Anda di halaman 1dari 32

REFERAT

PRETERM PREMATURE RUPTURE OF THE MEMBRANE


(PPROM)

Diajukan Sebagai Salah Satu Tugas Dalam Menjalani Kepaniteraan Klinik Senior
Pada Bagian/SMF Ilmu Kebidanan dan Penyakit Kandungan RSUD Meuraxa Banda Aceh
Fakultas Kedokteran Universitas Abulyatama

Oleh:
ZURAIDA
21174005
Pembimbing:
dr. Denny Hermartin, Sp. OG

SMF ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ABULYATAMA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH MEURAXA
BANDA ACEH 2023

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur senantiasa saya panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya, serta shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW, dan para
sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas rahmat dan ridho-Nya, penulis dapat
menyelesaikan refarat ini dengan judul “PRETERM PREMATURE RUPTURE OF THE
MEMBRANE (PPROM)” sebagai salah satu syarat untuk mengikuti ujian kepanitraan Obstetrik
dan Ginekologi di RSUD Meuraxa Banda Aceh.
Berbagai kendala yang telah dihadapi penulis hingga refarat ini selesai tidak terlepas dari
bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Atas bantuan yang telah diberikan, baik moral maupun
materil, maka selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada pembimbing
saya dr. Denny Hermartin, Sp.OG atas bimbingan, arahan dan saran dalam penyusunan refarat
ini. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu.
Penulis menyadari bahwa refarat ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh karena itu
penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun sehingga penyusunan ini dapat
lebih baik sesuai dengan hasil yang diharapkan.
Akhir kata, dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu meridhai kita
semua.

Banda Aceh, 13 Januari 2023

Zuraida

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR......................................................................................................................i
DAFTAR ISI...................................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
BAB II TINJAUN PUSTAKA........................................................................................................2
2.1 Definisi............................................................................................................................2
2.2 Epidemiologi...................................................................................................................2
2.3 Etiologi Dan faktor Resiko............................................................................................4
2.4 Patofisiologi....................................................................................................................5
2.5 Manifestasi Klinis..........................................................................................................8
2.6 Diagnosis.......................................................................................................................10
2.7 Penatalaksanaan...........................................................................................................10
2.8 Komplikasi....................................................................................................................12
BAB III KESIMPULAN...............................................................................................................14
DAFTAR PUSTAKA

3
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Ketuban Pecah Dini (KPD) atau Prelabor Rupture of Membrane (PROM) yaitu suatu
keadaan saat selaput korioamnion pecah sebelum persalinan aktif terjadi1 atau pecahnya selaput
sebelum pembukaan mencapai 3 cm pada primipara atau saat pembukaan belum mencapai 5 cm
pada multipara. Kejadian ketuban pecah dini di Cina mencapai 19,53%, India sebesar 6% sampai
dengan 12% dan di Amerika Serikat insiden ketuban pecah dini sebesar 120.000 kehamilan per
tahun. Preterm premature rupture of membranes (PPROM) terjadi pada 3% kehamilan dan
menimbulkan sepertiga dari kelahiran preterm. Preterm PROM penting karena menimbulkan
morbiditas dan mortalitas perinatal, terutama karena berhubungan dengan pendeknya masa laten
dari pecahnya selaput saat persalinan, infeksi perinatal, dan kompresi tali pusat akibat
oligohidramnion.
Di Indonesia Insiden Ketuban Pecah Dini (KPD) berkisar antara 4,5% sampai dengan
7,6% dari seluruh kehamilan4 dan cukup beragam yaitu, RSUP Sanglah Denpasar ketuban pecah
dini terjadi sebanyak 212 kasus dari total 1.450 persalinan (14,62%) dengan angka kejadian
ketuban pecah dini aterm sebanyak 179 kasus (84,43%) dan preterm sebanyak 33 kasus
(15,57%). RS Cipto Mangunkusumo mencapai angka 11,22%, Di RS Sardjito sebesar 5,3%, RS
Pringadi sebesar 5,10%, RS Hasan Sadikin sebesar 5,05%. Menurut WHO (World Health
Organization) yang dirujuk oleh Rohmawati, N, dkk (2018), dari seluruh kelahiran kejadian
Ketuban Pecah Dini (KPD) berada dikisaran 5-10% dan kemudian dibagi menjadi ketuban pecah
dini aterm dengan angka kejadian 8%, preterm 1-3%7 yang merupakan penyebab kelahiran
prematur sebanyak 30-40% kasus. Ketuban pecah dini terjadi sekitar 5-10% dari semua
kehamilan, dengan persentase kejadian 80% saat kehamilan aterm dan telah terbukti menjadi
penyebab 18% mortalitas dan 21,4% morbiditas prenatal.
Penanganan yang tepat perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan komplikasi yang dapat
membahayakan ibu dan fetus seperti persalinan prematur, kompresi tali pusat yang dapat
menyebabkan hipoksia hingga asfiksia, persalinan normal gagal atau terjadi peningkatan
tindakan seksio sesarea, deformitas janin, serta dapat terjadi abruptio plasenta, abruptio plasenta,
hingga kematian janin. Pada ibu, dapat terjadi komplikasi maternal seperti sepsis, infeksi masa

4
nifas, infeksi dalam persalinan, perdarahan postpartum, partus lama, serta meningkatkan
morbiditas dan mortalitas maternal.
Terdapat perubahan dramatis dari resiko komplikasi perinatal terhadap usia gestasi saat
ruptur membran dan persalinan, sehingga usia kehamilan digunakan sebagai dasar penanganan
preterm PROM. Walaupun tidak terlihat adanya keuntungan pada neonatal terhadap managemen
konservatif setelah ruptur membran yang terjadi pada aterm, terlihat adanya keuntungan
potensial terapi konservatif pada preterm PROM terhadap janin yang immatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI

5
Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya ketuban sebelum waktunya melahirkan atau
sebelum inpartu, pada pembukaan <4 cm (fase laten). Hal ini dapat terjadi pada akhir kehamilan
maupun jauh sebelum waktunya kelahiran. Menurut Manuaba (2015), Ketuban Pecah Dini
(KDP) yaitu pecahnya ketuban sebelum ada tanda-tanda inpartu, dan setelah ditunggu selama
satu jam belum juga mulai ada tanda tanda inpartu. Ketuban pecah dini (KDP) atau ketuban
pecah premature (KPP) adalah keluarnya cairan dari jalan lahir vagina vagina sebelum proses
kelahiran, termasuk diantaranya adalah PPROM.
Preterm Premature Rupture of the Membrane (PPROM) adalah pecahnya selaput ketuban
sebelum onset persalinan pada pasien yang umur kehamilannya < 37 minggu. PPROM adalah
rusaknya atau pecahnya kantung ketuban (amnion sacs) sebelum awal persalinan, biasanya <37
minggu (The American College of Obstetricians and Gynecologist/ACOG, 2018).
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa PPROM merupakan kondisi
yang termasuk didalam jenis ketuban pecah dini. PPROM sendiri diartikan sebagai pecahnya
atau rusaknya selaput atau kantung ketuban (amnion sacs) pada pasien dengan umur kehamilan
<37 minggu tanpa adanya tanda-tanda melahirkan atau inpartu dan setelah ditunggu selama satu
jam belum juga mulai ada tanda tanda inpartu.

