Anda di halaman 1dari 22

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Pada bab ini akan mendeskripsikan tentang konsep aromaterapi, konsep dasar nyeri,

konsep sectio caesarea, kerangka teori dan penelitian terkait.

2. 1 AROMATERAPI LAVENDER

2.1.1 Pengertian Aromaterapi

Aromaterapi berasal dari kata aroma yang berarti harum dan wangi, dan

therapy yang dapat diartikan sebagai cara pengobatan atau penyembuhan.

Sehingga aromaterapi dapat diartikan sebagai “suatu cara perawatan tubuh

dan atau penyembuhan penyakit dengan menggunakan minyak esensial

(essential oil ).”(Jaelani, 2009).

Aromaterapi adalah istilah modern untuk proses penyembuhn kuno yang

menggunakan sari tumbuhan aromatik murni. Tujuannya adalah untuk

meningkatkan kesehatan dan kesejehteraan tubuh, pikiran, dan

jiwa.(Primadiati, 2012). Aromaterapi adalah terapi komplementer dalam

praktik keperawatan dan menggunakan minyak essensial dari bau harum

tumbuhan untuk mengurangi masalah kesehatan dan memperbaiki kualitas

hidup.(Bangun, Virgona dkk, 2013).

10
11

Gambar. 2.1.1.1 Primadiati (2012)

Minyak essensial adalah minyak yang berasal dari saripati tumbuhan aromatis

yang biasa disebut minyak atsiri. Minyak atsiri ini merupakan hormon atau life

force tumbuhan, yang biasa didapat dengan cara ekstraksi. Minyak esensial itu

berefek sebagai antibakteri dan antivirus, juga merangsang kekebalan tubuh

untuk melawan infeksi tersebut. Minyak esensial adalah konsentrat yang

umumnya merupakan hasil penyulingan dari bunga, buah, semak-semak, dan

pohon (Primadiati, 2012).

Gambar. 2.1.1.2. Primadiati (2012)

2.1.2 Manfaat Aromaterapi

Aroma berpengaruh langsung terhadap otak manusia, seperti halnya narkotika.

Hidung memiliki kemampuan untuk membedakan lebih dari 100.000 aroma yang

berbeda yang mempengaruhi dan itu terjadi tanpa disadari. Aroma tersebut
12

mempengaruhi bagian otak yang berkaitan dengan mood, emosi, ingatan, dan

pembelajaran. Misalnya, dengan menghirup aroma lavender maka akan

meningkatkan gelombang-gelombang alfa di dalam otak dan gelombang inilah yang

membantu untuk menciptakan keadaan yang rileks.(Maifrisco, 2008).

Aromaterapi mempunyai efek yang positif karena diketahui bahwa aroma yang

segar, harum merangsang sensori, reseptor dan pada akhirnya mempengaruhi organ

yang lainnya sehingga menimbulkan efek kuat terhadap emosi. Aroma ditangkap

oleh reseptor di hidung yang kemudian memberikan informasi lebih jauh ke area

di otak yang mengontrol emosi dan memori maupun memberikan informasi juga

ke hipotalamus yang merupakan pengatur system internal tubuh, termasuk sistem

seksualitas, suhu tubuh, dan reaksi terhadap stress.(Shinobi, 2008).

Manfaat Aromaterapi menurut Damawanti (2016) adalah :

a. Aromaterapi merupakan salah satu metode perawatan yang tepat dan efisien

dalam menjaga tubuh tetap sehat.

b. Aromaterapi banyak dimanfaatkan dalam pengobatan, khususnya untuk

membantu penyembuhan beragam penyakit, meskipun lebih ditujukan sebagai

terapi pendukung (support therapy).

c. Aromaterapi membantu meningkatakn stamina dan gairah seseorang, walapun

sebelumnya tidak atau kurang memiliki gairah dan semangat hidup.

d. Aromaterapi dapat menumbuhkan perasaan yang tenang pada jasmani, pikiran

dan rohani (soothing the physical, mind and spiritual).


13

e. Aromaterapi mampu menghadirkan rasa percaya diri, sikap yang berwibawa,

jiwa pemberani, sifat familiar, perasaan gembira, damai, juga suasana

romantis.

f. Aromaterapi merupakan bahan analgesik, antiseptik dan antibakteri alami

yang dapat menjadikan makanan ataupun jasad renik menjadi lebih awet.

