Anda di halaman 1dari 29

PAPER

PENANAMAN MODAL DI INDONESIA

Disusun Oleh :

Kelompok 4

Ni Putu Rahayu Septiani (2115613062)/2B/13 (Anggota)

Putu Tania Lestari (2115613067)/2B/14 (Anggota)

Sindy Elmanda Indrianti (2115613072)/2B/15 (Anggota)

Ni Putu Adelia Diah Sawitri (2115613077)/2B/16 (Anggota)


Politeknik Negeri Bali

D3 Akuntansi

2022

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI..............................................................................................................ii

KATA PENGANTAR..............................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................1

1.1 Latar Belakang.....................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................5

1.3 Tujuan...................................................................................................................6

BAB II PEMBAHASAN............................................................................................7

2.1 Penanaman Modal Dalam Negeri.........................................................................7

2.1.1 Pengertian Penanaman Modal Dalam Negeri...................................................7

2.1.2 Fasilitas Penanaman Modal Dalam Negeri.......................................................8

2.1.3 Syarat-Syarat Penanaman Modal Dalam Negeri............................................10

2.1.4 Proses Penanaman Modal Dalam Negeri.......................................................11

ii
2.2 Penanaman Modal Asing di Indonesia...............................................................13

2.2.1 Pengertian Penanaman Modal Asing..............................................................13

2.2.2 Fasilitas Penanaman Modal Asing..................................................................14

2.2.3 Bentuk-Bentuk Penanaman Modal Asing di Indonesia..................................15

2.2.4 Proses Pendirian Penanaman Modal Asing....................................................18

BAB III PENUTUP..................................................................................................20

3.1 Kesimpulan.........................................................................................................20

3.2 Saran 20

DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................21

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat

rahmatNya makalah yang berjudul “PENANAMAN MODAL DI

INDONESIA” ini dapat terselesaikan dengan baik.

Makalah tentang Penanaman Modal di Indonesia ini tidak akan dapat

terselesaikan dengan baik tanpa bantuan dari berbagai pihak. Terima kasih

iii
sebesar-besarnya penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang terlibat

sehingga makalah ini mampu terselesaikan dengan tepat waktu.

Kami sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah

wawasan serta pengetahuan kita. Kami menyadari makalah ini terdapat

kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Maka dari itu kami mengharapkan

kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.

Bukit Jimbaran, 30 Juni 2022

Penulis

BAB I

iv
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penanaman modal asing dapat dikatakan sebagai salah satu cara

mempercepat pembangunan ekonomi di Indonesia, terlebih dalam

menghadapi perubahan ekonomi yang semakin mengglobal dan komitmen

Indonesia untuk ikut serta bekerjasama di dunia internasional dalam bidang

ekonomi. Penanaman modal asing khususnya secara langsung (Foreign

Direct Investment/FDI) berkontribusi dalam pertumbuhan negara-negara

berkembang tidak terkecuali Indonesia untuk jangka Panjang. FDI dapat

menghasilkan kesempatan kerja yang baru, teknologi baru, inovasi dan

keterampilan baru bagi negara penerima modal (host country). FDI

merupakan sumber pembiayaan eksternal terbesar dan paling konstan untuk

pembangunan ekonomi dibandingkan dengan investasi secara tidak langsung.

Dengan demikian, setiap negara berlomba-lomba untuk menciptakan kondisi

investasi yang kompetitif, kondusif, efisien dan efektif agar menarik pemodal

asing untuk berinvestasi di negaranya. Di Indonesia, pengaturan terkait

dengan penanaman modal asing termasuk perlindungan kepada investor

dimuat dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2007 Tentang Penanaman

Modal (UU Penanaman Modal) beserta dengan aturan pelaksananya.

Penanaman modal asing memiliki aspek positif dalam pembangunan

ekonomi di Indonesia terutama terkait dengan kesempatan kerja, teknologi

v
serta pemasaran dan distribusi barang/jasa. Perusahaan asing di Indonesia

menciptakan lapangan kerja lebih cepat dibanding perusahaan domestik,

perusahaan asing membayar gaji pegawainya lebih tinggi daripada

dibandingkan gaji rata-rata nasional, perusahaan asing lebih banya

dibandingkan perusahaan domestik, bahkan perusahaan asing tidak segan-

segan mengeluarkan biaya untuk Pendidikan di Indonesia, serta masih banyak

aspek positif lainnya.

Pada dasarnya, tidak ada pihak yang menginginkan terjadinya masalah

dalam penanaman modal. Dalam pelaksanaan penanaman modal di negara

manapun – termasuk di Indonesia – tidak lepas dari potensi adanya

permasalahan karena baik host country, penanam modal dalam negeri

maupun penanam modal asing memiliki kepentingan masing-masing dalam

penyelenggaraan penanaman modal. Permasalahan tersebut berpotensi terjadi,

baik antara host country dengan home country, antara investor asing dengan

host country ataupun antara investor asing dengan investor dalam negeri.

