Anda di halaman 1dari 25

LAPORANG SGD LBM IV

“Tak Mudah untuk Dipertahankan”

BLOK PSIKIATRI

Disusun Oleh:

Nama : Lalu Muhammad Farros Fikri


NIM : 021.06.0051
Kelas : B
Tutor : dr. Aulia Mahdaniati, S.Ked, M.Biomed

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ISLAM AL-AZHAR MTARAM

TAHUN AJARAN 2023/2024


KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis sampaikan ke-hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat-
Nya kami dapat melaksanakan dan menyusun laporan LBM IV ini, yang berjudul “Tak Mudah
untuk Dipertahankan” tepat pada waktunya.

Laporan ini disusun untuk memenuhi prasyaratan sebagai syarat nilai SGD (Small Group
Discussion). Dalam penyusunan laporan ini, penulis mendapat banyak bantuan, masukan,
bimbingan, dan dukungan dari berbagai pihak. Untuk itu, melalui kesempatan ini penulis
menyampaikan terima kasih kepada:

1. dr. Aulia Mahdaniati, S.Ked, M.Biomed selaku tutor dan fasilitator SGD (SmallGroup
Discussion) kelompok 6.

2. Bapak/Ibu Dosen Universitas Islam Al-Azhar yang telah memberikan masukan terkait
makalah yang penulis buat.

3. Serta kepada teman-teman yang memberikan masukan dan dukungannya kepada


penulis.

Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kata sempurna dan perlu
pendalaman lebih lanjut. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
konstruktif demi kesempurnaan laporan ini. Akhir kata, kami berharap semoga laporan ini dapat
bermanfaat bagi berbagai pihak.

Mataram, 6 Januari 2024

Penulis
DAFTAR ISI
Disusun Oleh: .......................................................................................................................................... 1

KATA PENGANTAR ................................................................................................................................. 2

BAB I ............................................................................................................................................................ 4

PENDAHULUAN ........................................................................................................................................ 4

1.1 Skenario .............................................................................................................................................. 4

1.2 Deskripsi Masalah ............................................................................................................................... 4

BAB II........................................................................................................................................................... 6

PEMBAHASAN ........................................................................................................................................... 6

2.1 Insomnia Non-Organik ....................................................................................................................... 6

2.2 Diagnosis Multiaksial ....................................................................................................................... 23

BAB III ....................................................................................................................................................... 24

KESIMPULAN ........................................................................................................................................... 24

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................................. 25


BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Skenario
LBM IV
Tak Mudah untuk Dipertahankan
Seorang Pria berusia 35 tahun, datang ke klinik dengan keluhan sulit tidur. Keluhan dirasakan
sudah sejak 4 minggu terakhir. Pasien memiliki kebiasaan tidur sejak pukul 21.00 wita, dan
bangun pada jam 05.00. Namun akhir-akhir ini pasien kesulitan untuk tidur, biasanya pasien
baru dapat tertidur diatas pukul 00.00 wita dan mudah terbangun dari tidurnya, sehingga rata-
rata tidur tidur kurang lebih hanya 2 jam. Pagi harinya pasien sering merasa pusing, lesu dan
kurang bersemangat. Selain itu pasien mengeluh sering tidak fokus dan mengantuk sehingga
mengganggu aktivitas. Pemeriksaan fisik didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, denyut
nadi 90x/menit, frekuensi nafas 20x/menit, suhu aksila 36,6 C. Akhir-akhir ini pasien memiliki
kegiatan yang cukup banyak sehingga membutuhkan waktu lebih untuk menyelesaikan
pekerjaannya. Dokter kemudian memberikan beberapa obat yang dapat membantunya untuk
tidur yaitu salah satunya dari golongan sedative hipnotik dan disarankan agar menerapkan
sleep hygiene.

1.2 Deskripsi Masalah


Pada skenario dikatakan bahwa seorang Pria berusia 35 tahun, datang ke klinik dengan
keluhan sulit tidur. Keluhan dirasakan sudah sejak 4 minggu terakhir. Pasien memiliki
kebiasaan tidur sejak pukul 21.00 wita, dan bangun pada jam 05.00. Namun akhir-akhir ini
pasien kesulitan untuk tidur, biasanya pasien baru dapat tertidur diatas pukul 00.00 wita dan
mudah terbangun dari tidurnya, sehingga ratarata tidur tidur kurang lebih hanya 2 jam. Pagi
harinya pasien sering merasa pusing,lesu dan kurang bersemangat. Selain itu pasien mengeluh
sering tidak fokus dan mengantuk sehingga mengganggu aktivitas. Pemeriksaan fisik
didapatkan tekanan darah 120/80 mmHg, denyut nadi 90x/menit, frekuensi nafas 20x/menit,
suhu aksila 36,6 C. Akhir-akhir ini pasien memiliki kegiatan yang cukup banyak sehingga
membutuhkan waktu lebih untuk menyelesaikan pekerjaannya. Dokter kemudian memberikan
beberapa obat yang dapat membantunya untuk tidur yaitu salah satunya dari golongan sedative
hipnotik dan disarankan agar menerapkan sleep hygiene. Keluhan pasien pada skenario ialah
kesulitan tidur, dimana penyebabnya ialah karena memiliki kegiatan yang cukup banyak, selain
itu bisa karena neurotransmitter yang terganggu.

Keluhan pasien ini mengganggu aktivitas, sehingga pasien merasa pusing, lesu dan kurang
tidur, serta tidak fokus. Gangguan tidur adalah suatu keadaan terjadinya kelianan pada pola
tidur seseorang, yang dapat berdampak pada kebugaran dan kesehatan penderitanya. Pada
skenario dikatakan pasien tidur biasanya pukul 21.00 WITA, akan tetapi akhir-akhir ini
kesulitan tidur dan dapat tidur pukul 00.00 WITA dan mudah terbangun dari tidurnya, sehingga
rata-rata tidur tidur kurang lebih hanya 2 jam. Durasi atau waktu tidur seseorang berbeda,
sesuai dengan usianya. Dimana usia 35 tahun durasi tidur normalnya yaitu 7-8 jam perhariya.

