Anda di halaman 1dari 34

BANGSA

INDONESI
A
Kata Pengantar

Puji syukur yang sebesar-besarnya kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas
rahmat, kasih dan karunianya sehingga tim penyusun dapat menyelesaikan makalah tentang “Perjuangan
Mempertahankan Kemerdekaan Indonesia” ini dengan baik dan tepat pada waktunya.

Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas dari salah satu guru SMP Negeri 1Arut
Selatan, Ibu Suhartatik, Spd. Tim Penyusun berusaha menyajikan makalah ini dalam bahasa yang lebih
sederhana dan mudah dimengerti oleh para pembaca untuk mempermudah pemahaman pada materi ini.

Selesainya tugas ini tidak terlepas dari keterlibatan berbagai pihak. Oleh karena itu, penyusun
mengucapkan banyak terima kasih kepada teman – teman dan guru yang memberikan saran dan kritik
untuk penyelesaian makalah ini.

Penyusun menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu,kami
selaku Tim Penyusun menohon maaf yang sebesar – besarnya apabila terdapat isi materi yang kurang
baik.

Akhir kata, semoga makalah ini dapat memberikan manfaat kepada kita semua. Terima kasih.

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................................................2

Daftar isi......................................................................................................................................................3

1. Perjuangan Bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan......................................4


A. Perjuangan Bersenjata.........................................................................................................4
 Pertempuran di Semarang.......................................................................................4
 Peperangan di Ambarawa........................................................................................6
 Pertempuran 10 November di Surabaya..................................................................8
 Medan Area.............................................................................................................12
 Bandung Lautan Api...............................................................................................13
 Peristiwa Merah Putih di Manado...........................................................................14
 Puputan Jagaraga, Kusumba, dan Badung..............................................................15
 Puputan Klungkung dan Margarana........................................................................16
Peristiwa Merah Putih di Biak dan Peperangan di Sulawesi Selatan......................17
B. Perjuangan Diplomasi.........................................................................................................18

2. Agresi Militer Belanda 1 dan Agresi Militer Belanda 2.........................................................24


A. Agresi Militer Belanda 1...................................................................................................24
B. Agresi Militer Belanda 2...................................................................................................27
3. Serangan Umum 1 Maret........................................................................................................30

3
1. Perjuangan
Bangsa Perjuangan bangsa Indonesia intuk mewujudkan suatu
Indonesia kemerdekaan yang sempurnya belum sepenuhnya berakhir. Selain
dalam masalah pemerintahan yang belum sepenuhnya terbentuk, Belanda
Mempertahan juga belum mengakui kemerdekaan Indonesia. Mereka masih
kan mengklaim bahwa Indonesia merupakan wilayah Kerajaan
Belanda. Sehingga membuat para pejuang merasa marah dan
Kemerdekaan
benci terhadap Belanda. Mereka-pun juga melawan pihak Belanda
yang ingin kembali menguasai Indonesia. Bentuk – bentuk perlawanan bangsa Indonesia terhadap
pihak Belanda dapat dibedakan menjadi 2, yaitu Perjuangan Bersenjata dan Perjuangan Diplomasi.

A. Perjuangan
Bersenjata
Perjuangan Bersenjata bangsa Indonesia terjadi diberbagai tempat, antara lain :

a. Pertempuran di Semarang

1. Kronologi

 Kaburnya tawanan Jepang


Hal pertama yang menyulut kemarahan para pemuda Indonesia adalah ketika
pemuda Indonesia memindahkan tawanan Jepang dari Cepiring ke Bulu, dan di tengah jalan mereka
kabur dan bergabung dengan pasukan Kidobutai dibawah pimpinan Jendral Nakamura. Kidobutai
terkenal sebagai pasukan yang paling berani, dan untuk maksud mencari perlindungan mereka bergabung
bersama pasukan Kidobutai di Jatingaleh.
 Tewasnya Dr. Kariadi

Setelah kabur-nya tawanan Jepang, pada Minggu, 14 Oktober 1945, pukul 6.30 WIB, pemuda-
pemuda rumah sakit mendapat instruksi untuk mencegat dan memeriksa mobil Jepang yang lewat di
depan RS Purusara. Mereka menyita sedan milik Kempetai dan merampas senjata mereka. Sore harinya,
para pemuda ikut aktif mencari tentara Jepang dan kemudian menjebloskannya ke Penjara Bulu. Sekitar
pukul 18.00 WIB, pasukan Jepang bersenjata lengkap melancarkan serangan mendadak sekaligus
melucuti delapan anggota polisi istimewa yang waktu itu sedang menjaga sumber air minum bagi warga

4
Kota Semarang Reservoir Siranda di Candilama. Kedelapan anggota Polisi Istimewa itu disiksa dan
dibawa ke markas Kidobutai di Jatingaleh. Sore itu tersiar kabar tentara Jepang menebarkan racun ke
dalam reservoir itu. Rakyat pun menjadi gelisah. Cadangan air di Candi, desa Wungkal, (Sekarang
menjadi kawasan industri Candi Semarang) waktu itu adalah satu-satunya sumber mata air di
kota Semarang. Sebagai kepala RS Purusara (sekarang Rumah Sakit Kariadi Dokter Kariadi berniat
memastikan kabar tersebut. Selepas Magrib, ada telepon dari pimpinan Rumah Sakit Purusara, yang
memberitahukan agar dr. Kariadi, Kepala Laboratorium Purusara segera memeriksa Reservoir Siranda
karena berita Jepang menebarkan racun itu. Dokter Kariadi kemudian dengan cepat memutuskan harus
segera pergi ke sana. Suasana sangat berbahaya karena tentara Jepang telah melakukan serangan di
beberapa tempat termasuk di jalan menuju ke Reservoir Siranda. Isteri dr. Kariadi, drg. Soenarti mencoba
mencegah suaminya pergi mengingat keadaan yang sangat genting itu. Namun dr. Kariadi berpendapat
lain, ia harus menyelidiki kebenaran desas-desus itu karena menyangkut nyawa ribuan warga Semarang.
Akhirnya drg. Soenarti tidak bisa berbuat apa-apa. Ternyata dalam perjalanan menuju Reservoir Siranda
itu, mobil yang ditumpangi dr. Kariadi dicegat tentara Jepang di Jalan Pandanaran. Bersama tentara
pelajar yang menyopiri mobil yang ditumpanginya, dr. Kariadi ditembak secara keji. Ia sempat dibawa ke
rumah sakit sekitar pukul 23.30 WIB. Ketika tiba di kamar bedah, keadaan dr. Kariadi sudah sangat
gawat. Nyawa dokter muda itu tidak dapat diselamatkan. Ia gugur dalam usia 40 tahun satu bulan.

2. Tokoh – Tokoh Yang Terlibat

Mengenai pertempuran lima hari di Semarang ini, ada beberapa tokoh yang terlibat adalah sbb :
1. dr. Kariadi

dr. Kariadi adalah dokter yang akan mengecek cadangan air minum di daerah Candi yang
kabarnya telah diracuni oleh Jepang. Ia juga merupakan Kepala Laboratorium Dinas Pusat
Purusara.
2. Mr. Wongsonegoro

Gubernur Jawa Tengah yang sempat ditahan oleh Jepang.


3. Dr. Sukaryo dan Sudanco Mirza Sidharta

Tokoh Indonesia yang ditangkap oleh Jepang bersama Mr. Wongsonegoro.


4. Mayor Kido (Pemimpin Kidobutai)

Pimpinan Batalion Kidobutai yang berpusat di Jatingaleh.


5. drg. Soenarti

Istri dr. Kariadi

5
6. Kasman Singodimejo

Perwakilan perundingan gencatan senjata dari Indonesia.


7. Jenderal Nakamura

Jenderal yang ditangkap oleh TKR di Magelang

3. Peristiwa Lain

1. Sebelum tanggal 20 Oktober, ada kejadian Gencatan Senjata antara kedua belah pihak, tetapi
kendati demikian kejadian ini tidak memadamkan situasi, kejadian diperparah dengan pembunuhan
sandera
2. Di Pedurungan, orang-orang Semarang, terutama dari Mranggen dan Genuk menjadi satu untuk
memindahkan tawanan, yang menjadi sandera. Karena janji Jepang untuk mundur tidak dipenuhi
maka 75 sandera itu dibunuh, sehingga perang berlanjut.
3. Radius 10 km dari Tugumuda menjadi medan peperangan 5 Hari Semarang

4. Monumen Tugu Muda

Untuk memperingati Pertempuran 5 Hari di Semarang, dibangun Tugu Muda sebagai monumen
peringatan. Tugu Muda ini dibangun pada tanggal 10 November 1950. Diresmikan oleh presiden Ir.
Soekarno pada tanggal 20 Mei 1953. Bangunan ini terletak di kawasan yang banyak merekam peristiwa
penting selama lima hari pertempuran di Semarang, yaitu di pertemuan antara Jl. Pemuda, Jl. Imam
Bonjol, Jl. Dr. Sutomo, dan Jl. Pandanaran dengan lawang sewu. Selain pembangunan Tugu Muda,
Nama dr. Kariadi diabadikan sebagai nama salah satu rumah sakit di Semarang.

b. Peperangan di Ambarawa

a. Kronologi Peristiwa

Pada tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah pimpinan Brigadir Bethell mendarat di
Semarang dengan maksud mengurus tawanan perang dan tentara Jepang yang berada di Jawa Tengah.
Kedatangan sekutu ini diboncengi oleh NICA. Kedatangan Sekutu ini mulanya disambut baik, bahkan
Gubernur Jawa Tengah Mr Wongsonegoro menyepakati akan menyediakan bahan makanan dan
keperluan lain bagi kelancaran tugas Sekutu, sedang Sekutu berjanji tidak akan mengganggu kedaulatan
Republik Indonesia.

Namun, ketika pasukan Sekutu dan NICA telah sampai di Ambarawa dan Magelang untuk
membebaskan para tawanan tentara Belanda, para tawanan tersebut malah dipersenjatai sehingga
menimbulkan kemarahan pihak Indonesia.

Insiden bersenjata timbul di kota Magelang, hingga terjadi pertempuran. Di Magelang, tentara
Sekutu bertindak sebagai penguasa yang mencoba melucuti Tentara Keamanan Rakyat dan membuat
6
kekacauan. TKR Resimen Magelang pimpinan Letkol. M. Sarbini membalas tindakan tersebut dengan
mengepung tentara Sekutu dari segala penjuru. Namun mereka selamat dari kehancuran berkat campur
tangan Presiden Soekarno yang berhasil menenangkan suasana. Kemudian pasukan Sekutu secara diam-
diam meninggalkan Kota Magelang menuju ke benteng Ambarawa. Akibat peristiwa tersebut, Resimen
Kedu Tengah di bawah pimpinan Letkol. M. Sarbini segera mengadakan pengejaran terhadap mereka.
Gerakan mundur tentara Sekutu tertahan di Desa Jambu karena dihadang oleh pasukan Angkatan Muda di
bawah pimpinan Oni Sastrodihardjo yang diperkuat oleh pasukan gabungan dari Ambarawa, Suruh dan
Surakarta.

Tentara Sekutu kembali dihadang oleh Batalyon I Soerjosoempeno di Ngipik. Pada saat
pengunduran, tentara Sekutu mencoba menduduki dua desa di sekitar Ambarawa. Pasukan Indonesia di
bawah pimpinan Letkol. Isdiman berusaha membebaskan kedua desa tersebut, namun ia keburu gugur
terlebih dahulu. Sejak gugurnya Letkol. Isdiman, Komandan Divisi V Banyumas, Kol. Soedirman merasa
kehilangan seorang perwira terbaiknya dan ia langsung turun ke lapangan untuk memimpin pertempuran.
Kehadiran Kol. Soedirman memberikan napas baru kepada pasukan-pasukan RI. Koordinasi diadakan di
antara komando-komando sektor dan pengepungan terhadap musuh semakin ketat. Siasat yang diterapkan
adalah serangan pendadakan serentak di semua sektor. Bala bantuan terus mengalir dari Yogyakarta,
Solo, Salatiga, Purwokerto, Magelang, Semarang, dan lain-lain.

Tanggal 23 November 1945 ketika matahari mulai terbit, mulailah tembak-menembak dengan
pasukan Sekutu yang bertahan di kompleks gereja dan kerkhop Belanda di Jl. Margo Agoeng. Pasukan
Indonesia terdiri dari Yon. Imam Adrongi, Yon. Soeharto dan Yon. Soegeng. Tentara Sekutu
mengerahkan tawanan-tawanan Jepang dengan diperkuat tanknya, menyusup ke tempat kedudukan
Indonesia dari arah belakang, karena itu pasukan Indonesia pindah ke Bedono.

b. Pertempuran Ambarawa

Pada tanggal 11 Desember 1945, Kol. Soedirman mengadakan rapat dengan para Komandan Sektor
TKR dan Laskar. Pada tanggal 12 Desember 1945 jam 04.30 pagi, serangan mulai dilancarkan.
Pembukaan serangan dimulai dari tembakan mitraliur terlebih dahulu, kemudian disusul oleh penembak-
penembak karaben. Pertempuran berkobar di Ambarawa. Satu setengah jam kemudian, jalan raya
Semarang-Ambarawa dikuasai oleh kesatuan-kesatuan TKR. Pertempuran Ambarawa berlangsung sengit.
Kol. Soedirman langsung memimpin pasukannya yang menggunakan taktik gelar supit urang, atau
pengepungan rangkap dari kedua sisi sehingga musuh benar-benar terkurung. Suplai dan komunikasi
dengan pasukan induknya diputus sama sekali. Setelah bertempur selama 4 hari, pada tanggal 15
Desember 1945 pertempuran berakhir dan Indonesia berhasil merebut Ambarawa dan Sekutu dibuat
mundur ke Semarang.Kemenangan pertempuran ini kini diabadikan dengan didirikannya Monumen
Palagan Ambarawa dan diperingatinya Hari Jadi TNI Angkatan Darat atau Hari Juang Kartika.

7
c. Pertempuran 10 November di Surabaya

Pertempuran Surabaya merupakan peristiwa sejarah perang antara pihak tentara Indonesia dan
pasukan Belanda. Peristiwa besar ini terjadi pada tanggal 10 November 1945 di kota Surabaya, Jawa
Timur. Pertempuran ini adalah perang pertama pasukan Indonesia dengan pasukan asing setelah
Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dan satu pertempuran terbesar dan terberat dalam sejarah Revolusi
Nasional Indonesia yang menjadi simbol nasional atas perlawanan Indonesia terhadap kolonialisme.

a. Kronologi

 Kedatangan Tentara Inggris & Belanda

Setelah kekalahan pihak Jepang, rakyat dan pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara
Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika
gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris
mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober 1945. Tentara Inggris datang ke
Indonesia tergabung dalam AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indies) atas keputusan dan atas nama
Blok Sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan perang yang
ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Namun selain itu tentara Inggris yang
datang juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada administrasi pemerintahan Belanda sebagai
negeri jajahan Hindia Belanda. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) ikut membonceng
bersama rombongan tentara Inggris untuk tujuan tersebut. Hal ini memicu gejolak rakyat Indonesia dan
memunculkan pergerakan perlawanan rakyat Indonesia di mana – mana melawan NICA dan
Pemerintahan AFNEI.

 Insiden di Hotel Yamato, Tunjungan, Surabaya

8
Setelah munculnya maklumat pemerintah Indonesia tanggal 31 Agustus 1945 yang menetapkan bahwa
mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Saka Merah Putih dikibarkan terus di seluruh wilayah
Indonesia, gerakan pengibaran bendera tersebut makin meluas ke segenap pelosok kota Surabaya.
Klimaks gerakan pengibaran bendera di Surabaya terjadi pada insiden perobekan bendera di Yamato
Hoteru / Hotel Yamato (bernama Oranje Hotel atau Hotel Oranye pada zaman kolonial, sekarang bernama
Hotel Majapahit) di Jl. Tunjungan no. 65 Surabaya.
Sekelompok orang Belanda di bawah pimpinan Mr. W.V.Ch Ploegman pada sore hari tanggal 18
September 1945, tepatnya pukul 21.00, mengibarkan bendera Belanda (Merah-Putih-Biru), tanpa
persetujuan Pemerintah RI Daerah Surabaya, di tiang pada tingkat teratas Hotel Yamato, sisi sebelah
utara. Keesokan harinya para pemuda Surabaya melihatnya dan menjadi marah karena mereka
menganggap Belanda telah menghina kedaulatan Indonesia, hendak mengembalikan kekuasan kembali di
Indonesia, dan melecehkan gerakan pengibaran bendera Merah Putih yang sedang berlangsung di
Surabaya.
Tak lama setelah mengumpulnya massa di Hotel Yamato, Residen Sudirman, pejuang dan diplomat
yang saat itu menjabat sebagai Wakil Residen (Fuku Syuco Gunseikan) yang masih diakui pemerintah
Dai Nippon Surabaya Syu, sekaligus sebagai Residen Daerah Surabaya Pemerintah RI, datang melewati
kerumunan massa lalu masuk ke hotel Yamato dikawal Sidik dan Hariyono. Sebagai perwakilan RI dia
berunding dengan Mr. Ploegman dan kawan-kawannya dan meminta agar bendera Belanda segera
diturunkan dari gedung Hotel Yamato. Dalam perundingan ini Ploegman menolak untuk menurunkan
bendera Belanda dan menolak untuk mengakui kedaulatan Indonesia. Perundingan berlangsung memanas,
Ploegman mengeluarkan pistol, dan terjadilah perkelahian
dalam ruang perundingan. Ploegman tewas dicekik oleh
Sidik, yang kemudian juga tewas oleh tentara Belanda
yang berjaga-jaga dan mendengar letusan pistol Ploegman,
sementara Sudirman dan Hariyono melarikan diri ke luar
Hotel Yamato. Sebagian pemuda berebut naik ke atas hotel
untuk menurunkan bendera Belanda. Hariyono yang
semula bersama Sudirman kembali ke dalam hotel dan
terlibat dalam pemanjatan tiang bendera dan bersama
Kusno Wibowo berhasil menurunkan bendera Belanda,
merobek bagian birunya, dan mengereknya ke puncak
tiang bendera kembali sebagai bendera Merah Putih.
Setelah insiden di Hotel Yamato tersebut, pada
tanggal 27 Oktober 1945 meletuslah pertempuran pertama
antara Indonesia melawan tentara Inggris . Serangan-
Gambar 1 - Peristiwa Perobekan Bendera Belanda serangan kecil tersebut di kemudian hari berubah menjadi
serangan umum yang banyak memakan korban jiwa di kedua belah pihak Indonesia dan Inggris, sebelum
akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Presiden Sukarno untuk meredakan situasi.

9
 Kematian Brigadir Jenderal Mallaby

Setelah gencatan senjata antara pihak Indonesia dan pihak tentara Inggris ditandatangani tanggal 29
Oktober 1945, keadaan berangsur-angsur mereda. Walaupun begitu tetap saja terjadi bentrokan-bentrokan
bersenjata antara rakyat dan tentara Inggris di Surabaya. Bentrokan-bentrokan bersenjata di Surabaya
tersebut memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa
Timur), pada 30 Oktober 1945 sekitar pukul 20.30. Mobil Buick yang ditumpangi Brigadir Jenderal
Mallaby berpapasan dengan sekelompok milisi Indonesia ketika akan melewati Jembatan Merah.
Kesalahpahaman menyebabkan terjadinya tembak
menembak yang berakhir dengan tewasnya Brigadir
Jenderal Mallaby oleh tembakan pistol seorang
pemuda Indonesia yang sampai sekarang tak
diketahui identitasnya, dan terbakarnya mobil
tersebut terkena ledakan granat yang menyebabkan
jenazah Mallaby sulit dikenali. Kematian Mallaby ini
menyebabkan pihak Inggris marah kepada pihak
Indonesia dan berakibat pada keputusan pengganti
Gambar 2 - Mobil Mallaby yang Hacur Mallaby, Mayor Jenderal E.C. Mansergh untuk
mengeluarkan ultimatum 10 November 1945 untuk meminta pihak Indonesia menyerahkan persenjataan
dan menghentikan perlawanan pada tentara AFNEI dan administrasi NICA.

 Perdebatan Tentang Pihak Penyebab Baku Tembak

Tom Driberg, seorang Anggota Parlemen Inggris dari Partai Buruh Inggris (Labour Party). Pada 20
Februari 1946, dalam perdebatan di Parlemen Inggris (House of Commons) meragukan bahwa baku
tembak ini dimulai oleh pasukan pihak Indonesia. Dia menyampaikan bahwa peristiwa baku tembak ini
disinyalir kuat timbul karena kesalahpahaman 20 anggota pasukan India pimpinan Mallaby yang memulai
baku tembak tersebut tidak mengetahui bahwa gencatan senjata sedang berlaku karena mereka terputus
dari kontak dan telekomunikasi. Berikut kutipan dari Tom Driberg:

“… Sekitar 20 orang (serdadu) India (milik Inggris), di sebuah bangunan di sisi lain alun-alun, telah
terputus dari komunikasi lewat telepon dan tidak tahu tentang gencatan senjata. Mereka menembak secara
sporadis pada massa (Indonesia). Brigadir Mallaby keluar dari diskusi (gencatan senjata), berjalan lurus
ke arah kerumunan, dengan keberanian besar, dan berteriak kepada serdadu India untuk menghentikan
tembakan. Mereka patuh kepadanya. Mungkin setengah jam kemudian, massa di alun-alun menjadi
bergolak lagi. Brigadir Mallaby, pada titik tertentu dalam diskusi, memerintahkan serdadu India untuk
menembak lagi. Mereka melepaskan tembakan dengan dua senapan Bren dan massa bubar dan lari untuk
berlindung; kemudian pecah pertempuran lagi dengan sungguh gencar. Jelas bahwa ketika Brigadir
Mallaby memberi perintah untuk membuka tembakan lagi, perundingan gencatan senjata sebenarnya
telah pecah, setidaknya secara lokal. Dua puluh menit sampai setengah jam setelah itu, ia (Mallaby)

10
sayangnya tewas dalam mobilnya-meskipun (kita) tidak benar-benar yakin apakah ia dibunuh oleh orang
Indonesia yang mendekati mobilnya; yang meledak bersamaan dengan serangan terhadap dirinya
(Mallaby).

Saya pikir ini tidak dapat dituduh sebagai pembunuhan licik… karena informasi saya dapatkan langsung
dari saksi mata, yaitu seorang perwira Inggris yang benar-benar ada di tempat kejadian pada saat itu, yang
niat jujurnya saya tak punya alasan untuk pertanyakan “

 Ultimatum 10 November 1945

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Mansergh mengeluarkan
ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor
dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan
di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah
membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia
dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR)
juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang
telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang
masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan
bom udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000
infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang.

Berbagai bagian kota Surabaya dibombardir dan ditembak dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan
pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari
penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh
menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal mupun terluka.

Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam
tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di
masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan
terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris. Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan
ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy’ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai
pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan
(pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat
kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari
minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak

11
terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini
mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya
akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.

Setidaknya 6,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat
sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India
Gambar 3 - Bung Tomo yang sedang kira-kira sejumlah 600. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan
"membakar" Semangat Para Pejuang
ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di
seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang
gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari
Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

d. Medan Area
a. Kronologi Peristiwa

Tanggal 27 Agustus 1945 rakyat Medan baru mendengar berita proklamasi yang dibawa oleh Mr.
Teuku Mohammad Hassan sebagai Gubernur Sumatera. Menanggapi berita proklamasi para pemuda
dibawah pimpinan Achmad Tahir membentuk barisan Pemuda Indonesia. Pendaratan Sekutu di kota
Medan terjadi pada tanggal 9 Oktober 1945 dibawah pimpinan T.E.D Kelly. Pendaratan tentara sekutu
(Inggris) ini diikuti oleh pasukan sekutu dan NICA yang dipersiapkan untuk mengambil alih
pemerintahan. Kedatangan tentara sekutu dan NICA ternyata memancing berbagai insiden. Pada tanggal
13 Oktober 1945 pemuda dan TKR bertempur melawan Sekutu dan NICA dalam upaya merebut dan
mengambil alih gedung-gedung pemerintahan dari tangan Jepang. Inggris mengeluarkan ultimatum
kepada bangsa Indonesia agar menyerahkan senjata kepada Sekutu. Ultimatum ini tidak pernah
dihiraukan. Pada tanggal 1 Desember 1945, Sekutu memasang papan yang tertuliskan "Fixed Boundaries
Medan Area" (batas resmi wilayah Medan) di berbagai pinggiran kota Medan. Tindakan Sekutu itu
merupakan tantangan bagi para pemuda. Pada tanggal 10 Desember 1945, Sekutu dan NICA melancarkan
serangan besar-besaran terhadap kota Medan. Serangan ini menimbulkan banyak korban di kedua belah
pihak. Pada bulan April 1946, Sekutu berhasil menduduki kota Medan. Pusat perjuangan rakyat Medan
kemudian dipindahkan ke Pemantangsiantar.

Untuk melanjutkan perjuangan di Medan maka pada bulan Agustus 1946 dibentuk Komando
Resimen Laskar Rakyat Medan Area. Komandan ini terus mengadakan serangan terhadap Sekutu
diwilayah Medan. Hampir di seluruh wilayah Sumatera terjadi perlawanan rakyat terhadap Jepang,
Sekutu, dan Belanda. Pertempuran itu terjadi, antara lain di Padang, Bukit Tinggi dan Aceh.

e. Bandung Lautan Api

Peristiwa Bandung Lautan Api adalah peristiwa kebakaran besar yang terjadi di kota Bandung,
provinsi Jawa Barat, Indonesia pada 24 Maret 1946. Dalam waktu tujuh jam, sekitar 200.000 penduduk
Bandung membakar rumah mereka, meninggalkan kota menuju pegunungan di daerah selatan Bandung.

12
Hal ini dilakukan untuk mencegah tentara Sekutu dan tentara NICA Belanda untuk dapat menggunakan
kota Bandung sebagai markas strategis militer dalam Perang Kemerdekaan Indonesia.

Pasukan Inggris bagian dari Brigade MacDonald tiba di Bandung pada tanggal 12 Oktober 1945.
Sejak semula hubungan mereka dengan pemerintah RI sudah tegang. Mereka menuntut agar semua
senjata api yang ada di tangan penduduk, kecuali TKR dan polisi, diserahkan kepada mereka. Orang-
orang Belanda yang baru dibebaskan dari kamp tawanan mulai melakukan tindakan-tindakan yang mulai
mengganggu keamanan.

Akibatnya, bentrokan bersenjata antara Inggris dan TKR tidak dapat dihindari. Malam tanggal 24
November 1945, TKR dan badan-badan perjuangan melancarkan serangan terhadap kedudukan-
kedudukan Inggris di bagian utara, termasuk Hotel Homann dan Hotel Preanger yang mereka gunakan
sebagai markas. Tiga hari kemudian, MacDonald menyampaikan ultimatum kepada Gubernur Jawa Barat
agar Bandung Utara dikosongkan oleh penduduk Indonesia, termasuk pasukan bersenjata.

Ultimatum Tentara Sekutu agar Tentara Republik Indonesia (TRI, sebutan bagi TNI pada saat itu)
meninggalkan kota Bandung mendorong TRI untuk melakukan operasi "bumihangus". Para pejuang
pihak Republik Indonesia tidak rela bila Kota Bandung dimanfaatkan oleh pihak Sekutu dan NICA.
Keputusan untuk membumihanguskan Bandung diambil melalui musyawarah Madjelis Persatoean
Perdjoangan Priangan (MP3) di hadapan semua kekuatan perjuangan pihak Republik Indonesia, pada
tanggal 24 Maret 1946.

Kolonel Abdoel Haris Nasoetion selaku Komandan Divisi III TRI mengumumkan hasil
musyawarah tersebut dan memerintahkan evakuasi Kota Bandung. Hari itu juga, rombongan besar
penduduk Bandung mengalir panjang meninggalkan kota Bandung dan malam itu pembakaran kota
berlangsung. Bandung sengaja dibakar oleh TRI dan rakyat setempat dengan maksud agar Sekutu tidak
dapat menggunakan Bandung sebagai markas strategis militer. Di mana-mana asap hitam mengepul
membubung tinggi di udara dan semua listrik mati.

Tentara Inggris mulai menyerang sehingga pertempuran


sengit terjadi. Pertempuran yang paling besar terjadi di
Desa Dayeuhkolot, sebelah selatan Bandung, di mana
terdapat gudang amunisi besar milik Tentara Sekutu.
Dalam pertempuran ini Muhammad Toha dan Ramdan,
dua anggota milisi BRI (Barisan Rakjat Indonesia) terjun
dalam misi untuk menghancurkan gudang amunisi
tersebut. Muhammad Toha berhasil meledakkan gudang
tersebut dengan dinamit. Gudang besar itu meledak dan terbakar bersama kedua milisi tersebut di
dalamnya.

13
Gambar 4 - Bandung yang Sudah Dibumihanguskan
Staf pemerintahan kota Bandung pada mulanya akan
tetap tinggal di dalam kota, tetapi demi keselamatan mereka, maka pada pukul 21.00 itu juga ikut dalam
rombongan yang mengevakuasi dari Bandung. Sejak saat itu, kurang lebih pukul 24.00 Bandung Selatan
telah kosong dari penduduk dan TRI. Tetapi api masih membubung membakar kota, sehingga Bandung
pun menjadi lautan api.Kenangan akan emosi yang para pejuang kemerdekaan Republik Indonesia alami
saat itu, menunggu untuk kembali ke kota tercinta mereka yang telah menjadi lautan api.

f. Peristiwa Merah Putih Di Manado

Pada akhir1945 pasukan sekutu (Australia) menyerahkan kekluasaan kepada NICA dan
sekutu,lalu meninggalkan manado .NICA bertindak sewenang wenang mnenangkap tokoh tokoh
RI.pemuda yang mnendukung RI membentuk PPI (pasukan pemuda Indonesia) mereka menggalang aksi
perlawanan .NICA menangkapi tokoh tokoh PPI juga .pada tanggal 14 februari 1946 PPI menyerbu
merkas NICA di teeing dan membebaskan tokoh yang di tangkap.mereka mengambil bendera belanda
lalu merobek warna biru dan mengbarkan sebagai bendera merah putih.

g. Puputan Jagaraga

Pada tahun 1846, Anak Agung Jelantik penguasa daerah Den Bukit, sekarang termasuk dalam
wilayah Kabupaten Buleleng memutuskan untuk melakukan perang puputan. Perang ini dipicu oleh
politik tawan karang (menahan seluruh kapal asing yang masuk ke dermaga pelabuhan Buleleng – Bali
Utara) yang diberlakukan Kerajaan Den Bukit tidak diterima oleh pihak Belanda yang mencoba masuk ke
wilayah Den Bukit. Karena dipersenjatai peralatan perang modern yang lengkap, termasuk kapal laut,
kapal udara, mobil perang beserta senapan-senapan apinya, maka Belanda secara membabi buta
menyerang wilayah Den Bukit mulai dari pesisir Buleleng sampai ke kota kerajaan di desa Jagaraga.

Dipimpin oleh Jenderal Mayor A.V. Michiels dan sebagai wakilnya adalah van Swieten, Kerajaan
Buleleng diserang dari segala tempat, udara, laut dan darat. Namun rakyat Den Bukit tidak menyerah
menghadapi serangan yang sangat tidak berimbang ini. Raja Den Bukit pun mengumumkan kepada
rakyat, pasukan perang dan kerabat istana untuk menghadapi Belanda sampai titik darah penghabisan.
Akhirnya Den Bukit pun jatuh ke tangan Kolonial Belanda, namun atas desakan rakyat, Anak Agung
Jelantik dan beberapa sesepuh Kerajaan Den Bukit berhasil diloloskan ke wilayah Kerajaan Karangasem
untuk meminta perlindungan dan menyusun kekuatan untuk kembali menghadapi pasukan Belanda.

h. Puputan Kusumba

Tiga tahun kemudian, yakni tahun 1849, Belanda berusaha menduduki wilayah Bali Timur.
Pasukan ingin menguasai wilayah Kerajaan Klungkung yang merupakan kerajaan tertinggi di Bali saat
itu. Dengan menguasai Kerajaan Klungkung, berarti wilayah Bali secara keseluruhan akan dibawah

14
kekuasaan penjajah Belanda. Namun rencana ini tercium oleh rakyat desa Kusamba yang merupakan
benteng kekuatan Kerajaan Klungkung. Rakyat Kusamba yang didukung penuh oleh atasannya
menyatakan akan menghadapi belanda secara perang puputan.

Pada tanggal 25 Mei 1849, tampil lah Ida I Dewa Istri Kanya, seorang perempuan Bali memimpin
perang puputan yang dikenal dengan Puputan Kusamba tersebut. Saat itu pasukan Belanda dipimpin oleh
Let. Jen. Michiels. Berbeda dengan perang puputan lainnya, kali ini Klungkung memenangkan perang
dengan terbunuhnya Micheils di medan perang. Kekalahan ini tentu saja membuat pihak Belanda sangat
malu.

i. Puputan Badung

Setelah hampir setengah abat tidak terdengar adanya perang puputan di Bali, tiba-tiba pada tanggal
20 September 1906, tiga kerajaan yakni Puri Kesiman, Puri Denpasar dan Puri Pemecutan mengumumkan
perang puputan melawan kolonial Belanda yang berkedudukan di Batavia. Perang ini dipicu oleh taktik
licik pihak kolonial Belanda yang menuduh rakyat Sanur mencuri barang-barang milik saudagar Cina
yang diangkut oleh kapal Sri Komala berbendera Belanda yang terdampar di pantai Sanur pada tahun
1904. Kwee Tek Tjiang, pemilik barang telah membuat laporan palsu kepada utusan raja dan menyatakan
rakyat telah mencuri 3.700 ringgit uang perak serta 2.300 uang kepeng. Laporan tanpa bukti itu tentu saja
tidak dipercaya oleh utusan raja.

Karena utusan raja tidak mempercayai laporan palsu tersebut, pihak kolonial Belanda mengeluarkan
ultimatun yakni mendenda Raja Badung, I Gusti Ngurah Denpasar (Badung merupakan otoritas tiga
kerajaan, yakni Kesiman, Denpasar dan Pemecutan) sebesar 3.000 ringgit (7.500 gulden). Jika Raja
Badung tidak mau membayar denda sampai batas tanggal yang ditentukan 9 Januari 1905, maka wilayah
Badung akan diserang secara militer oleh pihak kolonial Belanda. Karena rakyat Badung tidak bersalah,
maka tantangan tersebut diladeni dengan perlawanan.

Maka pecahlah Puputan Badung dengan korban gugur di pihak rakyat mencapai 7.000 orang,
termasuk para raja dan kerabat istana serta para pahlawan dari ketiga puri, Kesiman, Denpasar dan
Pemecutan. Pasukan Belanda dipimpin Rost Van Toningen, berhasil menduduki wilayah Badung. Namun
para wartawan perang yang dibawa pihak Belanda melaporkan bahwa Puputan Badung ini merupakan
pembantaian massal yang dilakukan militer Belanda terhadap rakyat sipil yang tidak bersenjata.

j. Puputan Klungkung

Dua tahun setelah Puputan Badung, tanggal 28 April 1908 kembali terjadi perang puputan melawan
kolonial Belanda. Perang puputan yang dikenal dengan Puputan Klungkung ini merupakan perang
puputan terakhir masa kerajaan di Bali. Perang yang menandai jatuhnya seluruh wilayah Bali ke tangan
belanda ini dipicu oleh kesewenang-wenangan Belanda dalam membuat peraturan yang tentu merugikan

15
rakyat Bali. Di pihak Klungkung dipimpin oleh Raja Klungkung Ida I Dewa Agung Jambe, yang
sekaligus gugur dalam peperangan.

