jamban melebihi 80% dari jumlah rumah yang ada, berarti wilayah tersebut
termasuk wilayah yang cukup baik dalam hal pembuangan kotoran manusia.

Bagi rumah yang belum memiliki jamban, sudah dipastikan mereka mereka itu
mamanfatkan sungai, kebun, kolam, atau tempat lainnya untuk buang air besar (BAB). Bagi
yang telah memiliki jamban bisa dipastikan BAB di jamban. Tapi tidak selalu begitu ,
terkadang walaupun memiliki jamban ada sebagian kecil yang masih BAB di tempat lain,
karena alasan tertentu.

B. Kerugian tidak memiliki jamban

Dengan masih adanya masyarakat di sutau wilayah yang BAB sembarangan,


maka wilayah tersebut terancam beberapa penyakit menular yang berbasis lingkungan
diantaranya : Penyakit Cacingan, Cholera (muntaber), Diare, Typus, Disentri, Paratypus,
Polio, Hepatitis B dan masih banyak penyakit lainnya. Semakin besar prosentase yang BAB
sembarangan maka ancaman penyakit itu semakin tinggi itensitasnya. Keadaan ini sama
halnya dengan fenomena bom waktu, yang bisa terjadi ledakan penyakit pada suatu waktu
cepat atau lambat.

Sebaiknya semua orang BAB di jamban yang memenuhi syarat, dengan demikian
wilayahnya terbebas dari ancaman penyakit penyakit tersebut. Dengan BAB di jamban
banyak penyakit berbasis lingkungan yang dapat dicegah, tentunya jamban yang memenuhi
syarat kesehatan. Kalau membahas soal jamban maka tentunya harus lengkap dengan sarana
Air Bersih untuk menunjang keberlangsungan pemanfaatan jamban.

C. Kriteria Jamban Sehat

Jamban yang memenuhi syarat kesehatan atau sayarat Sanitasi adalah sebagai berikut :

1. Kotoran tidak dapat dijangkau oleh binatang penular penyakit, seperti : Kecoa, tikus,
lalat dll.
2. Tidak menimbulkan bau
3. Kotoran ditempatkan disuatu tempat, tidak menyebar ke mana mana
4. Tidak mencemari sumber air bersih
5. Tidak menggangu pemandangan/estetika
6. Aman digunakan

Untuk memenuhi syarat no.1 dan 3, maka kotoran ditempatkan di satu tempat, bisa
lobang jamban atau septik tank, ukuran volumenya disesuaikan dengan kebutuhan atau
jumlah pemakai. Untuk memenuhi syarat no 1 dan 2, maka digunakan kloset yang dilengkapi
leher angsa, dimana pada leher angsa akan tergenang air utnuk mencegah bau yang timbul
dari lobang jamban atau septic tank, dan mencegah masuknya binatang binatang seperti lalat,
kecoa, nyamuk, tikus dll. Untuk memenuhi syarat no. 4 , dalam membuat jamban terutama
lokasi lobang jamban atau septic tank atau lobang resapan dibuat sejauh mingkin dari sumber
air yang ada misalnya Sumur Gali dsbnya, atau setidak tidaknya tidak kurang dari 10
meter jarak antara sumur dan lobang jamban. Sedangkan untuk memenuhi syarat no 5 dan 6 ,
hendaknya jamban dibuat dari bahan bahan yang memadai baik kekuatannya maupun
konstruksinya dibuat sedemikan rupa agar kelihatan indah dan rapi.

Jangan lupa pemeliharaan jamban perlu dibiasakan setiap hari, misalnya membersihkan
dan menyikat lantai agar tidak licin, menguras bak air agar terhindar dari penyakit Demam
Berdarah Dengue, siram kloset dengan air secukupnya setelah digunakan, tidak membuang
sampah, puntung rokok, pembalut wanita, air sabun, lisol kedalam kloset.

D. Syarat Membuat Jamban Sehat

Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB
sembarangan sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis
penyakit ditularkan.

Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus
diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak
buruk bagi lingkungan.

Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban sehat. Ada
tujuh kriteria yang harus diperhatikan. Berikut syarat-syarat tersebut:

1. Tidak mencemari air

Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang kotoran tidak
mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa, dinding dan dasar lubang
kotoran harus dipadatkan dengan tanah liat atau diplester.

1. Jarak lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter


2. Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari
lubang kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.
3. Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke dalam selokan, empang,
danau, sungai, dan laut
2. Tidak mencemari tanah permukaan
1. Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat
sungai, dekat mata air, atau pinggir jalan.
2. Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau
dikuras, kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.
3. Bebas dari serangga

1. Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap
minggu. Hal ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam
berdarah
2. Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi
sarang nyamuk.
3. Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa
menjadi sarang kecoa atau serangga lainnya
4. Lantai jamban harus selalu bersih dan kering
5. Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup
4. Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan

1. Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap


selesai digunakan
2. Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus tertutup
rapat oleh air
3. Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk
membuang bau dari dalam lubang kotoran
4. Lantan jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan harus
dilakukan secara periodic
5. Aman digunakan oleh pemakainya

1. Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang
kotoran dengan pasangan batau atau selongsong anyaman bambu atau bahan
penguat lai yang terdapat di daerah setempat
6. Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya

1. Lantai jamban rata dan miring kea rah saluran lubang kotoran
2. Jangan membuang plastic, puntung rokok, atau benda lain ke saluran kotoran
karena dapat menyumbat saluran
3. Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena jamban
akan cepat penuh
4. Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa
berdiameter minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal 2:100
7. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan

1. Jamban harus berdinding dan berpintu


2. Dianjurkan agar bangunan jamban beratap sehingga pemakainya terhindar dari
kehujanan dan kepanasan.

E. Kriteria Jamban Sehat

Jamban Sehat secara prinsip harus mampu memutuskan hubungan antara tinja dan
lingkungan. Sebuah jamban dikatagorikan SEHAT jika :

1. Mencegah kontaminasi ke badan air

2. Mencegah kontak antara manusia dan tinja

3. Membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi serangga, serta binatang

4. Mencegah bau yang tidak sedap

5. Konstruksi dudukannya dibuat dengan baik & aman bagi pengguna.

Secara konstruksi kriteria diatas dalam prakteknya mempunyai banyak bentuk pilihan,
tergantung jenis material penyusun maupun bentuk konstruksi jamban. Pada prinsipnya
bangunan jamban dibagi menjadi 3 bagian utama, bangunan bagian atas (rumah jamban),
bangunan bagian tengah (slab/dudukan jamban), serta bangunan bagian bawah (penampung
tinja).

1. Rumah jamban (bangunan bagian atas)

Bangunan bagian atas bangunan jamban terdiri dari atap, rangka dan dinding. Dalam
prakteknya disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

Beberapa pertimbangan pada bagian ini antara lain :

- Sirkulasi udara yang cukup

- Bangunan mampu menghindarkan pengguna terlihat dari luar

- Bangunan dapat meminimalkan gangguan cuaca (baik musim panas maupun musim hujan)

- Kemudahan akses di malam hari- Disarankan untuk menggunakan bahan local

- Ketersediaan fasilitas penampungan air dan tempat sabun untuk cuci tangan

2. Slab / dudukan jamban (bangunan bagian tengah)

Slab berfungsi sebagai penutup sumur tinja (pit) dan dilengkapi dengan tempat
berpijak. Pada jamban cemplung slab dilengkapi dengan penutup, sedangkan pada kondisi
jamban berbentuk bowl (leher angsa) fungsi penutup ini digantikan oleh keberadaan air yang
secara otomatis tertinggal di didalamnya. Slab dibuat dari bahan yang cukup kuat untuk
menopang penggunanya. Bahan-bahan yang digunakan harus tahan lama dan mudah
dibersihkan seperti kayu, beton, bambu dengan tanah liat, pasangan bata, dan sebagainya.
Selain slab, pada bagian ini juga dilengkapi dengan abu atau air. Penaburan sedikit abu ke
dalam sumur tinja (pit) setelah digunakan akan mengurangi bau dan kelembaban, dan
membuatnya tidak menarik bagi lalat untuk berkembang biak. Sedangkan air dan sabun
digunakan untuk cuci tangan.

Pertimbangan untuk bangunan bagian tengah:

- Terdapat penutup pada lubang sebagai pelindung terhadap gangguan serangga atau binatang
lain.

- Dudukan jamban dibuat harus mempertimbangkan faktor keamanan (menghindari licin,


runtuh, atau terperosok).

- Bangunan dapat menghindarkan/melindungi dari kemungkinan timbulnya bau.

- Mudah dibersihkan dan tersedia ventilasi udara yang cukup.

3. Penampung tinja (bangunan bagian bawah)

Penampung tinja adalah lubang di bawah tanah, dapat berbentuk persegi, lingkaran,
bundar atau yang lainnya. Kedalaman tergantung pada kondisi tanah dan permukaan air tanah
di musim hujan. Pada tanah yang kurang stabil, penampung tinja harus dilapisi seluruhnya
atau sebagian dengan bahan penguat seperti anyaman bambu, batu bata, ring beton, dan lain –
lain.

Pertimbangan untuk bangunan bagian bawah antara lain:

- Daya resap tanah (jenis tanah)

- Kepadatan penduduk (ketersediaan lahan

- Ketinggian muka air tanah

- Jenis bangunan, jarak bangunan dan kemiringan letak bangunan terhadap sumber air minum
(lebih baik diatas 10 m)

- Umur pakai (kemungkinan pengurasan, kedalaman lubang/kapasitas)

- Diutamakan dapat menggunakan bahan local

- Bangunan yang permanen dilengkapi dengan manhole


Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran
penyakit berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus
dilakukan rekayasa pada akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada
jamban (sehat) harus mencapai 100% pada seluruh komunitas. Keadaan ini kemudian lebih
dikenal dengan istilah Open Defecation Free (ODF).

Suatu masyarakat disebut ODF jika :

- Semua masyarakat telah BAB (Buang Air Besar) hanya di jamban yang sehat dan
membuang tinja/ kotoran bayi hanya ke jamban yang sehat (termasuk di sekolah)

- Tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar

- Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah kejadian
BAB di sembarang tempat

- Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% KK
mempunyai jamban sehat

- Ada upaya atau strategi yang jelas untuk dapat mencapai Total Sanitasi

Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar
Sembarangan, pada tahap pasca ODF diharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi
Total. Sanitasi Total akan dicapai jika semua masyarakat di suatu komunitas, telah:

- Mempunyai akses dan menggunakan jamban sehat

- Mencuci tangan pakai sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum
memegang bayi, setelah menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan

- Mengelola dan menyimpan air minum dan makanan yang aman

- Mengelola limbah rumah tangga (cair dan padat).

Untuk menentukan suatu komunitas telah mencapai status ODF, dilakukan dengan
proses verifikasi.

BAB III

PENGAMATAN / SURVEY LAPANGAN


Untuk mempercepat akses masyarakat terhadap Jamban Keluarga pemerintah Kec.
Praya melalui dinas Kesehatan dalam dua tahun terakhir meluncurkan program Desa
Percontohan Kesehatan Lingkungan (DPKL) di Lombok Tengah program ini hanya
dilaksanakan di Kec. Praya Untuk tahun 2011 setiap kecamatan akan dijadikan 1 sampai 2
DPKL dimana masing-masing desa diberikan 15 paket stimulan Jaga. DPKL adalah desa
yang masyarakatnya telah memiliki kelembagaan dalam suatu wadah/forum desa sehat/desa
siaga yang melaksanakan kegiatan kesehatan lingkungan dengan swadaya untuk menjadi
contoh dan tempat orientasi bagi desa lain dalam upaya peningkatan derajat kesehatan
masyarakat.