Tidur berfungsi dalam restoratif dan homeostatik serta penting dalam termoregulasi dan
cadangan energi. Tidur berguna untuk memulihkan energi yang telah hilang ketika melakukan
aktivitas dalam memenuhi kebutuhan hidup, memperlancar produksi hormon pertumbuhan
tubuh, meningkatkan kekebalan tubuh, dan meregenerasi sel-sel yang rusak. Aktivitas tidur
diatur dan dikontrol oleh dua sistem pada batang otak, yaitu Reticular Activating System
(RAS) dan Bulbar Synchronizing Region (BSR). RAS melepaskan katekolamin pada saat
sadar, sedangkan BSR mengeluarkan serotonin yang menimbulkan rasa kantuk yang
selanjutnya menyebabkan tidur.

Pada skenario dokter memberikan obat golongan sedative hipnotik dan menyerankan agar
menerapkan sleep hygiene. Obat golongan sedative hipnotik ialah obat yang diberikan pada
pasien insomnia. Contoh obat golongan ini ialah benzodiazepine (alprazolam dan lorazepam).
Cara kerja obat penenang/hipnotik menginduksi sedasi dengan menekan sistem saraf pusat
(SSP), khususnya korteks sensorik otak, yang bertanggung jawab memproses masukan
sensorik dari tubuh, seperti sentuhan, nyeri, dan suhu. Sedangkan untuk sleep hygiene sendiri
ialah pola tidur sehat atau tidur bersih, dimana ini merupakan kegiatan yang dilakukan agar
tidur lebih berkualitas, seperti tidak menyimpan hanphone diarea tidur.
BAB II

PEMBAHASAN
2.1 Insomnia Non-Organik
Definisi

Insomnia dapat dideskripsikan sebagai tidur dengan kuantitas dan kualitas yang buruk,
karena kesulitan jatuh tidur, terbangun berulang kali selama periode tidur, terbangun dini hari
dengan kesulitan untuk kembali tidur, dan tidur yang kurang memuaskan meskipun lama tidur
cukup. Insomnia dapat menjadi suatu gejala dari suatu penyakit atau gangguan psikiatri. (PB
IDI, 2017; Marwick, Birrell. 2015)

Insomnia dapat terjadi pada semua usia mulai dari anak-anak, remaja, dewasa, dan lansia.
Hal tersebut tidak menutup kemungkinan mahasiswa juga dapat mengalami insomnia.
Insomnia pada mahasiswa sebagian besar berkaitan dengan stress, stress yang dialami
mahasiswa tersebutmemiliki tingkat yang berbeda-beda yang disebabkan berbagai hal dalam
perkuliahan seperti kondisi ujian, adaptasi terhadap perubahan perkuliahan, tugas dan tuntutan
untuk mendapatkan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) yang tinggi. (Kristiyani, et al. 2022)

Klasifikasi

Berdasarkan waktu terjadinya, insomnia dibagi menjadi 3 tipe, yaitu:

a. Transient insomnia: insomnia yang berhubungan dengan kejadian-kejadian tertentu


yang berlangsung sementara dan biasanya menimbulkan stress dan dapat dikenali
dengan mudah oleh pasien sendiri. Diagnosis transient insomnia biasanya dibuat
setelah keluhan pasien sudah hilang. Transient insomnia biasanya tidak memerlukan
terapi khusus dan jarang membawa pasien ke dokter.
b. Short-term insomnia: Berlangsung kurang dari 3 minggu dan biasanya disebabkan oleh
kejadian-kejadian stress yang lebih persisten, seperti kematian salah satu anggota
keluarga
c. Cyclical insomnia (recurrent insomnia): Kondisi ini lebih jarang daripada transient
insomnia. Kondisi ini terjadi akibat ketidakseimbangan antara tidur dan bangun.
Ketidakseimbangan ini dapat terjadi sementara ataupun seumur hidup.
d. Chronic insomnia (persistent insomnia) : Berlangsung lebih dari 3 malam setiap
minggunya yang terus berlangsung selama lebih dari satu bulan. Dibagi menjadi 2,
yaitu insomnia primer dan sekunder. (Kristiyani, et al. 2022)

Etiologi

1) Faktor Eksternal
a. Faktor Sosial
Persentase insomnia lebih tinggi pada seseorang yang mengalami perpisahan
(brokenhome, putus cinta), bulliying, penggangguran serta mereka yang
penghasilannya dibawah rata-rata. Tuntutan penyelesaian studi, tugas seorang
pelajar yang harus dikerjakan dan tuntutan dalam pelaksanaan ujian menjadi
stressor untuk timbulnya masalah tidur pada pelajar. Adanya stressor membuat
tubuh memproduksi kortisol dalam jumlah banyak yang menyebabkan kondisi
terjaga.
b. Faktor Lingkungan
Suasana tidur yang kurang nyaman serta lingkungan kerja yang penuh dengan
tekanan akan menyebabkan insomnia. Lingkungan dengan pencahayaan yang
tidak sesuai, berisik, dan suhu ruangan yang terlalu dingin atau panas
menyebabkan seseorang merasa tidak nyaman, sehingga membuat seseorang
susah untuk memulai tidur. Adanya rasa kurang nyaman dengan lingkungan
dibutuhkan adaptasi, supaya tubuh menjadi terbiasa dan nyaman.
c. Faktor Toksin
Beberapa zat toksik seperti alkohol, nikotin, obat anti depresan, amfetamin,
kafein mampu mempengaruhi sistem saraf pusat. Kafein memiliki struktur
mirip dengan adenosin sehingga dapat berikatan dengan reseptor adenosin pada
dinding permukaan sel tanpa menyebabkan pengaktifan reseptor tersebut. Hal
ini mengakibatkan penurunan aktivitas adenosin sehingga terjadi peningkatan
aktivitas neurotransmitter dopamin. (Kristiyani, et al. 2022)
2) Faktor Internal
a. Faktor Kondisi medi
Faktor kondisi medis yang mampu menyebabkan insomnia yaitu osteoartiritis,
gagal ginjal, congestif heart failure, asma, dan kondisi medis lainnya. Kondisi
medis mampu menimbulkan rasa tidak nyaman sehingga menimbulkan tidur
yang kurang nyaman.
b. Faktor Kronobiologis
Kurangnya aktivitas pada waktu siang hari menyebabkan seseorang lebih
banyak tidur yang mampu menyebabkan terganggunya siklus sirkadian.
Gangguan irama sirkadian juga bisa disebabkan karena shift atau jaga malam
yang mengakibatkan seseorang terjaga ketika malam hari dan pada siang hari
akan memanfaatkan waktunya untuk tidur.
c. Faktor Psikis
Beberapa gangguan psikis seperti gangguan mood, kecemasan dan gangguan
psikotik juga menimbulkan insomnia. Gangguan mood yang mampu
menyebabkan insomnia yaitu depresi, hal ini bisa terjadi karena ketika depresi
seseorang akan cenderung merasa malas untuk melakukan segala hal dan lebih
banyak menghabiskan waktu di tempat tidur. (Kristiyani, et al. 2022)