Kemenangan Belanda kali ini merupakan obat penawar sakit hati yang harus diterima Belanda
ketika menggempur wilayah Klungkung di Desa kusamba sekitar setengah abad sebelumnya.

k. Puputan Margarana

Setelah Indonesia merdeka, pada masa-masa perang kemerdekaan kembali terjadi perang puputan di
wilayah Kabupaten Tabanan. Adalah Desa Marga, Kecamatan Marga, menjadi tempat bersejarah yang
menandai bagaimana rakyat Indonesia, khususnya rakyat Bali gigih menentang segala bentuk penjajahan.
Di tempat pertempuran secara puputan terakhir ini, kini ditandai dengan situs candi yang dikenal dengan
Candi Margarana. Marga adalah tempat kejadiannya, sedangkan rana berarti perang atau pertempuran.

Pada tanggal 20 November 1946, terjadi pertempuran habis-habisan antara pasukan Ciung Wanara
dibawah pimpinan Let. Kol. I Gusti Ngurah Rai melawan pasukan NICA (pasukan yang dibonceng
penjajah Belanda). Pertempuran sengit diatas kebun jagung di Banjar Kelaci itu membuat I Gusti Ngurah
Rai beserta segenap pasukannya gugur dalam membela tanah air, NKRI.

l. Peristiwa Merah Putih di Biak

Berita Proklamasi kemerdekaan Indonesia sekalipun terlambat, tetapi sampai juga di Papua. Rakyat
Papua yang ada diberbagai kota, seperti Jayapura, Sorong, Serui dan Biak memberikan sambutan yang
hangat dan mendukung Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Para pemuda di berbagai kota mengadakan
rapat umum mendukung kemerdekaan. Sekutu bersama NICA berusaha melarang kegaiatn politik dan
pengibaran bendera Merah Putih, namun para pemuda Papua tidak menhiraukan. Dalam upaya
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, pada tanggal 14 Maret 1948 terjadi peristiwa Merah Putih di
Biak. Peristiwa ini diawali dengan adanya penyerangan tangsi militer Belanda di Soroako dan Biak.
Selanjutnya, para pemuda Biak yang dipimpin oleh Joseph berusaha mengibarkan bendera merah putih di
seluruh Biak. Usaha ini mendapat perlawanan dari Belanda sehingga mengalami kegagalan. Beberapa
pemimpin perlawanan berhasil ditangkap dan dijatuhi hukuman mati.

m. Peperangan di Sulawesi Selatan

Sebagai gubernur Sulawesi Selatan yang di angkat tahun 1945 ,DR.G.S.S.J.Ratu Langie Melakukan
aktifitasnya dengan membentuk pusat pemuda nasional Indonesia (PPNI).Organisasi yang bertujuan
untuk menampung aspirasi pemuda ini pernah di pimpin oleh Manai Sophian.

Sementara itu pada bulan desember 1946 belanda mengirimkan pasukan ke Sulawesi Selatan
di bawah pimpinan Raymond Wasterling.kedatangan pasukan ini untuk “membersihkan” daerah Sulawesi
Selatan dari pejuang-pejuang republik dan menumpas perlawanan rakyat yang menentang terhadap
pembentukan Negara Indonesia timur.

16
Di daerah ini pula,pasukan Australia yang di boncengi NICA mendarat kemudian membentuk
pemerintahan sipil.Di Makassar karena Belanda melakukan usaha memecah belah rakyat maka tampilah
pemuda-pemuda pelajar seperti A.Rifai Paersi, Robert Wolter Mongon Sidi melakukan perlawanan
dengan merebut tempat-tempat strategis yang di kuasai NICA.selanjutnya untuk menggerakan perjuangan
di bentuk lah Laskar Pemberontakan Indonesia Sulawesi (LAPRIS) dengan tokoh-tokohnya Ranggong
Daeng Romo, Makkaraeng Daeng Room Djarung dan Ribert Wolter Mongisidi sebagai Sekertaris
Jendralnya.

Sejak tanggal 7-25 desember 1946 pasukan Westerling secara keji membunuh beribi ribu
rakyat yang tidak berdosa .Pada tanggal 11 desember 1946 belanda menyatakan Sulawesi dalam keadaan
perang dan hukum militer.Pada waktu itu Raymond Westerling mengadakan aksi pembunuhan massal di
desa desa mengakibatkan sekitar 40.000 orang tidak berdosa menjadi korban kebiadaban.

B. Perjuangan
Diplomasi
a. Diplomasi Beras

Antara India dan Indonesia terdapat persamaan nasib dan sejarah. Kedua negara ini sama – sama
pernah dijajah dan menentang penjajahan. Oleh karenanya, ketika rakyat India mengalami kekurangan
bahan makanan, pemerintah Indonesia menawarkan bantuan padi sejumlah 500.000 ton. Perjanjian
bantuan Indonesia kepada India ditandatangani pada tanggal 18 Mei 1946. Perjanjian ini sebenarnya
merupakan barter kedua negara, sebab india juga memberikan bantuan obat – obatan kepada Indonesia.
Dampak yang ditimbulkan dari diplomasi beras adalah Indonesia semakin mendapat simpati dunia
internasional dalam perjuangannya mengusir Belanda.

b. Perjanjian Linggarjati

Perundingan Linggarjati atau kadang juga disebut Perundingan Linggajati adalah suatu perundingan
antara Indonesia dan Belanda di Linggarjati, Jawa Barat yang menghasilkan persetujuan mengenai status
kemerdekaan Indonesia. Hasil perundingan ini ditandatangani di Istana Merdeka Jakarta pada 15
November 1946 dan diratifikasi kedua negara pada 25 Maret 1947.

Masuknya AFNEI yang diboncengi NICA ke Indonesia karena Jepang menetapkan status quo di
Indonesia menyebabkan terjadinya konflik antara Indonesia dengan Belanda, seperti contohnya Peristiwa
10 November, selain itu pemerintah Inggris menjadi penanggung jawab untuk menyelesaikan konflik
politik dan militer di Asia, oleh sebab itu, Sir Archibald Clark Kerr, diplomat Inggris, mengundang
Indonesia dan Belanda untuk berunding di Hooge Veluwe, namun perundingan tersebut gagal karena
Indonesia meminta Belanda mengakui kedaulatannya atas Jawa, Sumatera dan Madura, namun Belanda
hanya mau mengakui Indonesia atas Jawa dan Madura saja.

17
a. Jalannya Perundingan

Dalam perundingan ini Indonesia diwakili oleh Sutan Syahrir, Belanda diwakili oleh tim yang
disebut Komisi Jendral dan dipimpin oleh Prof.Wim Schermerhorn dengan anggota H.J. van Mook, dan
Lord Killearn dari Inggris bertindak sebagai mediator dalam perundingan ini.

Hasil perundingan terdiri dari 17 pasal yang antara lain berisi:

1. Belanda mengakui secara de facto wilayah Republik Indonesia, yaitu Jawa, Sumatera dan
Madura.
2. Belanda harus meninggalkan wilayah RI paling lambat tanggal 1 Januari 1949.
3. Pihak Belanda dan Indonesia Sepakat membentuk negara RIS.
4. Dalam bentuk RIS Indonesia harus tergabung dalam Commonwealth Persemakmuran
Indonesia-Belanda dengan mahkota negeri Belanda sebagai kepala uni.

Perjanjian Linggarjati menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat Indonesia, contohnya
beberapa partai seperti Partai Masyumi, PNI, Partai Rakyat Indonesia, dan Partai Rakyat Jelata. Partai-
partai tersebut menyatakan bahwa perjanjian itu adalah bukti lemahnya pemerintahan Indonesia untuk
mempertahankan kedaulatan negara Indonesia. Untuk menyelesaikan permasalahan ini, pemerintah
mengeluarkan Peraturan Presiden No. 6/1946, dimana bertujuan menambah anggota Komite Nasional
Indonesia Pusat agar pemerintah mendapat suara untuk mendukung perundingan Linggarjati.

Pelaksanaan hasil perundingan ini tidak berjalan mulus. Pada tanggal 20 Juli 1947, Gubernur
Jendral H.J. van Mook akhirnya menyatakan bahwa Belanda tidak terikat lagi dengan perjanjian ini, dan
pada tanggal 21 Juli 1947, meletuslah Agresi Militer Belanda I. Hal ini merupakan akibat dari perbedaan
penafsiran antara Indonesia dan Belanda. (Agresi Militer akan dibahas di poin 2. Agresi Militer Belanda 1
dan Agresi Militer Belanda 2)

c. Renville

Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada 17 Agustus 1947 sepakat untuk melakukan gencatan
senjata hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus terjadi antara tentara
Belanda dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga
terlibat baku tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antara Karawang dan Bekasi.

Akhirnya, KTN berhasil mempertemukan Indonesia-Belanda dalam Perjanjian Renville pada


tanggal 17 Januari 1948. Perjanjian ini dilaksanakan di atas Geladak Kapal Renville milik Amerika
Serikat.

18
a. Jalannya Perundingan

Selama perundingan, Indonesia diwakili oleh PM Amir Syarifuddin. Perundingan Renville


menghasilkan :
 Wilayah Indonesia diakui berdasarkan garis demarkasi (garis van Mook)
Gambar 5 – Delegasi Indonesia pada Perjanjian Renville
 Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai Republik Indonesia
Serikat terbentuk

Gambar 6 - Kapal Renville


Kedudukan RIS dan Belanda sejajar dalam Uni Indonesia-Belanda
 RI merupakan bagian dari RIS
 Pasukan RI yang berada di daerah kantong harus ditarik ke daerah RI

Gambar 7 - Wilayah Indonesia berdasarkan Garis van Mook

Tetapi, hasil akhir dari perjanjian Renville sama dengan perjanjian Linggarjati. Belanda masih saja
melanggar hasil perjanjian Renville. Sehingga Belanda melakukan Agresi Militer Belanda yang kedua.

d. Konferensi Asia di New Delhi

Kenferensi Asia di New Delhi diselenggarakan pada tanggal 20 – 25 Januari 1949. Dalam
Konferensi tersebut hadir 19 negara termasuk utusan dari Mesir Italia, dan New Zealand. Wakil – Wakil
dari Indonesia antara lain Mr. Utoyo Ramelan, Sumitro Djoyohadikusumo, H. Rosyidi, dan lain – lain.

a. Jalannya Perundingan

19
Konferensi Asia di New Delhi menghasilkan :

 Pengembalian Pemerintahan Republik Indonesia ke Yogyakarta


 Pembentukan Pemerintahan ad interim sebelum tanggal 15 Maret 1949
 Penarikan tentara Belanda dari seluruh wilayah Indonesia
 Penyerahan Kedaulatan kepada Pemerintah Indonesia Serikat paling lambat tanggal 1 Januari
1950

Menanggapi rekomendasi Konferensi New Delhi, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan sebuah
resolusi tanggal 28 Januari 1949, yang isinya :

