Anda di halaman 1dari 11

BAB II

LANDASAN TEORI

A. PENGERTIAN
Asma adalah suatu peradangan pada bronkus akibat reaksi hipersensitif
mukosa bronkus terhadap alergen. Reaksi hipersensitif pada bronkus dapat
mengakibatkan pembengkakan pada mukosa bronkus. (Sukarmain, 2009).
Yakni suatu asma yang refraktor terhadap obat-obatan yang
konvensional (Smeltzer, 2001). status asmatikus merupakan keadaan
emergensi dan tidak langsung memberikan respon terhadap dosis umum
bronkodilator (Depkes RI, 2007 ).
Status Asmatikus yang dialami penderita asma dapat berupa
pernapasan wheezing, ronchi ketika bernapas (adanya suara bising ketika
bernapas), kemudian bisa berlanjut menjadi pernapasan labored
(perpanjangan ekshalasi), pembesaran vena leher, hipoksemia, respirasi
alkalosis, respirasi sianosis, dyspnea dan kemudian berakhir dengan
tachypnea. Namun makin besarnya obstruksi di bronkus maka suara
wheezing dapat hilang dan biasanya menjadi pertanda bahaya gagal
pernapasan ( Purnomo, 2008 ).
B. Etiologi
Penyebab hipersensitifitas saluran pernapasan pada kasus asma
banyak diakibatkan oleh faktor genetik (keturunan). Sedangkan faktor
pemicu timbulnya reaksi hipersensistifitas saluran pernapasan dapat
berupa:
1. Hirup debu yang didapatkan dijalan raya maupun debu rumah
tangga.
2. Hirupan asap kendaraan, asap rokok, asap pembakaran.
3. Hirup aerosol (asap pabrik yang bercampur gas buangan seperti
nitrogen).
4. Pajanan hawa dingin.
5. Bulu binatang.
6. Stress yang berlebihan.
Selain faktor-faktor diatas kadang juga ada individu yang sensitife
terhadap faktor pemicu diatas tetapi penderita lain tidak.
( Sukarmin, 2009).
C. Manifestasi klinis
Manifestasi klinik pada pasien asmatikus adalah batuk, dyspnoe (sesak
nafas), dan wheezing (terengah-engah). Pada sebagian penderita disertai
dengan rasa nyeri dada, pada penderita yang sedang bebas serangan tidak
ditemukan gejala klinis, sedangkan waktu serangan tampak penderita
bernafas cepat, dalam, gelisa, duduk dengan tangan menyangga ke depan
serta tampak otot-otot bantu pernafasan bekerja dengan keras.
Ada beberapa tingkatan penderita asma yaitu :
1) Tingkat I :
a. Secara klinis normal tanpa kelainan pemeriksaan fisik dan fungsi
paru.
b. Timbul bila ada faktor pencetus baik didapat alamiah maupun
dengan test provokasi bronkial di laboratorium.
2) Tingkat II :
a. Tanpa keluhan dan kelainan pemeriksaan fisik tapi fungsi paru
menunjukkan adanya tanda-tanda obstruksi jalan nafas (batuk,
sesak nafas, wheezing).
b. Banyak dijumpai pada klien setelah sembuh serangan.
3) Tingkat III :
a. Tanpa keluhan.
b. Pemeriksaan fisik dan fungsi paru menunjukkan adanya obstruksi
jalan nafas.
c. Penderita sudah sembuh dan bila obat tidak diteruskan mudah
diserang kembali.
4) Tingkat IV :
a. Klien mengeluh batuk, sesak nafas dan nafas berbunyi wheezing.
b. Pemeriksaan fisik dan fungsi paru didapat tanda-tanda obstruksi
jalan nafas.
5) Tingkat V :
a. Status asmatikus yaitu suatu keadaan darurat medis berupa
serangan asma akut yang berat bersifat refrakter (tak beraksi)
sementara terhadap pengobatan yang lazim dipakai.
b. Asma pada dasarnya merupakan penyakit obstruksi jalan nafas
yang reversibel ( Sukarmin, 2009 ).