2.2 ANATOMI DAN FISIOLOGI SELAPUT AMNION DAN CAIRAN AMNION

2.2.1 Anatomi Selaput Amnion

6
Amnion manusia terdiri dari lima lapisan yang berbeda. Lapisan ini tidak mengandung
pembuluh darah maupun saraf, sehingga nutrisi disuplai melalui cairan amnion. Lapisan paling
dalam dan terdekat pada fetus ialah epitel amniotik. Epitel amniotik ini mensekresikan kolagen
tipe III dan IV serta glikoprotein non kolagen (laminin, nidogen dan fibronectin) dari membrana
basalis, lapisan amnion di sebelahnya (Gahwagi MMM, Busarira MO, Atia M. (2015).

Lapisan kompakta jaringan konektif yang melekat pada membrana basalis ini membentuk
skeleton fibrosa dari amnion. Kolagen dari lapisan kompakta disekresikan oleh sel mesenkim
dari lapisan fibroblast. Kolagen interstitial (tipe I dan III) mendominasi dan membentuk parallel
bundles yang mempertahankan integritas mekanik amnion. Kolagen tipe V dan VI membentuk
koneksi filamentosa antara kolagen interstitial dan membrane basalis epithelial. Tidak ada
interposisi dari materi yang menyusun fibril kolagen pada jaringan konektif amniotik sehingga
amnion dapat mempertahankan tensile strength selama stadium akhir kehamilan normal
(Gahwagi MMM, Busarira MO, Atia M. (2015).

Lapisan fibroblast merupakan lapisan amniotik yang paling tebal terdiri dari sel
mesenkim dan makrofag di antara matriks seluler. Kolagen pada lapisan ini membentuk jaringan
longgar dari glikoprotein non kolagenosa. Lapisan intermediate (spongy layer atau zona
spongiosa) terletak di antara amnion dan korion. Lapisan ini banyak mengandung hydrated
proteoglycan dan glikoprotein yang memberikan sifat “spongy” pada gambaran histologi.
Lapisan ini juga mengandung nonfibrillar meshwork yang sebagian besar terdiri dari kolagen
tipe III. Lapisan intermediate ini mengabsorbsi stres fisik yang terjadi.

Walaupun korion lebih tebal dari amnion, amnion memiliki tensile strength yang lebih
besar. Korion terdiri dari membran epithelial tipikal dengan polaritas langsung menuju desidua
maternal. Pada proses kehamilan, vili trofoblastik di antara lapisan korionik dari membrana fetal
mengalami regresi. Di bawah lapisan sitotrofoblas (dekat janin) merupakan membrana basalis
dan jaringan konektif korionik yang kaya akan serat kolagen. Membran fetal memperlihatkan
variasi regional. Walaupun tidak ada bukti yang menunjukan adanya titik lemah di mana
membran akan pecah, observasi harus dilakukan untuk menghindari terjadinya perubahan
struktur dan komposisi membran yang memicu terjadinya ketuban pecah dini (Gahwagi MMM,
Busarira MO, Atia M. (2015).

7
Gambar: Anatomi Selaput Ketuban

Cairan amnion mengandung materi bakteriostatik tertentu sebagai pelindung terhadap


proses infeksi potensial. Penurunan volume cairan amnion dapat menghambat kemampuan
pasien dalam menghadapi infeksi. Penelitian oleh Borna et al menunjukan bahwa pasien dengan
oligohidramnion (AFI<5) memiliki resiko tinggi menderita korioamnionitis dan sepsis pada
neonates. Pada minggu-minggu pertama perkembangan, villi/jonjot meliputi seluruh lingkaran
permukaan korion (Gahwagi MMM, Busarira MO, Atia M. (2015).

Dengan berlanjutnya kehamilan:


1. Jonjot pada kutub embrional membentuk struktur korion lebat seperti semak-semak (chorion
frondosum) sementara.
2. Jonjot pada kutub embrional mengalami degenerasi, menjadi tipis dan halus disebut chorion
leave.
Seluruh jaringan endometrium yang telah mengalami reaksi desidua, juga mencerminkan
perbedaan pada kutub embrional dan abembrional:
1. Desidua di atas chorion frondosum menjadi desidua basalis.
2. Desidua yang meliputi embrioblas atau kantong janin di atas chorion leave menjadi desidua
kapsularis.
3. Desidua di sisi atau bagian uterus yang abembrional menjadi desidua parietalis.
Antara membran korion dengan membran amnion terdapat rongga korion. Dengan
berlanjutnya kehamilan, rongga ini tertutup akibat persatuan membran amnion dan membran

8
korion. Selaput janin selanjutnya disebut sebagai membran korion-amnion (amniochorionic
membrane). Kavum uteri juga terisi oleh konsepsi sehingga tertutup oleh persatuan chorion leave
dengan desidua parietalis (Gahwagi MMM, Busarira MO, Atia M. (2015).

2.2.2 Cairan Amnion

Mula–mula ruangan amnion merupakan rongga kecil saja, tapi kemudian mengelilingi
seluruh janin. Akhirnya amnion merapat pada korion dan melekat dengannya. Ruangan amnion
berisi air ketuban. Amnion ikut membentuk selaput janin yang terdiri dari lapisan amnion,
mesoderm, korion dan lapisan tipis dari desidua (Gahwagi MMM, Busarira MO, Atia M. (2015).

Rongga yang diliputi selaput janin disebut sebagai rongga amnion.


Di dalam ruangan ini terdapat cairan amnion (likuor amnii). Asal cairan amnion diperkirakan
terutama disekresi oleh dinding selaput amnion atau plasenta kemudian setelah sistem urinarius
janin terbentuk, urine janin yang diproduksi juga dikeluarkan ke dalam rongga amnion. Rongga
cairan amnion adalah kompartemen yang bersifat metabolik aktif dan terjadi perubahan volume
cairan yang fluktuatif. Jumlah cairan amnion pada kehamilan 16 minggu kira–kira 250 ml dan
800 ml pada kehamilan 38 minggu dan setelah itu akan terus menurun sampai sekitar aterm
(Gahwagi MMM, Busarira MO, Atia M. (2015).

Gambar: Jumlah Cairan Ketuban Selama kehamilan

Pada kehamilan aterm pertukaran cairan amnion secara lengkap memerlukan waktu
sekitar 3 jam. Cairan amnion terdiri dari urine (hipotonik) dan sekresi cairan paru. Absorbsi
cairan amnion terjadi melalui proses menelan dan dibuang pada Amniotic-chorionic interface

9
serta ruang intervilous. Ruangan amnion berisi 1liter air ketuban. Terkadang jumlahnya sangat
berbeda (Gahwagi MMM, Busarira MO, Atia M. (2015).

 Pada minggu ke-36 banyaknya: 1030 cc.

 Pada minggu ke-40 banyaknya: 790 cc.

 Pada minggu ke-43 sudah berkurang menjadi 240 cc.

 Kalau banyaknya lebih dari 2 liter dinamakan polyhydramnion atau hydramnion.

 Kalau terlalu sedikit, kurang dari 500 cc, disebut oligohydramnion.


Fungsi cairan amnion:
 Proteksi: melindungi janin terhadap trauma dari luar.

 Mobilisasi: memungkinkan ruang gerak bagi janin.

 Homeostasis: menjaga keseimbangan suhu dan lingkungan asam-basa (pH) dalam rongga
amnion, untuk suasana lingkungan yang optimal bagi janin.

 Mekanik: menjaga keseimbangan tekanan dalam seluruh ruangan intrauterin (terutama


pada persalinan).

 Pada persalinan: membersihkan atau melicinkan jalan lahir, dengan cairan yang steril,
sehingga melindungi bayi dari kemungkinan infeksi jalan lahir.
Keadaan normal cairan amnion:
1. Pada usia kehamilan cukup bulan, volume 1000-1500 cc.
2. Keadaan jernih agak keruh.
3. Steril.
4. Bau khas, agak manis dan amis.
5. Terdiri dari 98-99% air, 1-2% garam-garam anorganik dan bahan organik (protein terutama
albumin), runtuhan rambut lanugo, vernix caseosa dan sel-sel epitel.
6. Sirkulasi sekitar 500 cc/jam.
7. Air ketuban reaksinya alkalis, B.D.-nya 1.007 – 1.025.
Sifat–sifat air ketuban harus kita ketahui untuk membedakan apakah yang keluar dari alat
kemaluan itu air ketuban atau air kencing. Sifat air kencing asam (dapat dibedakan dengan kertas
lakmus atau nitrazine), baunya pesing dan jernih tidak mengandung vernix caseosa atau lanugo.
Sifat–sifat air ketuban seperti jernih atau keruhnya, banyaknya dan susunannya dapat

10
dipergunakan untuk pengenalan keadaan janin dengan cara amnioskopi atau amniocentesis
(Gahwagi MMM, Busarira MO, Atia M. (2015).

Amnioskopi:
Dengan amnioskopi air ketuban dapat berwarna kuning, hijau muda, hijau tua. Warna hijau tua
menunjukkan bayi dalam keadaan bahaya (distress). Dengan amniocentesis dapat ditentukan
umur janin dan sex janin.

Kelainan jumlah cairan amnion:


1. Hidramnion (polihidramnion)
Air ketuban berlebihan, di atas 2000 cc. Dapat mengarahkan kecurigaan adanya kelainan
kongenital susunan saraf pusat atau sistem pencernaan, atau gangguan sirkulasi atau
hiperaktifitas sitem urinarius janin.

2. Oligohidramnion
Air ketuban sedikit, di bawah 500 cc. Umumnya kental, keruh, berwarna kuning kehijauan.
Prognosis bagi janin buruk.

2.3 MEKANISME PECAHNYA SELAPUT AMNION


2.3.1 Mekanisme Pecahnya Selaput Amnion Pada Persalinan Normal
Ketuban pecah dalam persalinan secara umum disebabkan oleh kontraksi uterus dan
peregangan berulang. Selaput ketuban pecah karena pada daerah tertentu terjadi perubahan
biokimia yang menyebabkan selaput ketuban inferior rapuh, bukan seluruh selaput ketuban.
Terdapat keseimbangan antara sintesis dan degradasi ekstraseluler matriks. Perubahan struktur,
jumlah sel, dan katabolisme kolagen menyebabkan aktivitas kolagen berubah dan selaput
ketuban pecah. Degradasi kolagen dimediasi oleh matriks metalloproteinase (MMP) yang
dihambat oleh inhibitor jaringan spesifik dari inhibitor protease. Mendekati waktu persalinan,
keseimbangan antara MMP dan TIMP-1 mengarah pada degradasi proteolitik dari matriks
ekstraseluler dan membrane janin. Aktivitas degradasi ini semakin meningkat seiring dengan
semakin dekatnya waktu persalinan (Gahwagi MMM, Busarira MO, Atia M. (2015).

2.3.2 Mekanisme Pecahnya Selaput Amnion Dini

11
Ketuban pecah dini (PROM) selama kehamilan saat ini terutama disebabkan infeksi
sebelumnya. Lebih khusus, PROM disebabkan oleh rhexis atau pecah amnion, terutama di
daerah yang kontak dengan serviks uterus. Membran yang mengalami rupture premature tampak
memiliki defek fokal dibanding kelemahan menyeluruh. Daerah dekat tempat pecahnya
membrane ini disebut “Restricted zone of extreme altered morphology” yang ditandai dengan
adanya pembengkakan dan kerusakan jaringan kolagen fibrilar pada lapisan kompakta, fibroblast
maupun spongiosa. Daerah ini akan muncul sebelum ketuban pecah dini dan merupakan daerah
breakpoint awal. Rhexis amnion dapat disebabkan oleh (1) melemahnya fisik amnion, (2)
peningkatan tekanan intrauterin, dan (3) dilatasi serviks. Infeksi dapat menyertai masing-masing
kondisi ini, yang semuanya berinteraksi satu sama lain. Telah ditemukan bahwa cairan ketuban
mungkin tidak steril, bertentangan dengan keyakinan sebelumnya. Misalnya, menunjukkan
bahwa kolonisasi bakteri cairan ketuban mungkin ada meskipun membran utuh, menunjukkan
bahwa bakteri dapat melewati membran janin. Secara in vitro bahwa kuman anaerob dan
kelompok B streptokokus (GBS) dengan mudah bisa menginvasi membran (Gahwagi MMM,
Busarira MO, Atia M. (2015).
Subklinis korioamnionitis diyakini menjadi penyebab idiopatik kerja prematur. Banyak
bakteri kelamin dikenal menghasilkan fosfolipase A2 dan fosfolipase C, yang dapat merangsang
pelepasan asam arakidonat peningkatan dan produksi prostaglandin dalam rahim. Beberapa
bakteri kelamin mengeluarkan enzim fosfolipase, sehingga metabolisme asam arakidonat
mengaktifkan di membran janin dan merangsang komponen biokimia kerja. Huddleston (1982)
berpendapat bahwa pelepasan fosfolipase A2 dari membran janin memicu sintesis prostaglandin
dalam membran plasenta (Soewarto, 2010). Satu penjelasan yang masuk akal untuk melemahnya
membrane amnion adalah kolonisasi flora vagina. Invasi bakteri dari membran janin
menyebabkan peradangan lokal, yaitu, korioamnionitis fokus, dengan hilangnya integritas
membran menyebabkan PROM. Enzim bakteri dan produk ibu disekresikan sebagai respon
terhadap infeksi dapat menambah melemahnya dan pecahnya membrane (Gahwagi MMM,
Busarira MO, Atia M. (2015).
Resistensi terhadap infeksi tergantung pada hambatan fisiologis dan mekanik alam seperti
sumbat lendir endoserviks, membran janin utuh dan sifat antimikroba cairan ketuban. PROM
menghancurkan hambatan-hambatan ini. Jika PROM tidak diobati, akan terjadi persalinan, dan
janin akan dilahirkan dengan fungsi organ yang prematur. Misalnya, ketika bayi lahir dengan

12
fungsi paru yang prematur, ia mungkin akan mengalami sindrom gangguan pernapasan (RDS).
Prematur berat dan lapisan epitel yang belum matang dari matriks germinal di otak atau dari
lapisan usus dapat mempengaruhi antar neonatus untuk perdarahan intraventricular (IVH) dan
necrotizing enterocoliter (NEC). Oleh karena itu, diusahakan untuk memperpanjang usia janin
(Gahwagi MMM, Busarira MO, Atia M. (2015).

2.4 EPIDEMIOLOGI
Insiden PROM adalah 9,8%. Insiden PROM secara signifikan tinggi di primigravida
(37%). Insiden maksimumnya adalah antara 20-25 tahun (43%). PPROM terjadi pada terjadi
pada sekitar 2-3% dari semua kehamilan tunggal dan 7,4% dari kehamilan kembar. Kejadian
KPD preterm berhubungan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas maternal maupun
perinatal. Sekitar 1/3 dari perempuan yang mengalami KPD preterm akan mengalami infeksi
yang berpotensi berat, bahkan fetus/neonatus akan berada pada risiko morbiditas dan mortalitas
terkait KPD preterm yang lebih besar dibanding ibunya, hingga 47,9% bayi mengalami
kematian. Dari 100 kasus, 22 janin mengalami kematian perinatal 14,6%; 32 janin menderita
asfiksia, dan tersisa 46 janin normal (Kiranmaie, 2016; POGI, 2016; Caughey, 2008).
Persalinan prematur dengan potensi masalah yang muncul, infeksi perinatal, dan
kompresi tali pusat in utero merupakan komplikasi yang umum terjadi. Insiden PROM yang
dapat secara signifikan mempengaruhi ibu dan janin dapat dikurangi dengan skrining dini,
antenatal care yang memadai, perbaikan kondisi umum ibu dan pengobatan komplikasi yang
terkait (Kiranmaie, 2016; POGI, 2016).

2.5 KLASIFIKASI
Ketuban pecah dini terbagi dalam beberapa jenis, antara lain:

a. KPD preterm

13
Ketuban pecah dini preterm adalah pecah ketuban yang terbukti dengan vaginal pooling,
tes nitrazin dan, tes fern atau IGFBP-1 (+) pada usia <37 minggu sebelum onset persalinan. KPD
sangat preterm adalah pecah ketuban saat umur kehamilan ibu antara 24 sampai kurang dari 34
minggu, sedangkan KPD preterm saat umur kehamilan ibu antara 34 minggu sampai kurang 37
minggu. Definisi preterm bervariasi pada berbagai kepustakaan, namun yang paling diterima dan
tersering digunakan adalah persalinan kurang dari 37 minggu. Midtrimester PPROM atau pre-
viable PPROM adalah pecahnya selaput ketuban pada usia kehamilan <24 mingu. Pada usia
kehamilan ini janin tidak dapat bertahan hidup di luar rahim ibu. (POGI, 2016).

b. KPD pada kehamilan aterm


Ketuban pecah dini/ premature rupture of membranes (PROM) adalah pecahnya ketuban
sebelum waktunya yang terbukti dengan vaginal pooling, tes nitrazin dan tes fern (+), IGFBP-1
(+) pada usia kehamilan ≥ 37 minggu (POGI, 2016).

PROM dibagi menjadi dua (Gahwagi, 2015):


a. Early PROM adalah Ketuban pecah dini yang kejadiannya kurang dari 12 jam.
b. Prolonged PROM adalah Prolonged Premature Rupture of the Membrane, yaitu Ketuban
pecah dini yang kejadiannya lebih dari sama dengan dari 12 jam, pecahnya selaput ketuban
≥ 18 jam dan belum terjadi onset persalinan atau setelahnya timbul persalinan.

2.5 ETIOLOGI
Terdapat beberapa faktor yang diduga dapat menyebabkan terjadinya PPROM.
Berdesarakan penelitian terhadap berbagai kasus PPROM, yang menjadi faktor predisposisi
adalah: (Puspitasari, R. N. 2019).

14
1. Penurunan tensile strength dari selaput ketuban secara generalisata
2. Infeksi yang terjadi secara langsung pada selaput ketuban maupun asenden dari vagina.
Penelitian menunjukkan infeksi sebagai penyebab utama PPROM
3. Defek lokal pada selaput ketuban. Defek ini disebabkan oleh trauma didapat, misalnya
hubungan seksual, pemeriksaan dalam maupun amniosintesis.
4. Penurunan kadar kolagen dalam cairan ketuban dan perubahan struktru kolagen dalam
selaput ketuban, meliputi degradasi dan apoptosis kolagen
5. Servik yang inkompetensia, kanalis sevikalis yang selalu terbuka oleh karena kelainan
pada servik uteri (akibat persalinan, kuretase).
6. Tekanan intra uterin yang meningkat secara berlebihan (overdistensi uterus) misalnya
tumor, hidramnion, gemelli.
7. Kelainan letak misalnya lintang, sehingga tidak ada bagian terendah yang menutupi pintu
atas panggul (PAP) yang dapat menghalangi tekanan terhadap membran bagian bawah.
8. Keadaan sosial ekonomi yang berhubungan dengan rendahnya kualitas perawatan
antenatal dan penyebaran penyakit menular seksual seperti Chlamydia trachomatis dan
Neischeria gonorrhoe.
9. Faktor lain yaitu:
a. Faktor disproporsi antar kepala janin dan panggul ibu
b. Faktor multi gravidita, merokok dan perdarahan antepartum

15
c. Defisiensi gizi dari tembaga dan vitamin C (Puspitasari, R. N. 2019).

2.6 FAKTOR RESIKO


Berbagai faktor resiko berhubungan dengan timbulnya PPROM. Ras kulit hitam
cenderung memiliki resiko lebih tinggi dibandingkan dengan ras kulit putih. Pasien dengan status
sosio ekonomi rendah, perokok, riwayat penyakit menular seksual, riwayat persalinan preterm
sebelumnya, perdarahan pervaginam (solusio plasenta, plasenta previa) atau distensi uteri (misal
polihidramnion dan gemelli) memiliki resiko tinggi. Tindakan prosedural seperti amniosentesis
juga dapat memicu PPROM.
Pada penyakit-penyakit infeksi yang menyebabkan meningkatnya MMP, seperti
periodontitis, dapat terjadi PPROM. Namun berdasarkan penelirian case control skala besar,
diantara semua faktor resiko diatas hanya ada 3 faktor utama yang menyebabkan PPROM, yaitu
riwayat melahirkan prematur sebelumnya, rwayat merokok (baik merokok sebelum kehamilan,
berhenti ketika hamil, dan masih merokok ketika hamil), dan riwayat perdarahan pervaginam
pada masa kehamilan (Nugrahani, R. rizqi. (2019).
Faktor resiko PPROM meliputi:
1. Kehamilan multipel:
2. Kembar dua: 50%
3. Kembar tiga: 90%
4. Riwayat persalinan preterm sebelumnya
5. Perdarahan pervaginam
6. pH vagina di atas 4,5
7. Kelainan atau kerusakan selaput ketuban
8. Flora vagina abnormal
9. Fibronektin >50 ng/ml
10. Kadar CRH (corticotrophin releashing hormone) maternal yang tinggi misalnya pada
stress psikologis, dapat menjadi stimulasi persalinan preterm
11. Inkompetensi serviks (leher rahim)
12. Polihidramnion (cairan ketuban berlebih)
13. Riwayat ketuban pecah dini sebelumnya

