Anda di halaman 1dari 16

PENYEDIAAN AIR MINUM PASCA BENCANA

Anggun Prima Gilang Rupaka

MAGISTER ILMU LINGKUNGAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2012
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sumber daya air adalah air (termasuk air permukaan, air tanah, air hujan, dan air

laut yang berada di darat), sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya.

Sumber air adalah tempat atau wadah air alami dan/atau buatan yang terdapat pada, di

atas, ataupun di bawah permukaan tanah. Air yang terdapat pada permukaan tanah

disebut air permukaan, sedangkan air yang terdapat dalam lapisan tanah atau batuan di

bawah permukaan tanah disebut air tanah, yang termasuk sumber air permukaan antara

lain sungai, danau, rawa, situ, embung, ranu, waduk, telaga, dan mata air (spring water).

Sedangkan air tanah secara alami terdapat dalam cekungan air tanah.

Kebutuhan air bersih merupakan hak hidup paling mendasar bagi umat manusia.

Oleh karenanya, penyediaan air bersih menjadi tolok ukur keberhasilan suatu Negara

dalam melindungi hak-hak warganya. Namun pada kenyataannya sikap tanggap dalam

menyikapi suatu kejadian atau bencana alam oleh Pemerintah Indonesia menjadi

permasalahan tersendiri. Air bersih menjadi salah satu kebutuhan yang mendasar bagi

kehidupan manusia. Menurut Masrivel (2011), Air bersih yang memenuhi standar atau

persyaratan kesehatan adalah air minum yang tidak berbau, berwarna dan berasa serta

memenuhi baku mutu yang dipersyaratkan menurut PERMENKES RI No.

492/MEN.KES/PER/IV/2010 tentang Persyaratan Kualitas Air Minum. Berikut adalah

pesyarataan kualiatas air minum berdasarkan keputusan tesebut.


Pada bencana tsunami yang menerpa Aceh pada tahun 2004, air permukaan di

daerah pasca bencana di kota atau kabupaten di Provinsi Nangroe Aceh Darussalam, pada

umumnya memiliki karakteristik berwarna coklat sampai kehitaman, keruh, dan berbau.

Air baku tersebut pada dasarnya tidak memenuhi syarat untuk dijadikan air baku air

minum Dibandingkan dengan air permukaan lainnya yang bersifat tawar, maka air di

daerah pasca bencana tsunami perlu diolah secara spesifik dengan menambah tahapan

dalam proses pengolahannya (Ignasius, 2009). Demikian juga saat terjadi bencana gempa

pengungsi kesulitan mendapatkan air bersih karena jaringan air bersih PDAM terputus,

juga sumur penduduk tertutup runtuhan gempa. Pada paska gempapun perlu waktu untuk

mendapatkan air bersih dari PDAM karena diperlukan perbaikan jaringan distribusi

maupun sarana instalasi pengolahan air bersih PDAM.

Demikian pula pada saat banjir, penduduk kesulitan mendapatkan air bersih, baik

bagi penduduk yang tidak mau meninggalkan permukiman, maupun yang mengungsi

ketempat lain. Sumur gali maupun sumur pompa terendam genangan banjir dalam

beberapa hari, selain itu di tempat pengungsian tidak tersedia sarana air bersih maupun

sanitasi yang memadai. Pada pasca banjir sumur gali ataupun sumur pompa tercemar baik

secara kimia maupun bakteriologi (Ratna dan Ridwan, 2011).

B. Permasalahan

Pada daerah bencana, khususnya bencana gempa, tsunami dan banjir, kebutuhan

utama yang sulit dicari adalah air. Hal itu disebabkan karena terputusnya saluran PDAM,

tergenangnya sumber air oleh banjir dan rusaknya sarana dan prasarana jalan untuk

mendistribusikan air bersih ke daerah bencana. Selain untuk keperluar air minum, air
bersih juga digunakan untuk sanitasi. Kebersihan fasilitas sanitasi dapat menghindari para

pengungsi terkena penyakit seperti disentri, tifus dan penyakit kulit.