Dengan DPKL ini diharapakan berkembangnya kelembagaan di masyarakat,


meningkatnya kondisi kesehatan lingkungan sehingga terjadi penurunan penyakit yang
berkaitan dengan lingkungan dan dapat menjadi sumber motivasi bagi desa lain dan dapat
mendukung kegiatan program desa siaga sebagai upaya menuju desa sehat. Prioritas
pengembangan DPKL ini masyarakat kurang mampu akan tetapi ada kesanggupan untuk
menyelesaikan kegiatan ini, belum pernah mendapatkan proyek sanitasi/air bersih, cakupan
sanitasi dan air bersih rendah, dan tingginya kasus penyakit berbasis lingkungan.Masyarakat
yang mendapatkan program ini akan diberikan paket stimulan jamban keluarga dalam bentuk
barang, seperti septik tank rangka kayu ulin, closed, pipa paralon dan elbow, untuk hal
lainnya dibebankan pada masyarakat sebagai bentuk swadaya.

BAB IV

PEMBAHASAN

Jamban keluarga merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk tempat


membuang dan mengumpulkan kotoran/najis manusia yang lazim disebut kakus atau WC,
sehingga kotoran tersebut disimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab
atau penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang
dibuang dalam praktek sehari-hari bercampur dengan air, maka pengolahan kotoran manusia
tersebut pada dasarnya sama dengan pengolahan air limbah. Oleh sebab itu pengolahan
kotoran manusia, demikian pula syarat-syarat yang dibutuhkan pada dasarnya sama dengan
syarat pembuangan air limbah (Depkes RI, 1985).

Pembuangan tinja atau buang air besar disebut secara eksplisit dalam dokumen
Millenium Development Goals (MDGs). Dalam nomenklatur ini buang air besar disebut
sebagai sanitasi yang antara lain meliputi jenis pemakaian atau penggunaan tempat buang air
besar, jenis kloset yang digunakan dan jenis tempat pembuangan akhir tinja. Dalam laporan
MDGs 2010, kriteria akses terhadap sanitasi layak adalah bila penggunaan fasilitas tempat
BAB milik sendiri atau bersama, jenis kloset yang digunakan jenis latrine dan tempat
pembuangan akhir tinjanya menggunakan tangki septik atau sarana pembuangan air limbah
atau SPAL. Sedangkan kriteria yang digunakan Joint Monitoring Program (JMP) WHO-
UNICEF 2008, sanitasi terbagi dalam empat kriteria, yaitu improved, shared, unimproved
dan open defecation. Dikategorikan sebagai improved bila penggunaan sarana pembuangan
kotoran nya sendiri, jenis kloset latrine dan tempat pembuangan akhir tinjanya tangki septik
atau SPAL.

Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran
penyakit berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus
dilakukan rekayasa pada akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada
jamban (sehat) harus mencapai 100% pada seluruh komunitas.

Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan,
pada tahap pasca ODF diharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total.

Banyak orang menyindir, bahwa sementara di banyak negara masalah sanitasi dan
kesehatan lingkungan sudah berkutat pada upaya intens menurunkan dan mengadaptasi
dampak rumah kaca, sementara kita masih sibuk mengurusi jamban. Akses pada sanitasi
khususnya pada penggunaan jamban sehat, saat ini memang masih menjadi masalah serius di
banyak negara berkembang, seperti Indonesia. Masih tingginya angka buang air besar pada
sebarang tempat atau open defecation, menjadi salah satu indikator rendahnya akses ini.

Dampak serius yang ditimbulkan kondisi diatas sangat diyakini banyak pihak,
berpengaruh baik secara ekonomi maupun kesehatan masyarakat. Menurut studi yang
dilakukan Wordl Bank, Indonesia kehilangan lebih dari Rp 58 triliun, atau setara dengan Rp
265.000 per orang per tahun karena sanitasi yang buruk. Dan sebagai akibat dari sanitasi
yang buruk ini, diperkirakan menyebabkan angka kejadian diare sebanyak 121.100 kejadian
dan mengakibatkan lebih dari 50.000 kematian setiap tahunnya. Sebuah fakta yang
seharusnya mampu menyengat kita para pemerhati dan praktisi kesehatan masyarakat.
BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah
dalam sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam
tataran undang-undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang
(RUU) tentang Air Limbah Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau
apapun nama lainnya akan terwadahi secara formal dalam sistem regulasi di Indonesia.
Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB sembarangan
sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis penyakit ditularkan.
Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus
diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak
buruk bagi lingkungan.

B. Saran

1. Dalam satu Kepala Keluarga minimal harus memiliki satu Jamban di Rumah
2. Dalam membuat jamban sebaiknya memperhatikan tempat pembangunan agar tidak
mencemari air atau tanah di permukaan
3. Dalam membuat Jamban juga perlu di perhatikan ruangn yang mempunyai atap agar
tidak terkena hujan atau panas matahari
DAFTAR PUSTAKA

Sumijatun, et al. 2005. Konsep Dasar Keperawatan Komunitas. Jakarta : EGC.

http://www.cwasta.org/index.php?option=com_content&view=article&id=59:definisi-
jamban-sehat&catid=2:berita&Itemid=35

http://stbm-indonesia.org/index.php?r=sanitasipedia&cat=51&id=428

http://environmentalsanitation.wordpress.com/2010/07/20/jamban-sehat/

http://abahjack.com/jamban.html#more-463
Diposting oleh septia pritayani di 06.17

MAKALAH KEPERAWATAN TENTANG JAMBAN SEHAT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan

pemerintah dalam sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah

itu dalam tataran undang-undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-

undang (RUU) tentang Air Limbah Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet,

atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara formal dalam sistem regulasi di Indonesia.

Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/2008 tentang Kebijakan dan

Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman tidak

disebutkan adanya istilah jamban. Namun di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan

Prasarana Wilayah nomor 534/2001 tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal disebutkan

adanya sarana sanitasi individual dan komunal berupa jamban beserta MCK-nya. Lebih jauh

lagi di dalam Buku Panduan Penyehatan Lingkungan Permukiman untuk RPIJM 2007

disebutkan adanya pengumpulan data primer tentang jamban keluarga. Di dalam Petunjuk

Teknis Tata Cara Pembuatan Bangunan Jamban Keluarga dan Sekolah 1998 dari Departemen

Pekerjaan Umum, disebutkan bahwa jamban mencakup bangunan atas yang antara lain

terdiri: plat jongkok, leher angsa, lantai, dinding, dll, tetapi tidak termasuk bangunan

bawahnya.
Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 852/2008 tentang Strategi Nasional

Sanitasi Total Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa jamban sehat adalah fasilitas

pembuangan tinja yang efektif untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Di dalam

Keputusan Menteri Kesehatan nomor 715/2003 tentang Persyarakan Hygiene Sanitasi

Jasaboga disebutkan bahwa usaha jasaboga harus menyediakan WC Umum dengan fasilitas

jamban dan peturasan sesuai dengan jumlah karyawannya.

Cukup menarik karena disebutkan di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

nomor 24/2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah disebutkan adanya

fasilitas jamban yang harus disediakan sekolah sebagai tempat untuk buang air besar dan/atau

air kecil. Jamban harus mempunyai dinding, atap, dst yang disediakan untuk peserta didik

pria, wanita, dan guru. Lebih menarik lagi adalah Standar Toilet Umum Indonesia dari

Kementerian Negara Kebudayaan dan Pariwisata tahun 2004 yang justru tidak menyebutkan

sama sekali istilah jamban dan menggantinya dengan ruang buang air besar (WC) dan ruang

buang air kecil (urinal). Toilet dalam hal ini mencakup pembuangan dan pengolahan

limbahnya, baik secara setempat (on-site) ataupun terpusat (off-site). Tidak kalah menariknya

adalah istilah tempat buang air besar (bukan jamban) yang digunakan oleh Badan Pusat

Statistik di dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) guna mendapatkan informasi

tentang kepemilikan dan kualitas fasilitas BAB tersebut.

Adanya ketidaksamaan istilah tentang jamban ini tentu saja tidak akan mengganggu

proses masyarakat untuk membuang hajatnya. Namun ketidak seragaman istilah ini sangat

menggambarkan ketidakseriusan penanganan sanitasi di lapangan. Buruknya pelayanan

publik tentang sanitasi ini dapat dilihat dari hasil SUSENAS itu sendiri. Kepemilikan tempat

buang air besar secara nasional menurut SUSENAS 2007 baru 59,86%. Dari 59,86% itupun

yang mempunya kloset tipe leher angsa-pun baru 71,5%. Di dalam laporan tersebut tidak

disebutkan bagaimana sebenarnya kualitas dari tempat buang air besar yang ada di lapangan.
Dari 59,86% itupun baru 49,13% yang memiliki tangki septik. Lagi-lagi tidak disebutkan

bagaimana pula sebenarnya kualitas dari tangki septik yang ada di lapangan. Apalagi menurut

Laporan Indonesian Sanitation Sector Development Program (ISSDP, 2004) disebutkan

bahwa masyarakat Indonesia yang masih melakukan buang air besar sembarangan masih

lebih dari 40%. PBB pun menyebutkan kalau masih ada lebih dari 2,6 milyar orang di dunia

yang tidak punya akses sanitasi yang memadai (PBB, 2004). Berbagai informasi ini tentu saja

menggambarkan bagaimana sebenarnya buruknya pelayanan publik untuk sanitasi. Untuk itu

tidak saja harus dibuat keseragaman pengertian tentang jamban atau apapun tentang

kesepakatan namanya, tetapi juga harus adanya sosialisasi dan kesepakatan yang jelas tentang

ini agar kerugian yang hingga Rp 56 trilyun/tahun karena sanitasi yang buruk ini dapat segera

diselesaikan.

Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru mencapai

67,3%. Dari angka tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang memenuhi syarat bakteriologis.

Sedangkan penduduk yang menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54%. Itulah sebabnya

penyakit diare sebagai salah satu penyakit yang ditularkan melalui air masih merupakan

masalah kesehatan masyarakat dengan angka kesakitan 374 per 1000 penduduk. Selain itu

diare merupakan penyebab kematian nomor 2 pada Balita dan nomor 3 bagi bayi serta nomor

5 bagi semua umur.

B. Tujuan Penulisan

1. Tujuan umum

Untuk mengetahui asuhan keperawatan keluarga tentang jamban sehat

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui konsep dasar jamban sehat

b. Untuk mengetahui konsep keperawatan jamban sehat


BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Pengertian Jamban

Kita berdomisili disuatu wilayah pemukiman, sebut saja wilayah itu setingkat dengan

desa atau kelurahan. Pernahkah kita befikir berapa jumlah rumah di wilayah kita yang

memiliki jamban, dan berapa jumlah rumah yang belum memiliki jamban. Bila rumah yang

memiliki jamban melebihi 80% dari jumlah rumah yang ada, berarti wilayah tersebut

termasuk wilayah yang cukup baik dalam hal pembuangan kotoran manusia.

Bagi rumah yang belum memiliki jamban, sudah dipastikan mereka mereka itu

mamanfatkan sungai, kebun, kolam, atau tempat lainnya untuk buang air besar (BAB). Bagi

yang telah memiliki jamban bisa dipastikan BAB di jamban. Tapi tidak selalu begitu ,

terkadang walaupun memiliki jamban ada sebagian kecil yang masih BAB di tempat lain,

karena alasan tertentu.

B. Kerugian tidak memiliki jamban

Dengan masih adanya masyarakat di sutau wilayah yang BAB sembarangan,

maka wilayah tersebut terancam beberapa penyakit menular yang berbasis lingkungan

diantaranya : Penyakit Cacingan, Cholera (muntaber), Diare, Typus, Disentri,

Paratypus, Polio, Hepatitis B dan masih banyak penyakit lainnya. Semakin besar

prosentase yang BAB sembarangan maka ancaman penyakit itu semakin tinggi

itensitasnya. Keadaan ini sama halnya dengan fenomena bom waktu, yang bisa terjadi

ledakan penyakit pada suatu waktu cepat atau lambat.

Sebaiknya semua orang BAB di jamban yang memenuhi syarat, dengan demikian

wilayahnya terbebas dari ancaman penyakit penyakit tersebut. Dengan BAB di jamban
banyak penyakit berbasis lingkungan yang dapat dicegah, tentunya jamban yang memenuhi

syarat kesehatan. Kalau membahas soal jamban maka tentunya harus lengkap dengan sarana

Air Bersih untuk menunjang keberlangsungan pemanfaatan jamban.