16
14. Trauma
15. Serviks tipis atau kurang dari 39 mm, serviks yang pendek (<25 mm) pada usia kehamilan
23 minggu
16. Infeksi pada kehamilan seperti bacterial vaginosis.
Faktor-faktor yang dihubungkan dengan partus preterm (Nugrahani, R. rizqi. (2019):
1. Iatrogenik: hygiene kurang (terutama), tindakan traumatic
2. Maternal: penyakit sistemik, patologi organ reproduksi atau pelvis, preeclampsia, trauma,
konsumsi alcohol atau obat-obat terlarang, infeksi intraamnion subklinik, korioamnionitis
klinik, inkompetensia serviks, servisitis atau vaginitis akut, ketuban pecah pada usia
kehamilan preterm.
3. Fetal: Malformasi janin, kehamilan multipel, hidrops fetalis, pertumbuhan janin terhambat,
gawat janin, kematian janin.
4. Cairan amnion: oligohidramnion dengan selaput ketuban utuh, ketuban pecah pada preterm,
infeksi intraamnion, korioamnionitis klinik.
5. Placenta: solution placenta, placenta previa (kehamilan 35 minggu atau lebih), sinus
marginalis, chorioangioma, vasa previa.
6. Uterus: malformasi uterus, overdistensi akut, mioma besar, desiduositis, aktivitas uterus
idiopatik.
Ada hubungan antara PPROM dengan hal-hal berikut (Nugrahani, R. rizqi. (2019):
1. Adanya hipermotilitas rahim yang sudah lama terjadi sebelum ketuban pecah. Penyakit-
penyakit seperti pielonefritis, sistitis, servisitis, dan vaginitis terdapat bersama-sama dengan
hipermotilitas rahim ini.
2. Selaput ketuban terlalu tipis (kelainan ketuban)
3. Infeksi (amnionitis atau korioamnionitis)
4. Ketuban pecah dini artificial (amniotomi), di mana ketuban dipecahkan terlalu dini
5. Faktor-faktor lain yang merupakan predisposisi ialah:
a. Multipara
b. Malposisi
c. Disproporsi
d. Cervix incompetent, dan lain-lain.

2.7 PATOFISIOLOGI

17
Infeksi dan inflamasi dapat menyebabkan ketuban pecah dini dengan menginduksi
kontraksi uterus dan atau kelemahan fokal kulit ketuban. Banyak mikroorganisme
servikovaginal, menghasilkan fosfolipid C yang dapat meningkatkan konsentrasi secara local
asam arakidonat, dan lebih lanjut menyebabkan pelepasan PGE2 dan PGF2 alfa dan selanjutnya
menyebabkan kontraksi miometrium. Pada infeksi juga dihasilkan produk sekresi akibat aktivitas
monosit atau makrofag, yaitu sitokrin, interleukin 1, factor nekrosis tumor dan interleukin 6.
Platelet activating factor yang diproduksi oleh paru-paru janin dan ginjal janinyang ditemukan
dalam cairan amnion, secara sinergis juga mengaktifasi pembentukan sitokin. Endotoksin yang
masuk kedalam cairan amnion juga akan merangsang sel-sel disidua untuk memproduksi sitokin
dan kemudian prostaglandin yang menyebabkan dimulainya persalinan. Selain itu, proses infeksi
dan inflamasi juga menyebabkan kelemahan kulit ketuban dan meningkatkan resiko ketuban
pecah dini. Melemahnya kulit ketuban juga disebabkan karena kematian sel, gangguan
pembentukkan kolagen dan kerusakan kolagen (Idrisa A, Pius S, Bukar M, (2019).

2.8 MANIFESTASI KLINIS


Manifestasi klinis utama dari PPROM adalah amenorrhoe, yang pada sebagian kasus
diikuti dengan nyeri pelvis bagian bawah (35%) dan peningkatan sekresi secket vagina (30%)
(Gjoni, 2006). Setelah ketuban pecah dini pada kondisi “term’, sekitar 70% pasien akan memulai
persalinan dalam 24 jam, dan 95% dalam 72 jam. Setelah ketuban pecah dini preterm, periode
latensi dari ketuban pecah hingga persalinan menurun terbalik dengan usia gestasional, misalnya
pada kehamilan minggu ke 20 hingga ke 26, rata-rata periode latensi sekitar 12 hari. Pada
kehamilan minggu ke 32 hingga ke 34, periode latensi berkisar hanya 4 hari (Marpaung J,
(2020).

Ketuban pecah dini dapat memberikan stress oksidatif terhadap ibu dan bayi. Peningkatan
lipid peroxidation dan aktivitas proteolitik dapat terlihat dalam eritrosit. Bayi premature memiliki
pertahanan antioksidan yang lemah. Reaksi radikal bebas pada bayi premature menunjukan
tingkat lipid preoxidation yang lebih tinggi selama minggu pertama kehidupan. Beberapa
komplikasi pada neonatus diperkirakan terjadi akibat meningkatnya kerentanan neonatus
terhadap trauma radikal oksigen (Marpaung J, (2020).

18
Tanda dan gejala terjadinya PPROM antara lain:
1. Tanda yang terjadi adalah keluarnya cairan ketuban merembes melalui vagina.
2. Aroma air ketuban berbau amis dan tidak seperti bau amoniak, mungkin cairan tersebut
masih merembes atau menetes, dengan ciri pucat dan bergaris warna darah.
3. Cairan ini tidak akan berhenti atau kering karena terus diproduksi sampai kelahiran.
Tetapi bila Anda duduk atau berdiri, kepala janin yang sudah terletak di bawah biasanya
“menganjal” atau “menyumbat” kebocoran untuk sementara.
4. Demam, bercak vagina yang banyak, nyeri perut, denyut jantung janin bertambah cepat
merupakan tanda-tanda infeksi yang terjadi (Marpaung J, (2020).

2.9 DIAGNOSIS
PPROM dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dengan vaginal toucher
dan inspekulo. Menegakkan diagnosa KPD secara tepat sangat penting. Karena diagnosa yang
positif palsu berarti melakukan intervensi seperti melahirkan bayi terlalu awal atau melakukan
seksio yang sebetulnya tidak ada indikasinya. Sebaliknya diagnosa yang negatif palsu berarti
akan membiarkan ibu dan janin mempunyai resiko infeksi yang akan mengancam kehidupan
janin, ibu atau keduanya. Oleh karena itu diperlukan diagnosa yang cepat dan tepat. Pada pasien

19
hamil yang datang dengan keluhan “keluar cairan” harus dipikirkan diagnosa KPD. Tujuan
umum diagnostik awal adalah: (DeCherney, Alan (2018).
1. Konfirmasi diagnose
2. Menilai keadaan janin
3. Menentukan apakah pasien dalam keadaan inpartu aktif
4. Menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi

Tabel: Evaluasi Awal KPD Preterm

Diagnosa KPD ditegakkan dengan cara: (DeCherney, Alan (2018).

