Anda di halaman 1dari 27

MAKALAH

‘’ Pajak Pusat (negara) dan Daerah’’


Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Manajemen Perpajakan
Dosen Pengampu: Hj. Siti Lam’ah,SH,MM

Disusun Oleh:

Surya Maulana (2201104307)


Desi Ratna Wati Nazara (2101100040)
Iqbal Fahreza Putra (2101100082)

FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS


UNIVERSITAS LABUHANBATU SUMATRA UTARA
2023/2024
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum.wr.wb

Puji dan Syukur penulis ucapkan kehadiran Allah SWT, atas segala limpahan Rahmat dan
Hidayah-nya. Tidak lupa kami mengucapkan terimah kasih terhadap bantuan dari pihak yang
telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik fikiran maupun materi. sehingga
penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini sebagai tugas mata kuliah
‘’Manajemen Perpajakan’’. Makalah ini berjudul “Pasar Pusat (Negara) dan Daerah”. Namun
tentunya sebagai manusia biasa tidak luput dari kesalahan dan kekurangan. Harapan penulis,
semoga bisa menjadi koreksi dimasa mendatang agar lebih baik lagi dari sebelumnya. Penulis
juga Ucapkan terima kasih kepada rekan- rekan dan semua pihak yang terkait dalam
penyusunan makalah ini. Semoga makalah ini bisa memberikan sumbangan pemikiran
sekaligus pengetahuan bagi para pembaca. Semoga Allah SWT. Selalu meridhoi usaha kita
untuk kesempurnaan tugas makalah ini.

Amin yaa Rabbal`Alamin.

Wassalamu’alaikum.wr.wb
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 1

BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 2
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Manfaat Penelitian 2
1.4 Tujuan Penelitian 2

BAB II PEMBAHASAN 3
2.1 Pajak Negara 3
2.2 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah 3
2.3 Dasar Hukum 3
2.4 Pajak Daerah 3
2.5 Jenis Pajak dan Objek Pajak 3
2.6 Tarif Pajak 3
2.7 Tata CaraPemungutan Pajak 3
2.8 Retribusi Daerah 3
2.9 Prinsip & Sasaran Penetapan Tarif Retribusi Daerah 3
2.10 Tata Cara Pemungutan Retribusi 3

BAB III PENUTUP 4


3.1 Kesimpulan 4
3.2 Saran 4

DAFTAR PUSTAKA 5
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasar adalah tempat bertemunya pembeli dan penjual untuk melakukan transaksi jual
beli barang atau jasa. Menurut ilmu ekonomi, pasar berkaitan dengan kegiatannya bukan
tempatnya. Ciri khas sebuah pasar adalah adanya kegiatan transaksi atau jual beli. Para
konsumen datang ke pasar untuk berbelanja dengan membawa uang untuk membayar
harganya. Dalam arti yang lebih luas, merupakan orang-orang yang mempunyai keinginan
untuk puas, uang untuk berbelanja, dan kemauan untuk membelanjakannya
(vanadiraha.wordpress.com). Jadi dalam pengertian tersebut terdapat faktor-faktor yang
menunjang terjadinya pasar yakni: keinginan, daya beli, dan tingkah laku dalam pembelian
sehingga timbullah permintaan dan penawaran dalam sebuah transaksi. Dalam kehidupan
sehari-hari kita sebagai umat muslim tidak luput dari transaksi jual-beli untuk memenuhi
kebutuhan sehari-hari.

Kebutuhan manusia sangat beragam, sehingga secara pribadi kita tidak mampu untuk
memenuhinya dan harus berhubungan dengan orang lain. Dalam hubungan satu manusia
dengan manusia lain untuk memenuhi kebutuhan harus terdapat aturan yang menjelaskan hak
dan kewajiban keduanya berdasarkan kesepakatan. Jual beli adalah akad yang umum
digunakan oleh masyarakat karena akad jual beli tidak bisa terlepas dalam kehidupan
manusia dalam pemenuhan kebutuhannya, misalnya seseorang ingin memiliki barang tetapi
dia tidak bisa memenuhi kebutuhannya tersebut sehingga membutuhkan perantara orang lain
dan pasar adalah salah satu tempat untuk melakukan semua itu. Jadi, pasar berperan penting
dalam bertransaksi termasuk bertransaksi dengan menggunakan timbangan apa lagi pedagang
sayur-sayuran, ikan, buah-buahan dan barang harian semua pedagang ini tak luput dari
timbangan (Septyarani, 2009).

Kajian tentang timbangan dalam jual beli perdagangan sangat bervariatif, seperti
halnya yang dilakukan oleh para penjual di pasar tradisional yang tidak bisa jauh dari
timbangan atau alat ukur berat, dewasa ini sering kita temukan adanya tindakan kecurangan
yang dilakukan oleh pedagang dengan tujuan untuk mendapatkan laba yang lebih sehingga
secara tidak sadar pembeli dirugikan hal ini sangat dibenci oleh Allah karena hal itu adalah
riba sesuai dengan surat Alquran yang artinya “Allah menghalalkan jual-beli dan
mengharamkan riba”(AlBaqarah:275) dan “Kecuali dengan jalan perniagaan yang dilakukan
suka sama suka” (QS An-Nisa‟:29). Di dalam ayat itu dijelaskan bahwa pedagang yang
melakukan kecurangan dalam menakar dan menimbang akan mendapatkan azab sehingga
ditempatkan di lembah neraka Jahannam. Oleh karena itu, setiap pedagang hendaknya
berhati-hati dalam melakukan penakaran dan penimbangan agar ia terhindar dari azab dan
kehidupan di muka bumi jauh dari sifat yang merugikan manusia (Mujahidin, 2005).
Kecurangan pedagang juga ditemukan di Pasar Kota Palembang karena warga setempat
mengeluh dengan terkait maraknya pencurian dengan cara mengurangi berat barang yang
dijual di sejumlah pasar tradisional. Sehingga Wali Kota Palembang, H. Romi Herton angkat
bicara bahwa pihaknya akan melakukan tera ulang kepasar-pasar tradisional. Menurutnya,
praktik pengurangan timbangan untuk keuntungan pelaku tersebut tentunya tidak dibenarkan.
Oleh sebab itu, pihaknya mengimbau pedagang tidak berbuat curang dan memastikan
timbangan sesuai dengan berat barang yang dibeli masyarakat.

Ia mengatakan, tindakan pengurangan timbangan tersebut tentunya sangat merugikan


pembeli dan juga akan mengakibatkan menurunnya kepercayaan masyarakat kepada
pedagang di pasar tradisional. Tera atau melakukan pengukuran ulang terhadap timbangan
pedagang diharapkan akan menjadi solusi dalam meningkatkan kepercayaan pembeli
sehingga penjualan pedagang tidak menurun dan masyarakat tidak dirugikan lagi sehingga
kepercayaan antar masyarakat kembali terbangun. Masalah mengenai ketetapan timbangan
pedagang buah juga ditemukan di Pasar Johar Induk Semarang tentang kenakalan para
pedagang buah-buahan demi meraup untung yang besar dalam proses jual beli yang mereka
lakukan dimana mereka mempermainkan timbangan sehingga menipu pembeli.