D. Patofisiologi
Karakteristik dasar dari asma ( konstriksi otot polos bronchial,
pembengkakan mukosa bronchial, dan pengentalan sekresi ) mengurangi
diameter bronchial dan nyata pada status asmatikus.
Abnormalitas ventilasi – perfusi yang mengakibatkan hipoksemia dan
respirasi alkalosis pada awalnya, diikuti oleh respiratori asidosis.Terhadap
penurunan PaO2 dan respirasi alkalosis dengan penurunan PaCO2 dan
peningkatan pH. Dengan meningkatnya keparahan status asmatikus,
PaCO2 meningkat dan pH turun, mencerminkan respirasi asidosis
( Krisanty Paula, 2009 ).

E. Patway
Terlampir
F. Penatalaksanaan
Semua penderita yang dirawat inap di rumah sakit memperlihatkan
keadaan obstruktif jalan napas yang berat. Perhatian khusus harus
diberikan dalam perawatan, sedapat mungkin dirawat oleh dokter dan
perawat yang berpengalaman. Pemantauan dilakukan secara tepat
berpedoman secara klinis, uji faal paru ( APE ) untuk dapat menilai respon
pengobatan apakah membaik atau justru memburuk. Perburukan mungkin
saja terjadi oleh karena konstriksi bronkus yang lebih hebat lagi maupun
sebagai akibat terjadinya komplikasiseperti infeksi, pneumothoraks,
pneumomediastinum yang sudah tentu memerlukan pengobatan lainnya.
Efek samping obat yang berbahaya dapat terjadi pada pemberian drips
aminofilin. Dokter yang merawat harus mampu dengan akurat menentukan
kapan penderita meski dikirim ke unit perawatan intensif.
Penderita status asmatikus yang dirawat inap di ruangan, setelah dikirim
dari UGD dilakukan penatalaksaanan sebagai berikut :
1. Pemberian terapi oksigen dilanjutkan
Terapi oksigen dilakukan megnatasi dispena, sianosis,
danhipoksemia. Oksigen aliran rendah yang dilembabkan baik
dengan masker Venturi atau kateter hidung diberikan. Aliran
oksigen yang diberikan didasarkan pada nilai – nilai gas darah.
PaO2 dipertahankan antara 65 dan 85 mmHg. Pemberian sedative
merupakan kontraindikasi. Jika tidak terdapat respons terhadap
pengobatan berulang, dibutuhkan perawatan di rumah sakit.
2. Agonis β2
Dilanjutkan dengan pemberian inhalasi nebulasi 1 dosis tiap jam,
kemudian dapat diperjarang pemberiannya setiap 4 jam bila sudah
ada perbaikan yang jelas. Sebagian alternative lain dapat diberikan
dalam bentuk inhalasi dengan nebuhaler / volumatic atau secara
injeksi. Bila terjadi perburukan, diberikan drips salbutamol atau
terbutalin.
3. Aminofilin
Diberikan melalui infuse / drip dengan dosis 0,5 – 0,9 mg/kg BB /
jam. Pemberian per drip didahului dengan pemberian secara bolus
apabila belum diberikan. Dosis drip aminofilin direndahkan pada
penderita dengan penyakit hati, gagal jantung, atau bila penderita
menggunakan simetidin, siprofloksasin atau eritromisin. Dosis
tinggi diberikan pada perokok. Gejala toksik pemberian aminofilin
perlu diperhatikan. Bila terjadi mual, muntah, atau anoreksia dosis
harus diturunkan. Bila terjadi konfulsi, aritmia jantung drip
aminofilin segera dihentikan karena terjadi gejala toksik yang
berbahaya.
4. Kortikosteroid
Kortikosteroid dosis tinggi intraveni diberikan setiap 2 – 8 jam
tergantung beratnya keadaan serta kecepatan respon. Preparat
pilihan adalah hidrokortison 200 – 400 mg dengan dosis
keseluruhan 1 – 4 gr / 24 jam. Sediaan yang lain dapat juga
diberikan sebagai alternative adalah triamsiolon 40 – 80 mg,
dexamethason / betamethason 5 – 10 mg. bila tidak tersedia
kortikosteroid intravena dapat diberikan kortikosteroid per oral
yaitu predmison atau predmisolon 30 – 60 mg/ hari.
5. Antikolonergik
Iptropium bromide dapt diberikan baik sendiri maupun dalam
kombinasi dengan agonis β2secara inhalasi nebulisasi terutama
penambahan – penambahan ini tidak diperlukan bila pemberian
agonis β2 sudah memberikan hasil yang baik.