Oleh karenanya, penyediaan air layak minum sangat mutlak diperlukan di daerah

yang terkena bencana alam. Penyediaan dapat dilakukan dengan fasilitas filtrasi air yang

ada disekitar wilayah atau dapat juga dengan mobile unit yaitu unit pengolahan air yang

dapat dipindahkan kemana saja.


BAB II

PEMBAHASAN

A. Penyediaan Air Bersih

Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (KESDM) selaku institusi

Pemerintah yang berwenang dalam pembinaan pengelolaan air tanah nasional,

bertanggung jawab dalam menjamin ketersediaan air tanah bagi pemenuhan kebutuhan

pokok masyarakat. Berdasarkan data BPS 2005, sumber air minum masyarakat di

Indonesia 59 % berasal dari sumur. Secara langsung, KESDM berkewajiban menjamin

ketersediaan air untuk memenuhi kebutuhan pokok bagi 59 % masyarakat di Indonesia

tersebut. Sampai dengan saat ini Pemerintah melalui KESDM c.q. Badan Geologi telah

melaksanakan kegiatan penyediaan air bersih di daerah-daerah sulit air melalui pemboran

air tanah dari tahun 2005 sampai dengan 2011 sebanyak 676 titik pemboran yang dengan

jumlah penduduk terlayani : ± 1,2 juta jiwa/hari.

Produk kegiatan di bidang air tanah digunakan oleh Kementerian Energi dan

Sumber Daya Mineral, Pekerjaan Umum, Pertanian, Lingkungan Hidup, dan

Kementerian lainnya, Lembaga Pemerintah non-Kementerian serta industri. Paradigma

pengelolaan air tanah untuk masa mendatang harus berbasis groundwater basin atau

cekungan air tanah (CAT) serta berpedoman pada prinsip pemanfaatan air tanah

berkelanjutan dan berwawasan lingkungan untuk meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Seiring dengan peningkatan pembangunan di segala sektor, terjadi pula

peningkatan kebutuhan air bersih terutama yang berasal dari air tanah untuk berbagai

keperluan yang menyebabkan ketidakseimbangan antara ketersediaan dengan kebutuhan


air sehingga perlu dikelola dengan memperhatikan fungsi sosial, lingkungan hidup dan

ekonomi secara selaras.

CAT di Indonesia secara umum dibedakan menjadi dua buah yaitu CAT bebas

(unconfined aquifer) dan CAT tertekan (confined aquifer). CAT ni tersebar di seluruh

wilayah Indonesia dengan total besarnya potensi masing-masing CAT adalah: (i) CAT

Bebas: Potensi 1.165.971 juta m3/tahun; (ii) CAT Tertekan:Potensi 35.325 juta m3/tahun.

Perubahan iklim akibat pemanasan global telah berdampak pada kenaikan suhu

permukaan bumi, perubahan pola curah hujan, peningkatan intensitas dan frekuensi

kejadian iklim ekstrim serta kenaikan muka air laut, menyebabkan perubahan

keseimbangan neraca air tanah yang pada akhirnya menimbulkan terjadinya banjir pada

musim penghujan dan kekeringan pada musim kemarau.

C. Pemenuhan Kebutuhan Air Minum dan Sanitasi di Daerah Terkena Bencana Alam

Bencana selalu menimbulkan permasalahan. Salah satunya bidang kesehatan.

Timbulnya masalah ini berawal dari kurangnya air bersih yang berakibat pada buruknya

kebersihan diri dan sanitasi lingkungan. Akibatnya berbagai jenis penyakit menular

muncul.