2.1.3 Efek Medis Minyak Essensial dan Fisiologis Minyak Essensial

Minyak esensial memiliki peran amat penting bagi perkembangan kesehatan saat

ini, yaitu sebagai sumber obat-obatan alami yang aman dan murah, melalui metode

aromaterapi. Hal ini cukup beralasan, karena pada minyak esensial terdapat

kandungan kimia bahan aktif yang memiliki khasiat dan efek yang cepat dalam

membantu penyembuhan penyakit. Bahan-bahan aktif dalam minyak essensial ini

juga merupakan sediaan kosmetika yang efektif dan praktis.(Damawati, 2016).

Adapun efektivitas kimia bahan aktif minyak essensial tersebut dapat dijelaskan

melalui mekanisme menurut Sunito (2010) sebagai berikut:

a. Butiran molekulnya sangat kecil dengan mudah dapat diserap melalui aliran

darah hingga pembuluh kapiler darah di seluruh jaringan tubuh. Zat-zat aktif

yang terdapat dalam minyak essensial ini kemudian diedarkan ke seluruh

jaringan tubuh, sehingga akan lebih mudah mencapai sasaran lokasi yang akan

diobati (target site).

b. Minyak essensial juga memiliki sifat mudah larut dalam lemak, sehingga

dengan mudah terserap ke dalam lapisan kulit dan lapisan kulit yang ada di

bawahnya (subkutan) bila dioleskan atau digosokkan.


14

c. Minyak esensial mampu meredakan ketegangan pada otot-otot yang sedang

mengalami kelelahan akibat aktivitas yang berlebihan.

d. Efek dari zat aktifnya dapat mempengaruhi lapisan dinding usus secara

langsung, selaput lendir, dan otot-otot pada dinding usus di sekitarnya bila

dikonsumsi secara internal melalui oral.

e. Minyak essensial juga mampu mempengaruhi impuls dan refleks saraf yang

diterima oleh ujung-ujung reseptor saraf pada lapisan terluar dari kulit,

dibawah lapisan epidermis. Selain itu, minyak ini dapat mempengaruhi

aktivitas fungsi kerja otak melalui sistem saraf yang berhubungan dengan

indera penciuman. Respons ini akan dapat merangsang peningkatan produksi

masa penghantar saraf otak (neurotransmitter), yaitu yang berkaitan dengan

pemulihan kondisi psikis (seperti emosi, perasaan, pikiran, dan keinginan).

f. Efek medis minyak essensial juga mampu mempengaruhi kelenjar getah

bening. Dalam hal ini, efektifitas zat-zat aktifnya dapat membantu produksi

prostaglandin yang berperan penting dalam meregulasi tekanan darah,

pengendalian rasa sakit, serta keseimbangan hormonal.

g. Minyak essensial juga ikut membantu kerja enzim, antara lain enzim pencernaan

yang berperan dalam menstimulasi nafsu makan, asam hidrokhlorik, pepsin,

musin dan substansi lain yang ada dilambung.

2.1.4 Sifat-sifat Yang Terkandung Dalam Minyak Essensial

Sifat-sifat yang terkandung dalam minyak esensial lavender yaitu sebagai

antiseptik, antidepresan, meringankan stres dan sulit tidur, mengatasi gigitan

serangga.(Sunito, 2010).
15

2.1.5 Bentuk-bentuk Aromaterapi

Bentuk aroma terapi yang banyak ditemukan adalah aroma terapi berbentuk lilin

dan dupa (incense stick dan incense cone). Adapula yang berbentuk minyak

esensial tapi umumnya tidak murni, hanya beberapa persen saja menurut Sunito

(2010) sebagai berikut :

1. Dupa
Dibuat dari bubuk akar yang dicampur minyak essensial grade III, cara
penggunaanya adalah dengan cara dibakar.
2. Lilin
Biasanya lilin aromaterapi wanginya itu-itu saja, misalnya sandalwood dan

lavender . Sebab, sejumlah minyak essensial tertentu membuat lilin sulit

membeku. Bahan baku lilin itu kemudian dicampur dengan beberapa tetes

minyak essensial grade III. Kualitas lilin di pasaran berbeda-beda. Cara

sederhana untuk mengetahuinya adalah mencoba membakarnya lebih dahulu,

lilin yang bagus tak mudah meleleh dan asapnya tidak hitam.

3. Minyak essensial adalah konsentrat yang umumnya merupakan hasil

penyulingan dari bunga, buah, semak-semak dan pohon.(Sunito,2010)

2.1.6 Cara Menggunakan Minyak Essensial


Cara menggunakan minyak esensial menurut Primadiati (2012) :
a. Kompres
Kompres adalah salah satu upaya dalam mengatasi kondisi fisik dengan cara

memanipulasi suhu tubuh atau dengan memblokir efek rasa sakit. Caranya

adalah dengan menambahkan 3-6 tetes minyak essensial pada setengah liter

air. Masukan handuk kecil pada air tersebut dan peras. Lalu, letakkan

handuk tersebut pada wilayah yang diinginkan. Bisa juga untuk mengompres
16

wajah dengan menambahkan 2 tetes minyak essensial pada satu mangkuk air

hangat. Masukan kain atau handuk kecil pada air dan peras. Letakan pada

wajah selama beberapa menit. Ulangi cara tersebut selama tiga kali.

b. Pemijatan /Massage

Pemijatan/massage termasuk salah satu cara terapi yang sudah berumur tua.

Meskipun metode ini tergolong sederhana, namun cara terapi ini masih sering

digunakan. Caranya adalah dengan menggunakan 7-10 tetes minyak esensial

yang sejenis dalam 10-14 tetes minyak dasar, atau tiga kali dari dosis tersebut

bila menggunakan tiga macam minyak esensial. Cara pemijatan ini dapat

dilakukan dengan suatu gerakan khusus melalui petrissage (mengeluti,

meremas, mengerol dan mencubit), effleurage (usapan dan belaian) friction

(gerakan menekan dengan cara memutar-mutarkan telapak tangan atau jari).

c. Steaming

Streaming merupakan salah satu cara alami untuk mendapatkan uap aromatis

melalui penguapan air panas. Dalam terapi ini, setidaknya digunakan 3-5 tetes

minyak esensial dalm 250 ml air panas. Tutuplah kepala dan mangkok dengan

handuk, sambil muka ditundukkan selama 10-15 menit hingga uap panas

mengenai muka.

d. Hirup atau Inhalasi

Adapun maksud dari terapi ini adalah untuk menyalurkan khasiat zat-zat yang

dihasilkan oleh minyak esensial secara langsung atau melalui alat bantu aroma

terapi. Seperti tabung inhaler dan spray, anglo, lilin, kapas, tisu ataupun

pemanas elektrik. Zat-zat yang dihasilkan dapat berupa gas, tetes-tetes uap
17

yang halus, asap, serta uap sublimasi yang akan terhirup lewat hidung dan

tertelan lewat mulut. Caranya adalah teteskan satu tetes minyak esensial pada

tisu, kapas atau sapu tangan. Hirup selama menit 15-30 menit.

Mekanisme inhalasi terhadap nyeri yaitu perjalanan masuknya aromaterapi,

ketika minyak atsiri dalam hal ini adalah aroma lavender dihirup, molekul yang

mudah menguap (volatile) dari minyak tersebut dibawa oleh arus udara ke

“atap” hidung dimana silia-silia yang lembut muncul dari sel-sel reseptor.

Ketika molekul-molekul itu menempel pada rambut-rambut tersebut, suatu

pesan eletrokimia akan ditransmisikan melalui bola dan saluran olfaktory ke

dalam sistem limbik. Hal ini akan merangsang memori dan respons emosional.

Hipotalamus berperan sebagai relay dan regulator, memunculkan pesan-pesan

yang harus disampaikan ke bagian otak serta bagian badan yang lain. Pesan yang

diterima itu kemudian diubah menjadi tindakan yang berupa pelepasan senyawa

elektrokimia yang menyebabkan euphoria (kesenangan yang berlebihan), relaks

atau sedatif. Sistem limbik ini terutama digunakan dalam ekspresi emosional.

Bau yang dihasilkan aromaterapi akan berikatan dengan gugus steroid di dalam

kelenjar keringat, yang disebut osmon, yang mempunyai potensi sebagai

penenang kimia alami. Respon bau yang dihasilkan akan merangsang kerja sel

neurokimia otak. Sebagai contoh, bau yang menyenangkan akan menstimulasi

thalamus untuk mengeluarkan enkefalin yang berfungsi sebagai penghilang rasa

sakit alami dan menghasilkan perasaan sejahtera (Dwijayanti, Wening

dkk,2014).
18

Hal ini menyatakan bahwa aromaterapi akan merangsang keluarnya hormon

enfekalin, serotonin dan endorfin. Enkefalin dianggap dapat menimbulkan

hambatan presinaptik dan hambatan pasca sinaptik pada serabut-serabut nyeri

tipe C dan tipe delta A dimana mereka bersinaps di kornu dorsalis. Proses

tersebut mencapai inhibisi dengan penghambatan saluran kalsium.

Penghambatan nyeri tersebut yaitu dengan memblok reseptor nyeri sehingga

nyeri tidak dikirim ke korteks serebri dan selanjutnya akan menurunkan persepsi

nyeri. Sesuai dengan teori gate control yang dikemukakan oleh Melzack dan

Wall bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls

nyeri dihambat saat sebuah pertahanan ditutup, sehingga dapat menurunkan

intensitas nyeri yang dirasakan (Dwijayanti, Wening dkk,2014).

2. 2 KONSEP DASAR NYERI


2.2.1 Pengertian Nyeri
Nyeri adalah kondisi berupa perasaan tidak menyenangkan bersifat sangat

subyektif karena perasaan nyeri berbeda pada setiap orang dalam hal skala atau

tingkatanya, dan hanya orang tersebutlah yang dapat menjelaskan atau

mengevaluasi rasa nyeri yang dialaminya (Alimul, 2009).

2.2.2 Klasifikasi nyeri

Nyeri menurut (Alimul, 2009) diklasifikasikan beberapa macam yaitu:

Klasifikasi nyeri berdasarkan etiologi

1) Nyeri Psikogenik

Nyeri psikogenik adalah nyeri yang tidak diketahui secara fisik yang timbul

akibat psikologis.
19

2) Nyeri Neurologis

Nyeri neurologis adalah bentuk nyeri yang tajam karena adanya spasme di

sepanjang atau di beberapa jalur saraf.

3) Nyeri Inflamasi

Nyeri inflamasi adalah nyeri yang terasa pada bagian tubuh yang lain,

umumnya terjadi akibat kerusakan pada cedera organ visceral.

4) Nyeri Phantom

Nyeri phantom adalah nyeri yang disebabkan karena salah satu ekstrimitas

diamputasi.

Klasifikasi nyeri berdasarkan durasi

1) Nyeri Akut

Nyeri akut biasanya tiba-tiba dan umumnya berkaitan dengan cidera spesifik.

Nyeri ini umumnya terjadi kurang dari 6bulan dan biasanya kurang dari 1

bulan. Untuk tujuan devinisi nyeri akut dapat dijelaskan sebagai nyeri yang

berlangsung dari beberapa detik hingga 6 bulan.

2) Nyeri Kronik

Nyeri kronik adalah nyeri konstan atau intermiten yang menetap sepanjang

suatu periode waktu. Nyeri kronik sering didefinisikan sebagai nyeri yang

berlangsung selama 6 bulan atau lebih, meskipun 6 bulan merupakan suatu

periode yang dapat berubah untuk membedakan antara nyeri akut dan nyeri

kronik.(Smeltzer & Bare, 2007).

Klasifikasi nyeri berdasarkan lokasi


1) Nyeri superfisial atau kutaneus
Nyeri yang diakibatkan dari stimulasi kulit.
20

Nyeri ini berlangsung sebentar dan terlokalisasi. Nyeri biasanya terasa

sebagai sensasi yang tajam.

2) Nyeri visceral dalam

Nyeri yang di akibatkan oleh stimulasi organ-organ internal. Nyeri bersifat

difus dan dapat menyebar ke beberapa arah. Durasi bervariasi tetapi biasanya

berlangsung lebih lama dari pada nyeri superficial.

3) Nyeri alih (referrend)

Nyeri alih merupakan fenomena umum dalam nyeri visena karena banyak

organ yang tidak memiliki reseptor nyeri. Nyeri terasa di bagian tubuh yang

terpisah dari sumber nyeri dan dapat terasa dengan berbagai karakteristik.

4) Radiasi

Sensasi nyeri meluas dari tempat awal cidera ke bagian tubuh yang lain. Nyeri

terasa seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang bagian tubuh.

Nyeri dapat menjadi intermiten atau konstan.(Price & Sylvia, 2005).

2.2.3 Faktor- faktor yang mempengaruhi nyeri

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi nyeri antara lain:


1) Pengalaman masa lalu
Individu yang mempunyai pengalaman multipel dan berkepanjangan dengan

nyeri akan lebih sedikit gelisah dan lebih toleran terhadap nyeri dibanding

orang yang hanya mengalami sedikit nyeri.

2) Ansietas

Ansitas akan meningkatkan nyeri, mungkin tidak seluruhnya benar dalam

semua keadaan. Namun ansietas yang relevan, atau berhubungan dengan nyeri

dapat dapat meningkatkan persepsi pasien terhadap nyeri. Ansietas yang tidak
21

berhubungan dengan nyeri dapat mendistraksikan pasien dan secara aktual

dapat menurunkan persepsi nyeri.

3) Budaya

Budaya dan etniksitas mempunyai pengaruh pada bagaimana seseorang

berespon terhadap nyeri. Namun, budaya dan etnik tidak mempengaruhi persepsi

nyeri.

4) Usia

Pengaruh usia pada persepsi nyeri dan toleransi nyeri tidak di ketahui secara

luas. Pengkajian nyeri pada lansia mungkin sulit karena perubahan fisiologis

dan psikologis yang menyertai proses penuaan. Cara lansia berespon terhadap

nyeri dapat berbeda dengan orang yang berusia lebih muda. Penilaian tentang

nyeri dan keadekuatan pengobatan harus didasarkan pada laporan nyeri pasien

dan pereda ketimbang didasarkan pada usia. Pengaruh usia pada persepsi nyeri

dan toleransi nyeri tidak diketahui secara luas.

5) Efek plasebo

Efek plasebo terjadi ketika seseorang berespons terhadap pengobatan atau

tindakan tersebut akan memberikan hasil. Menerima pengobatan atau

tindakan saja sudah memberikan efek positif. (Smeltzer&Bare, 2007).

2.2.4 Skala Pengukuran Nyeri

Menurut Yudiyanta, Khoirunnisa dan Novitasari (2015), ada beberpa cara

membantu pengukuran nyeri antara lain:


22

1) Wong Baker Pain Rating Scale (Gambar 1) Digunakan pada pasien dewasa dan

anak >3 tahun yang tidak dapat menggambarkan intensitas nyerinya dengan

angka.

Gambar 2.2.4.1 Wong Baker Pain Rating Scale

2) Numeric Rating Scale (NRS) (Gambar 2) Dianggap sederhana dan mudah

dimengerti, sensitif terhadap dosis, jenis kelamin, dan perbedaan etnis. Lebih

baik daripada VAS terutama untuk menilai nyeri akut. Namun, kekurangannya

adalah keterbatasan pilihan kata untuk menggambarkan rasa nyeri, tidak

memungkinkan untuk membedakan tingkat nyeri dengan lebih teliti dan

dianggap terdapat jarak yang sama antar kata yang menggambarkan efek

analgesik.

Gambar 2.2.4.2 Numeric Rating Scale

3) Verbal Rating Scale (VRS) Skala ini menggunakan angka-angka 0 sampai 10

untuk menggambarkan tingkat nyeri. Dua ujung ekstrem juga digunakan pada

skala ini, sama seperti pada VAS atau skala reda nyeri (Gambar 3). Skala

numerik verbal ini lebih bermanfaat pada periode pascabedah, karena secara

alami verbal/kata-kata tidak terlalu mengandalkan koordinasi visual dan


23

motorik. Skala verbal menggunakan katakata dan bukan garis atau angka untuk

menggambarkan tingkat nyeri. Skala yang digunakan dapat berupa tidak ada

nyeri, sedang, parah. Hilang/redanya nyeri dapat dinyatakan sebagai sama sekali

tidak hilang, sedikit berkurang, cukup berkurang, baik/ nyeri hilang sama sekali.

Karena skala ini membatasi pilihan kata pasien, skala ini tidak dapat

membedakan berbagai tipe nyeri.

Gambar 2.2.4.3 Verbal Rating Scale

4) Visual Analog Scale (VAS) Skala analog visual (VAS) adalah cara yang paling

banyak digunakan untuk menilai nyeri. Skala linier ini menggambarkan secara

visual gradasi tingkat nyeri yang mungkin dialami seorang pasien. Rentang

nyeri diwakili sebagai garis sepanjang 10 cm, dengan atau tanpa tanda pada tiap

sentimeter (Gambar 4). Tanda pada kedua ujung garis ini dapat berupa angka

atau pernyataan deskriptif. Ujung yang satu mewakili tidak ada nyeri, sedangkan

ujung yang lain mewakili rasa nyeri terparah yang mungkin terjadi. Skala dapat

dibuat vertikal atau horizontal. VAS juga dapat diadaptasi menjadi skala

hilangnya/ reda rasa nyeri. Digunakan pada pasien anak >8 tahun dan dewasa.

Manfaat utama VAS adalah penggunaannya sangat mudah dan sederhana.

Namun, untuk periode pascabedah, VAS tidak banyak bermanfaat karena VAS

memerlukan koordinasi visual dan motorik serta kemampuan konsentrasi


24

Gambar 2.2.4.4 Visual Analog Schale

2. 3 KONSEP DASAR SECTIO CAESAREA

2.3.1 Pengertian Sectio Caesarea

Sectio caesarea didefinisikan sebagai kelahiran janin melalui insisi pada dinding

abdomen (laparotomi).(Cuningham, 2013). Secsio caesarea adalah suatu cara

melahirkan janin dengan membuat sayatan pada dinding uterus melalui dinding

depan perut. (Nanda, 2016).

Gambar.2.3.1.1 Cunningham (2013)

2.3.2 Tekhnik Pelahiran Caesar

Pembedahan atau operasi adalah semua tindakan pengobatan yang menggunakan

cara invasif dengan membuka atau menampilkan bagian tubuh, dan pada umumnya
25

dilakukan dengan membuat sayatan, pada bagian tubuh yang akan ditangani, lalu

dilakukan tindakan perbaikan dan diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka.

Pembedahan dilakukan untuk mendiagnosa atau mengobati suatu penyakit, cedera

atau cacat, serta mengobati kondisi yang sulit atau tidak mungkin disembuhkan

hanya dengan obat-obatan sederhana.(Apriyansah, 2014).

Pada Proses operasi digunakan anastesi agar pasien tidak merasakan nyeri pada

saat dibedah. Namun setelah operasi selesai dan pasien mulai sadar dan efek

anastesi habis bereaksi, pasien akan merasakan nyeri pada bagian tubuh yang

mengalami pembedahan. Pada operasi Sectio Caesaria ada 7 lapisan perut yang

harus disayat. Sementara saat proses penutupan luka, 7 lapisan tersebut dijahit satu

demi satu menggunakan beberapa macam benang jahit. Rasa nyeri didaerah sayatan

yang membuat terganggu dan pasien merasa tidak nyaman.(Damawanti, 2016).

Menurut Cunningham (2013) tekhnik pelahiran caesar, yaitu:

1) Insisi Vertikal

Insisi vertikal linea mediana infraumbilical adalah insisi yang paling cepat

dilakukan. Insisi harus cukup panjang supaya bayi dapat dilahirkan dengan

mudah. Karena itu, panjang insisi harus sesuai dengan perkiraan ukuran janin.

2) Insisi Transversal

Dengan insisi Pfannenstiel yang dimodifikasi, kulit dan jaringan subkutan

diinsisi menggunakan insisi kulvalinear transversal rendah. Insisi dilakukan

setinggi garis rambut pubis dan diperluas melewati batas lateral M. rectus.

Diseksi tajam dilanjutkan melalui lapisan subkutan hingga fascia.


26

3) Insisi Uterus

Segmen bawah uterus paling sering diinsisi secara transversal. Kadang-kadang

digunakan insisi vertikal segmen bawah. Insisi ini disebut insisi klasik yaitu

insisi vertikal kedalam korpus uteri diatas segmen bawah uterus mencapai

fundus uteri.

2.3.3 Jenis-jenis Operasi Sectio Caesarea

Menurut Cunningham (2013) tekhnik pelahiran caesar, yaitu:

1) Sectio Caesarea Transperitonealis (SCPT)

Sectio Caesarea Klasik atau Corporal (dengan insisi memanjang pada korpus

uteri) dilakukan dengan membuat sayatan memanjang pada korpus uteri kira-

kira10 cm.

Kelebihan:

a. Mengeluarkan janin dengan cepat

b. Tidak mengakibatkan komplikasi kandung kemih tertarik

c. Sayatan bisa diperpanjang proksimal atau distal

Kekurangan

a. Infeksi mudah menyebar secara intra abdomal karena tidak ada

Reperitonealis yang baik.

b. Untuk persalinan berikutnya lebih sering terjadi Ruptur uteri spontan

2) Sectio Caesarea Ismika atau profundal (Low Servical dengan insisi pada segmen

bawah rahim)

3) Sectio Caesarea Ekstra Peritonealis yaitu tanpa membuka Peritonium

Perietalis dengan demikian tidak membuka Cavum abdominal. Dilakukan


27

dengan melakukan sayatan melintang konkat pada SBR (Low Servical

Transversal) kira-kira 10 cm.

Kelebihan

a. Penjahitan luka lebih mudah

b. Penutupan luka dengan Reperitonealisasi yang baik

c. Pendarahan tidak terlalu banyak

d. Kemungkinan Repture uteri spontan berkurangatau lebih kecil

Kekurangan

a. Luka dapat melebar ke kiri, kanan, dan bawah sehingga dapat menyebabkan

arteri uterina putus sehingga mengakibatkan pendarahan yang banyak.

b. Keluhan pada kandung kemih post operasi tinggi.

4) Vagina (Section Caesarea Vaginalis)

Menurut sayatan pada rahim, Sectio Caesarea dapat dilakukan dengan cara:

a. Sayatan memanjang (longitudinal)

b. Sayatan melintang (transversal)

c. Sayatan huruf T (T insicion)

2.3.4 Cara Mengatasi Nyeri Sectio Caesarea

Pentalaksanaan non farmakologi nyeri menurut Dahmawati (2016) dilakukan

dengan:

1) Stimulasi dan Masase kutaneus

Masase adalah stimulasi kutaneus tubuh secara umum, sering dipusatkan pada

punggung dan bahu.


28

a. Terapi es dan panas

Terapi es (dingin) dan panas dapat menjadi strategi pereda nyeri yang

efektif pada beberapa keadaan; namun begitu, keefektifannya dan

mekanisme kerjanya memerlukan studi lebih lanjut.

b. Stimulasi Saraf Elektris Traskutan

Stimulasi saraf traskutan (TENS) mengunakan unit yang di kerjakan oleh

baterai dengan elektroda yang dipasang pada kulit untuk menghasilkan

sensasi kesemutan, gemetar atau mendengung pada area nyeri.

c. Distraksi

Distraksi yang mencakup memfokuskan perhatian pasien pada suatu

selain pada nyeri, dapat menjadi strategi yang sangat berhasil dan mungkin

merupakan mekanisme yang bertanggung jawab terhadap teknik kognitif

efektif lainya.

Imajinasi terbimbing

d. Imajinasi terbimbing adalah menggunakan imajinasi seseorang dalam

suatu cara yang dirancang secara khusus untuk mencapai efek positif

tertentu.

e. Hipnotis

Hipnotis efektif dalam meredakan nyeri atau menurunkan jumlah

analgesik yang dibutuhkan pada nyeri akut dan kronis.

f. Teknik Relaksasi

Merupakan metode efektif untuk mengurangi rasa nyeri pada klien yang

mengalami nyeri kronis.


29

g. Aromaterapi lavender

Aroma terapi adalah terapi komplementer dalam praktik keperawatan dan

menggunakan minyak essensial dari bau harum tumbuhan untuk

mengurangi masalah kesehatan dan memperbaiki kualitas hidup.

2. 4 PENELITIAN TERKAIT

Pratiwi (2012) dengan judul penelitiannya penurunan intensitas nyeri akibat luka post

sectio caesarea setelah dilakukan latihan teknik relaksasi pernapasan menggunakan

aromaterapi lavender di Rumah Sakit Al Islam Bandung menggunakan purposive

sampling . Hasil uji statistik menggunakan uji Wilcoxon. Hasil penelitian menunjukan

bahwa intensitas skala nyeri sebelum dilakukan intervensi adalah 6,6 dalam kategori nyeri

berat , sedangkan sesudah dilakukan 3,6 dimana nilai tersebut dalam kategori sedang.

Hasil analisis p= 0,000 < α 0,05.

Dwijayanti, Wening dkk (2013) dengan judul penelitiannya efek aromaterapi lavender

inhalasi terhadap intensitas nyeri pasca sectio caesarea. Jenis penelitian yang digunakan

yaitu pre-eksperimental dengan one group pretest & post test design. Sampel didapatkan

berjumlah 32 orang data diambil secara convenience sampling dianalisis menggunakan

uji paired t-test. Sebelum dilakukan pemberian inhalasi nilai rata-rata intensitas nyeri

pada skala 5,44 sesudah pemberian inhalasi mengalami penurunan yaitu rata-rata skala

4,31, (p=0,001). Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa terdapat

perbedaan intensitas nyeri pasca sectio caesarea setelah pemberian aromaterapi lavender.
30

Swandari, Prita (2014) dalam penelitiannya berjudul perbedaan tingkat nyeri sebelum

dan sesudah pemberian aromaterapi lavender pada ibu post sectio caesarea di RSUD

Ambarawa menurunkan nyeri sectio caesarea dengan pemberian aromaterapi lavender

menggunakan metode penelitian bersifat quasi eksperimen. Dengan hasil penelitiannya

sebelum dilakukannya pemberian aromaterapi lavender memiliki nilai rata-rata 4,414.

Sedangkan setelah dilakukannya pemberian aromaterapi lavender responden memiliki

nilai rata-rata 2,829. Sehingga terlihat adanya perubahan mean senilai 1,585. Hasil uji

statistik didapatkan nilai p 0,000 < α 0,05.

Damawanti (2016) dalam penelitiannya berjudul pengaruh pemberian aromaterapi

lavender terhadap intensitas nyeri pada pasien post sectio caesarea di Ruang Ayyub 1 RS

Roemani Semarang. Sampel yang digunakan 35 responden. Uji statistik dengan

menggunakan uji Wilcoxon Match Paired Test. Dengan hasil penelitiannya sebelum

tindakan pemberian aromaterapi lavender kategori berat sebanyak 27 responden (77,1%)

dan sesudah diberikan tindakan pemberian aromaterapi lavender sebagian besar kategori

sedang sebanyak 22 responden (62,9%). Hasil uji statistik diperoleh p 0,000 (α< 0,05).

2. 5 KERANGKA TEORI

Kerangka teori penelitian pengaruh pemberian aromaterapi lavender terhadap nyeri

pada pasien sectio caesarea sebagai berikut:


31

Skema 2.1

Kerangka Teori Penelitian

Faktor-faktor yang
mempengaruhi nyeri :

a. Pengalaman masa
lalu Pentalaksanaan nyeri non farmakologi :
b. Ansietas
c. Budaya a. Stimulasi dan Masase kutaneus
d. Usia b. Terapi es dan panas
e. Efek placebo
c. Stimulasi Saraf Elektris Traskutan
d. Distraksi
e. Imajinasi terbimbing
f. Hipnotis
Nyeri sectio caesarea
g. Teknik Relaksasi
h. Aromaterapi lavender

Nyeri menurun

Sumber: Modifikasi teori menurut Smeltzer & Bare (2007), Potter & Perry (2005) dan

Cunningham (2013)

Anda mungkin juga menyukai