6. Pengobatan lainnya
a. Hidrasi dan keseimbangan elektrolit
Dehidrasi hendaknya dinilai secara klinis, perlu juga
pemeriksaan elektrolit serum, dan penilaian adanya asidosis
metabolic. Ringer laktat dapat diberikan sebagai terapi awal
untuk dehidrasi dan pada keadaan asidosis metabolic
diberikan Natrium Bikarbonat.
b. Mukolitik dan ekpetorans
Walaupun manfaatnya diragukan pada penderita dengan
obstruksi jalan berat ekspektorans seperti obat batuk hitam
dan gliseril guaikolat dapat diberikan, demikian juga
mukolitik bromeksin maupun N-asetilsistein.
c. Fisioterapi dada
Drainase postural, fibrasi dan perkusi serta teknik
fisioterapi lainnya hanya dilakukan pada penderita
hipersekresi mucus sebagai penyebab utama eksaserbasi
akut yang terjadi.
d. Antibiotic
Diberikan kalau jelas ada tanda – tanda infeksi seperti
demam, sputum purulent dengan neutrofil leukositosis.
e. Sedasi dan antihistamin
Obat – obat sedative merupakan indikasi kontra, kecuali di
ruang perawatan intensif. Sedangkan antihistamin tidak
terbukti bermanfaat dalam pengobatan asma akut berat
malahan dapat menyebabkan pengeringan dahak yang
mengakibatkan sumbatan bronkus.
7. Penatalaksanaan lanjutan
Setelah diberikan terapi intensif awal, dilakukan monitor yang
ketat terhadap respon pengobatan dengan menilai parameter klinis
seperti sesak napas, bising mengi, frekuensi napas, frekuensi nadi,
retraksi otot bantu napas. APE, fotothoraks, AGD, kadar serum
aminofilin, kadar kalium dan gula darah diperiksa sebagai dasar
tindakan selanjutnya.
Indikasi perawatan intensif
Penderita yang tidak menunjukkan respon terhadap terapi intensif
yangdiberikan perlu dipikirkan apakah penderita akan dikirim ke
unit perawatan intensif. Adapun penderita yang memerlukan
perawatan intensif yaitu
a. Terdapat tanda- tanda kelelahan
b. Gelisah, bingung, kesadaran menurun
c. Terjadi henti napas ( PaO2 < 40 mmHg atau PaCO2 > 45
mmHg ) sesudah pemberian oksigen.
8. Penatalaksanaan lanjutan diruangan
Pada penderita yang telah menunjukkan respon yang baik terhadap
pengobatan, terapi intensif dilanjutkan paling sedikit 2 hari. Pada 2
– 5 hari pertama semua pengobatan intravena diganti, diberikan
steroid oral dan aminofilin oral serta agonis β2 dengan inhaler
dosis terukur 6 – 8 x/ hari atau preparat oral 3 – 4 x/hari. Pada hari
5 – 10, steroid oral ( predmison, predmisolon ) diturunkan, obat
agonis β2 dan aminofilin diteruskan ( Nugroho, 2016 ).
G. Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan fungsi paru adalah cara yang paling akurat dalam
mengkaji obstruksi jalan nafas akut.
2. Pemeriksaan gas darah arteri dilakukan jika pasien tidak mampu
melakukan manufer fungsi pernafasan karena obstruksi berat atau
keletihan, atau bilapasien tidak berespon terhadap tindakan
3. Arus puncak ekspirasi APE mudah di periksa dengan alat yang
sederhana, flowmeter dan merupakan data yang objektif dalam
menentukan derajat beratnnya penyakit
4. Pemeriksaan foto thorax pemeriksaan ini terutama dilakukan untuk
melihat hal – hal yang ikut memperburuk atau komplikasi asma
akut yang perlu juga mendapat penanganan seperti atelektasis,
pneuonia, dan pneumothorax
5. Elektrokardiografi tanda- tanda abnormalita sementara dan
refersible setelah terjadi perbaikan klinis adalah gelombang p
meninggi ( p = pulmonal ), takikardi dengan atau tanda aritmia
supraventrikuler, tanda – tanda hipertrofi ventrikel kanan dan
defiasi aksis ke kanan ( Nugroho, 2016 ).
H. Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada klien dengan asma adalah
1. Pneumotoraks
2. Atelektasis
3. Gagal nafas
4. Bronchitis ( Nur Arif Amin, 2015 ).
5.
Konsep Asuhan Kegawatdaruratan Pada Status Asmatikus

