Anda di halaman 1dari 5

Petualangan Usman Si Anak Kampuang

Oleh: Harsa permata

Usman si remaja tanggung mengambil sepedanya di garasi, di dalam sana ada mobil
Datsun tua dengan cat merah marun yang sudah agak pudar. Sekarang Usman sudah kelas 3
SMP, setiap harinya, selepas sekolah, ia dan teman-temannya, biasanya berkumpul di belakang
gedung balaikota. Di sana mereka menghabiskan sebungkus rokok bersama-sama.
Sebagai remaja tanggung, pada kelas 3 inilah, Usman dan kawan-kawan sedang dalam
masa ingin mencoba semuanya. Rokok, kopi kampuang, kopi Brazil, yang terakhir kebetulan
adalah produk tiruan, maklum di kota kecil seperti Kampuang, untuk mencari kopi impor asli
dengan harga murah cukup sulit. Kalau beruntung, Usman dan kawan-kawan biasanya dapat
rokok impor selundupan dari Batam, yang entah bagaimana, bisa ada di kios-kios sekitar pasar
dan terminal di pusat Kota Kampuang itu.
Biasanya yang disuruh membeli kopi Brazil, adalah yang bertampang tua, atau berbadan
paling besar. Usman karena badannya bongsor, adalah yang paling sering disuruh beli kopi
impor tersebut. Awalnya, ia sempat ditolak oleh beberapa penjaga kios, karena ekspresinya
kurang meyakinkan. Akan tetapi, setelah beberapa kali memperhatikan teman-temannya
membeli dengan wajah yakin dan sok dewasa, Usman pun selalu sukses membeli kopi - kopi
impor itu.
Seperti halnya anak Kampuang, yang baru beranjak dewasa, Usman juga tergabung
dalam beberapa geng remaja. Sebenarnya bukan geng dalam makna sebenarnya, seperti di kota-
kota besar, karena Kampuang ini hanya kota kecil semi kampung, geng-geng tersebut hanya jadi
ajang kumpul-kumpul belaka. Tak ada perkelahian antar geng yang brutal, seperti di Jakarta, atau
di kota-kota lainnya. Terkadang memang ada perkelahian, tetapi tidak sering. Tak ada korban
yang jatuh, atau meninggal dunia, paling-paling hanya luka bacokan, atau kepalanya bocor
terkena lemparan batu. Perkelahian hanya terjadi antar beberapa geng saja, dan biasanya pasca
perkelahian, geng yang bersangkutan dibubarkan, oleh kepala sekolah, atau Kapolres (Kepala
Kepolisian Resor), jika anggota geng tersebut berasal dari beberapa sekolah yang berbeda.
Usman biasanya sering jalan dengan salah satu geng tanpa nama, anggotanya hanya tiga,
yaitu Usman, Ali, dan Zaid. Mereka selalu berkumpul setiap malam minggu. Setelah membeli
beberapa gelas kopi Brazil, biasanya cuma dua gelas paling banyak, mereka lalu menuju
rumahnya Ali. Di sana mereka meminum habis teh talua dan kopi Brazil campur susu kental
manis itu. Ketika sudah merasa agak “melek”, mereka naik ke atas atap rumah Ali.
Ali memiliki salah satu ruangan di atas atap rumahnya yang berbentuk dak. Di atas
ruangan itulah mereka bernyanyi dan bergitar-gitar, membayangkan diri sebagai personel Soneta,
grup musik yang digawangi Bang Rhoma Irama.
Yang bertugas memainkan gitar, adalah si jago gitar, Zaid. Dengan rambut kriting, ia
adalah seorang gitaris yang cukup handal. Konon kabarnya, ia dipaksa belajar gitar oleh ibunya
yang juga merupakan gitaris hebat. Ibunya yang mengajari semua anak-anaknya, yang tiga orang
itu.
Kegilaan tiga orang dalam geng tanpa nama ini berlangsung selama kurang lebih satu
tahun. Ketika ketiganya sudah menginjak kelas satu SMA (Sekolah Menengah Atas),