1. Anamnesis
Penderita merasa basah pada vagina, atau mengeluarkan cairan yang banyak secara tiba-
tiba dari jalan lahir atau ngepyok. Cairan berbau khas, dan perlu juga diperhatikan warna,
keluanya cairan tersebut tersebut his belum teratur atau belum ada, dan belum ada
pengeluaran lendir darah.

20
2. Konfirmasi usia kehamilan
3. Inspeksi
Pengamatan dengan mata biasa akan tampak keluarnya cairan dari vagina, bila ketuban
baru pecah dan jumlah air ketuban masih banyak, pemeriksaan ini akan lebih jelas.
4. Pemeriksaan dengan Spekulum

Pemeriksaan dengan spekulum pada KPD akan tampak keluar cairan dari orifisium uteri
eksternum (OUE), kalau belum juga tampak keluar, fundus uteri ditekan, penderita diminta
batuk, megejan atau megadakan manuvover valsava, atau bagian terendah digoyangkan,
akan tampak keluar cairan dari ostium uteri dan terkumpul pada fornik anterior.

5. Pemeriksaan Dalam
Didapat cairan di dalam vagina dan selaput ketuban sudah tidak ada lagi. Mengenai
pemeriksaan dalam vagina dengan tocher perlu dipertimbangkan, pada kehamilan yang
kurang bulan yang belum dalam persalinan tidak perlu diadakan pemeriksaan dalam.
Karena pada waktu pemeriksaan dalam, jari pemeriksa akan mengakumulasi segmen
bawah rahim dengan flora vagina yang normal. Mikroorganisme tersebut bisa dengan cepat
menjadi patogen. Pemeriksaan dalam vagina hanya dilakukan kalau KPD yang sudah
dalam persalinan atau yang dilakukan induksi persalinan dan dibatasi sedikit mungkin.
Pemeriksaan vaginal (vaginal toucher) harus sangat dibatasi termasuk untuk pemeriksaaan
diagnostik awal:

a. VT sebelum persalinan meningkatkan kejadian infeksi neonatus dan memperpendek periode


laten.
b. Dengan menghindari VT, usaha mempertahankan kehamilan menjadi semakin lama.

Pemeriksaan inspekulo harus terlebih dahulu dilakukan meskipun pasien nampak sudah
masuk fase inpartu oleh karena dengan pemeriksaan inspekulo dapat dilakukan penentuan
dilatasi servik. Oleh karena infeksi intra amniotik subklinis juga sering terjadi dan keadaan ini
adalah merupakan penyebab utama dari morbiditas ibu dan anak, maka evaluasi gejala dan tanda

21
infeksi pada pasien harus dilakukan secara teliti Tanda infeksi yang jelas terdapat pada infeksi
lanjut antara lain: demam, takikardi, uterus tegang, getah vagina berbau dan purulent.

Diagnosa dini infeksi intraamniotik dilakukan bila didapatkan gejala berupa peningkatan
temperatur pada ibu > 37,8°C, denyut jantung ibu > 100 x/menit, denyut jantung janin > 169
x/menit, leukosit > 15.000, air ketuban yang berbau dan terjadi perlunakan uterus. Berikut adalah
tabel yang menunjukkan hubungan antara gejala dengan infeksi intreuterin (DeCherney, Alan
(2018).

Tabel: Frekuensi gejala dihibungkan dengan infeksi intra uterin


NO. GEJALA FREKUENSI (%)

1. Temperatur >37,8 oC 100


2. Denyut jantung ibu >100 x/menit 20-80
3. Denyut jantung janin >169 x/menit 40-70
4. Hitung darah putih >15.000 70-90
5. Hitung darah putih >20.000 3-10
6. Air ketuban yang berbau 5-22

7. Perlunakan uterus 4-25

6. Deteksi infeksi cairan amnion dilakukan dengan amniosentesis.


7. Pemeriksaan penunjang antaranya:
a. Pemeriksaan laboratorium

Cairan yang keluar dari vagina perlu diperiksa: warna, kosentrasi, bau dan pH-nya. Cairan
yang keluar dari vagina ini ada kemungkinan air ketuban, urine atau secret vagina. Secret
vagina ibu hamil pH:4-5, dengan kertas nitrazin tidak berubah warna, tetap kuning. Tes

22
lakmus (tes Nitrazin) jika kertas lakmus merah berubah menjadi biru menunjukan adanya
air ketuban (alklis), pH air ketuban 7-7,5, darah dan infeksi vagina dapat menghasilkan tes
positif yang palsu (DeCherney, Alan (2018).
1. Nitrazine test, yaitu sebuah pemeriksaan dengan menggunakan kertas lakmus yang
dimasukkan ke dalam vagina. Jika pH dalam vagina naik (basa), lakmus merah akan
berubah menjadi biru, maka nitrazine test positif. Nitrazine test bias positif palsu jika
terdapat darah, semen, antiseptik alkalis atau adanya bacterial vaginosis. Kadar pH vagina
perempuan hamil sekitar 4,5, dan jika ada cairan ketuban akan naik menjadi 7,1 – 7,3.
2. Uji fern, yaitu dengan cara mengambil mucus serviks dan dikeringkan di gelas objek
untuk selanjutnya diamati dengan mikroskop pembesaran rendah. Adanya gambaran
seperti daun pakis menunjukkan uji fern positif. Uji ini digunakan sebagai uji konfirmasi
nitrazine test. Sampel diambil di fornix posterior atau fornix lateral untuk menghindari
mucus serviks, yang juga mungkin memberikan hasil positif palsu.

Gambar: Hasil Uji Fern

3. Ferntest (Ujii Pakis) yaitu dengan kapas steril digunakan untuk mengumpulkan cairan
dari vagina dan ditempatkana pada slide mikroskop. Setelah pengeringan, cairan ketuban
akan membentuk pola kristalisasi yang disebut arborisasi yang menyerupai daun tanaman
pakis bila dilihat di bawah mikroskop.
4. Blood test yaitu digunakan untuk mengetahui adanya infeksi.
5. Pooling test, yaitu dengan melihat ada tidaknya kumpulan cairan amniotik (ketuban) pada
bagian belakangg vagina (fornix vagina).

23
b. Pemeriksaan ultrasonografi (USG)

Pemeriksaan USG dapat berguna untuk melengkapi diagnosis untuk menilai indeks cairan
amnion. Jika didapatkan volume cairan amnion atau indeks cairan amnion yang berkurang tanpa
adanya abnormalitas ginjal janin dan tidak adanya pertumbuhan janin terhambat maka
kecurigaan akan ketuban pecah dini sangat besar, walaupun normalnya volume cairan amnion
tidak menyingkirkan diagnosis (DeCherney, Alan (2018).

2.10 DIAGNOSIS BANDING


Ada beberapa diagnosis banding tentang ketuban pecah dini yaitu: (DeCherney, Alan
(2018).
1. Inkompetensi serviks
2. Fistula vesiko vaginal pada kehamilan
3. Fistula rectovaginal
4. Kehamilan dengan stress incontinence
5. Inkontinensia urin
6. Sekret vagina yang berlebihan
7. Douching vagina (DeCherney, Alan (2018).