A. Pengkajian
1. Pengkajian primer
a. Airway
Pada pasien dengan status asmatikus ditemukan adanya
penumpukan sputum pada jalan nafas. Hal ini
menyebabkan penyumbatan jalan napas sehingga status
asmatikus ini memperlihatkan kondisi pasien yang sesak
karena kebutuhan akan oksigen semakin sedikit yang dapat
diperoleh.
b. Breathing
Adanya sumbatan pada jalan napas pasien menyebabkan
bertambahnya usaha napas pasien untuk memperoleh
oksigen yang diperlukan oleh tubuh. Namun pada status
asmatikus pasien mengalami nafas lemah hingga adanya
henti napas. Sehingga ini memungkinkan bahwa usaha
ventilasi pasien tidak efektif. Disamping itu adanya bising
mengi dan sesak napas berat sehingga pasien tidak mampu
menyelesaikan satu kalimat dengan sekali napas, atau
kesulitan dalam bergerak. Pada pengkajian ini dapat
diperoleh frekuensi napas lebih dari 25 x / menit. Pantau
adanya mengi.
c. Circulation
Pada kasus status asmatikus ini adanya usaha yang kuat
untuk memperoleh oksgien maka jantung berkontraksi kuat
untuk memenuhi kebutuhan tersebut hal ini ditandai dengan
adanya peningkatan denyut nadi lebih dari 110 x/menit.
Terjadi pula penurunan tekanan darah sistolik pada waktu
inspirasi. Pulsus paradoksus, lebih dari 10 mmHg. Arus
puncak ekspirasi ( APE ) kurang dari 50 % nilai dugaan
atau nilai tertinggi yang pernah dicapai atau kurang dari
120 lt/menit. Adanya kekurangan oksigen ini dapat
menyebabkan sianosis yang dikaji pada tahap circulation
ini.
d. Disability
Pada tahap pengkajian ini diperoleh hasil bahwa pasien
dengan status asmatikus mengalami penurunan kesadaran.
Disamping itu pasien yang masih dapat berespon hanya
dapat mengeluarkan kalimat yang terbata – bata dan tidak
mampu menyelesaikan satu kalimat akibat usaha napas
yang dilakukannya sehingga dapat menimbulkan
kelelahan .Namun pada penurunan kesadaran semua
motorik sensorik pasien unrespon.
2. Pengkajian sekunder
a. Pemeriksaan fisik head to toe.
b. Pemeriksaan keadaan umum dan kesadaran
c. Eliminasi
Kaji haluaran urin, diare/konstipasi.
d. Makanan/cairan
Penambahan BB yang signifikan, pembengkakan
ekstrimitas oedema pada bagian tubuh.
e. Nyeri/kenyamanan
Nyeri pada satu sisi, ekspres imeringis.
f. Neurosensori
Kelemahan :perubahankesadaran
B. Diagnosa
1. Ketidakefektifan bersihan jalan napas b/d penumpukan sputum
2. Ketidakefektifan pola napas b/d penurunan kemampuan bernapas
3. Ketidakefektian perfusi jaringan perifer b/d kekurangan oksigen
C. Intervensi
a.
DAFTAR PUSTAKA

Chang, Ester. 2009. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktik Keperawatan.


EGC : Jakarta.

Kosasih, Alvin. 2008. Diagnosis Dan Tatalaksana Kegawatdaruratan


Paru Dalam Praktek Sehari-Hari. Jakarta: Sagung Seto.

Muttaqin, Arif. 2008. Pengantar Asuhan Keperawatan Klien dengan


Gangguan System Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.

Morton, Patricia Gonce. 2011. Keperawatan Kritis: Pendekatan Asuhan


Kep. Holistik, Ed. 8, EGC : Jakarta.
Sadguna, Dwija. 2011. Laporan Pendahuluan Asuhan Keperawatan
Pasien Gagal Nafas. http://www.scribd.com. Diakses tanggal 1 november
2017 jam 15.56 WIB.

Swidarmoko, Boedi. 2010. Pulmonologi Intervensi Dan Gawat Darurat


Napas. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai