Anda di halaman 1dari 13

ASUHAN KEGAWATDARURATAN PADA STATUS ASMATIKUS

Diampu oleh : Ns. Priharyanti Wulandari,M.Kep.,Sp.Kep.Mat

Nama Kelompok :

Muhammad Fazli 1407042

Muhajirin 1407044

Novita Diana Wulan S 1407048

Nur Chasnianto 1407050

Oktaviana Putri 1407052

Reni Anderiani S 1407056

Rio Ujiana A 1407058

Ririn Nur Indah Sari 1407060

PROGAM STUDI NERS

STIKES WIDYA HUSADA SEMARANG

2017

BAB II
LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN
Asma adalah suatu peradangan pada bronkus akibat reaksi hipersensitif mukosa
bronkus terhadap alergen. Reaksi hipersensitif pada bronkus dapat mengakibatkan
pembengkakan pada mukosa bronkus. (Sukarmain, 2009).
Yakni suatu asma yang refraktor terhadap obat-obatan yang konvensional (Smeltzer,
2001). status asmatikus merupakan keadaan emergensi dan tidak langsung memberikan
respon terhadap dosis umum bronkodilator (Depkes RI, 2007 ).
Status Asmatikus yang dialami penderita asma dapat berupa pernapasan wheezing,
ronchi ketika bernapas (adanya suara bising ketika bernapas), kemudian bisa berlanjut
menjadi pernapasan labored (perpanjangan ekshalasi), pembesaran vena leher,
hipoksemia, respirasi alkalosis, respirasi sianosis, dyspnea dan kemudian berakhir dengan
tachypnea. Namun makin besarnya obstruksi di bronkus maka suara wheezing dapat
hilang dan biasanya menjadi pertanda bahaya gagal pernapasan ( Purnomo, 2008 ).
B. Etiologi
Penyebab hipersensitifitas saluran pernapasan pada kasus asma banyak
diakibatkan oleh faktor genetik (keturunan). Sedangkan faktor pemicu timbulnya reaksi
hipersensistifitas saluran pernapasan dapat berupa:
1. Hirup debu yang didapatkan dijalan raya maupun debu rumah tangga.
2. Hirupan asap kendaraan, asap rokok, asap pembakaran.
3. Hirup aerosol (asap pabrik yang bercampur gas buangan seperti nitrogen).
4. Pajanan hawa dingin.
5. Bulu binatang.
6. Stress yang berlebihan.
Selain faktor-faktor diatas kadang juga ada individu yang sensitife terhadap faktor
pemicu diatas tetapi penderita lain tidak. ( Sukarmin, 2009).
C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik pada pasien asmatikus adalah batuk, dyspnoe (sesak nafas), dan
wheezing (terengah-engah). Pada sebagian penderita disertai dengan rasa nyeri dada,
pada penderita yang sedang bebas serangan tidak ditemukan gejala klinis, sedangkan
waktu serangan tampak penderita bernafas cepat, dalam, gelisa, duduk dengan tangan
menyangga ke depan serta tampak otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.
Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu :
1) Tingkat I :
a. Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi paru.
b. Timbul bila ada faktor pencetus baik didapat alamiah maupun dengan test
provokasi bronkial di laboratorium.
2) Tingkat II :
a. Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru menunjukkan
adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas (batuk, sesak nafas, wheezing).
b. Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
3) Tingkat III :
a. Tanpa keluhan.
b. Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas.
c. Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah diserang kembali.
4) Tingkat IV :
a. Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
b. Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi jalan nafas.
5) Tingkat V :
a. Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa serangan asma akut
yang berat bersifat refrakter (tak beraksi) sementara terhadap pengobatan yang
lazim dipakai.
b. Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas yang reversibel
( Sukarmin, 2009 ).

D. Patofisiologi
Karakteristik dasar dari asma ( konstriksi otot polos bronchial, pembengkakan mukosa
bronchial, dan pengentalan sekresi ) mengurangi diameter bronchial dan nyata pada status
asmatikus.
Abnormalitas ventilasi – perfusi yang mengakibatkan hipoksemia dan respirasi alkalosis
pada awalnya, diikuti oleh respiratori asidosis.Terhadap penurunan PaO2 dan respirasi
alkalosis dengan penurunan PaCO2 dan peningkatan pH. Dengan meningkatnya
keparahan status asmatikus, PaCO2 meningkat dan pH turun, mencerminkan respirasi
asidosis ( Krisanty Paula, 2009 ).

