Anda di halaman 1dari 58

BAB II

FILSAFAT DAN FILSAFAT PANCASILA

Pendahuluan
Banyak anggapan bahwa filsafat itu ilmu paling sukar
dipelajari, sehingga belajar filsafat akan bisa memusingkan
pikiran seseorang. Filsafat dipandang sebagai pelajaran tingkat
tinggi, sehingga pengkajinya pun harus memiliki IQ tinggi.
Apalagi ada pandangan bahwa filsafat itu haram dipelajari,
karena filsafat akan mendangkalkan akidah seseorang. Akibatnya,
pelajaran filsafat dianggap berbahaya dan menakutkan, sehingga
filsafat harus dijauhkan dari kehidupan seorang pelajar. Faktanya
memang demikian. Filsafat menjadi momok bagi para pelajar.
Karenanya, kuantitas penekun filsafat sangat minim sekali.
Sebenarnya, semua anggapan tersebut keliru. Filsafat
bukanlah ilmu sulit, tetapi ilmu mudah. Filsafat menjadi sulit
dipelajari karena, sedikitnya tiga alasan berikut. Pertama.
Seseorang tidak memiliki positif thinking sebelum mempelajari
filsafat. Biasanya, sebelum mulai mempelajari filsafat, seseorang
sudah memiliki negatif thinking bahwa filsafat itu sangat susah
dipelajari. Anggapan tersebut pun tertanam sangat kuat di dalam
jiwanya, dan pada akhirnya, orang tersebut akan yakin bahwa ia
tidak akan mampu memahami pelajaran filsafat. Jadi, sikap
pesimis ini membuat pelajaran filsafat menjadi sulit. Karena itu,
seseorang seharusnya memiliki sifat optimis dan yakin akan
mampu memahami pelajaran filsafat, meskipun ia belum
mempelajarinya. Kedua. Seseorang tidak mempelajari filsafat
secara langsung kepada filosof atau ahli filsafat. Padahal agama
mengajarkan bahwa seseorang harus menanyakan sebuah

16
persoalan langsung kepada ahlinya, bukan kepada yang bukan
ahlinya. Logis sekali bahwa tidak akan mungkin filsafat akan
dimengerti secara baik, jika seseorang tidak berguru langsung
kepada filosof atau ahli filsafat. Selama ini, seseorang sulit
memahami pelajaran filsafat karena orang tersebut tidak berguru
langsung kepada ahlinya. Banyak kasus bahwa sekelompok
mahasiswa mempelajari filsafat dari seorang dosen non-filosof.
Artinya, dosen tersebut tidak menguasai materi filsafat secara
baik, atau filsafat bukan menjadi spesialisasi keilmuannya. Terang
saja, para mahasiswa akan sulit memahami filsafat. Ketiga. Filsafat
tidak diajarkan kepada seseorang sejak dini. Kurikulum
pendidikan telah mengkhususkan pelajaran filsafat hanya kepada
pelajar tingkat tinggi, yaitu mahasiswa. Jadi, filsafat sama sekali
tidak pernah dikenalkan kepada pelajar tingkat dasar dan
menengah. Akibatnya, setelah mereka menjadi seorang
mahasiswa, mereka tidak memiliki kesiapan mental dan
intelektual ketika mereka mulai mempelajari filsafat. Karena itu,
perbaikan kurikulum tampaknya mutlak diperlukan, agar
pelajaran filsafat bisa dan mulai diberikan kepada pelajar tingkat
dasar dan menengah, meskipun sebatas pengenalan umum
semata. Sekali lagi, filsafat itu mudah dipelajari dan tidak sulit jika
dipelajari secara baik dan benar.
Pada dasarnya, filsafat sebagai ilmu rasional tentang segala
keberadaan, juga tidak haram dipelajari oleh umat beragama, jika
filsafat dipelajari secara baik dan benar, karena filsafat mampu
memperkokoh keberagamaan seseorang. Literatur primer Islam,
al-Quran dan hadis, bahkan memerintahkan umat Islam
mempelajari filsafat. Pernyataan ini didasari oleh beberapa
argumen. Pertama. Allah SWT. memerintahkan umat Islam
mendayagunakan potensi akalnya. Kedua. Allah SWT. memurkai

17
orang-orang yang tidak menggunakan rasionya,1 dan
merendahkan derajat mereka bahkan lebih rendah dari derajat
hewan ternak sekalipun.2 Ketiga. Allah SWT. menyeru umat Islam
memperoleh filsafat, karena filsafat merupakan karunia terbesar
dari Allah SWT, dan berfilsafat menjadi karakter dari sosok ulu al-
albab.3 Keempat. Allah SWT. memerintahkan umat Islam
mendakwahkan agama Islam secara rasional (bi al-hikmah).4
Karena itu, tidak ada alasan menjauhi filsafat, dan pandangan
bahwa filsafat itu haram dipelajari, tidak bisa diterima
kevalidannya.
Tegasnya, filsafat itu tidak sulit dipelajari. Belajar filsafat
tidak membuat pusing pikiran seseorang, apalagi sampai stres.
Pembahasan filsafat juga tidak memputar-putar pikiran
seseorang, sehingga pikirannya menjadi bingung. Tetapi, tidak
mempelajari filsafat memang bisa membuat hidup orang menjadi
sukar dan pikirannya akan menjadi pusing dalam menjalani
kehidupan ini. Sebab, orang tersebut tidak terbiasa
mengaktualkan potensi akalnya, sehingga akalnya menjadi beku.
Orang tersebut pasti akan bimbang menghadapi masalah
hidupnya. Pikiran orang tersebut juga bisa diputar-putar oleh
segala permasalahan hidup, sehingga orang tersebut menjadi
bimbang. Belajar filsafat secara baik dan benar bahkan bisa
membuat IQ seseorang menjadi superior, kendati awalnya IQ
orang tersebut tergolong rata-rata. Sekali lagi, belajar filsafat
sangat penting.
Uraian-uraian berikut ini akan membahas hakikat filsafat.
Secara khusus, bagian ini membahas definisi filsafat, metode

1
Q.S. Yunus/10: 100.
2
Q.S. al-A‘raf/7: 179.
3
Q.S. al-Baqarah/2: 269.
4
Q.S. al-Nahl/16: 125.

18
meraih kebijaksanaan, ciri berpikir filosofis, lingkup kajian filsafat,
dan manfaat filsafat. Tulisan ini tentu saja tidak berpretensi
membahas filsafat secara rinci dan tuntas, karena uraian tentang
hakikat filsafat ini hanya sebatas pengenalan umum belaka.
Dalam uraiannya, tulisan ini menggunakan tiga
pendekatan yaitu pendekatan normatif, pendekatan filosofis, dan
pendekatan historis. Dalam konteks pendekatan pertama,
masalah-masalah filsafat akan dilihat dari sudut pandang al-
Quran maupun hadis. Dalam konteks pendekatan kedua,
masalah-masalah filsafat akan dibahas menurut pandangan para
filosof. Dalam pendekatan ketiga, masalah-masalah filsafat dilihat
dari sudut pandang sejarah filsafat itu sendiri. Ketiga pendekatan
ini dipandang akan memperkaya analisis tulisan ini.

Definisi Filsafat
Secara etimologi, filsafat berasal dari bahasa Yunani, yaitu
philosphia. Kata ini terdiri atas dua suku kata, philo dan sophia
(sophos). Kata philo berarti cinta, sedangkan sophia bermakna
kebijaksanaan atau ke’arifan.5 Jadi, kata filsafat bermakna cinta
kebijaksanaan.6
Dalam tradisi Islam, kata filsafat tidak dijumpai di dalam
nomenklatur Islam, yaitu al-Qur’an dan hadis. Terang saja, karena
kata filsafat sendiri bukan berasal dari bahasa Arab sebagai
bahasa al-Qur’an dan hadis, tetapi bahasa Yunani, sehingga kata
ini tidak ditemukan dalam kedua sumber ajaran Islam tersebut.

5
Ian Richard Netton, A Popular Dictionary of Islam (USA: Corzon Press,
1997), h. 78-79.
6
John Passmore, “History of Philosophy,” dalam Paul Edwards (ed.), The
Encyclopedia of Philosophy, vol. V (New York: Macmillan Reference, 1996), h. 216;
John Stambaugh, “Philosophy,” dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of
Religion, vol. XII (New York: Macmillan Library, 1995), h. 290.

19
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah agama Islam
memperkenankan pemeluknya mempelajari filsafat?
Kendati kata filsafat tidak dijumpai di dalam al-Qur’an
maupun hadis, namun sinonim dari kata ini bisa ditemukan yaitu
hikmah. Al-Qur’an menyebut kata hikmah sebanyak 20 kali.7 Kata
ini bisa pula ditemukan di dalam beberapa hadis Nabi
Muhammad SAW. Jadi, kata hikmah merupakan sinonim dari kata
sophia. Kedua kata ini bermakna kebijaksanaan atau ke’arifan.
Dengan demikian, substansi filsafat bisa ditemukan di dalam
nomenklatur Islam. Karenanya, agama Islam memperkenankan
para pemeluknya belajar filsafat, jika tidak dikatakan wajib.
Bukti bahwa hikmah identik dengan filsafat didukung oleh
sejumlah kitab tafsir. Misalnya, Kitab al-Shafi karya Mulla Faiz
Kasyani, hikmah diartikan sebagai tahqiq al-‘ilm wa itqan al-‘amal
yaitu membenarkan dengan ilmu dan menyempurnakannya
secara amaliah.8 Dalam tafsir al-Mizan karya Sayyid Muhammad
Husain Thabathaba’i, hikmah diberi makna bi ishlat al-haq bi al ‘ilm
wa al-‘aql, yaitu mengenal kebenaran berdasarkan ilmu dan akal.9
Sedangkan dalam tafsir al-Amtsal karya Nashir Makarim Syirazi,
hikmah berarti al-‘ilm wa al-mantiq, wa al-istidlal, yaitu ilmu, logika,
dan demonstrasi.10 Jelas sekali bahwa para mufassir
mendefinisikan hikmah dengan falsafah.
Dalam sejarah filsafat Islam memang dikenal dua istilah
untuk filsafat, yaitu falsafah dan hikmah. Istilah falsafah memang
lebih populer dibandingkan istilah hikmah. Para filosof Muslim

7
Muhammad Fu’ad Abd al-Baqi, Al-Mu’jam al-Mufahrasy li Alfaz al-
Quran al-Karim (t.t: Maktabah Dahlan, t.t.), h. 271.
8
Mulla Faidz Kasyani, Kitab al-Shafi fi Tafsir al-Quran Juz I (Qom: Dar al-
Kitab al-Islamiyah, 2000), h. 470.
9
Sayyid Muhammad Husain Thabathaba’i, al-Mizan fi Tafsir al-Quran,
Juz XII (Beirut: Muassasat al-Alami li al-Mathbu’at, 1991), h. 372.
10
Nashir Makarim Syirazi, Al-Amtsal fi Tafsir Kitab Allah al-Munzal Juz
VIII (Beirut: Muassasat, 1996), h. 328.

20
periode awal, khususnya kalangan filosof Muslim dari aliran
Peripatetik, lebih cenderung menggunakan istilah falsafah
daripada istilah hikmah. Barangkali, pengaruh dominan tradisi
Yunani membuat mereka lebih suka menggunakan istilah falsafah.
Akan tetapi, ketika al-Ghazali mengkafirkan tiga
pandangan filosof seputar tema-tema filsafat,11 para filosof
Muslim pasca-Ibn Rusyd mulai menggunakan istilah hikmah
sebagai pengganti istilah falsafah. Hal ini lebih disebabkan oleh
kebanyakan ulama Sunni mengharamkan studi filsafat, sehingga
tradisi filsafat mulai mengalami kemunduran secara signifikan.
Padahal, sejumlah intelektual Muslim periode ini masih
memandang penting tradisi filsafat. Karena itulah, agar filsafat
bisa diterima kembali oleh komunitas Muslim, sejumlah filosof
melakukan islamisasi terhadap filsafat. Istilah falsafah pun diganti
dengan istilah hikmah, karena istilah pertama berbau Yunani,
sedangkan istilah kedua lebih bernuansa Islami, karena berasal
dari istilah al-Qur’an dan hadis. Usaha para filosof ini memang
menuai hasil positif, karena mereka mampu menciptakan filsafat
berkarakter Islam dan menghilangkan aroma kuat tradisi Yunani,
walaupun tradisi filsafat Islam pasca-Ibn Rusyd terus mengalami
kemunduran di dunia Sunni, dan hanya berkembang di dunia
Syi’ah.12

11
Lihat al-Ghazali, Tahafut al-Falasifah (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1966), h.
307-308; Idem, Bahaya Aliran Sesat dan Upaya Keluar Dari Kesesatan, terj.
Marzuki Aqmal (Gresik: Putera Pelajar, 2005); M. ‘Umaruddin, The Ethical
Philosophy of al-Ghazali (New Delhi: Adam Publishers & Distributors, 2007), h.
48-50; Idem, Some Fundamental Aspects of Imam Ghazzali’s Thought (New Delhi:
Adam Publishers & Distributors, 2005). Ibn Rusyd menulis kitab Tahafut
Tahafut sebagai kitab sanggahan terhadap kitab karya al-Ghazali Tahafut al-
Falasifah. Lihat Abu al-Walid Muhammad ibn Rusyd, Tahafut al-Tahafut (Kairo:
Dar al-Ma’arif bi al-Mishr, 1968); Idem, Fashl al-Maqal fi ma Bain al-Hikmah wa
al-Syari’ah min al-Ittishal (Kairo: Dar al-Ma’arif, 1972).
12
Oliver Leaman, A Brief Introduction to Islamic Philosophy (Cambridge:
Polity Press, 1999), h. 7; C. A. Qadir, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan Dalam Islam

21
Secara terminologi, para ahli telah memberikan beraneka
definisi filsafat. Berikut ini akan disebutkan sejumlah pandangan
filosof, baik filosof Barat maupun filosof Muslim tentang definisi
filsafat tersebut. Pandangan dari dua kubu tersebut layak
dipahami sebagai perbandingan bagaimana kata filsafat
didefinisikan oleh para filosof masing-masing.
Definisi tertua tampaknya bisa dilihat dari definisi Plato
dan Aristoteles tentang filsafat. Plato mengatakan bahwa filsafat
adalah pengetahuan tentang segala sesuatu. Filsafat dipahami
sebagai pencarian realitas dan kebenaran absolut. Aristoteles
mengatakan bahwa filsafat adalah suatu disiplin yang
memfokuskan kepada pencarian sebab-sebab dan prinsip-prinsip
segala sesuatu. Sebagai tujuan dari filsafat, Neoplatonism
menyebutkan bahwa tujuan filsafat adalah bersatu dengan
Tuhan.13 Dengan demikian, filsafat, menurut para pendiri filsafat
Yunani ini adalah usaha memahami segala sesuatu, baik sebab-
sebab maupun prinsip-prinsipnya, agar diperoleh suatu
pengetahuan hakiki.
Beberapa literatur Barat Modern telah menuliskan definisi
filsafat. Tentu saja definisi dari sejumlah literatur tersebut
mewakili pandangan dunia Barat Modern tentang definisi filsafat.
Beberapa kamus terbitan dunia Barat menyebutkan sejumlah
definisi filsafat, yaitu (1) pencarian kebenaran dan prinsip-prinsip
keberadaan, pengetahuan dan tingkah laku secara rasional.14 (2)

(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1989), h. 104; Muhsin Labib, Para Filosof
Sebelum dan Sesudah Mulla Shadra (Jakarta: Al-Huda, 2005).
13
William L. Reese, Dictionary of Philosophy and Religion: Eastren and
Western Thought (New York: Humanity Books, 1996), h. 573.
14
Barbara Ann Kipfer (ed.), Random House Webster’s College Dictionary
(New York: Random House Reference, 2001), h. 923.