Kenakalan para pedagang buah-buahan dalam mengurangi timbangan adalah perilaku


yang tidak sesuai dengan hukum Islam karena di dalam Al-Qur'an surat al-Muthofifin ayat 1-
3 menjelaskan bahwa celaka besar bagi orang yang melakukan manipulasi takaran atau
timbangan dan Allah sangat benci orang-orang penipu demi meraut keuntungan semata.
Praktek kecurangan pedagang demi meraup keuntungan yang merugikan masyarakat terus
terjadi. Sejumlah pedagang di pasar tradisional Denpasar, Bali ditemukan bahwa pedagang
melakukan tindakan yang sangat tidak baik yaitu menambah beban timbangan dengan
menggunakan lempengan besi dan magnet. Diduga hal ini dilakukan untuk memperoleh
keuntungan. Menjelang lebaran sejumlah pedagang di pasar tradisional Denpasar Bali
ditemukan menambah beban timbangan mereka dengan menggunakan lempengan besi dan
magnet. Hal ini diketahui saat petugas Dinas Perdagangan Kota Denpasar melakukan sidak
ke beberapa pasar tradisional. Sejumlah pedagang mengatakan penambahan beban timbangan
ini dilakukan untuk menghindari kerugian namun masyarakatlah yang akan dirugikan.
Menurut Kepala Bidang Perlindungan Konsumen Disperindag Denpasar Dewa
Puspawan, sanksi tegas bagi pedagang yang masih berlaku curang diancam hukuman satu
tahun penjara dan denda Rp 1 juta berdasarkan Undang-Undang Metrologi Nomor 2 Tahun
1981 tentang Metrologi Legal. Namun pedagang yang kedapatan curang kali ini tidak dikenai
sanksi langsung dan hanya dibina untuk tidak mengulangi perbuatannya oleh petugas
Disperindag. Hal ini sebagai pembelajaran bagi pedagang yang berniat melakukan
kecurangan karena selain menimbulkan kerugian bagi pembeli juga merugikan diri sendiri
bahwa masyarakat tidak percaya lagi dengan pedagang sehingga untuk membangun kejujuran
itu sangat sulit. Selain itu penambahan beban timbangan ini tentu saja sangat membebani
masyarakat, terlebih kecurangan tersebut juga dilakukan sejumlah pedagang komoditas yang
tengah dibutuhkan masyarakat seperti daging dan ayam yang harganya terus mengalami
kenaikan sehingga aktifitas perekonomian kurang terkontrol dengan baik (Kompas.com
Denpasar 2011).

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam


penelitian ini adalah:

a) Apakah terdapat perbedaan rata-rata timbangan pedagang dengan yang


diharapkan dari sisi pembeli di Pasar Raya Padang?
b) Gimana caranya menstabilkan harga pasar kepada konsumen?
c) Adaptasi terhadap penjual yang jujur dalam menjalani dagang, agar mereka
mampu berdaya saing baik local maupun global?

1.3 MANFAAT PENELITIAN

Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a) Bagi Peneliti
Penelitian ini diharapkan dapat digunakan oleh peneliti sebagai media untuk
mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh diperkuliahan.
b) Bagi Peneliti Lain
Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan referensi bagi penelitian selanjutnya.
c) Bagi Pembaca
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi pembaca mengenai
analisis akurasi timbangan pedagang terhadap uji akurasi dari sisi pembeli.
d) Bagi Masyarakat
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi sumber informasi bagi masyarakat ataupun
instansi-instansi yang berkaitan sehingga dapat mengetahui dan juga sebagai referensi
pengetahuan untuk dapat diimplementtasikan dikehidupan sehari-hari.
1.4 Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah untuk menjawab beberapa pertanyaan,
diantaranya sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui apa itu Pasar Pusat dan Daerah, gimana kinerja dan
perkembangan-nya didunia Digital. Dan aturan hukum yang mengatur-nya se-
demikian apa itu Retribusi Daerah dan Pusat.
BAB II PEMBAHASAN

2.1 PAJAK PUSAT (NEGARA)

Pajak Negara (Pajak Pusat) merupakan pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat dan
digunakan untuk membiayai seluruh kebutuhan rumah tangga. Pemungutan pajak Negara
memiliki tujuan pemerataan penghasilan bagi pemerintah daerah di Indonesia. Bagi hasil
diperlukan untuk menjaga kelangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI)
sebagai wujud keseimbangan penerimaan antara pusat dan daerah atas pajak yang dipungut
oleh Negara (pusat) dan bersumber berada di daerah.
Pajak Negara yang sampai saat ini masih berlaku adalah;

1. Pajak Penghasilan (PPh)


Dasar hukum pengenaan Pajak Penghasilan adalah Undang-Undang No. 7 Tahun
1984 sebagaimana telah diubah terakhir dangan Undang-Undang No. 36 Tahun 2008.
Undang-Undang Pajak Penghasilan berlaku mulai tahun 1984 dan merupakan
pengganti UU Pajak Perseroan 1925, UU Pajak Pendapatan 1944, UU PBDR 1970.

2. Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN & PPn BM)
Dasar hukum pengenaan PPN & PPn BM adalah Undang-Undang No. 8 Tahun 1983
sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang No. 42 Tahun 2009.
Undang-Undang PPN & PPn BM efektif mulai berlaku sejak tanggal 1 April 1985
dan merupakan pengganti UU Pajak Penjualan 1951.

3. Bea Meterai
Dasar hukum pengenaan Bea Meterai adalah Undang-Undang No. 13 Tahun 1985.
Undang-Undang Bea Meterai berlaku mulai tanggal 1 Januari 1986 menggantikan
peraturan dan Undang-Undang Bea Meterai yang lama (Aturan Bea Meterai 1921)

4. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


Dasar hukum pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan adalah Undang-Undang No. 12
Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 12 Tahun 1994.
Undang-Undang PBB berlaku mulai tanggal 1 Januari 1986 dan merupakan
pengganti:
 Ordonansi Pajak Rumah Tangga tahun 1908
 Ordanansi Vereponding Indonesia 1932
 Ordanansi Pajak Kekayaan tahun 1928
 Ordanansi Pajak Jalan tahun 1942
 Undang-Undang Darurat No. 11 tahun 1957 khususnya pasal 14 huruf j,k dan I
 Undang-Undang No. 11 Prp Tahun 1959 Pajak Hasil Bumi
5. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB)
Dasar hukum pengenaan Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan adalah
Undang-Undang No. 21 Tahun 1997 sebagaimana telah diubah terakhir dengan
Undang-Undang No. 20 Tahun 2000. Undang-Undang BPHTB berlaku sejak tanggal
1 Januari 1998 menggantikan Ordanansi Bea Balik Nama Staatsblad 1924 No. 291

2.2 PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH

Sebagai salah satu wujud dari pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-
sumber penerimaan bagi daerah yang dapat digali dan digunakan sendiri sesuai dengan
potensinya masing-masing. Sumber-sumber penerimaan tersebut dapat berupa pajak atau
retribusi. Sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945, setiap pungutan yang
membebani masyarakat baik berupa pajak atau retribusi harus diatur dengan UndangUndang
(UU).
Pajak Provinsi;
1. Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air;
2. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di Atas Air; 3.
3. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; dan 4.
4. Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaa

Pajak Kabupaten/Kota;
1. Pajak Hotel;
2. Pajak Restoran;
3. Pajak Hiburan;
4. Pajak Reklame;
5. Pajak Penerangan Jalan;
6. Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C; dan
7. Pajak Parkir
Besarnya tarif, untuk pajak provinsi ditetapkan secara seragam di seluruh Indonesia
sebagaimana diatur dalam PP No. 65 Tahun 2001. Besarnya tarif definitif untuk pajak
kabupaten/kota ditetapkan dengan Peraturan Daerah (Perda), namun tidak boleh lebih tinggi
dari tarif maksimum yang telah ditentukan dalam UU.