2.11PENATALAKSANAAN
Tujuan utama dari penatalaksanaan PPROM adalah keselamatan neonates pada usia
gestational ketika selaput ketuban ruptur, karena itulah penatalaksanaan PPROM tergantung
pada usia kehamilan. Penanganan berdasarkan usia kehamilan dapat dibagi menjadi dua, yaitu:
(Manuaba, I. B. G., Manuaba, I. A., & Manuaba, I. B. G. F. (2015).

1. Penanganan konservatif
- Pengelolaan konserpatif dilakukan bila tidak ada penyulit (baik pada ibu maupun pada janin)
dan harus di rawat dirumah sakit.

- Berikan antibiotik (ampisilin 4x500 mg atau eritromisin bila alergi terhadap ampisilin) dan
Metronidazol 2x500 mg selama 7 hari.

24
Jika usia kehamilan:
- Jika umur kehamilan <32-34 minggu dirawat selama air ketuban masih keluar, atau sampai
air ketuban tidak keluar lagi.
- Jika usia kehamilan 32-37 minggu, belum inpartu, tidak ada infeksi, tes busa negatif:
 Berikan steroid (deksametason) untuk menginduksi pematangan paru janin
 Observasi tanda-tanda infeksi
 Observasi kesejahteraan janin
 Terminasi pada saat kehamilan mencapai usia 37 minggu
- Jika usia kehamilan 32-37 minggu, sudah inpartu, tidak ada tanda-tanda infeksi:
 Berikan tokolitik (salbutamol)
 Berikan steroid (deksametason) untuk menginduksi pematangan paru janin
 Lakukan induksi setelah 24 jam
- Jika usia kehamilan 32-37 minggu, ada infeksi:
 Antibiotik
 Lakukan induksi persalinan
- Nilai tanda-tanda infeksi (suhu, leukosit, tanda-tanda infeksi intrauterin)
- Pada usia kehamilan 32-34 minggu berikan steroid, untuk memicu kematangan paru janin,
dan kalau memungkinkan periksa kadar lesitin dan spingomielin tiap minggu. Dosis
Betametason IM 5mg setiap 6 jam sebanyak 4 kali (Manuaba, I. B. G., Manuaba, I. A., &
Manuaba, I. B. G. F. (2015).

2. Penanganan aktif

Penanganan aktif dilakukan dengan menterminasi kehamilan. Terminasi kehamilan


dipertimbangkan jika resiko dari infeksi jauh lebih besar dibandingkan dengan resiko
prematuritas. Yang juga dipertimbangkan dalam terminasi kehamilan adalah survivalitas janin,
usia ibu, Bad Obtetric History (BOH), kondisi yang menyebabkan pertumbuhan janin terhambat
(IUGR), diabetes, dan sebagainya. Berikut ini adalah hasil studi yang dapat membantu klinisi
dalam membuat keputusan terminasi kehamilan: (Manuaba, I. B. G., Manuaba, I. A., &
Manuaba, I. B. G. F. (2015).

- Usia kehamilan 20-24 minggu:

25
Survivalitas janin sangat rendah (< 20-25%), resiko infeksi sangat tinggi, komplikasi jangka
panjang sering terjadi, dan dibutuhkan follow-up yang mahal. Pada usia kehamilan ini
terminasi kehamilan sangat dianjurkan kepada pasangan.

- Usia kehamilan 24-24 minggu:


Sebagian besar studi menyarankan manajemen aktif, menentukan dan memanajemen infeksi,
serta mengecek fetal distress. Jika terdapat gejala klinis dan hasil laboratorium yang
menunjukkan korioamnionitis, maka disarankan untuk menterminasi kehamilan dengan
induksi persalinan. Seksio sesaria lebih baik dihindari jika memungkinkan, karena tingginya
angka infeksi selama nifas.

- Usia kehamilan 26-30 minggu:


Disarankan untuk melakukan observasi dan follow up. Berikan antibiotic profilaksis dan
steroid untuk maturasi paru. Resiko prematuritas lebih tinggi dibandingkan dengan resiko
infeksi janin/neonatus. Berikan tokolitik jika ibu akkan dipindahkan ke pusat kesehatan
lainnya.

- Usia kehamilan 30-36 minggu:


Angka survivalitas neonatus sangat tinggi (95%). Disarankan untuk memberikan steroid
untuk maturasi paru. Antibiotik disarankan jika periode latennya memanjang. Jika diagnosis
infeksi intera uterin ditegakkan pada usia kehamilan ini, lebih baik memberikan antibiotik
terlebih dahulu sebelum induksi persalinan dibandingkan dengan langsung menterminasi
kehamilan. Pada usia kehamilan ini, persentasi kegagalan induksi persalinan rendah dan
kebutuhan untuk dilakukan seksio sesaria beserta resiko komplikasi masa nifasnya juga
sangat jarang.

- Kehamilan ≥ 37 minggu
Induksi dengan oksitosin. Bila gagal, kita lakukan seksio sesarea. Dapat pula diberikan
misoprostol 25µg-50µg intravaginal setiap 6 jam sebanyak maksimal 4 kali. Bila ada tanda-
tanda infeksi berikan antibiotik dosis tinggi dan terminasi persalinan.
Bila skor pelvic <5:

26
 Lakukan pematangan serviks, kemudian induksi. Jika tidak berhasil, akhiri
persalinan denngan seksio sesarea.
 Bila skor pelvis >5: Induksi persalinan, partus pervaginam. (Manuaba, I. B. G.,
Manuaba, I. A., & Manuaba, I. B. G. F. (2015).

3. Medikasi
1. Kortikosteroid
Pemberian kortikosteroid dapat menekan morbiditas dan mortalitas perinatal pasca ketuban
pecah dini preterm. Kortikosteroid juga menekan resiko terjadinya sindrom distress pernafasan
(20–35,4%), hemoragi intraventrikular (7,5–15,9%), enterokolitis nekrotikans (0,8–4,6%).
Rekomendasi sebagian besar menggunakan betamethason (celestone) intramuscular 12 mg setiap
24 jam selama 2 hari. National Institute of Health merekomendasikan pemberian kortikosteroid
sebelum masa gestasi 30–23 minggu, dengan asumsi viabilitas fetus dan tidak ada infeksi intra
amniotik. Pemberian kortikosteroid setelah masa gestasi 34 minggu masih kontroversial dan
tidak direkomendasikan kecuali ada bukti immaturitas paru melalui pemeriksaan amniosentesis
(Manuaba, I. B. G., Manuaba, I. A., & Manuaba, I. B. G. F. (2015).

2. Antibiotik
Pemberian antibiotik pada pasien ketuban pecah dini dapat menekan infeksi neonatal dan
memperpanjang periode latensi. Sejumlah antibiotik yang digunakan meliputi ampisilin 2 gram
dengan kombinasi eritromisin 250 mg setiap 6 jam selama 48 jam, diikuti pemberian amoksisilin
250 mg dan eritromisin 333 mg setiap 8 jam untuk lima hari. Pasien yang mendapat kombinasi
ini dimungkinkan dapat mempertahankan kandungan selama 3 minggu setelah penghentian
pemberian antibiotik setelah 7 hari (Manuaba, I. B. G., Manuaba, I. A., & Manuaba, I. B. G. F.
(2015).