22
sebuah pencarian tentang penyebab dan prinsip-prinsip realitas.15
(3) sebuah studi tentang kebenaran-kebenaran atau prinsip-
prinsip dasar dari segala pengetahuan, keberadaan dan realitas.16
Ketiga definisi filsafat ini menegaskan bahwa filsafat adalah usaha
mencari penyebab dan prinsip-prinsip keberadaan secara rasional.
Definisi dari para filosof Muslim sangat layak
dikemukakan, setidaknya sebagai bahan perbandingan antara
definisi dari periode Barat Klasik dan Barat Modern dengan
definisi dari para filosof Muslim. Seyyed Hossein Nasr menulis
sejumlah definisi filsafat menurut al-Kindi, al-Farabi, Ibn Sina,
Bahmanyar, Ikhwan al-Shafa, dan Mulla Shadra.17 Al-Kindi (w.
865 M) menyatakan bahwa filsafat adalah “pengetahuan tentang
realitas hal-hal yang mungkin bagi manusia, karena tujuan
puncak seorang filosof dalam pengetahuan teoritis adalah untuk
memperoleh kebenaran, dan dalam pengetahuan praktis adalah
untuk berprilaku sesuai dengan kebenaran”. Al-Farabi (w. 950 M)
menulis bahwa filsafat adalah “induk ilmu-ilmu dan mengkaji
segala yang ada”. Ibn Sina (w. 1036 M) menulis bahwa filsafat
adalah “usaha untuk mencapai kesempurnaan jiwa melalui
konseptualisasi atas segala hal dan pembenaran realitas-realitas
teoritis dan praktis berdasarkan kepada ukuran kemampuan
manusia”. Bahmanyar (w. 1066 M) menuliskan bahwa filsafat
adalah “studi tentang wujud-wujud qua wujud-wujud. Tujuan
filsafat adalah pengetahuan tentang wujud-wujud”. Ikhwan al-
Shafa (abad 10-11 M) menyatakan bahwa filsafat adalah

15
Philip Babcokck Gove, Webster’s Third New International Dictionary of
the English Language Unabridged (Massachusetts: G & C Merriam Company,
1966), h. 1698.
16
Grolier, Encyclopedia of Knowledge (Danbury: Brolier Incorporated,
1993), h. 373.
17
Seyyed Hossein Nasr, “The Meaning and Concept of Philosophy in
Islam,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leamen (ed.), History of Islamic
Philosophy (London-NY: Routledge, 2003), h. 22-25.

23
“permulaan filsafat adalah cinta pada ilmu, pertengahannya
adalah pengetahuan tentang realitas wujud sesuai dengan ukuran
kemampuan manusia, dan puncaknya adalah kata dan perbuatan
yang sesuai dengan pengetahuan tersebut”. Mulla Shadra (w. 1640
M) pernah menyatakan bahwa “Filsafat bukan hanya
pengetahuan teoritis dan menjadi sebuah dunia intelijibel yang
mencitrakan dunia intelijibel yang objektif, melainkan juga
keterceraian dari nafsu dan kesucian jiwa dari cemaran-cemaran
materilnya”. Shadra menyatakan pula bahwa “filsafat adalah
suatu upaya penyempurnaan atas jiwa manusia, dan dalam
beberapa hal, atas kemampuan manusia melalui pengetahuan
tentang realitas esensial segala sesuatu sebagaimana adanya, dan
melalui pembenaran terhadap eksistensi mereka yang ditetapkan
atas dasar demonstrasi”.
Berdasarkan beberapa definisi dari para filosof tersebut,
bisa disimpulkan bahwa filsafat dimaknai sebagai ilmu teoritis
yang membahas hakikat realitas secara rasional. Akan tetapi, rasio
bukan menjadi satu-satunya sarana mengenali dan memahami
hakikat realitas tersebut. Sebab, seperti akan dikemukakan
kemudian, realitas tersebut harus dicari, dikenali dan dipahami
secara integratif antara rasio, intuisi dan wahyu. Jadi, rasio, intuisi
dan wahyu harus menjadi “trio-potensi epistemologis” dalam
mencari, mengenali dan memahami hakikat realitas, meskipun
tidak bisa dipungkiri bahwa rasio menjadi sarana akhir bagi
upaya penjelasan terhadap pengetahuan tentang hakikat realitas
tersebut kepada publik.
Apakah setiap pecinta kebijaksanaan, sebesar apapun
cintanya kepada kebijaksanaan tersebut, secara otomatis bisa
dikategorikan sebagai seorang filosof? Tentu saja belum tentu
demikian. Pecinta itu belum bisa disebut sebagai seorang filosof.
Karena, masih banyak kriteria lain agar pecinta itu bisa disebut

24
sebagai seorang filosof. Jadi, cinta kepada kebijaksanaan semata
tidak cukup. Sebab, cinta kepada kebijaksanaan barulah awal dari
filsafat. Pencinta itu baru bisa disebut sebagai filosof, jika ia tidak
saja mencintai kebijaksanaan, tetapi juga berusaha keras mencari,
mengenal, memahami, dan merealisasikan kebijaksanaan tersebut
dalam kesehariannya.

Metode Meraih Kebijaksanaan


Seseorang disebut sebagai seorang filosof jika orang
tersebut tidak saja mencintai kebijaksanaan, sebab cinta
kebijaksanaan barulah modal awal dari berfilsafat, tetapi juga
mencari, mengenal, memahami dan melaksanakan kebijaksanaan
tersebut dalam kesehariannya secara konsisten. Karena itu, ketika
orang tersebut berhasil menemukan, mengenali, memahami dan
mengamalkan kebijaksanaan tersebut, barulah orang tersebut bisa
menyandang gelar filosof. Pertanyaannya, bagaimanakah metode
mendapatkan kebijaksanaan tersebut?
Dalam sejarah intelektual Islam, terdapat lima aliran
intelektual Islam yaitu Teologi, Peripatetisme, Gnosisme,
Illuminasionisme, dan Transendentalisme.18 Kelima aliran ini
telah menyajikan metode meraih kebijaksanaan tersebut. Berikut
akan diulas metode meraih kebijaksanaan perspektif aliran-aliran
intelektual Islam sembari mencari titik beda antara metode filsafat
Barat Modern dengan filsafat Islam. Kebijaksanaan dimaksudkan
sebagai pengetahuan hakiki. Jadi, metode meraih kebijaksanaan
diartikan sebagai metode meraih pengetahuan sejati.

1. Teologi

18
Bandingkan Oliver Leaman, Estetika Islam: Menafsirkan Seni dan
Keindahan, terj. Irfan Abu Bakar (Bandung: Mizan, 2005), h. 257.

25
Secara etimologi, istilah teologi berasal dari bahasa Yunani,
yaitu theos dan logos. Kata theos bermakna Tuhan, dan kata logos
bermakna ilmu atau pengetahuan.19 Dalam bahasa Indonesia,
teologi dimaknai sebagai ‘pengetahuan ketuhanan’.20 Secara
etimologi, istilah teologi memiliki arti ‘pengetahuan mengenai
Tuhan’.21
Secara terminologi, para pemikir Muslim telah memberikan
definisi Kalam. Al-Farabi (w. 950 M) misalnya, mendefinisikan
Kalam sebagai “ilmu yang memungkinkan seseorang untuk
menopang kepercayaan-kepercayaan tertentu dan perbuatan-
perbuatan yang ditetapkan oleh Sang Pembuat Hukum agama
dan untuk menolak opini-opini yang bertentangan dengannya”.22
Ibn Khaldun (w. 1404 M) menjelaskan bahwa ilmu Kalam adalah
“ilmu yang melibatkan argumentasi dengan bukti-bukti rasional
untuk membela rukun-rukun iman dan menolak para ahli bid’ah
yang menyimpang dari kepercayaan kaum Muslim generasi awal
dan ortodoksi Muslim”.23 Muhammad Abduh menyatakan bahwa
teologi adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah dan
sifat-sifat-Nya, baik yang wajib maupun yang mustahil, juga
keberadaan para rasul untuk menguatkan risalah mereka, dan
segala sesuatu yang wajib, yang boleh dan yang tidak boleh

19
Robert Audi, The Cambridge Dictionary of Philosophy (Cambridge:
Cambridge University Press, 1995), h. 910.
20
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, cet. 3 (Jakarta: Balai
Pustaka, 2003), h. 1177.
21
Gerald O’collins dan Edward G. Farrugia, Kamus Teologi terj. I. Suharyo
(Yogyakarta: Kanisius, 1991), h. 314.
22
Lihat Abu Nashr al-Farabi, Ihsha al-‘Ulum (Mesir: Mathba’ah al-Sa’adah,
t.t., 1931).
23
Muhammad Abdel Haleem, “Early Kalam,” dalam Nasr, Seyyed Hossein
& Oliver Leamen (ed.). History of Islamic Philosophy. London-NY: Routledge,
2007.

26
disandarkan kepada mereka.24 Mushlehuddin menyatakan bahwa
teologi diartikan sebagai ilmu yang membahas tentang
keberadaan dan keesaan Tuhan, zat dan sifat-Nya, serta
hubungan-Nya dengan manusia dan alam semesta.25
Dalam tradisi Syi’ah, istilah Ushul al-Din lebih banyak
dipakai dari pada istilah ilmu Kalam. Dalam teologi Syi’ah
dijelaskan bahwa Ushul al-Din berasal dari bahasa Arab, yaitu
ushul artinya dasar atau asas, dan Din artinya syari’at, undang-
undang, dan hukum. Jadi, Ushul al-Din diartikan sebagai ilmu
yang membahas dasar syari’at. Dasar syari’at ada lima, yaitu
Tauhid (keesaan Tuhan), ‘Adalah (keadilan), Nubuwah (kenabian),
Imamah (para imam), dan Ma’ad (hari akhir).26 Tradisi Syi’ah tidak
mengenal istilah rukun iman,27 sebagaimana tradisi Sunni
menggunakan istilah rukun iman tersebut.28
Secara metodologi, aliran Kalam menggunakan metode
seperti metode kaum Peripatetik, yaitu metode deduktif-
silogistik.29 Karena itu, aliran ini memandang ilmu logika (‘ilm
mantiq) sangat penting, sebab metode deduktif-silogistik dibahas
secara luas dalam ilmu logika, bahkan metode ini menjadi inti

24
Muhammad Abduh, Risalah Tauhid, terj. Makrom Kholil (Jakarta:
Misaka Galiza, 2005), h. 1.
25
M. Mushlehuddin, Islam: It’s Theology & the Greek Philosophy (New
Delhi: Kitab Bhavan, 2000), h. 28.
26
Lihat Mehdi Mohaghegh (ed.), Al-Bab al-Hadi Ashar lil ‘Allama al-Hilli
(Tehran: Tehran University Press, 1986); Sayyid Mujtaba Musawi Lari, Ushul al-
‘Aqaid fi al-Islam, Juz I-III (Qom: Markaz al-Tsaqafah al-Islamiyah fi ‘Alam, 2000);
Nashir Makarim Syirazi, Lessons About Allah, Justice, Prophet, Leadership
(Imamate), Ressurection, cet. 4 (Qom: Ansariyah Publication, 2004).
27
Yaitu iman kepada Allah SWT., iman kepada para malaikat-Nya, iman
kepada kitab-kitab-Nya, iman kepada para nabi dan rasul-Nya, iman kepada hari
akhir, dan iman kepada qadha dan qadar.
28
Hasan Abu Ammar, Akidah Syi’ah Seri Tauhid: Rasionalisme dan Alam
Pemikiran Filsafat Dalam Islam (Jakarta: Yayasan Mulla Shadra, 2002), h. 37-38.
29
Haidar Bagir, Buku Saku Filsafat Islam (Bandung: ‘Arasy, 2006), h. 83.

27
pembahasan ilmu logika itu sendiri. Metode ini dipakai oleh
kaum teolog demi meraih pengetahuan hakiki (kebijaksanaan).
Secara etimologi, istilah logika berasal dari bahasa Yunani,
logos, yang berarti kata, berbicara, atau alasan.30 Dalam bahasa
Inggris disebut logic, sedangkan dalam bahasa Arab disebut ‘ilm
al-mantiq, yang artinya ilmu tentang berbicara secara rasional.
Kata mantiq berasal dari kata nathaq yang berarti bicara. Dalam
tradisi Islam, selain ‘ilm al-mantiq, ilmu logika dinamai juga ‘ilm al-
mizan.31 Secara umum, logika diartikan sebagai teori tentang tata
cara penyimpulan yang benar.32 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, logika dimaknai sebagai pengetahuan tentang kaidah
berpikir, dan atau jalan pikiran yang masuk akal.33 Pendeknya,
logika diartikan sebagai sebuah ilmu tentang kaedah-kaedah
berpikir secara sistematis dan benar, guna mencapai kebenaran
rasional.
Dalam konteks ini, para teolog dituntut menguasai,
memahami dan mengaplikasikan ilmu logika secara tepat. Sebab,
ilmu ini sangat membantu seorang teolog meraih pengetahuan
yang benar. Jadi, secara metodologis, aliran teologi menggunakan
logika agar bisa memperoleh kebenaran.
Metode deduktif-silogistik ini dibahas secara rinci dalam
ilmu logika, bahkan metode ini menjadi pembahasan paling
penting dalam ilmu logika. Metode ini disebut juga Silogisme.34
Metode ini menjadi contoh tentang cara berpikir deduktif, yaitu
suatu usaha rasio untuk mengambil sebuah keputusan khusus

30
Jean Pepin, “Logos,” dalam Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of
Religion vol. IX (New York: Simon & Schuster Macmillan, 1995), h. 9-15.
31
Thomas Patricks Hughes, Dictionary of Islam (New Delhi: Adam
Publisher & Distributions, 2002), h. 298.
32
Jonathan Ree and J.O. Urmson, The Concise Encyclopaedia of Western
Philosophy (London-New York: Routledge, 2005), h. 211.
33
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 680.
34
Lihat Mundiri, Logika (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2006), h. 99-144.

28
berdasarkan keputusan-keputusan umum terdahulu. Dalam
silogisme, kesimpulan terdahulu harus terdiri atas dua keputusan
(kalimat) saja, salah satu keputusan tersebut harus universal, dan
di antara dua keputusan itu harus ada suatu unsur yang sama-
sama dimiliki oleh kedua keputusan tersebut. Dengan kata lain,
sebuah proses silogisme terdiri atas tiga komponen, yaitu
keputusan pertama yang disebut premis mayor (muqaddimah
kubra), keputusan kedua yang disebut premis minor (muqaddimah
sughra), dan kesimpulan yang disebut konklusi (natijah).
Sedangkan unsur yang sama antara kedua keputusan disebut
term penengah (al-had al-ausath). Premis mayor dan premis minor
harus sebuah keputusan yang kebenarannya tidak diragukan lagi.
Dalam logika, kedua premis itu harus diperoleh secara induktif
maupun deduktif. Cara berpikir induktif adalah suatu usaha
mendapatkan suatu pemahaman umum dari pemahaman-
pemahaman khusus. Sebaliknya, cara berpikir deduktif adalah
usaha mendapatkan sebuah pemahaman khusus dari kesimpulan-
kesimpulan umum.35 Secara sederhana, inilah gambaran umum
tentang metode deduktif-silogistik tersebut.
Walaupun metode Kalam dan Peripatetik sama, namun ada
perbedaan signifkan antara kedua metode aliran tersebut. Jika
dalam Peripatetik proses silogisme didasarkan oleh premis-premis
yang telah disepakati sebagai kebenaran yang tidak perlu
dipersoalkan lagi, maka pada Kalam, premis-premis tersebut
berangkat dari pemahaman baik dan buruk yang didasari kepada
kebenaran-kebenaran keagamaan.36 Dengan kata lain,
Peripatetisme mendasari premis-premisnya dari induksi (akal),

35
M. Sommers, Logika (Bandung: Alumni, 1992); Hasbullah Bakry,
Sistematik Filsafat (Jakarta: Widjaya, 1986), h. 38-48.
36
Murtadha Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, terj. Ibrahim Husain
al-Habsyi, et al. (Jakarta: Pustaka Zahra, 2003), h. 327-329; Bagir, Buku Saku, h.
84.