Retribusi Daerah;
Retribusi daerah terdiri atas 3 golongan, yaitu:
a. Retribusi Jasa Umum, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan atau diberikan oleh
pemerintah daerah (pemda) untuk tujuan kepentingan dan kemanfaatan umum serta
dapat dinikmati oleh orang pribadi atau badan;
b. Retribusi Jasa Usaha, yaitu retribusi atas jasa yang disediakan oleh pemda dengan
menganut prinsip komersial karena pada dasarnya dapat pula disediakan oleh sektor
swasta; dan
c. Retribusi Perizinan Tertentu, yaitu retribusi atas kegiatan tertentu pemda dalam
rangka pemberian izin kepada orang pribadi atau badan yang dimaksudkan untuk
pembinaan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan
ruang, penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana, atau fasilitas tertentu
guna melindungi kepentingan umum dan menjaga kelestarian lingkungan
Retribusi Jasa Umum;
1. Retribusi Pelayanan Kesehatan;
2. Retribusi Pelayanan Persampahan/ Kebersihan;
3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akte Catatan Sipil;
4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
5. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
6. Retribusi Pelayanan Pasar;
7. Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta; dan 10. Retribusi Pengujian Kapal
Perikanan.

Retribusi Jasa Usaha;


1. Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
2. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
3. Retribusi Tempat Pelelangan;
4. Retribusi Terminal;
5. Retribusi Tempat Khusus Parkir;
6. Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/Villa;
7. Retribusi Penyedotan Kakus;
8. Retribusi Rumah Potong Hewan;
9. Retribusi Pelayanan Pelabuhan Kapal;
10. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olah Raga;
11. Retribusi Penyeberangan di Atas Air;
12. Retribusi Pengolahan Limbah Cair; dan
13. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.

Retribusi Perizinan Tertentu;


1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
2. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
3. Retribusi Izin Gangguan; dan
4. Retribusi Izin Trayek.

Persyaratan PDRB;
 Kriteria Pajak Daerah, ialah;
a. Bersifat pajak, dan bukan retribusi;
b. Obyek pajak terletak atau terdapat di wilayah daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan mempunyai mobilitas cukup rendah serta hanya melayani
masyarakat di wilayah daerah kabupaten/kota yang bersangkutan;
c. Obyek dan dasar pengenaan pajak tidak bertentangan dengan kepentingan umum;
d. Potensinya memadai. Hasil penerimaan pajak harus lebih besar dari biaya
pemungutan;
e. Tidak memberikan dampak ekonomi yang negatif. Pajak tidak mengganggu alokasi
sumber-sumber ekonomi dan tidak merintangi arus sumber daya ekonomi antar
daerah maupun kegiatan ekspor-impor;
f. Memperhatikan aspek keadilan dan kemampuan masyarakat; dan
g. Menjaga kelestarian lingkungan, yang berarti bahwa pengenaan pajak tidak
memberikan peluang kepada pemda atau Pemerintah atau masyarakat luas untuk
merusak lingkungan.

Arah Kedepan-nya Kebujakan PDRD;


1. Kebijakan PDRD ke depan lebih diarahkan pada penguatan taxing power daerah,
yaitu dengan meningkatkan basis pajak daerah dan diskresi dalam menetapkan tarif
pajak daerah.
2. Peningkatan basis pajak daerah dilakukan dengan memperluas basis pajak yang sudah
ada, seperti katering untuk Pajak Restoran dan permainan golf untuk Pajak Hiburan.
Di samping itu juga dilakukan penambahan jenis pajak baru, pajak lingkungan (green
tax). Penetapan tarif pajak daerah diserahkan sepenuhnya kepada daerah. UU hanya
menetapkan tarif pajak maksimum untuk menghindari pembebanan pajak yang
berlebihan.
3. Untuk menjamin agar daerah tidak menciptakan pungutan yang bermasalah dan
sekaligus untuk meningkatkan pengawasan pungutan daerah, maka mekanisme
pengawasan PDRD dilakukan secara preventif dan diterapkan sanksi bagi daerah yang
melanggar, antara lain dapat berupa penundaan dana perimbangan.
4. Untuk menghindari adanya pungutan-pungutan daerah yang menghambat
perkembangan ekonomi nasional dan sekaligus menjamin daerah dapat memenuhi
kebutuhan pengeluarannya, akan ditingkatkan kegiatan penguatan kapasitas SDM
melalui bimbingan teknis dan sosialisasi kepada berbagai pihak terkait.

Pengawasan PDRD;
 Represif (UU 34 Tahun 2000)
1. Dalam rangka pengawasan, Perda-perda tentang Pajak dan Retribusi yang diterbitkan
oleh pemda harus disampaikan kepada Pemerintah paling lambat 15 hari sejak
ditetapkan.
2. Dalam hal Perda-perda dimaksud bertentangan dengan kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, Menteri Keuangan
merekomendasikan kepada Menteri Dalam Negeri untuk dapat membatalkan perda
dimaksud. Pemda dapat mengajukan keberatan kepada Mahkamah Agung (MA)
segera setelah mengajukan keberatannya kepada Pemerintah.

Preventif (UU 33 Tahun 2004);


1. Rancangan perda kabupaten/kota dievaluasi oleh provinsi dengan dikoordinasikan
terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan.
2. Rancangan perda provinsi dievaluasi oleh Departemen Dalam Negeri dengan
dikoordinasikan terlebih dahulu dengan Menteri Keuangan.
Kriteria Retribusi Daerah;
 Retribusi Jasa Umum
1. Retribusi Jasa Umum bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Usaha
atau Retribusi Perizinan Tertentu;
2. Jasa yang bersangkutan merupakan kewenangan Daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi; 3. Jasa tersebut memberi manfaat khusus bagi orang pribadi atau badan
yang diharuskan membayar Retribusi, disamping untuk melayani kepentingan dan
kemanfaatan umum;
3. Jasa tersebut layak untuk dikenakan Retribusi;
4. Retribusi tidak bertentangan dengan kebijakan nasional mengenai
penyelenggaraannya;
5. Retribusi dapat dipungut secara efektif dan efisien, serta merupakan salah satu sumber
pendapatan Daerah yang potensial; dan
6. Pemungutan Retribusi memungkinkan penyediaan jasa tersebut dengan tingkat
dan/atau kualitas pelayanan yang lebih baik.

Retribusi Jasa Usaha;


1. Retribusi Jasa Usaha bersifat bukan pajak dan bersifat bukan Retribusi Jasa Umum
atau Retribusi Perizinan Tertentu; dan
2. Jasa yang bersangkutan adalah jasa yang bersifat komersial yang seyogianya
disediakan oleh sektor swasta tetapi belum memadai atau terdapatnya harta yang
dimiliki/dikuasai Daerah yang belum dimanfaatkan secara penuh oleh Pemerintah
Daerah.

Retribusi Perizinan Tertentu;


1. Perizinan tersebut termasuk kewenangan pemerintahan yang diserahkan kepada
Daerah dalam rangka asas desentralisasi;
2. Perizinan tersebut benar-benar diperlukan guna melindungi kepentingan umum; dan
3. Biaya yang menjadi beban Daerah dalam penyelenggaraan izin tersebut dan biaya
untuk menanggulangi dampak negatif dari pemberian izin tersebut cukup besar
sehingga layak dibiayai dari Retribusi perizinan.

Peraturan Daerah tentang Pajak juga dapat mengatur ketentuan mengenai:


a. pemberian pengurangan, keringanan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas
pokok pajak dan/atau sanksinya; dan
b. tata cara penghapusan piutang pajak yang kadaluwarsa.

Peraturan Daerah tentang Retribusi juga dapat mengatur ketentuan mengenai:


a. masa Retribusi;
b. pemberian keringanan, pengurangan, dan pembebasan dalam hal-hal tertentu atas
pokok Retribusi dan/atau sanksinya; dan
c. tata cara penghapusan piutang Retribusi yang kedaluwarsa.
2.3 DASAR HUKUM
1. UU No. 34 Tahun 2000 yang merupakan penyempurnaan dari UU No. 18 Tahun 1997
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
2. PP No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah; dan
3. PP No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Dasar Hukum Pajak Pusat dan Daerah di Indonesia ditemukan dalam beberapa Peraturan per
Undang-undangan yang manjadi Dasar Hukum Pajak Pusat dan Daerah;
1. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Menyatakan bahwa
Pemerintah memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus Pajak.
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara
Perpajakan (KUP); Merupakan Undang-undang yang mengatur prinsip-prinsip umum
Perpajakan di Indonesia, termasuk Pajak Pusat dan Daerah
3. Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah;
Mengatur tentang Pemberlakuan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang dikelola
oleh Pemerintah Daerah.
4. Undang-undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Pengelolaan Keuangan Negara;
Mengatur tentsng Pengelolaan Keuangan Negara termasuk Penerimaan Pajak Pusat.
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2021 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan tertentu dalam bentuk Dividen; Merupakan Peraturan yang mengatur
Pajak Penghasilan atas Dividen yang diterima oleh wajib Pajak.
6. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pajak Penghasilan atas
Penghasilan dari Usaha yang Diterima atau Diperoleh wajib Pajak yang memiliki
Peredaran Bruto tertentu; Merupakan Peraturan yang mengatur Pajak Penghasilan atas
Usaha yang diterima atau diperoleh oleh wajib Pajak dengan Peredaran Bruto tertentu

Pemungutan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah adalah Undang-Undang N0.28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.

2.4 PAJAK DAERAH


Pajak Daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah (APBD) yang penting untuk
membiayai pelaksanaan pemerintah daerah dan pembangunan. Pajak daerah adalah iuran
wajib terutang yang dilakukan oleh Wajib Pajak orang pribadi atau badan kepada daerah
tanpa imbalan langsung yang seimbang. Pemungutan pajak daerah dapat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pajak Daerah memiliki beberapa fungsi sebagai berikut :
a. Pajak Daerah digunakan untuk pendanaan rutin seperti belanja pegawai, belanja
barang, pemeliharaan, pembangunan, dan juga sebagai tabungan Pemerintah Daerah.
b. Pemerintah daerah mengatur pertumbuhan ekonomi melalui kebijaksanaan pajak
daerah. Dana dari pajak daerah dapat digunakan sebagai salah satu alat untuk
mencapai tujuan ekonomi pemerintahan dan mengurangi masalah ekonomi di daerah.
c. Dengan terus adanya dana dari pajak daerah dapat membantu pemerintah dalam
menstabilkan harga barang dan jasa sehingga dapat mengurangi inflasi.
d. Digunakan untuk membiayai semua kepentingan umum termasuk untuk membuka
lapangan kerja baru sehingga terjadi pemerataan pendapatan agar tidak terlalu
menonjolnya kesenjangan ekonomi antara yang kaya dan yang miskin.
Beberapa pengertian atau istilah yang terkait dengan Pajak Daerah antara lain;
 Daerah Otonom; Kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah
yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintah dan kepentingan
masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam
system Negara Kesatuan Republik Indonesia
 Pajak Daerah; Kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak
mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi
sebersar-besar-nya kamakmuran rakyat
 Badan; Sekumpulan orang atau modal yang merupakan kesatuan, baik yang
melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan
terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara
(BUMN) dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana
pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, lembaga dan bentuk badan lainya
termasuk kontrak investasi dan bentuk usaha tetap.
 Subjek Pajak; pribadi atau badan yang dapat dikenakan pajak.
 Wajib Pajak; adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong
pajak dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan daerah

Unsur-Unsur Pajak;
1. Iuran wajib pada negara.
2. Bersifat memaksa.
3. Dipungut berdasarkan undang-undang
4. Tidak mendapat balas jasa.
5. Digunakan untuk membiayai kepentingan umum.
Jenis-Jenis Pajak di Indonesia dibedakan Manjadi;
1. Berdasarkan sifatnya, pajak digolongkan menjadi:
 Pajak langsung, yaitu pajak yang harus dipikul sendiri oleh wajib pajak dan tidak
dapat dilimpahkan kepada orang lain. Contoh Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Bumi
Bangunan (PBB), Pajak Kendaraan Bermotor.
 Pajak tidak langsung, yaitu pajak yang harus dibayar pihak tertentu dan dapat
dilimpahkan seluruhnya atau sebagian kepada pihak lain. Contoh Pajak
Penjualan, Pajak Pertambahan Nilai (PPN), dan Bea Impor.
2. Berdasarkan sasarannya/objeknya, digolongkan menjadi:
 Pajak subjektif, yaitu pajak yang pemungutannya berdasarkan subjeknya
(orangnya), dengan memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh Pajak
Penghasilan.
 Pajak objektif, yaitu pajak yang pemungutannya berdasarkan objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri wajib pajak. Contoh Pajak Bumi dan Bangunan,
Pajak Pertambahan Nilai, Pajak Penjualan Barang Mewah.
3. Berdasarkan siapa yang memungut, pajak digolongkan menjadi:
 Pajak pusat yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat melalui
aparatnya yaitu Dirjen Pajak, Kantor Inspeksi Pajak, Dirjen Bea Cukai.
Contoh Pajak Penghasilan, Pajak Penjualan Barang Mewah.
 Pajak daerah, yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah, baik oleh
pemerintah Provinsi maupun pemerintah Kota/Kabupaten. Contoh Pajak
Kendaran Bermotor, Pajak Hotel dan Restoran, Pajak Reklame.
4. Berdasarkan sistem pemungutan pajak daerah dibagi menjadi 2 yaitu (Official
Assesment) atau Dibayar Sendiri (Self Assesment) oleh Wajib Pajak;
a. Pajak Provinsi
1. Jenis Pajak Provinsi yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah
(official assesment) terdiri dari :
 Pajak Kendaraan Bermotor
 Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor, dan
 Pajak Air Permukaan.
2. Jenis Pajak Provinsi yang Dibayar Sendiri (self assessment) berdasarkan
penghitungan oleh Wajib Pajak terdiri atas :
 Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
 Pajak Rokok
b. Jenis Kabupaten/Kota
1. Jenis Pajak Kabupaten/Kota yang dipungut berdasarkan penetapan Kepala
Daerah (official asessment), terdiri dari :
 Pajak Reklame
 Pajak Air, Tanah, dan
 PBB-P2
2. Jenis Pajak Kabupaten/Kota yang Dibayar Sendiri (self assessment)
berdasarkan penghitungan oleh Wajib Pajak terdiri atas :
 Pajak Hotel
 Pajak Restorant
 Pajak Hiburan
 Pajak Penerangan Jalan
 Pajak Mineral bukan Logam Batuan
 Pajak Parkir
 Pajak Sarang Burung Walet, dan
 BPHTB ( Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan )

2.5 JENIS PAJAK DAN OBJEK PAJAK


Pajak Daerah dibagi menjadi 2 bagian, yaitu;
1. Pajak Provinsi, terdiri dari;
a. Pajak Kendaraan Bermotor
b. Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor
c. Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor
d. Pajak Air Permukaan; dan
e. Pajak Rokok.
2. Pajak Kabupaten/Kota, terdiri dari
a. Pajak Hotel
b. Pajak Restoran
c. Pajak Hiburan
d. Pajak Reklame
e. Pajak Penerangan Jalan
f. Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan
g. Pajak Parkir
h. Pajak Air Tanah
i. Pajak Sarang Burung Walet
j. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkantoran
k. Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan

Khusus untuk Daeah yang setingkat dengan daerah provinsi, tetapi tidak terbagi dalam daerah
kabupaten/kota otonom, seperti Daerah Khusus ibu kota Jakarta, jenis Pajak yang dapat
dipungut merupakan gabungan dari Pajak untuk Daerah Provinsi dan Pajak untuk Daerah
kabupaten/kota.

2.6 TARIF PAJAK


Tarif Pajak setiap Jenis Pajak adalah;
1. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor pribadi ditetapkan sebagai berikut;
a. Untuk Kepemilikan Kendaraan Bermotor pertama paling rendah sebesar 1% dan
palng tinggi sebesar 2%
b. Untuk Kepemilikan Kendaraan Bermotor kedua dan seterusnya tariff dapat
ditetapkan secara progresif paling rendah sebesar 2% dan paling tinggi sebesar
10%
2. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor angkutan umum, ambulans, pemadam kebakaran,
social keagamaan, lembaga social dan keagamaan, Pemerintah/TNI/POLRI.
Pemerintah Daerah dan Kendaraan lain yang ditetapkan dengan peraturan Daerah,
ditetapkan paling rendah sebesar 0,5% dan paling tinggi sebesar 1%.
3. Tarif Pajak Kendaraan Bermotor alat-alat berat dan alat-alat besar ditetapkan paling
rendah sebesar 0,1% dan paling tinggi sebesar 0,2%
4. Tarif Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor ditetapkan paling tinggi masing-masing
sebagai berikut;
a. Penyerahan pertama sebesar 20%
b. Penyerahan kedua da seterusnya sebesar 1%
5. Khusus untuk Kendaraan Bermotor alat besat dan alat besar yang tidak menggunakan
jalan umum tariff pajak ditetapkan paling tinggi masing-masing sbb;
a. Penyerahan pertama sebesar 0,75%
b. Penyerahan kedua dan seterusnya sebesar 0,75%
6. Tarif Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor ditetapkan palng tinggi sebesar 10%.
Khusus tariff Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor untuk bahan bakar kendaraan
umum dapat dapat ditetapkan paling sedikit 50%, lebih rendahdari tariff pajak Bahan
Bakar Kendaraan Bermotor Untuk kendaraan Pribadi.
7. Tarif Pajak Air Permukaan ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
8. Tarif Pajak Rokok ditetapkan sebesar 10% dari cukai rokok
9. Tarif Pajak Hotel ditetapkan paling tinggi sebesar 10%
10. Tarif Pajak Restorant ditatapkan paling tinggi sebesar 10%
11. Tarif Pajak Hiburan ditetapkan paling tinggi sebesar 35%
12. Tarif Pajak Reklame ditatapkan paling tinggi sebesar 25%
13. Tarif Pajak Penerangan Jalan ditatapkan paling tinggi sebesar 10%
14. Tarif Pajak Mineral bukan Logam dan Batuan ditatapkan paling tinggi sebesar 25%
15. Tarif Pajak Parkir ditatapkan paling tinggi sebesar 30%
16. Tarif Pajak Air Tanah ditatapkan paling tinggi sebesar 20%
17. Tarif Pajak Sarang Burung Walet ditetapkan Paling tinggi 10%
18. Tarif Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan ditetapkan paling tinggi
sebesar 5%
19. Tarif Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan ditetapkan paling tinggi sebesar
5%
Tarif Pajak tersebut di atas ditetapkan dengan Peraturan Daerah

2.7 TATA CARA PEMUNGUTAN PAJAK


Pemungutan Pajak dilarang diborongkan setiap wajib Pajak membayar Pajak yang
Terutang berdasarka surat ketetapan pajak dan dibayar sendiri oleh Wajib Pajak berdasarkan
peraturan perundang-undangan perpajakan. Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban
perpajakan berdasarkan penetapan Kepala Daerah dibayar dengan menggunakan Surat
Ketetapan Pajak Daerah (SKPD) atau dokumen lain yang dipersamakan berupa karcis dan
Nota perhitungan.
Wajib Pajak yang memenuhi kewajiban perpajakan sendiri dibayar dengan menggunakan
Surat Pemberitahuan Pajak Daerah (SPTPD, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar
(SKPDKB), dan aatau Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan (SKPDKBT).
Tata Cara Pemungutan Pajak dapat dilakukan Berdasarkan 3 stelsel;

1. Stelsel Nyata (Riel Stelsel). Pengenaan pajak didasarkan pada objek (penghasilan
yang nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun pajak,
yaitu setelah penghasilan yang sesungguhnya diketahui. Stelsel nyata mempunyai
kelebihan atau kebaikan dan kekurangan. Kebaikan stelsel ini adalah pajak yang
dikenakan lebih realistis. Sedangkan kelemahannya adalah pajak baru dapat
dikenakan pada akhir periode (setelah penghasilan riil diketahui).
2. Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel). Pengenaan pajak didasarkan pada suatu
anggapan yagn diatur oleh undang-undang. Misalnya penghasilan suatu tahun
dianggap sama dengan tahun sebelumnya, sehingga pada awal tahun pajak sudah
dapat ditetapkan besarnya pajak yang terutang untuk tahun pajak berjalan. Kebaikan
stelsel ini adalah pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu
pada akhir tahun. Sedangkan kelemahannya adalah pajak yang dibayar tidak
berdasarkan pada keadaan yang sesungguhnya.
3. Stelsel Campuran. Stelsel ini merupakan kombinasi antara stelsel nyata dengan
stelsel anggapan. Pada awal tahun, besarnya pajak dihitung berdasarkan suatu
anggapan, kemudian pada akhir tahun besarnya pajak disesuaikan dengan keadaan
yang sebenarnya. Bila besarnya pajak menurut kenyataan lebih besar daripada pajak
menurut anggapan, maka Wajib Pajak harus menambah. Sebaliknya, jika lebih kecil
kelebihannya dapat diminta kembali.

Asas Pemungutan Pajak;

1. Asas Domisili (Asas Tempat Tinggal). Negara berhak mengenakan pajak atas seluruh
penghasilan Wajib Pajak yang bertempat tinggal di wilayahnya, baik penghasilan
yang berasal dari dalam maupun dari luar negeri. Asas ini berlaku untuk Wajib Pajak
dalam negeri.
2. Asas Sumber. Negara berhak mengenakan pajak atas penghasilan yang bersumber di
wilayahnya tanpa memperhatikan tempat tinggal Wajib Pajak.
3. Asas Kebangsaan. Pengenaan pajak dihubungkan dengan kebangsaan suatu negara.

System Pemungutan Pajak;

1. Official Assessment System. Adalah suatu sistem pemungutan yang memberi


wewenang kepada pemerintah (fiskus) untuk menentukan besarnya pajak yang
terutang oleh Wajib Pajak. Ciri-cirinya :
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada fiskus.
b. Wajib Pajak bersifat pasif.
c. Utang pajak timbul setelah dikeluarkan surat ketetapan pajak oleh fiskus.
2. Self Assessment System. Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada Wajib Pajak untuk menentukan sendiri besarnya pajak yang
terutang. Ciri-cirinya :
a. Wewenang untuk menentukan besarnya pajak terutang ada pada Wajib Pajak
sendiri.
b. Wajib Pajak aktif mulai dari menghitung, menyetor, dan melaporkan sendiri
pajak yang terutang.
c. Fiskus tidak ikut campur dan hanya mengawasi.
3. Withholding System. Adalah suatu sistem pemungutan pajak yang memberi
wewenang kepada pihak ketiga (bukan fiskus dan bukan Wajib Pajak yang
bersangkutan) untuk memotong atau memungut pajak yang terutang oleh Wajib
Pajak. Ciri-cirinya : wewenang memotong atau memungut pajak yang terutang ada
pada pihak ketika, yaitu pihak selain fiskus dan Wajib Pajak.

KEDALUWARSA PENAGIHAN PAJAK


Hal untuk melakukan penagihan Pajak menjadi kadaluwarsa setelah melampaui waktu
5 tahun terhitung sejak saat terutangnya Pajak, kecuali apabila Wajib Pajak melakukan
pidana di bidang Perpajakan Daerah.
Peraturan mengenai daluwarsa penagihan pajak diatur dalam Pasal 22 ayat (1) Undang
undang Ketetuan Umum Perpajakan (UU KUP). Pasal tersebut mengatur bahwa daluwarsa
penagihan pajak ditetapkan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak penerbitan
Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan,
Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan Kembali. Pasal 22 ayat (1) yang mengatur terkait
daluwarsa penagihan pajak beberapakali mengalami perubahan dalam bunyi Pasalnya. Jangka
waktu daluwarsa selama 5 tahun pertama kali diatur dalam UU KUP pertama yaitu UU
Nomor 6 Tahun 1983, dalam peraturan tersebut penghitungan daluwarsa masih dihitung sejak
saat terutangnya pajak atau berakhirmya Masa Pajak, Bagian Tahun Pajak, atau Tahun pajak
Bersangkutan. Jangka waktu tersebut sempat berubah menjadi 10 tahun ketika adanya
perubahan pertama UU KUP pada tahun 1994 dengan UU No 9 Tahun 1994, jangka waktu
daluwarsa penagihan tersebut tetap bertahan hingga perubahan kedua UU KUP pada tahun
2000, pada perubahan ketiga UU KUP dengan UU Nomor 28 Tahun 2007 Jangka Waktu
tersebut daluwarsa penagihan pajak kembali menjadi 5 tahun. Perubahan ketiga UU KUP
juga merubah penghitungan jangka waktu daluwarsa yang awalnya dihitung sejak saat
terutang menjadi dihitung sejak sejak penerbitan Surat Tagihan Pajak, Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar, serta Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan, dan Surat Keputusan
Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, Putusan Banding, serta Putusan Peninjauan
Kembali. Perubahan jangka waktu tersebut membagi jangka waktu daluwarsa menjadi dua
yaitu sebelum tahun 2007 dengan daluwarsa 10 (sepuluh) tahun, dan setelah tahun 2007
dengan daluwarsa 5 (lima) tahun. UU KUP juga mengatur mengenai hal-hal yang dapat
menangguhkan daluwarsa penagihan pajak. Hal ini diatur dalam Pasal 22 ayat (2)
UU KUP bahwa Daluwarsa penagihan pajak tertangguh apabila diterbitkan Surat
Paksa; ada pengakuan utang pajak dari Wajib Pajak baik langsung maupun tidak langsung;
diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat
(5), atau Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
15 ayat (4); atau dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan. Penangguhan
daluwarsa tersebut memiliki artian bahwa daluwarsa penagihan pajak dapat melebihi jangka
waktu lima tahun seperti yang diatur dalam Pasal 22 ayat (1) atau sepuluh tahun bagi tahun
pajak sebelum 2007. Putusan Pengadilan Pajak Nomor: Put 53089/PP/M.XIV.A/99/2014
memberikan contoh nyata dalam hal ini gugatan dilakukan oleh penggugat karena
menganggap upaya penagihan berupa pengumuman lelang II yang dilakukan pada tanggal 6
November 2013 seharusnya dibatalkan karena telah memasuki daluwarsa, karena penerbitan
SKPKB dilakukan pada 6 November 2003 yang berarti daluwarsa penagihan seharusnya 5
November 2013. Majelis menolak gugatan tersebut karena terdapat penyampaian Surat Paksa
oleh petugas pajak yang dilakukan pada 25 Februari 2004 yang menyebabkan daluwarsa
ditangguhkan, sehingga daluwarsa dihitung dari 25 februari 2004 hingga 24 februari 2013.
Sebenarnya dalam gugatan ini penggugat menyatakan tidak pernah menerima Surat paksa
tersebut, karena dalam hal ini petugas pajak tidak dapat menemukan penanggng pajak maka
sesuai dengan Pasal 10 ayat (7) petugas pajak akan menyampaikan surat paksa tersebut
kepada Pemerintah Daerah setempat sekurang-kurangnya setingkat Sekretaris Kelurahan atau
Sekretaris Desa dengan membuat Berita Acara. Dalam hal ini majelis berpendapat bahwa
Surat paksa telah disampaikan, dan bahwa Surat Paksa tidak sampai ke Penanggung pajak hal
tersebut sudah merupakan tanggung jawab aparat Pemerintah Daerah.
2.8 RETRIBUSI DAERAH

Retribusi Daerah yang selanjutnya disebut Retribusi adalah pungutan Daerah sebagai
pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus disediakan dan / atau
diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau Badan.
Beberapa pengertian istilah yang terkait dengan Retribusi Daerah antara lain;
1. Retribusi Daerah, yang selanjutnya disebut dengan Retribusi, adalah pungutan Daerah
sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian izin tertentu yang khusus desediakan
atau diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan.
Retribusi Jasa Umum
 Retribusi Pelayanan Kesehatan
 Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan;
 Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kartu Tanda Penduduk dan Akta Catatan
Sipil;
 Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat;
 Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum;
 Retribusi Pelayanan Pasar;
 Retribusi Pengujian Kendaraan Bermotor;
 Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran;
 Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta;
 Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus;
 Retribusi Pengolahan Limbah Cair;
 Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang;
 Retribusi Pelayanan Pendidikan;
 Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi.

2. Jasa, adalah kegiatan Pemerintah Daerah berupa usaha dan pelaynan yang
menyebabkan barang, atau kemanfaatan lainnya yang dapat dinikmati oleh orang
pribadi atau badan.
Retribusi Jasa Usaha
 Retribusi Pemakaian Kekayaan Daerah;
 Retribusi Pasar Grosir dan/atau Pertokoan;
 Retribusi Tempat Pelelangan;
 Retribusi Terminal
 Retribusi Tempat Khusus Parkir;
 Retribusi Tempat Penginapan/ Pesanggrahan/Villa;
 Retribusi Rumah Potong Hewan;
 Retribusi Pelayanan Kepelabuhanan;
 Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga;
 Retribusi Penyeberangan di Air;
 Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah.
3. Jasa Umum, adalah jasa yang disediakan atau diberkan oleh Pemerintah Daerah untuk
Kepentingan dan kemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang pribadi atau
badan
4. Jasa Usaha, adalah kegiatan ketentuan Pemerintahan Daerah dengan menganut
prinsip-prinsip komersial kerena pada dasarnya dapat pula desediakan oleh sector
swasta
5. Perizinan Tertentu, adalah kegiatan tertentu Pemerintah Daerah dalam rangka
pemberian izin kepada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan utnuk pembinaan,
pengaturan, pengendalian dan pengawasan atas atas kegiatan, pemanfaatan ruang,
serta penggunaan sumber daya alam, barang, prasarana, sarana atau fasilitas tertentu
guna melindungi kepeningan umum dan menjaga kelestarian lingkungan.
 Retribusi Izin Mendirikan Bangunan;
 Retribusi Izin Tempat Penjualan Minuman Beralkohol;
 Retribusi Izin Gangguan;
 Retribusi Izin Trayek;
 Retribusi Izin Usaha Perikanan;
 Retribusi Perpanjangan Izin Mempekerjakan Tenaga Kerja Asing (IMTA).
(Berdasarkan PP No. 65 Tahun 2012 tentang Jenis dan Tarif atas PNBP yang
berlaku pada Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi)

OBJEK RETRIBUSI DAERAH


Yang dimaksud Objek Retribusi Daerah adalah;
1. Jasa Umum
2. Jasa Usaha, dan
3. Perizinan Tertentu

Retribusi Jasa Umum


Retribusi yang dikenakan atas jasa umum digolongkan sebagai Retribusi Jasa Umum. Objek
Retribusi Jasa Umum adalah pelayanan yang disediakan atau diberikan Pemerintah Daerah
untuk Tujuan kepentingan dan Pemanfaatan umum serta dapat dinikmati oleh orang Pribadi
atau Badan. Jenis Retribusi Jasa Umum adalah;
1. Retribusi Pelayanan Kesehatan
2. Retribusi Pelayanan Persampahan/Kebersihan
3. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Kertu Tanda Penduduk dan Akta Catatan Sipil
4. Retribusi Pelayanan Pemakaman dan Pengabuan Mayat
5. Retribusi Pelayanan Parkir di Tepi Jalan Umum
6. Retribusi Pelayanan Pasar
7. Retibusi Pengujian Kendaraan Bermotor
8. Retribusi Pemeriksaan Alat Pemadam Kebakaran
9. Retribusi Penggantian Biaya Cetak Peta
10. Retribusi Penyediaan dan/atau Penyedotan Kakus
11. Retribusi Limbah Cair
12. Retribusi Pelayanan Tera/Tera Ulang
13. Retribusi Pelayanan Pendidikan; dan
14. Retribusi Pengendalian Menara Telekomunikasi

Retribusi Jasa Usaha


Retribusi yang dikenakan atas jasa usaha digolongkan sebagai Retribusi Jasa Usaha. Objek
Retribusi Jasa Usaha adalah Pelayanan yang Disediakan oleh Pemerintah Daerah dengan
menganut prinsip komersial yang meliputi;
1. Pelayanan dengan menggunakan/memanfaatan kekeyaan Daerah yang belum
dimanfaatan secara optimal; dan/atau
2. Pelayanan oleh Pemerintah Daerah sepanjang belum disediakan secara memadai oleh
pihak swasta.

Jenis Retribusi Jasa Usaha adalah;


1. Retribusi Pemakaian Kekeyaan Daerah ;
2. Retribusi Pasar Grosir dan/atau Petokoan
3. Retribusi Tempat Pelelangan
4. Retribusi Terminal
5. Retribusi Tempat Khusus Parkir
6. Retribusi Tempat Penginapan/Pesanggrahan/Villa
7. Retribusi Rumah Potong Hewan
8. Retribusi Pelayanan Kpelabuhanan
9. Retribusi Tempat Rekreasi dan Olahraga
10. Retribusi Penyebrangan di Air, dan
11. Retribusi Penjualan Produksi Usaha Daerah

Retribusi Perizinan Tertentu


Retribusi yang dikenakan atas perizinan tertentu digoongkan sebagai Retribusi Perizinan
Tertentu. Objek Retribusi Perizinan tertentu adalah pelayanan perizinan tertentu oleh
pemerintah Daerah kapada orang pribadi atau Badan yang dimaksudkan untuk pengaturan
dan pengawasan atas kegiatan pemanfaatan ruang, penggunaan sumber daya alam, barang,
prasarana, sarana atau fasilitas tertentu guna melindungi kepentingan umum dan menjaga
kelestarian lingkungan. Jenis Retribusi Perizinan tertentu adalah:

1. Retribusi Izin Mendirikan Bangunan


2. Retribusi Izin Tempat Penjualan Minimum Beralkohol;
3. Retribusi Izin Gangguan;
4. Retribusi Izin Trayek;dan
5. Retribusi Izin Usaha Perikanan

SUBJEK RETRIBUSI DAERAH


Subjek Retribusi Daerah adalah sebagai berikut:

1. Retribusi Jasa Umum adalah orang pribadi atau Badan yang menggunakan/menikmati
pelayanan Jasa Umum yang BersangkutN.
2. Retribusi Jasa Usaha adalah orang pribadi atau badan yang menggunakan/menikmati
pelayanan jasa usaha yang bersangkutan
3. Retribusi Perizinan Tertebtu adalah orang pribadi atau badan yang memperoleh izin
tertentu dari Pemerintah Daerah.
2.9 PRINSIP DAN SASARAN PENETAPAN TARIF RETRIBUSI
DAERAH
Prinsip dan Sasaran oenetapan tariff Retribusi adalah sebegai berikut;

1. Retribusi Jasa Umum, ditetapkan dengan memperhatikan biaya penyediaan jasa yang
bersangkutan, kemampuan masyarakat, aspek keadilan, dan efektifitas pengendalian
atas pelayanan tersebut. Yang dimaksud dengan biaya disini meliputi biaya operasi
dan pemeliharaan, biaya bunga, dan biaya modal.
2. Retribusi Jasa Usaha, didasarkan pada tujuan untuk memperoleh keuntungan yang
layak, yaitu keuntungan yang diperoleh apabila pelayanan jasa usaha tersebut
dilakukan secara efisien dan berorientasi pada harga pasar.
3. Retribusi Perizinan Tertentu, didasarkan pada tujuan untuk menutup sebagian atau
seluruh biaya penyelenggaraan pemberian izin yang bersangkutan. Yang dengan biaya
penyelenggaraan pemberian izin disini meliputi penerbitan dokumen izin,
pengawasan dilapangan, penegakkan hukum, penata usahaan, dan biaya dampak
negative dari pemberian izin tersebut.

2.10 TATA CARA PEMUNGUTAN RETRIBUSI


Retribusi dipungut dengan menggunakan Surat Ketetapan Retribusi Daerah (SKRD)
Atau dokumen lain yang dipersamakan berupa karcis, kupon dan kartu langganan. Dalam hal
wajib Retribusi tertentu tidak membayar tepat pada waktunya atau kurang membayar,
dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% setiap bulan dari Retribusi yang
terutang yang tidak atau kurang dibayar dan ditagih dengan menggunakan Surat Taguhan
Daerah (STRD). Penagihan Retribusi terutang sebagaimana didahului dengan Surat Teguran.
Tata cara pelaksanaan pemungutan Retribusi ditetapkan debgan Peraturan Kepala Daerah.

PEMANFAATAN RETRIBUSI
Pemanfaatan dari Penerimaan masing-masing jenis Retribusi diutamakan untuk mendanai
kegiatan yang berkaitan langsung dengan penyelenggaraan pelayanan yang bersangkutan.
Ketentuan mengenai alokasi pemanfaatan penerimaan Retribusi ditetapkan dengan Peraturan
Daerah.

1. Berfungsi sebagai sumber pendapatan daerah

Sebagai sumber pendapatan daerah, retribusi berfungsi untuk membiayai kebutuhan


pemerintahan daerah dan untuk pembangunan daerah.

2. Berfungsi sebagai unsur pendukung stabilitas ekonomi daerah

Agar tercapainya stabilitas ekonomi daerah, retribusi daerah juga berfungsi untuk membuka
lapangan pekerjaan baru guna mengurangi jumlah pengangguran.

3. Berfungsi sebagai unsur pemerataan pendapatan masyarakat daerah


Pemerataan pendapatan masyarakat guna menghindari adanya kesenjangan serta
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Tarif Retribusi Daerah

Setiap daerah di Indonesia memiliki tarifnya masing-masing terkait dengan retribusi daerah.
Adapun hal-hal yang dapat diperhatikan terkait dengan penentuan tarif retribusi daerah
adalah:

 Indeks harga dan tingkat perekonomian daerah


 Sasaran dan golongan berdasarkan potensi retribusi daerah
 Penyelenggaraan retribusi jasa umum dengan memperhatikan aspek keadilan dan
kemampuan masyarakat dan pelayanan jasa yang diberikan
 Penyelenggaraan retribusi jasa usaha berorientasi pada keuntungan yang didapatkan serta
tetap memperhatikan harga pasar

KEDALUWARSA PENAGIHAN RETRIBUSI


Hak untuk melakukan penagihan Retribusi menjadi kedaluwarsa setelah melampaui waktu 3
Tahun terhitung sejak saat terutang-nya Retribusi, kecuali jika Wajib Retribusi melakukan
tindak pidana di Bidang Retribusi.
Hak untuk melakukan penagihan pajak, termasuk, bunga, denda kenaikan dan biaya,
panagihan pajak
Kadaluwarsa Penagihan Pajak bertanggung apabila;
1. Diterbitkan surat paksa
2. Ada pengakuan utang pajak dan wajib pajak baik langsung maupun tidak langsung
3. Diterbitkan Surat Ketetapan Pajak kurang bayar Tambahan sebagaimana dimaksud
dalam, atau
4. Dilakukan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Pajak adalah iuran wajib rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang (yang dapat
dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbal balik (kotraprestasi), yang langsung dapat
ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum.
Dengan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri-ciri yang melekat pada penegertian pajak
adalah:
a. Pajak dipungut berdasarkan undang-undang serta aturan pelaksanaan nya yang
sifatnya dipaksakan.
b. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual
oleh pemerintah.
c. Pajak dipungut oleh pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah.
d. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain Budgeter (pendanaan) yaitu Regulerend
(mengatur).
Pemungutan Pajak BPHTB pada Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset di Kabupaten
Labuhanbatu, Pemerintah Daerah adalah Bupati dan Perangkat Daerah sebagai unsur
penyelenggara Pemerintahan Daerah. Kas Daerah adalah Kas Daerah Kabupaten
Labuhanbatu. 5. Dinas adalah Dinas PendapatanPengelolaan Keuangan dan Asset Daerah
Kabupaten Labuhanbatu yang selanjutnya disebut DPPKAD. Pajak Daerah yang selanjutnya
disebut Pajak adalah kontribusi wajib kepada Oaerah yang terutang oleh orang pribadi atau
badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan
imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan daerah bagi sebesar-besarnya
kemakmuran rakyat. Dokumen terkait Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan adalah
dokumen yang menyatakan telah terjadinya pemindahan hak atas kepemilikan tanah dan/ atau
bangunan. Dokumen ini dapat berupa surat perjanjian, dokumen jual beli, surat hibah, surat
waris, dan lain-lain yang memiliki kekuatan hukum.
Adapun mekanisme pemungutan pajak BPHTB tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pengurusan akta
Prosedur pengurusan akta pemindahan hak atas tanah dan/atau bangunan merupakan proses
pengajuan pembuatan akta sebagai dokumen legal penerimaan hak atas tanah dan/atau
bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak selaku penerima hak atas tanah dan/atau
bangunan kepada Pejabat Pembuat Akta Tanah
2. Pembayaran BPHTB
Prosedur pembayaran BPHTB oleh penerima hak tanah dan/atau bangunan merupakan proses
pembayaran yang dilakukan Wajib Pajak atas BPHTB terutang melalui Bank yang Ditunjuk/
Bendahara Penerimaan.
3. Penelitian SSPD BPHTB
Prosedur penelitian Surat Setoran Pajak Daerah BPHTB merupakan proses verifikasi
kelengkapan dokumen dan kebenaran data terkait objek pajak yang tercantum dalam Surat
Setoran Pajak Daerah BPHTB. Prosedur ini dilakukan setelah Wajib Pajak melakukan
pembayaran BPHTB terutang dengan menggunakan Surat Setoran Pajak Daerah BPHTB
melalui Bank yang Ditunjuk/Bendahara Penerimaaan.
4. Pendaftaran Akta
Prosedur ini dilakukan sebagai prasyarat penerbitan Akta Pemindahan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan. PPAT menandatangani Akta Pemindahan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan setelah pemindahan hak atas tanah telah terdaftar di Kepala Kantor Bidang
Pertanahan
5. Pelaporan BPHTB
Prosedur ini melibatkan Bank yang ditunjuk atas penerimaan pembayaran BPHTB dari Wajib
Pajak yangmelalui mekanisme penyetoran ke rekening penerimaan kas daerah.
6. Penagihan BPHTB
Prosedur penetapan Surat Tagihan Pajak Daerah BPHTB merupakan proses yang dilakukan
Fungsi Pelayanan dalam menetapkan tagihan BPHTB terutang yang disebabkan karena
BPHTB terutang menurut SSPD BPHTB; tidak/kurang dibayar, salah tulis, salah hitung, dan
kena bunga/denda.

7. Pengurangan BPHTB
Pemberian pengurangan sendiri dilakukan berdasar Peraturan Kepala Daerah yang berisi
tentang kriteria dan kategori pengurangan untuk daerah yang bersangkutan. Prosedur ini
melibatkan Fungsi Pengolahan Data & informasi.

3.2 SARAN
Sebagai hasil penulisan akhir, dari penulisan Tugas Akhir ini, maka penulis memberikan
saran. Adapun saran-saran tersebut adalah:
a. Peraturan yang dibuat Pemerintah Daerah harus menjunjung tinggi azas keadilan.
Ciptakanlah aparat Pajak atau Instansi Pemerintahan yang terkait yang bebas KKN.
b. Kepada seluruh masyarakat atau wajib pajak diharapkan menumbuh kembangkan
budaya sadar dan peduli Pajak demi pembangunan Daerah yang maju dann
berkembang serta mempenyui kualitas yang tinggi bagi masyarakatnya.
c. Untuk meningkatakan penerimaan Pajak BPHTB pada kantor Dinas Pendapatan
Daerah Kabupaten Rokan Hulu perlu melakukan evaluasi terhadap potensi-potensi
yang ada.
d. Dalam penentuan target, hendaknya PEMDA Kabupaten Rokan Hulu perlu
melakukan pengajian ulang terhadap realisasi Penerimaan Pajak BPHTB atau
disesuaikan dengan keadaan sekarang agar target tersebut nantinya tercapai.
e. Memberikan penjelasan-penjelasan kepada masyarakat (Sosialisasi dengan Wajib
Pajak) mengenai dasar penetapan Pajak BPHTB, perhitungan Pajak BPHTB kepada
Wajib Pajak agar dapat mengerti tentang tata cara perhitungan Pajak BPHTB.
f. Pemungutan Pajak BPHTB harus lebih ditingkatkan lagi mulai dari pendataan hingga
penyetorannya
DAFTAR PUSTAKA
Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan
Umum dan Tata Cara Perpajakan.

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak


Penghasilan

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentng Pajak Pertambahan


Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Aats Barang
Mewah

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor Tahun 1985 tentang Pajak BumiDan


Bangunan

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 13 Tahun 1985 Tentang Bea Materai

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan


Atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas


Undang-undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang ketentuan Umum dan tata cara
Perpajakan

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas


Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang pajak penghasilan sebagaimana
Telah diubah dengan Undang-undang Nomor 7 Tahun 1991

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 11 Tahun 1994mtentang Perubahan atas


Uandang-undang Nomor 8 Tahun 1983ntentang Pajak Pertambahan Nilai
Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah

Repubik Indonesia, Undang-undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Perubahan atas


Undang-undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah

Republik Indonesia, Undang-undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perlehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan

Republik Indonesia, Penjelasan dan Peraturan yang berkaitan dengan Undang-undang


Perpajakan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai