Anda di halaman 1dari 19

PSIKOLOGI HUKUM

KELAS: M, N, V
Dosen Pengajar

Dr. Ansgarius Airell, S.E., S.H., S.Psi., M.H., M.Psi., CMHA, CHt., Psikolog Klinis
Gialdah Tapiansari Batubara, S.H., M.H.
Alasan Penghapus Pidana

Alasan pembenar berarti alasan yang


menghapus sifat melawan hukum suatu Alasan pemaaf adalah alasan yang
tindak pidana. Jadi, dalam alasan pembenar menghapus kesalahan dari si pelaku suatu
dilihat dari sisi perbuatannya (objektif). tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap
Misalnya, tindakan 'pencabutan nyawa' yang melawan hukum. Jadi, dalam alasan pemaaf
dilakukan eksekutor penembak mati terhadap dilihat dari sisi orang/pelakunya (subjektif).
terpidana mati (Pasal 50 KUHP yang saat Misalnya, lantaran pelakunya tak waras atau
artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal gila sehingga tak dapat
31 UU 1/2023 yang berlaku 3 tahun sejak mempertanggungjawabkan perbuatannya itu.
tanggal diundangkan,[1] yaitu tahun 2026).
• Menurut R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-
Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 60-61)
sebab tidak dapat dihukumnya terdakwa berhubung
perbuatannya tidak dapat dipertanggungjawabkan
kepadanya adalah karena:
• Kurang sempurna akalnya. Yang dimaksud dengan
perkataan “akal” di sini ialah kekuatan pikiran, daya
pikiran, dan kecerdasan pikiran. Orang dapat dianggap
kurang sempurna akalnya, misalnya: idiot, imbicil, buta-
tuli, dan bisu mulai lahir, orang-orang semacam ini
sebenarnya tidak sakit, tetapi karena cacat-cacatnya
sejak lahir, maka pikirannya tetap sebagai kanak-kanak.
• Sakit berubah akalnya. Yang dapat dimasukkan dalam
pengertian ini misalnya: sakit gila, histeri (sejenis
penyakit saraf terutama pada wanita), epilepsi, dan
bermacam-macam penyakit jiwa lainnya.
• Sementara yang dimaksud dengan disabilitas mental dan
disabilitas intelektual dalam Pasal 38 UU 1/2023, yaitu:

• Disabilitas mental adalah terganggunya fungsi pikir,


emosi, dan perilaku, antara lain:
• psikososial, antara lain, skizofrenia, bipolar, depresi,
anxiety, dan gangguan kepribadian; dan
• disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada
kemampuan interaksi sosial, antara lain, autis dan
hiperaktif.
• Disabilitas intelektual adalah terganggunya fungsi pikir
karena tingkat kecerdasan di bawah rata-rata, antara lain,
lambat belajar, disabilitas grahita, dan down syndrome.
• Pelaku tindak pidana yang menyandang disabilitas
mental dan/atau disabilitas intelektual dinilai kurang
mampu untuk menginsafi tentang sifat melawan hukum
dari perbuatan yang dilakukan atau untuk berbuat
berdasarkan keinsafan yang dapat dipidana.[4]

• Sedangkan menurut Penjelasan Pasal 39 UU 1/2023


mengenai penyandang disabilitas mental dalam keadaan
kekambuhan akut dan disertai gambaran psikotik
dan/atau penyandang disabilitas intelektual derajat
sedang atau berat, tidak mampu bertanggung jawab.
Untuk dapat menjelaskan tidak mampu bertanggung
jawab dari segi medis, perlu dihadirkan ahli sehingga
pelaku tindak pidana dipandang atau dinilai tidak mampu
bertanggung jawab.
BISAKAH
ORANG GILA
DIPIDANA???
• jika ternyata pelaku betul dinilai tidak dapat bertanggung
jawab atas perbuatannya, maka berlaku alasan pemaaf bagi
pelaku, dimana menurut KUHP ia tidak dapat dipidana dan
hakim dapat memerintahkan agar pelaku dimasukkan ke
dalam rumah sakit jiwa selama masa percobaan maksimum 1
tahun untuk mencegah terjadinya hal serupa yang
membahayakan baik keselamatan orang gila tersebut maupun
masyarakat sekitar.

• Hal tersebut sebagaimana pendapat R Soesilo (hal. 61) yaitu


hakimlah yang berkuasa memutuskan tentang dapat tidaknya
terdakwa dipertanggungjawabkan atas perbuatannya itu
dengan meminta nasehat dari dokter penyakit jiwa. Jika hakim
berpendapat bahwa bahwa orang itu betul tidak
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya, maka orang itu
dibebaskan dari segala tuntutan pidana (ontslag van alle
rechtsvervolgin).
• Berbeda dengan ketentuan KUHP, berdasarkan ketentuan UU 1/2023, jika
pelaku terbukti dalam pemeriksaan medis sebagai penyandang disabilitas
mental, maka dapat dikurangi pidananya dan/atau dikenai tindakan.
• Sedangkan jika pelaku dalam kondisi kambuh yang akut dan disertai
gambaran psikotik, maka dikenai tindakan berdasarkan Pasal 103 ayat (2)
UU 1/2023 berupa:
• rehabilitasi;
• penyerahan kepada seseorang;
• perawatan di lembaga;
• penyerahan kepada pemerintah; dan/atau
• perawatan di rumah sakit jiwa.
• Pendekatan otopsi psikologi masih relative baru
dalam memanfaatkan ilmu psikologi sebagai alat
bantu untuk memecahkan suatu kasus kriminal.
• Otopsi psikologi dilakukan jika factor penyebab
kematian masih tidak jelas dan hasil otopsi
Otopsi medis dirasa masih belum memenuhi untuk
memberikan terangnya suatu perkara.
Psikologi
• Gagasan dasar dari otopsi psikologi adalah
untuk mengungkap kondisi mental dan
kepribadian serta kondisi pemikiran korban
sebelum kematiannya khususnya pada kasus
dugaan bunuh diri.
• Otopsi psikologi merupakan suatu proses otopsi
dengan cara melakukan penelusuran tentang
kehidupan korban sampai pada saat kematiannya.
Khususnya untuk mengetahui kondisi psikis atau
mental dari korban yang mengarah pada ada atau
tidak adanya kecenderungan untuk melakukan
Otopsi Tindakan bunuh diri.
• Dalam proses otopsi psikologi, berbeda dengan
Psikologi otopsi medis yang melakukan pembedahan secara
fisik tetapi melakukan pembedahan secara Riwayat
perjalanan hidup korban sampai kematiannya.
• Proses otopsi psikologi dilakukan dengan cara
melakukan wawancara dan observasi terhadap
orang terdekat dan lingkungan korban.
• Menurut Sherry Russel (2004);
1. Informasi pribadi
2. Riwayat status Kesehatan mental
3. Riwayat keluarga
Proses Otopsi 4. Visum et repertum kematian
Psikologi korban
5. Riwayat kematian keluarga korban
6. Riwayat keseahatan medis
7. Riwayat kondisi stress/depresi
akibat masalah tertentu
• Menurut Sherry Russel (2004);
8. Laporan polisi
9. Reaksi keluarga/lingkungan
terhadap kematian korban
Proses Otopsi 10. Surat wasiat (jika ada)
Psikologi 11. Riwayat penggunaan alcohol atau
zat tertentu
12. Barang bukti dari TKP
13. Riwayat sikap atau perilaku korban
14. Perubahan kebiasaan yang terjadi
• Theodore H. Blau (1994) menambahkan:
1. Adanya bukti keadaan psikologis korban yang
menyakitkan
2. Adanya bukti keadaan frustrasi
Proses 3. Adanya bukti ancaman dari pihak tertentu
Otopsi 4. Adanya bukti merencanakan sesuatu