29
sedangkan Kalam mendasari premis-premisnya dari ajaran-ajaran
Islam (al-Qur‘an dan hadis).37 Jadi, premis-premis kaum
Peripatetik berasal dari kebenaran akliah yang tidak diragukan
lagi keabsahannya. Sedangkan premis-premis kaum teolog berasal
dari kebenaran-kebenaran agama yang tidak perlu dipersoalkan
lagi.

2. Peripatetisme38
Secara etimologi, istilah “Peripatetik” berasal dari bahasa
Yunani, peripatos. Kata ini diartikan sebagai ‘berkeliling, berjalan-
jalan,39 tempat berlindung, tempat bersembunyi, tempat berjalan-
jalan, dan/atau percakapan sambil berjalan-jalan’.40 Dalam bahasa
Arab, aliran ini dinamai Masysya’iyah. Sedangkan pengikutnya
disebut Masysya’iyin. Kata ini berasal dari kata kerja masya-yamsyi-
masyyan wa timsya’an, artinya ‘jalan-jalan’, atau melangkahkan
kaki dari satu tempat ke tempat lain, baik cepat maupun lambat.41
Penamaan Masysya’iyin ini tampaknya dipengaruhi oleh
pemahaman terhadap makna kata peripatos sebagai berjalan-jalan.
Istilah ini dikenal sebagai julukan bagi pengikut ajaran Aristoteles.
Dalam pemahaman ini, aliran Aristoteles dijuluki sebagai
Peripatetik (masysya’iyin), karena filosof Yunani ini mengajarkan

37
Amsal Bakhtiar, Filsafat Agama (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1999), h.
22.
38
Seputar biografi dan pemikiran filosof Peripatetik Muslim lihat Seyyed
Hossein Nasr & Oliver Leamen (ed.), History of Islamic Philosophy (London-NY:
Routledge, 2007); M.M. Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, Vol. 1-2
(Delhi: Adam Publisher & Distributors, 2001); Henry Corbin, History of Islamic
Philosophy (London: Kegan Paul, 1983).
39
Majid Fakhry, “al-Masyaiyah al-Qadiman,” dalam Ma’in Ziyadah (ed.), al-
Mausu’ah al-Falsafiyah al-‘Arabiyyah, Jilid I (t.t.p.: Ma’had al-Inma’ al-‘Arabi,
1988), h. 1274.
40
Reese, Dictionary of Philosophy, h. 564.
41
Louis Ma’luf, al-Munjid fi al-Lughah wa al-A’lam cet. 29 (Beirut: Dar
Masyriq, 1997), h. 764.

30
filsafat kepada para muridnya sambil berjalan-jalan. Karena itu,
pengikut ajarannya dinamai masysya’iyah. Muthahhari menolak
pandangan bahwa madzhab Aristoteles disebut sebagai
Peripatetik hanya karena didasari oleh metode Aristoteles
tersebut. Aristotelianisme disebut sebagai kaum Peripatetik bukan
karena Aristoteles memiliki kebiasaan mengajar sambil berjalan
mondar-mandir. Kata masysya (peripatetik), kendati berarti jalan-
jalan, hanyalah semata-mata sebuah nama, dan sama sekali tidak
memiliki kaitan dengan metode filsafat Aristoteles, sebab metode
filsafatnya adalah metode argumentasi (istidlal). Karena itu, bila
ingin menggunakan suatu kata yang sesuai dengan pengertian
metode filsafat Aristoteles, maka semestinya menyebut metode
tersebut dengan metode argumentasi, bukan metode Peripatetik.42
Pandangan ini menegaskan bahwa Peripatetik sama sekali tidak
berkaitan dengan metode filsafat Aristoteles, tetapi tempat
mengajar filosof Yunani ini.
Ajaran Aristoteles dikembangkan oleh sejumlah filosof
Muslim. Karena itulah, mereka disebut pula sebagai kaum
Peripatetik. Kaum Peripatetik Muslim dimaksud seperti al-Kindi,
al-Farabi, Ibn Sina, dan Ibn Rusyd. Para filosof ini dipengaruhi
oleh ajaran Aristoteles, karenanya, mereka disebut sebagai
masysya’iyah (kaum Peripatetik), sebagaimana guru mereka,
Aristoteles. Akan tetapi, Peripatetisme Muslim tidak hanya
mengembangkan Aristotelianisme semata, sebab para filosof
Peripatetik Muslim melakukan harmonisasi antara
Aristotelianisme, Platonisme, Plotinus, dan ajaran Islam. Kendati
begitu, mereka tetap dikatakan sebagai kaum Peripatetik, karena
peran mereka sebagai pelestari ajaran Aristoteles. Dari sini bisa
dipahami bahwa mereka disebut sebagai kaum Peripatetik
Muslim bukan karena mereka memiliki metode mengajar sambil
42
Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. 317.

31
berjalan-jalan, sebab mereka tidak pernah mengajar dengan cara
seperti itu.
Peripatetisme dikenal sebagai aliran sintesis antara syari’at
Islam, Aristotelianisme dan Neo-Platonisme.43 Ketiga komponen
ini berhasil diharmoniskan oleh para filosof Peripatetisme.
Dengan demikian, Peripatetisme Islam bukan hanya masya’iyah
dalam makna Aristotelian (baca: filsafat Yunani), tetapi lebih
merupakan kombinasi antara prinsip-prinsip Islam dengan
Aristotelian dan Neo-Platonik sekaligus.44 Dalam karya-karya
filsafat Peripatetis, betapa ajaran-ajaran ketiga tradisi itu saling
berjalin kelindan.
Aliran Peripatetik (hikmah al-masysya’iyah) disebut juga
hikmah al-bahtsiyah.45 Penamaan ini dilatari oleh argumen bahwa
aliran ini bertumpu kepada silogisme (qiyas), argumentasi rasional
(istidlal aqli), dan demonstrasi rasional (burhan aqli).46 Jadi, secara
epistemologis, aliran Peripatetik ini menggunakan metode
deduktif–silogistik.47 Jelas sekali bahwa, seperti kaum teolog,
aliran ini sangat bertumpu kepada ilmu logika (‘ilm mantiq),
karena ilmu ini membahas metode deduktif-silogistik tersebut.
Secara etimologi, logika berasal dari bahasa Yunani, logos,
yang berarti kata, berbicara, atau alasan.48 Dalam bahasa Inggris
disebut logic, sedangkan dalam bahasa Arab disebut mantiq,
artinya ilmu tentang berbicara secara rasional. Kata mantiq berasal

43
Seyyed Hossein Nasr, Intelektual Islam: Teologi, Filsafat, dan
Spiritualitas, terj. Suharsono dan Djamaluddin MZ (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
1996), h. 33.
44
Seyyed Hossein Nasr, Menjelajahi Dunia Modern, terj. Hasti Tarekat
(Bandung: Mizan, 1994), h. 87.
45
Muhammad Sa’id Shaikh, Kamus Filsafat Islam, terj. Machnun Husain
(Jakarta: Rajawali Press, 1991), h. 62.
46
Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. 326.
47
Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, h. 83.
48
Audi (ed.), The Cambridge Dictionary of Philosophy, h. 9-15.

32
dari kata nathaq yang berarti bicara. Dalam tradisi Islam, selain
‘ilm al-mantiq, ilmu logika dinamai juga sebagai ‘ilm al-mizan.49
Secara umum, logika diartikan sebagai teori tentang tata cara
penyimpulan yang benar.50 Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, logika dimaknai sebagai pengetahuan tentang kaidah
berpikir, dan atau jalan pikiran yang masuk akal.51 Jadi, logika
adalah sebuah ilmu tentang kaedah-kaedah berpikir secara
sistematis dan benar, guna mencapai kebenaran rasional.
Dalam konteks ini, penekun filsafat Peripatetik harus
mampu menguasai, memahami dan mengaplikasikan ilmu logika
secara tepat. Sebab, ilmu ini sangat membantu seorang filosof
Peripatetik meraih pengetahuan yang benar. Jadi, secara
metodologis, Peripatetisme menggunakan ilmu logika agar bisa
memperoleh kebenaran.
Dengan demikian, kaum Peripatetik menggunakan metode
deduktif-silogistik. Metode ini telah dibahas secara rinci dalam
ilmu logika, bahkan metode ini menjadi pembahasan paling
penting dalam ilmu logika. Metode ini dipakai oleh kaum
Peripatetik demi meraih pengetahuan hakiki (kebijaksanaan).
Kendati metode kaum Peripatetik sama dengan metode kaum
teolog, namun metode kedua aliran ini tetap bisa dibedakan
seperti telah dijelaskan terdahulu.

3. Gnosisme (Tashawuf/’Irfan)52

49
Hughes, Dictionary of Islam, h. 298.
50
Barbara Ann Kipfer, Random House Webster’s College Dictionary (New
York: Random House Reference, 1999), h. 730; Sudarsono, Kamus Filsafat dan
Psikologi (Jakarta: Rineka Cipta, 1993), h. 141-142.
51
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 680.
52
Sejarah dan tokoh ‘irfan/tasawuf lihat Leonard Lewishon (ed.), The
Heritage of Sufism: Classical Persian Sufism from It’s Origins to Rumi (700-1300),
vol. I (Oxford: One World, 1993); Abi ‘Abd Rahman al-Sulami, Thabaqat
Shufiyyah (Kairo: al-Nasyr Maktabah al-Khanaji, 1986); Annemarie Schimmel,

33
Dalam Islam, ada dua istilah yang digunakan sebagai
maksud dari Gnosisme (mistisisme Islam), yaitu tashawuf dan
‘irfan. Kedua istilah ini memiliki beberapa perbedaan, seperti
dijelaskan berikut ini.
Dalam konteks istilah tasawuf, ada beberapa pendapat
tentang asal-usul istilah tasawuf (atau sufi) yaitu suf, Ahl al-Suffah,
Saf, Sufi, Sophos, Shafa, dan Shaufanah.53 Secara terminologi,
sejumlah sufi memberikan definisi tasawuf. Al-Kalabazi
menyebut sejumlah definisi tasawuf menurut para sufi.54
Menurutnya, al-Junaid mengatakan bahwa tasawuf adalah
“memurnikan hati dari berhubungan dengan makhluk lain,
meninggalkan sifat-sifat alamiah, menekan sifat-sifat manusiawi,
menghindari godaan jasmani, mengambil pelbagai sifat ruh,
mengingatkan diri kepada ilmu-ilmu hakikat…sungguh-sungguh
beriman kepada tuhan dan mengikuti syari’at Nabi Muhammad
SAW.” Sahl Abd Allah al-Tustari menyebut sufi (ahli tasawuf)
adalah orang yang bersih dari ketidakmurnian dan selalu
merenung, memutuskan hubungan dengan manusia lain demi
mendekatkan diri kepada Allah…”. Al-Qusyairi merangkum
sejumlah definisi para sufi tentang tasawuf. Menurutnya, Ma’ruf
al-Karkhi menyebutkan bahwa tasawuf adalah “mengambil
hakikat dan berputus asa dari segala sesuatu milik makhluk”.

Mystical Dimension of Islam (Chape Hill: The University of North Carolina Press,
1975), h. 23-290.
53
Lihat al-Kalabadzi, Al-Ta’aruf li Mazhahib Ahl al-Tasawuf (Kairo: t.p.,
1970), h. 25-32; Abu al-Qasim Abd al-Karim Hawazin al-Qusyairi al-Naisaburi,
Risalah Qusyairiyah: Sumber Kajian Ilmu Tasawuf, terj. Umar Faruq (Jakarta:
Pustaka Amani, 1998), h. 414-420; Titus Burchardts, An Introduction to Sufi
Doctrine, trans. D.M. Matheson (Lahore: SH. Muhammad Ashraf, 1973), h. 3; Idris
Shah, Jalan Sufi, terj. Karsidjo Djodjosuwarno (Jakarta: Pustaka Jaya, 1985);
Harun Nasution, Falsafah dan Mistisisme dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1978), h. 56-61; Muhammad Sholihin dan Rosihon Anwar, Kamus Tasawuf
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002), h. 209.
54
Al-Kalabadzi, Al-Ta’aruf li Mazhahib Ahl al-Tasawuf, h. 25-32.

34
Ahmad bin Muhammad al-Ruzabari menyatakan bahwa tasawuf
adalah “kebersihan hati yang dekat kepada Allah adalah setelah
jauh dari Allah karena kotoran dosa”. Al-Syibli mengatakan
tasawuf adalah “duduk bersama Allah tanpa merasa sedih sedikit
pun”. Sedangkan Zunnun al-Mishri menyatakan bahwa sufi (ahli
tasawuf) adalah orang-orang yang mengutamakan Allah daripada
lainnya, sehingga Allah lebih mengutamakan mereka dari
lainnya”.55 Dalam bahasa Indonesia, tasawuf berarti “ajaran dan
cara untuk mengenal dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.,
sehingga memperoleh hubungan langsung secara sadar dengan-
Nya.” Sedangkan ahli tasawuf disebut sufi.56
Dalam konteks makna ‘Irfan, bahwa kata ‘Irfan berasal dari
kata kerja lampau ‘arafa, yang bermakna ‘mengetahui’. ‘Irfan
diartikan juga sebagai pengetahuan dan ma’rifat. ‘Irfan sangat
berkaitan dengan filsafat. Hal ini karena ahli ‘irfan menyatakan
bahwa pengalaman mistis bukan hanya dirasakan oleh hati saja,
melainkan harus bisa dirasionalkan. ‘Irfan memiliki
kecenderungan menguak rahasia batin melalui ajaran-ajaran Ahl
al-Bait Nabi Muhammad SAW., yaitu para Imam Syi’ah 12 Imam.
Secara etimologis, Ibn Sina, seperti dikutip Labib, menyatakan
bahwa ‘irfan adalah “memisahkan diri dari semua kesibukan
kepada selain Allah SWT. sampai menjadi fana’ dan meleburkan
diri bersama Ilahi, sehingga bisa berperilaku sesuai akhlak Ilahi
dan mencapai hakikat tunggal, sehingga akhirnya mencapai
kesempurnaan”.57 Nashir al-Din al-Thusi, sebagaimana
dinyatakan Labib, mengartikan ‘irfan sebagai “ilmu tentang Allah
SWT. dari dimensi asma, sifat dan tajalli-Nya… ilmu tentang

55
Al-Qusyairi, Risalah Qusyairiyah, h. 414-420.
56
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 1097, 1147.
57
Muhsin Labib, Mengurai Tasawuf, ‘Irfan, dan Kebatinan (Jakarta:
Lentera, 2005), h. h. 33.