C. Kriteria Jamban Sehat

Jamban yang memenuhi syarat kesehatan atau sayarat Sanitasi adalah sebagai berikut

1. Kotoran tidak dapat dijangkau oleh binatang penular penyakit, seperti : Kecoa, tikus,

lalat dll.

2. Tidak menimbulkan bau

3. Kotoran ditempatkan disuatu tempat, tidak menyebar ke mana mana

4. Tidak mencemari sumber air bersih

5. Tidak menggangu pemandangan/estetika

6. Aman digunakan

Untuk memenuhi syarat no.1 dan 3, maka kotoran ditempatkan di satu tempat, bisa

lobang jamban atau septik tank, ukuran volumenya disesuaikan dengan kebutuhan atau

jumlah pemakai. Untuk memenuhi syarat no 1 dan 2, maka digunakan kloset yang dilengkapi

leher angsa, dimana pada leher angsa akan tergenang air utnuk mencegah bau yang timbul

dari lobang jamban atau septic tank, dan mencegah masuknya binatang binatang seperti lalat,

kecoa, nyamuk, tikus dll. Untuk memenuhi syarat no. 4 , dalam membuat jamban terutama

lokasi lobang jamban atau septic tank atau lobang resapan dibuat sejauh mingkin dari sumber

air yang ada misalnya Sumur Gali dsbnya, atau setidak tidaknya tidak kurang dari 10

meter jarak antara sumur dan lobang jamban. Sedangkan untuk memenuhi syarat no 5 dan 6 ,

hendaknya jamban dibuat dari bahan bahan yang memadai baik kekuatannya maupun

konstruksinya dibuat sedemikan rupa agar kelihatan indah dan rapi.


Jangan lupa pemeliharaan jamban perlu dibiasakan setiap hari, misalnya

membersihkan dan menyikat lantai agar tidak licin, menguras bak air agar terhindar dari

penyakit Demam Berdarah Dengue, siram kloset dengan air secukupnya setelah digunakan,

tidak membuang sampah, puntung rokok, pembalut wanita, air sabun, lisol kedalam

kloset.

D. Syarat Membuat Jamban Sehat

Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB

sembarangan sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis

penyakit ditularkan.

Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus

diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak

buruk bagi lingkungan.

Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban sehat. Ada

tujuh kriteria yang harus diperhatikan. Berikut syarat-syarat tersebut:

1. Tidak mencemari air

Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang kotoran tidak

mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa, dinding dan dasar lubang

kotoran harus dipadatkan dengan tanah liat atau diplester.

a. Jarang lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter

b. Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari

lubang kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.

c. Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke dalam selokan, empang,

danau, sungai, dan laut

2. Tidak mencemari tanah permukaan


a. Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat

sungai, dekat mata air, atau pinggir jalan.

b. Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau

dikuras, kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.

3. Bebas dari serangga

a. Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap

minggu. Hal ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam

berdarah

b. Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi

sarang nyamuk.

c. Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa

menjadi sarang kecoa atau serangga lainnya

d. Lantai jamban harus selalu bersih dan kering

e. Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup

4. Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan

a. Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap

selesai digunakan

b. Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus tertutup

rapat oleh air

c. Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk

membuang bau dari dalam lubang kotoran

d. Lantan jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan harus

dilakukan secara periodic

5. Aman digunakan oleh pemakainya


a. Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang

kotoran dengan pasangan batau atau selongsong anyaman bambu atau bahan

penguat lai yang terdapat di daerah setempat

6. Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya

a. Lantai jamban rata dan miring kea rah saluran lubang kotoran

b. Jangan membuang plastic, puntung rokok, atau benda lain ke saluran kotoran

karena dapat menyumbat saluran

c. Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena jamban

akan cepat penuh

d. Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa

berdiameter minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal 2:100

7. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan

a. Jamban harus berdinding dan berpintu

b. Dianjurkan agar bangunan jamban beratap sehingga pemakainya terhindar dari

kehujanan dan kepanasan.

E. Kriteria Jamban Sehat

Jamban Sehat secara prinsip harus mampu memutuskan hubungan antara tinja dan

lingkungan. Sebuah jamban dikatagorikan SEHAT jika:

1. Mencegah kontaminasi ke badan air

2. Mencegah kontak antara manusia dan tinja

3. Membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi serangga, serta binatang

4. Mencegah bau yang tidak sedap

5. Konstruksi dudukannya dibuat dengan baik & aman bagi pengguna.


Secara konstruksi kriteria diatas dalam prakteknya mempunyai banyak bentuk pilihan,

tergantung jenis material penyusun maupun bentuk konstruksi jamban. Pada prinsipnya

bangunan jamban dibagi menjadi 3 bagian utama, bangunan bagian atas (rumah jamban),

bangunan bagian tengah (slab/dudukan jamban), serta bangunan bagian bawah (penampung

tinja).

1. Rumah jamban (bangunan bagian atas)

Bangunan bagian atas bangunan jamban terdiri dari atap, rangka dan dinding. Dalam

prakteknya disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

Beberapa pertimbangan pada bagian ini antara lain :

a. Sirkulasi udara yang cukup

b. Bangunan mampu menghindarkan pengguna terlihat dari luar

c. Bangunan dapat meminimalkan gangguan cuaca (baik musim panas maupun musim hujan)

d. Kemudahan akses di malam hari- Disarankan untuk menggunakan bahan local

e. Ketersediaan fasilitas penampungan air dan tempat sabun untuk cuci tangan

2. Slab / dudukan jamban (bangunan bagian tengah)

Slab berfungsi sebagai penutup sumur tinja (pit) dan dilengkapi dengan tempat

berpijak. Pada jamban cemplung slab dilengkapi dengan penutup, sedangkan pada kondisi

jamban berbentuk bowl (leher angsa) fungsi penutup ini digantikan oleh keberadaan air yang

secara otomatis tertinggal di didalamnya. Slab dibuat dari bahan yang cukup kuat untuk

menopang penggunanya. Bahan-bahan yang digunakan harus tahan lama dan mudah

dibersihkan seperti kayu, beton, bambu dengan tanah liat, pasangan bata, dan sebagainya.

Selain slab, pada bagian ini juga dilengkapi dengan abu atau air. Penaburan sedikit abu ke

dalam sumur tinja (pit) setelah digunakan akan mengurangi bau dan kelembaban, dan
membuatnya tidak menarik bagi lalat untuk berkembang biak. Sedangkan air dan sabun

digunakan untuk cuci tangan.

Pertimbangan untuk bangunan bagian tengah:

a. Terdapat penutup pada lubang sebagai pelindung terhadap gangguan serangga atau binatang

lain.

b. Dudukan jamban dibuat harus mempertimbangkan faktor keamanan (menghindari licin,

runtuh, atau terperosok).

c. Bangunan dapat menghindarkan/melindungi dari kemungkinan timbulnya bau.

d. Mudah dibersihkan dan tersedia ventilasi udara yang cukup.

3. Penampung tinja (bangunan bagian bawah)

Penampung tinja adalah lubang di bawah tanah, dapat berbentuk persegi, lingkaran,

bundar atau yang lainnya. Kedalaman tergantung pada kondisi tanah dan permukaan air tanah

di musim hujan. Pada tanah yang kurang stabil, penampung tinja harus dilapisi seluruhnya

atau sebagian dengan bahan penguat seperti anyaman bambu, batu bata, ring beton, dan lain –

lain.

Pertimbangan untuk bangunan bagian bawah antara lain:

a. Daya resap tanah (jenis tanah)

b. Kepadatan penduduk (ketersediaan lahan

c. Ketinggian muka air tana

d. Jenis bangunan, jarak bangunan dan kemiringan letak bangunan terhadap sumber air minum

(lebih baik diatas 10 m)

e. Umur pakai (kemungkinan pengurasan, kedalaman lubang/kapasitas)

f. Diutamakan dapat menggunakan bahan local

g. Bangunan yang permanen dilengkapi dengan manhole


Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran

penyakit berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus

dilakukan rekayasa pada akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada

jamban (sehat) harus mencapai 100% pada seluruh komunitas. Keadaan ini kemudian lebih

dikenal dengan istilah Open Defecation Free (ODF).

Suatu masyarakat disebut ODF jika :

1. Semua masyarakat telah BAB (Buang Air Besar) hanya di jamban yang sehat dan

membuang tinja/ kotoran bayi hanya ke jamban yang sehat (termasuk di sekolah)

2. Tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar

3. Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah

kejadian BAB di sembarang tempat

4. Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% KK

mempunyai jamban sehat

5. Ada upaya atau strategi yang jelas untuk dapat mencapai Total Sanitasi

Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar

Sembarangan, pada tahap pasca ODFdiharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi

Total. Sanitasi Total akan dicapai jika semua masyarakat di suatu komunitas, telah:

1. Mempunyai akses dan menggunakan jamban sehat

2. Mencuci tangan pakai sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum

memegang bayi, setelah menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan

3. Mengelola dan menyimpan air minum dan makanan yang aman

4. Mengelola limbah rumah tangga (cair dan padat).

Untuk menentukan suatu komunitas telah mencapai status ODF, dilakukan dengan

proses verifikasi.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan

pemerintah dalam sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah

itu dalam tataran undang-undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-

undang (RUU) tentang Air Limbah Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet,

atau apapun nama lainnya akan terwadahi secara formal dalam sistem regulasi di Indonesia.

Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB sembarangan

sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis penyakit ditularkan.

Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus

diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak

buruk bagi lingkungan.

B. Saran

1. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang pembaca, terutama mahasiswa

keperawatan

2. Semoga dapat menjadi bahan acuan pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan.

3. Semoga makalah ini dapat menjadi pokok bahasan dalam berbagai diskusi dan forum

terbuka.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.cwasta.org/index.php?option=com_content&view=article&id=59:definisi-jamban-

sehat&catid=2:berita&Itemid=35

http://stbm-indonesia.org/index.php?r=sanitasipedia&cat=51&id=428

http://environmentalsanitation.wordpress.com/2010/07/20/jamban-sehat/
http://abahjack.com/jamban.html#more-463

Makalah lengkap hubungan jamban dan diare di kalimantan selatan

April 27, 2016


BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Diare hingga saat ini masih merupakan salah satu penyebab utama kesakitan dan
kematian hampir di seluruh daerah geografis di dunia dan semua kelompok usia bisa diserang
oleh diare, tetapi penyakit berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada bayi dan
anak balita. Di negara berkembang, anak-anak menderita diare lebih dari 12 kali per tahun
dan hal ini yang menjadi penyebab kemaotian sebesar 15-34% dari semua penyebab kematian
(Aman, 2004 dalam Zubir et al, 2006).
Di negara berkembang, anak-anak balita mengalami rata-rata 3-4 kali kejadian diare
per tahun tetapi di beberapa tempat terjadi lebih dari 9 kali kejadian diare per tahun atau
hampir 15-20% waktu hidup anak dihabiskan untuk diare (Soebagyo, 2008).
Penyakit diare di Indonesia merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat yang
utama, hal ini disebabkan karena masih tingginya angka kesakitan diare yang menimbulkan
banyak kematian terutama pada balita. Angka kesakitan diare di Indonesia dari tahun ke
tahun cenderung meningkat. Angka kesakitan diare pada tahun 2006 yaitu 423 per 1000
penduduk, dengan jumlah kasus 10.980 penderita dengan jumlah kematian 277 (CFR 2,52%).
Di Indonesia dilaporkan terdapat 1,6 sampai 2 kejadian diare per tahun pada balita,
sehingga secara keseluruhan diperkirakan kejadian diare pada balita berkisar antara 40 juta
setahun dengan kematian sebanyak 200.000-400.000 balita. survei tahun 2000 yang
dilakukan oleh Ditjen P2MPL Depkes di 10 provinsi, didapatkan hasil bahwa dari 18.000
rumah tangga yang disurvei diambil sampel sebanyak 13.440 balita, dan kejadian diare pada
balita yaitu 1,3 episode kejadian diare pertahun (Soebagyo, 2008).
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang dengan angka kejadian penyakit
diare yang tinggi karena tingginya morbiditas dan mortalitas (Magdarina, 2010).
Hal yang menyebabkan seseorang mudah terserang penyakit adalah perilaku hidup
masyarakat yang kurang baik dan sanitasi lingkungan yang buruk. Diare dapat berakibat fatal
apabila tidak ditangani secara serius karena tubuh balita sebagian besar terdiri dari air dan
daging, sehingga bila terjadi diare sangat mudah terkena dehidrasi (Irianto, 1996).