persahabatan mereka mulai renggang.
Usman berada di kelas 1-7, SMA 1 di Kampuang, karena nilai EBTANAS (Evaluasi
Belajar Tahap Akhir Nasional), yang diperolehnya, membuat dia berada di kelas unggulan kedua
di SMA 1. Kelas unggulan pertama adalah kelas 1-8, di kelas ini muridnya, pada umumnya
memiliki rata-rata NEM (Nilai Ebtanas Murni) delapan.
Di kelas 1-7 ini, Usman sekelas dengan Umar, orang yang sering memukulinya waktu
kelas 1 dan 2 SMP (Sekolah Menengah Pertama). Dulu badan Usman masih kalah besar
dibanding Umar, sementara sekarang, Usman lebih tinggi sedikit daripada Umar. Karena Usman
sudah mulai mengikuti gaya hidup remaja tanggung nakal di Solok, saat itu, yaitu merokok dan
minum minuman keras, Usman mulai berteman baik dengan Umar.
Kala itu tahun 1994-1995, kehidupan remaja tanggung di Kampuang cukup bebas, yang
nakal biasanya memiliki gaya hidup suka begadang, minum kopi Brazil, dan merokok, sebagian
bahkan ada yang menghisap rokok daun jagung, yang mereka dapat dari para pendatang
dadakan, yaitu yang datang tiba-tiba, lalu pergi begitu saja.
Kembali ke Usman, pertemanannya dengan Umar, membuat Usman terkena masalah.
Mereka sering pergi berdua ke berbagai tempat, dari mulai mengapeli pacarnya Umar, Salamah,
sampai menghisap rokok daun jagung di kos Zainuddin, pendatang dadakan dari luar kota. Umar
karena memang agak psikopat dan suka merendahkan, menjadikan Usman, bemper untuk
dipermalukan dan dikerjai. Suatu hari, karena iseng, Umar menulis hinaan yang bernada rasis
terhadap guru Biologi mereka, yang kelebihan berat badan. “Sapi bunting”, begitu kata hinaan
terhadap guru itu. Penulis hinaan tersebut adalah Umar, akan tetapi, karena dasar suka mengerjai
dan mencelakai Usman, ditaruhnyalah kertas bertuliskan hinaan tersebut di meja Usman.
Bu Ratna, entah mengapa, tiba-tiba langsung berada di samping Usman dan membaca isi
kertas itu. Tetesan air mata kemudian keluar dari kedua mata sang guru. Usman pun dipanggil ke
ruang guru. Di sana, ia disidang oleh Kepala Sekolah, Guru Tata Negara, Pak Bram, dan Bu
Ratna. Pak Bram, kebetulan adalah suami Bu Ratna. Ia menyidang dengan emosi, beberapa kali
meja digebraknya. Satu kursi kayu, jadi belah dua ditendangnya. Pak Bram memiliki tubuh yang
kekar, dan keras, tenaganya juga cukup kuat, untuk ukuran orang biasa.
Usman yang memiliki mental tidak begitu kuat, di sana hanya terdiam dan menunjukkan
ekspresi ketakutan. Karena tak tahan dengan intimidasi dari para guru dan kepala sekolah di
“Ruang sidang” itu, Usman lalu berbicara jujur, bahwa bukan dia yang menulis hinaan rasis di
kertas itu, tetapi Umar lah yang menulisnya. Umar lalu dipanggil ke “Ruang sidang”, yang juga
merupakan ruang guru tersebut. Di sana ia terkena bogem mentah Pak Bram. Hari itu juga, Umar
diusir dan dikeluarkan dari SMA 1. Usman, yang merasa bersalah, karena merasa menyebabkan
temannya dipukuli dan dikeluarkan, terlihat terpukul. Ia mengantarkan Umar sampai trotoar di
depan sekolah.
Sehabis kejadian itu, Usman menjadi malas sekolah. Ia lebih sering membolos, dan
menghabiskan waktu bersama Abu Bakar, sahabat barunya. Abu Bakar adalah anak seorang
pemilik beberapa kios koran di Pasar Kampuang. Ia sebenarnya anak yang rajin, tetapi karena