 Penghentian operasi militer dan gerilya


 Pembebasan tahanan politik Indonesia oleh Belanda
 Pemerintah RI kembali ke Yogyakarta
 Akan diadakan perundingan selanjutnya

e. Roem – Royen

Perjanjian Roem-Roijen (juga disebut Perjanjian Roem-Van Roijen) adalah sebuah perjanjian antara
Indonesia dengan Belanda yang dimulai pada tanggal 14 April 1949 dan akhirnya ditandatangani pada
tanggal 7 Mei 1949 di Hotel Des Indes, Jakarta. Namanya diambil dari kedua pemimpin delegasi,
Mohammad Roem dan Herman van Roijen. Maksud pertemuan ini adalah untuk menyelesaikan beberapa
masalah mengenai kemerdekaan Indonesia sebelum Konferensi Meja Bundar di Den Haag pada tahun
yang sama. Perjanjian ini sangat alot sehingga memerlukan kehadiran Bung Hatta dari pengasingan di
Bangka, juga Sri Sultan Hamengkubuwono IX dari Yogyakarta untuk mempertegas sikap Sri Sultan HB
IX terhadap Pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta, dimana Sultan Hamengku Buwono IX
mengatakan “Jogjakarta is de Republiek Indonesie” (Yogyakarta adalah Republik Indonesia).

a. Jalannya Perundingan

Perjanjian mulai menguntungkan pihak Indonesia. Dikarenakan :

 Angkatan bersenjata Indonesia akan menghentikan semua aktivitas gerilya


 Pemerintah Republik Indonesia akan menghadiri Konferensi Meja Bundar
 Pemerintah Republik Indonesia dikembalikan ke Yogyakarta
 Belanda akan menghentikan semua operasi militer dan membebaskan semua tawanan
perang

20
Pada tanggal 22 Juni 1949, sebuah pertemuan lain diadakan dan menghasilkan keputusan:

 Kedaulatan akan diserahkan kepada Indonesia secara utuh dan tanpa syarat sesuai perjanjian
Renville pada 1948
 Belanda dan Indonesia akan mendirikan sebuah persekutuan dengan dasar sukarela dan
persamaan hak
Gambar 8 - Hindia
Suasana Belanda
Konferensi Meja
akan Bundar. Tampak:
menyerahkan Prof.
semua Dr. kekuasaan,
hak, Supomo, Ali dan
Sastroamidjojo,
kewajiban Mohammad Roem,
kepada Indonesia
Leimena, A.K. Pringgodigdo dan Latuharhary
b. Pasca Perjanjian
Gambar Roem-Royen
9 - van Roijen, Menteri Luar Negara Belanda

Pada 6 Juli 1949, Sukarno dan Hatta kembali dari pengasingan ke Yogyakarta, ibukota sementara
Republik Indonesia. Pada 13 Juli, kabinet Hatta mengesahkan perjanjian Roem-van Roijen dan Sjafruddin
Prawiranegara yang menjabat presiden Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) dari tanggal 22
Desember 1948 menyerahkan kembali mandatnya kepada Soekarno dan secara resmi mengakhiri
keberadaan PDRI pada tanggal 13 Juli 1949.

Pada 3 Agustus, gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia dimulai di Jawa (11 Agustus) dan
Sumatera (15 Agustus). Konferensi Meja Bundar mencapai persetujuan tentang semua masalah dalam
agenda pertemuan, kecuali masalah Papua Belanda.

f. KMB (Konferensi Meja Bundar)

Sebagai tindak lanjut dari Perundingan Roem Royen, maka dilaksanakanlah KMB di Den Haag,
Belanda pada tanggal 23 Agustus – 2 September 1949. Tetapi, sebelum mengikuti KMB, Indonesia
mengadakan pertemuan dengan BFO ( Badan Permusyawaratan Federal) yang dikenal dengan nama
Konferensi Inter-Indonesia. Tujuannya untuk menyamakan langkah dan sikap sesama bangsa Indonesia
dalam menghadapi KMB. Konferensi Inter-Indonesia dilaksanakan dari tanggal 31 Juli hingga 2 Agustus
1949 di Jakarta. Pembicaraan Inter-Indonesia difokuskan pada pembentukan RIS.Keputusan yang cukup
21
penting adalah akan dilakukan pengakuan kedaulatan tanpa ikatan politik dan ekonomi. Pada bidang
pertahanan diputuskan :

 Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) adalah Angkatan Perang Nasional.
 TNI menjadi inti APRIS
 Negara bagian tidak memiliki Angkatan Perang sendiri

a. Jalannya Perundingan

KMB merupakana langkah nyata dalam diplomasi untuk mencari penyelesaian sengketa Indonesia-
Belanda. Dalam KMB tersebut dihadiri delegasi Indonesia (Drs. Moh.Hatta, Mr. Muh.Roem, dan Prof.
Dr.Mr. Soepomo), BFO (Sultan Hamid II dari Pontianak), Belanda (Mr. Van Maarseveen),dan
perwakilan UNCI(Chritchley). Hasil dari KMB adalah :

 Belanda mengakui RIS sebagai negara yang berdaulat dan merdeka


 Pengakuan kedaulatan dilakukan selambat – lambatnya 30 Desember 1949
 Masalah Irian barat akan didakan perundingan lagi dalam waktu 1 tahun setelah pengakuan RIS
 Antara RIS dan Kerajaan Hindia Belanda akan diadakan hubungan Uni Indonesia- Belanda yang
dikepalai Raja Belanda
 Kapal – kapal perang Belanda akan ditarik dari Indonesia dengan catatan beberapa korvet akan
diserahkan kepada RIS
 Tentara Kerajaan Belanda secepat mungkin ditarik mundur, sedangkan KNIL (Koninklijk
Nederlands-Indische Leger / Tentara Belanda) akan dibubarkan dengan catatan bahwa para
anggotannya yang diperlukan akan dimasukkan kedalam TNI

Sebagai tindak lanjut dari KMB, pada tanggal 27 Desember 1949, dilaksanakan penandatanganan
pengakuan kedaulatan secara bersamaan di Belanda dan di Indonesia. Di negeri Belanda, Ratu Juliana,
Dr. Willem Dress, Menteri Seberang Lautan Mr. A.M.J.A Sassen, dan Drs. Muh.Hatta, bersama
menandatangani naskah kedaulatan. Sedangkan di Jakarta Sri Sultan Hamengku Buwono IX dan Wakil
Tinggi Mahkota Belanda A.H.J Lovink menandatangani naskah kedaulatan di Indonesia.Pada Tanggal
yang sama pula dilakukan serah terima kedaulatan dari RI kepada RIS di Yogyakarta.

a. Agresi Militer Belanda 1


2. Agresi
Agresi Militer Belanda I adalah operasi militer Belanda di Jawa
Militer
dan Sumatera terhadap Republik Indonesia yang dilaksanakan dari 21 Juli 1947 sampai 5 Agustus 1947.
Operasi militer ini merupakan bagian dari Aksi Polisionil yang diberlakukan Belanda dalam rangka
mempertahankan penafsiran Belanda atas Perundingan Linggarjati. Dari sudut pandang Republik
Indonesia, operasi ini dianggap merupakan pelanggaran dari hasil Perundingan Linggajati.
22
1. Latar Belakang Terjadinya Agresi Militer Belanda 1

Tanggal 15 Juli 1947, van Mook mengeluarkan ultimatum agar supaya RI menarik mundur pasukan
sejauh 10 km. dari garis demarkasi. Tentu pimpinan RI menolak permintaan Belanda ini.

Tujuan utama agresi Belanda adalah merebut daerah-daerah perkebunan yang kaya dan daerah yang
memiliki sumber daya alam, terutama minyak. Namun sebagai kedok untuk dunia internasional, Belanda
menamakan agresi militer ini sebagai Aksi Polisionil, dan menyatakan tindakan ini sebagai urusan dalam
negeri. Letnan Gubernur Jenderal Belanda, Dr. H.J. van Mook menyampaikan pidato radio di mana dia
menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan Linggarjati. Pada saat itu jumlah
tentara Belanda telah mencapai lebih dari 100.000 orang, dengan persenjataan yang modern, termasuk
persenjataan berat yang dihibahkan oleh tentara Inggris dan tentara Australia.

2. Dimulainya Penyerangan Oleh Belanda

Konferensi pers pada malam 20 Juli di istana, di mana Gubernur Jenderal HJ Van Mook
mengumumkan pada wartawan tentang dimulainya Aksi Polisionil Belanda pertama.

Serangan di beberapa daerah, seperti di Jawa Timur, bahkan telah dilancarkan tentara Belanda sejak
tanggal 21 Juli malam, sehingga dalam bukunya, J. A. Moor menulis agresi militer Belanda I dimulai
tanggal 20 Juli 1947. Belanda berhasil menerobos ke daerah-daerah yang dikuasai oleh Republik
Indonesia di Sumatera, Jawa Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Fokus serangan tentara Belanda di tiga tempat, yaitu Sumatera Timur, Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Di Sumatera Timur, sasaran mereka adalah daerah perkebunan tembakau, di Jawa Tengah mereka
menguasai seluruh pantai utara, dan di Jawa Timur, sasaran utamanya adalah wilayah di mana terdapat
perkebunan tebu dan pabrik-pabrik gula.

Pada agresi militer pertama ini, Belanda juga mengerahkan kedua pasukan khusus, yaitu Korps
Speciale Troepen (KST) di bawah Westerling yang kini berpangkat Kapten, dan Pasukan Para I (1e para
compagnie) di bawah Kapten C. Sisselaar. Pasukan KST (pengembangan dari DST) yang sejak kembali
dari pembantaian di Sulawesi Selatan belum pernah beraksi lagi, kini ditugaskan tidak hanya di Jawa,
melainkan dikirim juga ke Sumatera.

Agresi tentara Belanda berhasil merebut daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia yang sangat
penting dan kaya seperti kota pelabuhan, perkebunan dan pertambangan.

Pada 29 Juli 1947, pesawat Dakota Republik dengan simbol Palang Merah di badan pesawat yang
membawa obat-obatan dari Singapura, sumbangan Palang Merah Malaya ditembak jatuh oleh Belanda
dan mengakibatkan tewasnya Komodor Muda Udara Mas Agustinus Adisutjipto, Komodor Muda Udara
dr. Abdulrahman Saleh dan Perwira Muda Udara I Adisumarmo Wiryokusumo.

23
Pada 9 Desember 1947, terjadi peristiwa Pembantaian Rawagede dimana tentara Belanda
membantai 431 penduduk desa Rawagede, yang terletak di antara Karawang dan Bekasi, Jawa Barat.

3. Keiukutsertaan PBB dalam Agresi Militer Belanda 1

Republik Indonesia secara resmi mengadukan agresi militer Belanda ke PBB, karena agresi militer
tersebut dinilai telah melanggar suatu perjanjian Internasional, yaitu Persetujuan Linggajati.

Belanda ternyata tidak memperhitungkan reaksi keras dari dunia internasional, termasuk Inggris,
yang tidak lagi menyetujui penyelesaian secara militer. Atas permintaan India dan Australia, pada 31 Juli
1947 masalah agresi militer yang dilancarkan Belanda dimasukkan ke dalam agenda Dewan Keamanan
PBB, yang kemudian mengeluarkan Resolusi No. 27 tanggal 1 Agustus 1947, yang isinya menyerukan
agar konflik bersenjata dihentikan.

Dewan Keamanan PBB de facto mengakui eksistensi Republik Indonesia. Hal ini terbukti dalam
semua resolusi PBB sejak tahun 1947, Dewan Keamanan PBB secara resmi menggunakan nama
INDONESIA, dan bukan Netherlands Indies. Sejak resolusi pertama, yaitu resolusi No. 27 tanggal 1
Augustus 1947, kemudian resolusi No. 30 dan 31 tanggal 25 August 1947, resolusi No. 36 tanggal 1
November 1947, serta resolusi No. 67 tanggal 28 Januari 1949, Dewan Keamanan PBB selalu
menyebutkan konflik antara Republik Indonesia dengan Belanda sebagai The Indonesian Question.

Atas tekanan Dewan Keamanan PBB, pada tanggal 15 Agustus 1947 Pemerintah Belanda akhirnya
menyatakan akan menerima resolusi Dewan Keamanan untuk menghentikan pertempuran.