Penanggulangan masalah kesehatan merupakan kegiatan yang harus segera

diberikan baik saat terjadi dan pasca bencana disertai pengungsian. Saat ini sudah ada

standar minimal dalam penanggulangan masalah kesehatan akibat bencana dan penganan

pengungsi. Standar ini mengacu pada standar internasional. Kendati begitu di lapangan,

para pelaksana tetap diberi keleluasaan untuk melakukan penyesuaian sesuai kondisi

keadaan di lapangan.
Beberapa standar minimal yang harus dipenuhi dalam menangani korban bencana

khususnya di pengungsian dalam hal lingkungan adalah:

1. Pengadaan Air Dalam situasi bencana mungkin saja air untuk keperluan minumpun

tidak cukup, dan dalam hal ini pengadaan air yang layak dikunsumsi menjadi paling

mendesak. Namun biasanya problema–problema kesehatan yang berkaitan dengan air

muncul akibat kurangnya persediaan dan akibat kondisi air yang sudah tercemar

sampai tingkat tertentu.

Tolok ukur kunci:

a. Persediaan air harus cukup untuk memberi sedikit–dikitnya 15 liter per orang

per hari

b. Volume aliran air ditiap sumber sedikitnya 0,125 liter perdetik.

c. Jarak pemukiman terjauh dari sumber air tidak lebih dari 500 meter

d. 1 (satu) kran air untuk 80 – 100 orang.

2. Kualitas Air Air di sumber–sumber harus layak diminum dan cukup volumenya untuk

keperluan keperluan dasar (minum, memasak, menjaga kebersihan pribadi dan rumah

tangga) tanpa menyebabakan timbulnya risiko–risiko besar terhadap kesehatan akibat

penyakit–penyakit maupun pencemaran kimiawi atu radiologis dari penggunaan

jangka pendek. Tolok ukur kunci ;

a. Di sumber air yang tidak terdisinvektan (belum bebas kuman), kandungan

bakteri dari pencemaran kotoran manusia tidak lebih dari 10 coliform per 100

mili liter

b. Hasil penelitian kebersihan menunjukkan bahwa resiko pencemaran semacam

itu sangat rendah.


c. Untuk air yang disalurkan melalui pipa–pipa kepada penduduk yang

jumlahnya lebih dari 10.000 orang, atau bagi semua pasokan air pada waktu

ada resiko atau sudah ada kejadian perjangkitan penyakit diare, air harus

didisinfektan lebih dahulu sebelum digunakan sehingga mencapai standar

yang bias diterima (yakni residu klorin pada kran air 0,2–0,5 miligram perliter

dan kejenuhan dibawah 5 NTU)

d. Konduksi tidak lebih dari 2000 jS / cm dan airnya biasa diminum

e. Tidak terdapat dampak negatif yang signifikan terhadap kesehatan pengguna

air, akibat pencemaran kimiawi atau radiologis dari pemakaian jangka pendek,

atau dari pemakain air dari sumbernya dalam jangka waktu yang telah

direncanakan, menurut penelitian yang juga meliputi penelitian tentang kadar

endapan bahan–bahan kimiawi yang digunakan untuk mengetes air itu sendiri.

Sedangkan menurut penilaian situasi nampak tidak ada peluang yang cukup

besar untuk terjadinya masalah kesehatan akibat konsumsi air itu.

3. Prasarana dan Perlengkapan

Tolok ukur kunci :

a. Setiap keluarga mempunyai dua alat pengambil air yang berkapasitas 10–20

liter, dan tempat penyimpan air berkapasitas 20 liter. Alat–alat ini sebaiknya

berbentuk wadah yang berleher sempit dan/bertutup

b. Setiap orang mendapat sabun ukuran 250 gram per bulan.

c. Bila kamar mandi umum harus disediakan, maka prasarana ini harus cukup

banyak untuk semua orang yang mandi secara teratur setiap hari pada jam–
jam tertentu. Pisahkan petak–petak untuk perempuan dari yang untuk laki–

laki.

d. Bila harus ada prasarana pencucian pakaian dan peralatan rumah tangga untuk

umum, satu bak air paling banyak dipakai oleh 100 orang.