35
usaha melepaskan diri dari segala keterikatan materi yang
membelenggu seorang salik saat menyatu dengan Allah SWT., dan
ilmu tentang berperilaku sesuai dengan sifat-sifat-Nya”.58 Para
ahli ‘irfan berusaha menyatukan diri dengan-Nya dan berakhlak
seperti akhlak-Nya, dan semua ini diperoleh melalui suluk,
musyahadah al-qalbiyah (penyaksian hati), dan tajaribah bathiniyah
(perjalanan batin), karenanya metode tazkiyah al-nafs (penyucian
jiwa) menjadi sangat penting. Akan tetapi, sebagai perbedaan
dengan tasawuf, ‘irfan menjadikan filsafat rasional sebagai sarana
menjelaskan pengalaman mistis tersebut, karena menurut ‘irfan,
pengalaman mistis tidak boleh hanya dirasakan oleh hati semata,
tetapi harus bisa dibuktikan keabsahannya secara rasional.
Kedua kata ini, tasawuf dan ‘irfan, dikenal sebagai kata
yang menunjukkan mistisisme Islam. Bedanya, kata tasawuf
hanya dipakai bagi mistisisme Sunni. Sedangkan kata ‘irfan
dipakai untuk menyebut mistisisme Syi’ah.59 Sunni dan Syi’ah,
sebagai dua kubu aliran teologi, mengembangkan corak
mistisisme, yang kendati ada titik perbedaan-perbedaan,
keduanya juga memiliki persamaan-persamaan.
Secara umum, kaum sufi hanya bertumpu kepada metode
penyucian jiwa (tazkiyah al-nafs) semata, bukan bertumpu kepada
argumentasi dan demonstrasi rasional seperti kaum Peripatetik.60
Mereka melakukan perjalanan ruhani guna mendekatkan diri
kepada Allah SWT. sehingga mereka bisa mengetahui, bahkan
sampai kepada hakikat.61 Dengan kata lain, aliran ini
menggunakan metode intuitif (eksperensial). Aliran ini menolak
penggunaan argumentasi rasional, sembari meyakini bahwa kaki

58
Ibid., h. 33.
59
Ibid., h. 30.
60
Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. 327.
61
Ibid.

36
kaum rasionalis sebagai terbuat dari kayu rapuh.62 Bagi aliran ini,
pengetahuan sebagai hasil penyingkapan intuisi lebih unggul
daripada pengetahuan sebagai hasil olah akal, sehingga
pengetahuan para sufi sebagai hasil dari penyingkapan yang
dicapai mereka lebih unggul dari pengetahuan filosof sebagai
hasil dari silogisme akal.63 Demikian cara kaum sufi meraih
kebijaksanaan.
Secara umum, tasawuf Islam dibagi menjadi dua aliran,
yakni tasawuf sunni (tasawuf dualistik) dan tasawuf falsafi
(tasawuf monistik). Sementara tasawuf Sunni dibagi pula menjadi
dua, yakni tasawuf akhlaki dan tasawuf amali. Aliran tasawuf
akhlaki tidak terlembagakan. Aliran tasawuf model ini hanya
berisi ajaran-ajaran moral. Sementara tasawuf amali
terlembagakan, dan dikenal sebagai tarekat. Sementara tasawuf
falsafi berupaya memadukan visi mistis dan visi rasional. Ajaran-
ajarannya memiliki kedua visi itu. Dalam aliran ini, banyak
terminologi filsafat digunakan. Ajaran tasawuf ini tidak lepas dari
pertemuan antar pelbagai tradisi, baik tradisi Islam, tradisi
Yunani, tradisi Persia, tradisi India, maupun tradisi Kristen.64
Sedangkan ‘irfan dibagi menjadi dua yaitu ‘Irfan Teoritis
dan ‘Irfan Praktis. Ajaran irfan didukung oleh referensi al-Quran,
sunnah Nabi Muhammad SAW. dan para Imam, serta praktik
para sahabat yang utama.65 Pernyataan Imam sebagai referensi
irfan menjadi pembeda antara tasawuf dengan ‘irfan.

62
Fazlur Rahman, Islam (Bandung: Pustaka, 1984) h. 209-210.
63
William C. Chittick, “Ibn ‘Arabi,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver
Leaman (ed.), History of Islamic Philosophy (London-New York: Routledge, 2003),
h. 497-507.
64
A. Rivai Siregar, Tasawuf: Dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2000)
65
Murtadha Muthahhari, Mengenal Tasawuf: Pengantar Menuju Dunia
‘Irfan terj. Mukhsin Ali (Jakarta: Pustaka Zahra, 2002), h. 9, 15.

37
‘Irfan teoritis berusaha memahami eksistensi. ‘Irfan teoritis
berupaya mendefinisikan subjek, prinsip-prinsip dan
problematika-problematika wujud. Ia berusaha menafsirkan
wujud, baik tuhan, alam maupun manusia. ‘Irfan teoritis
mendasarkan deduksinya kepada prinsip-prinsip yang ditemukan
melalui pengalaman mistis, dan kemudian diubah menjadi bahasa
akal untuk menjelaskan pengalaman mistis tersebut. Dalam
konteks ini, ‘irfan tidak menggunakan akal sebagai alat utama
meraih pengetahuan sejati. ‘Irfan teoritis menggunakan hati,
usaha rohani, penyucian, disiplin diri dan dinamisme batin
sebagai sarana utama mencapai inti eksistensi yaitu Tuhan, dan
terhubungkan dengan-Nya, bahkan menyaksikan-Nya.66
Tampaknya, ‘irfan teoritis ini identik dengan tasawuf falsafi
dalam tradisi sunni.
Sedangkan ‘Irfan praktis hendak menguraikan hubungan
dan tanggungjawab manusia kepada dirinya, alam dan Allah
SWT. Dari sini ‘irfan memiliki kesamaan arti dengan etika. Ajaran
‘irfan praktis disebut rencana perjalanan rohani (sayr wa suluk). Ia
berbicara tentang sebuah titik keberangkatan, tempat tujuan,
tahapan-tahapan, dan stasiun-stasiun yang benar. Dalam konteks
ini, ‘irfan praktis ingin memperoleh tauhid sejati, yakni selain
Allah tidak ada, dan untuk seorang musafir rohani (disebut salik)
diberi penjelasan tentang titik awal keberangkatan, tahap-tahap
yang dianjurkan, stasiun-stasiun yang harus dilewati dan kondisi-
kondisi yang akan dialami. Semua ini harus dilewati dengan
bimbingan seorang manusia sempurna (khidr). Tauhid sejati
tersebut tidak diperoleh melalui metode rasional, karena ia
merupakan upaya hati dan dicapai melalui perjalanan,
pembersihan dan pendisiplinan diri. ‘Irfan praktis berusaha

66
Ibid., h. 13-15.

38
mengubah manusia.67 ‘Irfan praktis ini mirip dengan tarekat
dalam tradisi Sunni, walaupun tidak sama.
Kendati ada perbedaan fundamental, baik tasawuf yang
merupakan istilah mistisisme Sunni, maupun ‘irfan yang menjadi
term bagi mistisisme Syi’ah, mengutamakan metode intuitif
sebagai jalan meraih kebenaran. Keduanya sepakat bahwa tazkiyah
al-nafs sebagai metode paling jitu mencapai pengetahuan sejati.
Keduanya berupaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. dengan
cara menyucikan jiwa.68 Perbedaan keduanya selain pada sumber
inspirasi juga terletak pada metode kerja dan tujuan akhir.

4. Illuminasionisme (Hikmah Isyraqiyyah)69


Di Barat, filsafat Illuminasi disebut The Philosophy of
Illumination, The Wisdom of Isyraq, dan Theosophie Orientale. Dalam

67
Ibid., h. 9-13.
68
Mulyadhi Kartanegara, Mozaik Khazanah Islam: Bunga Rampai dari
Chicago (Jakarta: Paramadina, 2000), h. 144.
69
Tentang aliran ini lihat Muhammad ‘Ali Abu Rayyan, Ushul Falsafah
Isyraqiyyah (Beirut: Dar al-Thalabah al-‘Arab, 1969); John Tuthil Walbridge, The
Philosophy of Quthb al-Din Shirazi: A Study in the Integration of Islamic
Philosophy (Cambridge: Harvard University Press, 1983); Amroeni Drajat, Filsafat
Illuminasi: Sebuah Kajian Terhadap Konsep Cahaya Suhrawardi (Jakarta: Riora
Cipta, 2001); Hossein Ziai, “The Source and Nature of Authority: A Studi of al-
Suhrawardi’s Illuminationist Political Doctrine”, dalam Charles E. Butterworth
(ed.). The Political Aspects of Islamic Philosphy: Essays in Honor of Muhsin S
Mahdi (Cambridge: Center For Middle Eastern Studies of Harvard University
Press, 1992); Idem, “Syihab al-Din Suhrawardi: Founder of the Illuminationist
School,” dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leamen (ed.), History of Islamic
Philosophy (London-NY: Routledge, 2003); Idem, “The Illuminationist Tradition,”
dalam Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leamen (ed.), History of Islamic
Philosophy (London-NY: Routledge, 2003); Mehdi Amin Razavi, Suhrawardi and
the School of Illumination (Surey: Curzon Press, 1997); Idem, “The Significance of
Suhrawardi’s Persia Sufi Writings in the Philosophy of Ilumination,” dalam
Leonard Lewishon (ed.), The Heritage of Sufism: Classical Persian Sufism from It’s
Origins to Rumi (700-1300), vol. I (Oxford: One World, 1993).

39
bahasa Arab, ia disebut Hikmah al-Isyraq. Istilah ini terdiri atas dua
kata, yaitu hikmah dan al-Isyraq.
Kata hikmah diidentifikasi oleh mereka sebagai falsafah.
Secara literal, kata hikmah berarti ‘kebijaksanaan’.70 Dalam bahasa
Indonesia, hikmah diartikan sebagai kebijaksanaan dari Allah,
kesaktian, makna mendalam, manfaat, kebijakan, dan kearifan.71
Secara terminologis, bahwa hikmah bukanlah hanya hasil dari
kerja intelektual pada level akal semata, namun, meminjam
definisi Toshihiko Izutsu, “produk orisinil aktifitas akal analitis
yang keras dan didukung oleh tangkapan intuitif yang penting
tentang realitas”.72 Karena itu, hikmah tidak saja dimaknai sebagai
hasil aktifitas rasio manusia semata, namun dimaknai sebagai
hasil aktifitas sintesis antara rasio dan intuisi manusia dalam
memahami realitas.
Sementara itu, kata al-isyraq dimaknai sebagai illuminasi.
Istilah ini diartikan sebagai cahaya pertama pagi hari, yakni
cahaya matahari dari timur.73 Jadi, kata isyraq bermakna pancaran
cahaya.74 Sementara itu, kata isyraq dikaitkan dengan kata syarq,
artinya timur. Timur dimaknai sebagai dunia cahaya tanpa
kegelapan. Jadi, ia dikaitkan dengan dunia cahaya. Dalam konteks
ini, kata timur tidak saja berarti timur secara geografis, tapi timur
secara simbolis, bahwa ia berarti awal cahaya, sebab timur sebagai
sumber cahaya,75 seperti cahaya pagi muncul dari sebelum timur

70
Bernard Lewis (ed.), The Encyclopaedia of Islam (Leiden: E.J. Briil, 1971),
h. 377.
71
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 401.
Toshihiko Izutsu, The Fundamental Structure of Sabzaweri’s
72

Metaphysics: Introduction to the Arabic Text of Sabzaweri’s Sharh-i Manzumah


(McGill: McGill University Tehran Branch, 1969), h. 3.
73
Nasr, Intelektual Islam, h 73.
74
Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h 317.
75
Seyyed Hossein Nasr, Tiga Madzhab Utama Filsafat Islam, terj. Achmad
Maimun Syamsudin (Yogyakarta: IRCiSoD, 2005), h. 117.

40
(makna geografis). Sementara isyraqiyyah diartikan sebagai
metafisika cahaya.76 Sebab itu, filsafat Isyraqiyyah disebut pula
sebagai filsafat ketimuran, dan ia didasari kepada metafisika
cahaya.77 Demikianlah asal-usul kata Isyraq.
Dengan demikian, istilah hikmah al-Isyraq berarti
kebijaksanaan cahaya, kebijaksanaan Illuminasi, dan
kebijaksanaan timur. Sebab itulah, inti filsafat illuminasi ini
sendiri adalah ilmu tentang cahaya, baik teori sifat maupun cara
pembiasan cahaya.78 Dengan kata lain, filsafat ini didasari oleh
metafisika cahaya.79
Sejumlah ahli menyatakan secara umum tentang metode
aliran filsafat ini untuk meraih kebijaksanaan. Seyyed Hossein
Nasr, Ibrahim Madkour, dan M. Saeed Shaikh, misalnya,
menyatakan bahwa secara metodologis, aliran ini hendak
mengharmonisasikan spiritualitas dan filsafat.80 Karena itulah,
filsafat ini dikenal sebagai filsafat sebagai hasil perkawinan antara
latihan intelektual teoritik melalui filsafat dan pemurnian hati
melalui Sufisme.81 Sementara menurut Muthahhari, secara
metodologis, aliran ini hanya bertumpu kepada argumentasi
rasional, demonstrasi rasional, serta berjuang secara keras

76
Tosun Bayrak al-Jerrahi “Filsafat Mistik versus Filsafat Tasawuf,” dalam
Suhrawardi, Altar-Altar Cahaya (Hayakal al-Nur), terj. Zaimul Am (Yogyakarta:
SERAMBI, 2003), h. 9.
77
Nasr, Intelektual Islam, h. 72-73.
78
Majid Fakhry, Sejarah Filsafat Islam: Sebuah Peta Kronologis, terj.
Zaimul Am (Bandung: Mizan, 2001), h. 130.
79
Nasr, Intelektual Islam, h 72-73.
80
Seyyed Hossein Nasr, “Syihab al-Din Suhrawardi Maqtul,” dalam M. M.
Sharif (ed.), A History of Muslim Philosophy, vol. 1-2, (Delhi: Adam Publisher &
Distributors, 2001), h. 373; Ibrahim Madkour, Filsafat Islam: Metode dan
Penerapan, bagian 1 (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1993), h. 59-61; M. Saeed
Shaikh, A Dictionary of Muslim Philosophy (New Delhi: Adam Publisher &
Distributors, 2006), h. 54-55.
81
Nasr, Intelektual Islam, h. 69.

41
melawan hawa nafsu dan menyucikan jiwa. Metode ini bertujuan
untuk menyingkap hakikat. Seseorang tidak akan pernah mampu
menyingkap hakikat, apabila hanya menggunakan argumentasi
dan demonstrasi rasional semata, tanpa memfungsikan intuisi dan
akalnya secara sintesis.82 Hasyimsyah Nasution menyatakan
bahwa Suhrawardi hendak menggabungkan cara nalar dengan
cara intuisi, dan menjadikan keduanya saling melengkapi.83
Amroeni Drajat menyatakan bahwa secara metodologis, filsafat ini
hendak mencoba menggabungkan dua metode mencari
kebenaran, yakni metode diskursif filosofis dan metode zawq
mistis, menjadi satu metode komprehensif.84
Dalam kitab Hikmat al-Isyraq, Suhrawardi telah menjelaskan
metode perolehan ilmu hakiki perspektif filsafat Illuminasi. Ilmu
hakiki bisa diraih oleh seseorang, ketika ia menjalani sejumlah
tahap perolehan ilmu pengetahuan, yakni sebagai berikut:
Pertama. Seseorang harus menguasai filsafat diskursif
secara sempurna sampai ia bisa menjadi filosof diskursif.
Suhrawardi menyatakan “jangan menguji karya ini kecuali oleh
ahlinya, yaitu orang-orang yang telah meneladani metode kaum
Peripatetik”.85 Suhrawardi sendiri, sebelum menulis kitab Hikmat
al-Isyraq, telah menulis sejumlah kitab filsafat bercorak Peripatetis.
Artinya kitab ini ditulis dengan metode filsafat Peripatetik, yakni
kitab Talwihat, kitab Muqawwamat, dan kitab Masyari’ wa al-

82
Muthahhari, Pengantar Ilmu-ilmu Islam, h. 326.
83
Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama,
1999), h. 154.
84
Amroeni Drajat, Suhrawardi: Kritik Falsafah Peripatetik (Yogyakarta:
LKiS, 2005).
85
Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, dalam Henry Corbin (ed.), Majmu’ah
Mushannafat Syaikh Isyraq, jilid II (Teheran: Anjuman Syahansyahiy Falsafah
Iran, 1394 H), h. 279. Ulasan Klasik terhadap karya ini lihat Syams al-Din
Syahrazuri, Syarh Hikmat al-Isyraq (Tehran: Institut for Cultural Studies and
Research, 1993).

42
Mutharahat.86 Suhrawardi menyatakan bahwa filsafat diskursif
harus dipelajari dahulu oleh seorang kandidat teosof
Illuminasionis, bahkan ia merekomendasikan karya-karya
Peripatetisnya untuk dipelajari. Ini seperti perkataan Suhrawardi
“formula-formula berpikir yang terkenal akan kami buat
seringkas mungkin, dengan sejumlah ilustrasi singkat namun
padat. Kami berharap ini cukup memadai untuk dimengerti
pembaca yang cerdas dan pelajar pemula filsafat Illuminasi.
Sementara yang ingin mengetahui secara detail pengetahuan yang
merupakan formula awal (logika filsafat diskursif) bagi filsafat ini
(filsafat Illuminasi), hendaknya merujuk kepada karya-karya lain
yang lebih terperinci”.87 Dengan demikian, filsafat diskursif harus
dipahami lebih dahulu, sehingga orang tersebut bisa menjadi
filosof diskursif sempurna.
Kedua. Filosof diskursif tersebut harus mulai melatih diri
secara spiritual dan melakukan kontemplasi.88 Filosof tersebut
mesti melakukan sejumlah praktik-praktik esketik dan mistik
seperti dikatakan Suhrawardi “…hendaknya ia berkhalwat selama
empat puluh hari, meninggalkan makanan berdaging,
menyedikitkan makan, dan merenungkan cahaya Allah SWT. dan
apa yang diperintahkan oleh pemegang amanat wahyu [Nabi
Muhammad SAW.)”.89 Ia menambahkan “[filosof tersebut harus]
mendekatkan diri kepada Allah SWT., terjaga di malam hari,
bersikap pasrah...memperhalus rahasia batin, ikhlas menghadapi
Cahaya Maha Cahaya...membiasakan jiwa mengingat-
Nya...melantunkan bacaan atas mushaf-mushaf sebagaimana
diwahyukan [kepada Nabi Muhammad SAW.] dan segera

86
Ibid, h. 10-11.
87
Ibid, h. 13.
88
Ibid, h. 155-156.
89
Ibid, h. 279.

43
kembali kepada Zat pemegang segala urusan, kesemuanya adalah
syarat-syarat yang harus dipenuhi seseorang”.90 Jadi, filosof
diskursif tersebut harus melakukan semua praktik asketik dan
mistik tersebut, sehingga nantinya ia bisa memasuki tahap
Illuminasi.
Ketiga. Filosof diskursif tersebut memasuki tahap
Illuminasi, yakni ketika ia memperoleh pancaran cahaya (al-Nur
al-sanih) dari Nur al-Anwar. Cahaya ini memberikan sang filosof
pengetahuan sejati. Suhrawardi berkata “[jika telah dilakukan
semua itu] barangkali kelak akan muncul seberkas sinar dari alam
jabarut (alam cahaya), dan ia pun akan melihat alam malakut (alam
mitsal)”.91 Maksudnya, jiwa sang filosof akan memperoleh
illuminasi dari cahaya tertinggi (yakni al-Nur al-sanih),92 sehingga
ia akan mampu melihat alam cahaya. Sinar cahaya (al-Nur al-
sanih) dari alam tertinggi ini adalah pengetahuan, dan cahaya ini
membawa pengetahuan sejati itu menuju jiwa suci sang filosof.93
Sang filosof akan memperoleh beraneka macam illuminasi
cahaya.94 Karena ia memperoleh illuminasi cahaya dari alam
cahaya, sehingga ia mendapatkan pengetahuan, sang filosof pun
akan memperoleh sejumlah keutamaan seperti maqam kun, yakni
kemampuan mewujudkan ide-ide otonom (mutsul qayyimah)95
pengetahuan tentang hal-hal gaib,96 kemampuan melihat alam
cahaya,97 ketundukan alam semesta,98 dan segala jiwa

90
Ibid, h. 256-257.
91
Ibid, h. 156-156.
92
Ibid, h. 137-138.
93
Ibid, h. 252.
94
Ibid, h. 252-253.
95
Ibid, h. 242-243.
96
Ibid, h. 240-241.
97
Ibid, h. 155-156, 162-165.
98
Ibid, h. 252.

44
kepadanya.99 Demikianlah, sang filosof memperoleh illuminasi
dari alam cahaya, sehingga ia memperoleh pengetahuan dan
keutamaan.
Keempat. Filosof diskursif itu mengkonstruksi pengetahuan
perolehan dari cahaya Ilahi tersebut dengan menggunakan
analisis diskursif. Pengetahuan itu diuji oleh sang filosof secara
demonstrasi. Ia berkata “ilmu-ilmu hakiki (al-‘ulum al-haqiqiyah)
tidak bisa dielakkan lagi (harus dibuktikan) dengan
menggunakan demonstrasi, yakni silogisme yang disusun dari
premis-premis meyakinkan [tidak diragukan kebenarannya]”.100
Sistem pembuktian Posterior Analytics Aristoteles harus dijadikan
sebagai sistem pembuktian bagi ilmu-ilmu hakiki itu.101
Demikianlah, sang filosof mesti membuktikan pengalaman
intuitifnya secara akliah, agar pengalaman itu bisa diketahui dan
dipahami oleh orang lain, kendati orang-orang itu sama sekali
tidak merasakan pengalaman intuitif itu.
Tahap kelima. Filosof tersebut mendokumentasikan hasil
konstruksi tersebut secara tulisan. Jadi, filosof tersebut
memindahkan pengetahuan sejati itu setelah pengetahuan itu
diuji secara demonstrasi Aristotelian, dari pikirannya ke bahasa
tulisan. Suhrawardi sendiri telah melakukan hal ini. Setelah ia
melewati masa khalwat dan kontemplasi, ia memperoleh
pengalaman intuitif, lalu ia menguji pengalaman itu secara
diskursif, lantas menuliskannya, sehingga jadilah kitab Hikmat al-
Isyraq.102 Tidak ada bukti dari pernyataan Suhrawardi tentang
kemestian tahap keempat ini, karena tahap ini, mendukung

99
Ibid, h. 257.
100
Ibid, h. 45-46.
101
Hossein Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi: Pencerahan Ilmu
Pengetahuan, terj. Afif Muhammad dan Munir (Bandung: Zaman Wacana Mulia,
1998) h. 37.
102
Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, h. 9-10.

45
pernyataan Ziai, hanya merupakan unsur-unsur filsafat Illuminasi
yang harus diakses dari karya-karya Suhrawardi.103 Kendati
begitu, Suhrawardi sendiri telah melakukan tahap keempat ini.
Dalam tahap keempat ini, seorang filosof akan merasa
kesulitan menuliskan pengalaman intuitifnya tersebut.
Suhrawardi sendiri merasa kesulitan menuliskan pengalaman
intuitifnya tersebut dalam bentuk tulisan. Ia berkata “...ketahuilah
betapa banyak usulan kalian agar saya menuliskan kitab Hikmat
al-Isyraq ini...betapa pun terdapat kesukaran tersendiri yang tidak
kalian ketahui. Padahal kalian...terus mendesak saya untuk
mengarang suatu karya, yang di dalamnya saya menyebut
pelbagai pengalaman yang saya peroleh dengan intuisi saya
selama masa-masa khalwat dan kontemplasi”.104 Demikianlah,
Suhrawardi telah mengisyaratkan seorang filosof diskursif
menuliskan pengalaman intuitifnya dalam bentuk tulisan, seperti
yang telah dilakukannya.

5. Transendentalisme (Hikmah Muta’aliyah)


Di Barat, Hikmah Muta’aliyah diartikan sebagai The
Transcendent Theosophy. Hikmah Muta’aliyah dikenal sebagai sebuah
aliran elaboris yang didirikan oleh Shadr al-Din al-Syirazi, yang
lebih akrab dikenal sebagai Mulla Shadra (w. 1640 M). Kata
Hikmah Muta’aliyah terdiri atas dua suku kata, yaitu kata Hikmah
dan kata Muta’aliyah, seperti dijelaskan berikut ini.
Kata hikmah identik dengan kata falsafah. Kata falsafah
berasal dari bahasa Yunani, yakni kata philosophia.105 Kata ini
merupakan gabungan dari dua kata, yakni ‘philo’ yang berarti
‘cinta’, dan kata ‘sophia’ yang bermakna ‘kebijaksanaan’. Jadi, kata

103
Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi, h. 37.
104
Suhrawardi, Hikmat al-Isyraq, h. 9-10.
105
Netton, A Popular Dictionary of Islam, h. 78-79.

46
‘falsafah’ bermakna ‘cinta kebijaksanaan’.106 Kata falsafah berarti
sebuah kata hasil Arabisasi dari kata philosophia, sebagai bahasa
Yunani, ke bahasa Arab. Kata ini pun memiliki arti sebagai usaha
yang dilakukan oleh seorang filosof.107 Dalam bahasa Arab, kata
ini menjadi sinonim bagi kata hikmah yang juga berarti
‘kebijaksanaan’.108 Dalam bahasa Indonesia, kata hikmah diartikan
sebagai kebijaksanaan dari Allah, kesaktian, makna mendalam,
manfaat, kebijakan dan kearifan.109 Jadi, kata philosophia dan
falsafah identik dengan kata hikmah.
Sementara itu, menurut Hasan Bakti, kata muta’aliyah
memiliki sejumlah pengertian, sesuai dengan tinjauan dan sudut
pandang yang digunakan. Pertama, apabila diambil dari kata
‘ta’ala’, maka muta’aliyah menjadi bermakna ‘yang tinggi’.
Berdasarkan makna ini, maka muta’aliyah diartikan sebagai sistem
filsafat yang melebihi wacana sebelumnya, seperti wacana
Peripatetisme, Illuminasionisme, Gnosisme, dan Teologi. Aliran
Hikmah Muta’aliyah ini menggabungkan pelbagai aliran pemikiran
sebelumnya yang direlevansikan dengan syari’at. Inilah yang
membuat aliran ini sebagai aliran filsafat tertinggi. Kedua, dari segi
tujuan, Hikmah Muta’aliyah berupaya mengenal Allah sebagai
yang Muta’aliyah. Muta’aliyah dalam konteks ini dapat diartikan
sebagai ‘yang tertinggi’ ‘yang tersempurna’, dan ‘yang berada di
luar jangkauan alam (trancendent)’. Berdasarkan kedua makna
tersebut, maka Hikmah Muta’aliyah dapat diartikan sebagai metode
filsafat Islam yang berupaya mengenal Allah sebagai ‘Yang

106
A. R. Lacy, A Dictionary of Philosophy (London: Routledge & Kegan
Paul, 2000), h. 252.
107
Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. 302.
108
Lewis (ed.), The Encyclopaedia of Islam, h. 377.
109
Depdiknas, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 401.

47
Trancendent’, dengan menggunakan segala metode, yang
dikelompokkan kepada metode diskursif, intuitif, dan syari’ah.110
Aliran Hikmah Muta’aliyah disebut juga sebagai
eksistensialisme Islam. Hal ini karena gagasan wujud (eksistensi)
menjadi gagasan sentral aliran ini.111 Mulla Shadra meyakini
doktrin ashlah al-wujud, sebagai rival dari doktrin ashlah mahiyah
versi Suhrawardi al-Maqtul (w. 1191 M), dan semua bangunan
pemikiran Shadra dibangun atas dasar prinsip wujud tersebut.
Gagasan ashlah al-wujud, tasykik al-wujud, harakah al-jawhariyah, dan
ittihad al-‘aqil wa al-ma’qul menjadi prinsip-prinsip utama filsafat
hikmah.112
Aliran Hikmah Muta’aliyah, sebagai aliran filsafat termuda,
bisa didekati dari dua aspek. Pertama. Metodologi. Dari aspek ini,
aliran ini mengkolaborasi akal, intuisi dan wahyu. Kedua. Tema.
Dari aspek ini, aliran ini membahas gagasan lama dan gagasan
baru, dan kedua jenis tema tersebut dibandingkan dengan tradisi
filsafat Yunani.113 Secara khusus, masalah ini akan dibahas
kemudian.
Sebagai aliran filsafat Islam termuda, Hikmah Muta’aliyah
memiliki prinsip-prinsip khas, sebagai pembeda antara aliran ini
dengan pelbagai aliran lain, baik Peripatetisme, Illuminasionisme,
Gnosis, maupun Kalam. Prinsip Hikmah Muta’aliyah ini terlihat
jelas dalam kata-kata Mulla Shadra sendiri “pengetahuan Hikmah
Muta’aliyah haruslah didasarkan pada argumentasi rasional dan

110
Hasan Bakti Nasution, Hikmah Muta’aliyah: Pengantar Filsafat Islam
Kontemporer (Bandung: Citapustaka Media, 2006), h. 37-40.
111
Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, h. 161.
112
Musa Kazim, “Filsafat Hikmah dan Agama Masa Depan,” dalam Al-
Huda, Vol. V. No. 14, 2008, h. 30. Bandingkan Syaifan Nur, Filsafat Wujud Mulla
Shadra (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002); Khalid al-Walid, Tasawuf Mulla
Shadra: Konsep Ittihad al-‘Aqil wa al-Ma’qul dalam Epistemologi Filsafat Islam
dan Makrifat Ilahiyah (Bandung: Muthahhari Press, 2004).
113
Labib, Mengenal Tasawuf, Irfan, dan Kebatinan, h. 73.

48
pandangan rohani serta sesuai dengan syari’at”. “adalah mustahil
hukum-hukum syari’at yang benar berbenturan dengan
pengetahuan yang swabukti (pengetahuan intuitif), dan celakalah
aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya tidak selaras dengan al-
Qur’an dan sunnah”.114 Berdasarkan pernyataan Mulla Shadra
tersebut, jelas bahwa Hikmah Muta’aliyah memiliki tiga prinsip
yakni argumentasi demonstratif, pembuktian intuitif, dan
dukungan syari’at, baik al-Quran, hadis-hadis Nabi Muhammad
SAW. maupun hadis-hadis keduabelas Imam Syi’ah Imamiyah.
Berdasarkan prinsip ini, maka kebijaksanaan (wisdom) harus
diperoleh lewat pencerahan spiritual (zawq), disajikan secara
deduktif-silogistik (burhan), dan didukung oleh doktrin syari’at
(wahy).115 Bagi aliran ini, sebuah pengetahuan dikatakan sebagai
pengetahuan hakiki, apabila memenuhi ketiga prinsip ini.
Dari prinsip-prinsip tersebut bisa dilihat sumber-sumber
ajaran Hikmah Muta’aliyah. Secara umum, ajaran Hikmah
Muta’aliyah bersumber dari Syari’at, Kalam, Peripatetik,
Illuminasi, dan Gnosis.116 Secara lebih spesifik, ajaran aliran ini
bersumber dari.117 Pertama. Syari’at Islam. Aliran ini menjadikan
syari’at, baik dari al-Quran maupun hadis, sebagai unsur-unsur
ajarannya. Pendiri aliran ini sendiri, Mulla Shadra, dikenal pula
sebagai ahli tafsir terkemuka. Buktinya, ia telah menulis sejumlah
karya tafsir seperti Tafsir al-Quran al-Karim, Asrar al-Ayat wa al-
Anwar al-Bayyinat, dan Mutasyabihat al-Qur’an. Akan tetapi, karya
ini tidak saja dipandang sebagai karya tafsir murni, karena karya-

Kazim, “Filsafat Hikmah,” h. 28-29.


114

115
Bagir, Buku Saku Filsafat Islam, h. 171.
116
Seyyed Hossein Nasr, “Mulla Shadra: His Teaching,” dalam Seyyed
Hossein Nasr dan Oliver Leamen (ed.), History of Islamic Philosophy (London-NY:
Routledge, 2003), h. 643.
117
Lihat Majid Fakhry, A History of Islamic Philosophy (New York-London:
Columbia University, 1970), h. 341-343.

49
karya ini berisikan pandangan filsafat Hikmah Muta’aliyah. Dalam
konteks hadis, aliran ini tidak saja mendasari ajarannya kepada
hadis-hadis dari Nabi Muhammad SAW., tetapi juga hadis-hadis
imam yang suci (ma’shum), yaitu para imam Syi’ah Itsna
‘Asyariyah. Aliran ini bahkan menjadikan tradisi hadis Sunni dan
Syi’ah sebagai sumber ajarannya. Mulla Shadra dikenal pula
sebagai ahli hadis, sebab ia menguasai ilmu hadis dan hadis-hadis
baik hadis-hadis versi Sunni maupun Syi’ah. Ia menguasai
literatur-literatur hadis dari dua aliran tersebut, bahkan menulis
sebuah komentar terhadap sebuah kitab hadis Syi’ah, al-Ushul min
al-Kafi karya al-Kulaini. Karya hadis Mulla Shadra dikenal sebagai
Syarh al-Ushul min al-Kafi. Jadi, al-Quran dan hadis, baik dari
tradisi Sunni maupun tradisi Syi’ah, dijadikan sebagai fondasi
bangunan filsafat Hikmah Muta’aliyah.
Kedua. Aliran ini juga mendasari ajarannya kepada sumber
teologi, baik Sunni maupun Syi’ah. Dalam tradisi Sunni, aliran ini
dipengaruhi oleh teologi Asy’ariyah. Karya-karya teolog
Asy’ariyah menjadi sumber inspirasi aliran ini seperti karya-karya
al-Ghazali, Fakhr al-Din al-Razi, ‘Adhud al-Din al-Iji, dan Sayyid
Syarif al-Jurjani. Dalam tradisi Syi’ah, aliran ini dipengaruhi
teologi Syi’ah Imamiyah dan Syi’ah Isma’iliyah. Karya-karya
teolog Syi’ah Imamiyah menjadi inpirasi bagi aliran ini seperti
kitab Tajrid al-I’tiqad karya Nashir al-Din al-Thusi. Sementara
karya-karya Syi’ah Isma’iliyah seperti kitab Rahat al-‘Aql karya
Hamid al-Din al-Kirmani (w. 1021 M) dan Rasail Ikhwan al-Shafa
karya kelompok filosof terkemuka, Ikhwan al-Shafa, juga menjadi
sumber utama ajaran aliran ini.
Ketiga. Peripatetisme. Doktrin aliran ini juga bersumber
dari tradisi Peripatetisme, baik Peripatetisme Yunani maupun
Peripatetisme Islam. Karya-karya Peripatetisme Yunani seperti
karya-karya Sokrates, Plato, Aristoteles, Neo-Platonisme, dan

50
Stoicisme menjadi sumber ajaran berharga bagi aliran Hikmah
Muta’aliyah. Demikian juga karya-karya para filosof Peripatetik
Islam, seperti kitab al-Syifa’, al-Najah, dan al-Isyarat wa al-Tanbihat
karya Ibn Sina, kitab Fushush al-Hikam karya al-Farabi, kitab al-
‘Amad ‘ala al-Abad karya al-Amiri, kitab al-Mu’tabar karya Abu
Barakat al-Baghdadi, dan kitab Syarah Isyarat, Risalat al-Islam, dan
al-Mulakhhas karya Nashir al-Din al-Thusi, memberikan inspirasi
besar bagi aliran ini.
Keempat. Illuminasionisme. Aliran Hikmah Muta’aliyah
bersumberkan kepada aliran Illuminasionisme. Karya-karya
Suhrawardi seperti Hikmah al-Isyraq, Talwihat, al-Muqawwamat,
Masyari’ wa al-Mutharahat, dan Hayakil al-Nur menjadi referensi
primer aliran ini.
Kelima. Gnosisme. Gnosisme juga menjadi sumber ajaran
Hikmah Muta’aliyah. Karya-karya sufistik menjadi sumber primer
doktrin aliran Hikmah Muta’aliyah misalnya kitab Qut al-Qulub
karya Abu Thalib al-Makki, kitab Manazil Sa’irin karya al-Harawi,
‘Awarif al-Ma’arif karya Abu Hafs Suhrawardi, kitab Ihya’ ‘Ulum al-
Din karya al-Ghazali, kitab Zubdad al-Haqaiq karya ‘Ala’ al-Daulah
al-Simnani, kitab Matsnawi karya Jalal al-Din al-Rumi, kitab
Nafahat al-Uns karya Hamzah Fanari, dan kitab al-Qabasat karya
Mir Damad. Ajaran-ajaran Ibn ‘Arabi bahkan menjadi fondasi
utama bagi doktrin Hikmah Muta’aliyah, dan karya-karya Ibn
‘Arabi seperti kitab Fushush al-Hikam dan Futuhat al-Makkiyah
banyak menjadi catatan kaki karya-karya aliran ini.
Ajaran-ajaran dari berbagai tradisi tersebut mengilhami
doktrin-doktrin aliran Hikmah Muta’aliyah. Kendati demikian,
doktrin-doktrin pelbagai aliran itu tidak begitu saja diadopsi,
tanpa melewati proses kritik konstruktif. Dengan kata lain,
sebagian ajaran dari pelbagai tradisi tersebut dikritik, dikecam,
bahkan ditinggalkan, karena dianggap telah jauh dari kebenaran,

51
namun ajaran-ajaran tertentu dipuji, diterima, bahkan dijadikan
sebagai penopang doktrin Hikmah Muta’aliyah, karena dipandang
sebagai kebenaran itu sendiri.
Kenyataan bahwa doktrin Hikmah Muta’aliyah bersumber
dari ajaran berbagai tradisi tersebut telah melahirkan dua asumsi
penting. Pertama. Doktrin Hikmah Muta’aliyah hanya bisa dipahami
secara baik dan benar, apabila doktrin-doktrin semua aliran
pembentuk doktrin Hikmah Muta’aliyah ini telah dipahami terlebih
dahulu secara sempurna. Kedua. Epistemologi aliran Hikmah
Muta’aliyah akan bisa diketahui, dipahami, dan diterapkan secara
benar, apabila semua epistemologi pelbagai aliran filsafat pra-
Hikmah Muta’aliyah telah dipahami dan dikuasai secara baik dan
benar. Jelas sekali bahwa pengetahuan sempurna tentang Syari’at
Islam, Teologi, Peripatetisme, Gnosisme, dan Illuminasionisme
menjadi syarat utama memasuki dan memahami Hikmah
Muta’aliyah, sebuah syarat yang tidak bisa ditawar lagi. Tentu saja,
apabila syarat utama ini tidak bisa dipenuhi, maka sia-sia
mengkaji aliran ini secara tekun dan serius.
Secara epistemologis, aliran Hikmah Muta’aliyah berusaha
mengkombinasikan antara disiplin intelektual dengan
pengalaman spiritual.118 Mulla Shadra, pendiri aliran Hikmah
Muta’aliyah, menciptakan suatu harmonisasi sempurna antara
kutub rasionalisme dan persepsi mistik. Shadra membuat sintesis
antara tiga jalan besar menuju kebenaran bagi manusia, yaitu
wahyu, akal dan intuisi, dan hasil sintesis ini dinamakan Hikmah
Muta’aliyah. Ia menyelaraskan secara utuh antara argumentasi

Seyed G. Safavi, “Mulla Shadra and Perception,” dalam Trancendent


118

Theosophy, vol. 1, No. 2, 2000, h. 97.

52
rasional, kesadaran spiritual, dan wahyu.119 Metode ini dipakai
oleh para pendukung Mulla Shadra demi meraih kebijaksanaan.
Secara khusus, menurut Hasan Bakti, aliran ini melakukan
tiga cara utama. Pertama, dimulai dari pengalaman rohani, lalu
digambarkan secara diskursif, dan kemudian dicari dukungan
syari’at. Metode ini seperti kata Mulla Shadra “kajian kami tidak
hanya didasari kepada mukasyafah dan zawqi…tanpa didasarkan
kepada dalil (hujjah) dan argumentasi (burhan) serta tata aturan
logika”. Kedua, dimulai dari kajian diskursif, lalu dihayati dengan
pengalaman rohani dalam bentuk mukasyafah dan musyahadah, dan
kemudian dicari dukungan syari’at. Metode ini seperti dikatakan
Mulla Shadra “kajian kami tidak cukup didasarkan kepada…
taklid dalam bidang syari’at, tanpa didasarkan kepada dalil dan
argumentasi serta tata aturan logika.” Ketiga, dimulai dari
pernyataan-pernyataan syari’at, lalu dicari dukungan rasio, atau
digambarkan secara diskursif, kemudian dipertajam dengan
pengalaman rohani. Metode ini seperti dikatakan Mulla Shadra
“kajian kami tidak hanya didasarkan kepada mukasyafah dan
zawqi, atau berpegang kepada syari’at, tanpa didasarkan kepada
dalil, argumentasi dan tata aturan logika. Pembenaran hanya atas
dasar mukasyafah tidaklah memadai tanpa didukung oleh
argumentasi (burhan), seperti halnya pembenaran argumentasi
burhani tanpa didukung mukasyafah, merupakan kekurangan yang
sangat tinggi.”120
Senada dengan uraian tersebut, Musa Kazhim menuliskan
bahwa ada beberapa langkah Mulla Shadra dalam merumuskan
proyek filsafat hikmah. Pertama. Meletakkan sistem filsafat hikmah
di atas sejumlah dasar pengetahuan hudhuri, sembari menegaskan

119
Seyyed Hossein Nasr, Science and Civilization in Islam (New York:
Mentor Books, 1970), h. 335-336.
120
Bakti, Hikmah Muta’aliyah, h. 48-58.

53
bahwa semua dasar itu bersifat swabukti (self evident). Kedua.
Menurunkan sejumlah prinsip rasional-filosofis untuk
mendukung bangunan filsafatnya dari prinsip-prinsip swabukti
yang telah diketahui manusia secara hudhuri tersebut. Ketiga.
Menyelaraskan prinsip-prinsip rasional-filosofis yang bersumber
kepada prinsip-prinsip swabukti dengan sejumlah mukasyafah
(penyingkapan batin) para mistikus. Keempat. Menyelaraskan
prinsip-prinsip rasional-filosofis dan mukasyafah dengan teks-teks
suci dalam rangka memperteguh dan memperluas bangunan
filsafat hikmah. Kelima. Mengajukan metodologi sistematis untuk
mencapai kebenaran utuh sebagaimana tersebut di atas secara
teoritis dan praktis.121
Dari metode ini, Mulla Shadra menghendaki bahwa
kebenaran suatu ilmu harus ditopang oleh syari’at, akal, dan
intuisi. Dengan kata lain, ilmu itu harus tidak bertentangan
dengan ajaran syari’at, hukum akal, dan pengalaman ruhani.
Atau, sebuah ilmu harus sesuai dengan ajaran Islam, bisa
dirasionalkan, dan tidak bertentangan dengan pengalaman
spiritual.
Karya monumental Mulla Shadra bernama kitab al-Hikmah
al-Muta’aliyah fi al-Asfar al-‘Aqliyah al-Arba’ah. Seluruh doktrin
aliran ini telah dirangkum dalam kitab filsafat terbesar ini. Selain
sebagai nama karyanya, nama ini juga menjadi nama aliran
filsafat Mulla Shadra. Nama kitab ini terdiri atas lima kata.
Pertama. Kata al-hikmah yang bermakna ‘kebijaksanaan dan/atau
ke’arifan’. Kedua. Kata al-Muta’aliyah yang bermakna ‘tertinggi’
dan ‘paling sempurna’. Ketiga. Kata al-Asfar yang bermakna
perjalanan. Keempat. Kata al-‘Aqliyah yang bermakna ‘akal’. Kelima.
Kata al-Arba’ah yang berari ‘empat’. Berdasarkan kelima kata ini,

Kazim, “Filsafat Hikmah,” h. 27-28.


121

54
karya ini bisa diartikan sebagai “kebijaksanaan tertinggi dalam
empat perjalanan akal manusia”.
Melalui Hikmah Muta’aliyah, Mulla Shadra berusaha
menjelaskan filsafat, sebagai pelajaran penalaran, secara sistematis
seperti kaum ‘arif menjelaskan masalah perjalanan ruhani (hati).
Kaum ‘arif meyakini bahwa seorang penempuh jalan spiritual
(salik) harus menempuh empat perjalanan ruhani. Pertama.
Perjalanan dari makhluk menuju Allah (sayr min al-khalq ila al-
Haq). Pada tahap ini, salik berusaha keras melewati
(meninggalkan) alam realitas (fisik) dan sebagian alam metafisika,
sehingga salik mampu menemui al-Haq dan tidak ada lagi tirai
pembatas antara keduanya, salik dan al-Haq. Kedua. Perjalanan
dengan al-Haq dalam al-Haq (sayr bi al-Haq fi al-Haq). Pada tahap
ini, salik mengadakan perjalanan dalam berbagai kesempurnaan
dan sifat-sifat-Nya atas bantuan-Nya. Ketiga. Perjalanan dari al-
Haq menujuk makhluk dengan al-Haq (sayr min al-Haq ila a-khalq bi
al-Haq). Pada tahap ini, salik kembali memasuki komunitas
masyarakat, tanpa meninggalkan al-Haq. Pada tahap ini, salik
menyaksikan eksistensi al-Haq pada segala sesuatu bahkan
bersama sesuatu. Keempat. Perjalanan dalam makhluk dengan al-
Haq (sayr fi al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, salik berusaha
memberi petunjuk kepada masyarakat serta membimbing mereka
kepada al-Haq.122
Berdasarkan empat perjalanan ruhani itu, Mulla Shadra
telah menyusun berbagai masalah filsafatnya yang bersifat mental
(akliah) menjadi empat bentuk perjalanan. Pertama. Perjalanan
dari makhluk menuju Allah (sayr min al-khalq ila al-Haq). Pada
tahap ini, Mulla Shadra membahas dasar dan landasan tauhid.
Dalam tahap ini, topik-topik umum filsafat (metafisika umum)
dibahas secara rinci. Pembahasan ini disebut sebagai kajian
122
Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. 332.

55
ontologi. Pada hakikatnya, pembahasan ini mengindikasikan
perjalanan pemikiran seorang filosof dari makhluk menuju al-Haq.
Kedua. Perjalanan dengan al-Haq dalam al-Haq (sayr bi al-Haq fi al-
Haq). Pada tahap ini, Mulla Shadra membahas masalah tauhid dan
pengenalan Allah beserta sifat-sifat-Nya. Dalam tahap ini, filsafat
alam (kosmologi) dibahas secara rinci. Karenanya, pembahasan ini
disebut sebagai kajian kosmologi (natural philosophy). Ketiga.
Perjalanan dari al-Haq menuju makhluk dengan al-Haq (sayr min
al-Haq ila al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, Mulla Shadra
membahas masalah berbagai perbuatan Allah dan berbagai
hierarki alam eksistensi. Tahap ini disebut juga sebagai
pembahasan teologi. Keempat. Perjalanan dalam makhluk dengan
al-Haq (sayr fi al-khalq bi al-Haq). Pada tahap ini, Mulla Shadra
membahas masalah jiwa dan tempat kembali jiwa. Dalam tahap
ini, konsep psikologi/antropologi dan eskatologi dibahas secara
rinci.123 Kitab al-Hikmah al-Muta’aliyah al-Asfar al-‘Aqliyah al-
Arba’ah disusun atas dasar empat perjalanan tersebut.124
Dari segi kebaruan ajaran, Mulla Shadra sebagai pendiri
aliran Hikmah Muta’aliyah telah memberikan kontribusi bagi dunia
filsafat Islam. Sebagai aliran elaboris, Mulla Shadra melahirkan
gagasan-gagasan filosofis baru, dan gagasan-gagasan ini bisa
dibagi menjadi dua. Pertama. Pandangan-pandangan baru Mulla
Shadra, dan pandangan-pandangan ini sama sekali belum pernah
dilontarkan oleh filosof terdahulu. Misalnya, gagasan harakah
jauhariyah dan ashalah al-wujud. Kedua. Pandangan-pandangan
para filosof terdahulu, namun tidak mendapat perhatian dari
mereka, dan Mulla Shadra memberikan bukti tentang validitas

123
Alparslan Acikgenc, “Philosophical and Mystical Vision in Shadra
within Whiteheaden Context,” dalam Trancendent Theosophy, vol. 1, No. 2, 2000,
h. 101-117; Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. 332-333.
124
Lihat Mulla Shadra, Kitab al-Hikmah al-Muta’aliyah fi al-Asfar fi al-
‘Aqliyah al-Arba’ah, Jilid I-IX (Beirut: Dar Ihya al-Turats al-‘Arabiy, 1981)

56
pandangan-pandangan tersebut. Misalnya gagasan monoteisme
dan unitas wujud.125 Dari sinilah, tampak bahwa aliran Hikmah
Muta’aliyah telah menyumbangkan gagasan-gagasan terbaru
dalam bidang filsafat Islam, sekaligus sebagai pernyataan
bantahan terhadap pendapat bahwa filsafat Islam hanya imitasi
filsafat Yunani.
Aliran Hikmah Muta’aliyah yang dikembangkan oleh Mulla
Shadra, disebut Fazlur Rahman sebagai suatu jenis filsafat
keagamaan atau agama filsofis. Kendati Hikmah Muta’aliyah
dipengaruhi tradisi tasawuf, filsafat keagamaan ini tetap
dibedakan dari sufisme, dan walaupun doktrin-doktrinnya
dibangun secara rasional, filsafat keagamaan ini masih bisa
dibedakan dari Peripatetisme. Klaim sebagai agama filosofis ini
lebih dikarenakan aliran ini dibangun atas dasar keyakinan
religius, sebab syari’at menjadi prinsip dasar aliran ini.
Karenanya, jenis filsafat ini memiliki watak religius.126
Berbeda dengan tradisi filsafat Islam, dalam tradisi filsafat
Barat Modern, filsafat hanya diidentikkan dengan aktifitas
berpikir tentang segala sesuatu secara universal, radikal dan
sistematis. Kebijaksanaan sebagai tujuan filsafat hanya diperoleh
dengan cara mengoptimalkan potensi akal secara baik dan benar.
Jadi, akal menjadi satu-satunya sarana meraih kebijaksanaan. Jelas
sekali bahwa ada perbedaan tegas antara filsafat Islam dan filsafat
Barat, karena filsafat Islam mengakui multi sarana (akal, intuisi
dan wahyu) sebagai sarana meraih kebijaksanaan, sedangkan
filsafat Barat Modern hanya mengakui akal sebagai sarana utama
memperoleh kebijaksanaan.

125
Murtadha Muthahhari, Filsafat Hikmah: Pengantar Pemikiran Shadra,
terj. Tim Penerjemah Mizan (Bandung: Mizan, 2002), h. 35.
126
Rahman, Islam, h. 177.

57
Ciri Berpikir Rasional
Sebagai ilmu rasional, para ahli menuliskan tentang
beberapa ciri berpikir filosofis,127 seperti berikut ini. Pertama.
Universal. Hal ini bisa dipahami dari dua hal. (1) objek kajian
filsafat. Dikatakan universal karena filsafat membahas segala
sesuatu (realitas) baik tuhan, alam dan manusia. Filsafat
membahas semua hal tentang trilogi metafisika tersebut, tanpa
kecuali. Karena itu, pengetahuan filosof mencakup segala
keberadaan. Lawan universal adalah parsial. Berbeda dengan
filosof, ilmuan berpikir secara parsial, karena ilmuan membahas
sebagian realitas tersebut saja, tidak seluruh keberadaan.
Misalnya, ahli botani hanya mengkaji dunia tumbuhan saja, dan
tidak mengkaji binatang seperti ahli zoologi; benda-benda
angkasa seperti ahli astronomi, dan unsur-unsur mineral seperti
ahli kimia. Begitu pula sebaliknya. Akan tetapi, filosof, tidak
seperti ilmuan, membahas segala karakter keberadaan. Sebab
itulah, universal dikatakan sebagai ciri berpikir filosofis.
(2) metode filsafat. Dikatakan universal adalah karena
filsafat menggunakan metode deduktif yaitu usaha mengambil
sebuah keputusan khusus (parsial/juz’i) berdasarkan keputusan-
keputusan umum terdahulu (universal/kulli). Metode ini bisa
dipahami dari rumusan silogisme dalam ilmu logika (‘ilm mantiq).
Misalnya, kesimpulan bahwa kucing akan mati, diperoleh dari
dua premis yaitu setiap makhluk akan mati (premis
mayor/muqaddimah kubra), kucing adalah makhluk (premis
minor/muqaddimah sughra), maka kucing akan mati
(kesimpulan/natijah). Dalam filsafat, sebuah pengetahuan
(kesimpulan) diperoleh melalui proses silogisme, diawali dari dua
pernyataan umum (universal), menuju satu kesimpulan khusus

127
Sidi Gazalba, Sistematika Filsafat (Jakarta: Bulan Bintang, 1992), h. 27;
Nur Ahmad Fadhil Lubis, Filsafat Umum (Medan: IAIN Press, 2001), h. 12-13.

58
(parsial). Karena diawali dari pernyataan umum inilah,
tampaknya menjadi alasan mengapa salah satu ciri berpikir
filosofis adalah universal.
Kedua. Radikal. Radikal berarti mendalam, sampai ke akar-
akarnya, atau tuntas. Cara berpikir seseorang disebut sebagai
berpikir filosofis jika ia berpikir secara radikal, artinya ia berpikir
secara mendalam, sampai ke akar-akarnya, dan tuntas. Ketika
orang tersebut menanyakan sesuatu, dan ia mendapatkan satu
jawaban, maka ia tidak puas dengan satu jawaban itu, lalu terus
menanyakan keabsahan jawaban tersebut, sampai ia memperoleh
jawaban tuntas dan tidak ada lagi pertanyaan yang muncul.
Misalnya, ketika ia menanyakan “dari mana asal sebuah meja”.
Jika dijawab “berasal dari kayu”. Ia lalu kembali bertanya “dari
mana asal sebuah kayu”, lalu dijawab “berasal dari sebuah
pohon”, lalu ia menanyakan kembali “dari mana sebuah pohon
berasal,” lalu dijawab “dari sebutir benih,” dan ia menanyakan
kembali “dari mana sebutir benih tersebut,” lalu dijawab kembali
“dari sebuah pohon,”. Ia lalu terus menanyakan kembali tentang
asal usul antara benih dan pohon tersebut, dan pertanyaan dan
jawaban akan berulang kembali seperti semula sehingga
membentuk sebuah lingkaran setan, sehingga pada akhirnya
diputuskan bahwa “meja itu berasal dari kayu, kayu berasal dari
pohon, pohon berasal dari benih dan benih berasal dari Allah
SWT. karena benih diciptakan oleh-Nya”. Jadi, orang tersebut
terus menerus mempertanyakan segala jawaban dari
pertanyaannya tersebut, sehingga ia akan menemukan “asal
sesuatu dan sesuatu itu tanpa berasal dari apapun.” Ketika ia
mendapatkan sebab akhir dari segala pertanyaannya, maka ia
mendapatkan jawaban tuntas dan mendalam. Ia menemukan
jawaban radikal (sampai ke akar-akarnya).

59
Contoh berpikir radikal ini tampaknya bisa dilihat dari
kasus pertanyaan anak-anak kepada para orang tua. Anak-anak
selalu menanyakan segala fenomena (pernyataan dan kenyataan)
kepada orang tuanya, tanpa merasa puas dengan jawaban dari
orang tua mereka, sembari terus menanyakan, sehingga orang tua
mereka kewalahan atas segala rentetan pertanyaan dari mereka.
Beberapa orang tua akan gerah atas pertanyaan sang anak, lalu
memarahinya. Bagi orang tua cerdas, mereka akan memberikan
jawaban sebanyak pertanyaan anak, karena mereka sadar bahwa
memarahi anak karena banyak bertanya, sama saja membungkam
potensi berpikir radikal mereka.
Ketiga. Sistematis. Maksud berpikir secara sistematis adalah
berpikir secara runtut dan logis. Runtut artinya ada tahapan-
tahapan berpikir. Artinya, seseorang berpikir harus mempunyai
alur pikir tertentu. Contoh berpikir runtut bisa dipahami dari
pembahasan tentang sejarah Islam. Misalnya, seseorang tidak
boleh mengawali pembahasan sejarah Islam dari Islam di
Indonesia, lalu membahas masalah sejarah Bani Abbasyiah, Bani
Umayyah, sejarah 4 khalifah, sejarah Muhammad SAW, dan
sejarah Arab pra-Islam. Pembahasan ini tidak runtut, karena tidak
sesuai dengan alur cerita sejarah Islam. Pembahasan tentang
sejarah Islam baru dikatakan runtut jika pembahasan diawali dari
sejarah Arab pra-Islam, sejarah Nabi Muhammad SAW., sejarah 4
khalifah, sejarah Bani Umayyah, sejarah Bani Abbasyiah, dan
seterusnya. Dalam berfilsafat, seorang pemikir dituntut berpikir
secara runtut
Sedangkan logis artinya adalah berpikir sesuai hukum-
hukum logika. Logika dipahami sebagai tata cara (hukum)
berpikir benar agar bisa mendapatkan kebenaran rasional dan
menghindari kesalahan. Karena itu, seorang pemula filsafat harus
menguasai ilmu logika, sebab logika menjadi ilmu alat bagi kajian

60
filsafat. Seseorang akan gagal mempelajari filsafat apabila ia gagal
menguasai logika. Jadi, logika menjadi syarat utama mempelajari
filsafat. Logika bisa dikatakan sebagai awal bagi pengkajian
filsafat. Dengan logika, seseorang akan mampu berpikir secara
lurus, efisien, tepat, dan teratur, sehingga berpikir seperti ini
mampu membawa seseorang kepada kebenaran dan menjauhi
kekeliruan.

Lingkup Kajian Filsafat


Filsafat dipahami sebagai pengetahuan rasional tentang
segala keberadaan. Filsafat membahas eksistensi dari sisi
eksistensi itu sendiri secara rasional. Karenanya, objek
pembahasan filsafat sangat luas sekali. Dari sini jelas bahwa
betapa sosok filosof itu menjadi manusia paling cerdas, karena
mereka mampu mengenali dan memahami karakteristik segala
keberadaan. Paling tidak, posisi intelektualitas para filosof tepat
berada di bawah intelegensi para nabi Allah SWT. Pendeknya,
filsafat membahas segala keberadaan.
Dari pengertian filsafat tersebut bisa dipastikan bahwa
filsafat membahas segala keberadaan. Pengertian filsafat tersebut
menimbulkan satu pertanyaan, apa saja yang ada itu? Pertanyaan
ini bisa menimbulkan pertanyaan sebaliknya, yaitu apa saja yang
tidak ada itu? Siapapun boleh memilih pertanyaan mana yang
terlebih dahulu mesti dijawab. Bila ditanya apa saja yang tidak
ada itu? Maka jawabannya adalah tidak ada. Sebab, jika berhasil
disebutkan sesuatu yang tidak ada itu, maka sesuatu itu telah
menjadi ada, setidaknya sesuatu itu telah ada di dalam pikiran,
kendati objeknya tidak bisa ditemukan di alam fisik. Jadi, tidak
ada itu tidak akan pernah menjadi ada.
Kembali kepada pertanyaan pertama, apa saja yang ada
itu? Jawabannya sangat banyak sekali. Seluruh alam fisik dan

61
isinya adalah ada, bahkan di balik alam fisik ini juga ada seperti
tuhan, alam gaib dan jiwa. Para filosof membagi segala sesuatu itu
menjadi tiga, yaitu tuhan, alam dan manusia. Ketiga pembahasan
utama filsafat ini kerap disebut Mulyadhi Kertanegara128 sebagai
trilogi metafisika.
Lingkup kajian filsafat sangat luas, karena filsafat mengkaji
segala keberadaan. Bila dilihat pandangan para filosof Muslim,
mereka membagi filsafat menjadi dua bagian, yaitu filsafat teoritis
(hikmah nazhariyah) dan filsafat praktis (hikmah ‘amaliyah). Filsafat
teoritis adalah ilmu tentang keadaan sesuatu (wujud)
sebagaimana hakikatnya/adanya (maujud bi ma huwa maujud).
Jadi, filsafat teoritis membahas tentang wujud dan keberadaan
dari sisi rasio manusia. Sedangkan filsafat praktis adalah
pengetahuan mengenai perilaku manusia (yaitu perilaku ikhtiyari-
nya) sebagaimana seharusnya, berangkat dari pemahaman
tentang segala sesuatu sebagaimana adanya. Jadi, filsafat praktis
membahas tentang perintah dan larangan atau tugas dan
kewajiban setiap manusia. Filsafat praktis menjelaskan bahwa
manusia memiliki serangkaian tugas dan kewajiban dari sisi rasio
manusia.129 Ruang lingkup pembahasan filsafat bisa dilihat dari
dua pembagian ini.
Seperti telah disinggung bahwa filsafat teoritis membahas
wujud dan keberadaan secara rasional. Objek-objek filsafat teoritis
dibagi menjadi tiga yaitu (1) objek-objek yang secara niscaya tidak
berkaitan dengan materi dan gerak, (2) objek-objek yang pada
dirinya immateri, tetapi terkadang melakukan kontak dengan
materi dan gerak, (3) objek-objek yang senantiasa berkaitan

128
Mulyadhi Kartanegara, Menembus Batas Waktu: Panorama Filsafat
Islam (Bandung: Mizan, 2002), h. 124.
129
Muthahhari, Pengantar Ilmu-Ilmu Islam, h. 253-254, 303; Haidar Bagir,
Buku Saku Filsafat Islam, h. 21-22.

62
dengan materi dan gerak.130 Dari tiga objek kajian filsafat teoritis
ini lahir tiga bagian mendasar filsafat teoritis yaitu metafisika,
matematika dan fisika.
Tiga bagian filsafat teoritis ini melahirkan banyak disiplin
ilmu. Metafisika memunculkan sejumlah disiplin ilmu seperti
ontologi, teologi, kosmologi, psikologi, dan eskatologi.
Matematika melahirkan disiplin-disiplin ilmu semacam geometri
[trigonometri, surveying, dan optik], aritmatika [ilmu hitung,
aljabar, aritmatika bisnis, dan ilmu waris], musik, dan astronomi.
Sedangkan fisika melahirkan sejumlah ilmu semacam mineralogi,
botani, zoologi, antropologi, geologi, meteorologi, dan
kedokteran.131 Banyak lagi disiplin-disiplin ilmu lahir dari filsafat
teoritis ini.
Sedangkan, filsafat praktis membahas perilaku manusia
secara rasional, baik tugas-tugas maupun kewajiban-kewajiban,
atas dasar pemahaman terhadap segala sesuatu sebagaimana
adanya. Objek-objek filsafat teoritis dibagi menjadi tiga yaitu (1)
perilaku individu, (2) perilaku kolektif pada level keluarga, (3)
dan perilaku kolektif pada level kota dan negara.132 Dari tiga objek
kajian filsafat praktis ini lahir tiga bagian mendasar filsafat praktis
yaitu etika, ekonomi dan politik. Banyak sekali ilmu-ilmu lahir
dari filsafat praktis ini.
Fakta ini menjadi alasan para ahli menyatakan bahwa
filsafat adalah induk segala ilmu (the mother of knowledge).133
Karena, dari filsafat teoritis muncul beragam ilmu tentang tuhan,

130
Mulyadhi Kartanegara, Integrasi Ilmu: Sebuah Rekonstruksi Holistik
(Bandung: ‘Arasy, 2005), h. 72-73.
131
Ibid., h. 72-99.
132
Osman Bakar, Hierarki Ilmu: Membangun Rangka-Pikir Islamisasi Ilmu
Menurut al-Farabi, al-Ghazali, dan Quthb al-Din al-Syirazi, terj. Purwanto
(Bandung: Mizan, 1997), h. 286.
133
M. Abdul Ghoffar, Kamus Indonesia-Arab: Istilah Umum dan Kata-Kata
Populer (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000), h. 106.

63
alam dan manusia. Sedangkan dari filsafat praktis lahir beraneka
macam ilmu tentang perilaku manusia, baik etika, ekonomi
maupun politik. Dari sini jelas bahwa seorang filosof adalah
manusia paling cerdas, setelah kecerdasan para nabi dan rasul
Allah SWT., karena ia mengetahui seluruh pengetahuan. Semua
uraian ini sekaligus membuktikan bahwa ruang lingkup
pembahasan filsafat sangat luas.

Filsafat

Filsafat Teoritis Filsafat Praktis

Metafisika Etika

Matematika Ekonomi

ManfaatFisika
Filsafat Politik
Apakah filsafat memiliki manfaat bagi kehidupan umat
manusia? Apabila jawabannya adalah tidak, maka secara pasti
akan membuat seseorang akan enggan mempelajarinya, dan mata
kuliah filsafat tidak perlu diajarkan seorang dosen filsafat di
perguruan tinggi. Akan tetapi, jika jawabannya adalah ya, akan
membuat seseorang bertanya tentang manfaat filsafat, sehingga
orang tersebut harus mempelajarinya.
Pada dasarnya, pelajaran filsafat memiliki manfaat besar
bagi kehidupan umat manusia, sehingga filsafat menjadi sangat

64
penting dipelajari oleh seseorang, apapun latar belakang
keilmuannya. Manfaat filsafat bisa dilihat dari sudut pandang
tema-tema utama pembahasan filsafat, yaitu tuhan, alam dan
manusia.
Berikut ini manfaat mempelajari pelajari filsafat. Pertama.
Filsafat mampu melatih seseorang berpikir secara logis, kritis dan
sistematis. Seperti diungkap bahwa filsafat bermakna cinta
kepada kebijaksanaan, berusaha keras mencari, mengenali,
memahami dan merealisasikan kebijaksanaan tersebut dalam
keseharian. Usaha tersebut dilakukan secara rasional. Artinya,
seorang penekun filsafat harus mampu mengoptimalisasikan
potensi akalnya secara sempurna, sehingga ia mampu berpikir
secara universal, radikal, logis dan sistematis. Ia harus melakukan
aktualisasi potensi akal tersebut secara kontinyu, sehingga
aktifitas berpikir menjadi bagian dari kepribadiannya. Ia
membahas hakikat realitas (keberadaan), baik tuhan, alam dan
manusia secara rasional. Apalagi seorang pemula filsafat harus
menguasai ilmu logika sebelum membahas tema-tema filsafat.
Usaha ini jelas mampu membuat akal seseorang akan teraktual,
sehingga ia akan mampu berpikir secara logis, kritis dan
sistematis.
Kedua. Filsafat mampu menjadikan diri seseorang menjadi
bijaksana (‘arif). Seorang pengkaji filsafat akan mampu
memahami hakikat realitas secara sempurna. Ia akan mampu
memahami makna tuhan, alam dan manusia secara rasional. Ia
akan memahami bahwa antara ketiganya, tuhan, alam, dan
manusia memiliki kaitan erat. Ia akan memahami betapa tuhan
maha sempurna, dan betapa alam dan manusia sangat
mengharapkan eksistensinya. Semua ini membuat ia menyadari
tentang arti kehidupan fana ini. Pemahaman ini akan membuat
seseorang akan menjadi lebih bijaksana dalam kehidupannya. Ia

65
akan menjalani perjalanan hidupnya atas dasar pemahamannya
tentang hakikat realitas tersebut.
Ketiga. Filsafat mampu menjadikan seseorang menjadi
manusia paling cerdas. Sebab, filsafat membahas seluruh realitas
secara sempurna, baik tuhan, alam dan manusia. Filsafat
membahas makna terdalam dari keberadaan dan karakteristik
tuhan, alam dan manusia. Pembahasan tentang seluruh
keberadaan secara rasional ini menghasilkan berbagai macam
pengetahuan tentang tuhan, alam dan manusia. Dari sinilah,
berbagai macam disiplin ilmu muncul. Seorang filosof mampu
memahami seluruh realitas secara rasional, karenanya, ia pun
memiliki sejumlah pengetahuan tentang tuhan, alam dan
manusia. Jelas sekali bahwa sang filosof pun menguasai beraneka
macam disiplin ilmu. Sebab itulah, seorang filosof akan menjadi
manusia paling cerdas, setidaknya, posisinya tepat di bawah
kecerdasan para nabi dan rasul, karena ia menguasai seluruh
disiplin ilmu pengetahuan, pada saat banyak pemikir hanya
mampu menguasai satu atau beberapa disiplin ilmu saja.
Kelima. Filsafat mampu mengokohkan pondasi agama
sehingga filsafat membantu seseorang mendekatkan diri
seseorang kepada Ilahi. Filsafat, seperti telah disebut, membahas
tuhan, alam dan manusia secara rasional. Filsafat akan membantu
seseorang menemukan bukti-bukti rasional dari keberadaan-Nya,
keesaan-Nya, dan alam dan manusia, baik fisik maupun
psikisnya, sebagai makhluk ciptaan-Nya. Filsafat membantu
seseorang memahami bahwa setiap makhluk harus berterima
kasih kepada Penciptanya, karena telah memberikan kehidupan
kepada setiap makhluk. Filsafat akan membuktikan bahwa antara
keputusan akal dan wahyu tentang realitas sama sekali tidak
bertentangan, tetapi saling melengkapi. Semua ini jelas akan
mengokohkan pondasi agama (akidah) seseorang.

66
Keenam. Filsafat mampu mendorong laju sebuah peradaban
berkualitas masa depan. Ada dua alasan pendukung alasan ini. (1)
Filsafat dikenal luas sebagai induk ilmu pengetahuan,134 sehingga
penguasaan atas tradisi filsafat akan diikuti oleh penguasaan
terhadap pelbagai ilmu pengetahuan. Pembahasan tuhan, alam
dan rasional mampu melahirkan berbagai macam ilmu
pengetahuan Pelbagai ilmu pengetahuan sangat diperlukan oleh
manusia. (2) Sebuah peradaban besar tidak akan bisa berdiri
kokoh jika tidak ditopang oleh kekuatan intelektualitas. Kekuatan
ini tidak bisa diwujudkan tanpa filsafat. Osman Bakar, misalnya,
menyatakan bahwa kebangkitan peradaban Islam Klasik
dikarenakan, salah satunya adalah, suburnya filsafat yang
ditujukan kepada pengajaran, kemajuan, dan pengembangan
ilmu.135 Mulyadhi Kertanegara menyatakan bahwa jalan menuju
dan melahirkan renaissance adalah menghimpun dan
menerjemahkan serta mengkaji karya-karya filsafat Islam.136 Jadi,
filsafat memiliki urgensi besar bagi pembangunan sebuah
peradaban emas masa depan.

Filsafat Pancasila: Sebuah Pengantar


Banyak sekali jenis-jenis filsafat. Misalnya, filsafat Cina,
filsafat India, filsafat Persia, filsafat Yunani, filsafat Romawi,
filsafat Islam, filsafat Barat. Dalam konteks keindonesiaan, bangsa
ini memiliki sistem falsafah sendiri yaitu filsafat Pancasila.
Filsafat Pancasila dikatakan sebagai sistem filsafat, karena
alasan berikut ini. Pertama. Pancasila dirumuskan oleh para
pendiri negara Indonesia secara rasional. Para pendiri negara ini
telah merumuskan konsep Pancasila dengan berpikir secara
134
Ghoffar, Kamus Indonesia-Arab, h. 106.
135
Osman Bakar, Tauhid dan Sains, terj. Yuliani Liputo dan M.S.
Nashrullah (Bandung: Pustaka Hidayah, 2008), h. 399-340.
136
Kartanegara, Menembus Batas Waktu, h. 110-125.

67
universal, radikal dan sistematis. Kedua. Pancasila menjadi telah
pandangan hidup bangsa Indonesia sejak awal kemerdekaan dan
seluruh aspek kehidupan bangsa ini didasari oleh Pancasila.
Ketiga. Pancasila berisikan kebijaksanaan (ke’arifan) lokal khas
nusantara. Ketiga alasan inilah menjadi argumen bahwa Pancasila
menjadi salah satu sistem filsafat.
Alkisah bertanyalah seorang awam yang bertanya kepada
ahli filsafat yang arif bijaksana, “ coba sebutkan kepada saya
berapa jenis manusia yang terdapat dalam kehidupan ini
berdasarkan pengetahuannya!”.137 Filsuf itu menarik nafas
panjang dan berpantun :
ada orang yang tahu di tahunya
ada orang yang tahu di tidak tahunya
ada orang yang tidak tahu di tahunya
ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya
“Bagaimana caranya agar kita mendapatkan pengetahuan
yang benar?”, sambung orang awam itu, penuh hasrat dengan
ketidaktahuannya. “Mudah saja, jawab filsuf itu, “ketahuilah apa
yang kau tahu dan ketahuilah apa yang kau tidak tahu.”
Pengetahuan dimulai dari rasa ingin tahu, kepastian
dimulai dari ragu-ragu dan filsafat dimulai dengan kedua-
duanya. Berfilsafat didorong untuk mengetahui apa yang tidak
kita tahu dan apa yang belum kita tahu. Berfilsafat seperti
berendah hati bahwa tidak semuanya akan pernah kita ketahui
dalam kesemestaan yang seakan tidak terbatas ini. Berfilsafat
berarti mengoreksi diri, semacam keberanian untuk berterus
terang, seberapa jauh sebenarnya kebenaran yang kita cari telah
kita jangkau.138

137
Jujun S . Suria Sumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Kata
Pengantar Andi Hakim Nasution, Sinar Harapan, Jakarta, 1995, hal. 19/
138
Ibid.

68
Secara etimologis, istilah filsafat berasal dari bahasa
Yunani, philein artinya cinta dan sophos yang artinya hikmah atau
kebijaksanaan atau wisdom. Secara harfiah, istilah filsafat
mengandung makna cinta kebijaksanaan.
Karakteristik berpikir filsafat yang pertama adalah sifat
menyeluruh. Seorang ilmuwan tidak puas lagi mengenal ilmu
hanya dari segi pandang ilmu itu sendiri. Dia ingin melihat
hakekat ilmu dalam konstelasi ilmu pengetahui lainnya. Lulusan
teknik tidak boleh merasa lebih tinggi dari lulusan agama, apalagi
merendahkan.
Karekter kedua adalah sifat mendasar, bahwa seorang yang
berfikir filsafat selain tengadah ke bintang-bintang juga
membongkar tempat berpijak secara fundamental. Dia tidak
percaya begitu saja mengapa ilmu itu disebut benar, bagaimana
proses penilaian kriteria itu sendiri benar, lalu benar itu sendiri
apa, seperti sebuah lingkaran yang dimulai dari satu titik, lalu
bagaimana menentukan titik awal yang benar.
Karakter filsafat yang ketiga adalah spekulatif, bahwa
semua ilmu pengetahuan dimulai dengan spekulasi. Dari
serangkaian spekulasi ini kita dapat memilih buah pikiran yang
dapat diandalkan yang merupakan titik awal dari penjelajahan
pengetahuan tanpa menetapkan kriteria benar atau tidak maka
tidak mungkin berbicara tentang moral. juga tanpa wawasan apa
yang disebut jelek atau tidak, kita tidak mungkin berbicara
tentang kesenian.
Filsafat ilmu mengenal ada tiga kajian yaitu ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Ontologis yaitu membicarakan
hakikat apa yang dikaji. Ontologism berasal dari kata ontos yang
berarti apa atau keapa-apaan (whatness). Epistemologis yaitu
membicarakan cara mendapatkan pengetahuan yang benar,
berasal dari kata episteme dan logy. Episteme berarti sumber dan

69
cara memperoleh, sedangkan logi berarti ilmu. Sedangkan
aksiologi yang berarti nilai kegunaan ilmu atau manfaat.
Pancasila yang digandengkan dengan filsafat bermakna
bahwa pancasila sebagai nilai-nilai filosofis yang bersumber dari
bumi Indonesia, bukan sublimasi atau penarikan ke atas (hogere
optrekking) dari Declration of Independence Amerika Serikat,
Manifesto Komunis, Idealisme, Pragmatisme, Materialisme atau
paham lain di dunia. Kata Pancasila secara historis pertama kali
ditemukan dalam kitab Sutosoma karya Mpu Tanyular yang
ditulis zaman Majapahit abad ke-IV, yang diartikan sebagai 5
(lima) perintah kesusilaan atau Pancasila Krama dan berima 5
(lima) larangan yaitu dilarang melakukan kekerasan, dilarang
mencuri, dilarang berjiwa dengki, dilarang berbohong, dan
dilarang mabuk akibat minuman keras.
Adapun ontologis sila-sila Pancasila pada hakekatnya
adalah manusia, yang memiliki hakekat mutlak monopluralis. Oleh
karena itu hakekat dasar ini juga disebut dasar antroplogis. Subjek
pendukung pokok sila-sila pancasila adalah manusia, hal ini
dapat dijelaskan bahwa: yang berketuhanan Yang Maha Esa, yang
berkemanusian yang adil dan beradab, yang berpersatuan, yang
berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat dan kebijaksanaan
serta yang berkeadilan sosial pada hakekatnya adalah manusia.
Sari segi filsafat negara bahwa pancasila adalah dasar filsafat
negara. Adapun pendukung pokok negara adalah rakyat dan
unsur rakyat adalah manusia.
Secara epistemologis, sila-sila Pancasila sebagai suatu
sistem pengetahuan memiliki susunan yang bersifat formal dan
logis baik dalam arti susunan sila-sila Pancasila dan arti sila-sila
Pancasila. Susunan kesatuan nilai-nilai pancasila bersifat
hierarkhis dan berbentuk primordial, dimana sila pertama
mendasari dan menjiwai keempat sila lainnya serta sila kedua

70
didasari sila pertama serta mendasari dan menjiwai sila-sila
keempat dan kelima, sila ketiga didasari oleh sila pertama dan
kedua serta mendasari dan menjiwai sila-sila keempat dan
kelima, sila keempat didasari sila dan dijiwai sila pertama, kedua
dan ketiga serta mendasari dan menjiwai sila kelima, adapun sila
kelima didasari dan dijiwai oleh sila-sila pertama, kedua, ketiga
dan keempat
Karena itu, konsepsi dasar ontologis sila-sila Pancasila
yaitu hakekat manusia monopluralis merupakan dasar pijak
epistemologis pancasila. Hakekat manusia monopluralis adalah
memiliki unsur pokok, yaitu susunan kodrat (jasmani dan rohani).
Jasmani manusia unsur-unsurnya adalah fisis anorganis, vegetatif,
animal. Adapun unsur rohani terdiri dari unsur akal, rasa dan
kehendak.

Sumber Pengetahuan Pancasila


Berdasarkan itu, maka Pancasila menerima kebenaran
secara rasio yang bersumber pada akal manusia, sehingga dalam
proses reseptif indera merupakan alat untuk mendapatkan
kebenaran pengetahuan yang bersifat empiris terutama dalam
kaitannya dengan pengetahuan manusia yang bersifat empiris.
Sebagai makhluk tuhan Yang Maha Esa, epistemologi Pancasila
juga mengakui kebenaran wahyu yang bersifat mutlak, hal ini
sebagai tingkat kebenaran yang tertinggi. Selain dalam sila
persatuan indonesia dan sila kerakyatan yang dipimpin oleh
hikmat dan kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
serta keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia, maka
epistemologi Pancasila juga mengakui kebenaran konsensus
dalam kaitannya dengan kodrat sebagai makhluk individu dan
makhluk sosial.

71
Dasar Aksiologi Sila-sila Pancasila
Sila-sila Pancasila sebagai suatu sistem filsafat juga
memiliki satu kesatuan dasar aksiologisnya, yaitu nilai-nilai yang
terkandung dalam Pancasila pada hakekatnya juga merupakan
satu kesatuan.
Menurut Notonagoro bahwa nilai-nilai pancasila tergolong
nilai-nilai kerohanian, tetapi nilai-nilai kerohanian yang mengakui
adanya nilai material, nilai kebenaran, nilai vital, nilai keindahan
yang dimulai dari sila ketuhanan Yang Maha Esa sebagai dasar
sampai sila keadilan sosial bagi seluruh rakyat indonesia sebagai
tujuan.
Berdasarkan argumentasi Notonagoro tersebut, maka
jelaslah Pancasila itu anti sekularisasi, liberalisasi, hedonistis,
materialisme dan yang faham lainnya yang terlalu banyak
menyandera Pancasila secara ideologi dan paradigma berpikir
bangsa ini.
Visi Pancasila dituangkan dalam Pasal 29 UUD 1945 yang
menyatakan ‘’negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa.”
Dengan visi ini, pendiri negara ingin menegaskan bahwa negara
yang dibangunnya bukanlah negara sekular.

72

Anda mungkin juga menyukai