Anda di halaman 1dari 13

SUKU – SUKU ASLI

DI RIAU DAN KEPULAUAN RIAU

DIKERJAKAN OLEH :
ALTHAF EL RAFIF
HUMAIRA

KELAS : 4 D
SDN : 006 SEKUPANG
SUKU MELAYU

Suku Melayu (Melayu; jawi: ‫ )ويالم‬adalah sebuah kelompok etnis dari orang-orang
Austronesia terutama yang menghuni Semenanjung Malaya, seluruh Sumatra, bagian selatan
Thailand, pantai selatan Burma, pulau Singapura, Borneo Pesisir termasuk Brunei, Kaliman
Barat, Kalimantan Timur dan Serawak dan Sabah pesisir, Filipina bagian barat dan selatan,
dan pulau-pulau kecil yang terletak antara lokasi ini — yang secara kolektif dikenal sebagai
"Dunia Melayu". Lokasi ini sekarang merupakan bagian dari negara modern Malaysia,
Indonesia, Singapura, Brunei, Burma, Thailand, dan Filipina.
Meskipun begitu, banyak pula masyarakat Minangkabau, Mandailing, dan Dayak yang
berpindah ke wilayah pesisir timur Sumatra dan pantai barat Kalimantan, mengaku sebagai
orang Melayu. Selain di Nusantara, suku Melayu juga ada di Sri Lanka, Kepulauan Cocos
(Keeling) (Cocos Malays), dan Afrika Selatan (Cape Malays).

Hang Tuah Raja Ali Haji Amir Hamzah

SEJARAH
Nama "Malayu" berasal dari Kerajaan Melayu yang pernah ada di kawasan Sungai Batang
Haru, Jambi. Dalam perkembangannya, Kerajaan Melayu akhirnya takluk dan menjadi
bawahan Kerajaan Sriwijaya. Pemakaian istilah Melayu-pun meluas hingga ke luar Sumatra,
mengikuti teritorial imperium Sriwijaya yang berkembang hingga ke Jawa, Kalimantan, dan
Semenanjung Malaya.
Berdasarkan prasasti Keping Tembaga Laguna, pedagang Melayu telah berdagang ke seluruh
wilayah Asia Tenggara, juga turut serta membawa adat budaya dan Bahasa Melayu pada
kawasan tersebut. Bahasa Melayu akhirnya menjadi lingua franca menggantikan Bahasa
Sanskerta. Era kejayaan Sriwijaya merupakan masa emas bagi peradaban Melayu, termasuk
pada masa wangsa sailendra di Jawa, kemudian dilanjutkan oleh kerajaan Dharmasraya
sampai pada abad ke-14, dan terus berkembang pada masa Kesultanan Malaka sebelum
kerajaan ini ditaklukan oleh kekuatan tentara Portugis pada tahun 1511.
Masuknya agama Islam ke Nusantara pada abad ke-12, diserap baik-baik oleh masyarakat
Melayu. Islamisasi tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat jelata, namun telah menjadi
corak pemerintahan kerajaan-kerajaan Melayu. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut ialah
Kesultanan Johor, Kesultanan Perak, Kesultanan Pahang, Kesultanan Brunei, Kesultanan
Langkat, Kesultanan Deli, dan Kesultanan Siak. Bahkan kerajaan Karo Aru pun memiliki raja
dengan gelar Melayu. Kedatangan Eropa telah menyebabkan terdiasporanya orang-orang
Melayu ke seluruh Nusantara, Sri Lanka, dan Afrika Selatan. Di perantauan, mereka banyak
mengisi pos-pos kerajaan seperti menjadi syahbandar, ulama, dan hakim.
Dalam perkembangan selanjutnya, hampir seluruh Kepulauan Nusantara mendapatkan
pengaruh langsung dari Suku Melayu. Bahasa Melayu yang telah berkembang dan dipakai
oleh banyak masyarakat Nusantara, akhirnya dipilih menjadi bahasa nasional Indonesia,
Malaysia dan Brunei.