Pada 17 Agustus 1947 Pemerintah Republik Indonesia dan Pemerintah Belanda menerima Resolusi
Dewan Keamanan untuk melakukan gencatan senjata, dan pada 25 Agustus 1947 Dewan Keamanan
membentuk suatu komite yang akan menjadi penengah konflik antara Indonesia dan Belanda. Komite ini
awalnya hanyalah sebagai Committee of Good Offices for Indonesia (Komite Jasa Baik Untuk Indonesia),
dan lebih dikenal sebagai Komisi Tiga Negara (KTN), karena beranggotakan tiga negara, yaitu Australia
yang dipilih oleh Indonesia, Belgia yang dipilih oleh Belanda dan Amerika Serikat sebagai pihak yang
netral. Australia diwakili oleh Richard C. Kirby, Belgia diwakili oleh Paul van Zeeland dan Amerika
Serikat menunjuk Dr. Frank Graham.

Tugas utama KTN adalah mengawasi secara langsung penghentian tembak-menembak sesuai
dengan Resolusi Dewan Keamanan PBB. Dengan demikian masalah Indonesia menjadi masalah
internasional. Secara diplomatis jelas sangat menguntungkan Indonesia.
KTN berhasil mempertemukan Indonesia dengan Belanda dalam Perjanjian Renville.

Selain itu juga mengembalikan para pemimpin Republik Indonesia yang ditawan Belanda di
Bangka. Sejak awal awal Belanda telah mempersulit tugas Komisi Tiga Negara. Pada tanggal 29 Agustus
atau 4 hari setelah terbentuknya KTN, Belanda mengumumkan garis demarkasi baru yang dikenal sebagai
"Garis Van Mook" (Van Mook Line) yang didasari dengan argumen bahwa daerah yang dianggap sebagai
24
wilayah kekuasaan Belanda adalah yang berada di belakang pos-pos terdepan pasukan KNIL/KL. Padahal
di belakang pos- pos yang merupakan benteng-benteng terpisah tersebut pasukan TNI dan kekuatan RI
lainnya cukup leluasa untuk beroperasi. Konsep "Garis Van Mook" ditolak mentah- mentah oleh RI. Pada
tanggal 27 Oktober 1947, Komisi Tiga Negara yang terdiri atas wakil Belgia (Paul van Zeeland),
Australia (Richard Kirby) dan Amerika Serikat (Prof. Graham) mendarat di Jakarta. Konflik dengan
Belanda selanjutnya dibawah pengawasan internasional.

b. Agresi Militer Belanda 2

Agresi Militer Belanda II atau Operasi Gagak terjadi pada 19 Desember 1948 yang diawali
dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta penangkapan Soekarno,
Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini menyebabkan
dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin
Prawiranegara.

Pada hari pertama Agresi Militer Belanda II, mereka menerjunkan pasukannya di Pangkalan Udara
Maguwo dan dari sana menuju ke Ibukota RI di Yogyakarta. Kabinet mengadakan sidang kilat. Dalam
sidang itu diambil keputusan bahwa pimpinan negara tetap tinggal dalam kota agar dekat dengan Komisi
Tiga Negara (KTN) sehingga kontak-kontak diplomatik dapat diadakan.

1. Serangan ke Maguwo

Tanggal 18 Desember 1948 pukul 23.30, siaran radio antara dari Jakarta menyebutkan, bahwa
besok paginya Wakil Tinggi Mahkota Belanda, Dr. Beel, akan mengucapkan pidato yang penting.
Sementara itu Jenderal Spoor yang telah berbulan-bulan mempersiapkan rencana pemusnahan TNI
memberikan instruksi kepada seluruh tentara Belanda di Jawa dan Sumatera untuk memulai penyerangan
terhadap kubu Republik. Operasi tersebut dinamakan "Operasi Kraai."

pukul 2.00 pagi 1e para-compgnie (pasukan para I) KST di Andir memperoleh parasut mereka dan
memulai memuat keenambelas pesawat transportasi, dan pukul 3.30 dilakukan briefing terakhir. Pukul
3.45 Mayor Jenderal Engles tiba di bandar udara Andir, diikuti oleh Jenderal Spoor 15 menit kemudian.
Dia melakukan inspeksi dan mengucapkan pidato singkat. Pukul 4.20 pasukan elit KST di bawah
pimpinan Kapten Eekhout naik ke pesawat dan pukul 4.30 pesawat Dakota pertama tinggal landas. Rute
penerbangan ke arah timur menuju Maguwo diambil melalui Lautan Hindia. Pukul 6.25 mereka
menerima berita dari para pilot pesawat pemburu, bahwa zona penerjunan telah dapat dipergunakan.
Pukul 6.45 pasukan para mulai diterjunkan di Maguwo.

Seiring dengan penyerangan terhadap bandar udara Maguwo, pagi hari tanggal 19 Desember 1948,
WTM Beel berpidato di radio dan menyatakan, bahwa Belanda tidak lagi terikat dengan Persetujuan
Renville. Penyerbuan terhadap semua wilayah Republik di Jawa dan Sumatera, termasuk serangan
terhadap Ibukota RI, Yogyakarta, yang kemudian dikenal sebagai Agresi Militer Belanda II telah dimulai.
Belanda konsisten dengan menamakan agresi militer ini sebagai "Aksi Polisional".
25
Penyerangan terhadap Ibukota Republik, diawali dengan pemboman atas lapangan terbang
Maguwo, di pagi hari. Pukul 05.45 lapangan terbang Maguwo dihujani bom dan tembakan mitraliur oleh
5 pesawat Mustang dan 9 pesawat Kittyhawk. Pertahanan TNI di Maguwo hanya terdiri dari 150 orang
pasukan pertahanan pangkalan udara dengan persenjataan yang sangat minim, yaitu beberapa senapan dan
satu senapan anti pesawat 12,7. Senjata berat sedang dalam keadaan rusak. Pertahanan pangkalan hanya
diperkuat dengan satu kompi TNI bersenjata lengkap. Pukul 06.45, 15 pesawat Dakota menerjunkan
pasukan KST Belanda di atas Maguwo. Pertempuran merebut Maguwo hanya berlangsung sekitar 25
menit. Pukul 7.10 bandara Maguwo telah jatuh ke tangan pasukan Kapten Eekhout. Di pihak Republik
tercatat 128 tentara tewas, sedangkan di pihak penyerang, tak satu pun jatuh korban.

Sekitar pukul 9.00, seluruh 432 anggota pasukan KST telah mendarat di Maguwo, dan pukul 11.00,
seluruh kekuatan Grup Tempur M sebanyak 2.600 orang –termasuk dua batalyon, 1.900 orang, dari
Brigade T- beserta persenjataan beratnya di bawah pimpinan Kolonel D.R.A. van Langen telah terkumpul
di Maguwo dan mulai bergerak ke Yogyakarta.

Serangan terhadap kota Yogyakarta juga dimulai dengan pemboman serta menerjunkan pasukan
payung di kota. Di daerah-daerah lain di Jawa antara lain di Jawa Timur, dilaporkan bahwa penyerangan
bahkan telah dilakukan sejak tanggal 18 Desember malam hari. Segera setelah mendengar berita bahwa
tentara Belanda telah memulai serangannya, Panglima Besar Soedirman mengeluarkan perintah kilat yang
dibacakan di radio tanggal 19 Desember 1948 pukul 08.00.

2. Pembentukan PDRI (Pemerintahan Darurat Republik Indonesia)

Soedirman dalam keadaan sakit melaporkan diri kepada Presiden. Soedirman didampingi oleh
Kolonel Simatupang, Komodor Suriadarma serta dr. Suwondo, dokter pribadinya. Kabinet mengadakan
sidang dari pagi sampai siang hari. Karena merasa tidak diundang, Jenderal Soedirman dan para perwira
TNI lainnya menunggu di luar ruang sidang. Setelah mempertimbangkan segala kemungkinan yang dapat
terjadi, akhirnya Pemerintah Indonesia memutuskan untuk tidak meninggalkan Ibukota. Mengenai hal-hal
yang dibahas serta keputusan yang diambil adalam sidang kabinet tanggal 19 Desember 1948. Berhubung
Soedirman masih sakit, Presiden berusaha membujuk supaya tinggal dalam kota, tetapi Sudirman
menolak. Simatupang mengatakan sebaiknya Presiden dan Wakil Presiden ikut bergerilya. Menteri Laoh
mengatakan bahwa sekarang ternyata pasukan yang akan mengawal tidak ada. Jadi Presiden dan Wakil
Presiden terpaksa tinggal dalam kota agar selalu dapat berhubungan dengan KTN sebagai wakil PBB.
Setelah dipungut suara, hampir seluruh Menteri yang hadir mengatakan, Presiden dan Wakil Presiden
tetap dalam kota.

Sesuai dengan rencana yang telah dipersiapkan oleh Dewan Siasat, yaitu basis pemerintahan sipil
akan dibentuk di Sumatera, maka Presiden dan Wakil Presiden membuat surat kuasa yang ditujukan
kepada Mr. Syafruddin Prawiranegara, Menteri Kemakmuran yang sedang berada di Bukittinggi.
Presiden dan Wakil Presiden mengirim kawat kepada Syafruddin Prawiranegara di Bukittinggi, bahwa ia
diangkat sementara membentuk satu kabinet dan mengambil alih Pemerintah Pusat. Pemerintahan

26
Syafruddin ini kemudian dikenal dengan Pemerintahan Darurat Republik Indonesia. Selain itu, untuk
menjaga kemungkinan bahwa Syafruddin tidak berhasil membentuk pemerintahan di Sumatera, juga
dibuat surat untuk Duta Besar RI untuk India, dr. Sudarsono, serta staf Kedutaan RI, L. N. Palar dan
Menteri Keuangan Mr. A.A. Maramis yang sedang berada di New Delhi.

Empat Menteri yang ada di Jawa namun sedang berada di luar Yogyakarta sehingga tidak ikut
tertangkap adalah Menteri Dalam Negeri, dr. Sukiman, Menteri Persediaan Makanan,Mr. I.J. Kasimo,
Menteri Pembangunan dan Pemuda, Supeno, dan Menteri Kehakiman, Mr. Susanto. Mereka belum
mengetahui mengenai Sidang Kabinet pada 19 Desember 1948, yang memutuskan pemberian mandat
kepada Mr. Syafrudin Prawiranegara untuk membentuk Pemerintah Darurat di Bukittinggi, dan apabila
ini tidak dapat dilaksanakan, agar dr. Sudarsono, Mr. Maramis dan L.N. Palar membentuk Exile
Government of Republic Indonesia di New Delhi, India.

Pada 21 Desember 1948, keempat Menteri tersebut mengadakan rapat dan hasilnya disampaikan
kepada seluruh Gubernur Militer I, II dan III, seluruh Gubernur sipil dan Residen di Jawa, bahwa
Pemerintah Pusat diserahkan kepada 3 orang Menteri yaitu Menteri Dalam Negeri, Menteri Kehakiman,
Menteri Perhubungan.

3. Diasingkannya para Pejabat Indonesia

Pada pukul 07.00 WIB tanggal 22 Desember 1948 Kolonel D.R.A. van Langen memerintahkan para
Pemimpin Rrepublik untuk berangkat ke Pelabuhan Udara Yogyakarta untuk diterbangkan tanpa tujuan
yang jelas. Selama di perjalanan dengan menggunakan pesawat pembom B-25 milik angkatan udara
Belanda, tidak satupun yang tahu arah tujuan pesawat, pilot mengetahui arah setelah membuka surat
perintah di dalam pesawat, akan tetapi tidak disampaikan kepada para pemimpin republik. Setelah
mendarat di Pelabuhan Udara Kampung Dul Pangkalpinang (sekarang Bandara Depati Amir) para
pemimpin republik baru mengetahui, bahwa mereka diasingkan ke Pulau Bangka, akan tetapi rombongan
Presiden Soekarno, Sutan Sjahrir, dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim terus diterbangkan lagi
menuju Medan, Sumatera Utara, untuk kemudian diasingkan ke Brastagi dan Parapat, sementara Drs.
Moh. Hatta (Wakil Presiden), RS. Soerjadarma (Kepala Staf Angkatan Udara), MR. Assaat (Ketua KNIP)
dan MR. AG. Pringgodigdo (Sekretaris Negara) diturunkan di pelabuhan udara Kampung Dul
Pangkalpinang dan terus dibawa ke Bukit Menumbing Mentok dengan dikawal truk bermuatan tentara
Belanda dan berada dalam pengawalan pasukan khusus Belanda, Corps Speciale Troepen.

4. Soedirman Bergerilya

Setelah itu Soedirman meninggalkan Yogyakarta untuk memimpin gerilya dari luar kota. Perjalanan
bergerilya selama delapan bulan ditempuh kurang lebih 1000 km di daerah Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Tidak jarang Soedirman harus ditandu atau digendong karena dalam keadaan sakit keras. Setelah
berpindah-pindah dari beberapa desa rombongan Soedirman kembali ke Yogyakarta pada tanggal 10 Juli
1949.

27
Kolonel A.H. Nasution, selaku Panglima Tentara dan Teritorium Jawa menyusun rencana
pertahanan rakyat Totaliter yang kemudian dikenal sebagai Perintah Siasat No 1 Salah satu pokok isinya
ialah : Tugas pasukan-pasukan yang berasal dari daerah-daerah federal adalah ber wingate (menyusup ke
belakang garis musuh) dan membentuk kantong-kantong gerilya sehingga seluruh Pulau Jawa akan
menjadi medan gerilya yang luas.

Salah satu pasukan yang harus melakukan wingate adalah pasukan Siliwangi. Pada tanggal 19
Desember 1948 bergeraklah pasukan Siliwangi dari Jawa Tengah menuju daerah-daerah kantong yang
telah ditetapkan di Jawa Barat. Perjalanan ini dikenal dengan nama Long March Siliwangi. Perjalanan
yang jauh, menyeberangi sungai, mendaki gunung, menuruni lembah, melawan rasa lapar dan letih
dibayangi bahaya serangan musuh. Sesampainya di Jawa Barat mereka terpaksa pula menghadapi
gerombolan DI/TII.

3. Serangan
Umum 1

1. Pre-Serangan Umum 1 Maret 1949

Serangan Umum 1 Maret 1949 ialah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1 Maret 1949
terhadap kota Yogyakarta secara besar-besaran yang direncanakan & dipersiapkan oleh jajaran tertinggi
militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah sipil
setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Besar Sudirman, untuk membuktikan kepada dunia
internasional bahwa TNI masih ada & cukup kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi
Indonesia dalam perundingan yang sedang berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan maksud utama
untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara
Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada
waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta sebagai pelaksana lapangan di wilayah
Yogyakarta. Kurang lebih satu bulan sesudah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada bulan
Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara
Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalan kereta api, menyerang konvoi
Belanda, serta tindakan sabotase lainnya.

Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-
kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh
daerah republik yang kini merupaken medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah
terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda. Sekitar awal Februari 1948 di
perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung-yang sejak September 1948 diangkat menjadi
Perwira Teritorial & ditugaskan untuk membentuk jaringan pesiapan gerilya di wilayah Divisi II & III-
28
bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB
& penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut & melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa
Republik Indonesia sudah tak ada lagi. Melalui Radio Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga
telah mendengar berita tersebut. Panglima Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-
langkah yang harus diambil guna meng-counter propaganda Belanda.

Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II & III, dapat selalu berhubungan dengan
Panglima Besar Sudirman, & menjadi penghubung antara Panglima Besar Sudirman dengan Panglima
Divisi II, Kolonel Gatot Subroto & Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu, sebagai dokter
spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang saat itu
menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung, pada bulan September & Oktober 1949, Hutagalung
& keluarga tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman di Jl. Widoro No. 10, Yogyakarta.

Pemikiran yang dikembangkan oleh Hutagalung adalah, perlu meyakinkan dunia internasional
terutama Amerika Serikat & Inggris, bahwa Negara Republik Indonesia masih kuat, ada pemerintahan
(Pemerintah Darurat Republik Indonesia –PDRI), ada organisasi TNI & ada tentaranya. Untuk
membuktikan hal ini, maka untuk menembus isolasi, harus diadakan serangan spektakuler, yang tak bisa
disembunyikan oleh Belanda, & harus diketahui oleh UNCI (United Nations Commission for Indonesia)
& wartawan-wartawan asing untuk disebarluaskan ke seluruh dunia. Untuk menyampaikan kepada UNCI
& para wartawan asing bahwa Negara Republik Indonesia masih ada, diperlukan pemuda-pemuda
berseragam Tentara Nasional Indonesia, yang bisa berbahasa Inggris, Belanda atau Perancis. Panglima
Besar Sudirman menyetujui gagasan tersebut & menginstruksikan Hutagalung agar mengkoordinasikan
pelaksanaan gagasan tersebut dengan Panglima Divisi II & III.

Letkol. dr. Hutagalung masih tinggal beberapa hari guna membantu merawat Panglima Besar
Sudirman, sebelum kembali ke markasnya di Gunung Sumbing. Sesuai tugas yang diberikan oleh
Panglima Besar Sudirman, dalam rapat Pimpinan Tertinggi Militer & Sipil di wilayah Gubernur Militer
III, yang dilaksanakan pada tanggal 18 Februari 1949 di markas yang terletak di lereng Gunung Sumbing.
Selain Gubernur Militer/Panglima Divisi III Kol. Bambang Sugeng, & Letkol Wiliater Hutagalung, juga
hadir Komandan Wehrkreis II, Letkol. Sarbini Martodiharjo, & pucuk pimpinan pemerintahan sipil, yaitu
Gubernur Sipil, Mr. K. R. M. T. Wongsonegoro, Residen Banyumas R. Budiono, Residen Kedu Salamun,
Bupati Banjarnegara R. A. Sumitro Kolopaking & Bupati Sangidi. Letkol Wiliater Hutagalung yang pada
waktu itu juga sebagai penasihat Gubernur Militer III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh
Panglima Besar Sudirman, & kemudian dibahas bersama-sama yaitu:

 Serangan dilakukan secara serentak di seluruh wilayah Divisi III, yang melibatkan Wehrkreise I,
II & III,
 Mengerahkan seluruh potensi militer & sipil di bawah Gubernur Militer III,
 Mengadakan serangan spektakuler terhadap satu kota besar di wilayah Divisi III,
 Harus berkoordinasi dengan Divisi II agar memperoleh efek lebih besar,

29
 Serangan tersebut harus diketahui dunia internasional, untuk itu perlu mendapat dukungan dari:
Wakil Kepala Staf Angkatan Perang guna koordinasi dengan pemancar radio yang dimiliki oleh
AURI & Koordinator Pemerintah Pusat, Unit PEPOLIT (Pendidikan Politik Tentara) Kementerian
Pertahanan.

Tujuan utama dari ini rencana ialah bagaimana menunjukkan eksistensi TNI & dengan demikian
juga menunjukkan eksistensi Republik Indonesia kepada dunia internasional. Untuk menunjukkan
eksistensi TNI, maka anggota UNCI, wartawan-wartawan asing serta para pengamat militer harus melihat
perwira-perwira yang berseragam TNI. Setelah dilakukan pembahasan yang mendalam, grand design
yang diajukan oleh Hutagalung disetujui, & khusus mengenai “serangan spektakuler” terhadap satu kota
besar, Panglima Divisi III/GM III Kolonel Bambang Sugeng bersikukuh, bahwa yang harus diserang
secara spektakuler ialah Yogyakarta.

Tiga alasan penting yang dikemukakan Bambang Sugeng untuk memilih Yogyakarta sebagai
sasaran utama adalah:

 Yogyakarta ialah Ibukota RI, sehingga bila dapat direbut walau hanya untuk beberapa jam, akan
berpengaruh besar terhadap perjuangan Indonesia melawan Belanda.
 Keberadaan banyak wartawan asing di Hotel Merdeka Yogyakarta, serta masih adanya anggota
delegasi UNCI (KTN) serta pengamat militer dari PBB.
 Langsung di bawah wilayah Divisi III/GM III sehingga tak perlu persetujuan Panglima/GM lain &
semua pasukan memahami & menguasai situasi/daerah operasi.

Selain itu sejak dikeluarkan Perintah Siasat tertanggal 1 Januari 1949 dari Panglima Divisi
III/Gubernur Militer III, untuk selalu mengadakan serangan terhadap tentara Belanda, telah dilancarkan
beberapa serangan umum di wilayah Divisi III/GM III. Seluruh Divisi III dapat dikatakan telah terlatih
dalam menyerang pertahanan tentara Belanda. Selain itu, sejak dimulainya perang gerilya, pimpinan
pemerintah sipil dari mulai Gubernur Wongsonegoro serta para Residen & Bupati, selalu diikutsertakan
dalam rapat & pengambilan keputusan yang penting & kerjasama selama ini sangat baik. Oleh karena itu,
dapat dipastikan dukungan terutama untuk logistik dari seluruh rakyat.

Selanjutnya dibahas, pihak-pihak mana serta siapa saja yang perlu dilibatkan. Untuk skenario
seperti disebut di atas, akan dicari beberapa pemuda berbadan tinggi & tegap, yang lancar berbahasa
Belanda, Inggris atau Prancis & akan dilengkapi dengan seragam perwira TNI dari mulai sepatu sampai
topi. Mereka sudah harus siap di dalam kota, & pada waktu penyerangan telah dimulai, mereka harus
masuk ke Hotel Merdeka guna menunjukkan diri kepada anggota-anggota UNCI serta wartawan-
wartawan asing yang berada di hotel tersebut. Kolonel Wiyono, Pejabat Kepala Bagian PEPOLIT
Kementerian Pertahanan yang juga berada di Gunung Sumbing akan ditugaskan mencari pemuda-pemuda
yang sesuai dengan kriteria yang telah ditentukan, terutama yang fasih berbahasa Belanda & Inggris.

Hal penting yang kedua adalah, dunia internasional harus mengetahui adanya Serangan Tentara
Nasional Indonesia terhadap tentara Belanda, terutama terhadap Yogyakarta, Ibukota Republik. Dalam
30
menyebarluaskan berita ini ke dunia internasional maka dibantu oleh Kol. T. B. Simatupang yang
bermarkas di Pedukuhan Banaran, desa Banjarsari, untuk menghubungi pemancar radio Angkatan Udara
RI (AURI) di Playen, dekat Wonosari, agar sesudah serangan dilancarkan berita mengenai penyerangan
besar-besaran oleh TNI atas Yogyakarta segera disiarkan.

Dalam kapasitasnya sebagai Wakil Kepala Staf Angkatan Perang, TB Simatupang lebih kompeten
menyampaikan hal ini kepada pihak AURI daripada perwira Angkatan Darat. Diperkirakan apabila
Belanda melihat bahwa Yogyakarta diserang secara besar-besaran, dipastikan mereka akan mendatangkan
bantuan dari kota-kota lain di Jawa Tengah, dimana terdapat pasukan Belanda yang kuat seperti
Magelang, Semarang & Solo. Jarak tempuh (waktu itu) Magelang-Yogya hanya sekitar 3-4 jam saja;
Solo-Yogya, sekitar 4-5 jam, & Semarang-Yogya, sekitar 6-7 jam. Magelang & Semarang (bagian Barat)
berada di wilayah kewenangan Divisi III GM III, namun Solo, di bawah wewenang Panglima Divisi
II/GM II Kolonel Gatot Subroto. Oleh karena itu, serangan di wilayah Divisi II & III harus
dikoordinasikan dengan baik sehingga dapat dilakukan operasi militer bersama dalam kurun waktu yang
ditentukan, sehingga bantuan Belanda dari Solo dapat dihambat, atau paling tak dapat diperlambat.

Pimpinan pemerintahan sipil, Gubernur Wongsonegoro, Residen Budiono, Residen Salamun,


Bupati Sangidi & Bupati Sumitro Kolopaking ditugaskan untuk mengkoordinasi persiapan & pasokan
perbekalan di wilayah masing-masing. Pada waktu bergerilya, para pejuang sering harus selalu pindah
tempat, sehingga sangat tergantung dari bantuan rakyat dalam penyediaan perbekalan. Selama perang
gerilya, bahkan Camat, Lurah serta Kepala Desa sangat berperan dalam menyiapkan & memasok
perbekalan (makanan & minuman) bagi para gerilyawan. Ini semua telah diatur & ditetapkan oleh
pemerintah militer setempat. Untuk pertolongan & perawatan medis, diserahkan kepada PMI.
Peran PMI sendiri juga telah dipersiapkan sejak menyusun konsep Perintah Siasat Panglima Besar.
Dalam konsep Pertahanan Rakyat Total-sebagai pelengkap Perintah Siasat No. 1-yang dikeluarkan oleh
Staf Operatif (Stop) tanggal 3 Juni 1948, butir 8 menyebutkan: Kesehatan terutama tergantung kepada
Kesehatan Rakyat & P. M. I. karena itu evakuasi para dokter & rumah obat mesti menjadi perhatian.

Sutarjo Kartohadikusumo, Ketua DPA yang juga ialah Ketua PMI (Palang Merah Indonesia),
mengatur pengiriman obat-obatan bagi gerilyawan di front. Beberapa dokter & staf PMI kemudian
banyak yang ditangkap oleh Belanda & ada juga yang mati tertembak sewaktu bertugas. Setelah rapat
selesai, Komandan Wehrkreise II & para pejabat sipil pulang ke tempat masing-masing guna
mempersiapkan segala sesuatu, sesuai dengan tugas masing-masing. Kurir segera dikirim untuk
menyampaikan keputusan rapat di Gunung Sumbing pada 18 Februari 1949 kepada Panglima Besar
Sudirman & Komandan Divisi II/Gubernur Militer II Kolonel Gatot Subroto.

Sebagaimana telah digariskan dalam pedoman pengiriman berita & pemberian perintah, perintah
yang sangat penting & rahasia, harus disampaikan langsung oleh atasan kepada komandan pasukan yang
bersangkutan. Maka rencana penyerangan atas Yogyakarta yang ada di wilayah Wehrkreise I di bawah
pimpinan Letkol. Suharto, akan disampaikan langsung oleh Panglima Divisi III Kolonel Bambang
Sugeng. Kurir segera dikirim kepada Komandan Wehrkreise III/Brigade 10, Letkol. Suharto, untuk

31
memberitahu kedatangan Panglima Divisi III serta mempersiapkan pertemuan. Diputuskan untuk segera
berangkat sore itu juga guna menyampaikan grand design kepada pihak-pihak yang terkait. Ikut dalam
rombongan Panglima Divisi selain Letkol. dr. Hutagalung, antara lain juga dr. Kusen (dokter pribadi
Bambang Sugeng), Bambang Surono (adik Bambang Sugeng(, seorang mantri kesehatan, seorang sopir
dari dr. Kusen, Letnan Amron Tanjung (ajudan Letkol Hutagalung) & beberapa anggota staf Gubernur
Militer (GM) serta pengawal.

Pertama-tama rombongan singgah di tempat Kol. Wiyono dari PEPOLIT, yang bermarkas tak jauh
dari markas Panglima Divisi, & memberikan tugas untuk mencari pemuda berbadan tinggi & tegap serta
fasih berbahasa Belanda, Inggris atau Prancis yang akan diberi pakaian perwira TNI. Menjelang sore hari,
Panglima Divisi beserta rombongan tiba di Pedukuhan Banaran mengunjungi Wakil Kepala Staf
Angkatan Perang Kol. Simatupang. Selain anggota rombongan Bambang Sugeng, dalam pertemuan
tersebut hadir juga Mr. M. Ali Budiarjo, yang kemudian menjadi ipar Simatupang.

Simatupang pada saat itu dimohonkan untuk mengkoordinasi pemberitaan ke luar negeri melaui
pemancar radio AURI di Playen & di Wiladek, yang ditangani oleh Koordinator Pemerintah Pusat.
Setelah Simatupang menyetujui rencana grand design tersebut, Panglima Divisi segera mengeluarkan
instruksi rahasia yang ditujukan kepada Komandan Wehrkreise I Kolonel Bachrun, yang akan
disampaikan sendiri oleh Kol. Sarbini.

Brigade IX di bawah komando Letkol Achmad Yani, diperintahkan melakukan penghadangan


terhadap bantuan Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tanggal 19 Februari 1949. Panglima Divisi &
rombongan meneruskan perjalanan, yang selalu dilakukan pada malam hari & beristirahat pada siang hari,
untuk menghindari patroli Belanda. Penunjuk jalan juga selalu berganti di setiap desa. Dari Banaran
rombongan menuju wilayah Wehrkreise III melalui pegunungan Menoreh untuk menyampaikan perintah
kepada Komandan Wehrkreis III Letkol. Suharto. Bambang Sugeng beserta rombongan mampir di
Pengasih, tempat kediaman mertua Bambang Sugeng & masih sempat berenang di telaga yang ada di
dekat Pengasih (Keterangan dari Bambang Purnomo, adik kandung alm. Bambang Sugeng, yang kini
tinggal di Temanggung). Pertemuan dengan Letkol. Suharto berlangsung di Brosot, dekat Wates. Semula
pertemuan akan dilakukan di dalam satu gedung sekolah, namun karena kuatir telah dibocorkan, maka
pertemuan dilakukan di dalam sebuah gubug di tengah sawah. Hadir dalam pertemuan tersebut lima
orang, yaitu Panglima Divisi III/Gubernur Militer III Kol. Bambang Sugeng, Perwira Teritorial Letkol.
dr. Wiliater Hutagalung beserta ajudan Letnan Amron Tanjung, Komandan Wehrkreise III/Brigade X
Letkol. Suharto beserta ajudan. Kepada Suharto diberikan perintah untuk mengadakan penyerangan
antara tanggal 25 Februari & 1 Maret 1949. Kepastian tanggal baru dapat ditentukan kemudian, sesudah
koordinasi serta kesiapan semua pihak terkait, antara lain dengan Kol. Wiyono dari Pepolit Kementerian
Pertahanan.

Setelah semua persiapan matang, baru kemudian diputuskan (keputusan diambil tanggal 24 atau 25
Februari), bahwa serangan tersebut akan dilancarkan tanggal 1 Maret 1949, pukul 06. 00 pagi.
Instruksi segera diteruskan ke semua pihak yang terkait.

32
Puncak serangan dilakukan dengan serangan umum terhadap kota Yogyakarta (ibu kota negara)
pada tanggal 1 Maret 1949, dibawah pimpinan Letnan Kolonel Suharto, Komandan Brigade 10 daerah
Wehrkreise III, sesudah terlebih dahulu mendapat persetujuan dari Sri Sultan Hamengkubuwono IX,
Kepala Daerah Istimewa Yogyakarta.

2. Jalannya Serangan Umum 1 Maret

Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yg serentak dilakukan di seluruh
wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan ialah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta
koar-besaran oleh pasukan Brigade X yg diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan
serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang & penghadangan di jalur Magelta-kota di sekitar
Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yg dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III
Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun & Komandan Wehrkreis II
Letkol Sarbini. Pada saat yg bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan
fokus penyerangan ialah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dlm pertempuran agar tak dapat
mengirimkan bantuan ke Yogyakarta.

Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari menjelang serangan umum itu, pasukan
telah merayap mendekati kota & dlm jumlah kecil mulai disusupkan ke dlm kota. Pagi hari sekitar pukul
06. 00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam
penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan dari sektor barat sampai ke batas
Malioboro. Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan & timur dipimpim Mayor Sardjono,
sektor utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono &
Letnan Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul
12. 00 siang, sebagaimana yg telah ditentukan semula,seluruh pasukkan TNI mundur

Serangan terhadap kota Solo yg juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di
Solo sehingga tak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yg sedang diserang secara besar-
besaran -Yogyakarta yg dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan
Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan
gerilyawan Republik, & sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11. 00.

Tanggal 1 Maret 1949, pagi hari, serangan secara besar-besaran yg serentak dilakukan di seluruh
wilayah Divisi III/GM III dimulai, dengan fokus serangan ialah Ibukota Republik, Yogyakarta, serta
koar-besaran oleh pasukan Brigade X yg diperkuat dengan satu Batalyon dari Brigade IX, sedangkan
serangan terhadap pertahanan Belanda di Magelang & penghadangan di jalur [[Magelta-kota di sekitar
Yogyakarta, terutama Magelang, sesuai Instruksi Rahasia yg dikeluarkan oleh Panglima Divisi III/GM III
Kolonel Bambang Sugeng kepada Komandan Wehrkreis I, Letkol Bahrun & Komandan Wehrkreis II
Letkol Sarbini. Pada saat yg bersamaan, serangan juga dilakukan di wilayah Divisi II/GM II, dengan
fokus penyerangan ialah kota Solo, guna mengikat tentara Belanda dlm pertempuran agar tak dapat
mengirimkan bantuan ke Yogyakarta. Pos komando ditempatkan di desa Muto. Pada malam hari

33
menjelang serangan umum itu, pasukan telah merayap mendekati kota & dlm jumlah kecil mulai
disusupkan ke dlm kota. Pagi hari sekitar pukul 06. 00, sewaktu sirene dibunyikan serangan segera
dilancarkan ke segala penjuru kota. Dalam penyerangan ini Letkol Soeharto langsung memimpin pasukan
dari sektor barat sampai ke batas Malioboro.

Sektor Timur dipimpin Ventje Sumual, sektor selatan & timur dipimpim Mayor Sardjono, sektor
utara oleh Mayor Kusno. Sedangkan untuk sektor kota sendiri ditunjuk Letnan Amir Murtono & Letnan
Masduki sebagai pimpinan. TNI berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Tepat pukul 12. 00
siang, sebagaimana yg telah ditentukan semula,seluruh pasukkan TNI mundur

Serangan terhadap kota Solo yg juga dilakukan secara besar-besaran, dapat menahan Belanda di
Solo sehingga tak dapat mengirim bantuan dari Solo ke Yogyakarta, yg sedang diserang secara besar-
besaran -Yogyakarta yg dilakukan oleh Brigade IX, hanya dapat memperlambat gerak pasukan bantuan
Belanda dari Magelang ke Yogyakarta. Tentara Belanda dari Magelang dapat menerobos hadangan
gerilyawan Republik, & sampai di Yogyakarta sekitar pukul 11. 00.

3. Kegembiraan A.A Maramis

Mr. Alexander Andries Maramis, yg berkedudukan di New Delhi menggambarkan betapa


gembiranya mereka mendengar siaran radio yg ditangkap dari Burma, mengenai serangan besar-besaran
Tentara Nasional Republik Indonesia terhadap Belanda. Berita tersebut menjadi Headlines di berbagai
media cetak yg terbit di India.

Hal ini diungkapkan oleh Mr. Maramis kepada dr. W. Hutagalung, ketika bertemu di Pulo Mas,
Jakarta. Serangan Umum 1 Maret mampu menguatkan posisi tawar dari Republik Indonesia,
mempermalukan Belanda yg telah mengklaim bahwa RI sudah lemah. Tak lama sesudah Serangan Umum
1 Maret terjadi Serangan Umum Surakarta yg menjadi salah satu keberhasilan pejuang RI yg paling
gemilang karena membuktikan kepada Belanda, bahwa gerilya bukan saja mampu melakukan
penyergapan atau sabotase, tetapi juga mampu melakukan serangan secara frontal ke tengah kota Solo yg
dipertahankan dengan pasukan kavelerie, persenjataan berat-artileri, pasukan infantri & komando yg
tangguh. Serangan Umum inilah yg memperingatkan akan kekuatan tentara Indonesia di hadapan Belanda
untuk selamanya.

34

Anda mungkin juga menyukai