Faktor Resiko

Ada beberapa faktor resiko insomnia, yaitu:

1) Emosi. Transient dan recurrent insomnia biasanya disebabkan oleh gangguan emosi.
Memendam kemarahan, cemas, ataupun depresi bisa menyebabkan insomnia.
2) Kebiasaan. Penggunaan kafein, alkohol yang berlebihan, tidur yang berlebihan,
merokok sebelum tidur dan stress kronik bisa menyebabkan insomnia.
3) Faktor lingkungan seperti bising, suhu yang ekstrim, dan perubahan lingkungan atau jet
lag bisa menyebabkan transient dan recurrent insomnia.
4) Usia di atas 50 tahun
5) Jenis kelamin. Insomnia lebih banyak menyerang wanita (20-50% lebih tinggi daripada
pria). Wanita lebih sering menderita insomnia karena siklus mentruasinya. 50% wanita
dilaporkan menderita kembung yang mengganggu tidurnya 2-3 hari di setiap siklusnya.
Peningkatan kadar progesteron menyebabkan rasa lelah pada awal siklus.
6) Episode insomnia sebelumnya.
7) Penyakit kronis yang menyebabkan nyeri (misalnya arthritis), terbatasnya pergerakan
(misalnya Parkinson), atau kesulitan bernapas (misalnya COPD). (Kristiyani, et al.
2022)

Manifestasi Klinis

Manifestasi insomnia bisa berupa :

a) Kesulitan untuk jatuh tertidur pada waktu yang normal (initial insomnia) Didefinisikan
sebagai kesulitan tertidur yang lebih dari 30 menit. Biasanya disebabkan karena tingkat
kesadaran yang tinggi yang berhubungan dengan anxietas atau faktor lain.
b) Kesulitan untuk mempertahankan tidur / sering terbangun dari tidur lalu sulit tertidur
kembali. Keadaan ini bisa muncul secara ireguler dalam 1 malam atau muncul pada
waktu-waktu tertentu, seperti selama fase tidur REM.
c) Terbangun lebih cepat di pagi hari. (terminal insomnia) Kondisi ini cukup seirng
ditemukan pada orang tua. Merasa tetap lelah dan mengantuk meskipun durasi tidur
sudah cukup. Merasa cemas jika sudah mendekati waktu tidur.
d) Paling tidak meliputi satu atau lebih dari gejala berikut: terasa letih atau mengantuk di
waktu siang menyebabkan kerap tidur di siang hari; gangguan atensi atau perhatian,
konsentrasi atau memori; gangguan mood, iritabilita atau sensitif; kurang energi atau
motivasi; sakit kepala atau gangguan pencernaan.

Manifestasi Klinis untuk insomnia termasuk kesulitan untuk tidur atau tetap tidur dan
menyebabkan disfungsi siang hari pada pasien yang memiliki kesempatan tidur yang cukup. Ini
bersifat jangka pendek jika gejala muncul kurang dari 3 bulan dan kronis jika gejala muncul 3
atau lebih. kali per minggu selama 3 bulan atau lebih. Insomnia sering dipicu oleh stresor
kehidupan yang signifikan (misalnya, nyeri akut, peristiwa traumatis). Ini mungkin berakhir
ketika stressor teratasi atau pasien belajar untuk mengatasinya, atau mungkin berkembang
menjadi insomnia kronis. Insomnia jangka pendek dan kronis dapat disimpulkan dari bahasa
pasien. Tidak lagi menyebut pemicu stres kehidupan dan berbicara tentang insomnia sebagai
"masalah" dapat menandai transisi dari insomnia jangka pendek ke kronis. (Dopheide, 2020)

Kriteria Diagnosis
Kriteria Diagnostik Insomnia Non-Organik berdasarkan Pedoman Penggolongan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia edisi ke III (PPDGJIII) adalah sebagai berikut: (Maslim,
R., 2013).

• Keluhan adanya kesulitan masuk tidur atau mempertahankan tidur, atau kualitas tidur
yang buruk.
• Gangguan minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan.
• Adanya preokupasi dengan tidak bisa tidur dan peduli yang berlebihan terhadap
akibatnya pada malam hari dan sepanjang siang hari.
• Ketidakpuasan terhadap kuantitas dan atau kualitas tidur menyebabkan penderitaan yang
cukup berat dan mempengaruhi fungsi dalam sosial dan pekerjaan.
• Adanya gangguan jiwa lain seperti depresi dan anxietas tidak menyebabkan diagnosis
insomnia diabaikan.
• Kriteria “lama tidur” (kuantitas) tidak digunakan untuk menentukan adanya gangguan,
oleh karena luasnya variasi individual. Lama gangguanyang tidak memenuhi kriteria di
atas (seperti pada “transient insomnia”) tidak didiagnosis di sini, dapat dimasukkan
dalam reaksi stres akut (F43.0) atau gangguan penyesuaian (F43.2) (Maslim, R., 2013).

Diagnosis Banding ( Depresi dan Gangguan Kecemasan)