E. Patway
Terlampir
F. Penatalaksanaan
Semua penderita yang dirawat inap di rumah sakit memperlihatkan keadaan obstruktif
jalan napas yang berat. Perhatian khusus harus diberikan dalam perawatan, sedapat
mungkin dirawat oleh dokter dan perawat yang berpengalaman. Pemantauan dilakukan
secara tepat berpedoman secara klinis, uji faal paru ( APE ) untuk dapat menilai respon
pengobatan apakah membaik atau justru memburuk. Perburukan mungkin saja terjadi
oleh karena konstriksi bronkus yang lebih hebat lagi maupun sebagai akibat terjadinya
komplikasiseperti infeksi, pneumothoraks, pneumomediastinum yang sudah tentu
memerlukan pengobatan lainnya. Efek samping obat yang berbahaya dapat terjadi pada
pemberian drips aminofilin. Dokter yang merawat harus mampu dengan akurat
menentukan kapan penderita meski dikirim ke unit perawatan intensif.
Penderita status asmatikus yang dirawat inap di ruangan, setelah dikirim dari UGD
dilakukan penatalaksaanan sebagai berikut :
1. Pemberian terapi oksigen dilanjutkan
Terapi oksigen dilakukan megnatasi dispena, sianosis, danhipoksemia. Oksigen
aliran rendah yang dilembabkan baik dengan masker Venturi atau kateter hidung
diberikan. Aliran oksigen yang diberikan didasarkan pada nilai – nilai gas darah.
PaO2 dipertahankan antara 65 dan 85 mmHg. Pemberian sedative merupakan
kontraindikasi. Jika tidak terdapat respons terhadap pengobatan berulang,
dibutuhkan perawatan di rumah sakit.
2. Agonis β2
Dilanjutkan dengan pemberian inhalasi nebulasi 1 dosis tiap jam, kemudian dapat
diperjarang pemberiannya setiap 4 jam bila sudah ada perbaikan yang jelas.
Sebagian alternative lain dapat diberikan dalam bentuk inhalasi dengan
nebuhaler / volumatic atau secara injeksi. Bila terjadi perburukan, diberikan drips
salbutamol atau terbutalin.
3. Aminofilin
Diberikan melalui infuse / drip dengan dosis 0,5 – 0,9 mg/kg BB / jam. Pemberian
per drip didahului dengan pemberian secara bolus apabila belum diberikan. Dosis
drip aminofilin direndahkan pada penderita dengan penyakit hati, gagal jantung,
atau bila penderita menggunakan simetidin, siprofloksasin atau eritromisin. Dosis
tinggi diberikan pada perokok. Gejala toksik pemberian aminofilin perlu
diperhatikan. Bila terjadi mual, muntah, atau anoreksia dosis harus diturunkan.
Bila terjadi konfulsi, aritmia jantung drip aminofilin segera dihentikan karena
terjadi gejala toksik yang berbahaya.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid dosis tinggi intraveni diberikan setiap 2 – 8 jam tergantung
beratnya keadaan serta kecepatan respon. Preparat pilihan adalah hidrokortison
200 – 400 mg dengan dosis keseluruhan 1 – 4 gr / 24 jam. Sediaan yang lain dapat
juga diberikan sebagai alternative adalah triamsiolon 40 – 80 mg, dexamethason /
betamethason 5 – 10 mg. bila tidak tersedia kortikosteroid intravena dapat
diberikan kortikosteroid per oral yaitu predmison atau predmisolon 30 – 60 mg/
hari.
5. Antikolonergik
Iptropium bromide dapt diberikan baik sendiri maupun dalam kombinasi dengan
agonis β2secara inhalasi nebulisasi terutama penambahan – penambahan ini tidak
diperlukan bila pemberian agonis β2 sudah memberikan hasil yang baik.
6. Pengobatan lainnya
a. Hidrasi dan keseimbangan elektrolit
Dehidrasi hendaknya dinilai secara klinis, perlu juga pemeriksaan
elektrolit serum, dan penilaian adanya asidosis metabolic. Ringer laktat
dapat diberikan sebagai terapi awal untuk dehidrasi dan pada keadaan
asidosis metabolic diberikan Natrium Bikarbonat.
b. Mukolitik dan ekpetorans
Walaupun manfaatnya diragukan pada penderita dengan obstruksi jalan
berat ekspektorans seperti obat batuk hitam dan gliseril guaikolat dapat
diberikan, demikian juga mukolitik bromeksin maupun N-asetilsistein.
c. Fisioterapi dada
Drainase postural, fibrasi dan perkusi serta teknik fisioterapi lainnya hanya
dilakukan pada penderita hipersekresi mucus sebagai penyebab utama
eksaserbasi akut yang terjadi.
d. Antibiotic
Diberikan kalau jelas ada tanda – tanda infeksi seperti demam, sputum
purulent dengan neutrofil leukositosis.
e. Sedasi dan antihistamin
Obat – obat sedative merupakan indikasi kontra, kecuali di ruang
perawatan intensif. Sedangkan antihistamin tidak terbukti bermanfaat
dalam pengobatan asma akut berat malahan dapat menyebabkan
pengeringan dahak yang mengakibatkan sumbatan bronkus.
7. Penatalaksanaan lanjutan
Setelah diberikan terapi intensif awal, dilakukan monitor yang ketat terhadap
respon pengobatan dengan menilai parameter klinis seperti sesak napas, bising
mengi, frekuensi napas, frekuensi nadi, retraksi otot bantu napas. APE,
fotothoraks, AGD, kadar serum aminofilin, kadar kalium dan gula darah diperiksa
sebagai dasar tindakan selanjutnya.
Indikasi perawatan intensif
Penderita yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi intensif yangdiberikan
perlu dipikirkan apakah penderita akan dikirim ke unit perawatan intensif.
Adapun penderita yang memerlukan perawatan intensif yaitu
a. Terdapat tanda- tanda kelelahan
b. Gelisah, bingung, kesadaran menurun
c. Terjadi henti napas ( PaO2 < 40 mmHg atau PaCO2 > 45 mmHg ) sesudah
pemberian oksigen.
8. Penatalaksanaan lanjutan diruangan
Pada penderita yang telah menunjukkan respon yang baik terhadap pengobatan,
terapi intensif dilanjutkan paling sedikit 2 hari. Pada 2 – 5 hari pertama semua
pengobatan intravena diganti, diberikan steroid oral dan aminofilin oral serta
agonis β2 dengan inhaler dosis terukur 6 – 8 x/ hari atau preparat oral 3 – 4 x/hari.
Pada hari 5 – 10, steroid oral ( predmison, predmisolon ) diturunkan, obat agonis
β2 dan aminofilin diteruskan ( Nugroho, 2016 ).
G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam mengkaji obstruksi
jalan nafas akut.
2. Pemeriksaan gas darah arteri dilakukan jika pasien tidak mampu melakukan
manufer fungsi pernafasan karena obstruksi berat atau keletihan, atau bilapasien
tidak berespon terhadap tindakan
3. Arus puncak ekspirasi APE mudah di periksa dengan alat yang sederhana,
flowmeter dan merupakan data yang objektif dalam menentukan derajat beratnnya
penyakit
4. Pemeriksaan foto thorax pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk melihat hal –
hal yang ikut memperburuk atau komplikasi asma akut yang perlu juga mendapat
penanganan seperti atelektasis, pneuonia, dan pneumothorax
5. Elektrokardiografi tanda- tanda abnormalita sementara dan refersible setelah
terjadi perbaikan klinis adalah gelombang p meninggi ( p = pulmonal ), takikardi
dengan atau tanda aritmia supraventrikuler, tanda – tanda hipertrofi ventrikel
kanan dan defiasi aksis ke kanan ( Nugroho, 2016 ).
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan asma adalah
1. Pneumotoraks
2. Atelektasis
3. Gagal nafas
4. Bronchitis ( Nur Arif Amin, 2015 ).
5.
Konsep Asuhan Kegawatdaruratan Pada Status Asmatikus