4. Pembuangan Kotoran Manusia Masyarakat korban bencana harus memiliki jumlah

jamban yang cukup dan jaraknya tidak jauh dari pemukiman mereka, supaya bisa

diakses secara mudah dan cepat kapan saja diperlukan, siang ataupun malam

Tolok ukur kunci :

a. Tiap jamban digunakan paling banyak 20 orang

b. Penggunaan jamban diatur perumah tangga dan/menurut pembedaan jenis

kelamin (misalnya jamban persekian KK atau jamban laki –laki dan jamban

perempuan)

c. Jarak jamban tidak lebih dari 50 meter dari pemukiman (rumah atau barak di

kamp pengungsian). Atau bila dihitung dalam jam perjalanan ke jamban

hanya memakan waktu tidak lebih dari 1 menit saja dengan berjalan kaki.

d. Jamban umum tersedia di tempat–tempat seperti pasar, titik–titik pembagian

sembako, pusat – pusat layanan kesehatan dsb. Letak jamban dan penampung

kotoran harus sekurang–kurangnya berjarak 30 meter dari sumber air bawah

tanah. Dasar penampung kotoran sedikitnya 1,5 meter di atas air tanah.

Pembuangan limbah cair dari jamban tidak merembes ke sumber air mana

pun, baik sumur maupun mata air, suangai, dan sebagainya

e. 1 (satu) Latrin/jaga untuk 6–10 orang.

5. Pengelolaan Limbah Padat


Pengumpulan dan Pembuangan Limbah Padat

Masyarakat harus memiliki lingkungan yang cukup bebas dari pencemaran akibat

limbah padat, termasuk limbah medis.

a. Sampah rumah tangga dibuang dari pemukiman atau dikubur di sana sebelum

sempat menimbulkan ancaman bagi kesehatan.

b. Tidak terdapat limbah medis yang tercemar atau berbahaya (jarum suntik bekas

pakai, perban–perban kotor, obat–obatan kadaluarsa,dsb) di daerah pemukiman

atau tempat–tempat umum.

c. Dalam batas–batas lokasi setiap pusat pelayanan kesehatan, terdapat tempat

pembakaran limbah padat yang dirancang, dibangun, dan dioperasikan secara

benar dan aman, dengan lubang abu yang dalam.

d. Terdapat lubang–lubang sampah, keranjang/tong sampah, atau tempat–tempat

khusus untukmembuang sampah di pasar–pasar dan pejagalan, dengan system

pengumpulan sampah secara harian.

e. Tempat pembuangan akhir untuk sampah padat berada dilokasi tertentu

sedemikian rupa sehingga problema–problema kesehatan dan lingkungan hidup

dapat terhindarkan.

f. 2 (dua) drum sampah untuk 80 – 100 orang

Tempat/Lubang Sampah Padat

Masyarakat memiliki cara – cara untuk membuang limbah rumah tangga sehari –hari

secara nyaman dan efektif.

Tolok ukur kunci :


a. Tidak ada satupun rumah/barak yang letaknya lebih dari 15 meter dari sebuah bak

sampah atau lubang sampah keluarga, atau lebih dari 100 meter jaraknya dar

lubang sampah umum.

b. Tersedia satu wadah sampah berkapasitas 100 liter per 10 keluarga bila limbah

rumah tangga sehari–hari tidak dikubur ditempat.

6. Pengelolaan Limbah Cair

Sistem Pengeringan

Masyarakat memiliki lingkungan hidup sehari –hari yang cukup bebas dari risiko

pengikisan tanah dan genangan air, termasuk air hujan, air luapan dari sumber–

sumber, limbah cair rumah tangga, dan limbah cair dari prasarana–prasarana medis.