a) Diagnosis Depresi
Menurut PPDGJ III, kriteria diagnosis episode depresif (F32) adalah sebagai
berikut: (Maslim, R., 2013)
• Gejala utama depresi (ringan, sedang, dan berat)
1) Afek depresif
2) Kehilangan minat dan kegembiraan
3) Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah lelah
(rasa lelah yang nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya
aktivitas (Maslim, R., 2013).
• Gejala lainnya
1) Konsentrasi dan perhatian berkurang
2) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
3) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
4) Pandangan masa depan yang suram dan psimistik
5) Gagasan atau perbuatan yang membahayakan diri atau bunuh diri
6) Tidur terganggu (Maslim, R., 2013).
• Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa
sekurang-kurangnya 2 minggu untuk penegakkan diagnosis, akan tetapi periode
lebih pendek dapat dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung
cepat (Maslim, R., 2013).
• Kategori diagnosis episode depresif ringan (F32.0), sedang (F32.1) dan berat
(F32.2) hanya digunakan untuk episode depresif tunggal (yang pertama). Episode
depresif berikutnya harus diklasifikasikan dibawah salah satu diagnosis gangguan
depresif berulang (F33.-) (Maslim, R., 2013).
b) Diagnosis Gangguan Kecemasan
Adapun diagnosis gangguan kecemasan menurut PPDGJ-III dan ICD10, yaitu sebagai
berikut:
Penderita harus menunjukkan ansietas sebagai gejala primer yang berlangsung hampir
setiap hari untuk beberapa minggu sampai beberapa bulan, yang tidak terbatas atau hanya
menonjol pada keadaan situasi khusus tertentu saja (sifatnya “free floating” atau
“mengambang”). Gejala-gejala tersebut biasanya mencakup unsurunsur berikut:
(Kemenkes, 2015)
1) Kecemasan (khawatir akan nasip buruk, merasa seperti diujung tanduk, sulit
konsentrasi, dsb) (Kemenkes, 2015).
2) Ketegangan motorik (gelisah, sakit kepala, gemetaran, tidak dapat santai), dan
(Kemenkes, 2015).
3) Overaktivitas otonom (kepala terasa ringan, berkeringat, jantung berdebar-debar,
sesak napas, keluhan lambung, pusing kepala, mulut kering, dan sebagainya)
(Kemenkes, 2015)
Pada anak-anak sering terlihat adanya kebutuhan berlebihan untuk ditenangkan
(reassurance) serta keluhan-keluhan somatic berulang yang menonjol (Kemenkes, 2015).
Adanya gejala-gejala lain yang sifatnya sementara (untuk beberapa hari, khususnya
depresi, tidak membatalkan diagnosis utama Gangguan Anxietas Menyeluruh, selama hal
tersebut tidak memenuhi kriteria lengkap dari episode depresif (F32.-), gangguan
anxietas fobik (F40.-), gangguan panik (F41.0), atau gangguan obsesi kompulsif (F42.-)
(Kemenkes, 2015).

Patofisiologi

Insomnia adalah interaksi kompleks dari gairah kognitif psikologis dan perubahan
mekanisme sirkadian dan homeostatis. Penurunan fungsi saklar tidur- bangun juga dapat
menyebabkan insomnia. Selama tidur, ada transisi lambat melalui tahapan tidur non-rapid-eye
movement (non-REM) ke siklus tidur rapid- eye movement (REM). The AASM classifies sleep
into 5 progressive stages (Dopheide, 2020) :

- Stage W (wakefulness)
- Stage N1 (relaxed wakefulness)
- Stage N2 (light sleep)
- Stage N3 (deep or slow-wave sleep)
- Stage R (REM sleep or dreaming)

Tahapan N1-N3 adalah fase tidur non-REM di mana aktivitas kortikal rendah, sedangkan
otak sangat aktif selama tidur REM. Beberapa pusat otak bekerja bersama untuk meningkatkan
tidur atau terjaga. Siklus tidur-bangun adalah proses kompleks di mana terjaga dan tidur
dinyalakan dan dimatikan oleh sistem timbal balik dalam lingkaran umpan balik. Bangun terjaga
dihasilkan dari aktivitas menaik di sejumlah batang otak dan inti hipotalamus posterior dalam
apa yang disebut sebagai Ascending Reticular Activation System (ARAS). Sistem ini
memproyeksikan secara luas ke korteks serebral. Neuron yang mengandung hypocretin/orexin
di hipotalamus lateral (orexin) memproyeksikan ke pusat gairah hipotalamus dan batang otak
dan secara fungsional memperkuat aktivitas mereka selama terjaga. (Dopheide, 2020)

Model siklus tidur-bangun ini sering disebut sakelar flip-flop karena memungkinkan
seseorang untuk terjaga atau tertidur, tetapi tidak keduanya sekaligus. Melalui mekanisme
peralihan, keadaan aktif menekan keadaan lain sampai ritme sirkadian menginduksi peralihan ke
keadaan timbal balik. Korteks serebral dan sistem limbik selanjutnya memodifikasi kesadaran.
Pusat pemacu tidur di proyek hipotalamus anterior ke batang otak dan pusat gairah posterior dan
berfungsi dengan hipotalamus lateral sebagai saklar tidur-bangun. (Dopheide, 2020)
Faktor sirkadian mendorong terjaga pada jam biologis kira-kira 24 jam, sedangkan faktor
homeostatis merespons akumulasi terjaga dengan dorongan untuk tidur. Di otak, ARAS
mendorong terjaga dan daerah preoptik ventrolateral (VLPR) mendorong tidur. Selama terjaga,
ARAS menghambat VLPR melalui aktivasi neuron kolinergik, bundel sel monoaminergik, dan
inti orexin di hipotalamus lateral. Sistem orexin meningkatkan kewaspadaan dan kewaspadaan
serta bekerja untuk menyeimbangkan tidur dan terjaga. Aktivasi sistem Orexin mempertahankan
keadaan terjaga sepenuhnya untuk jangka waktu yang lebih lama; sebaliknya, penonaktifan
sistem orexin memungkinkan tidur terkonsolidasi di malam hari. Pensinyalan orexinergik oleh
2 bentuk berbeda, orexin A dan orexin B, mempertahankan kesadaran melalui depolarisasi terus
menerus dalam nuklei otak yang mempromosikan bangun. Tidur disebabkan oleh penghambatan
homeostatis sleep drive orexins. Selama tidur, nukleus preoptik ventrolateral menghambat
ARAS melalui 2 neurotransmiter penghambat, asam γ-aminobutyric (GABA) dan galanin.
GABA adalah neurotransmitter yang paling banyak mendorong tidur, sedangkan norepinefrin
dan dopamin meningkatkan terjaga; serotonin diperlukan untuk tidur dan terjaga yang optimal.
Flip-flop switching juga mengatur transisi dari tidur non-REM ke REM. Dalam wilayah batang
otak, area REM-off dan REM-on saling menghambat. (Dopheide, 2020)

Model perilaku insomnia 3P membantu menjelaskan bagaimana insomnia akut menjadi


kronis dan meletakkan dasar untuk menilai insomnia pada masing- masing pasien 3P, yang
terjadi dalam urutan waktu, adalah faktor-faktor (Dopheide, 2020):

- Predispose an individual to insomnia


- Precipitate an acute episode of insomnia
- Perpetuate insomnia from acute to chronic

Faktor predisposisi, yang umumnya tidak dapat dimodifikasi, termasuk genetika dan sifat
kepribadian (misalnya, menjadi pencemas; riwayat keluarga kurang tidur) yang menyebabkan
hyperarousal fisiologis dan kognitif. Seperti yang ditunjukkan diatas faktor pencetus yang
memicu insomnia biasanya adalah peristiwa kehidupan yang membuat stres. Pasien biasanya
mengidentifikasi masalah yang berkaitan dengan kesehatan, keluarga, pekerjaan, atau sekolah
sebagai faktor pencetus insomnia. Faktor yang melanggengkan adalah perilaku maladaptif,
pikiran, dan strategi koping yang memungkinkan insomnia berlanjut setelah pemicu awal
teratasi. Contoh fisik perilaku maladaptif termasuk tidur siang atau menghabiskan terlalu banyak
waktu di tempat tidur. Pelaku yang kurang terukur termasuk keyakinan disfungsional, harapan,
dan atribusi tentang tidur serta keinginan kuat untuk memecahkan masalah tidur. (Dopheide,
2020)

Gambar Patofisiologi Insomnia

Tatalaksana

Insomnia adalah merupakan suatu gejala, bukan merupakan suatu diagnosis, maka terapi yang
diberikan adalah secara simtomatik. Walaupun insomnia merupakan suatu gejala, namun gejala
ini bisa menjadi sangat mengganggu aktivitas dan produktivias penderita, terutama penderita
dengan usia produktif. Oleh karena itu, penderita berhak mendapatkan terapi yang sewajarnya.
Pendekatan terapi pada penderita insomnia ini bisa dengan farmakologi atau non-farmakologi,
berdasarkan berat dan perjalanan gejala insomnia itu sendiri.

A. Farmakologi
Meresepkan obat-obatan untuk penderita dengan insomnia harus berdasarkan tingkat
keparahan gejala di siang hari, dan sering diberikan pada penderita dengan insomnia
jangka pendek supaya tidak berlanjut ke insomnia kronis. Terdapat beberapa
pertimbangan dalam memberikan pengobatan insomnia: 1) memiliki efek samping yang
minimal; 2) mempunyai onset yang cepat dalam mempersingkat proses memulai tidur;
dan 3) lama kerja obat tidak mengganggu aktivitas di siang hari. Obat tidur hanya
digunakan dalam waktu yang singkat, yaitu sekitar 2-4 minggu. Secara dasarnya,
penanganan dengan obat-obatan bisa diklasifikasikan menjadi : benzodiazepine, non-
benzodiazepine dan miscellaneous sleep promoting agent. (Dopheide, 2020)
1) Benzodiazepine
Golongan benzodiazepine telah lama digunakan dalam menangani penderita
insomnia karena lebih aman dibandingkan barbiturate pada era 1980-an. Namun
akhir-akhir ini, obat golongan ini sudah mulai ditingalkan karena sering
menyebab ketergantungan, efek toleran dan menimbulkan gejala withdrawal pada
kebanyakan penderita yang menggunakannya. Selain itu, munculnya obat baru
yang lebih aman yang sekarang menjadi pilihan berbanding golongan ini. Kerja
obat ini adalah pada resepor γ-aminobutyric acid (GABA) post- synaptic, dimana
obat ini meningkatkan efek GABA (menghambat neurotransmitter di CNS) yang
memberi efek sedasi, mengantuk, dan melemaskan otot. Beberapa contoh obat
dari golongan ini adalah : triazolam, temazepam, dan lorazepam.
a) Triazolam: untuk pasien geriatri 0,125 mg. Insomnia yang belum diobati
sebelumnya 0,125 mg (naikkan sampai 0,25 mg bila diperlukan).
Dewasa 0,125-0,25 mg.
b) Tamezepam: Insomnia yang disertai ansietas 5-15 mg sebelum tidur.
Injeksi intramuskular atau injeksi intravena lambat (kedalam vena yang
besar dengan kecepatan tidak lebih dari 5 mg/menit).
c) Lorazepam: oral 12 mg sebelum tidur. Untuk anak- anak tidak
dianjurkan. Injeksi intramuskular atau injeksi intravena lambat (ke
dalam vena yang besar).

Namun, efek samping yang dari obat golongan ini harus diperhatikan
dengan teliti. Efek samping yang paling sering adalah, merasa pusing, hipotensi
dan juga distress respirasi. Oleh sebab itu, obat ini harus diberikan secara hati-
hati pada penderita yang masalah respirasi kronis seperti penyakit paru obstrutif
kronis (PPOK). Dari hasil penelitian, obat ini sering dikaitkan dengan fraktur
akibat jatuh pada penderita dengan usia lanjut dengan pemberian obat dengan
kerja yang lama maupun kerja singkat. (Dopheide, 2020)

2) Non-benzodiazepine
Golongan non-benzodiazepine mempunyai efektifitas yang mirip
denganbenzodiazepine, tetapi mempunyai efek samping yang lebih ringan.
Efeksamping seperti distress pernafasan, amnesia, hipotensi ortostatik dan jatuh
lebih jarang ditemukan pada penelitian-penelitian yang telah dilakukan.
Zolpidem merupakan salah satu derivate non-benzodiazepine yang banyak
digunakan untuk pengobatan jangka pendek. Obat ini bekerja pada reseptor
selektif α-1 subunit GABAAreseptor tanpa menimbulkan efek sedasi dan
hipnotik tanpa menimbulkan efek anxiolotik, melemaskan otot dan antikonvulsi
yang terdapat pada benzodiazepine. Pada clinical trial yang dilakukan, obat ini
dapat mempercepat onset tidur dan meningkatkan jumlah waktu tidur dan
mengurangi frekuensi terjadinya interupsi sewaktu tidur tanpa menimbulkan efek
rebound dan ketergantungan pada penderita. Dosis zolpidem untuk mengatasi
insomnia bisa berbeda-beda pada setiap pasien. Berikut adalah pembagian
dosisnya berdasarkan bentuk obat dan usia pasien. Bentuk tablet pelepasan cepat
(immediate release). Pada orang dewasa sebanyak 5–10 mg dikonsumsi tepat
sebelum tidur. Dosis maksimal 10 mg per hari. Lama pengobatan maksimal 4
minggu. Lansia sebanyak 5 mg dikonsumsi tepat sebelum tidur. Lama pengobatan
maksimal 4 minggu.
Eszopiclone (lunesta ) adalah obat untuk insomnia dan telah disetujui
penggunaan oleh FDA pada tahun 2004. Mekanisme aksinya tidak dikeatahui
dengan jelas. Eszopiclone mempunyai waktu paruh cukup lama yaitu 5-6 jam
dibanding golongan hipnotik nonbenzodiazepin yg lain dan obat ini diberikan
hanya untuk pasien yang memiliki waktu tidur terjaga minimal 8jam. Dosis yang
direkomendasikan yaitu 3 mg untuk dewasa sebelum tidur, 1mg untuk sleep-onset
Insomnia, 2 mg untuk sleep-maintenance insomnia pada lansia dan 1-2 mg pada
pasien dengna gagal hati.
Zaleplon adalah pilihan lain selain zolpidem, adalah derivat
pyrazolopyrimidine. Obat ini mempunyai waktu kerja yang cepat dan sangat
pendek yatu 1 jam. Cara kerjanya sama seperti zolpidem yaitu pada reseptor
subunit α-1 GABAAreseptor. Efektivitasnya sangat mirip dengan zolpidem,
tetapi, pada suatu penelitian, dikatakan obat ini memiliki efek yang lebih superior
berbanding zolpidem. Sering menjadi pilihan utama pada penderita dengan usia
produktif karena masa kerja obat yang sangat pendek sehingga tidak mengganggu
aktivitas sehari-hari. Dosis dari zaleplon 5-10 mg, akan tetapi waktu paruhnya
hanya 1 jam. (Dopheide, 2020)
3) Miscellaneous sleep promoting agent
Obat-obat dari golongan ini dikatakan mampu mempersingkat onset tidur
dan mengurangi frekuensi terbangun saat siklus tidur. Namun keterangan ini
masih belum mempunyai dibuktikan secara signifikan.
Melatonin tersedia dalam bentuk sintetik maupun natural. Melatonin secara
alami diproduksi dalam tubuh manusia normal oleh kelenjar pineal. Melalui
penyelidikan, sekresi melatonin meningkat sewaktu onset tidur dimulai dan mulai
menurun saat bangun tidur. Ada penelitian yang menyebut, sekresi melatonin ini
juga terkait intesnsitas cahaya, dimana produksinya meningkat saat hari mulai
gelap dan berkurang saat hari mulai cerah, sesuai siklus tidur manusia. Melatonin
menstimulasi tidur dengan menekan signal bangun tidur pada suprakiasmatik
pada hipotamalamus. Oleh itu, ada juga studi yang menyatakan pemberian
melatonin pada siang hari dapat menimbulkan efek sedasi. Farmakokinetik dari
melatonin belum dapat ditemukan secara pasti karena sangat tergantung pada
dosis, penyerapan oleh tubuh, waktu adminitrasi dan juga bentuk sediaan. Belum
ada penelitian tentang efek samping melatonin, namun dinyatakan pada beberapa
penelitian, melatonin menimbulkan pusing, sakit kepala, lemas dan
ketidaknyamanan pada penderita. Dengan pemberian megadose (300mg/hari),
dapat menyebabkan menghambat fungsi ovary. Oleh itu hindari pemberian
melatonin pada perempuan hamil dan yang sedang dalam proses menyusui. Dosis
yang direkomendasikan adalah 3 mg dan dapat ditingkatkan hingga 12 – 15 mg.
efek samping yang dilaporkan ialah sakit kepala, pusing, lemah, iritabel.
Megadosis (300 mg perhari) dapat menghampat fungsi ovarium. Kontraindikasi
pada Wanita hamil dan menyusui.
Antihistamin adalah bahan utama dalam obat tidur. Dephenydramine
citrate, diphenhydramine hydrochloride, dan docylamine succinate adalah tiga
derivate yang telah mendapat persetujuan dari FDA. Efek samping dari obat ini
adalah pusing, lemas dan mengantuk di siang hari ditemukan hampir pada 10-
25% penderita yang mengkonsumsi obat ini. Efikasi dari obat ini dalam
penanganan insomnia belum dapat dipastikan dengan signifikan karena penelitian
keterkaitan anti-histamine dengan penanganan insomnia belum menemukan bukti
yang kuat. Dosis diphenhydramine suntuk yaitu pada dewasa 10–50 mg melalui
suntikan intravena atau intramuskular. Dosis dapat ditingkatkan hingga 100 mg
jika diperlukan. Dosis maksimal 400 mg per hari. Dosis untuk tablet atau sirup
yaitu dewasa dan anak-anak usia ≥12 tahun 25–50 mg, 3–4 kali sehari. Dosis
maksimal 300 mg per hari. Anak-anak usia 6–12 tahun 12,5–25 mg, tiap 4–6 jam.
Anak-anak usia 2–5 tahun 6,25 mg, tiap 4–6 jam.
Antidepresan dengan dosis rendah memiliki efek sedasi seperti trazodone
(desyrel), amitriptyline (elavil), doxepine (sinequen, adapin) dan mirtazapin
(remeron) sering diresepkan pada pasien bukan depresi untuk pengobatan
insomnia, antidepresan sering diberikan untuk insomnia karena pemberiannya
tidak terjadwal, relatif tidak mahal, dan memiliki sedikit potensi untuk
disaalahgunakan. Namun demikian harus digunakan secara konservatif untuk
insomnia karena keberhasilannya terbatas dan berpotensi menghasilkan efek
samping yang bermakna. Obat yang paling sering digunakan adalah trazodone.
Walsh dan Schweitzer menemukan bahwa trazodone dosis rendah efektif pada
pasien yang mengalami insomnia oleh karena obat psikotik atau monoamnie
oxidase inhibitordan pada pasien yang memiliki kontraindikasi terhadap BZDs.
Dosis trazodone adalah 25-50 mg perhari.
Kava-kava, suatu pengobatan alternative yang diesktrak dari akar pohon
Polynesian, Piper methysticum sp. Ekstrak ini dipercayai mengandungi zat aktif
yang mengeksitasi tingkat selular yang bisa menimulkan efek anxiolitik dan
sedatif. Zat ini mempunyai onset yang cepat dan efek mengantuk di siang hari
yang minimal. Namun begitu, zat ini dilarang di Eropah karena bersifat
hepatotoksik.
Valerian berasal dari Valeriana officinalis yang bisa memberi efek sedatif,
tetapi mekanisme kerjanya belum diketahui secara pasti. Dipercayai, zat ini
bereaksi pada reseptor GABA. Ia mempunyai onset kerja yang sangat lambat (2-
3 minggu) sehinga tidak sesuai diberikan pada penderita insomnia akut. Efek
samping yang ditimbulkan tidak jelas dan efektifitas zat ini belum dapat
dibuktikan secara pasti.
Aromaterapi membantu dalam menciptakan suasana yang nyaman dan
kondusif untuk penderita. Aromaterapi yang sering digunakan adalah ekstrak
lavender, chamomile dan ylang-ylang, namun belum ada data yang mendukung
terapi menggunakan metode aromaterapi. (Dopheide, 2020)
B. Non – farmakologi
Terapi tanpa obat-obatan medis bisa diterapkan pada insomnia tipe primer maupun
sekunder. Banyak peneliti menyarankan terapi tanpa medikamentosa pada penderita
insomnia karena tidak memberikan efek samping dan juga memberi kebebasan kepada
dokter dan penderita untuk menerapkan terapi sesuai keadaan penderita. Terapi tipe ini
sangat memerlukan kepatuhan dan kerjasama penderita dalam mengikuti segala nasehat
yang diberikan oleh dokter. Terdapat beberapa pilihan yang bisa diterapkan seperti yang
dibahas di bawah ini :
1) Stimulus Conrol
Tujuan dari terapi ini adalah membantu penderita menyesuaikan onset tidur
dengan tempat tidur. Dengan metode ini, onset tidur dapat dapat dipercepat.
Malah dalam suatu studi menyatakan bahwa jumlah tidur pada penderita
insomnia dapat meningkat 30-40 menit. Metode ini sangat tergantung kepada
kepatuhan dan motivasi penderita itu sendiri dalam menjalankan metode ini,
seperti :
- Hanya berada ditempat tidur apabila penderita benar-benar kelelahan
atau tiba waktu tidur.
- Hanya gunakan tempat tidur untuk tidur atau berhungan sexual
- Membaca, menonton TV, membuat kerja tidak boleh dilakukan di
tempat tidur.
- Tinggalkan tempat tidur jika penderita tidak bisa tidur, dan masuk
kembali jika penderita sudah merasa ingin tidur kembali.
- Bangun pada waktu yang telah ditetapkan setiap pagi.
- Hindari tidur di siang hari. (Dopheide, 2020)
2) Sleep Restriction
Dengan metode ini, diharapkan penderita menggunakan tempat tidur hanya
waktu tidur dan dapat memperpanjang waktu tidur, sehingga diharapkan dapat
meningkatkan kualitas tidur penderita. Pendekatan ini dilakukan dengan alasan,
berada di tempat tidur terlalu lama bisa menyebabkan kualitas tidur terganggu
dan terbangun saat tidur. Metode ini memerlukan waktu yang lebih pendek untuk
diterapkan pada penderita berbanding metode lain, namun sangat susah untuk
memastikan penderita patuh terhadap instruksi yang diberikan. Protocol sleep
restriction seperti di bawah :
- Hitung rata-rata total waktu tidur pada penderita. Data didapatkan melalui
catatan waktu dan jumlah tidur yang dibuat penderita sekurang-kurangnya
2 minggu.
- Batasi jam tidur berdasarkan perhitungan jumlah waktu tidur
- Estimasi tidur yang efisien setiap minggu dengan menggunakan rumus
(jumlah jam tidur/jumlah waktu di tempat tidur x 100).
- Tingkatkan jam tidur 15-20 menit jika efisiensi tidurr > 90%, sebaliknya
kurangi 15-20 menit jika < 80%, atau pertahankan jumlah jam tidur jika
efisiensi tidur 80-90%.
- Setiap minggu sesuaikan jumlah tidur berdasarkan perhitungan yang
dilakukan
- Jangan tidur kurang dari 5 jam
- Tidur di siang hari diperbolehkan, tetapi tidak melebihi 1 jam
- Pada usia lanjut, jumlah jam tidur dikurangi hanya apabila efisiensi tidur
kurang dari 75%. (Dopheide, 2020)
3) Sleep Hygiene
Pendekatan ini bertujuan untuk meningkatkan dan merubah cara hidup dan
lingkungan penderita dalam rangka meningkatakan kualitas tidur penderita itu
sendiri. Sleep hygiene yang tidak baik sering menyebabkan insomnia tipe primer.
Pada suatu studi mendapatkan, seseorang dengan kualitas buruk biasanya
mempunyai kebiasan sleep hygiene yang buruk. Penelitian lain menyatakan,
seseorang dengan sleep hygiene yang baik, bangun di pagi hari dalam suasana
yang lebih bersemangat dan ceria. Terkadang, penderita sering memikirkan dan
membawa masalah-masalah ditempat kerja, ekonomi, hubungan kekeluargaan
dan lain-lain ke tempat tidur, sehingga mengganggu tidur mereka. Terdapat
beberapa hal yang perlu dihindari dan dilakukan penderita untuk menerapkan
sleep hygiene yang baik, seperti dibawah :
- Hindari mengkonsumsi alkohol, kafein dan produk nikotin sebelum tidur
- Meminimumkan suasana bising, pencahayaan yang terlalu terang, suhu
ruangan yang terlalu dingin atau panas
- Pastikan kamar tidur mempunyai ventilasi yang baik
- Menggunakan bantal dan kasur yang nyaman dengan penderita
- Hindarimakanan dalam jumlah yang banyak sebelum tidur
- Elakkan membawa pikiran yang bisa mengganggu tidur sewaktu di
tempat tidur
- Lakukan senam secara teratur (3-4x/minggu), dan hindari melakukan
aktivitas yang berat sebelum tidur. (Dopheide, 2020)
4) Cognitive Therapy
Pendekatan dengan cognitive therapy adalah suatu metode untuk mengubah
pola pikir, pemahaman penderita yang salah tentang sebab dan akibat insomnia.
Kebanyakan penderita mengalami cemas ketika hendak tidur dan ketakutan yang
berlebihan terhadap kondisi mereka yang sulit tidur. untuk mengatasi hal itu,
mereka lebih sering tidur di siang hari dengan tujuan untuk mengganti jumlah
tidur yang tidak efisien di malam hari. Namun itu salah, malah memperburuk
status insomnia mereka. Pada studi yang terbaru, menyatakan cognitive therapy
dapat mengurangi onset tidur sehingga 54%. Pada studi lainnya menyatakan,
metode ini sangat bermanfaat pada penderita insomnia usia lanjut, dan
mempunyai efektifitas yang sama dengan pengobatan dengan medikamentosa.
(Dopheide, 2020)
Prognosis
Jika mendapatkan terapi yang adekuat, maka prognosis insomnia pada kasus di skenario
umumnya baik (bonam). Namun jika tidak ditangani, maka prognosisnya lebih buruk (malam).
Kebanyakan orang yang menderita insomnia akan mengalami perbaikan jika mereka mengambil
langkah-langkah untuk meningkatkan kualitas tidur mereka. Hal ini dapat meliputi mengubah
pola tidur, mengambil obat tidur yang dianjurkan, melakukan relaksasi, menerapkan teknik-
teknik manajemen stress, dan menghindari atau mengurangi konsumsi kafein, obat-obatan, dan
alkohol. Meskipun prognosis bagi orang yang menderita insomnia dapat bervariasi, banyak
orang yang melaporkan peningkatan kualitas tidur dan mengalami perbaikan dalam kondisi
mental dan fisik setelah mereka menerapkan metode yang tepat untuk meningkatkan kualitas
tidur mereka. (Edinger & Wohlgemuth, 2020)
KIE
Insomnia atau gangguan tidur adalah suatu gangguan yang ditandai dengan kesulitan untuk
memulai tidur, kesulitan untuk tetap tidur, dan tidur yang tidak nyenyak. Gejala insomnia dapat
berupa kantuk yang berlebihan, konsentrasi yang buruk, gangguan emosi, dan penurunan
kualitas hidup. (Pigeon, 2019)
Berikut adalah beberapa tips untuk mengendalikan insomnia:
1 Menciptakan rutinitas tidur yang konsisten. Menghabiskan waktu yang sama untuk tidur
setiap hari, termasuk akhir pekan, dapat membantu membuat rutinitas tidur konsisten.
2 Menghindari stimulan sebelum tidur. Stimulan, seperti kafein, alkohol, dan obat-obatan
tertentu, dapat mengganggu tidur. Hindari stimulan sebelum tidur.
3 Menghindari kebiasaan tidur. Berbaring di tempat tidur hanya untuk tidur. Jangan
melakukan kegiatan lain, seperti menonton TV, surfing di internet, atau membaca saat
berbaring di tempat tidur.
4 Berolahraga. Berolahraga dapat meningkatkan kualitas tidur. Namun, pastikan untuk
berolahraga minimal 4 jam sebelum tidur.
5 Mengurangi sensitivitas pada cahaya. Berolahraga di luar ruangan pada siang hari dapat
membantu meningkatkan sensitivitas terhadap cahaya dan membantu membuat waktu
tidur lebih nyenyak.
6 Menghindari minum alkohol. Minum alkohol dapat membuat tidur tidak nyenyak.
7 Mengurangi stres. Mengurangi stres dapat membantu untuk tidur lebih nyenyak. Cara
untuk mengurangi stres antara lain yoga, meditasi, senam, dan peregangan. (Pigeon,
2019)

2.2 Diagnosis Multiaksial


Aksis I Insomnia Non-Organik

Aksis II Tidak ada diagnosis

Aksis III Tidak ada diagnosis

Aksis IV Masalah Sosial (Masalah Pekerjaan)

Aksis V 70-61(Disabilitas ringan, Gejala Menetap


BAB III

KESIMPULAN
Dari kasus diskenario serta pembahasan berbagai diagnosis banding, dapat disimpulkan
bahwa diagnosis kerja kasus diskenario mengarah pada insomnia. Insomnia adalah gangguan
untuk memulai dan mempertahankan tidur. Ada beberapa klasifikasi insomnia berdasarkan waktu
terjadinya, yaitu, transient insomnia, short term insomnia, cyclical insomnia, dan chronic
insomnia. Pada chronic insomnia berlangsung >3 makam setiap minggunya minimal 1 bulan.
Penyebab insomnia terdiri dari beberapa faktor internal dan beberapa faktor eksternal. Untuk
mendiagnosis insomnia berdasarkan pedoman diagnostic PPDGJ-III. Onset menurut PPDGJ-III
ialah minimal terjadi 3 kali dalam seminggu selama minimal 1 bulan.

Terapi yang dapat diberikan pada kasus insomnia ialah terapi farmakologi dan non-
farmakologi. Terapi farmakologi dapat diberikan obat sedative hipnotik, namun paling sering
diberikan ialah zolpidem. Sedangkan untuk terapi nonfarmakologi berupa sleep hygiene, CBT,
serta beberapa terapi non farmakologi lainnya. Prognosis pada insomnia ini umumnya baik.
DAFTAR PUSTAKA
Candra, G. A Dian Puspitha. 2017. “Diagnosis dan Penanganan Insomnia Kronik”. Fakultas
Kedokteran Universitas Udayana.
Cermak, S., & Rotenberg, B. 2013. “Sleep disturbances: Insomnia, hypersomnia, and
parasomnia”. In B. Rotenberg & S. Cermak (Eds.), Sleep: A comprehensive handbook
(pp. 113-151). New York, NY: Springer.
Dopheide, J. A. 2020. “Insomnia Overview: Epidemiology, Pathophysiology, Diagnosis And
Monitoring, And Nonpharmacologic Therapy”. The American journal of managed care,
26(4 Suppl), S76-S84.
Elvira, Hadisukanto. 2021. “Buku Ajar Psikiatri. Edisi Ketiga”. Badan Penerbit Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
Erwani. Nofriandi. 2017. “Faktor- Faktor yang Berhubungan dengan Insomnia pada Lansia di
Puskesmas Belimbing Padang”. Jurnal Ilmu Kesehatan. Vol 1. No 1.
Ghaddafi, Muammar. 2019. “Tatalaksana Insomnia dengan Farmakologi atau Non-
Farmakologi”. Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Kemenkes. 2015. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Jiwa. KeputusanMenteri Kesehatan
Republik Indonesia Nomor HK.02.02/MENKES/73/2015
Maramis, Willy F. 2020. “Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa”. Edisi 2. Pusat Penerbitan dan
Percetakan UNAIR (Airlangga University Press).
Maslim, Rusdi. 2019. “Buku Diagnosis Gangguan Jiwa Rujukan Ringkas dari PPDGJ DSM-5”.
Jakarta: PT Nuh Jaya.
Nasution, Itto Nesyia. 2017. “Hubungan Kontrol Diri dengan Perilaku Sulit Tidur (Insomnia)”.
Jurnal Psikolog. Volume 1. Nomor 1.
Sayekti, Nilam P.I Warni. 2020. “Analisis Risiko Depresi, Tingkat Sleep Hygiene dan Penyakit
Kronis dengan Kejadian Insomnia pada Lansia”. Fakultas Kesehtan Masyarakat
Universitas Airlangga.

Anda mungkin juga menyukai