Bahasa Melayu

Istilah bahasa Melayu (Jawi: ‫ )ويالم ساهب‬mencakup sejumlah bahasa yang saling bermiripan
yang dituturkan di wilayah Nusantara dan di Semenanjung Melayu. Sebagai bahasa yang luas
pemakaiannya, bahasa ini menjadi bahasa resmi di Brunei, Indonesia (sebagai bahasa
Indonesia), danMalaysia (juga dikenal sebagai Bahasa malaysia); bahasa nasional Singapura;
dan menjadi bahasa kerja di Timor Leste (sebagai bahasa Indonesia). Bahasa Melayu
merupakan lingua franca dalam kegiatan perdagangan dan keagamaan di Nusantara sejak
abad ke-7, Migrasi kemudian juga turut memperluas pemakaiannya. Selain di negara yang
disebut sebelumnya, bahasa Melayu dituturkan pula di Afrika Selatan, Sri lanka, Thailand
Selatan, Filipina Selatan, Myanmar selatan, sebagian kecil Kamboja, hingga Papua Nugini
Bahasa ini juga dituturkan oleh penduduk Pulau Natal danKepulauan Cocos, yang menjadi
bagian Australia.
Sejarah penggunaan yang panjang ini tentu saja mengakibatkan perbedaan versi bahasa yang
digunakan. Ahli bahasa membagi perkembangan bahasa Melayu ke dalam tiga tahap utama,
yaitu

• Bahasa Melayu Kuni (abad ke-7 hingga abad ke-13)


• Bahasa Melayu Klasik, mulai ditulis dengan huruf Jawi (sejak abad ke-15)
• Bahasa Melayu Modern (sejak abad ke-20)
Walaupun demikian, tidak ada bukti bahwa ketiga bentuk bahasa Melayu tersebut saling
bersinambung. Selain itu, penggunaan yang meluas di berbagai tempat memunculkan
berbagai dialek bahasa Melayu, baik karena penyebaran penduduk dan isolasi, maupun
melalui kreolosasi.
Rintisan ke arah bahasa Melayu Modern dimulai ketika Raja Ali Haji, sastrawan istana dari
Kesultanan Riau Lingga, secara sistematis menyusun kamus ekabahasa bahasa Melayu (Kitab
Pengetahuan Bahasa, yaitu Kamus Loghat Melayu-Johor-Pahang-Riau-Lingga penggal yang
pertama) pada pertengahan abad ke-19. Perkembangan berikutnya terjadi ketika sarjana-
sarjana Eropa (khususnya Belanda dan Inggris) mulai mempelajari bahasa ini secara
sistematis karena menganggap penting menggunakannya dalam urusan administrasi. Hal ini
terjadi pada paruh kedua abad ke-19. Bahasa Melayu Modern dicirikan dengan penggunaan
alphabet Latin dan masuknya banyak kata-kata Eropa. Pengajaran bahasa Melayu di sekolah-
sekolah sejak awal abad ke-20 semakin membuat populer bahasa ini.
Di Indonesia, pendirian Balai Poestaka (1901) sebagai percetakan buku-buku pelajaran dan
sastra mengantarkan kepopuleran bahasa Melayu dan bahkan membentuk suatu varian bahasa
tersendiri yang mulai berbeda dari induknya, bahasa Melayu Riau. Kalangan peneliti sejarah
bahasa Indonesia masa kini menjulukinya "bahasa Melayu Balai Pustaka"atau "bahasa
Melayu van Ophuijsen".Van Ophuijsen adalah orang yang pada tahun 1901 menyusun ejaan
bahasa Melayu dengan huruf Latin untuk penggunaan di Hindia Belanda. Ia juga menjadi
penyunting berbagai buku sastra terbitan Balai Pustaka. Dalam masa 20 tahun berikutnya,
"bahasa Melayu van Ophuijsen" ini kemudian dikenal luas di kalangan orang-orang pribumi
dan mulai dianggap menjadi identitas kebangsaan Indonesia. Puncaknya adalah ketika dalam
Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) dengan jelas dinyatakan, "menjunjung bahasa
persatuan, bahasa Indonesia". Sejak saat itulah bahasa Melayu diangkat menjadi bahasa
kebangsaan.
Introduksi varian kebangsaan ini mendesak bentuk-bentuk bahasa Melayu lain, termasuk
bahasa Melayu Tionghoa, sebagai bentuk cabang dari bahasa Melayu Pasar, yang telah
populer dipakai sebagai bahasa surat kabar dan berbagai karya fiksi di dekade-dekade akhir
abad ke-19. Bentuk-bentuk bahasa Melayu selain varian kebangsaan dianggap bentuk yang
"kurang mulia" dan penggunaannya berangsur-angsur melemah.
Perbandingan Dari Beberapa Bahasa Melayu
Persamaan antara berbagai contoh bahasa dari beberapa rumpun Melayu dapat misalnya
dilihat dalam perbandingan kosakata berikut:
Bahasa
apa laut lihat kucing pergi ular keras manis lutut
Indonesia
Bahasa
apa laut lihat kucing pergi ular keras manis lutut
Malaysia
Bahasa
Melayu ape laot liat kucing pegi ulagh keghas manes lutot
Pontianak
Bahasa
apa laut liat kucing tulak ular karas manis lintuhut/tu'ut
Banjar
Bahasa
apo lauik Liai?/calia? kuciang pai ula kareh manih Lutui?
Minangkabau
Bahasa Pekal apo lawik liek kucing lalui ulah kehas manis lutuik
Bahasa
api lawok liyak kucing lapah ulai kekhas manis tuwot
Lampung
Bahasa
penamo lauʔ lihaʔ kucing gi ula kerah manih lutuʔ
Yawi (Pattani)
Bahasa
Melayu penamɑ lawt lihayt kucin pi ulaq keghaih manih lutuyt
Setul (Satun)
Bahasa Urak
namɑ lawoiʔ lihaiʔ mi'aw pi ulal kras maneh lutoiʔ
Lawoi'