Hal–hal berikut dapat dipakai sebagai ukuran untuk melihat keberhasilan pengelolaan

limbah cair :

a. Tidak terdapat air yang menggenang disekitar titik–titik pengambilan/sumber air

untuk keperluan sehari–hari, didalam maupun di sekitar tempat pemukiman Air

hujan dan luapan air/banjir langsung mengalir malalui saluran pembuangan air.

b. Tempat tinggal, jalan – jalan setapak, serta prasana – prasana pengadaan air dan

sanitasi tidak tergenang air, juga tidak terkikis oleh air. (Sumber: Kepmenkes No.

1357 /Menkes/SK/XII/2001).

D. Bencana Gempa dan Tsunami Aceh

Gempa dan tsunami yang melanda Aceh pada tahun 2004 telah menimbulkan

banyak korban jiwa dan merusak berbagai fasilitas. Salah satu fasilitas yang terkena

dampak tsunami tersebut adalah sarana penyediaan air bersih, rusaknya bangunan dan

matinya sarana telekomunikasi. Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah membagi tiga
tahapan program. Pertama, Tahap Tanggap Darurat. Pada tahap tanggap darurat berbagai

permasalahan yang menyangkut berbagai sektor mulai dari pembersihan lokasi dari

puing-puing, pencarian dan pengangkatan mayar korban, penyelamatan korban yang

masih hidup dan lainnya.

Salah satu bantuan darurat yang perlu diperhatilan terutama bagi korban yang

selamat adalah kebutuhan akan air bersih dan penyehatan lingkungan (AMPL). Kegiatan

pemenuhan AMPL ini akan dilaksanakan pada tahap yang kedua, yaitu Tahap

Konstruksi. Kendala dana menjadi hambatan bagi pemerintah Indonesia untuk

melaksanakan tahap tersebut, maka dari itu Pemerintah Australia menawarkan bantuan

dengan mengirim Australia Defence Force nya untuk memberikan bantuan kepada

korban dalam penyediaan air bersih yang dapat langsung diminum (potable).

Sebanyak sepuluh teknisi dari Australian Army dan Royal Australian Force

mendirikan bangunan pengolakah air di Banda Aceh dengan kapasitas 20.000 L/jam atau

5,56 L/detik. Fasilitas tersebut dapat beroperasi 16 jam sehari sehinggal dapat tersedia air

sebanyak 320.000 L/hari. Jika diasumsikan kebutuhan air tiap orang adalah 100

L/hari/orang maka dengan kapasitas tersebut dapat melayani sebanyak 3200 orang. Untuk

meratakan distribusi air maka tiap korban mendapatkan jatah air bersih tersebut sebanyak

1 jerigen kapasitas 10 L.

Air minum hasil olahan fasilitas bantuan dari Australia tersebut sangat bisa

diandalkan karena dapat langsung diminum. Seperti yang telah diketahui sumber air di

Banda Aceh telah terkontaminasi sejak terjadinya tsunami yang bercamput dengan air

laut dan lumpur. Kebutuhan air bersih sangatlah dibutuhkan untuk menghindari

penyebaran penyakit yang lebih besar.


E. Pengolahan Air Bersih Mobile

Mobile unit adalah suatu instalasi pengolahan air bersih dengan system mobile

dengan kapasitas 0,5 liter / detik. Sistem pengolahan ini dapat dipindah – pindahkan yang

terdiri dari: Kendaraan mini truk, Unit pengolahan dan Generator set (genset). Ketiga

komponen tersebut merupakan satu kesatuan.