Menurut hasil penelitian Irianto (1996), anak balita yang berasal dari keluarga yang
menggunakan jamban yang dilengkapi dengan tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di
kota dan 7,2% di desa. Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik
12,1% diare terjadi di kota dan 8,9% di desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluarga
yang mempergunakan sungai sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu 17% di kota dan 12,7
di desa.
Di Kalimantan Selatan masih banyak ditemui kasus diare. Sebagai perbandingan
kasus diare pada tahun 2008 sebanyak 54.316 kasus ,2009 sebanyak 72.020 kasus, tahun
2010 sebanyak 52.908 kasus, serta tahun 2011 sebanyak 66.765 kasus.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah yaitu Bagaimana
Pengaruh Penggunaan Jamban (Kakus) sehat terhadap pertumbuhan penyakit Diare di
Kalimantan Selatan.

C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui
pengaruh Jamban (kakus) terhadap pertumbuhan penyakit Diare di Kalimantan Selatan.

D. Manfaat Penulisan
Manfaat penulisan makalah ini adalah memberikan pengetahuan dan informasi tentang
pengaruh jamban (kakus) sehat terhadap pertumbuhan penyakit Diare di Kalimantan Selatan.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. LINGKUNGAN
Kesehatan lingkungan termasuk semua fisik,kimia, dan faktor biologis eksternal untuk
seseorang, dan faktor-faktor terkait mempengaruhi perilaku. Ini meliputi penilaian dan
pengendalian faktor-faktor lingkungan yang berpotensi dapat mempengaruhi kesehatan. Hal
ini ditargetkan untuk mencegah penyakit dan menciptakan lingkungan kesehatan-
mendukung. (WHO)
Lingkungan adalah segala sesuatu disekitar kita, baik itu udara, tanah, air, makanan, dan
tempat kita bernaung. Beberapa hubungan antara lingkungan dengan manusia yanag
berpotensi menjadi tempat penularan diare yaitu sumber air minum , jenis tempat
pembuangan tinja, dan jenis lantai rumah. ( Depkes RI)
Kesehatan lingkungan adalah suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang
keseimbangan ekologi yang dinamis antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung
tercapainya kualitas hidup manusia yang sehat dan bahagia. (Himpunan Ahli Kesehatan
Lingkungan Indonesia/ HAKLI)
Lingkungan hidup diartikan sebagai segala benda, kondisi, keadaan dan pengaruh yang
terdapat dalam ruangan yang kita tempat dan mempengaruhi hal yang hidup termasuk
kehidupan manusia. Batas ruang lingkungan menurut pengertian ini bisa sangat luas, namun
untuk praktisnya dibatasi ruang lingkungan dengan faktor-faktor yang dapat dijangkau oleh
manusia seperti faktor politik, faktor sosial, faktor ekonomi, faktor alam dan lain-lain. (
Salim; 2011)
Lingkungan hidup jasmani atau fisik yang meliputi dan mencakup segala unsur dan faktor
fisik jasmaniah yang berada didalam alam. Didalam pengertian ini, maka hewan, tumbuh-
tumuhan dan manusia tersebut itu dilihat dan akan dianggap sebagai perwujudan secara fisik
jasmani belaka. Dalam hal tersebut “Lingkungan”, diartikan sebagai mencakup lingkungan
hidup hewan, tumbuh-tumbuhan dan manusia yang terdapat didalamnya. (Soedjono; 2010)
Lingkungan hidup adalah seluruh benda dan daya serta keadaan termasuk yang ada
didalamnya manusia dan segala tingkah perbuatannya yang berada dalam ruang dimana
manusia memang berada dan mempengaruhi suatu kelangsungan hidup serta pada
kesejahteraan manusia dan jasah hidup yang lainnya. Dengan demikian bahwa tercakup segi
lingkungan budaya dan segi lingkungan fisik. ( Munadjat Danusaputro;2010)
Beberapa tanda lingkungan tidak sehat antara udara, tanah, dan airnya tidak bersih.
Udara dikatakan tidak bersih jika udara tersebut terkotori oleh asap. Udara kotor tidak baik
untuk kesehatan pernapasan. Tanah dikatakan tidak bersih jika di tanah tersebut terdapat
sampah. Sampah yang menggunung akan mengeluarkan bau tidak sedap. Selain itu,
sampah tersebut menjadi tempat kerumunan lalat. Lalat ini dapat menyebarkan
kuman penyakit ke tempat lain. Air dikatakan tidak bersih jika air tersebut tergenang karena
penuh sampah. Air yang tergenang dapat menjadi sarang nyamuk. Nyamuk ini dapat
menjadi pembawa penyakit ( Depkes RI : 2000)

B. JAMBAN
Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia
yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa
(cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk
membersihkannya.(Joharrudin ; 2010)
Jamban keluarga merupakan suatu bangunan yang digunakan untuk tempat
membuang dan mengumpulkan kotoran/najis manusia yang lazim disebut kakus atau WC,
sehingga kotoran tersebut disimpan dalam suatu tempat tertentu dan tidak menjadi penyebab
atau penyebar penyakit dan mengotori lingkungan pemukiman. Kotoran manusia yang
dibuang dalam praktek sehari-hari bercampur dengan air, maka pengolahan kotoran manusia
tersebut pada dasarnya sama dengan pengolahan air limbah. Oleh sebab itu pengolahan
kotoran manusia, demikian pula syarat-syarat yang dibutuhkan pada dasarnya sama dengan
syarat pembuangan air limbah (Depkes RI, 2000)
Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan.
Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden penyakit
tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare (Haryoto, 2000).
Jamban keluarga adalah suatu bangunan yang digunakan untuk membuang dan
mengumpulkan kotoran sehingga kotoran tersebut tersimpan dalam suatu tempat tertentu dan
tidak menjadi penyebab suatu penyakit serta tidak mengotori permukaan
(Kusnoputranto,2000).
Sementara itu menurut Josep Soemardi (1999) pengertian jamban adalah
pengumpulan kotoran manusia disuatu tempat sehingga tidak menyebabkan bibit penyakit
yang ada pada kotoran manusia dan mengganggu estetika.
Jamban adalah suatu ruangan yang mempunyai fasilitas pembuangan kotoran manusia
yang terdiri atas tempat jongkok atau tempat duduk dengan leher angsa atau tanpa leher angsa
(cemplung) yang dilengkapi dengan unit penampungan kotoran dan air untuk
membersihkannya.

C. DEFINISI TINJA
Difinisi Tinja sendiri ( Ekskreta )Yaitu sebagai kotoran manusia yang berbentuk
padat, dengan berat basah tinja individu berkisar antara 20 gram – 1,5 killogram. Tinja adalah
bahan buangan yang dikeluarkan dari tubuh manusia melalui anus sebagai sisa dari proses
pencernaan makanan di sepanjang sistem saluran pencernaan (tractus digestifus).
Pengertian tinja ini juga mencakup seluruh bahan buangan yang dikeluarkan dari
tubuh manusia termasuk karbon monoksida (CO2) yang dikeluarkan sebagai sisa dari proses
pernafasan, keringat, lendir dari ekskresi kelenjar, dan sebagainya (Soeparman, 2002:11).
Ekskreta manusia (human excreta) yang berupa feses dan air seni (urine)merupakan
hasil akhir dari proses yang berlangsung dalam tubuh manusia yang menyebabkan pemisahan
dan pembuangan zat-zat yang tidak dibutuhkan oleh tubuh (Chandra, 2007:124).
Komposisi Tinja
Menurut Azwar (2000:74) seorang yang normal diperkirakan menghasilkan tinja rata-
rata sehari sekitar 83 gram dan menghasilkan air seni sekitar 970 gram. Kedua jenis kotoran
manusia ini sebagian besar berupa air, terdiri dari zat-zat organik (sekitar 20% untuk tinja dan
2,5% untuk air seni), serta zat-zat anorganik seperti nitrogen, asam fosfat, sulfur, dan
sebagainya. Perkiraan komposisi tinja dapat dilihat pada tabel berikut (Soeparman, 2002).
Selain kandungan komponen-komponen di atas, pada setiap gram tinja juga
mengandung berjuta-juta mikroorganisme yang pada umumnya tidak berbahaya bagi
kesehatan/ tidak menyebabkan penyakit. Namun tinja potensial mengandung mikroorganisme
patogen, terutama apabila manusia yang menghasilkannya menderita penyakit saluran
pencernaan makanan (enteric or intestinal disesases). Mikroorganisme tersebut dapat berupa
bakteri, virus, protozoa, ataupun cacing-cacing parasit. Coliform bacteria yang dikenal
sebagai Echerichia coli dan Fecal stretococci (enterococci) yang sering terdapat di saluran
pencernaan manusia, dikeluarkan dari tubuh manusia dan hewan-hewan berdarah panas
lainnya dalam jumlah besar rata-rata sekitar 50 juta per gram (Soeparman, 2002)

D. JENIS TEMPAT PEMBUANGAN TINJA


Menurut Entjang (2000), macam-macam tempat pembuangan tinja, antara lain:
1. Jamban cemplung (Pit latrine)
Jamban cemplung ini sering dijumpai di daerah pedesaan. Jamban ini dibuat dengan
jalan membuat lubang ke dalam tanah dengan diameter 80 – 120 cm sedalam 2,5 sampai 8
meter. Jambancemplung tidak boleh terlalu dalam, karena akan mengotori air tanah
dibawahnya. Jarak dari sumber minum sekurang-kurangnya 15 meter.
2. Jamban air (Water latrine)
Jamban ini terdiri dari bak yang kedap air, diisi air di dalam tanah sebagai tempat
pembuangan tinja. Proses pembusukkanya sama seperti pembusukan tinja dalam air kali.
3. Jamban leher angsa (Angsa latrine)
Jamban ini berbentuk leher angsa sehingga akan selalu terisi air. Fungsi air ini sebagai
sumbat sehingga bau busuk dari kakus tidak tercium. Bila dipakai, tinjanya tertampung
sebentar dan bila disiram air, baru masuk ke bagian yang menurun untuk masuk ke tempat
penampungannya.

4. Jamban bor (Bored hole latrine)


Tipe ini sama dengan jamban cemplung hanya ukurannya lebih kecil karena untuk
pemakaian yang tidak lama, misalnya untuk perkampungan sementara. Kerugiannya bila air
permukaan banyak mudah terjadi pengotoran tanah permukaan (meluap).
5. Jamban keranjang (Bucket latrine)
Tinja ditampung dalam ember atau bejana lain dan kemudian dibuang di tempat lain,
misalnya untuk penderita yang tak dapat meninggalkan tempat tidur. Sistem jamban
keranjang biasanya menarik lalat dalam jumlah besar, tidak di lokasi jambannya, tetapi di
sepanjang perjalanan ke tempat pembuangan. Penggunaan jenis jamban ini biasanya
menimbulkan bau.
6. Jamban parit (Trench latrine)
Dibuat lubang dalam tanah sedalam 30 - 40 cm untuk tempat defaecatie. Tanah
galiannya dipakai untuk menimbunnya. Penggunaan jamban parit sering mengakibatkan
pelanggaran standar dasar sanitasi, terutama yang berhubungan dengan pencegahan
pencemaran tanah, pemberantasan lalat, dan pencegahan pencapaian tinja oleh hewan.
7. Jamban empang / gantung (Overhung latrine)
Jamban ini semacam rumah-rumahan dibuat di atas kolam, selokan, kali, rawa dan
sebagainya. Kerugiannya mengotori air permukaan sehingga bibit penyakit yang terdapat
didalamnya dapat tersebar kemana-mana dengan air, yang dapat menimbulkan wabah.
8. Jamban kimia (Chemical toilet)
Tinja ditampung dalam suatu bejana yang berisi caustic soda sehingga dihancurkan
sekalian didesinfeksi. Biasanya dipergunakan dalam kendaraan umum misalnya dalam
pesawat udara, dapat pula digunakan dalam rumah. Tempat pembuangan tinja yang tidak
memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan risiko terjadinya diare berdarah pada anak
balita sebesar dua kali lipat dibandingkan dengan keluarga yang mempunyai kebiasaan
membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi (Wibowo,20 2004).