terpengaruh Usman, ia sering tidak masuk sekolah, pergi main keliling provinsi, menaiki sepeda
motor dinas, milik ibunya Usman. Biasanya, Abu Bakar, yang mengendarai motor, sementara
Usman membonceng di belakang.
Beberapa kali mereka hampir kecelakaan, karena gaya mengendarai motor Abu Bakar
yang cukup nekat. Ketika dikejar polisi, karena tak mengenakan helm, Abu Bakar, tanpa pikir
panjang, akan membanting setir motor ke dalam hutan belantara, atau jurang yang tidak begitu
curam.
Semua petualangan nekat mereka berdua, baru berakhir ketika Usman lari dari rumah
bersama Abu Sufyan dan Amru bin Ash. Dengan uang celengan Usman, mereka bertiga
menumpang bus kelas kambing ke Jakarta. Di sana mereka menggelandang selama beberapa
minggu.
Baru ketika uang sudah habis, Usman yang tak punya nyali besar, untuk berjuang
mempertahankan hidup tanpa sokongan orang tua, di Jakarta, lalu menelepon ke rumah orang
tuanya, meminta maaf pada kedua orang tuanya, karena telah pergi dari rumah selama sebulan
tanpa izin. Untungnya, kedua orang tua Usman, adalah orang yang sabar, mereka tidak marah,
tetapi langsung memberikan nomor telepon kerabat mereka di Jakarta. Sehabis itu, dengan
mengendarai taksi, Usman, Abu Sufyan, dan Amru bin Ash, pergi ke rumah kerabat Usman.
Di sana mereka bertiga menginap semalam, pada malam itu, Abu Sufyan menyatakan
bahwa ia bertekad untuk tidak akan pulang ke Kampuang, sebelum sukses. Ia memilih bertahan
di Jakarta, karena di Kampuang, ia sudah tidak memiliki keluarga lagi, ayahnya sudah
meninggal, sementara ibunya kawin lagi dengan laki-laki lain, meninggalkan Abu Sufyan hidup
menggelandang di Kampuang.
“Pokoknya aku tak mau balik ke Kampuang, Man, biar aku bertahan hidup di sini saja,
kalau
pun mati, paling tidak aku sudah berjuang.” Kata Abu Sufyan dengan penuh tekad.
“Aku tak kuat hidup di sini Bu, lebih baik kami berdua pulang ke Kampuang saja.” Kata
Usman menanggapi.
Usman dan Amru bin Ash, merasa tak sanggup hidup di Jakarta, mereka berdua memilih
pulang ke Kampuang. Dengan menaiki bus, mereka berdua kembali ke Kampuang, beberapa hari
kemudian.
Di Kampuang, Amru bin Ash melanjutkan sekolahnya di STM (Sekolah Teknik
Menengah), sementara Usman tak mau sekolah lagi. Ia begitu menikmati hidup tanpa sekolah,
sehari-hari berkeliling Kampuang, dengan jalan kaki, membaca komik di pasar atas, atau duduk
di warung kopi, di tengah pasar, selama berjam-jam.
Kedua orang tua Usman, sebenarnya sedih melihat Usman yang memilih untuk berhenti
sekolah. Mereka setiap hari membujuknya untuk sekolah lagi.
“Mau jadi apa kalau kau tak sekolah lagi nak.” Begitu kata ayah Usman.
“Aku tak mau sekolah lagi Yah, lebih baik aku jadi sopir pribadi ayah saja, malas aku
sekolah di sini, rasanya seperti penjara.” Jawab Usman.
Setelah beberapa minggu dibujuk, Usman mau sekolah lagi, tetapi ia hanya mau sekolah
di luar Kampuang. Kedua orang tuanya, lalu mengirim Usman ke Aceh, untuk melanjutkan
sekolah. Di sana, Usman tinggal di rumah kakak ibu Usman.
Delapan bulan kemudian, ketika semester dua berakhir, Usman pergi diam-diam dari
Aceh, untuk kembali ke Kampuang. Ia tak betah di Aceh, karena tak ada penjual kopi Brazil, dan
teman-teman yang bisa diajak nakal.

Yogyakarta, 25 November 2023

Anda mungkin juga menyukai