Rumah Adat Melayu

Rumah adat Riau juga disebut dengan rumah adat Melayu. Riau dan Melayu dua kata
yang sudah untuk dipisahkan. Karena orang yang tinggal di Riau sejatinya atau kebanyakan
adalah orang yang bersuku Melayu. Jadi bicara mengenai rumah tradisional Riau sama saja
kita bicara rumah adat Melayu.

• Rumah Belah Bubung (disebut juga Rabung atau Bumbung Melayu)


adalah rumah adat dari kepulauan Riau.Rumah Belah Bubung juga dikenal dengan nama
rumah rabung atau rumah bubung melayu. Konon, nama rumah ini diberikan oleh orang-
orang asing yang datang ke Indonesia seperti Tiongkok dan Belanda. Rumah Belah
Bubung memiliki model rumah yang sama dengan rumah panggung. Rumah ini memiliki
tinggi 2 meter dari tanah dan ditopang oleh beberapa tiang penyangga. Rumah ini
memiliki atap yang berbentuk seperti pelana kuda. Rumah induk terbagi menjadi 4 bagian
yaitu selasar, ruang induk, ruang penghubung dapur, dan dapur. Rumah Belah Bubung
memiliki bahan dasar yaitu kayu. Proses pembangunan rumah pun tidak sembarangan
karena harus melalui beberapa tahap yang dipercaya menghindari pemilik rumah dari
kesialan. Ukuran rumah ini juga bergantung dari kemampuan ekonomi dari sang pemilik
rumah. Semakin besar ukuran rumah ini memperlihatkan bahwa kemampuan ekonomi
dari pemilik rumah adalah menengah ke atas, tetapi semakin kecil rumah ini
menunjukkan bahwa ekonomi pemilik rumah menengah ke bawah.

Rumah Belah Bubung dibagi lagi menjadi beberapa jenis menurut bentuk atapnya, yaitu:

• Rumah Lipat Pandan (atapnya curam)


• Rumah Lipat Kajang (atapnya agak mendatar)
• Rumah Atap Layar (disebut juga Ampar Labu, bagian bawah atap ditambah dengan
atap lain)
• Rumah Perabung Panjang (perabung atapnya sejajar dengan jalan raya)
• Rumah Perabung Melintang (perabung atapnya tidak sejajar dengan jalan)
Jenis rumah adat lainnya adalah :

• Rumah Limas Potong


Besar kecilnya rumah yang dibangun ditentukan oleh kemampuan pemiliknya, semakin kaya
seseorang semakin besar rumahnya dan semakin banyak ragam hiasnya. Namun
demikian,kekayaan bukan sebagai penentu yang mutlak. Pertimbangan yang paling utama
dalam membuat rumah adalah keserasian dengan pemiliknya. Untuk menentukan serasi atau
tidaknya sebuah rumah, sang pemilik menghitung ukuran rumahnya dengan hitungan hasta,
dari satu sampai lima. Adapun urutannya adalah:
• Ular berenang
• Meniti riak
• Riak meniti kumbang berteduh
• Habis utang berganti utang
• Hutang lima belum berimbuh
Ukuran yang paling baik adalah jika tepat pada hitungan riak meniti kumbang berteduh

Pakaian Adat Kepulauan Riau


Pakaian Adat Kepulauan Riau bernama Kebaya Labuh dan teluk belanga. Namun,
sebenarnya bukan hanya itu, masih banyak jenis pakaian tradisio di provinsi tersebut, hanya
saja, dikalangan nasional kedua pakaian itulah yang menjadi ikon wilayah ini. Di Kep. Riau
terdapat baju kurung keke, baju gunting cina, baju telepuk, dan lain-lain.

Pakaian Adat Kebaya Labuh

Pakaian tradisional Kepulauan Riau kebaya labuh adalah pakaian yang khusus dikenakan
oleh kaum wanita. Lazimnya dikenakan pada waktu dalam upacara adat dan acara resmi
masyarakat setempat.

Kebaya Labuh
Jika dilihat, sebenarnya bentuk pakaian kebaya labuh tak beda jauh dengan kebaya pada
umumnya, namun yang membedakan hanya pada ukurannya yang lebih panjang menjuntai
sampai ke bawah lutut.

Desain pakaian adat Kep. Riau ini juga sangat sederhana, bagian depan terdapat peniti dan
kancing sebagai pengait 3 buah. Karena kancingnya hanya tiga, maka bagian bawah pakaian
ini terlihat lebih terbuka dan melebar.

Pakaian Adat Teluk Belanga


Pakaian teluk belanga adalah pakaian tradisional Kep. Riau yang hanya dikenakan oleh para
pria. Pakaian ini sebenarnya adalah pakaian pria Melayu yang juga dijadikan ikon pakaian
adat Jambi, Riau, dan sekitarnya. Tetapi, pakaian teluk belanga di kepulauan Riau memiliki
keunikan tersendiri.

Pakaian tradisional Teluk belanga pada umumnya motifnya polos, warnanya pun tidak
mencolok. Warna pakaian dan celana panjang bawahannya pun sama. Bagian bawah juga
terdapat kain sarung sebatas lutut.

Sementara itu, sebagai aksesoris Teluk Belanga, adalah penutup kepala yang disebut tanjak.
Terbuat dari kain songket segi empat yang diikat sehingga terbentuk sebuah songkok (peci).
Tanjak umumnya digunakan hanya pada saat upacara resmi, seperti acara adat dan kenduri.

Senjata Tradisional

Beberapa senjata khas melayu antara lain :

1. Keris Melayu
2. Parang
3. Senjata Melayu
4. Tumbuk Lada

Badik Tumbuk Lado merupakan senjata tradisional yang berasal dari Kepulauan Riau. Badik
sendiri merupakan sebutan untuk senjata tradisional yang dikenal di kalangan masyarakat
bugis dan beberapa daerah di Sumatera. Sedangkan, Tumbuk Lada atau Tumbuk Lado (Riau)
adalah senjata tradisional masyarakat Melayu dan masyarakat Semenanjung Melayu. Tak
heran jika Badik Tumbuk Lado memiliki kemiripan dengan senjata dari daerah di
semenanjung melayu lainnya bahkan dengan negara tetangga Malaysia. Kepulauan Riau
ditinggali oleh berbagai ras dan etnis. Akan tetapi, mayoritas penduduk asli adalah bangsa
melayu. Oleh karena itu, kebudayaan dari daerah Riau ini banyak memiliki kesamaan dengan
wilayah yang berpenduduk asli melayu lainnya.

Badik Tumbuk Lado adalah sejenis senjata tikam berukuran 27 sampai 29 cm dan lebarnya
sekitar 3.5 sampai 4 cm. senjata ini tidak hanya dipakai oleh masyarakat Jambi, dan juga
memiliki kesamaan dengan badik Bugis hanya berbeda dalam bentuk dan motif sarung
badiknya saja. Tidak hanya di dalam negeri, Malaysia juga memiliki senjata tardisional yang
sama, baik secara nama dan bentuk. Hal ini tidak terlepas dari latar belakang masyarakat
melayu yang tersebar di indonesia, Malaysia, Filipina, Vietnam dan sepanjang semenanjung
Melayu. Sama halnya dengan keris, badik juga merupakan salah satu identitas yang
mencirikan bangsa Melayu.

Tidak diketahui kapan pastinya awal mula Badik Tumbuk Lado digunakan sebagai senjata
oleh orang Melayu. Akan tetapi, sejak dulu orang Melayu terutama masyarakat Melayu
kepulauan Riau menggunakan Badik Tumbuk Lado untuk berburu dan mempertahankan diri
dari serangan musuh. Selain itu, Badik Tumbuk Lado juga mempunyai fungsi estetis yakni
badik biasanya digunakan sebagai pelengkap baju adat pria Melayu terutama saat pesta
pernikahan. Bukan hanya berfungsi sebagai pelengkap baju adat saja, badik tumbuk lado juga
menyimbolkan keperkasaan dan kegagahan seorang pria. Sebetulnya, filosofi Badik Tumbuk
Lado tidak jauh berbeda dengan keris jika keris seringkali disebutkan sebagai symbol
pemersatu bangsa Melayu. Badik pun begitu, karena pada hakikatnya senjata dibuat sebagai
alat yang memudahkan manusia juga sebagai lambang keberanian bukan sebagai simbol
permusuhan.

Sampai saat ini Badik Tumbuk Lado masih digunakan oleh masyarakat kepulauan Riau untuk
melakukan kerja produksi seperti bercocok tanam atau berburu. Beberapa adat setempat juga
masih mempertahankan badik sebagai pelengkap busana adat pria. Hanya saja, saat ini badik
sudah tidak lagi sebagai senjata tajam yang berfungsi dalam perkelahian. Kini, masyarakat
melayu sudah memfungsikan Badik untuk fungsi-fungsi lain. Selain karena sekarang sudah
banyak senjata yang lebih modern, Badik Tumbuk Lado juga dianggap sudah tidak praktis
lagi menjadi barang bawaan.
SUKU LAUT
Suku Laut atau sering juga disebut Orang Laut\ adalah suku bangsa yang menghuni
Kepulauan Riau, Indonesia. Secara lebih luas istilah Orang Laut mencakup "berbagai suku
dan kelompok yang bermukim di pulau-pulau dan muara sungai di Kepulauan Riau-Lingga,
Pulau Tujuh, Kepulauan Batam, dan pesisir dan pulau-pulau di lepas pantai Sumatra Timur
dan Semenanjung Melayu bagian selatan."
Orang laut atau suku laut adalah kelompok masyarakat yang mempunyai kebudayaan bahari
yang semurni-murninya. Kondisi kekinian, orang laut banyak yang hidup menetap. Ini
berkembang dari konsep awal kategori orang laut. Orang laut adalah suku bangsa yang
bertempat tinggal di perahu dan hidup mengembara di Perairan Provinsi Kepulauan Riau
sekitarnya, dan pantai Johor Selatan
Sebutan lain untuk Orang Laut adalah Orang Selat. Orang Laut kadang-kadang dirancukan
dengan suku bangsa maritim lainnya, Orang Lanun.
Secara historis, Orang Laut dulunya adalah perompak, tetapi berperan penting
dalam Kerajaan Sriwijaya, Kesultanan Malaka dan Kesultanan Johor. Mereka menjaga selat-
selat, mengusir bajak laut, memandu para pedagang ke pelabuhan Kerajaan-kerajaan tersebut,
dan mempertahankan hegemoni mereka di daerah tersebut.

SEJARAH
Orang Laut memegang peranan penting dalam mendukung kejayaan kerajaan-kerajaan di
Selat Malaka. Pada zaman Sriwijaya mereka berperan sebagai pendukung imperium tersebut.
Dengan klaim sebagai keturunan raja-raja Sriwijaya sultan Malaka berhasil mendapatkan
dukungan dan kesetiaan Orang Laut. Sewaktu Malaka jatuh mereka meneruskan kesetiaan
mereka kepada keturunan sultan Malaka yang kemudian mendirikan Kesultanan Johor. Saat
Belanda bermaksud menyerang Johor yang mulai bangkit menyaingi Malaka--yang pada
abad ke-17 direbut Belanda atas --Sultan Johor mengancam untuk memerintahkan Orang
Laut untuk menghentikan perlindungan Orang Laut pada kapal-kapal Belanda.
Pada 1699 Sultan Mahmud Syah, keturunan terakhir wangsa Malaka-Johor, terbunuh. Orang
Laut menolak mengakui wangsa Bendahara yang naik tahta sebagai sultan Johor yang baru,
karena keluarga Bendahara dicurigai terlibat dalam pembunuhan tersebut. Ketika pada 1718
Raja Kecil, seorang petualang Minangkabau mengklaim hak atas tahta Johor, Orang Laut
memberi dukungannya. Namun dengan dukungan prajurit-prajurit Bugis Sultan Sulaiman
Syah dari wangsa Bendahara berhasil merebut kembali tahta Johor. Dengan bantuan orang-
orang Laut (orang suku Bentan dan orang Suku Bulang) membantu Raja Kecil mendirikan
Kesultanan Siak, setelah terusir dari Johor.
Pada abad ke-18 peranan Orang Laut sebagai penjaga Selat Malaka untuk Kesultanan Johor-
Riau pelan-pelan digantikan oleh suku Bugis.
Bahasa Orang Laut
Bahasa Orang Laut memiliki kemiripan dengan Bahasa Melayu dan digolongkan sebagai
Bahasa Melayu Lokal. Saat ini mereka umumnya bekerja sebagai nelayan. Seperti Suku
Bajau. Orang Laut kadang-kadang dijuluki sebagai "kelana laut", karena mereka hidup
berpindah-pindah di atas perahu.

1. Suku laut merupakan istilah sebutan yang diberikan oleh orang luar, sementara suku laut
sendiri menyebut suku mereka dengan berbagai nama, diantaranya:Orang Laut yang ada
di sekitar Pulau Batam, Bintan, Mantang dan juga Kelong menyebut diri mereka sebagai
suku bangsa Mantang.
2. Orang Laut yang ada di sekitar perairan Pulau Mapur, Kelong dan juga Toi menamakan
diri sebagai suku bangsa Mapur
3. Orang Laut yang ada di sekitar Pulau Pancur dan Lingga menyebut diri mereka sebagai
suku bangsa Barok.

Dahulu, suku laut yang ada di kawasan Kepulauan Riau umumnya mengaku beragama Islam.
Hal ini disebabkan pengaruh kejayaan Kesultanan Malaka sebagai kerajaan Islam. Meski
sebagian praktik ibadah yang dilakukan suku laut masih bercampur dengan kepercayaan
animisme. Akan tetapi saat ini, sebagian suku laut yang ada di Kepulauan Riau mengaku
beragama Kristen. Hal ini dibuktikan dengan pembangunan gereja GPIB di Pulau Boyan.

Salah satu daerah di Bintan yang dihuni oleh suku laut adalah Desa Air Kelubi, Kecamatan
Bintan Pesisir, Pulau Bintan. Di sini didiami 40 Kepala Keluarga dari suku laut. Di tempat ini
dibangun rumah-rumah sederhana yang merupakan bantuan dari pemerintah. Pekerjaan
utama masyarakat suku laut tetap sebagai nelayan. Jika hujan atau badai datang, rumah
mereka terkadang rusak. Sejak tahun 1980-an, masyarakat suku laut di tempat ini didorong
pemerintah untuk tinggal menetap dengan bantuan yang ada. Selanjutnya suku ini diislamkan
dan diharapkan mampu menjalani kehidupan sebagaimana masyarakat yang tinggal di
daratan.

PROPINSI RIAU

Riau dianggap sebagai bagian dari dunia Melayu, saat ini dianggap sebagai pusat budaya
Melayu di Indonesia. Namun Demikian, Riau dianggap sebagai provinsi yang sangat
beragam, karena dihuni oleh banyak kelompok etnis seperti, Melayu, Minangkabau, Cina,
Batak. Dialek melayu lokal Riau dianggap sebagai lingua franca di propinsi ini.

Propinsi Riau memiliki suku asli yang sampai sekarang masih hidup berkelompok dan terus
menjunjung tinggi adat istiadat yang mereka peroleh dari nenek moyang mereka yang
menjadi cirri khas mereka dan tidak terpengaruh dengan kebudayaan modern.

Beberapa suku asli di Riau antara lain


SUKU TALANG MAMAK

Asal Usul
Masyarakat Talang Mamak berasal dari Pagaruyung yang terdesak akibat konflik adat dan
agama. Berdasarkan hikayat yang berkembang pada masyarakat tersebut, bahwa nenek
moyang mereka turun dari Gunung Merapi menuju ke Taluk Kuantan, menelusuri Batang
Kuantan dipimpin oleh Datuk Patih bergelar Perpatih Nan Sebatang, kemudian membangun
pemukiman pada sehiliran sungai tersebut.

Bahasa
Masyarakat Talang Mamak dalam percakapan sehari-hari menggunakan bahasa yang disebut
dengan Bahasa Talang Mamak, walaupun dalam percakapan dengan pihak di luar komunitas,
mereka biasa menggunakan Bahasa Melayu. Dalam kosakata Bahasa Talang Mamak ini
terdapat pengaruh Bahasa Minang dan Bahasa Melayu

Mata Pencaharian
Secara keseluruhan, mata pencarian mereka adalah berladang, menyadap karet, dan
mengambil hasil hutan nonkayu. Di samping berburu atau juga menangkap ikan.

Tradisi
Namun begitu, mereka masih kental dengan tradisi adat. Sebut saja Gawai (Pesta
Pernikahan), kemantan (Pengobatan Penyakit), Tambat Kubur (Acara 100 hari kematian),
serta Khitanan untuk anak lelaki berumur 12 tahun ke atas yang dianggap mendekati usia
dewasa. Begitu juga dengan rumah yang masih berbentuk panggung, sebagai ciri khas
mereka, misalnya. Bangunan kayu tanpa ruangan khusus serta sekat pembatas -mulai dari
dapur hingga ruang tidur- sehingga, segala barang tergeletak menjadi satu masih kokoh
berdiri.

Pernikahan Suku Talang Mamak Paran pada Rumah Suku Talang Mamak
SUKU AKIT

Suku Akit atau Suku Akik merupakan salah satu suku asli yang mendiami wilayah Provinsi
Riau. Suku Akit merupakan suku asli yang mendiami wilayah Pulau Rupat tepatnya di
Kecamatan Bengkalis Kabupaten Bengkalis, dan Kabupaten Kepulauan Meranti tepatnya di
Pulau Padang ( Sungai Labu,Kudap, Dedap, Selat Akar, Bagan Melibur, Kunsit), Pulau
Merbau (Cemaning, Ketapang, Renak Dungun), Pulau Tebing tinggi (Tanjung Peranap, Aer
mabuk,Kundur, Lalang, Sesap, Batin Suir) dan Pulau Rangsang (Api-api, Linau Kuning,
Bungur-Kuala parit, Sonde,Sungai Rangsang, Tanjung sari, Sokop, Mereng, Bandaraya,
Banau, Sipije), juga di Kabupaten Pelelawan tepatnya di Kecamatan Kuala Kampar Pulau
Mendol. Suku ini memeluk agama Animisme (aliran kepercayaan), Kong Hu Cu, Islam dan
Kristen. Suku ini telah lama mendiami pulau ini sebelum suku-suku lainnya menjadikan
pulau ini sebagai tempat tinggal.

Mata pencarian Suku Akit adalah dari berburu dan meramu, serta nelayan. Untuk mempererat
solidaritas dalam Suku Akit maka sejak tahun 2000 telah terbentuk Lembaga Adat Suku Asli
Akit (LASA) di tingkat Kabupaten, tingkat Kecamatan dan tingkat desa/pedusunan. Saat ini
Suku Akit telah banyak berbaur dengan masyarakat lainnya

SUKU SAKAI

Orang Sakai merupakan sekumpulan masyarakat yang terasing dan hidup masih secara
tradisional dan nomaden pada suatu kawasan di pulau Sumatra, Orang Sakai hidup
menjauhkan diri dari kehidupan masyarakat yang luas.Sebelumnya, Orang Sakai dinamai
Orang Pebatin. Nama ini dikenal ketika menjajah Indonesia.
Asal Usul
Beberapa ahli berpendapat, orang Sakai ini merupakan percampuran antara orang Wedoid
dengan orang Minangkabau yang bermigrasi sekitar abad ke-14[. sementara orang Sakai
sendiri sebagian menganggap bahwa mereka datang dari negeri Pagaruyung dan sebagian
lainnya mengatakan mereka berasal dari Gasib atau Siak

Kelompok Sosial
Kelompok sosial Orang Sakai terbagi menjadi Perbatinan Lima (Batin nan Limo) dan
Perbatinan Delapan (Batin nan Salapan). Perbatinan ini dibedakkan dari ciri-ciri tanah yang
dimiliki masing-masing perbatinan. Tanah yang dimiliki Batin Salapan ditandai dengan kayu
kapur dan sialang. Sementara Batin nan Limo ditandai dengan gundukan tanah.

Rumah Adat Suku Sakai Pakaian Adat Suku Sakai

Perbatinan Lima
Perbatinan ini berasal dari 5 keluarga yang sebelumnya tinggal di desa Mandau meminta ke
kepala desa Mandau untuk diberikan tanah karena tidak bisa kembali lagi ke Kerajaan
Pagaruyung ataupun ke Kunto Bessalam. Oleh kepala desa diberikan hak ulayat di beberapa
daerah yang nantinya menjadi cikal bakal daerah Perbatinan Lima.
Perbatinan Delapan
Perbatinan ini berasal dari rombongan dari Pagaruyung yang dipimpin oleh Batin Sangkar
yang memecah rombongan menjadi delapan. Masing-masing rombongan membuka hutan
untuk dijadikan tempat pemukiman.

Anda mungkin juga menyukai