A. Pengkajian
1. Pengkajian primer
a. Airway
Pada pasien dengan status asmatikus ditemukan adanya penumpukan
sputum pada jalan nafas. Hal ini menyebabkan penyumbatan jalan napas
sehingga status asmatikus ini memperlihatkan kondisi pasien yang sesak
karena kebutuhan akan oksigen semakin sedikit yang dapat diperoleh.
b. Breathing
Adanya sumbatan pada jalan napas pasien menyebabkan bertambahnya
usaha napas pasien untuk memperoleh oksigen yang diperlukan oleh
tubuh. Namun pada status asmatikus pasien mengalami nafas lemah
hingga adanya henti napas. Sehingga ini memungkinkan bahwa usaha
ventilasi pasien tidak efektif. Disamping itu adanya bising mengi dan
sesak napas berat sehingga pasien tidak mampu menyelesaikan satu
kalimat dengan sekali napas, atau kesulitan dalam bergerak. Pada
pengkajian ini dapat diperoleh frekuensi napas lebih dari 25 x / menit.
Pantau adanya mengi.
c. Circulation
Pada kasus status asmatikus ini adanya usaha yang kuat untuk
memperoleh oksgien maka jantung berkontraksi kuat untuk memenuhi
kebutuhan tersebut hal ini ditandai dengan adanya peningkatan denyut
nadi lebih dari 110 x/menit. Terjadi pula penurunan tekanan darah sistolik
pada waktu inspirasi. Pulsus paradoksus, lebih dari 10 mmHg. Arus
puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai dugaan atau nilai tertinggi
yang pernah dicapai atau kurang dari 120 lt/menit. Adanya kekurangan
oksigen ini dapat menyebabkan sianosis yang dikaji pada tahap circulation
ini.
d. Disability
Pada tahap pengkajian ini diperoleh hasil bahwa pasien dengan status
asmatikus mengalami penurunan kesadaran. Disamping itu pasien yang
masih dapat berespon hanya dapat mengeluarkan kalimat yang terbata –
bata dan tidak mampu menyelesaikan satu kalimat akibat usaha napas
yang dilakukannya sehingga dapat menimbulkan kelelahan .Namun pada
penurunan kesadaran semua motorik sensorik pasien unrespon.
2. Pengkajian sekunder
a. Pemeriksaan fisik head to toe.
b. Pemeriksaan keadaan umum dan kesadaran
c. Eliminasi
Kaji haluaran urin, diare/konstipasi.
d. Makanan/cairan
Penambahan BB yang signifikan, pembengkakan ekstrimitas oedema pada
bagian tubuh.
e. Nyeri/kenyamanan
Nyeri pada satu sisi, ekspres imeringis.
f. Neurosensori
Kelemahan :perubahankesadaran
B. Diagnosa
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum
2. Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas
3. Ketidakefektian perfusi jaringan perifer b/d kekurangan oksigen
C. Intervensi
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum
Intervensi :
NOC :
a. Menunjukan pembersihan jalan nafas yang efektif.
b. Mengeluarkan sekresi secara efektif
c. Mempunyai irama dan frekwensi pernafasan dalam rentang normal.
d. Mempunyai fungsi paru dalam batas normal

NIC :

Airway suction

a. Pastikan kebutuhan oral/ tracheal suctioning


b. Auskultasi suara nafas sebelum dan sesudah suctioning
c. Informasikan kepada klien dan keluarga tentang suctioning
d. Berikan O2 dengan menggunakan nasal untuk memfasilitasi suction
nasotrakeal
e. Anjurkan alat yang steril setiap melakukan tindakan
f. Monitor status oksigen pasien.

Airway management

a. Buka jalan nafas


b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
c. Indentifikasi pasien perlunya pemasangan alat jalan nafas buatan
d. Lakukan fisioterapi dada jika perlu
e. Berikan bronchodilator bila perlu
f. Monitor respirasi dan status O2

2. Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas


NOC :
a. Pertukaran gas dan ventilasi pasien tidak bermasalah
b. Tidak menggunakan pernafasan mulut
NIC :
Airway management
a. Buka jalan nafas
b. Posiskan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
c. Pasang mayo bila perlu
d. Lakukan suction pada mayo
e. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
f. Monitor konsentrasidan status O2
g. Terapioksigen
h. Bersihkan mulut, hidung dan secret pada trakea
i. Pertahankan jalannafas yang paten
j. Atur peralatan oksigenasi
k. Monitor aliran oksigenasi
l. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi.
Vital sign management
a. Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
b. Catat adanya fluktasi tekanan darah
c. Ukur tekanan darah pada kedua lengan dan bandingkan
d. Monitor frekuensi dan irama pernafasan
e. Monitor suhu,warna dan kelembaban kulit
f. Monitor adanya tekanana nadi yang melebar, bradikardi, peningkatan
sistolik.

3. Gangguan pertukaran gas b/d ketidakseimbangan ventilasi


NOC :
a. Dapat memepertahankan Pertukaran CO2 atau O2 di alveolar dalam
keadaan normal
b. Tidak terdapat cyanosis pada pasien
c. Pasien tdk mengalami nafas dangkal atau ortopnea
NIC
Airway management
a. Buka jalan nafas
b. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
c. Pasang mayo bilaperlu
d. Lakukan suction pada mayo
e. Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
f. Monitor konsentrasi dan status O2
Respiratory monitoring :
a. Monitor rata-rata, kedalaman, irama dan usaha respirasi
b. Catat pengerakan dada,amati kesimetrisan, penggunaan otot
c. tambahan , retraksi otot supraclavikular dan intercostatis
d. Monitor suara nafas, seperti dengkur
e. Monitor kelelahan otot diafragma ( gerakan paradoksis )
f. Tentukan kebutuhan suction dengan mengaukultasi pada jalan nafas utama
g. Auskultasi suara paru setelah tindakan untuk mengetahui hasilnya
DAFTAR PUSTAKA

Chang, Ester. 2009. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktik Keperawatan.


EGC : Jakarta.

Kosasih, Alvin. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Kegawatdaruratan Paru Dalam


Praktek Sehari-Hari. Jakarta: Sagung Seto.

Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan System
Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Morton, Patricia Gonce. 2011. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan Kep. Holistik,
Ed. 8, EGC : Jakarta.

Sadguna, Dwija. 2011. Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan Pasien Gagal


Nafas. http://www.scribd.com. Diakses tanggal 1 november 2017 jam 15.56 WIB.

Swidarmoko, Boedi. 2010. Pulmonologi Intervensi Dan Gawat Darurat Napas. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai