Anda di halaman 1dari 38

PENGARUH DURASI TIDUR PENDEK TERHADAP HIPERTENSI

Literatur Review

Diajukan untuk memenuhi tugas Metodologi Penelitian

Dosen Pembimbing : Agus Khurniawan, SKM, MKM.

Disusun Oleh :
MUAMMAR SYAH ZIHAN
NIM : 19031
Tingkat 3A

PROGRAM DIPLOMA-III KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN AHMAD DAHLAN CIREBON

Jl. Walet No.21 Kertawinanguan, Kedawung, Cirebon , Jawa Barat 45153


Tahun 2021/2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, penulis dapat menyelesaikan Proposal Penelitian. Penulisan
Proposal Penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah
Metodologi Penelitian. Proposal Penelitian ini terwujud atas bimbingan
pengarahan dari dosen mata kuliah. serta bantuan dari berbagai pihak yang
tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.

Akhir kata, penulis berharap kepada Allah SWT berkenan membalas


segala kebaikan semua pihak yang telah membantu. Semoga Proposal
Penelitian ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu.

Cirebon, Desember 2021

Muammar Syah Zihan

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................. i

DAFTAR ISI ............................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................ 1

1.1 Latar Belakang .................................................................................................. 1

1.2 Rumusan Masalah ............................................................................................. 3

1.3 Tujuan Penelitian .............................................................................................. 3

1.4 Manfaat Penelitian ........................................................................................... 3

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 4

2.1 Telaah Pustaka .................................................................................................. 4

2.2 Landasan Teori .................................................................................................. 5

BAB III METODE PENELITIAN ........................................................................ 26

3.1 Strategi Pencarian Literatur ............................................................................ 26

3.2 Kriteria Inklusi dan Eksklusi ........................................................................... 28

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tidur merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia artinya secara alamiah
manusia akan membutuhkan tidur sebagai kebutuhan setiap harinya. Tidur sebagai
keadaan tidak sadar yang relatif lebih responsif terhadap rangsangan internal.
Pada keadaan tidur kita dianggap mengalami keadaan pasif dan keadaan dorman
dari kehidupan (Arifin AR, 2010). Tidur terdiri dua tahapan yaitu Rapid Eye
Movement (REM), yaitu active sleep dan Non-Rapid Eye Movement (NREM).
NREM yaitu quiet sleep yang berfungsi untuk memperbaiki kembali organ-organ
tubuh. Rapid Eye Movement akan mempengaruhi pembentukan hubungan baru
pada korteks dan sistem neuroendokrin yang menuju otak. Non-Rapid Eye
Movement akan mempengaruhi proses anabolik dan sintesis makromolekul
Ribonukleic Acid (RNA) (Potter E, 2006).

Pola tidur menjadi salah satu faktor risiko dari kejadian hipertensi. Pola tidur
yang tidak adekuat dan kualitas tidur yang buruk dapat mengakibatkan gangguan
keseimbangan fisiologis dan psikologis dalam diri seseorang (Potter E, 2006).
Selain itu, durasi tidur pendek dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan
hipertensi karena peningkatan tekanan darah 24 jam dan denyut jantung,
peningkatan sistem saraf simpatik, dan peningkatan retensi garam. Selanjutnya
akan menyebabkan adaptasi struktural sistem kardiovaskular sehingga tekanan
darah menjadi tinggi.

Beberapa bukti yang diperoleh berdasarkan penelitian yang telah dilakukan


oleh Javaheri, dkk pada tahun 2017 menyebutkan bahwa gangguan tidur, kualitas
tidur yang buruk, dan durasi tidur yang pendek berkontribusi terhadap tekanan
darah tinggi. Selain itu, berdasarkan beberapa penelitian yang dilakukan pada
orang dewasa, kurang tidur sebagai salah satu faktor risiko dari hipertensi berupa
waktu tidur yang lebih singkat dapat menyebabkan gangguan metabolisme dan
endokrin yang dapat menyebabkan gangguan kardiovaskular.

1
2

Tidur gelombang lambat yaitu kondisi tidur nyenyak (stadium 3 dan 4 atau N3
tidur) yang juga sering disebut “deep sleep” yang ditandai dengan “vagal tone”
yaitu aktivitas pada saraf parasimpatik meningkat dan “sympathetic vagal”
berkurang yaitu penurunan aktivitas pada saraf simpatik, dan akibatnya terjadi
penurunan denyut jantung dan tekanan darah. Selain itu, penekanan tidur tidur
nyenyak pada manusia memberikan dukungan untuk peran tidur nyenyak di
homeostasis glukosa dan fluktuasi nokturnal tekanan darah. Hal tersebut
menunjukkan proporsi tidur nyenyak yang rendah dikaitkan dengan kemungkinan
kejadian hipertensi.

Hubungan antara tidur dengan hipertensi terjadi akibat aktivitas simpatik pada
pembuluh darah sehingga seseorang akan mengalami perubahan curah jantung
yang tidak signifikan pada malam hari. Penurunan pada resistansi pembuluh darah
perifer menyebabkan penurunan nokturnal normal pada tekanan arteri. Aktivitas
saraf simpati saat tidur meningkat secara signifikan dan sangat bervariasi selama
REM dibandingkan dengan waktu bangun tidur. Tekanan darah mendekati tingkat
terjaga selama komponen pada tahap REM terlewati, dan sensitivitas baru
meningkat selama tidur. Namun, kondisi demikian lebih efektif untuk
meningkatkan penjagaan pada tekanan darah selama episode REM terjadi pada
akhir periode tidur dari pada malam sebelumnya. Hal ini berkaitan dengan pola
tidur. Tidur yang tidak normal terlibat dalam patogenensis prehypertension non
dipping dan kemudian pada gangguan hipertensi pada kualitas tidur menyebabkan
hipertensi. Beberapa penelitian yang telah dilakukan ada yang bersifat subjektif
maupun objektif, tetapi keduanya memberikan hasil positif bahwa terdapat
hubungan antara pola tidur dan risiko hipertensi. Penelitian yang dilakukan
selama 20 tahun terakhir masih berfokus kepada faktor yang mungkin muncul
karena hubungan secara langsung masih belum terlihat secara jelas. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui hubungan perilaku tidur yang buruk dapat
meningkatkan risiko kejadian hipertensi. Hasil penelitian dapat menambah
pengetahuan terkait perilaku tidur dan dapat diambil langkah pencegahan
berdasarkan faktor tersebut.
3

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang diatas dapat dirumuskan masalah sebagai berikut.
Apakah ada pengaruh durasi tidur pendek terhadap hipertensi?

1.3 Tujuan Penelitian


1.3.1 Tujuan umum
1. Mengetahui adanya pengaruh durasi tidur pendek terhadap
Hipertensi.
1.3.2 Tujuan khusus
1. Mengetahui kualitas tidur yang baik yang tidak menyebabkan
Hipertensi
2. Mengetahui kualitas tidur yang buruk yang dapat menyebabkan
Hipertensi
3. Menganalis pengaruh durasi tidur pendek terhadap Hipertensi.

1.4 Manfaat Penelitian


1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis hasil literature review ini dapat dapat dijadikan referensi informasi
tentang adanya pengaruh durasi tidur pendek terhadap Hipertensi.
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Bagi masyarakat
Hasil literature review ini diharapkan dapat menambah wawasan
masyarakat mengenai pengaruh durasi tidur pendek terhadap Hipertensi
sehingga masalah Hipertensi bisa dikurangi.
b. Bagi Institusi
Diharapkan bisa menjadi sumber dalam pengembangan ilmu keperawatan
dan sebagai masukan dalam proses pembelajaran khususnya mengenai
Hipertensi.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Telaah Pustaka


Menurut Penelitian yang dilakukan oleh martini dkk (2018) dengan metode
penelitian observasional yang bersifat analitik dengan desain case control. Sampel
dalam penelitian ini berjumlah 76 orang yang terdiri dari penderita hipertensi dan
bukan penderita hipertensi pada Poli Umum Puskesmas Tanah Kalikedinding
Surabaya. Teknik pengambilan sampel yang dilakukan menggunakan simple
random sampling. Hasil penelitian menggunakan uji statistik regresi logistik
menunjukkan (p=0,000; OR=9,022) artinya pola tidur memiliki pengaruh paling
besar terhadap kejadian hipertensi dibandingkan dengan umur dan jenis kelamin.
Kekuatan pengaruh pola tidur responden menunjukkan bahwa responden yang
memiliki pola tidur yang buruk memiliki risiko 9,022 kali lebih besar terserang
hipertensi dibandingkan dengan yang memiliki pola tidur baik. Pola tidur buruk
antara lain gangguan tidur, kualitas tidur yang buruk, dan durasi tidur yang
pendek. Rekomendasi yang diberikan kepada responden yang memiliki pola tidur
buruk harus memperbaiki pola tidur dengan gaya hidup yang sehat yaitu tidur
sesuai kebutuhan dan menjaga pikiran supaya tidak mengalami tekanan karena
stres yang berlebih.
Menurut Penelitian yang dilakukan oleh Grouse Oematan dan Gustaf Oematan
dengan metode penelitian kuantitatif dengan desain case control Subjek dalam
penelitian ini adalah 168 siswa sekolah menengah pertama di Kecamatan
Pamulang, terdiri dari 84 siswa obesitas dengan hipertensi sebagai kasus dan 84
siswa obesitas tanpa hipertensi sebagai kontrol. Data durasi tidur diambil
menggunakan Sleep Clinic Questionnaire, data aktivitas sedentari diambil dengan
menggunakan ASAQ (Adolescents Sedentary Activity Questionnaire).Penelitian
ini menemukan hubungan antara durasi tidur pendek (p<0,001) dan aktivitas
sedentari (p<0,5) dengan hipertensi obsentik. Remaja dengan durasi tidur yang
kurang dari 8 jam per hari berisiko 5,48 kali untuk mengalami hipertensi obesitik.
Sementara itu remaja dengan aktivitas sedentari lebih dari 6 jam per hari memiliki
risiko 2,27 kali untuk mengalami hipertensi obesitik.

4
5

Kesimpulan dari penelitian ini adalah Durasi tidur pendek dan aktivitas sedentari
adalah faktor risiko hipertensi obesitik pada remaja.

2.2 Landasan Teori


2.2.1 Konsep Tidur
1. Pengertian Tidur
Tidur merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin Somnus yang berarti
alami periode pemulihan, keadaan fisiologis dari istirahat untuk tubuh dan pikiran.
Tidur merupakan kondisi dimana persepsi dan reaksi individu terhadap
lingkungan mengalami penurunan (Mubarak, et all. 2015).
Menurut Asmadi (2008), tidur merupakan keadaan tidak sadar dimana
persepsi dan reaksi terhadap lingkungan menurun atau hilang, namun individu
dapat dibangunkan kembali dengan rangsangan yang cukup. Belakangan
disebutkan bahwa tidur adalah suatu proses aktif dan bukannya soal pengurangan
impuls aspesifik saja. Proses aktif tersebut merupakan aktivitas sinkronisasi
bagian ventral dari substansia retikularis medula oblongata (Mardjono, 2008
dalam Deshinta, 2010)
Tidur tidak dapat diartikan sebagai manifestasi deaktifasi sistem saraf pusat.
Sebab pada orang yang tidur, sistem saraf pusatnya tetap aktif dalam sinkronisasi
terhadaap neuron-neuron substansia retikularis dari batang otak. Ini dapat
diketahui melalui pemeriksaan electroenchepalogram (EEG). Alat tersebut dapat
memperlihatkan fluktuasi energi (gelombang otak) pada kertas grafik. Tidur
melibatkan serangkaian urutan yang diatur oleh aktivitas fisiologis yang sangat
terintegrasi dengan sistem saraf pusat (SSP). Hal ini terkait dengan perubahan
dalam sistem perifer saraf, endokrin, kardiovaskular, pernapasan dan otot
(Asmadi, 2008)

2. Fisiologi Tidur
Tidur adalah irama biologis yang kompleks (Kozier, 2008). Tidur adalah
proses fisiologis yang bersiklus dan bergantian dengan periode yang lebih lama
dari keterjagaan (Potter & Perry, 2010). Tidur ditandai dengan aktifitas fisik yang
6

minimal, perubahan proses fisiologis tubuh, dan penurunan respon terhadap


rangsangan eksternal (Kozier, 2008).
Irama sirkadian mempengaruhi pola fungsi biologis utama dan fungsi perilaku.
Fluktuasi dan perkiraan suhu tubuh, denyut jantung, tekanan darah, sekresi
hormone, kemampuan sensorik, dan suasana hati tergantung pada pemeliharaan
siklus sirkadian 24 jam. Irama sirkadian dipengaruhi oleh cahayaa dan suhu,
selain factor eksternal seperti aktivitas social dan rutinitas pekerjaan. Perubahan
dalam suhu tubuh juga berhubungan dengan pola tidur individu. (Saryono &
Widianti, 2010). Individu akan bangun ketika mencapai suhu tubuh tertinggi dan
akan tertidur ketika mencapai suhu tubuh terendah (Kozier, 2008).
Fisiologis tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur oleh adanya hubungan
mekanisme serebral yang secara bergantian untuk mengaktifkan dan menekan
pusat otak suatu aktifitas yang melibatkan system saraf pusat, saraf perifer,
endokrin kardiovaskular, dan respirasi muskulokeletal. Sistem yang mengatur
siklus atau perubahan dalam tidur adalah reticular activating system (RAS) dan
bulbar synchronizing regional (BSR) yang terletak pada batang otak (Mubarak,
2015).
System aktivasi reticular (SAR) berlokasi pada batang otak teratas. SAR
dipercaya terdiri atas sel yang mempertahankan kewaspadaan dan terjag. SAR
menerima stimulus sensori visual, auditori, nyeri, dan taktil. Aktivitas korteks
serebral (missal, proses emosi atau pikiran) juga menstimulasi SAR. Keadaan
terjaga atau siaga yang berkepanjangan sering dihubungkan dengan gangguan
proses berpikir yang progresif dan terkadang dapat menyebabkan aktivitas
perilaku yang abnormal (Guyton & Hall, 2007).
Para peneliti meyakini bahwa kenaikan sistem yang mengaktifkan retikular
(Reticular Activating Sistem/RAS) yang terletak di bagian atas batang otak
memuat sel-sel khusus yang mempertahankan kondisi sadar dan terjaga. RAS
menerima stimulus indra penglihatan, pendengaran, nyeri, dan peraba. Aktivitas
dari korteks serebral (misal:emosi dan proses berpikir) juga menstimulasi RAS.
Gairah, keadaan terjaga, dan keadaan tetap sadar dihasilkan dari saraf di dalam
RAS yang melepaskan katekolamin seperti norepinefrin (Izac, 2006 dalam Perry
& Potter, 2010).
7

Tidur dapat dihasilkan dari pengeluaran serotonin dalam sistem tidur raphe pada
pons dan otak depan bagian tengah. Daerah juga disebut bulbar synchronizing
region (BSR). Ketika individu mencoba tertidur, mereka akan menutup mata dan
berada dalam keadaan rileks. Stimulus ke SAR menurun. Jika ruangan gelap dan
tenang, aktivasi SAR selanjutnya akan menurun. BSR mengambil alih yang
kemudian menyebabkan tidur (Mubarak, et. All, 2015).
Gambaran tidur dan bangun digambarkan demikian, pada saat pusat tidur tidak
diaktifkan, nuklei pengaktivasi retikular di mesensefalon dan pons bagian atas
terbebas dari hambatan sehingga memungkinkan nuklei pengaktivasi retikular
menjadi aktif secara spontan. Hal ini akan merangsang korteks serebri dan sistem
saraf perifer dan keduanya kemudian mengirimkan banyak sinyal feedback positif
kembali ke nuklei pengaktivasi retikular yang sama agar sistem ini tetap aktif.
Oleh karena itu, adanya kecenderungan secara alami untuk mempertahankan
keadaan ini dan timbullah keadaan terjaga (Guyton, 2012). Sesudah otak aktif
selama beberapa jam, neuron dalam sistem aktivasi menjadi letih sehingga siklus
feedback positif antara nuklei retikular mesensefalon dan korteks akan melemah
dan pengaruh perangsang tidur dari pusat tidur akan mengambil alih sehingga
timbul peralihan yang cepat dari keadaan jaga menjadi keadaan tidur (Guyton,
2012).

3. Fungsi Tidur
Tidur berkontribusi dalam menjaga kondisi fisiologis dan psikologis. Tidur
NREM membantu perbaikan jaringan tubuh (McCance dan Huether dalam Potter
& Perry 2011). Selama tidur NREM, fungsi biologis lambat. Denyut jantung
normal orang dewasa sehat sepanjang rata-rata 70-80 denyut permenit atau kurang
jika individu berada dalam kondisi fisik yang sangat baik. Namun, selama tidur
denyut jantung turun sampai 60 denyut per menit atau kurang. Ini berarti bahwa
selama tidur jantung berdetak 10-20 kali lebih lambat dalam setiap menit atau 60-
120 kali lebih sedikit dalam setiap jam. Oleh karena itu, tidur nyenyak bermanfaat
dalam mempertahankan fungsi jantung. Fungsi biologis lainnya yang menurun
8

selama tidur adalah pernapasan, tekanan darah, dan otot (McCance dan Huether,
2006 dalam potter & Perry 2010).
Tidur REM sangat penting untuk jaringan otak dan pemulihan kognitif
(Bussye dalam potter & Perry 2011). Pada orang dewasa penyimpanan ingatan
lebih besar terjadi pada keadaaan tidur disbanding dalam keadaan terjaga (Scullin,
2012) Tubuh membutuhkan tidur secara rutin untuk memulihkan proses biologis
tubuh. Selama tidur, gelombang lambat dan dalam (NREM tahap 4), tubuh
melepaskan hormon pertumbuhan manusia untuk perbaikan dan pembaruan sel
epitel dan sel-sel yang khusus seperti sel-sel otak (Jones, 2005 dalam potter &
perry 2010). Sintesis protein dan pembelahan sel untuk peremajaan jaringan
seperti kulit, tulang, mukosa lambung, atau otak terjadi selama istirahat dan tidur.
Tidur NREM sangat penitng bagi anak-anak, yang mengalami tahap 4 tidur yang
lebih lama.
Tidur REM diperlukan untuk menjaga jaringan otak dan tampaknya menjadi
penting bagi pemulihan kognitif (Buysse, 2005 dalam potter & Perry 2010). Tidur
REM berhubungan dengan perubahan aliran darah otak, peningkatan aktivitas
korteks, peningkatan konsumsi oksigen, dan pelepasan epinefrin. Gabungan
kegiatan ini membantu penyimpanan memori dan proses belajar (McCance dan
Huether, 2006 potter & Perry 2010). Selama tidur, otak menyaring informasi yang
tersimpan tentang kegiatan hari itu. Perubahan dalam fungsi imun alami dan
seluler juga muncul akibat kurangnya tidur tingkat sedang sampai berat (Buysse,
2005 dalam Perry & Potter, 2010). Selain itu tidur memiliki manfaat restorative
dan hemostatik yang penting untuk cadangan energi normal

4. Dampak Kurang Tidur


Seseorang tidak menyadari bagaimana masalah tidur mempengaruhi perilaku
mereka. Perilaku yang dimaksud yaitu seperti mudah marah, disorientasi (mirip
dengan keadaan mabuk), sering menguap, dan bicara melantur. Jika kurang tidur
telah berlangsung lama, perilaku psikotik seperti delusi dan paranoid kadang-
kadang dapat berkembang (potter & Perry 2010). Kekurangan tidur ditengarai
bisa memberi efek negatif pada kesehatan fisik dan mental. Misalnya saja bisa
kurangnya energi dalam tubuh, lebih sulit konsentrasi, kurang mood, dan risiko
9

lebih besar akan terjadinya kecelakaan akibat mengantuk (potter & Perry 2010).
Selain itu seseorang akan mengantuk sepanjang siang hari dan sering bermasalah
dengan cara berpikirnya. Lebih lamban mempelajari hal-hal baru, mengalami
kesulitan dengan ingatan, dan kemampuan mereka membuat keputusan
(kemungkinan) bisa keliru (McKhann, Guy & Marilyn, 2010).

5. Kebutuhan Tidur
Kebutuhan tidur manusia tergantung pada tingkat perkembangan. Tabel berikut
merangkum kebutuhan tidur manusia berdasarkan usia.

Tabel 2.1 Kebutuhan Tidur Manusia

Usia Tingkat Perkembangan Jumlah Kebutuhan

0-1 bulan Bayi baru lahir 14-18 jam/hari

1 bulan-18 bulan Masa bayi 12-14 jam/hari

18 bulan-3 tahun Masa anak 11-12 jam/hari

3 tahun-6 tahun Masa prasekolah 11-12 jam/hari

6 tahun-12 tahun Masa sekolah 11 jam /hari

12-18 tahun Masa remaja 8,5 jam/hari

18 tahun-40 tahun Masa dewasa 7-8 jam/hari

40 tahun-60 tahun Masa muda paruh baya 7 jam/hari

60 tahun ke atas Masa dewasa tua 6 jam/hari

(Sumber: Hidayat, 2015. Pengantar Kebutuhan Dasar Manusia)

Penelitian ini akan dilakukan pada dewasa yang berumur 18 tahun ke atas.
Kebutuhan tidur pada kelompok usia 18 tahun ke atas normalnya adalah sekitar 7-
8 jam/hari. Kebutuhan tidur yang terpenuhi tentunya dapat menghasilkan
pengeluaran serotonin yang cukup. (Mubarak, et. All, 2015).
10

Selama tidur, denyut jantung turun sampai 60 denyut per menit atau kurang.
Ini berarti bahwa selama tidur jantung berdetak 10-20 kali lebih lambat dalam
setiap menit atau 60-120 kali lebih sedikit dalam setiap jam. Oleh karena itu, tidur
yang cukup bermanfaat dalam mempertahankan fungsi jantung. Fungsi biologis
lainnya yang menurun selama tidur adalah pernapasan, tekanan darah, dan otot
(McCance dan Huether, 2006 dalam potter & Perry 2010).

6. Pola Tidur
Pola Pola tidur adalah model, bentuk atau corak tidur dalam jangka waktu
yang relatif menetap dan meliputi jadwal jatuh (masuk) tidur dan bangun, irama
tidur, frekuensi tidur dalam sehari, mempertahankan kondisi tidur dan kepuasan
tidur (Depkes dalam Siallagan,2010). Pola tidur normal dipengaruhi oleh gaya
hidup termasuk stress pekerjaan, hubungan keluarga dan aktivitas sosial yang
mengarah pada insomnia dan penggunaan medikasi untuk tidur. Penggunaan
jangka panjang medikasi tersebut dapat mengganggu pola tidur dan selama tidur
malam yang berlangsung rata-rata tujuh jam, REM dan NREM terjadi berselingan
sebanyak 4-6 kali. Apabila seseorang kurang cukup mengalami REM, maka esok
harinya ia akan menunjukkan kecenderungan untuk menjadi hiperaktif, kurang
dapat mengendalikan emosinya dan nafsu makan bertambah. Sedangkan jika
NREM kurang cukup, keadaan fisik menjadi kurang gesit (Mardjono, 2008).

7. Klasifikasi Pola Tidur


Menurut Hidayat (2015), jenis tidur dibagi menjadi dua yaitu, slow wave
sleep atau tidur gelombang lambat atau disebut pola tidur biasa dan pola tidur
paradox yang juga disebut Rapid eye movement.
1. Pola Tidur Biasa Pola tidur biasa juga disebut sebagai tidur Non-REM (Non-
Rapid Eye Movement). Pada keadaan ini, sebagian besar organ tubuh secara
berangsur-angsur menjadi kurang aktif, pernapasan teratur, kecepatan denyut
jantung berkurang, otot mulai berelaksasi, mata dan muka diam tanpa gerak. Fase
Non-REM berlangsung ± 1 jam, dan pada fase ini biasanya orang masih bisa
mendengarkan suara di sekitarnya, sehingga dengan demikian akan mudah
terbangun dari tidurnya. (Hidayat. 2015)
11

2. Pola Tidur Paradoksal Pola tidur paradoksal disebut juga sebagai tidur REM
(Rapid Eye Movement). Pada fase ini, akan terjadi gerakan-gerakan mata secara
cepat, denyut jantung dan pernapasan yang naik turun, sedangkan otot-otot
mengalami pengendoran (relaksasi total). Proses relaksasi total ini sangat berguna
bagi pemulihan tenaga dan penghilangan semua rasa lelah. Fase tidur REM (fase
tidur nyenyak) berlangsung selama ±20 menit. Pada fase ini, sering timbul mimpi-
mimpi, mengigau, atau bahkan mendengkur. Dalam tidur malam yang
berlangsung 6-8 jam, kedua pola tidur tersebut (REM dan Non-REM) terjadi
secara bergantian sebanyak 4-6 siklus. (Mubarak, 2015)

8. Siklus tidur
Seseorang mengalami dua tipe tidur yang saling bergantian satu sama lain
setiap malamnya yaitu tidur gelombang lambat dan tidur dengan pergerakan mata
yang cepat (Guyton, 2012). Pembagian dua jenis tidur ini didasari oleh pola
elektroensefalografi (EEG) yang berbeda dan perilaku yang berlainan (Sherwood,
2011).
Siklus tidur yang umum terjadi terdiri atas tahap 1 NREM, diikuti oleh tahap
2,3, dan 4 NREM dengan kemungkinan kembali lagi ke tahap sebelumnya, yaitu
tahap 3 dan 2 NREM, sebelum dimulainya tahap REM. Fase NREM terjadi
sekitar 75% sampai 80% dari waktu tidur total. Tidur REM terjadi selama 20%
sampai 25% waktu tidur dalam. Tahap REM dimulai kurang lebih 60 menit dalam
siklus tidur, dan umumnya empat sampai enam siklus tidur NREM sampai siklus
tidur NREM terjadi setiap malam (Maas, 2011).
Pre-sleep Tahap I Tahap II Tahap III Tahap IV Tidur REM Tahap II Tahap III
Perry dan Potter, 2010 Gambar 2.1 Siklus Tidur
Tidur dibagi menjadi dua fase, yaitu: nonrapid eye movement (NREM) dan rapid
eye movement (REM).
Tahap 1 NREM merupakan periode transisi menuju saatnya tidur, saat individu
dapat dengan mudah terbangun (Maas, 2011). Pada tahap ini terjadi pengurangan
aktivitas fisiologis, seperti pengurangan tanda-tanda vital dan metabolism
(Saryono & Widianti, 2010).
12

Tahap 2 NREM dianggap sebagai periode tidur ringan dengan fase relaksasi yang
sangat besar (Maas, 2011). Tahap ini disebut sebagai tahap tidur bersuara. Tahap
ini berakhir 10-20 menit. Fungsi tubuh dalam tahap ini menjadi lambat (Saryono
& Widianti, 2010).
Tahap 3 NREM merupakan fase pertama tidur dalam. Otot-otot menjadi rileks
sehingga sulit dibangunkan. Tanda-tanda vital menurun namun tetap teratur.
Tahap ini berakhir dalam 15-30 menit. Tahap 4 NREM merupakan periode tidur
palingdalam. Tahap ini merupakan tahap terbesar terjadinya pemulihan. Tanda-
tanda vital menurun secara bermakna. Pada tahap ini terjadi tidur sambil berjalan
dan enuresis. Tahap 3 dan 4 NREM seringkali disebut sebagai “tidur gelombang-
lambat” karena pada fase ini gelombang lambat ditunjukkan dalam aktivitas
elektroenselografi (EEG) (Saryono & Widianti, 2010; Maas, 2011).
Keempat tahap dari fase NREM diikuti oleh fase REM. Tingkat terdalam relaksasi
tubuh terjadi selama fase tidur REM, tetapi aktivitas EEG serupa dengan pola
yang terlihat selama terjaga. Selama fase tidur REM, frekuensi pernapasan, denyut
jantung, dan tekanan darah menjadi sangat bervariasi, tidak teratur, dan mningkat
secara berkala (Maas, 2011). Sekresi lambung juga mengalami peningkatan. Pada
tahap ini, individu akan mengalami mimpi. Tahap ini berakhir dalam 90 menit
(Saryono & Widianti, 2010).

9. Kualitas Tidur
Kualitas tidur adalah suatu keadaan tidur yang dijalani seorang individu
menghasilkan kesegaran dan kebugaran saat terbangun. Kualitas tidur mencakup
aspek kuantitatif dari tidur, seperti durasi tidur, latensi tidur serta aspek subjektif
dari tidur. Kualitas tidur adalah kemampuan setiap orang untuk mempertahankan
keadaan tidur dan untuk mendapatkan tahap tidur REM dan NREM yang pantas
(Khasanah, 2012). Indikator atau ciri-ciri untuk mengetahui tidur yang berkualitas
adalah dengan merasakan apakah badan merasa segar dan fresh setelah terbangun
dan tidur merasa lelap (Hidayat, 2015).
13

10. Tanda-Tanda Kualitas Tidur Buruk


Tanda –tanda kualitas tidur yang kurang dapat dibagi menjadi tanda fisik
dan tanda psikologis (Hidayat, 2015).
1. Tanda Fisik Ekspresi wajah (gelap di area sekitar mata, bengkak di kelopak
mata, konjungtiva kemerahan dan mata terlihat cekung), kantuk yang berlebihan
(sering menguap), tidak mampu berkosentrasi (kurangnya perhatian), terlihat
tanda-tanda keletihan seperti penglihatan kabur, mual dan pusing
2. Tanda Psikologis Menarik diri, apatis dan respon menurun, merasa tidak enak
badan, malas berbicara, daya ingat menurun, bingung, timbul halusinasi, dan ilusi
pengliihatan atau pendengaran, kemampuan memberikan keputusan atau
pertimbangan menurun.

11. Pengukuran Kualitas Tidur


Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) adalah instrument efektif yang
digunakan untuk mengukur kualitas tidur dan pola tidur orang dewasa. PSQI
dikembangkan untuk mengukur dan membedakan individu dengan kualitas tidur
yang baik dan kualitas tidur yang buruk. Kualitas tidur merupakan fenomena yang
kompleks dan melibatkan beberapa dimensi yang seluruhnya dapat tercakup
dalam PSQI. Dimensi tersebut antara lain kualitas tidur subjektif, sleep latensi,
durasi tidur, gangguan tidur, efesiensi kebiasaan tidur, penggunaan obat tidur ,
dan disfungsi tidur pada siang hari. Dimensi tersebut dinilai dalam bentuk
pertanyaan dan memiliki bobot penialaian masing-masing sesuai dengan standar
baku. (Mirghani et al., 2015). Validitas penelitian PSQI sudah teruji. Instrumen ini
menghasilkan 7 skor yang sesuai dengan domain atau area yang disebutkan
sebelumnya. Tiap domain nilainya berkisar antara 0 (tidak ada masalah) sampai 3
(masalah berat). Nilai setiap komponen kemudian dijumlahkan menjadi skor
global antara 0-21. Skor global ˃5 dianggap memiliki gangguan tidur yang
signifikan. PSQI memiliki konsistensi internal dan koefisien reliabilitas
(Cronbach’s Alpha) 0,83 untuk 7 komponen tersebut. (Buysee et al., 1989)
14

12. Faktor Yang Mempengaruhi Tidur


Pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur setiap orang berbeda-beda. Ada yang
kebutuhannya terpenuhu, ada pula yang mengalami gangguan. Menurut Mubarak
(2015) seorang bisa tidur ataupun tidak dipengaruhi oleh beberapa faktor,
diantaranya sebagai berikut:
1) Aktifitas Fisik
Aktivitas dan latihan fisik dapat meningkatkan kelelahan dan kebutuhan untuk
tidur. Latihan fisik yang melelahkan sebelum tidur membuat tubuh mendingin dan
meningkatkan relaksasi. Individu yang mengalami kelelahan menengah biasanya
memperoleh tidur yang tenang terutama setelah bekerja atau melakukan aktivitas
yang menyenangkan. Pada kondisi yang semakin lelah, semakin pendek siklus
REM yang dilaluinya. Setelah beristirahat biasanya siklus REM akan kembali
memanjang.
2) Motivasi
Motivasi dapat mempengaruhi dan dapat menimbulkan keinginan untuk
tetapbangun dan menahan tidur sehingga dapat menimbulkan gangguan proses
tidur, sebab keinginan untuk tetap terjaga terkadang dapat menutupi perasaan
lelah seseorang. Sebaliknya perasaan bosan atau tidak adanya motivasi untuk
terjaga seringkali mendatangkan kantuk.
3) Stres Emosional
Ansietas dan depresi seringkali mengganggu tidur seseorang. Kondisi ansietas
dapat meningkatkan norepinefrin darah melalui system saraf simpatis. Kondisi ini
menyebabkan berkurangnya siklus tidur NREM tahap IV dan tidur REM serta
seringnya terjaga saat tidur.
4) Obat-obatan
Obat tidur seringkali membawa efek samping. Dewasa muda dan dewasa tengah
dapat mengalami ketergantungan obat tidur untuk mengatasi stressor gaya hidup.
Obat tidur juga sering kali digunakan untuk mengontrol atau engatasi sakit
kroniknya. Beberapa obat juga dapat menimbulkan efek samping penurunan tidur
REM.
15

5) Lingkungan
Lingkungan tempat seorang tidur berpengaruh pada kemampuan untuk tertidur.
Ventilasi yang baik memberikan kenyamananuntuk tidur tenang. Ukuran,
kekerasan dan posisi tempat tidur mempengaruhi kualitas tidur. Suhu dan suara
dapat mempengaruhi kemampuan untuk tidur. Suhu yang panas atau dingin
menyebabkan klien mengalami kegelisahan. Beberapa orang menyukai kondisi
tenang untuk tidur dan ada yang menyukai suara untuk membantu tidurnya seperti
music lembut dan televise.
6) Stimultan dan Alkohol
Kebiasaan mengkonsumsi kafein dan alcohol mempunyai efek insomnia. Makan
dalam porsi besar, bearat dan berbumbu pada makanan juga menyebabkan
makanan sulit dicerna sehingga dapat mengganggu tidur. Nikotin yang terkandung
dalam rokok juga memiliki efek stimulasi pada tubuh. Akibatnya perokok sering
untuk tertidur dan sering terbangun di malam hari.
7) Diet dan Nutrisi
Diet dan nutrisi yang cukup, dapat mempercepat proses tidur. Protein yang tinggi
mempercepat proses tidur, karena adanya L-Tritofan yang merupakan asam amino
dari protein yang dicerna.
16

2.2.2 Hipertensi
1. Pengertian Hipertensi
Hipertensi adalah tekanan darah tinggi yang bersifat abnormal dan diukur
paling tidak pada tiga kesempatan yang berbeda. Secara umum, seseorang
dianggap mengalami hipertensi apabila tekanan darahnya lebih tinggi dari 140/90
mmHg. Hipertensi juga sering diartikan sebagai suatu keadaan di mana tekanan
darah sistolik lebih dari 120 mmHg dan tekanan diastolik lebih dari 80 mmHg.
Penyakit hipertensi merupakan gejala peningkatan tekanan darah yang kemudian
berpengan pada organ yang lain, seperti stroke untuk otak dan penyakit jantung
koroner untuk pembuluh darah jantung dan otot jantung. Penyakit ini menjadi
salah satu masalah utama dalam ranah kesehatan masyarakat di Indonesia maupun
dunia. Diperkirakan, sekitar 80% kenaikan kasus hipertensi terutama terjadi di
negara berkembang pada tahun 2025; dari jumlah total 639 juta kasus di tahun
2000. Jumlah ini diperkirakan meningkat menjadi 1,15 miliar kasus di tahun 2025.
Prediksi ini didasarkan pada angka penderita hipertensi danpertambahan
penduduk Secara umum, seseorang dianggap mengalami hipertensi apabila
tekanan darahnya lebih tinggi dari 140/90 mmHg saat ini.
Angka-angka prevalensi hipertensi di Indonesmenunjukkan bahwa di daerah
pedesaan masih banyak penderita hipertensi yang belum terjangka oleh layanan
kesehatan. Baik dari segi temuan kasus (case-finding) maupun penatalaksanaan
pengobatan jangkauannya masih sangat terbatas. Hal ini masih ditambah dengan
tidak adanya keluhan dari sebagian besar penderita hipertensi. Prevalensi
terbanyak Medikal Bedah untuk MahasiswaBberkisar antara 6% sampai dengan
15%, tetapi ada pula wilayah dengan angka ekstrem yang rendah, seperti di
Ungaran, Jawa Tengah (1,8%), Lembah Baliem Pegunungan Jaya Wijaya, Irian
Jaya (0,6%), dan Talang Sumatera Barat 17,8%.
Bisa dilihat di sini, dua angka yang dilaporkan oleh kelompok yang sama
pada dua daerah pedesaan di Sumatera Barat menunjukkan angka yang tinggi.
Oleh sebab itu, fenomena ini perlu diteliti lebih lanjut,demikian juga angka yang
relatif sangat rendah. Survei penyakit jantung pada usia lanjut yang dilaksanakan
17

Boedhi Darmojo, menemukan prevalensi hipertensi tanpa atau dengan tanda


penyakit jantung hipertensi sebesar 33,3% (81 orang dari 243 orang tua usia 50
tahun ke atas).Wanita mempunyai prevalensi lebih tinggi terkena darah tinggi
daripada pria. Dari kasus-kasus tadi, ternyata 68,4% di antaranya termasuk
hipertensi ringan (diastolik 95,104 mmHg), 28,1% hipertensi sedang (diastolik
105,129 mmHg), dan hanya 3,5% yang masuk hipertensi berat (diastolik sama
atau lebih besar dengan 130 mmHg). Hipertensi pada penderita penyakit jantung
iskemik ialah 16,1%. Persentase ini termasuk rendah bila dibandingkan dengan
prevalensi seluruh populasi (33,3%), sehingga merupakan faktor risiko yang
kurang penting.
Tidak dijumpai adanya kaitan antara kenaikan prevalensi penderita darah
tinggi dengan bertambah nya umur. Oleh karena itu, negara Indonesia yang
sedang membangun di segala bidang perlu memper hatikan tindakan mendidik
untuk mencegah timbul nya penyakit, seperti hipertensi, kardiovaskular, pe nyakit
degeneratif, dan lain-lain. Golongan umur 45 tahun ke atas memerlukan tindakan
atau program pencegahan yang terarah. Tujuan program penang gulangan
penyakit kardiovaskuler adalah mencegah peningkatan jumlah penderita risiko
penyakit kar diovaskuler dalam masyarakat dengan menghindari faktor penyebab,
seperti hipertensi, diabetes, hiper lipidemia, merokok, stres, dan lain-lain.

2. Anatomi fisiologi
Jantung merupakan organ berotot dengan empat ruang yang terletak di rongga
dada, di bawah perlindungan tulang iga, sedikit ke sebelah kiri sternum. dengan
Jantung terdapat di dalam sebuah kantung longgar berisi cairan yang disebut
bawah perikardium. Keempat ruang jantung tersebut adalah atrium kiri dan kanan
serta ventrikel kiri dan kanan. Sisi kiri jantung memompa darah ke seluruh sel
tubuh, kecuali sel-sel yang ber peran dalam pertukaran gas di paru-paru (ini
disebut sebagai sirkulasi sistemik). Sisi kanan jantung me mompa darah ke paru-
paru untuk mendapat oksigen (ini disebut sirkulasi paru atau pulmoner).
1) Sirkulasi Sistemik
Darah masuk ke atrium kiri dari vena pulmonaris. Darah di atrium kiri kemudian
mengalir ke dalam ventrikel kiri melalui katup atrio ventikel (AV), yang terletak
18

di sambungan atrium dan ventrikel (katup ini disebut katup mitralis). Semua katup
jantung membuka ketika tekanan dalam ruang jantung atau pembuluh yang berada
di atasnya melebihi tekanan di dalam ruang atau pembuluh yang ada di bawah.
Aliran darah keluar dari ventrikel kiri menuju sebuah arteri besar berotot, yang
disebut aorta. Darah mengalir dari ventrikel kiri ke aorta melalui katup aorta.
Darah di aorta kemudian disalurkan ke seluruh sirkulasi sistemik, yakni melalui
arteri, arteriol, dan kapiler; yang kemudian menyatu kembali untuk membentuk
vena-vena. Vena-vena dari bagian ba wah tubuh mengembalikan darah ke vena
terbesar, yakni vena kava inferor. Vena dari bagian atas tubuh mengembalikan
darah ke vena kava superior, yakni ke dua vena kava yang bermuara di atrium
kanan.
2) Sirkulasi Paru-paru
Darah di atrium kanan mengalir ke ventrikel kanan melalui katup AV lainnya,
yang disebut katup semilunaris (trikuspidalis). Darah keluar dari ventrikel kanan
dan mengalir melewati katup ke-4, katup pulmonaris, dan ke dalam arteri
pulmonaris. Arteri pulmonaris ini bercabang-cabang lagi menjadi arteri
pulmonaris kanan dan kiri, yang masing-masing mengalir melalui sebelah kanan
dan kiri. Di paru paru, arteri-arteri pulmonaris ini bercabang-cabang lagi menjadi
banyak cabang arteriol dan kemudia kapiler.
Setiap kapiler memberi perfusi pada satuan per napasan, melalui sebuah alveolus.
Semua kapiler menyatu kembali untuk menjadi venula dan venu la menjadi vena.
Vena-vena ini kemudian menyatu untuk membentuk vena pulmonaris yang besar.
Darah mengalir dalam vena pulmonaris, kembali ke atrium kiri untuk
menyelesaikan siklus aliran darah jantung.

3. Etiologi
1) Hipertensi Primer
Hipertensi primer adalah hipertensi esensial atau hipertensi yang 90% tidak
diketahui penyebabnya. Beberapa faktor yang diduga berkaitan dengan
berkembangnya hipertensi esensial di antaranya:
19

a. Genetik; individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi,


berisiko lebih tinggiuntuk mendapatkan penyakit ini ketimbang mereka yang
tidak.
b. Jenis kelamin dan usia; laki-laki berusia 35-50 tahun dan wanita
pascamenopause berisiko tinggi untuk mengalami hipertensi.
C. Diet; konsumsi diet tinggi garam atau kandungan lemak, secara langsung
berkaitan dengan ber kembangnya penyakit hipertensi.
d. Berat badan/obesitas (25% lebih berat di atas berat badan deal) juga sering
dikaitkan dengan berkembangnya hipertensi.
e. Gaya hidup merokok dan konsumsi alkohol dapat meningkatkan tekanan darah
(bila gaya hidup yang tidak sehat tersebut tetap diterapkan).
2) Hipertensi Sekunder (5-10%)
Hipertensi sekunder adalah jenis hipertensi yang penyebabnya diketahui.
Beberapa gejala atau penyakit yang menyebabkan hipertensi jenis ini antara lain:
a. Coarctation aorta, yaitu penyempitanaorta congenital yang (mungkin) terjadi
pada beberapa tingkat aorta torasik atau aorta abdominal. Penyempitan ini
menghambat aliran darah melalui lengkung aorta dan mengakibatkan peningkatan
tekanan darah di atas area konstriksi.
b. Penyakit parenkim dan vaskular ginjal. Penyakit ini merupakan penyebab
utama hipertensi sekunder. Hipertensi renovaskular berhubungan dengan
penyempitan satu atau lebih arteri besar, yang secara langsung membawa darah ke
ginjal. Sekitar 90% lesi arteri renal pada pasien dengan hipertensi disebabkan oleh
aterosklerosis atau fibrous dysplasia (pertumbuhan abnormal jaringan fibrons),
Penyakit parenkim ginjal terkait dengan infeksi, inflamasi, serta perubahan
struktur serta fungsi ginjal.
c. Penggunaan kontrasepsi hormonal (estrogen). Oral kontrasepsi yang berisi
estrogen dapat menyebabkan hipertensi melalui mekanisme renin-aldosteron-
mediate volume expansion. Dengan penghentian oral kontrasepsi, tekanan darah
kembali normal setelah beberapa bulan.
d. Gangguan endokrin. Disfungsi medulla adrenal atau korteks adrenal dapat
menyebabkan hipertensi sekunder. Adrenal-mediate hypertension disebabkan
kelebihan primer aldosteron, kortisol, dan katekolamin. Pada aldosteron
20

primer.kelebihan aldosteron menyebabkan hipertensi dan hipokalemia.


Aldosteonisme primer biasanya timbul dari adenoma korteks adrenal yang benign
(jinak). Pheochromocytomas pada medulla adrenalin yang paling umum dan
meningkatkan sekresi katekolamin yang berlebihan. Pada sindrom cushing, terjadi
kelebihan gluukokortikoid yang diekskresi dari korteks adrenal. Sindrom cushing
mungkin disebabkan oleh hiperplasi adrenokortikal atau adenoma adrenokortikal.
e. Kegemukan (obesitas) dan gaya hidup yang tidak aktif (malas berolahraga)
f. Stres, yang cenderung menyebabkan kenaikan tekanan darah untuk sementara
waktu. Jika
stres telah berlalu, maka tekanan darah biasanya akan kembali normal.
g. Kehamilan
h. Luka bakar
i. Peningkatan volume intravascular
Nikotin dalam rokok dapat merangsang pelepasan kateko lamin. Peningkatan
katekolamin ini meng akibatkan iritabilitas miokardial, pening katan denyut
jantung, serta menyebabkan vasokontriksi.
Merokok. Nikotin dalam rokok dapat merangsang pelepasan katekolamin.
Peningkatan katekolamin ini mengakibatkan iritabilitas miokardial, peningkatan
denyut jantung, serta menyebabkan vasokontriksi yang kemudian meningkatkan
tekanan darah.

4. Klasifikasi Hipertensi
tahun oleh The Joint National Committee on Klasifikasi hipertensi pada pasien
berusia 218 Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (1998)
adalah sebagai berikut.

Kategori TDD (mmHg) TDS (mmHg)

normal <85 <150

normal tinggi 85-89 130-139

hipertensi

tinggi 1 (ringan) 90-99 140-159


21

tinggi 2 (sedang) 100-109 160-179

tinggi 3 (berat) 110-119 180-120

tinggi 4 (sangat berat) >120 >210

5. Patofisiologi
Tekanan arteri sistemik adalah hasil dari perkalian cardiac output dengan total
tahanan perifer. Cardiac output (curah jantung) diperoleh dari perkalian antara
stroke volume (volume darah yang dipompa dari ventrikel jantung) dengan heart
rate (denyut jantung).Pengaturan tahanan perifer dipertahankan oleh sistem saraf
otonom dan sirkulasi hormon. Empat sistem kontrol yang berperan dalam
mempertahankan tekanan darah, antara lain sistem baroreseptor arteri, pengaturan
volume cairan tubuh, sistem renin angiotensin, dan autoregulasi vaskuler.
Baroreseptor arteri terutama ditemukan di sinus carotid, tapi sering dijumpai juga
dalam aorta dan dinding ventrikel kiri. Baroreseptor ini memonitor derajat
tekanan arteri. Sistem baroreseptor meniadakan peningkatan tekanan arteri
melalui mekanisme perlambatan jantung oleh respons vagal
(stimulasiparasimpatis) dan vasodilatsi dengan penurunan tonus simpatis. Oleh
karena itu, refleks kontrol sirkulasi meningkatkan tekanan arteri sistemik bila
tekanan baroreseptor turun dan menurunkan tekanan arteri sistemik bila tekanan
baroreseptor meningkat. Sampai saat ini, belum diketahui secara pasti mengapa
kontrol ini gagal pada hipertensi. Hal ini ditunjukkan untuk menaikkan re-setting
sensitivitas baroreseptor, sehingga tekanan meningkat secara tidak adekuat,
sekalipun tidak ada penurunan tekanan. Perubahan volume cairan mempengaruhi
tekanan arteri sistemik. Bila tubuh mengalami kelebihan garam dan air, tekanan
darah dapat meningkat melalui mekanisme fisiologi kompleks yang mengubah
aliran balik vena ke jantung dan mengakibatkan peningkatan curah jantung. Bila
ginjal berfungsi secara adekuat, peningkatan tekanan arteri dapat mengakibatkan
dieresis dan penurunan tekanan darah.Kondisi patologis yang mengubah ambang
tekanan pada ginjal dalam mengekskresikan garam dan air ini akan meningkatkan
tekanan arteri sistemik.
Renin dan angiotensin memegang peranan dalam mengatur tekanan darah. Ginjal
memproduksi renin, yaitu suatu enzim yang bertindak pada substrat protein
22

plasma untuk memisahkan angiotensin I, yang kemudian diubah oleh enzim


pengubah (convertingenzyme) dalam paru menjadi bentuk angiotensin II, dan
kemudian menjadi angiotensin III. Angiotensin II dan III mempunyai aksi
vasokonstriktor yang kuat pada pembuluh darah dan merupakan mekanisme
kontrol terhadap pelepasan aldosteron.
Aldosteon sendiri memiliki peran vital dalam hipertensi terutama pada aldosteron
primer. Selainmembantu meningkatkan aktivitas sistem saraf simpatis,
angiotensin II dan III juga mempunyai efek inhibiting atau penghambat pada
ekskresi garam (natrium) yang mengakibatkan peningkatan tekanan darah.
Sekresi renin yang tidak tepat diduga sebagai penyebab meningkatnya tahanan
perifer vascular pada hipertensi esensial. Pada tekanan darah tinggi, kadar renin
harus diturunkan karena peningkatan tekanan arteriolar renal mungkin
menghambat sekresi renin. Namun demikian, sebagian besar orang dengan
hipertensi esensial mempunyai kadar renin normal.
Peningkatan tekanan darah secara terus-menerus pada pasien hipertensi esensial
akan mengakibatkan kerusakan pembuluh darah pada organ-organ vital,
Hipertensi esensial juga mengakibatkan hyperplasia medial (penebalan arteriola-
arteriola). Karena pem buluh darah menebal, maka perfusi jaringan menurun dan
mengakibatkan kerusakan organ tubuh. Hal ini menyebabkan infark miokard,
stroke, gagal jantung, dan gagal ginjal.
Autoregulasi vascular merupakan mekanisme lain yang terlibat dalam hipertensi.
Autoregulasi vascular ini adalah suatu proses untuk mempertahankan perfusi
jaringan dalam tubuh yang relatif konstan. Jika aliran berubah, proses-proses
autoregulasi akan menurunkan tahanan vascular dan mengakibatkan pengurangan
aliran. Jika terjadi yang sebaliknya, maka tahanan vascular akan meningkat
sebagai akibat dari peningkatan aliran. Autoregulasi vascular tampaknya menjadi
mekanisme penting dalam me nimbulkan gejala hipertensi berkaitan dengan kele
bihan asupan garam dan air.

6. Manifestasi Klinis
Sebagian manifestasi klinis timbul setelah penderita mengalami hipertensi selama
bertahun tahun. Gejalanya berupa:
23

1. nyeri kepala saat terjaga, terkadang disertai mual dan muntah akibat
peningkatan tekanan darah interaknium;
2. penglihatan kabur karena terjadi kerusakan pada retina sebagai dampak dari
hipertensi;
3. ayunan langkah yang tidak mantap karena terjadi kerusakan susunan saraf
pusat;
4. nokturia (sering berkemih di malam hari) karena adanya peningkatan aliran
darah ginjal dan filtrasi glomerulus; dan
5. edema dependen dan pembengkakan akibat peningkatan tekanan kapiler.
Pada kasus hipertensi berat, gejala yang dialami pasien antara lain sakit kepala
(rasa berat di teng kuk), palpitasi, kelelahan, nausea, muntah-muntah, kegugupan,
keringat ber lebihan, tremor otot, nyeri dada, epistaksis, pandang an kabur atau
ganda, tinni tus (telinga mendenging), serta kesulitan tidur.

7. Penatalaksanaan
1) Farmakologi
Terapi obat pada penderita hipertensi dimulai dengan salah satu obat berikut:
a. Hidroklorotiazid (HCT) 12,5-25 mg perhari dengan dosis tunggal pada pagi
hari (padahipertensi dalam kehamilan, hanya digunakan bila disertai
hemokonsentrasi/udem paru).
b. Reserpin 0,1-0,25 mg sehari sebagai dosis tunggal.
c. Propanolol mulai dari 10 mg dua kali sehari yang dapat dinaikkan 20 mg dua
kali sehari (kontraindikasi untuk penderita asma).
d. Kaptopril 12,5-25 mg sebanyak dua sampai tiga kali sehari (kontraindikasi pada
kehamilan selama janin hidup dan penderita asma).
e. Nifedipin mulai dari 5 mg dua kali sehari, bisa dinaikkan 10 mg dua kali sehari.
2) Nonfarmakologi
Langkah awal biasanya adalah dengan mengubah pola hidup penderita, yakni
dengan cara:
a. menurunkan berat badan sampai batas ideal,
b. mengubah pola makan pada penderita diabetes, kegemukan, atau kadar
kolesterol darah tinggi,
24

c. mengurangi pemakaian garam sampai kurang dari 2,3 gram natrium atau 6
gram natrium
klorida setiap harinya (disertai dengan asupan kalsium, magnesium, dan kalium
yang cukup),
d. mengurangi konsumsi alkohol,
e. berhenti merokok, dan
f. olahraga aerobik yang tidak terlalu berat (penderita hipertensi esensial tidak
perlu membatasi aktivitasnya selama tekanan darahnya terkendali).

8. Komplikasi
1) Stroke
Stroke dapat timbul akibat pendarahan karena tekanan tinggi di otak atau akibat
embolus yang terlepas dari pembuluh nonotak. Stroke dapat terjadi pada
hipertensi kronis apabila arteri-arteri yang memperdarahi otak mengalami
hipertrofi dan menebal, sehingga aliran darah ke daerah-daerah yang
diperdarahinya menjadi berkurang. Arteri-arteri otak yang mengalami
arterosklerosis dapat melemah, sehingga meningkatkan kemungkinan
terbentuknya aneurisma.
2) Infark Miokardium
Dapat juga terjadi infark miokardium apabila arteri koroner yang mengalami
aterosklerotik tidak dapat menyuplai cukup oksigen ke miokardium atau apabila
terbentuk thrombus yang dapat menghambat aliran darah melalui pembuluh
tersebut. Karena terjadi hipertensi kronik dan hipertrofi ventrikel, maka kebutuhan
oksigen miokardium tidak dapat dipenuhi dan dapat terjadi iskemia jantung yang
menyebabkan infark. Demikian juga, hipertrofi trikel dapat menimbulkan
perubahan-perubahan waktu hantaran listrik saat melintasi ventrikel sehingga
terjadi disritmia, hipoksia jantung, dan peningkatan risiko pembentukan bekuan
darah. Ven
3) Gagal Ginjal
Dapat terjadi gagal ginjal karena kerusakan progresif akibat tekanan tinggi pada
kapiler-kapi ler glomerulus. Dengan rusaknya glomerulus, da rah akan mengalir
ke unit unit fungsional ginjal, neu ron akan terganggu, dan dapat berlanjut
25

menjadi hipoksik dan kematian. Dengan rusaknya mem bran glomerulus, protein
akan keluar melalui urine, sehingga tekanan osmotic koloid plasma berkurang.
Hal ini menyebabkan edema yang sering dijumpai pada hipertensi kronik.

4) Ensefalopati
Ensefalopati (kerusakan otak) dapat terjadi terutama pada hipertensi maligna
(hipertensi yang meningkat cepat). Tekanan yang sangat tinggi akibat kelainan ini
menyebabkan peningkatan tekanan kapiler dan mendorong cairan ke dalam ruang
intertisium di seluruh susunan saraf pusat. Akibatnya, neuron-neuron di sekitarnya
menjadi kolaps dan terjadi koma serta kematian. Wanita dengan PIH dapat
mengalami kejang. Bayi yang lahir mungkin memiliki berat lahir rendah akibat
perfusi plasenta yang tidak memadai. Bayi juga dapat mengalami hipoksia dan
asidosis apabila ibu mengalami kejang selama atau sebelum proses persalinan.
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Strategi Pencarian


3.1.1 Desain penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian dengan metode studi
kepustakaan atau literature review. Literature review berisi uraian
tentang teori, temuan dan bahan penelitian lain yang diperoleh dari
bahan acuan untuk dijadikan landasan kegiatan penelitian (Hasibuan,
Zainal A. 2007)..
Uraian dalam literature review ini diarahkan untuk menyusun
kerangka pemikiran yang jelas tentang pemecahan masalah yang
sudah diuraikan dalam sebelumnya pada perumusan masalah.
Literature review berisi ulasan, rangkuman, dan pemikiran penulis
tentang beberapa sumber pustaka (dapat berupa artikel, buku, slide,
informasi dari internet, dan lain-lain) tentang topik yang dibahas, dan
biasanya ditempatkan pada bab awal. Hasil-hasil penelitian yang
dilakukan oleh peneliti lain dapat juga dimasukkan sebagai
pembanding dari hasil penelitian yang akan dicobakan disini. Semua
pernyataan dan/atau hasil penelitian yang bukan berasal dari penulis
harus disebutkan sumbernya, dan tatacara mengacu sumber pustaka
mengikuti kaidah yang ditetapkan. Suatu literature review yang baik
haruslah bersifat relevan, mutakhir (tiga tahun terakhir), dan memadai.
Menurut Yudi Agusta, PhD (2007) mengenai Metode Penelitian :
“Literature Review is a critical analysis of the research conducted on a
particular topic or question in the field of science” yang artinya
Literature Review merupakan analisa kritis dari penelitian yang
sedang dilakukan terhadap topik khusus atau berupa pertanyaan
terhadap suatu bagian dari keilmuan. Literature Review membantu
kita dalam menyusun kerangka berfikir yang sesuai dengan teori,
temuan, maupun hasil penelitian sebelumnya dalam menyelesaikan
rumusan masalah pada penelitian yang kita buat.

26
27

Literature review dapat diartikan sebagai uraian tentang teori, temuan,


dan bahan penelitian lainnya yang diperoleh dari bahan acuan untuk
dijadikan landasan kegiatan penelitian untuk menyusun kerangka
pemikiran yang jelas dari perumusan masalah yang ingin diteliti.

3.1.2 Fokus penelitian


Fokus penelitian yang diambil dalam proposal ini adalah Pengaruh
durasi tidur pendek terhadap Hipertensi

3.1.3 Frame yang digunakan


PICOS framework di gunakan dalam strategi pencarian jurnal
tersebut.
a. Populasi atau problem : populasi yang akan menganalisis masalah.
b. Intervention : tindakan Intervensi atau pelaksaan pada kasus terjadi
serta penjelasannya.
c. Comparation: pembanding dari penatalaksanaan lain.
d. Outcome: suatu hasil dari penilitian.
e. Study desain: model penelitian yang digunakan untuk di review

3.1.4 Kata kunci


Dalam pencarian jurnal menggunakan kata kunci (AND,OR NOT or
AND NOT) yang dipakai untuk lebih detail lagi dalam pencarian
jurnal dan dapat mempermudah pencarian jurnal yang diinginkan.
Kata kunci yang di gunakan adalah: Pengaruh kualitas tidur terhadap
hipertensi, Hipertensi
28

3.1.5 Data base atau Search engine


Data sekunder merupakan data yang digunakan dalam penelitian ini.
Dimana data yang didapatkan tidak langsung terjun pengawasan atau
penelitian, tetapi mengambil dari data penelitian terdahulu yang telah
dilaksanakan. Sumber data yang digunakan yaitu menggunakan data
base: Mendeley.com yang berupa artikel atau jurnal.

3.2 Kriteria insklusi dan eksklusi

Tabel 3. 1 Kriteria Inklusi dan Eksklusi dengan Format PICOS

Kriteria Inklusi Eksklusi


Problem Jurnal nasional dari database Jurnal nasional dan
yang sama dan berkaitan internasional dari database
dengan variable penelitian yang sama dan tidak ada
yakni Pengaruh durasi tidur kaitan dengan variabel
pendek terhadap Hipertensi penelitian
Intervention Tidak ada intervensi Ada intervensi
Comparation Tidak ada faktor Ada faktor pembanding
pembanding
Outcome Adanya pengaruh dan Tidak ada pengaruh dan
keterkaitan antara durasi keterkaitan antara
tidur pendek dengan Hubungan tidur pendek
Hipertensi dengan Hipertensi
Study Design Cross sectional, deskriptif Selain cross sectional,
analitik, deskriptif deskriptif analitik dan
korelasional deskriptif korelasional
Tahun Terbit Jurnal yang terbit pada Jurnal yang terbit sebelum
tahun 2018 sampai 2021 tahun 2018
Bahasa Bahasa Indonesia Selain Bahasa Indonesia
29

3.2.1 Hasil pencarian dan Seleksi studi


Dari hasil pencarian literature review melalui data base
Mendeley.com, yang menggunakan keyword “Pengaruh kualitas tidur
terhadap hipertensi” AND “Hipertensi” dalam pencarian peneliti
menemukan 90 jurnal dan kemudian jurnal tersebut di seleksi, ada 57
jurnal di eksklusi karena artikel yang terkait tidak sesuai dengan topik
dan variabel penelitiannya tidak sesuai. penilitian kelayakan dari 33
jurnal tersisa, didapatkan adanya kelayakan inklusi sehingga
dilakukannya eksklusi dan didapatkan 2 jurnal yang dilakukan review.

Pencarian menggunakan keyword


melalui database Mendeley.com
(N = 90)

jurnal di eksklusi karena artikel


yang terkait tidak sesuai dengan
topik dan variabel penelitiannya Exctuded : 31
tidak sesuai. (N = 57)
Problem/populasi

- Tidak sesuai dengan topic


(N=13)
Outcome
penilitian kelayakan dari 33 jurnal
tersisa, didapatkan adanya - Tidak ada hubungan
kelayakan inklusi sehingga (N=18)
dilakukannya eksklusi

Jurnal akhir yang dapat dianalisis


sesuai rumusan masalah dan Extuded :
tujuan (N = 2)
Rumusan masalah N = 0
Tujuan penelitian
N=0
30

3.2.2 Artikel hasil pencarian


Literatur review yang digunakan dikelompokan data – datanya yang
sejenis sesuai dengan hasil yang dinilai untuk menjawab tujuan
dengan menggunakan metode naratif. Jurnal yang sudah sesuai
dengan inklusi dikumpulkan menjadi satu dan diringkas meliputi
nama peneliti, tahun terbit, judul, metode dan hasil penelitian serta
database.
31

Metode (Desain,
Volume/ Sampel,
No Author Tahun Judul Hasil penelitian
Angka Instrumen,
Analisis

1. Santi Martini , 2018 14 Pola Tidur yang D: Analitik Hasil penelitian menggunakan
Shofa Roshifanni, Buruk uji statistik regresi logistik
S: Simple random
Fanni Marzela Meningkatkan menunjukkan (p=0,000;
sampling
Risiko Hipertensi OR=9,022) artinya pola tidur
V: Variabel bebas memiliki pengaruh paling besar
yaitu “Pola Tidur” terhadap kejadian hipertensi
dan variabel dibandingkan dengan umur dan
terikatnya yaitu jenis kelamin. Kekuatan
“Hipertensi” pengaruh pola tidur responden
menunjukkan bahwa responden
I: Kuesioner
yang memiliki pola tidur yang
A: Uji statistik buruk memiliki risiko 9,022 kali
regresi logistic lebih besar terserang hipertensi
multivariat dibandingkan dengan yang
memiliki pola tidur baik. Pola
32

tidur buruk antara lain gangguan


tidur, kualitas tidur yang buruk,
dan durasi tidur yang pendek.
Rekomendasi yang diberikan
kepada responden yang
memiliki pola tidur buruk harus
memperbaiki pola tidur dengan
gaya hidup yang sehat yaitu
tidur sesuai kebutuhan dan
menjaga pikiran supaya tidak
mengalami tekanan karena stres
yang berlebih

2. Grouse Oematan, 2021 4 Durasi tidur dan A : Analitik Hasil: Penelitian ini menemukan
Gustaf Oematan aktivitas sedentari hubungan antara durasi tidur
D: case control
sebagai faktor risiko pendek (p<,001) dan aktivitas
hipertensi obesitik S: Purposive sedentary (p<0,05) dengan
pada remaja sampling hipertensi obesitik. Remaja
dengan durasi tidur yang kurang
33

V: Variabel bebas dari 8 jam per hari berisiko 5,48


yaitu “Durasi kali untuk mengalami hipertensi
tidur”, “Aktivitas obesitik. Sementara itu remaja
sedentari” dan dengan aktivitas sedentari lebih
variabel terikatnya dari 6 jam per hari memiliki
yaitu “Hipertensi risiko 2,27 kali untuk
obesitik” mengalami hipertensi obesitik.

I: Standarisasi
antropometri dan
Wawancara

A: Chi Square
34
DAFTAR PUSTAKA

Martini, S., Roshifanni, S., & Marzela, F. (2018). Pola Tidur yang Buruk
Meningkatkan Risiko Hipertensi. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia,
14(3).
Oematan, G., & Oematan, G. (2021). Durasi tidur dan aktivitas sedentari sebagai
faktor risiko hipertensi obesitik pada remaja Sleep duration and sedentary
activity as a risk factor for obesity hypertension in adolescents. Ilmu Gizi
Indonesia, 4(2), 147–156.
Abdurrochman. Konsep tidur
Ardiansyah, Muhamad. (2012). MEDIKAL BEDAH UNTUK MAHASISWA.
Yogyakarta: DIVA Press
Syafnidawaty. (2020). LITERATURE REVIEW
Tersedia di : https://raharja.ac.id/2020/10/13/literature-review/
(diakses pada tanggal 9 januari 2022)

Anda mungkin juga menyukai