Sedangkan syarat jamban sehat menurut Depkes RI (2002), antara lain :

1. Tidak mencemari sumber air minum. Letak lubang penampungan kotoran paling sedikit
berjarak 10 meter dari sumur air minum (sumur pompa tangan, sumur gali, dan lain-lain).
Tetapi kalau keadaan tanahnya berkapur atau tanah liat yang retak-retak pada musim
kemarau, demikian juga bila letak jamban di sebelah atas dari sumber air minum pada tanah
yang miring, maka jarak tersebut hendaknya lebih dari 15 meter;
2. Tidak berbau dan tinja tidak dapat dijamah oleh serangga maupun tikus. Untuk itu tinja harus
tertutup rapat misalnya dengan menggunakan leher angsa atau penutup lubang yang rapat;
3. Air seni, air pembersih dan air penggelontor tidak mencemari tanah di sekitarnya, untuk itu
lantai jamban harus cukup luas paling sedikit berukuran 1×1 meter, dan dibuat cukup
landai/miring ke arah lubang jongkok;
4. Mudah dibersihkan, aman digunakan, untuk itu harus dibuat dari bahan-bahan yang kuat dan
tahan lama dan agar tidak mahal hendaknya dipergunakan bahan-bahan yang ada setempat;
5. Dilengkapi dinding dan atap pelindung, dinding kedap air dan berwarna terang;
6. Cukup penerangan;
7. Lantai kedap air;
8. Luas ruangan cukup, atau tidak terlalu rendah;
9. Ventilasi cukup baik;
10. Tersedia air dan alat pembersih.

Berdasarkan bentuknya, terdapat beberapa macam jamban menurut beberapa ahli.


Menurut Azwar (2001), jamban mempunyai bentuk dan nama sebagai berikut :

1. Pit privy (Cubluk): Kakus ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah sedalam
2,5 sampai 8 meter dengan diameter 80-120 cm. Dindingnya diperkuat dari batu bata ataupun
tidak. Sesuai dengan daerah pedesaan maka rumah kakus tersebut dapat dibuat dari bambu,
dinding bambu dan atap daun kelapa. Jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15
meter.

2. Jamban cemplung berventilasi (ventilasi improved pit latrine): Jamban ini hampir sama
dengan jamban cubluk, bedanya menggunakan ventilasi pipa. Untuk daerah pedesaan pipa
ventilasi ini dapat dibuat dari bambu.
3. Jamban empang (fish pond latrine): Jamban ini dibangun di atas empang ikan. Di dalam
sistem jamban empang ini terjadi daur ulang (recycling) yaitu tinja dapat langsung dimakan
ikan, ikan dimakan orang, dan selanjutnya orang mengeluarkan tinja, demikian seterusnya.
4. Jamban pupuk (the compost privy): Pada prinsipnya jamban ini seperti kakus cemplung,
hanya lebih dangkal galiannya, di dalam jamban ini juga untuk membuang kotoran binatang
dan sampah, daun-daunan.
5. Septic tank: Jamban jenis septic tank ini merupakan jamban yang paling memenuhi
persyaratan, oleh sebab itu cara pembuangan tinja semacam ini yang dianjurkan. Septic tank
terdiri dari tangki sedimentasi yang kedap air, dimana tinja dan air buangan masuk
mengalami dekomposisi.

Jamban bentuk septic tank sebagai bentuk jamban yang paling memenuhi syarat, tinja
mengalami beberapa proses didalamnya, sebagai berikut :

1. Proses kimiawi: Akibat penghancuran tinja akan direduksi sebagian besar (60- 70%), zat-zat
padat akan mengendap di dalam tangki sebagai sludge Zat-zat yang tidak dapat hancur
bersama-sama dengan lemak dan busa akan mengapung dan membentuk lapisan yang
menutup permukaan air dalam tangki tersebut. Lapisan ini disebut scum yang berfungsi
mempertahankan suasana anaerob dari cairan di bawahnya, yang memungkinkan bakteri-
bakteri anaerob dan fakultatif anaerob dapat tumbuh subur, yang akan berfungsi pada proses
selanjutnya.
2. Proses biologis: Dalam proses ini terjadi dekomposisi melalui aktivitas bakteri anaerob dan
fakultatif anaerob yang memakan zat-zat organik alam sludge dan scum. Hasilnya selain
terbentuknya gas dan zat cair lainnya, adalah juga pengurangan volume sludge, sehingga
memungkinkan septic tank tidak cepat penuh. Kemudian cairan influent sudah tidak
mengandung bagian-bagian tinja dan mempunyai BOD yang relatif rendah. Cairan influent
akhirnya dialirkan melalui pipa
E. LALAT
Jenis lalat yang perlu diwaspadai di antaranya lalat rumah (Musca domestica), lalat
hijau (Lucilla s eritica), lalat biru (Calliphora vornituria), dan lalat latirine (Fannia
canicularis). Dari keempat jenis tersebut, lalat rumah adalah yang paling dikenal sebagai
pembawa penyakit. dan banyak dijumpai di tempat-tempat yang terdapat sampah basah hasil
buangan rumah tangga, terutama yang kaya zat-zat organik yang sedang membusuk. Di lalat
mencari makanan dan berkembang biak. (HDIndonesia ; 2010)
Semua jenis lalat bisa menularkan diare.Penyakit diare bukan semata-mata
disebabkan oleh lalat. Lalat hanyalah perantara virus, kuman. Perilaku kitalah yang menjadi
penyebab sesungguhnya.(Faisal ; 2011)

Bermacam-macam mikroorganisme penyebab penyakit menempel di kaki lalat dan


rambut-rambut halus di sekujur tubuhnya. Berbagai penyakit yang disebabkan oleh lalat
biasanya berhubungan dengan saluran pencernaan. karena perpindahan kuman dan
mikroorganisme dari lalat ke dalam tubuh manusia terjadi secara mekanis. Lalat dari tempat
kotor dan busuk kemudian hinggap di makanan sehingga makanan terkontaminasi.
Mikroorganisme akan masuk ke dalam tubuh bersamaan dengan makanan itu. ( HDIndonesia;
2010)

F. DEINISI DIARE
Hingga kini diare masih menjadi child killer (pembunuh anak-anak) peringkat
pertama di Indonesia. Semua kelompok usia diserang oleh diare, baik balita, anak-anak dan
orang dewasa. Tetapi penyakit diare berat dengan kematian yang tinggi terutama terjadi pada
bayi dan anak balita (Zubir, 2006)
Diare adalah keadaan buang-buang air dengan banyak cairan ( mencret) dan
merupakan gejala dari penyakit-penyakit tertentu atau gangguan lainnya. (Obat-Obat Penting)
Diare adalah buang air besar encer atau cair lebih dari tiga kali sehari. Apabila frekuensi
buang air besar lebih dari 3 kali sehari dengan konsistensi tinja yang lebih lembek atau cair
dan bersifat mendadak datangnya serta berlangsung dalam waktu kurang dari 2 minggu maka
hal ini disebut diare akut. (WHO, 2002)
Menurut Widjaja (2002), diare diartikan sebagai buang air encer lebih dari empat kali
sehari, baik disertai lendir dan darah maupun tidak.
Diare adalah buang air besar lembek atau cair dapat berupa air saja yang frekuensinya
lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari) (Depkes RI, 2002).
Diare adalah buang air besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cairan atau setengah
cairan, dengan demikian kandungan air pada tinja lebih banyak dari keadaan normal yakni
100-200 ml sekali defekasi (Hendarwanto, 2000).
Diare ialah keadaan frekuensi buang air besar lebih dari 4 kali pada bayi dan lebih
dari 3 kali pada anak dengan konsistensi feses encer, dapat berwarna hijau atau dapat
bercampur lendir dan darah (Ngastiyah, 2000).

Epidemiologi Penyakit Diare


Menurut Depkes RI (2005), epidemiologi penyakit diare adalah sebagai berikut :
1. Penyebaran kuman yang menyebabkan diare
Kuman penyebab diare biasanya menyebar melalui fecal oral antara lain melalui
makanan atau minuman yang tercemar tinja dan atau kontak langsung dengan tinja penderita.
Beberapa perilaku dapat menyebabkan penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko
terjadinya diare, antara lain tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama
kehidupan, menggunakan botol susu, menyimpan makanan masak pada suhu kamar,
menggunakan air minum yang tercemar, tidak mencuci tangan sesudah buang air besar atau
sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang
tinja dengan benar.
2. Faktor pejamu yang meningkatkan kerentanan terhadap diare
Faktor pada pejamu yang dapat meningkatkan insiden, beberapa penyakit dan
lamanya diare. Faktor-faktor tersebut adalah tidak memberikan ASI sampai umur 2 tahun,
kurang gizi, campak, imunodefisiensi atau imunosupresi dan secara proposional diare lebih
banyak terjadi pada golongan balita
3. Faktor lingkungan dan perilaku
Penyakit diare merupakan salah satu penyakit yang berbasis lingkungan. Dua faktor
yang dominan, yaitu sarana air bersih dan pembuangan tinja. Kedua faktor ini akan
berinteraksi dengan perilaku manusia. Apabila faktor lingkungan tidak sehat karena tercemar
kuman diare serta berakumulasi dengan perilaku yang tidak sehat pula, yaitu melalui
makanan dan minuman, maka dapat menimbulkan kejadian diare..

Gejala Diare
Menurut Widjaja (2000), gejala-gejala diare adalah sebagai berikut :
a. Bayi atau anak menjadi cengeng dan gelisah. Suhu badannya pun meninggi,
b. Tinja bayi encer, berlendir atau berdarah,
c. Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu,
d. Lecet pada anus,
e. Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang,
f. Muntah sebelum dan sesudah diare,
g. Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah), dan
h. Dehidrasi (kekurangan cairan). Dehidarsi dibagi menjadi tiga macam, yaitu dehidrasi ringan,
dehidrasi sedang dan dehidarsi berat. Disebut dehidrasi ringan jika cairan tubuh yang hilang
5%. Jika cairan yang hilang lebih dari 10% disebut dehidrasi berat. Pada dehidrasi berat,
volume darah berkurang, denyut nadi dan jantung bertambah cepat tetapi melemah, tekanan
darah merendah, penderita lemah, kesadaran menurun dan penderita sangat pucat (Widjaja,
2000).

BAB III
PEMBAHASAN

Lingkungan sangat mempengaruhi penyakit Diare. Seseorang akan sangat rentan


terkena Diare apabila dia tinggal di Lingkungan yang tidak sehat (kotor), namun sebaliknya
jika dia tinggal di daerah yang sehat penyakit Diare akan sangat jarang terjadi. Lingkungan
adalah suatu kondisi lingkungan yang mampu menopang keseimbangan ekologi yang dinamis
antara manusia dan lingkungannya untuk mendukung tercapainya kualitas hidup manusia
yang sehat dan bahagia. (Himpunan Ahli Kesehatan Lingkungan Indonesia/ HAKLI).
Sedangkan pengertian Lingkungan yang tidak sehat adalah lingkungan yang kotor.
Pengertian Diare adalah fases keluar terlalu encer karena kolon terinfeksi kuman
sehingga penyerapan air kembali oleh kolon terhambat. Diare adalah buang air besar lembek
atau cair dapat berupa air saja yang frekuensinya lebih sering dari biasanya (biasanya tiga kali
atau lebih dalam sehari). (Depkes ; 2000)
Penyebaran kuman yang menyebabkan diare,Kuman penyebab diare biasanya
menyebar melalui fecal oral antara lain melalui makanan atau minuman yang tercemar tinja
dan atau kontak langsung dengan tinja penderita. Beberapa perilaku dapat menyebabkan
penyebaran kuman enterik dan meningkatkan risiko terjadinya diare, antara lain tidak
memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pada pertama kehidupan, menggunakan botol susu,
menyimpan makanan masak pada suhu kamar, menggunakan air minum yang tercemar, tidak
mencuci tangan sesudah buang air besar atau sesudah membuang tinja anak atau sebelum
makan atau menyuapi anak, dan tidak membuang tinja dengan benar.
Jenis tempat pembuangan tinja yang tidak saniter akan memperpendek rantai
penularan penyakit diare. Infeksi menyebar melalui tinja orang yang terinfeksi. Infeksi juga
bisa ditularkan melalui kontak mulut-ke-dubur atau dari makanan, air, benda-benda atau lalat
yang terkontaminasi. Wabah sering terjadi di pemukiman yang padat dengan tingkat
kebersihan yang kurang.Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan
lingkungan. Pembuangan tinja yang tidak menurut aturan memudahkan terjadinya
penyebaran penyakit tertentu yang penulurannya melalui tinja antara lain penyakit diare.
Menurut Notoatmodjo (2003), syarat pembuangan kotoran yang memenuhi aturan
kesehatan adalah tidak mengotori permukaan tanah di sekitarnya, tidak mengotori air
permukaan di sekitarnya, tidak mengotori air dalam tanah di sekitarnya, dan kotoran tidak
boleh terbuka sehingga dapat dipakai sebagai tempat lalat bertelur atau perkembangbiakan
vektor penyakit lainnya.

Jenis tempat pembuangan tinja dibedakan menjadi jenis jamban sehat dan jenis
jamban tidak sehat. Jenis jamban tidak sehat yaitu jenis jamban tanpa tangki septik atau
jamban cemplung dan rumah yang tidak memiliki jamban sehingga bila buang air besar
mereka pergi ke sungai. Jenis tempat pembuangan tinja tersebut termasuk jenis tempat
pembuangan tinja yang tidak saniter.
Jenis tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat kesehatan, akan
berdampak pada banyaknya lalat. Sedangkan jenis jamban sehat yaitu jamban yang memiliki
tangki septik atau lebih dikenal dengan jamban leher angsa. Menurut Entjang (2000), jamban
leher angsa (angsa latrine) merupakan jenis jamban yang memenuhi syarat kesehatan.
Jamban ini berbentuk leher angsa sehingga akan selalu terisi air, yang berfungsi sebagai
sumbat sehingga bau dari jamban tidak tercium dan mencegah masuknya lalat ke dalam
lubang. Jamban leher angsa menurut Sukarni (2002), memiliki keuntungan antara lain aman
untuk anak-anak dan dapat dibuat di dalam rumah karena tidak menimbulkan bau.
Bila dilihat dari perilaku ibu, masih ada sebagian ibu yang tidak membuang tinja
balita dengan benar, mereka membuang tinja balita ke sungai, ke kebun atau pekarangan.
Mereka beranggapan bahwa tinja balita tidak berbahaya. Padahal menurut Depkes (2000),
tinja balita juga berbahaya karena mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Tinja
balita juga dapat menularkan penyakit pada balita itu sendiri dan juga pada orang tuanya.
Selain itu tinja binatang dapat pula menyebabkan infeksi pada manusia.
Tinja yang dibuang di tempat terbuka dapat digunakan oleh lalat untuk bertelur dan
berkembang biak. Lalat berperan dalam penularan penyakit melalui tinja (faecal borne
disease), lalat senang menempatkan telurnya pada kotoran manusia yang terbuka, kemudian
lalat tersebut hinggap di kotoran manusia dan hinggap pada makanan manusia (Soeparman
dan Suparmin, 2003).
Penggunaan jamban yang benar akan menekan angka prevalensi diare. Menurut hasil
penelitian Irianto ( 2000), anak balita yang berasal dari keluarga yang menggunakan jamban
yang dilengkapi dengan tangki septik, prevalensi diare 7,4% terjadi di kota dan 7,2% di desa.
Sedangkan keluarga yang menggunakan kakus tanpa tangki septik 12,1% diare terjadi di kota
dan 8,9% di desa. Kejadian diare tertinggi terdapat pada keluarga yang mempergunakan
sungai sebagai tempat pembuangan tinja, yaitu 17% di kota dan 12,7% di desa.
Salah satu masalah yang dihadapi masyarakat Kalsel adalah penyediaan sarana
jamban keluarga. Jenis jamban leher angsa merupakan model terbaik yang dianjurkan
kesehatan lingkungan (Entjang; 2000). Penggunaan jamban jenis leher angsa ini akan
mencegah bau busuk serta masuknya binatang kecil.
Jamban angsatrine/ leher angsa merupakan jamban berbentuk leher angsa yang
penampungannya berupa tangki septik kedap air yang berfungsi sebagai wadah proses
penguraian/dekomposisi kotoran manusia yang dilengkapi dengan resapannya. Pilihan leher
angsa harus terbuat dari keramik, porselin atau kaca serat (fiber glass). Tempat air perapat
harus terbuat dari kaca serat atau keramik karena permukaanya licin dan cukup kuat sehingga
mudah dibersihkan.
Selain itu, jamban leher angsa juga tidak berbau dan tidak mengundang serangga.
Jamban ini digunakan untuk daerah yang cukup air dan daerah padat penduduk, karena dapat
menggunakan multiple latrine yaitu suatu lubang penampungan tinja yang digunakan oleh
beberapa jamban (satu lubang dapat menampung kotoran/tinja dari 3-5 jamban).
Akan tetapi jamban jenis ini hanya cocok digunakan didaerah yang cukup air bersih.
Untuk daerah yang sulit air biasanya menggunakan jamban cemplung. Dibeberapa daerah di
Kalsel masih dirasa sulit untuk mencari air bersih, oleh karena itu masih banyak warga Kalsel
yang menggunakan jamban cemplung khususnya masyarakat yang tinggal dipedesaan.
Jamban ini dibuat dengan jalan membuat lubang ke dalam tanah dengan diameter 80 –
120 cm sedalam 2,5 sampai 8 meter. Jambancemplung tidak boleh terlalu dalam, karena akan
mengotori air tanah dibawahnya. Jarak dari sumber minum sekurang-kurangnya 15 meter.
(Entjang;2000). Tetapi sering dijumpai jamban cemplung yang kurang sempurna,misalnya
tanpa rumah jamban dan tanpa tutup.sehingga serangga mudah masuk dan bau tidak bisa
dihindari,serta karena tidak ada rumah jamban,bila musim hujan maka jamban itu akan penuh
dengan air. jamban cemplung tidak boleh terlalu dalam karna bisa mengotori air tanah
dibawahnya.dalamnya ventilasi (vip latrine) berkisar antara 1,5-3 meter saja,sesui dengan
daerah pedesaan maka rumah jamban tersebut dapat dibuat dari bambu,dinding bambu,atap
daun kelapa atu daun padi,jarak dari sumber air minum sekurang-kurangnya 15 meter.
Bau khas dari kotoran atau tinja disebabkan oleh aktivitas bakteri. Bakteri
menghasilkan senyawa seperti indole, skatole, thiol (senyawa yang mengandung belerang)
dan juga gas hidrogen sulfida. Asupan makanan berupa rempah-rempah dapat rnenambah bau
dan kepadatan kotoran atau tinja.11 Jamban keluarga yang digunakan bila kurang mendapat
perhatian dalam membersihkannya, maka dapat menjadi sarang serangga (lalat) maupun
binatang lainnya yang dapat mencemari makanan dan lingkungan sekitar. Kebersihan yang
kurang pada jamban dapat dikhawatirkan akan menyebabkan berpindahnya penyebab
penyakit ke manusia yang di bawa oleh hewan vektor misalnya lalat. Lalat merupakan vektor
dari penyakit diare. Lalat banyak hidup dan berkembang biak ditempat-tempat yang lembab
dan kotor.
Syarat tempat pembuangan tinja harus memenuhi syarat kontruksi juga harus
memenuhi syarat letak adalah syarat tempat pembuangan tinja (bangunan/rembesan) dengan
sumber air minum minimal 10 meter untuk tanah pasir dan 15 meter untuk tanah liat.
Hubungan lalat dan tinja di jamban adalah jika tinja saat kita buang air tidak tidak
ditangani dengan baik akan dihinggapi berbagai serangga dan lalat karena mengandung
bahan organik sehingga memancing serangga dan lalat untuk mendekatinya. Lalat yang
datang dari tinja tersebut membawa bakteri dan mikroorganisme di kaki dan bulu-bulu halus
disekujur tubuhnya dan jika hinggap ke makanan manusia akan menyebabkan penyakit Diare.
Jika kita memiliki jamban sehat maka penanganan tinja akan lebih baik sehingga tidak
akan dihinggapi lalat dan serangga yang secara otomatis akan memutus rantai penyebaran
penyakit diare.
Penyakit diare di Kalimantan Selatan masih termasuk dalam salah satu golongan
penykit terbesar yang angka kejadiannya relatif cukup tinggi keadaan ini di dukung oleh
faktor lingkungan, terutama kondisi sanitasi dasar yang masih tidak baik, misalnya
penggunaan air untuk keperluan sehari-hari yang tidak memenuhi syarat, jamban keluarga
yang masih kurang dan keberadaannya kurang memenuhi syarat, serta kondisi sanitasi
perumahan yang masih kurang dan tidak higienis. Di Kalimantan Selatan masih banyak
ditemui kasus diare. Sebagai perbandingan kasus diare pada tahun 2008 sebanyak 54.316
kasus ,2009 sebanyak 72.020 kasus, tahun 2010 sebanyak 52.908 kasus, serta tahun 2011
sebanyak 66.765 kasus ( Dinas kesehatan Prov Kalimantan selatan ; 2012)
Di Kalimantan selatan sudah diterapkan penggunaan jamban leher angsa pada daerah
perkotaan. Walaupun baru didaerah perkotaan namun tindakan ini diharapkan bisa menekan
angka kejadian penyakit diare
Warga kalsel juga sering menggunakan jamban sungai terutama warga yang tinggal
dipinggiran sungai sebagai contoh warga pinggiran sungai Martapura. Jamban jenis ini biasa
dipilih karena murah. Akibat banyaknya jamban dipinggiran sungai martapura yang
diperkirakan sudah berjumlah 2.800 buah maka sungai Martapura sudah mengalami
pencemaran tinja yang serius terbukti dengan dilakukannya pengujian dan ditemukan
kandungan bakteri E coli yang tinggi.
Apabila kondisi sungai yang seperti ini digunakan masyarakat untuk mandi, minum
dan melakukan aktifitas lainnya maka dikhawatirkan akan terkena penyakit diare.
Kasus yang diakibatkan pencemaran e-coli, berdasarkan data Dinas Kesehatan Kalsel,
menunjukan kasus diare terjadi pada 7,71/1000 penduduk dengan angka kematian
0,27/100.000 penduduk.
Selain hubungan langsung dengan bakteri,virus ataupun kuman penyebab diare,
penularan diare juga bisa lewat lalat. Penggunaan sanitasi yang tidak sehat akan
menyebabkan serangga seperti lalat akan hinggap dan bertelur. Yang kemudian bakteri
tersebut akan masuk ketubuh kita melalui makanan yang dihinggapi lalat.

Hal ini lah yang menyebabkan provinsi Kalimantan Selatan berada diurutan pertama
dengan kasus diare terbanyak di pulau kalimantan. Dan berada di urutan ke 11 se indonesia
dengan kejadian diare sebanyak 9,5 % ( Riset Kesehatan dasar tahun 2007).

Pemerintah sudah berupaya menekan angka kejadian diare tersebut dengan program
mendirikan WC umum dengan sanitasi yang baik didaerah pinggiran sungai yang diharapkan
agar warga tidak lagi membuang tinjanya ke sungai.
Program pemerintah ini cukup membuahkan hasil pada tahun 2009 terdapat 72.020
kasus diare di Kalimantan Selatan. Namun pemerintah terbukti berhasil dengan turunnya
jumlah kasus diare di tahun selanjutnya menjadi 52.908 kasus (Dinas kesehatan Kalimantan
selatan; 2012).

BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Berdasarkan hasil pembahasan yang dideskripsikan dapat diambil kesimpulan bahwa
menjaga kesehatan jamban (Kakus) agar tetap sahat sangatlah penting. Hal ini dikarenakan
jika kita tidak menjaga kesehatan jamban , banyak kuman dan serangga yang akan hinggap
dan penyakit akan mudah menyerang tubuh kita salah satunya penyakit diare.
B. SARAN
Saran yang dapat diajukan penulis dari hasil pembahasan makalah ini adalah Untuk
penulisan makalah dapat dikembangkan pada pengaruh Obat-obatan terhadap pertumbuhan
penyakit diare.

DAFTAR PUSTAKA
Suyitno Imam,2011,Karya Tulis Ilmiah (KTI) Panduan, Teori, Pelatihan, dan Contoh.Malang :
PT Refika Aditama
Iyo Mulyono, 2011,Dari Karya Tulis Ilmiah sampai dengan Soft Skills.Bandung: YRAMA WIDYA
Budiarto, E., 2001. Biostatistika untuk Kedokteran dan Kesehatan Masyarakat.
Jakarta : EGC

Depkes, R. I., 2000. Buku Pedoman Pelaksanaan Program P2 Diare. Jakarta :


Ditjen PPM dan PL.
Irianto, J., Soesanto. S., Supraptini, Inswiasri, Irianti, S., dan Anwar, A., 1996.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Diare pada Anak Balita
(Analisis Lanjut Data SDKI 1994). Buletin Penelitian Kesehatan. Vol 24
(2 dan 3) 1996 : 77-96.
Widyastuti, P., (ed). 2005. Epidemiologi Suatu Pengantar, edisi 2. Jakarta : EGC.
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8
&ved=0ahUKEwiIkv-
AmL3LAhVFqJQKHZUmAqwQFggaMAA&url=http%3A%2F%2Fmastugino.blogspot.com
%2F2013%2F10%2Flingkungan-
sehat.html&usg=AFQjCNERMELqe782zFQuU_Aj45E6G9SzRg&sig2=mUMgxYJKqRUr1
OUZZF_NSw
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8
&ved=0ahUKEwiJ4JDXsMDLAhWSCo4KHWkPAWUQFggaMAA&url=http%3A%2F%2
Fikhsanbeck.blogspot.com%2F2015%2F05%2Fmakalah-tentang-penyakit-
diare.html&usg=AFQjCNH0prHbRdGyjlCHRFUqMt8316nqng&sig2=HW2SZuYoCFZiMG
-YFj1HoQ
https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8
&ved=0ahUKEwiJ4JDXsMDLAhWSCo4KHWkPAWUQFgggMAE&url=http%3A%2F%2
Fkumpulan-makalah-keperawatanku.blogspot.com%2F2014%2F01%2Fmakalah-
diare.html&usg=AFQjCNG2H2GQINO-p0UFBEfIRKYNtRsBoQ&sig2=OG_ViA6lDYY7-
doAsQhxIg

https://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=9&cad=rja&uact=8
&ved=0ahUKEwiJ4JDXsMDLAhWSCo4KHWkPAWUQFghQMAg&url=http%3A%2F%2
Fdiyahhalsyah.blogspot.com%2F2015%2F03%2Fmakalah-penanggulangan-diare-pada-
balita.html&usg=AFQjCNFiHkDsU57CEw2dcdcrmppiO3XSnw&sig2=Gy-MeW-
P21ox2cH6dkn8RQ

MAKALAH KEPERAWATAN TENTANG JAMBAN SEHAT

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah dalam

sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam tataran undang-

undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang (RUU) tentang Air Limbah

Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau apapun nama lainnya akan terwadahi

secara formal dalam sistem regulasi di Indonesia.

Di dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum nomor 16/2008 tentang Kebijakan dan Strategi

Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Air Limbah Permukiman tidak disebutkan adanya istilah

jamban. Namun di dalam Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah nomor 534/2001

tentang Pedoman Standar Pelayanan Minimal disebutkan adanya sarana sanitasi individual dan

komunal berupa jamban beserta MCK-nya. Lebih jauh lagi di dalam Buku Panduan Penyehatan
Lingkungan Permukiman untuk RPIJM 2007 disebutkan adanya pengumpulan data primer tentang

jamban keluarga. Di dalam Petunjuk Teknis Tata Cara Pembuatan Bangunan Jamban Keluarga dan

Sekolah 1998 dari Departemen Pekerjaan Umum, disebutkan bahwa jamban mencakup bangunan

atas yang antara lain terdiri: plat jongkok, leher angsa, lantai, dinding, dll, tetapi tidak termasuk

bangunan bawahnya.

Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor 852/2008 tentang Strategi Nasional Sanitasi Total

Berbasis Masyarakat disebutkan bahwa jamban sehat adalah fasilitas pembuangan tinja yang efektif

untuk memutuskan mata rantai penularan penyakit. Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan nomor

715/2003 tentang Persyarakan Hygiene Sanitasi Jasaboga disebutkan bahwa usaha jasaboga harus

menyediakan WC Umum dengan fasilitas jamban dan peturasan sesuai dengan jumlah karyawannya.

Cukup menarik karena disebutkan di dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor

24/2007 tentang Standar Sarana dan Prasarana untuk Sekolah disebutkan adanya fasilitas jamban

yang harus disediakan sekolah sebagai tempat untuk buang air besar dan/atau air kecil. Jamban

harus mempunyai dinding, atap, dst yang disediakan untuk peserta didik pria, wanita, dan guru.

Lebih menarik lagi adalah Standar Toilet Umum Indonesia dari Kementerian Negara Kebudayaan dan

Pariwisata tahun 2004 yang justru tidak menyebutkan sama sekali istilah jamban dan menggantinya

dengan ruang buang air besar (WC) dan ruang buang air kecil (urinal). Toilet dalam hal ini mencakup

pembuangan dan pengolahan limbahnya, baik secara setempat (on-site) ataupun terpusat (off-site).

Tidak kalah menariknya adalah istilah tempat buang air besar (bukan jamban) yang digunakan oleh

Badan Pusat Statistik di dalam Survei Sosial Ekonomi Nasional (SUSENAS) guna mendapatkan

informasi tentang kepemilikan dan kualitas fasilitas BAB tersebut.

Adanya ketidaksamaan istilah tentang jamban ini tentu saja tidak akan mengganggu proses

masyarakat untuk membuang hajatnya. Namun ketidak seragaman istilah ini sangat

menggambarkan ketidakseriusan penanganan sanitasi di lapangan. Buruknya pelayanan publik

tentang sanitasi ini dapat dilihat dari hasil SUSENAS itu sendiri. Kepemilikan tempat buang air besar
secara nasional menurut SUSENAS 2007 baru 59,86%. Dari 59,86% itupun yang mempunya kloset

tipe leher angsa-pun baru 71,5%. Di dalam laporan tersebut tidak disebutkan bagaimana sebenarnya

kualitas dari tempat buang air besar yang ada di lapangan. Dari 59,86% itupun baru 49,13% yang

memiliki tangki septik. Lagi-lagi tidak disebutkan bagaimana pula sebenarnya kualitas dari tangki

septik yang ada di lapangan. Apalagi menurut Laporan Indonesian Sanitation Sector Development

Program (ISSDP, 2004) disebutkan bahwa masyarakat Indonesia yang masih melakukan buang air

besar sembarangan masih lebih dari 40%. PBB pun menyebutkan kalau masih ada lebih dari 2,6

milyar orang di dunia yang tidak punya akses sanitasi yang memadai (PBB, 2004). Berbagai informasi

ini tentu saja menggambarkan bagaimana sebenarnya buruknya pelayanan publik untuk sanitasi.

Untuk itu tidak saja harus dibuat keseragaman pengertian tentang jamban atau apapun tentang

kesepakatan namanya, tetapi juga harus adanya sosialisasi dan kesepakatan yang jelas tentang ini

agar kerugian yang hingga Rp 56 trilyun/tahun karena sanitasi yang buruk ini dapat segera

diselesaikan.

Di Indonesia, penduduk pedesaan yang menggunakan air bersih baru mencapai 67,3%. Dari

angka tersebut hanya separuhnya (51,4%) yang memenuhi syarat bakteriologis. Sedangkan

penduduk yang menggunakan jamban sehat (WC) hanya 54%. Itulah sebabnya penyakit diare

sebagai salah satu penyakit yang ditularkan melalui air masih merupakan masalah kesehatan

masyarakat dengan angka kesakitan 374 per 1000 penduduk. Selain itu diare merupakan penyebab

kematian nomor 2 pada Balita dan nomor 3 bagi bayi serta nomor 5 bagi semua umur.

B. Tujuan Penulisan

Tujuan umum

Untuk mengetahui asuhan keperawatan keluarga tentang jamban sehat

Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui konsep dasar jamban sehat

2. Untuk mengetahui konsep keperawatan jamban sehat

BAB II

TINJAUAN KEPUSTAKAAN

A. Pengertian Jamban

Kita berdomisili disuatu wilayah pemukiman, sebut saja wilayah itu setingkat

dengan desa atau kelurahan. Pernahkah kita befikir berapa jumlah rumah di

wilayah kita yang memiliki jamban, dan berapa jumlah rumah yang belum memiliki

jamban. Bila rumah yang memiliki jamban melebihi 80% dari jumlah rumah yang

ada, berarti wilayah tersebut termasuk wilayah yang cukup baik dalam hal

pembuangan kotoran manusia.

Bagi rumah yang belum memiliki jamban, sudah dipastikan mereka mereka itu

mamanfatkan sungai, kebun, kolam, atau tempat lainnya untuk buang air besar

(BAB). Bagi yang telah memiliki jamban bisa dipastikan BAB di jamban. Tapi tidak

selalu begitu , terkadang walaupun memiliki jamban ada sebagian kecil yang masih

BAB di tempat lain, karena alasan tertentu.

B. Kerugian tidak memiliki jamban

Dengan masih adanya masyarakat di sutau wilayah yang BAB sembarangan, maka wilayah

tersebut terancam beberapa penyakit menular yang berbasis lingkungan diantaranya : Penyakit
Cacingan, Cholera (muntaber), Diare, Typus, Disentri, Paratypus, Polio, Hepatitis B dan masih

banyak penyakit lainnya. Semakin besar prosentase yang BAB sembarangan maka ancaman

penyakit itu semakin tinggi itensitasnya. Keadaan ini sama halnya dengan fenomena bom waktu,

yang bisa terjadi ledakan penyakit pada suatu waktu cepat atau lambat.

Sebaiknya semua orang BAB di jamban yang memenuhi syarat, dengan demikian wilayahnya

terbebas dari ancaman penyakit penyakit tersebut. Dengan BAB di jamban banyak penyakit berbasis

lingkungan yang dapat dicegah, tentunya jamban yang memenuhi syarat kesehatan. Kalau

membahas soal jamban maka tentunya harus lengkap dengan sarana Air Bersih untuk menunjang

keberlangsungan pemanfaatan jamban.

C. Kriteria Jamban Sehat

Jamban yang memenuhi syarat kesehatan atau sayarat Sanitasi adalah sebagai berikut :

1. Kotoran tidak dapat dijangkau oleh binatang penular penyakit, seperti : Kecoa, tikus, lalat

dll.

2. Tidak menimbulkan bau

3. Kotoran ditempatkan disuatu tempat, tidak menyebar ke mana mana

4. Tidak mencemari sumber air bersih

5. Tidak menggangu pemandangan/estetika

6. Aman digunakan

Untuk memenuhi syarat no.1 dan 3, maka kotoran ditempatkan di satu tempat, bisa lobang

jamban atau septik tank, ukuran volumenya disesuaikan dengan kebutuhan atau jumlah pemakai.

Untuk memenuhi syarat no 1 dan 2, maka digunakan kloset yang dilengkapi leher angsa, dimana

pada leher angsa akan tergenang air utnuk mencegah bau yang timbul dari lobang jamban atau

septic tank, dan mencegah masuknya binatang binatang seperti lalat, kecoa, nyamuk, tikus dll.
Untuk memenuhi syarat no. 4 , dalam membuat jamban terutama lokasi lobang jamban atau septic

tank atau lobang resapan dibuat sejauh mingkin dari sumber air yang ada misalnya Sumur Gali

dsbnya, atau setidak tidaknya tidak kurang dari 10 meter jarak antara sumur dan lobang jamban.