Pada dasarnya semua pihak tidak menginginkan terjadinya sengketa dalam

penanaman modal. Sengketa yang dimungkinkan terjadi dalam hal

penanaman modal asing adalah terjadinya kesalahpahaman dalam

menafsirkan perjanjian, pelanggaran undang-undang, ingkar janji,

kepentingan yang berlawanan dan lain sebagainya yang berakibat adanya

pihak yang dirugikan.

vi
Dalam UU Penanaman Modal diatur bahwa apabila terjadi sengketa

dalam penanaman modal asing antara pemerintah dengan investor asing maka

penyelesaiannya melalui arbitrase internasional yang telah disepakati oleh

para pihak. Dalam hal penyelesaian sengketa, Indonesia sudah meratifikasi

Konvensi tentang penyelesaian sengketa mengenai penanaman modal

antarnegara dan warga negara lain (Convention on the Settlement of

Investment Dispute Between States and Nationals of Other States) dengan

disahkannya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1968 Tentang Penyelesaian

Perselisihan Antara Negara dan Warga Negara Asing Mengenai Penanaman

Modal.8 Selain itu, penyelesaian sengketa penanaman modal di Indonesia

dapat diselesaikan berdasarkan traktat-traktat yang telah dibuat sebelumnya

dengan negara lain.

Pemerintah Indonesia telah mendapat beberapa kali gugatan dari investor

asing terkait penanaman modal di Indonesia. Contoh kasus besar dan menarik

untuk dikaji adalah kasus gugatan arbitrase salah satu perusahaan asing

kepada pemerintah Indonesia yang menanam modal di Indonesia melalui

akuisisi PT. X. Perusahaan asing ini menggugat pemerintah Indonesia karena

mengalami kerugian akibat dicabutnya Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang

tumpang tindih dengan perusahaan lainnya, sehingga perusahaan asing ini

tidak dapat mengusahakan kegiatan usaha pertambangannya. Menurut ahli

hukum sumber daya alam gugatan perusahaan asing ini dinilai salah karena

yang menjadi objek sengketa adalah Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang

vii
dimana secara hukum IUP ini memiliki hubungan antara pemerintah dengan

PT. X bukan dengan perusahaan asing. Sehingga sengketa ini harusnya

diselesaikan di pengadilan tata usaha negara oleh PT. X bukan di arbitrase

internasional.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimanakah Penanaman Modal yang ada di Indonesia ?

2. Bagaimanakah legal standing IMFA dalam mengajukan gugatan kepada

Indonesia melalui PAC atas tumpang tindih perizinan ?

3. Bagaimanakah evaluasi pelaksanaan penanaman modal di Indonesia pasca

kasus gugatan IMFA terhadap Indonesia?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui bagaimana Penanaman Modal yang ada di Indonesia.

2. Mengetahui bagaimana legal standing IMFA dalam mengajukan gugatan

kepada Indonesia melalui PAC atas tumpang tindih perizinan.

3. Mengetahui bagaimana evaluasi pelaksanaan penanaman modal di

Indonesia pasca kasus gugatan IMFA terhadap Indonesia.

4. Memenuhi salah satu persyaratan komponen penilaian dalam mata kuliah

Hukum Bisnis.

viii
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Penanaman Modal di Indonesia

Undang-undang No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal (UUPM)

dalam ketentuan BAB 1 Pasal 1 ayat (1) didefinisikan Penanaman Modal

sebagai : “ Segala bentuk kegiatan menanam modal, baik oleh penanaman

modal dalam negeri maupun penanaman modal asing untuk melakukan usaha

di wilayah Negara Republik Indonesia.”

Pada pasal 2 UU No. 25 Tahun 2007 menyebutkan bahwa yang

dimaksud dengan penanaman modal adalah penanaman modal langsung dan

tidak termasuk penanaman modal tidak langsung atau portofolio karena

merupakan bagian dari Hukum Pasar Modal. Penanaman modal langsung

(direct investment) dilakukan oleh para pemilik modal dengan cara membentuk

ix
perusahaan sendiri, menyediakan dana, dan menjalankan usaha tersebut,

sedangkan penanaman modal tidak langsung dilakukan oleh pihak modal

dengan cara membeli saham atau obligasi yang diterbitkan oleh suatu

perusahaan atau unit pemerintah. Kedua jenis penanaman modal tersebut

sangat dibutuhkan dalam pembangunan nasional karena sifatnya yang saling

mengisi. Apabila pada suatu saat jumlah penanaman modal langsung tidak

menunjukan perkembangan yang berarti, kebutuhan modal dalam pembiayaan

pembangunan nasional dapat diisi oleh penanaman modal tidak langsung.