3. Agen Tokolitik
Pemberian agen tokolitik diharapkan dapat memperpanjang periode latensi namun tidak
memperbaiki luaran neonatal. Tidak banyak data yang tersedia mengenai pemakaian agen
tokolitik untuk ketuban pecah dini. Pemberian agen tokolitik jangka panjang tidak diperkenankan

27
dan hingga kini masih menunggu hasil penelitian lebih jauh (Manuaba, I. B. G., Manuaba, I. A.,
& Manuaba, I. B. G. F. (2015).

Gambar: Algoritma penatalaksanaan ketuban pecah dini preterm

2.12 KOMPLIKASI
Komplikasi PPROM: (Shivaraju P, Purra P, Bheemagani N, Lingegowda K, (2020).
1. Persalinan premature
PPROM merupakan penyebab pentingnya persalinan premature dan prematuritas janin.
Setelah ketuban pecah biasanya diikuti dengan persalinan. Pada kasus ketuban pecah dini
preterm biasanya 50% persalinan akan terjadi dalam kurun waktu 24 jam
2. Infeksi fetal atau neonatal
Pada bayi dapat terjadi septicemia, pneumonia, omfalitis
3. Infeksi maternal
Resiko terjadinya ascending infection akan lebih tinggi jika persalinan dilakukan setelah 24
jam onset pecahnya ketuban. Infeksi pada ketuban pecah dini preterm lebih tinggi

28
dibandingkan ketuban pecah dini aterm. Infeksi pada ibu biasanya adalah korioamnionitis,
sementara umumnya, korioamnionitis terjadi sebelum janin terinfeksi
4. Kompresi tali pusat atau prolapse
Pecahnya ketuban dapat menyebabkan terjadinya oligohidramnion yang menekan tali pusat
hingga terjadi asfiksia atau hipoksia. Insiden prolaps tali pusat (cord prolapse) akan
meningkat bila dijumpai adanya malpresentasi. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat
janin dengan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, semakin gawat
janinnya
5. Failed induction resulting in cesarean section
6. Pulmonary hypoplasia (early, severeoligohydramnions)
7. Fetal deformation
Ketuban pecah dini yang terjadi pada kehamilan preterm atau aterm menyebabkan
pertumbuhan janin terhambat, kelainan yang disebabkan oleh kompresi muka dan anggota
badan janin, serta hipoplasia pulmonal. Hipoplasia pulmonal janin sangat mengancam
janin, khususnya pada kasus oligohidramnion (Shivaraju P, Purra P, Bheemagani N,
Lingegowda K, (2020).

2.13 PROGNOSIS
Prognosis Ketuban Pecah Dini (KPD) ditentukan oleh penatalaksanaan dan komplikasi-
komplikasi yang terjadi selama kehamilan. Prognosis janin bergantung pada: (Kayem, G, &
Maillard, F. (2019).
a) Maturitas janin mempengaruhi prognosis janin. Hal ini dapat diidentifikasi dengan berat
badan bayi. Bayi dengan berat <2500 g memiliki prognosis lebih buruk dibanding bayi
dengan berat ≥2500 g.
b) Janin dengan presentasi bokong memiliki prognosis yang buruk, terlebih apabila bayi
lahir preterm yaitu <37 minggu.
c) Ketuban pecah dini yang tidak segera diikuti dengan persalinan aktif dapat menyebabkan
risiko untuk terkena infeksi intrauterin bagi janin meningkat sehingga prognosis janin
menjadi buruk (Kayem, G, & Maillard, F. (2019).

29
DAFTAR PUSTAKA

1. Gahwagi MMM, Busarira MO, Atia M. (2015). Premature Rupture of Membranes


Characteristics, Determinants, and Outcomes of in Benghazi, Libya. Open Journal of
Obstetrics and Gynecology.

2. POGI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Ketuban Pecah Dini. Perhimpunan


Obstetri dan Ginekologi Indonesia. 2016.

3. American College of Obstetricians and Gynecologist. (2018). ACOG Practice Bulletin


No. 188: Prelabor Rupture of Membranes. Obstetrics & Gynecology, 131(1):e1–e14.
DOI: 10.1097/AOG.0000000000002455.

30
4. World Health Organization (Organization). Trends in Maternal Mortality: 1990 to
2015,Trends in Maternal Mortality: 1990 to 2015. WHO. Geneva; 2015.

5. Puspitasari, R. N. 2019. Korelasi karakteristik dengan penyebab ketuban pecah dini pada
ibu bersalin di RSU Denisa Gresik. Indonesian Journal for Health Sciences, 3(1):24.

6. Nugrahani, R. rizqi. (2019). FAKTOR - FAKTOR YANG MEMPENGARUHI


TERJADINYA KETUBAN PECAH DINI PADA KEHAMILAN ATERM DI RUMAH
SAKIT AURA SYIFA KEDIRI. Judika (Jurnal Nusantara Medika), 3(2), 52-66.
https://doi.org/10.29407/judika.v3i2.13103.

7. Idrisa A, Pius S, Bukar M. Maternal and Neonatal Outcomes in Premature Rupture of


Membranes at University of Maiduguri Teaching Hospital, Maiduguri, North-Eastern
Nigeria. Tropical Journal of Obstetrics and Gynaecology. 2019; 36(1): 15-20. Diakses
pada 6 Maret 2020. Dapat diakses pada:DOI: 10.4103/TJOG.TJOG_89_18.

8. DeCherney, Alan (2018). Current Diagnosis & Treatment: Obstetrics & Gynecology.
New York: McGraw-Hill Medical.

9. Marpaung J. Association Between The Thickness of The Collagen in The Amniotic


Membrane with The Incidence of Premature Rupture of Membranes. Int J Reprod
Contracept Obstet Gynecol. 2016; 5(2): 296- 9. Diakses pada 8 Maret 2020. Dapat
diakses pada:DOI: http://dx.doi.org/10.18203/2320-1770.ijrcog20160359.

10. Manuaba, I. B. G., Manuaba, I. A., & Manuaba,I. B. G. F. (2015). Pengantar Kuliah
Obstetri. Jakarta: Buku Kedoktera EGC.

11. Shivaraju P, Purra P, Bheemagani N, Lingegowda K. Vaginal Infections and Its Relation
to Preterm Labour, PPROM, PROM and Its Outcome. International Journal of
Reproduction, Contraception, Obstetrics and Gynecology. 2015; 4(5), 1423. Diakses
pada 9 Maret 2020. Dapat diakses pada: DOI: http://dx.doi.org/10.18203/2320-
1770.ijrcog20150723.

12. Hasaneroğlu, Bakacak M, Sühhabostancı M, Eminesedagü-vendağgüven, Attar R,


Özgekızılkale, et al. (2016). Relationship between Premature Rupture of Membranes and

31
Collagen Amount Pregnancy in Chorioamnionic Membranes in Term. Global Journal of
Medical Research: E Gynecology and Obstetrics.

13. Kayem, G, & Maillard, F. (2019). Preterm premature rupture of membranes: active or
wait-and-see management?.Gynécologie Obstétrique &Fertilité, 28(1): 75-76. doi:
10.1016/j.gyobfe.2009.11.012.

14. MayoClinic. (2018). Preterm Labor. Retrieved from


https://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/preterm-labor/symptoms-causes/syc-
20376842

32

Anda mungkin juga menyukai