Sedangkan untuk memenuhi syarat no 5 dan 6 , hendaknya jamban dibuat dari bahan bahan yang

memadai baik kekuatannya maupun konstruksinya dibuat sedemikan rupa agar kelihatan indah dan

rapi.

Jangan lupa pemeliharaan jamban perlu dibiasakan setiap hari, misalnya membersihkan dan

menyikat lantai agar tidak licin, menguras bak air agar terhindar dari penyakit Demam Berdarah

Dengue, siram kloset dengan air secukupnya setelah digunakan, tidak membuang sampah, puntung

rokok, pembalut wanita, air sabun, lisol kedalam kloset.

D. Syarat Membuat Jamban Sehat

Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi zamannya. Dampak BAB sembarangan sangat

buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok, berbagai jenis penyakit ditularkan.

Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban. Hanya saja harus diperhatikan

pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak menimbulkan dampak buruk bagi

lingkungan.

Kementerian Kesehatan telah menetapkan syarat dalam membuat jamban sehat. Ada tujuh

kriteria yang harus diperhatikan. Berikut syarat-syarat tersebut:

1. Tidak mencemari air

Saat menggali tanah untuk lubang kotoran, usahakan agar dasar lubang kotoran tidak

mencapai permukaan air tanah maksimum. Jika keadaan terpaksa, dinding dan dasar lubang kotoran

harus dipadatkan dengan tanah liat atau diplester.

1. Jarang lubang kotoran ke sumur sekurang-kurangnya 10 meter


2. Letak lubang kotoran lebih rendah daripada letak sumur agar air kotor dari lubang

kotoran tidak merembes dan mencemari sumur.

3. Tidak membuang air kotor dan buangan air besar ke dalam selokan, empang, danau,

sungai, dan laut

2. Tidak mencemari tanah permukaan

1. Tidak buang besar di sembarang tempat, seperti kebun, pekarangan, dekat sungai,

dekat mata air, atau pinggir jalan.

2. Jamban yang sudah penuh agar segera disedot untuk dikuras kotorannya, atau

dikuras, kemudian kotoran ditimbun di lubang galian.

3. Bebas dari serangga

1. Jika menggunakan bak air atau penampungan air, sebaiknya dikuras setiap minggu.

Hal ini penting untuk mencegah bersarangnya nyamuk demam berdarah

2. Ruangan dalam jamban harus terang. Bangunan yang gelap dapat menjadi sarang

nyamuk.

3. Lantai jamban diplester rapat agar tidak terdapat celah-celah yang bisa menjadi

sarang kecoa atau serangga lainnya

4. Lantai jamban harus selalu bersih dan kering

5. Lubang jamban, khususnya jamban cemplung, harus tertutup

4. Tidak menimbulkan bau dan nyaman digunakan

1. Jika menggunakan jamban cemplung, lubang jamban harus ditutup setiap selesai

digunakan

2. Jika menggunakan jamban leher angsa, permukaan leher angsa harus tertutup rapat

oleh air
3. Lubang buangan kotoran sebaiknya dilengkapi dengan pipa ventilasi untuk

membuang bau dari dalam lubang kotoran

4. Lantan jamban harus kedap air dan permukaan bowl licin. Pembersihan harus

dilakukan secara periodic

5. Aman digunakan oleh pemakainya

1. Pada tanah yang mudah longsor, perlu ada penguat pada dinding lubang kotoran

dengan pasangan batau atau selongsong anyaman bambu atau bahan penguat lai

yang terdapat di daerah setempat

6. Mudah dibersihkan dan tak menimbulkan gangguan bagi pemakainya

1. Lantai jamban rata dan miring kea rah saluran lubang kotoran

2. Jangan membuang plastic, puntung rokok, atau benda lain ke saluran kotoran

karena dapat menyumbat saluran

3. Jangan mengalirkan air cucian ke saluran atau lubang kotoran karena jamban akan

cepat penuh

4. Hindarkan cara penyambungan aliran dengan sudut mati. Gunakan pipa berdiameter

minimal 4 inci. Letakkan pipa dengan kemiringan minimal 2:100

7. Tidak menimbulkan pandangan yang kurang sopan

1. Jamban harus berdinding dan berpintu

2. Dianjurkan agar bangunan jamban beratap sehingga pemakainya terhindar dari

kehujanan dan kepanasan.

E. Kriteria Jamban Sehat

Jamban Sehat secara prinsip harus mampu memutuskan hubungan antara tinja dan lingkungan.

Sebuah jamban dikatagorikan SEHAT jika :


1. Mencegah kontaminasi ke badan air

2. Mencegah kontak antara manusia dan tinja

3. Membuat tinja tersebut tidak dapat dihinggapi serangga, serta binatang

4. Mencegah bau yang tidak sedap

5. Konstruksi dudukannya dibuat dengan baik & aman bagi pengguna.

Secara konstruksi kriteria diatas dalam prakteknya mempunyai banyak bentuk pilihan,

tergantung jenis material penyusun maupun bentuk konstruksi jamban. Pada prinsipnya bangunan

jamban dibagi menjadi 3 bagian utama, bangunan bagian atas (rumah jamban), bangunan bagian

tengah (slab/dudukan jamban), serta bangunan bagian bawah (penampung tinja).

1. Rumah jamban (bangunan bagian atas)

Bangunan bagian atas bangunan jamban terdiri dari atap, rangka dan dinding. Dalam prakteknya

disesuaikan dengan kondisi masyarakat setempat.

Beberapa pertimbangan pada bagian ini antara lain :

- Sirkulasi udara yang cukup

- Bangunan mampu menghindarkan pengguna terlihat dari luar

- Bangunan dapat meminimalkan gangguan cuaca (baik musim panas maupun musim hujan)

- Kemudahan akses di malam hari- Disarankan untuk menggunakan bahan local

- Ketersediaan fasilitas penampungan air dan tempat sabun untuk cuci tangan

2. Slab / dudukan jamban (bangunan bagian tengah)


Slab berfungsi sebagai penutup sumur tinja (pit) dan dilengkapi dengan tempat berpijak.

Pada jamban cemplung slab dilengkapi dengan penutup, sedangkan pada kondisi jamban berbentuk

bowl (leher angsa) fungsi penutup ini digantikan oleh keberadaan air yang secara otomatis tertinggal

di didalamnya. Slab dibuat dari bahan yang cukup kuat untuk menopang penggunanya. Bahan-bahan

yang digunakan harus tahan lama dan mudah dibersihkan seperti kayu, beton, bambu dengan tanah

liat, pasangan bata, dan sebagainya. Selain slab, pada bagian ini juga dilengkapi dengan abu atau air.

Penaburan sedikit abu ke dalam sumur tinja (pit) setelah digunakan akan mengurangi bau dan

kelembaban, dan membuatnya tidak menarik bagi lalat untuk berkembang biak. Sedangkan air dan

sabun digunakan untuk cuci tangan.

Pertimbangan untuk bangunan bagian tengah:

- Terdapat penutup pada lubang sebagai pelindung terhadap gangguan serangga atau binatang lain.

- Dudukan jamban dibuat harus mempertimbangkan faktor keamanan (menghindari licin, runtuh,

atau terperosok).

- Bangunan dapat menghindarkan/melindungi dari kemungkinan timbulnya bau.

- Mudah dibersihkan dan tersedia ventilasi udara yang cukup.

3. Penampung tinja (bangunan bagian bawah)

Penampung tinja adalah lubang di bawah tanah, dapat berbentuk persegi, lingkaran, bundar

atau yang lainnya. Kedalaman tergantung pada kondisi tanah dan permukaan air tanah di musim

hujan. Pada tanah yang kurang stabil, penampung tinja harus dilapisi seluruhnya atau sebagian

dengan bahan penguat seperti anyaman bambu, batu bata, ring beton, dan lain – lain.
Pertimbangan untuk bangunan bagian bawah antara lain:

- Daya resap tanah (jenis tanah)

- Kepadatan penduduk (ketersediaan lahan

- Ketinggian muka air tanah

- Jenis bangunan, jarak bangunan dan kemiringan letak bangunan terhadap sumber air minum (lebih

baik diatas 10 m)

- Umur pakai (kemungkinan pengurasan, kedalaman lubang/kapasitas)

- Diutamakan dapat menggunakan bahan local

- Bangunan yang permanen dilengkapi dengan manhole

Pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sangat berpengaruh pada penyebaran

penyakit berbasis lingkungan, sehingga untuk memutuskan rantai penularan ini harus dilakukan

rekayasa pada akses ini. Agar usaha tersebut berhasil, akses masyarakat pada jamban (sehat) harus

mencapai 100% pada seluruh komunitas. Keadaan ini kemudian lebih dikenal dengan istilah Open

Defecation Free (ODF).

Suatu masyarakat disebut ODF jika :

- Semua masyarakat telah BAB (Buang Air Besar) hanya di jamban yang sehat dan membuang tinja/

kotoran bayi hanya ke jamban yang sehat (termasuk di sekolah)

- Tidak terlihat tinja manusia di lingkungan sekitar


- Ada penerapan sanksi, peraturan atau upaya lain oleh masyarakat untuk mencegah kejadian BAB di

sembarang tempat

- Ada mekanisme monitoring umum yang dibuat masyarakat untuk mencapai 100% KK mempunyai

jamban sehat

- Ada upaya atau strategi yang jelas untuk dapat mencapai Total Sanitasi

Suatu komunitas yang sudah mencapai status Bebas dari Buang Air Besar Sembarangan,

pada tahap pasca ODFdiharapkan akan mencapai tahap yang disebut Sanitasi Total. Sanitasi Total

akan dicapai jika semua masyarakat di suatu komunitas, telah:

- Mempunyai akses dan menggunakan jamban sehat

- Mencuci tangan pakai sabun dan benar saat sebelum makan, setelah BAB, sebelum memegang

bayi, setelah menceboki anak dan sebelum menyiapkan makanan

- Mengelola dan menyimpan air minum dan makanan yang aman

- Mengelola limbah rumah tangga (cair dan padat).

Untuk menentukan suatu komunitas telah mencapai status ODF, dilakukan dengan proses

verifikasi.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Hingga saat ini belum dijumpai adanya definisi jamban di tingkat peraturan pemerintah dalam

sistem perundangan di Indonesia. Dengan demikian tidak ada pula istilah itu dalam tataran undang-

undang. Bisa jadi dengan akan dirampungkannya rencana undang-undang (RUU) tentang Air Limbah

Permukiman maka definisi jamban, kakus, WC, toilet, atau apapun nama lainnya akan terwadahi

secara formal dalam sistem regulasi di Indonesia. Buang air besar (BAB) sembarangan bukan lagi

zamannya. Dampak BAB sembarangan sangat buruk bagi kesehatan dan keindahan. Selain jorok,

berbagai jenis penyakit ditularkan. Sebagai gantinya, BAB harus pada tempatnya yakni di jamban.

Hanya saja harus diperhatikan pembangunan jamban tersebut agar tetap sehat dan tidak

menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan.

B. Saran
1. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi yang pembaca, terutama mahasiswa

keperawatan

2. Semoga dapat menjadi bahan acuan pembelajaran bagi mahasiswa keperawatan.

3. semoga makalah ini dapat menjadi pokok bahasan dalam berbagai diskusi dan forum

terbuka.

DAFTAR PUSTAKA

http://www.cwasta.org/index.php?option=com_content&view=article&id=59:definisi-jamban-
sehat&catid=2:berita&Itemid=35

http://stbm-indonesia.org/index.php?r=sanitasipedia&cat=51&id=428

http://environmentalsanitation.wordpress.com/2010/07/20/jamban-sehat/

http://abahjack.com/jamban.html#more-463

Read more: http://aneka-wacana.blogspot.com/2012/02/makalah-keperawatan-tentang-jamban-


sehat.html#ixzz5CzKWeM97

Anda mungkin juga menyukai