Landasan hukum penanaman modal di Indonesia diatur dalam peraturan

perundang-undangan dan peraturan lain yang mengikatnya. Diantaranya adalah

Undang-undang No. 1 Tahun 1967 tentang Penanaman Modal Aing dan

Undang-Undang No. 11 Tahun 1970, Undang-Undang No. 6 Tahun 1968 dan

Undang-Undang No. 12 Tahun 1970 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri,

kemudian diubah dengan Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 tentang

Penanaman Modal.

2.1.1 Penanaman Modal Dalam Negeri

Penanaman Modal Dalam Negeri menurut UU No. 25 tahun 2007

adalah kegiatan penanaman modal untuk melakukan usaha diwilayah negara

RI oleh penanam modal dalam negeri dengan menggunakan modal dalam

negeri. Modal dalam negeri adalah modal yang dimiliki oleh negara

x
Republik Indonesi, perseorangan warga negara Indonesia, atau badan usaha

yang berbentuk badan hukum atau tidak berbadan hukum.

Sejalan dengan pengertian penanaman Modal Dalam Negeri diatas,

pengertian penanaman modal dalam negeri menurut pasal 1 ayat (5) UU No,

25 tahun 2007 adalah penanaman modal dalam negeri adalah perseorangan

warga negara Indonesia, badan usaha Indonesia, negara Republik Indonesia,

atau daerah yang melakukan penanaman modal di wilayah negara republik

Indonesia.

Jika dilihat dari pengertian diatas maka terdapat dua unsur utama

penanaman modal dalam negari, yaitu:

1. Penanaman Modal harus berasal dari dalam negeri (Domestic Investor)

2. Sumber modal (Source of Funds) tersebut harus berasal dari dalam negeri

pula (Domestic Fund)

Penetapan kedua unsur tersebut erat kaitannya dengan upaya untuk

mendapatkan kepastian bahwa penanaman modal yang dalam catatan

administrasi tergolong sebagai penanaman modal dalam negeri memang

benar-benar murni sebagai penanaman modal dalam negeri, dan tidak

berasal dari sumber-sumber lain.

2.1.2 Penanaman Modal Asing

1. Pengertian Penanaman Modal Asing

Menurut UU No.25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal,

memberikan pengertian penanaman modal asing sebagai kegiatan

xi
menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik

Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing, baik yang

menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan

dengan penanaman modal dalam negeri.

Penanam modal asing adalah peseorangan warga negara asing,

badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan

penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia. Adapun

modal asing yakni modal yang dimiliki oleh negara asing,

perseorangan warga negara asing, badan usaha asing, badan hukum

asing, dan/atau badan hukum Indonesia yang sebagian atau seluruh

modalnya dimiliki oleh pihak asing.

Menurut Hukum di Indonesia, badan hukum di bidang usaha ada

2 macam yaitu:

1. PT (Perseroan Terbatas)

2. Koperasi

Perusahaan Penanaman Modal Asing dalam prakteknya selalu

berbentuk PT. Adapun Pasal 5 ayat (2) UU No.25 Tahun 2007 tentang

PMA “Penanaman modal asing wajib dalam bentuk perseroan terbatas

berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di dalam wilayah

negara Indonesia”. Menurut Pasal 5 ayat (3) PMA dalam bentuk PT

dilakukan dengan 3 cara, yaitu :

1. Mengambil bagian saham pada saat pendirian PT.

2. Membeli saham.

xii
3. Melakukan cara lain sesuai dengan peraturan Perundang-

Undangan.

2. Bentuk-Bentuk Penanaman Modal Asing di Indonesia

Ada beberapa bentuk dari penanaman modal asing yang ada di

Indonesia, yaitu :

 Joint Venture

Joint Venture adalah salah satu bentuk PMA yang merupakan hasil

Kerjasama dari pemodal asing dan pemilik modal dalam

negeri/pemilik modal nasional. Definisi ini dapat disimplifikasikan

seperti dua pihak/entitas bisnis yang bersatu, menjalankan aktivitas

ekonomi bersama, dan melahirkan satu usaha yang baru.

Perusahaan hasil dari Joint Venture biasanya memiliki rentang

waktu kerjasama dan berorientasi pada tujuan dari kerjasama.

Sebagaimana diacu pada UU No. 25/2007, perusahaan Joint

Venture masuk ke dalam kategori penanaman modal asing.

 Joint Enterpries

Joint Enterprise adalah salah satu bentuk dari Joint Venture. Bentuk

PMA ini adalah kerjasama dari dua pihak pemodal asing dan dalam

negeri yang membentuk badan hukum baru yang sesuai dengan

hukum Indonesia. Adanya badan hukum inilah yang membedakan

antara joint venture dengan joint enterprise. Modal joint

enterprise dapat terdiri dari valuta asing dan dari nilai rupiah yang

xiii
kemudian dimasukkan ke badan hukum Indonesia. Joint

enterprise telah diatur pada Pasal 3 UU PMA.

 Kontrak Karya

Kontrak Karya atau yang biasa disebut contract of work, adalah bentuk

kerjasama antara modal asing dengan modal nasional dengan

membentuk badan hukum Indonesia. badan hukum ini kemudian

mengadakan perjanjian kerja sama dengan badan hukum lain yang

menggunakan modal nasional.

 Production Sharing

Bentuk kerja sama dimana pihak investor asing memberikan kredit

kepada pihak nasional, dan pokok pinjaman dan bunganya

dikembalikan dalam bentuk hasil produksi dari perusahaan yang

bersangkutan dan mewajibkan perusahaan nasional tersebut untuk

mengekspor hasilnya ke negara pemberi kredit.

 Penanaman Modal dengan DISC-RUPIAH (DISC:Debt

Investment Convertion Scheme)

Bentuk kerja sama campuran antara kredit dengan penanaman modal.

Pengembalian kredit dikonversi menjadi penanaman modal asing.

Pelunasan utang yang semula diperhitungkan berdasarkan valuta

asing, tetapi dibayar dengan rupiah.

 Penanaman Modal dengan Kredit Investasi

xiv
Dalam praktik penanaman modal ini banyak dilakukan oleh para investor

nasional untuk membiayai proyeknya yang ada di Indonesia.

Awalnya berupa kredit investasi dari dana-dana luar negeri,

menjadi model nasional melalui joint-venture.

 Portofolio Investment

Investasi yang dilakukan melalui pembelian saham baik melalui pasar

modal maupun melalui penempatan modal pihak ketiga dalam

perusahaan.

3. Penyelesaian Sengketa Penanaman Modal

Dalam Pasal 32 Undang-Undang No. 25 Tahun 2007 dikatakan

bahwa cara penyelesaian sengketa yang timbul dalam penanaman

modal anatara pemerintah dengan investor domestic. Dalam ketentuan

itu, ditentukan empat cara dalam penyelesaian sengketa dalam

penanaman modal. Keempat car aitu, antara lain:

1. Musyawarah dan mufakat

2. Arbitrase

3. Alternatif penyelesaian sengketa

4. Pengadilan

Penyelesaian dengan musyawarah dan mufakat merupakan cara

untuk mengakhiri sengketa yang timbul antara pemerintah dengan

investor domestic, dimana di dalam penyelesaian itu dilakukan

xv
pembahasan bersama dengan maksud untuk mencapai keputusan dan

kesepakatan atas penyelesaian sengketa secara bersama-sama.

Penyelesaian sengketa melalui lembaga arbitrase merupakan

cara untuk mengakhiri sengketa dalam penanaman modal antara

pemerintah Indonesia dengan investor domestic, dimana dalam

penyelesaian sengketa itu menggunakan jasa arbiter atau majelis

arbiter.

Penyelesaian sengketa penanam modal ayang timbul anatara

pemerintah dengan investor asing dalam Pasal 32 ayat (4) Undang-

Undang No. 25 Tahun 2007 mengatakan bahwa: “ Dalam hal terjadi

sengketa di bidang penanaman modal antara Pemerintah dengan

penanam modal asing, para pihak akan menyelesaikan sengketa

tersebut melalui arbitrase internasional yang harus disepakati oleh

para pihak.”

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase internasional

merupakan cara untuk mengakhiri perselisihan yang timbul antara

pemerintah Indonesia dengan investor asing, dimana kedua belah

pihak sepakat menggunakan lembaga arbitrase atau arbiter perorangan

di luar wilayah hukum RI. Dalam rangka penyelesaian sengketa oleh

arbitrase telah ditetapkan bahwa hukum yang berlaku dan yang

menjadi dasar pemakaian oleh dewan wasit dalam menyelesaikan

sengketa tersebut adalah hukum yang dipilih oleh para pihak.

xvi
Republik Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID dengan

Undang-Undang No. 5 Tahun 1968 (Lembaran Negara No. 32 Tahun

1968) yakni undang-undang persetujuan atas konvensi tentang

penyelesaian perselisihan antara negara dan warga negara asing

mengenai penanaman modal. Dengan telah diratifikasinya konvensi

tersebut, sehingga setiap penyelesaian perselisihan atau penyelesaian

sengketa penanaman modal asing akan dilakukan menurut tata cara

dan prosedur yang diatur dalam International Centre for the

Settlement of Investment Dispute (ICSID).

2.2 Legal Standing IMFA Dalam Mengajukan Gugatan Kepada

Indonesia Melalui PCA Atas Tumpang Tindih Perizinan

Dalam upaya menjawab dan mengkaji legal standing IMFA dalam

mengajukan gugatan kepada indonesia melalui PCA atas tumpang

tindih perizinan maka akan dibahas terlebih dahulu terkait kasus

posisi, hubungan hukum antara Indonesia dan India dalam hal

investasi, dan kemudian yurisdiksi PCA serta objek gugatan IMFA

kepada Indonesia melalui PCA sehingga akan menjawab pokok

permasalahan pertama dalam penelitian ini.