Alat pengolahan air minum portabel ini bermanfaat untuk menyediakan air bersih

di daerah yang sulit dijangkau oleh system perpipaan PDAM, permukaan terpencil dan

terpisah-pisah, rawan air bersih dan pasca bencana alam. Proses pengolahan instalasi

mobile unit air bersih ini dirancang sedemikian rupa sehingga merupakan satu sistem

pengolahan lengkap yang dapat mengolah berbagai variasi kualitas air baku. Kapasitas

instalasi pengolahan air bersih system mobile ini adalah 0,5 liter / detik yang dapat

memenuhi kebutuhan masak dan minum bagi 500 orang

Instalasi pengolahan diletakan di atas mobil truk mini dengan perlengkapan

sebagai berikutL:

1. 1 buah pompa intake

2. 5 buah pompa kimia

3. 5 buah tanki atau bak kimia

4. 1 buah diesel generator set ( genset ) dengan daya 1,4 KWH

5. 1 unit panel listrik

6. 1 unit pengaduk cepat

7. 1 unit pengaduk lambat terdiri dari 6 tabung aliran dari atas ke bawah

8. 1 unit bak pengendap yang dilengkapi dengan pelat pengendapan

9. 1 buat pompa untuk filer bertekanan dan distribusi


10. 1 buah tanki penyaring

11. 2 buah tanki penukar ion ( kation dan anion )

Dimensi pengolah:

1. Tinggi : 1600 mm

2. Lebar : 1300 mm

3. Panjang : 1700 mm

Pompa filter bertekanan

1. Jenis pompa celup

2. Kapasitas 35 Liter / menit

3. Toatal head 4 meter

4. Tenaga listrik 50 Watt


BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemenuhan kebutuhan air bersih dan layak minum di daerah bencana

merupakan hal yang pertama dilakukan dalam tahap tanggap bencana. Hal itu

termasuk pembangunan kawasan pengungsian, sanitasi dan pusat pengobatan. Gempa

bumi, tsunami, banjir, tanah longsor, kebakaran hutan dan lain-lain merupakan

bencana alam yang mengakibatkan dampak yang ditimbulkan sangat dirasakan oleh

masyarakat setempat dan mempengaruhi tingkat kehidupan dan kesehatan

masyarakat, serta menimbulkan permasalahan yang sangat kompleks, musnahnya

atau rusaknya sarana prasarana air minum.Tidak memadainya pasokan air

menyebabkan penularan penyakit yang menular melalui jalur kotoran dan mulut

manusia seperti penyakit diare dan penyakit-penyakit lain yang berkembang-biak. Hal

ini diperburuk kondisi kebersihan, serta pencemaran pasokan-pasokan air.

B. Saran

Situasi darurat bencana alam merupakan situasi yang membutuhkan kesiagaan

dan kesiapan berbagai elemen dalam suatu negara. Bila berkaca pada 2004 dimana

Indonesia belum mampu mengatasi situasi darurat seperti pengolahan air bersih untuk

para pengungsi maka Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan

Basarnas diharapkan dapat bergerak cepat dalam mengatasi bencana.


BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

Ignasius D.A. Sutapa. 2009. Studi Proses Koagulasi Air Baku Untuk Air Bersih di

Wilayah Bencana Pasca Tsunami Kabupaten Aceh Besar. Jurnal Teknik Kimia

Indonesia. LIPI, Bogor.

Ratna Hidayat dan Ridwan Budi Raharjo. 2011. Penanganan Air Bersih Pengungsi

Bencana Gempa dan Banjir. Kolokium Hasil Penelitian dan Pengambangan

Sumberdaya Air, Bandung.

Masrivel Saragih. 2011. Teknologi Tepat Guna Sebagai Penyediaan Air Bersih di

Daerah Bencana Banjir. Tesis. ITS, Surabaya.

Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (AMPL) . Sumber:

http://sanitasi.or.id/index.php?option=com_content&view=article&id=157:standa-

minimal-penyediaan-air-bersih-dan-sanitasi-di-daerah-bencana& catid=55:berita

&Itemid=125.

Departemen Pekerjaan Umum. Sumber: http://www.pu.go.id/publik/ind/produk/kajian/

permukiman/pengolah_air_bersih.pdf

Anda mungkin juga menyukai