5. Adanya bukti ketidakberdayaan
Psikologi 6. Adanya bukti upaya Tindakan bunuh diri
sebelumnya
7. Keadaan ambivalensi
8. Keadaan pemikiran yang menghantui
• Seorang pria ditemukan tewas gantung diri
di Kelurahan Mimbaan, Panji, Situbondo.
Korban ditemukan gantung diri di kamar
rumahnya. Korban berinisial FF (28). Korban
Contoh kasus yang sehari-hari bekerja di supermarket
tersebut ditemukan tewas tergantung saat
Otopsi keluarganya hendak merayakan pergantian
Psikologi tahun baru, Minggu (31/12/2023).
• Menurut hasil visum et repertum, tidak
ditemukan adanya kekerasan yang dapat
menyebabkan kematian terhadap tubuh
korban
Analisa
Korban bunuh diri karena???
Contoh Kasus ODGJ
Melakukan Tindak
Pidana
• AH (27), pelaku pembunuhan karyawati, FD (44), di dekat lobi mal di Tanjung Duren, Jakarta Barat (Jakbar), dinyatakan mengidap
skizofrenia paranoid. Penyidikan kasus pembunuhan ini otomatis dihentikan.
• "Penyidik berpedoman kepada KUHAP maupun KUHP di dalam melaksanakan proses penyidikan maka kita ikuti apa yang menjadi
ketentuan di dalam KUHAP maupun KUHP. Di mana di dalam KUHAP dijelaskan bahwa dalam Pasal 109, penyidik memiliki
kewenangan untuk menghentikan penyidikan," ujar Kapolres Jakbar Kombes M Syahduddi dalam konferensi pers di Polres Jakbar,
Selasa (23/10/2023).
• Syahduddi menjabarkan ada tiga hal yang membuat penyidikan perkara bisa dihentikan. Pertama, karena tidak cukup bukti, kedua,
bukan merupakan tindak pidana dan terakhir karena demi hukum.
• "Nah, demi hukum ini ada beberapa aspek, salah satunya adalah ketika pelaku mengalami gangguan jiwa maka tidak bisa
dipertanggungjawabkan secara hukum. Nah, inilah yang menjadi pedoman kita di dalam proses penanganan selanjutnya," kata
Syahduddi.
• "Dan ini diperkuat dengan pasal 44 KUHP, di mana dalam pasal 44 KUHP dijelaskan bahwa barang siapa melakukan perbuatan tidak
dapat dipertanggungjawabkan kepadanya, dikarenakan jiwanya cacat dalam pertumbuhan ataupun terganggu karena suatu
penyakit itu tidak dapat dipidana," lanjutnya.
• Polisi kemudian berkoordinasi dengan pihak kejaksaan sekaligus menyerahkan petunjuk dari RS Bhayangkara Polri agar pelaku
dilakukan penanganan kejiwaan.
Ali, Achmad, (2002). Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis.
Cet. II. Jakarta: Gunung Agung.

Soekanto, Soerjono, (1989). Beberapa Catatan Tentang Psikologi Hukum. Bandung:


Citra Aditya Bakti.

Atkinson. (1999). Pengantar Psikologi. Jakarta: Erlangga.

Djamil, Abdul. (1984). Psikologi Dalam Hukum. Bandung: Armico.


REFERENSI
Akhdiat, Hendra. (2011). Psikologi Hukum. Bandung: CV Pustaka Setia

Constanzo, Mark (2006). Aplikasi Psikologi Dalam Sistem Hukum. Yogyakarta:


Pustaka Pelajar.

Direktorat Jenderal Pelayanan Medik Departemen Kesehatan. Pedoman


Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia (PPDGJ) III. Cetakan
Ketiga. 2013.

Anda mungkin juga menyukai