Pertama terkait kasus posisi. Gugatan IMFA kepada Indonesia

bermula pada akusisi kepemilikan saham PT SRI oleh IMFA

sebanyak 70% (tujuh puluh persen) dari total saham PT SRI yang

terjadi 7 Juni 2010. Akuisisi tersebut memberikan janji kepada IMFA

atas Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) milik PT

xvii
SRI yang telah diberikan oleh Bupati Barito Timur, Kalimantan

Tengah yang terbit pada tanggal 31 Desember 2009. Di tahun 2011,

PT SRI baru mengetahui bahwa wilayah dari IUP nya tumpang tindih

dengan 7 (tujuh) perusahaan lainnya. (Elnizar, 2019) Tumpang tindih

wilayah tersebut meliputi tiga kabupaten lainnya di provinsi

Kalimantan Tengah serta Kalimantan Selatan. Akibat dari tumpang

tindih tersebut, IMFA tidak dapat melakukan usahanya di wilayah

tersebut, sehingga mengalami kerugian. Pada tanggal 24 Juli 2015,

IMFA mengajukan gugatan ganti rugi sebesar USD581 juta (lima

ratus delapan puluh satu juta dolar Amerika Selatan) kepada

pemerintah Indonesia melalui PCA. (Ristianto, 2019)sen IMFA

dalam mengajukan gugatan tersebut menggunakan dasar hukum

United Nations Commission on International Trade Law

(UNCITRAL) Arbitration Rules 1976 dan Bilateral Investment

Treaty antara Indonesia dengan India (BIT Indonesia - India). Setelah

melakukan proses arbitrase yang panjang, pada tanggal 29 Maret

2019 PCA mengelurkan putusan bahwa gugatan IMFA ditolak,

bahkan IMFA dibebankan untuk membayar biaya perkara di PCA

dan mengembalikan biaya yang telah di keluarkan pemerintah

Indonesia selama proses arbitrase sebesar USD2,97 juta (dua koma

sembilan tujuh juta dolar Amerika Serikat).

Kedua terkait hubungan hukum antara Indonesia dengan India

dalam hal investasi. Berkaitan dengan hubungan hukum dalam

xviii
kaitannya dengan penanaman modal asing, Indonesia dan India

merupakan anggota UNCITRAL yang dibentuk oleh Sidang Umum

pada tahun 1966 (Resolusi 2205 XXI). UNCITRAL adalah

organisasi internasional di bidang hukum perdagangan dibawah

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang dibentuk dengan tujuan

khusus untuk reformasi hukum komersial di seluruh dunia melalui

modernisasi dan harmonisasi aturan dalam bisnis internasional

(Nations, 2020).

Selain menjadi anggota UNCITRAL, Indonesia dan India telah

membuat dan menandatangani Bilateral Investment Treaty (BIT)

tertanggal 8 Februari 1999. BIT ini menjadi dasar hubungan hukum

Indonesia dan India dalam hal investasi. BIT saat ini menjadi sumber

hukum internasional yang paling dominan dianggap untuk

melindungi investasi asing di negara berkembang. Tujuan utama

suatu BIT adalah untuk meningkatkan promosi dan proteksi

“reciprocal encouragement” investasi di wilayah asal masing-masing

perusahaan, sehingga dapat melindungi investasi di luar negeri,

meningkatkan kebijakan yang berorientas pasar dan menciptakan

praktek investasi yang transparan dan non diskriminasi antara negara

dan investor, dan untuk mendukung perkembangan standar hukum

internasional yang sejalan dengan tujuan-tujuan tersebut. BIT

Indonesia-India dibuat agar investor asing dari India mendapatkan

perlindungan dari negara Indonesia dan juga sebaliknya. Dengan

xix
demikian, hubungan hukum Indonesia dan India dalam hal investasi

dilandasi keterikatan yang ada dalam UNCITRAL dan BIT

Indonesia-India.

Ketiga terkait yurisdiksi PCA dan objek gugatan IMFA kepada

Indonesia melalui PCA. PCA menyediakan layanan administratif

dalam arbitrase internasional yang melibatkan berbagai negara,

entitas di suatu negara, organisasi internasional dan pihak swasta.

Dengan demikian, PCA memiliki yurisdiksi sebagai arbitrase

internasional dalam kasus IMFA dan Indonesia. Selain itu, gugatan

IMFA kepada pemerintah Indonesia melalui PCA secara hukum

merupakan sah karena didasarkan pada ketentuan Pasal 9 BIT

Indonesia-India (Arbitration, 2020). Pasal 9 ayat (1) BIT Indonesia-

India menyebutkan bahwa apabila terjadi sengketa antara Host

Country dengan Investor asing dari Home Country maka dapat

diselesaikan melalui konsultasi dan negosiasi. Dalam Pasal 9 ayat (3)

meneruskan bahwa apabila sengketa tersebut tidak selesai melalui

konsultasi dan negosiasi, maka sengketa tersebut dapat diselesaikan

melalui arbitrase atau konsiliasi di ICSID atau the Secretary General

of the PCA dengan menggunakan hukum internasional UNCITRAL

Arbitration Rules 1976. Pasal 1 ayat (1) UNCITRAL Arbitration

Rules 1976 menyebutkan bahwa aturan tersebut berlaku apabila para

pihak telah membuat perjanjian (dalam hal ini BIT) bahwa apabila

terdapat sengketa maka akan dirujuk ke PCA berdasarkan

xx
UNCITRAL Arbitration Rules 1976. Mengingat Indonesia dan India

telah memenuhi ketentuan semua, maka dengan demikian pemilihan

arbitrase internasional PCA oleh India untuk menyelesaikan sengketa

kerugian investasi kepada Indonesia dapat dikatakan berlandaskan

hukum.

Permasalahan dalam kasus gugatan IMFA kepada Indonesia

melalui PCA adalah terkait objek yang disengketakan. IMFA

mengajukan gugatan terhadap tumpang tindih pemberian izin

(overlapping licenses) pertambangan dari pemerintah Indonesia

kepada perusahaan-perusahaan tambang. Perizinan merupakan salah

satu bentuk penyelenggaraan pengaturan dan pengendalian yang

dimiliki oleh pemerintah terhadap aktivitas yang dilakukan oleh

masyarakat. Perizinan dalam kaitannya dengan penanaman modal

asing adalah salah satu cara pemerintah untuk mengendalikan

aktivitas asing dalam melakukan penanaman modal di Indonesia.

Dengan demikian, Indonesia memiliki kewenangan yang otoritatif

untuk menerbitkan, menolak, mencabut dan lain sebagainya terhadap

IUP PT SRI. Ahli hukum SDA, Ahmad Redi menilai bahwa gugatan

IMFA salah alamat, karena IUP berbeda dengan Kontrak Karya

(KK). Selain itu penyelesaian untuk masalah sengketa IUP juga

harusnya berada di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan di

arbitrase internasional seperti halnya sengketa KK. Selain itu, Ahmad

Redi juga berpendapat bahwa mengingat pemegang IUP adalah PT

xxi
SRI, bukan IMFA sendiri meskipun IMFA telah mengakuisinya.

Dengan demikian, yang berhak mengajukan gugatan terkait IUP

adalah PT SRI.

Berkaitan dengan objek yang disengketakan, Penulis berpendapat

bahwa seharusnya IMFA bukan mempermasalahkan tumpang tindih

perizinan IUP PT SRI, namun mempermasalahkan terkait BIT

Indonesia-India, karena yurisdiksi arbitrase internasional – termasuk

di PCA – hendaknya menilai gugatan dari traktat-traktat yang sudah

dibuat. Sedangkan, sengketa IUP merupakan yurisdiksinya PTUN di

Indonesia. Arbitrase dalam hukum internasional mempunyai

pengertian yang lebih khusus salah satunya adalah bahwa prosedur

untuk penyelesaian sengketa hukum, arbitrase menyangkut hak-hak

dan kewajiban-kewajiban pihak-pihak yang bersengketa berdasarkan

ketentuan suatu perjanjian internasional, dan penyelesaian akan

diupayakan dengan penerapan perjanjian tersebut terhadap fakta-

fakta dalam kasusnya. Dengan demikian, landasan arbitrase dalam

menilai sengketa investasi tiada lain adalah berdasarkan perjanjian-

perjanjian atau traktat-traktat yang telah dibuat.

2.3 Evaluasi Pelaksanaan Penanaman Modal di Indonesia Pasca Kasus

Gugatan IMFA Terhadap Indonesia

Dalam kasus gugatan IMFA kepada Indonesia menunjukan adanya

beberapa kelemahan dalam pelaksanaan penanaman modal di

Indonesia baik bagi pemerintah Indonesia maupun untuk Investor

xxii
asing. Dari pihak pemerintah Indonesia, kasus gugatan ini

menunjukan adanya kelemahan dalam hal pengaturan dan

penyelenggaraan perizinan di Indonesia sehingga mengakibatkan

potensi untuk terjadinya sengketa semakin besar, sedangkan bagi

pihak Investor asing adalah terkait penanaman modal yang

dilakukannya di Indonesia yang kurang hati-hati. Sebagai bahan

evaluasi, terjadinya kasus gugatan IMFA kepada Indonesia dapat

dianalisis melalui dua aspek tersebut yakni penanaman modal yang

dilakukan IMFA terhadap PT SRI dan tumpang tindih perizinan di

Indonesia.

Pertama adalah terkait penanaman modal dilakukan IMFA

terhadap PT SRI. IMFA telah mengakuisisi sebesar 70% (tujuh puluh

persen) dari total saham PT SRI pada 7 Juni 2010. Pada dasarnya,

aksi korporasi tersebut sesuai dengan aturan sebagaimana mestinya.

Namun IMFA nampaknya tidak hati-hati dalam melakukan

penanaman modal pada PT SRI ini. IMFA seharusnya melakukan

Legal Due Dilligence (LDD) sebelum mengakuisisi PT SRI.

Tumpang tindih penerbitan IUP PT SRI dengan keenam perusahaan

lainnya nampaknya terjadi sebelum IMFA melakukan akuisisi

terhadap PT SRI sebagaimana yang terungkap dalam arbitrase

internasional di PCA. Hal ini yang menjadi kesahalan besar yang

dilakukan oleh IMFA dalam hal menanamkan modal di Indonesia.

Dengan demikian, dalam kasus ini memberikan pelajaran penting

xxiii
bagi investor asing yang akan melakukan penanaman modal di

Indonesia untuk lebih hati-hati dan melakukan LDD sebelum

melakukan penanaman modal.

Kedua adalah terkait tumpang tindih perizinan yang terjadi.

Meskipun kasus gugatan IMFA kepada Indonesia dimenangkan oleh

Indonesia, namun bukan berarti pengaturan dan penyelenggaraan

penanaman modal di Indonesia sudah baik. IMFA melalui PT SRI

mengelola lahan seluan 3.600 ha (tiga ribu enam ratus hektar) di

Barito herTimur, Kalimantan Selatan. Atas penegelolaan tanah

tersebut, PT SRI mendapatkan IUP dari Pemerintah Kabupaten Barito

Timur Kalimantan Selatan pada Tahun 2006. Selain IUP yang

dimiliki oleh PT SRI, juga ada 7 (tujuh) perusahaan lainnya yang

memiliki IUP di wilayah yang sama, hal tersebut terjadi karena

adanya permasalahan batas wilayah yang tidak jelas.

Permasalahan tumpang tindih IUP PT SRI sejatinya tidak akan

terjadi jika Pemerintah Kabupaten Barito Selatan dan Kabupaten

Tabalong, Kalimantan Selatan melaksanakan penerbitan izin sesuai

dengan mekanisme dan aturan yang berlaku. Selain itu, tumpang

tindih IUP juga tidak akan terjadi apabila ditaatinya prinsip first come

first serve dalam pemberian izin oleh pemerintah Indonesia. Ahmad

Redi menyebutkan dalam bukunya bahwa permasalahan tumpang

tindih perizinan di dasari oleh dua hal, yaitu: (1) masalah kapasitas

pemberi izin yang sengaja memberikan izin kepada pihak lain atas

xxiv
wilayah yang sudah diusahakan oleh pihak lainnya. Dalam hal ini,

penerbitan izin dijadikan komoditas ekonomi oleh pihak yang tidak

bertanggungjawab dan menyimpang, misalnya korupsi, kolusi dan

nepotisme (KKN); (2) terjadi karena kesalahan perencanaan tataruang

yang tumpang tindih.

Dengan memperhatikan aspek-aspek penting sebagaimana diatas

oleh Investor asing dan pemerintah Indonesia dalam hal penanaman

modal di Indonesia, diharapkan tidak terjadi lagi sengketa yang dapat

merugikan salah satu pihak, sehingga akan menciptakan penanaman

modal yang saling menguntungkan bagi investor dan pemeritah

Indonesia.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

xxv
Penanaman Modal Di Indonesia adalah kegiatann menanam
modal untuk melakukan usaha di wilayah republic indonesia yang
dilakukan oleh penanaman modal dalam negri dengan menggunakan
modal dalam negri. Penanaman modal di indonesia dapat dilakukan
oleh seorang WNI, Badan Usaha Negri , dan atau Pemerintah Negri
yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republic
Indonesia .Bagi penanaman modal dalam negri maupun penanaman
modal asing yang melakukan penanaman modal dalam bentuk
perseroan terbatas dapat diwujudkkan dengan cara mengambil bagian
saham pada saat perseroan terbatas didirikan . Berdasarkan Pasal 25
ayat (4) UUPM, perusahaan penanam modal termasuk PMDN, yang
akan melakukan kegiatan usaha wajib memperoleh izin sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan dari instansi yang memiliki
kewenangan. Dalam rangka merangsang penanaman modal di
Indonesia, pemerintah memberikan berbagai kemudahan dan fasilitas
kepada para penanam modal, baik bagi penanam modal baru maupun
bagi penanam modal yang akan melakukan perluasan usaha.Kegiatan
usaha – usaha atau jenis usaha yang terbuka bagi kegiatan penanaman
modal , kecuali bidang usaha atau jenis usaha yang dinyatakan
tertutup dan terbuka dengan persyaratan dan Batasan kepemilikan
modal Negri atas bidang usaha perusahaan diatur di dalam Peraturan
Presiden No. 36 Tahun 2010 Tentang Perubahan Daftar Bidang Usaha
Yang Tertutup dan Bidang Usaha Yang Terbuka Dengan Persyaratan
Di Bidang Penanaman Modal.
Berdasarkan pada pembahasan di atas, maka dapat disimpulkan:
(1) IMFA memiliki legal standing untuk mengajukan gugatan kepada
pemerintah Indonesia melalui PCA karena didasarkan pada BIT
Indonesia-India dan UNCITRAL Arbitration Rule 1976. Berdasarkan
ketentuan tersebut IMFA berhak memilih dan mengajukan gugatan
kepada PCA dan PCA berhak menyelenggarakan arbitrase
internasional atas objek sengketa yang diajukan oleh IMFA;
Terjadinya tumpang tindih perizinan dalam kasus gugatan IMFA
kepada Indonesia menjadi bahan evaluasi Indonesia dalam
menyelenggarakan penanaman modal asing di Indonesia dan menjadi
evaluasi bagi investor asing untuk melakukan audit atau Legal Due
Dilligence (LDD) terlebih dahulu sebelum melakukan penanaman
modal di Indonesia dan memperhatikan prinsip Clear and Clean dari
objek yang akan dilakukan penanaman modal sebelum dilakukannya

xxvi
penanaman modal agar mengurangi resiko permasalahan penanaman
modal.

B. SARAN

Pemerintah di Indonesia harus bisa membenahi terlebih dahulu

system politik dan hukum agar para investor akan lebih abnyak yang

tertarik untuk menginfevestasi di Indonesisa, Pemerintah juga diharapkan

Tidak mempersulit para investor dengan peraturan- peraturan yang

menyebabkan mereka tidak mau berimvestasi

Perusahaan Meningkatkan kualitas sumber daya manusianya dengan

memberikan pelatihan pelatihan- pelatihan tentang industrialisasi ,

Perusahaan memberikan asuransi jiwa pada para pekerjanya. Sehingga

mereka terlindungi dalam pekerjaannya, serta Memperbaiki infasuktur

yang dapat dimanfaatkan bagi para investor maupun para investor

maupun para pekerjanya

Kita sebagai mahasiswa atau Masyarakat atau pun sebut saja

mahasiswa yang berkesempatan menggali lebih dalamnya ilmu

pengetahuan Jangan selalu menjadi pekerjaannya saja tapi cobalah

menjadi seorang yang mengendalikan para pekerja di luar dan

Menciptakan lapangan pekerjaan bagi mereka yang masih butuh.

xxvii
Saran yang penulis berikan adalah pertama kepada pemerintah

Indonesia agar dalam memberikan perizinan usaha kepada perusahaan

untuk memperhatikan ketentuan yang berlaku dan menghindari tumpang

tindih perizinan dengan menerapkan prinsip Clear and Clean dan first

come first serve. Kedua kepada investor asing agar memperhatikan dan

melakukan audit atau Legal Due Dilligence (LDD) terlebih dahulu

sebelum melakukan penanaman modal di Indonesia, sehingga dapat

mengurangi resiko terjadinya sengketa.

DAFTAR PUSTAKA

xxviii
Academia.edu.Penanaman Modal Dalam Negri: Makalah Penanaman Modal Dalam
Negri, 21 Januari 2021,(Diakses Pada 27 Juni 2022),
https://www.academia.edu/29497552/makalah_penanaman_modal_dalam_negri_d
ocx

Meso.co.id, Bentuk PMA (Penanaman Modal Asing) Berkembang di Indonesia, 4


Januari 2022, (Diakses Pada 27 Juni 2022), https://meso.co.id/bentuk-pma-
penanaman-modal-asing-berkembang-di-indonesia/

Indramayu, I, 2021, Legal Standing Gugatan IMFA Kepada Indonesia Melalui PCA
Atas Kerugiann Investasi Akibat Tumpang Tindih Perizinan, 3(6), 13-28,
(Diakses Pada 6 Juli 2022), dari Universitas Indonesia

Hukumonline.com, Pelajaran Dari Kemenangan Indonesia Atas Gugatan Arbitrase


IMFA, 15 April 2019, (Diakses Pada 27 Juni 2022),
https://www.hukumonline.com/berita/a/pelajaran-dari-kemenangan-indonesia-
atas-gugatan-arbitrase-imfa-lt5cb428c719f3e

Pca-cpa.org, History of PCA, 2013 (Diakses pada 7 Juli 2022),


https://pcacpa.org/en/about/introduction/history/

xxix

Anda mungkin juga menyukai