Anda di halaman 1dari 33

ASUHAN KEPERAWATAN PADA NY.

T DENGAN HIDROSEFALUS
DIRUANG PSA RS BETHESDA
YOGYAKARTA

DISUSUN OLEH :

FELIKS SON PABAYO

2203007

S1 KEPERAWATAN LINTASS JALUR

STIKES BETHESDA YAKKUM YOGYAKARTA 2024


LEMBAR PERSETUJUAN

Asuhan keperawatan pada Ny.T di ruang PSA RS Bethesda Yogyakarta ini telah

diperiksa dan disetujui oleh Pembimbing Akademik dan Pembimbing Klinik

Pembimbing Klinik Pembimbing Akademik

(Ns.Yossana Herlian,S,Kep) (Tri Wahyuni I,S.Kep.,Ns.,M.Kep)

Praktikan

(Feliks Son Pabayo)


BAB I

TINJAUAN TEORI

A. KONSEP MEDIS
1. Definisi hidrosefalus
Menurut ( Dwita, 2017 ) Hidrosefalus berasal dari kata hidro yang berarti air
dan chepalon yang berarti kepala. Hidrosefalus merupakan penumpukan CSS
yang secara aktif dan berlebihan pada satu atau lebih ventrikel otak atau ruang
subarachnoid yang dapat menyebabkan dilatasi sistem ventrikel otak.
Sedangkan menurut ( Suriadi, 2010 ) Hidrosefalus adalah akumulasi cairan
serebrospinal dalam ventrikel serebral, ruang subarachnoid, atau ruang
subdural. Hidrosefalus adalah suatu keadaan patologis otak yang
mengakibatkan bertambahnya cairan serebrospinalis, disebabkan baik oleh
produksi yang berlebihan maupun gangguan absorpsi, dengan atau pernah
disertai tekanan intrakanial yang meninggi sehingga terjadi pelebaran
ruangan-ruangan tempat aliran cairan serebrospinalis.
2. Anatomi dan fisiologi

Gambar 2.1 Anatomi Fisiologi Bagian Otak Manusia


Sumber: Syaifuddin.(2011)

Anatomi dan fisiologi otak terdiri dari :


a. Lapisan Otak (Meninges)
Otak dilindungi oleh tulang tengkorak serta dibungkus membran jaringan
ikat yang disebut meninges. Dimulai dari lapisan paling luar, berturut-turut
terdapat dura mater, araknoid, dan pia mater. Dura mater adalah lapisan
paling luar meningen. Merupakan lapisan ikat, kasar, membran yang dua
lapis, memisahkan serebellum dan batang otak dati hemisfere sereberal.
Arachnoid bentuknya seperti jaring laba-laba. Dan merupakan membran
tengah yang tipis. Pia mater merupakan lapisan meningeal paling dalam,
lapisan tipis dan merupakan membrane vascular yang membungkus seluruh
permukaan otak dan medulla spinalis.
b. Sereberum
Korteks sereberal terdiri dair sepasang lobus. Fissure longitudinal besar
membagi menjadi hemifare sereberal kanan dan kiri. Lobus frontal
merupakan daerah motorik utama. Lobus parietal sebagai kortek sensorik.
Lobus temporal sebagai integrasi somatic, auditorik dan daerah asosiasi
visual. Lobus oksipitalis merupakan daerah reseptif visual utama,yang
memungkinkan untuk melihat
1) Diecepalon
Terdiri dari talamus yang berguna sebagai penerima dan meneruskan
rangsang menuju korteks sereberal. Epitalamus berhubungan dengan
pertumbuhan dan perkembangan. Hipotalamus berfungsi sebagai
regulasi fungsi homeostatic
2) Ganglia Basal
Berfungsi sebagai pengontrol motorik dari pergerakan tubuh yang
halus
3) Kelenjar Pituitary
Pada dasar otak, didalam ruang tulang yang disebut dengan sella
tursiak terdapat kelenjar pituitary yang mensekresi 6 hormon
4) Serebellum
Terletak di fossa posterior yang berfungsi mengkoordinasikan
keseimbangan pergerakan aktivitas kelompok otot, juga mengontrol
pergerakan halus.
5) Batang Otak
Batang otak terdiri dari: otak tengah, pons dan medulla oblonganta,
berfungsi sebagai sebagai tempat keluar nervus craniali, Pusat
pernapasan, kardiovaskular, dan pencernaan, Pengaturan refleks otot
yang berhubungan dengan kesembangan dan postur, Penerima dan
pengintregasi input sinaptik dari medulla spinalis, aktivasi korteks
cerebrum.

Anatomi Fisiologi pembentukan CSF

Gambar 2 Anatomi CSF


Sumber: Syaifuddin.(2011)
a. Pembentukan CSF
Normal CSF diproduksi + 0,35 ml / menit atau 500 ml / hari dengan
demikian CSF di perbaharui setiap 8 jam. Pada anak dengan hidrosefalus,
produksi CSF ternyata berkurang + 0, 30 / menit. CSF di bentuk oleh PPA;
1) Plexus choroideus (yang merupakan bagian terbesar
2) Parenchym otak
3) Arachnoid
b. Sirkulasi CSF
Melalui pemeriksaan radio isotop, ternyata CSF mengalir dari tempat
pembentuknya ke tempat ke tempat absorpsinya. CSF mengalir dari II
ventrikel lateralis melalui sepasang foramen Monro ke dalam ventrikel III,
dari sini melalui aquaductus Sylvius menuju ventrikel IV. Melalui satu
pasang foramen Lusckha CSF mengalir cerebello pontine dan cisterna
prepontis. Cairan yang keluar dari foramen Magindie menuju cisterna magna.
Dari sini mengalir kesuperior dalam rongga subarachnoid spinalis dan ke
cranial menuju cisterna infra tentorial. Melalui cisterna di supratentorial dan
kedua hemisfere cortex cerebri. Sirkulasi berakhir di sinus Doramatis di
mana terjadi absorbsi melalui villi arachnoid

3. Etiologi
Hidrosefalus disebabkan karena terjadinya penyumbatan cairan
serebrospinalis (CSS) pada salah satu pembentukan CSS dalam sistem
ventrikel dan tempat absorpsi dalam ruang subaraknoid,sehingga terjadi
penyumbatan dilatasi ruangan CSS di atasnya (foramen monrai,foramen
luschka,magendie,sistem magna,dan sistem basalis merupakan tempat
tersering terjadinya penyumbatan).

Hidrosefalus terutama menyerang anak usia 0-2 tahun dengan penyebab


utamanya adalah kelainan kongenital,infeksi
intrauterine,anoreksia,pendarahan intrakranial akibat adanya
trauma,meningoensefalitis bakterial dan viral,serta tumor atau kista araknoid.
Pada anak usia 2-10 tahun penyebab utamanya adalah tumor fossa posterior
dan stenosis akuaduktus, sedangkan pada usia dewasa penyebab utamanya
adalah meningitis,subaraknoid hemoragi,ruptur aneurisma,tumor, dan
idiopatik.

Gangguan aliran cairan yang menyebabkan cairan tersebut bertambah banyak


yang selanjutnya akan menekan jaringan otak di sekitarnya, khususnya pusat-
pusat syaraf yang vital. Menurut lembaga Nasional Instutite of Neurological
Disorders and Stroke ( NINDS), gangguan aliran cairan otak ada tiga
jenis,yaitu:
a. Gangguan aliran adanya hambatan sirkulasi
Contoh: tumor otak yang terdapat di dalam ventrikel akan menyumbat
aliran cairan otak.
b. Aliran cairan otak tidak tersumbat, tetapi sebaliknya cairan itu
diproduksi berlebihan, akibatnya cairan otak bertambah banyak.
Contoh: tumor ganas di sel-sel yang memproduksi cairan otak.
c. Cairan otak yang mengalir jumlahnya normal dan tidak ada
sumbatan,tetapi ada gangguan dalam proses penyerapan cairan ke
pembuluh darah balik, sehingga otomatis jumlah cairan akan
meningkat pula. Misalnya: bila ada cairan nanah ( meningitis atau
infeksi selaput otak) atau darah (akibat trauma) di sekitar tempat
penyerapan.
Ketidakseimbangan antara produksi dan penyerapan, dapat perlahan
atau progresif,menyebabkan ventrikel-ventrikel tersebut
melebar,kemudian menekan jaringan otak di sekitarnya. Tulang
tengkorak bayi di bawah 2 tahun yang belum menutup akan
memungkinkan kepala bayi membesar. Pembesaran kepala merupakan
salah satu petunjuk klinis yang penting untuk mendeteksi hidrosefalus.
( Sudarti, 2010 )

Penyebab Hidrosefalus (Allan H. Ropper, 2010).


a. Kelainan Bawaan (Kongenital)
Stenosis akuaduktus Sylvii merupakan penyebab terbanyak pada
hidrosefalus bayi dan anak ( 60-90%). Aqueduktus dapat
merupakan saluran yang buntu sama sekali atau abnormal, yaitu
lebih sempit dari biasa. Umumnya gejala hidrosefalus terlihat sejak
lahit atau progresif dengan cepat pada bulan-bulan pertama setelah
kelahiran.
b. Infeksi
Akibat infeksi dapat timbul perlekatan meningen sehingga dapat
terjadi obliterasi ruangan subarahnoid. Pelebaran ventrikel pada
fase akut meningitis purulenta terjadi bila aliran CSS terganggu
oleh obstruksi mekanik eksudat pirulen di aqueduktus sylviin atau
system basalis. Hidrosefalus banyak terjadi pada klien pasca
meningitis. Pembesaran kepala dapat terjadi beberapa minggu
sampai beberapa bulan sesudah sembuh dari meningitis. Secara
patologis terlihat pelebaran jaringan piamater dan arahnoid sekitar
system basalis dan daerah lain. Pada meningitis serosa tuberkulosa,
perlekatan meningen terutama terdapat di daerah basal sekitar
sistem kiasmatika dan interpendunkularis, sedangkan pada
meningitis purunlenta lokasisasinya lebih tersebar.
c. Perdarahan
Perdarahan sebelum dan sesudah lahir dalam otak, dapat
menyebabkan fibrosis leptomeningen terutama pada daerah basal
otak, selain penyumbatan yang terjadi akibat organisasi dari darah
itu sendiri.

Etiologi menurut (Scott kahan & John j.Raves, 2011)


a. Dapat timbul sebagai akibat produksi cairan serebrospinal (LCS)
yang berlebihan resorpsi LCS yang tidak memadai oleh villi
araknoid,atau tersumbatnya jalur sirkulasi LCS.
b. Akumulasi LCS dan pelebaran Ventrikel serebral yang progresif
mengakibatkan disfungsi otak yang progresif
c. Hidrosefalus komunikan : Reabsorpsi LCS yang tidak memadai
paling sering timbul sekunder sebagai trauma,infeksi atau
perdarahan subaraknoid
d. Hidrosefalus non komunikan : Obstruksi jalur sirkulasi LCS oleh
tumor atau kelainan bawaab (misalnhya stenosis akueduktus,
malformasi, Arnold Chiari), sedemikian sehingga LCS tidak dapat
mengalir keluar dari dalam otak ke sisterna basal.
4. Patofisiologi

Hidrosefalus secara teoritis hal ini terjadi akibat dari tiga mekanisme yaitu
(1) produksi cairan serebro spinal yang berlebihan,(2) peningkatan resistensi
aliran cairan serebro spinal,dan (3) peningkatan tekanan sinus vena. sebagai
konsekuensi dari tiga mekanisme di atas adalah peningkatan tekanan
intrakranial ( TIK) sebagai upaya mempertahankan keseimbanagan sekresi
dan absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel masih belum dapat
dipahami secara terperinci,namun hal ini bukanlah hal yang sederhana
sebagaimana akumulasi akibat dari ketidakseimbangan antara produksi dan
absorbsi. Mekanisme terjadinya dilatasi ventrikel cukup rumit dan
berlangsunng berbeda-beda tiap saat selama perkembangan hidrosefalus.

Dilatasi ini terjadi sebagai akibat dari :

a. kompresi sistem serebrovaskuler;

b. redistribusi dari cairan srebro spinal atau cairan ekstraseluler atau


keduanya di dalam sistem susunan saraf pusat;

c. perubahan mekanis dari otak (peningkatan elastisitas tak,gangguan


viskoelastisitas otak,kelainan turgor otak);

d. efek tekanan denyut cairan serebro spinal (masih diperdebatkan)

e. hilangnya jaringan otak

f. pembesaran volume tengkorak (pada penderita muda) akibat adanya


regangan abnormal pada sutura kranial.

70% cairan srebro spinal diproduksi oleh pleksus khoroid ventrikel lateral,
ventrikel III dan ventrikel IV, sedangkan 30% sisanya merupakan produk
matriks ekstrasel. Jumlah produksinya sebanyak ± 500 ml/hari atau 20
ml/jam.Dari ventrikel lateral, cairan ini melalui foramina interventrikulare
Monro ke ventrikel III, lalu aquaduktus sylvius ke ventrikel IV, selanjutnya
cairan ini mengalir melalui foramen luschka dan Magendie ke dalam ruang
subaraknid,beredar ke seluruh otak, dan ke dalam ruang subaraknoid spinal
di sekeliling medula spinalis.cairan srebro spinal di resorbsi di intrakranial
dan di sepanjang medulla spinalis. Sebagian cairan srebro spinal
meninggalkan ruang subaraknoid dan memasuki aliran darah melalui villi
granulationes arachnidales pacchioni yang terletak pada sinus sagitalis
superior dan pada vena diplo dan kembali atrium kanan jantung melalui
v.kava superior.Sisanya diresorbsi di selubung perineurel saraf kranialis dan
spinalis,pada tempat masing-masing saraf tersebut keluar dari batang otak
dan medula spinalis,melewati sel-sel ependim dan kapiler leptomeninges.
Jika cairan srebro spinal diproduksi terlalu banyak, terlalu sedikit
diresorpsi,atau terdapat sumbatan pada sistem ventrikel, sistem ventrikular
menjadi membesar (Satyanegara, 2010).
PATHWAY HYDROCEPHALUS

Ke la in a n In fe k si N e o p la sm a P e rd a ra h a n
k o n g e n it a l

Ra da ng ja ringa n hydorcepha lus Fib ro sis le p t o m e n in g n s


p a d a d a e ra h b a sa l ota k
O b st r u k si sa la h sa t u
tem p a t
O b st r u k si t e m p a t
pem bentuka n O b t ru k si o le h p e rd a ra h a n
p e m b e n t u k a n / p e n y e r a p a n LCS.
v e n t rik e l III/IV

Hydrocepha lus P e n in g k a t a n ju m la h Ju m la h ca ira n d a la m


nonkomunika s ca ira n se re b ro sp in a l r u a n g su b a ra k n o id

P e m b e sa ra n re la t if k e p a la P e n in g k a t a n TIK Tin d a k a n p e m b e d a h a n

Ke su lit a n
H e rn ia si fa lk se re b ri P eneka na n pa da Te rp a sa n g sh u n t
b e r g e ra k
sa ra f o p t ik u s

Ke ru sa k a n Ko m p re si Ad a n ya p o rt d e e n t ry
P eneka na n
m o b ilit a s b a ta ng ota k p a p ile d e m a d a n b e n d a a sin g m a su k
tota l

Ga nggu a n D e p r e si sa ra f D isfu n g si p e rse p si Risik o in fe k si


in t e g rit a s k a r d io v a sk u la r d a n v isu a l sp a sia l
k u lit p e r n a p a sa n Re sp o n in fla m a si
G a n g g u a n p e rse p si
se n so ri h ip e rt e m i

P e n u ru n a n k e sa d a ra n O t a k se m a k in t e rt e k a n Ke ru sa k a n fu n g si k o g n it if
d a n p sik o m o t ro ik

Ko p in g k e lu a rg a t id a k e fe k t if H ip o t a la m u s se m a k in t e rt e k a n
D e fisit p e ra w a t a n d iri

Pembuluh da ra h terteka n keja ng Mua l munta h Sa ra f pusa t sema kin terteka n

Alira n da ra h menurun Risiko cedera Penuruna n BB Kesa da ra n menurun Sa kit kepa la

P e rfu si ja rin g a n Ke b u t u h a n n u t risi k u ra n g Nyeri a kut


se re b ra l t id a k e fe k t if d a ri k e b u t u h a n t u b u h

5. Manifestasi Klinis
Gejala yang Nampak dapat berupa (Ngastiyah,2012) :
a. TIK yang meninggi: muntah, nyeri kepala, edema pupil saraf otak II
b. Pada bayi biasanya disertai pembesaran tengkorak
c. Kepala bayi terlihat lebih besar bila dibandingkan dengan tubuh
d. Ubun-ubun besar melebar atau tidak menutup pada waktunya teraba
tegang dan mengkilat dengan perebaran vena di kulit kepala
e. Sutura tengkorak belum menutup dan teraba melebar
f. erdapat sunset sign pada bayi (pada mata yang kelihatan hitam-
hitamnya, kelopak mata tertarik ke atas)
g. Bola mata terdorong ke bawah oleh tekanan dan penipisan tulang
suborbital
h. Sklera mata tampak di atas iris
i. Pergerakan mata yang tidak teratur dan nistagmus tak jarang terdapat
j. Kerusakan saraf yang memberi gejala kelainan neurologis berupa
gangguan kesadaran motorik atau kejang-kejang, kadang-kadang
gangguan pusat vital.
Tanda dan Gejala menurut (Nanny Lia Dewi, Vivian. 2010)
a. Tengkorak kepala mengalami pembesaran
b. Muntah dan nyeri kepala
c. Kepala terlihat lebih besar dari tubuh
d. Ubun-ubun besar melebar dan tidak menutup pada waktunya, teraba
tegang dan menonjol
e. Dahi lebar, kulit kepal tipis, tegang dan mengkilat Pelebaran vena
kulit kepala Saluran tengkorak belum menutup dan teraba lebar
f. Terdapat cracked pot sign bunyi pot kembang retak saat dilakukan
perkusi kepala
g. Adanya sunset sign dimana sklera berada di atas iris sehingga iris
seakan-akan menyerupai matahari terbenam
h. Pergerakan bola mata tidak teratur
i. Kerusakan saraf yang dapat memberikan gejala kelainan neurologis
berupa: Gangguan Kesadaran, Kejang, Terkadang terjadi gangguan
pusat vital
6. Komplikasi
Komplikasi Hidrocefalus menurut (Prasetio, 2014)
a. Peningkatan TIK
b. Pembesaran kepala
c. kerusakan otak
d. Meningitis, ventrikularis, abses abdomen
e. Ekstremitas mengalami kelemahan, inkoordinasi, sensibilitas kulit
menurun
f. Kerusakan jaringan saraf
g. Proses aliran darah terganggu
7. Pemeriksaan diagnostik
a. Pemeriksaan funduskopi
Evaluasi funduskopi dapat mengungkapkan papilledema bilateral ketika
tekanan intrakranial meningkat. Pemeriksaan mungkin normal, namun,
dengan hidrosefalus akut dapat memberikan penilaian palsu.
b. Foto polos kepala lateral – tampak kepala membesar dengan
disproporsi kraniofasial, tulang menipis dan sutura melebar.
c. Pemeriksaan cairan serebrospinal – dilakukan pungsi ventrikel melalui
foramen frontanel mayor. Dapat menunjukkan tanda peradangan dan
perdarahan baru atau lama. Juga dapat menentukan tekanan ventrikel.
d. CT scan kepala - Meskipun tidak selalu mudah untuk mendeteksi
penyebab dengan modalitas ini, ukuran ventrikel ditentukan dengan
mudah. CT scan kepala dapat memberi gambaran hidrosefalus, edema
serebral, atau lesi massa seperti kista koloid dari ventrikel ketiga atau
thalamic atau pontine tumor.CT scan wajib bila ada kecurigaan proses
neurologis akut.
e. Lingkaran kepala
Diagnosis hidrosefalus pada bayi dapat dicurigai, jika penambahan lingkar
kepala melampaui satu atau lebih garis-garis kisi pada chart (jarak antara dua
garis kisi 1 cm) dalam kurun waktu 2-4 minggu. Pada anak yang besar
lingkaran kepala dapat normal hal ini disebabkan oleh karena hidrosefalus
terjadi setelah penutupan suturan secara fungsional. Tetapi jika hidrosefalus
telah ada sebelum penutupan suturan kranialis maka penutupan sutura tidak
akan terjadi secara menyeluruh.
f. Ventrikulografi
Yaitu dengan memasukkan konras berupa O2 murni atau kontras lainnya
dengan alat tertentu menembus melalui fontanela anterior langsung masuk ke
dalam ventrikel. Setelah kontras masuk langsung difoto, maka akan terlihat
kontras mengisi ruang ventrikel yang melebar. Pada anak yang besar karena
fontanela telah menutup untuk memasukkan kontras dibuatkan lubang
dengan bor pada kranium bagian frontal atau oksipitalis. Ventrikulografi ini
sangat sulit, dan mempunyai risiko yang tinggi. Di rumah sakit yang telah
memiliki fasilitas CT Scan, prosedur ini telah ditinggalkan.
g. Ultrasonografi
Dilakukan melalui fontanela anterior yang masih terbuka. Dengan USG
diharapkan dapat menunjukkan system ventrikel yang melebar. Pendapat lain
mengatakan pemeriksaan USG pada penderita hidrosefalus ternyata tidak
mempunyai nilai di dalam menentukan keadaan sistem ventrikel hal ini
disebabkan oleh karena USG tidak

8. Penatalaksanaansasa
a. Tiga prinsip utama
1) Mengrangi produksi CSS
2) Hubungankan antara tempat produksi CSS dengan tempat absorbs
3) Pengeluaran liquqar (CSS) kedalam organ ekstrakranial
b. Terapi konservatif medikamentosa
1) Bersifat sementara
2) Mengurangi sekresi cairan dan pleksus chorold-asetazalmit 100
mg/kgbb/hari,furosemid 1,2 mg/kgbb/hari
3) Upaya meningkatkan reasopsinya-isorbid
c. Ventriculoperitoneal shunting (VP shunt)
Ventriculoperitoneal Shunt adalah prosedur pembedahan yang
dilakukan untuk membebaskan tekanan intrakranial yang diakibatkan
oleh terlalu banyaknya cairan serbrospinal (hidrosefalus). Cairan
dialirkan dari ventrikel di otak menuju rongga peritoneum. Sejumlah
komplikasi dapat terjadi setelah pemasangan ventriculoperitoneal
shunt untuk manajemen hidrosefalus. Komplikasi ini termasuk
infeksi, blok, subdural hematom, ascites, CSSoma, obstruksi saluran
traktus gastrointestinal, perforasi organ berongga, malfungsi, atau
migrasi dari shunt. Migrasi dapat terjadi pada ventrikel lateralis,
mediastinum, traktus gastrointestinal, dinding abdomen, vagina, dan
scrotum (Sjamsuhidat, 2010)

Infeksi shunt didefinisikan sebagai isolasi organisme dari cairan


ventrikuler, selang shunt, reservoir dan atau kultur darah dengan
gejala dan tanda klinis menunjukkan adanya infeksi atau malfungsi
shunt, seperti demam, peritonitis, meningitis, tanda-tanda infeksi di
sepanjang jalur selang shunt, atau gejala yang tidak spesifik seperti
nyeri kepala, muntah, perubahan status mental dan kejang. Infeksi
merupakan komplikasi yang paling ditakutkan pada kelompok usia
muda.
Sebagian besar infeksi terjadi dalam 6 bulan setelah prosedur
dilakukan.Infeksi yang terjadi biasanya merupakan bakteri
staphylococcus dan propionibacterial. Infeksi dini terjadi lebih sering
pada neonatus dan berhubungan dengan bakteri yang lebih virulen
seperti Escherichia coli. Shunt yang terinfeksi harus dikeluarkan,
CSS harus disterilkan, dan dilakukan pemasangan shunt yang baru.
Terapi shunt yang terinfeksi hanya dengan antibiotik tidak
direkomendasikan karena bakteri dapat di tekan untuk jangka waktu
yang lama dan bakteri kembali saat antibiotik diberhentikan.

Terapi pada infeksi shunt hanya dengan antibiotik tidak


direkomendasikan karena meskipun bakteri dapat ditekan untuk
jangka waktu tertentu, namun bakteri akan kembali berkembang
setelah pemberian antibiotik dihentikan. Pada pasien ini dilakukan
eksternisasi selang VP shunt yang berada di distal,selanjutnya
dilakukan pemasangan ekstraventricular drainage, serta pemberian
antibiotik sesuai hasil tes sensitivitas bakteri. Hal ini dilakukan agar
tetap terjadi drainage dari cairan serebrospinal yang belebihan agar
tidak terjadi peningkatan tekanan intrakranial. Subdural hematom
biasanya terjadi pada orang dewasa dan anak-anak dengan
perkembangan kepala yang telah lengkap. Insiden ini dapat dikurang
dengan memperlambat mobilisasi paska operasi. Subdural hematom
diterapi dengan drainase dan mungkin membutuhkan oklusi
sementara dari shunt (Sjamsuhidat, 2010).

Kontra indikasi

Operasi ventriculoperitoneal shunt merupakan prosedur aman dengan


tingkat keberhasilan tinggi. Namun, sama seperti prosedur bedah
pada umumnya, ada komplikasi dan resiko yang mungkin terjadi.
Resiko bedah VP Hunt adalah infeksi dan pendarahan berat.
Sedangkan, komplikasi yang mungkin muncul adalah reaksi
penolakan zat bius, seperti perubahan tingkat tekanan darah dan
kesulitan bernapa. Komplikasi khusus akibat VP shunt termasuk
jarang, namun bisa sangat serius. Menurut Sjamsuhidat (2010)
komplikasi ini termasuk:
1) Infeksi implan shunt yang berujung pada infeksi otak

2) Penggumpalan darah

3) Pendarahan di dalam otak

4) Pembengkakan otak

5) Kerusakan jaringan otak karena VP shunt

Sebaiknya, selalu waspada terhadap gejala-gejala, seperti demam,


nyeri perut, sakit kepala, serta kenaikan denyut jantung dan tekanan
darah abnormal, yang merupakan tanda malfungsi shunt (Behrman,
2009).

9. Epidemiologi

Data epidemiologi mengenai hydrocephalus menunjukkan bahwa insidens


paling banyak terjadi pada bayi, neonatus dan anak-anak (77%)
dibandingkan orang dewasa (10%) dan lansia (13%). Negara maju dengan
rerata penghasilan yang lebih tinggi memiliki insidens yang lebih rendah.
Selain itu, 80% bayi dengan gangguan neural tube selanjutnya mengalami
hydrocephalus. Prevalensi hydrocephalus secara global mencapai 84,7 per
100.000 populasi. Insidensi hydrocephalus kongenital mencapai 3–4 per
1.000 kelahiran hidup. Terdapat sekitar 100.000 implantasi shunting
dilakukan setiap tahunnya pada negara-negara berkembang. Insidensi
normal pressure hydrocephalus (NPH) adalah 0,2–5,5 per 100.000 orang
per tahun dengan prevalensi 0,003% pada usia <65 tahun dan 0,2% sampai
2,9% pada usia >65 tahun. Mortalitas hydrocephalus terutama disebabkan
ditemukan pada pasien post-infeksi meningitis dengan patogen Escherichia
coli dan Streptococcus pneumoniae, dengan risiko mortalitas yang
mencapai 60%. Angka mortalitas perioperatif shunt hanya 0,5%.
Diperkirakan angka mortalitas dalam 30 tahun setelah shunting mencapai 5-
10% (Isaacs AM dkk, 2018).

Di Indonesia, data epidemiologi mengenai hydrocephalus masih jarang


ditemukan. Akan tetapi, data terakhir studi yang dilakukan oleh Rahmayani
et al. menyatakan bahwa insidens hydrocephalus di Indonesia mencapai 10
per 1000 kelahiran hidup. Bayi merupakan kelompok usia terbanyak yang
mengalami hydrocephalus (46,25%), sedangkan neonatus hanya mencapai
5%. Jenis kelamin yang lebih banyak mengalami hydrocephalus adalah
laki-laki dengan rasio 2,1:1. Hal ini karena adanya faktor genetik (gen
resesif terkait-X) (Rahmayani DD dkk, 2017).

10. Klasifikasi

Terdapat empat pembagian menurut Purwati & Sulastri, 2019.

Diantaranya yaitu adalah :

a. Konginetal berdasarkan penyebab.

b. Ada atau tidak sumbatan

c. Non komunikans

Hidrosefalus obstruktif terjadi apabila ada peningkatan cairan

serebrospinal yang disertai dengan penyumbatan pada sistem ventrikel itu


sendiri. Artinya pada hidrosefalus non komunikans, cairan serebrospinal
pada ruang ventrikulus tidak mampu mencapai ruang subarakhnoid karena
adanya hambatan atau sumbatan yang terdapat pada aliran cairan
serebrospinal di dalam foramen Monroe, aquaductus cerebri Sylvii, foramen
Magendi dan foramen Luschka.

(Purwanti dan Sulastri, 2019).

d. Hidrosefalus komunikans

Hidrosefalus komunikans terjadi apabila ada peningkatan cairan


serebrospinal yang tanpa disertai dengan penyumbatan pada sistem
ventrikel itu sendiri. Artinya pada hidrosefaluskomunikans terdapat
hubungan langsung antara cairan serebropinal sistem ventrikel dan cairan
serebrospinal subarakhnoid. Hambatan aliran cairan serebrospinal pada
hidrosefalus komunikans terjadi pada bagian distal sistem ventrikel yaitu
ruang subarakhnoid atau pada granulation arachnidea. Hal inilah yang
mengakibatkan akumulasi cairan serebrospinal dan pembesaran ruang
ventrikel sehingga terjadilah hidrosefalus komunikans. (Purwanti dan
Sulastri, 2019).

11. Pencegahan
a. Lakukan pemeriksaan kehamilan secara rutin saat hamil.
b. Kenakan sabuk pengaman saat berkendara menggunakan mobil.
c. Gunakan helm saat bersepeda atau mengendarai motor (Khalatbari, H., &
Parisi, M., 2021).
12. Prognosis
Prognosis hidrosepalus bergantung dari penyakit komorbid dan etiologinya serta
keberhasilan operasi, dimana kebanyakan pasien akan membutuhkan intervensi
serta perawatan shunting seumur hidupnya. Komplikasi yang terjadi bisa
berhubungan dengan progresifitas hydrocephalus, terapi farmakologi, maupun
dengan terapi pembedahan (Koleva M, De Jesus O, 2022).
B. ASUHAN KEPERAWATAN DENGAN HIDROSEFALUS

a. Pengkajian

1) Anamnesis

1) Identitas Pasien

Meliputi : nama, tempat/tanggal lahir, umur,jenis kelamin,anak-

ke, BB/TB, alamat.

2) Keluhan Utama:

Hal yang sering menjadi alasan klien untuk meminta pertolongan

kesehatan bergantung seberapa jauh dampak dari hidrosefalus

pada peningkatan tekanan intracranial, meliputi muntah, gelisah

nyeri kepala, letargi, lelah apatis, penglihatan ganda, perubahan

pupil, dan kontriksi penglihatan perifer.

3) Riwayat Kesehatan

a. Riwayat Penyakit Sekarang


Adanya riwayat infeksi (biasanya riwayat infeksi pada selaput

otak dan meningens) sebelumnya. Pengkajian yang didapat

meliputi seorang anak mengalami pembesaran kepala, tingkat

kesadaran menurun (GCS <15), kejang, muntah, sakit kepala,

wajahnya tanpak kecil cecara disproposional, anak menjadi

lemah, kelemahan fisik umum, akumulasi secret pada saluran

nafas, dan adanya liquor dari hidung. Adanya penurunan atau

perubahan pada tingkat kesadaran akibat adanya perubahan di

dalam intracranial. Keluhan perubahan prilaku juga umum

terjadi.

b. Riwayat Penyakit Dahulu


Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat

hidrosefalus sebelumnya, riwayat adanyanya neoplasma otak,

kelaian bawaan pada otak dan riwayat infeksi.

4) Riwayat perkembangan

Kelahiran premature, lahir dengan pertolongan, pada waktu lahir

menangis keras atau tidak. Riwayat penyakit keluarga, mengkaji

adanya anggota generasi terdahulu yang menderita stenosis

akuaduktal yang sangat berhubungan dengan penyakit

keluarga/keturunan yang terpaut seks.

5) Pengkajian psikososiospritual

Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien dan keluarga

(orang tua) untuk menilai respon terhadap penyakit yang diderita

dan perubahan peran dalam keluarga dan masyarakat serta respon

atau pengruhnya dalam kehidupan sehari-hari. Baik dalam

keluarga maupun masyarakata. Apakah ada dampak yang timbul

pada klien dan orang tua, yaitu timbul seperti ketakutan akan

kecatatan, rasa cemas, rasa ketidak mampuan untuk melakukan

aktivitas secara optimal. Perawat juga memasukkan pengkajian

terhadap fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis

yang akan terjadi pada gaya hidup individu. Perspektif perawatan

dalam mengkaji terdiri atas dua masalah: keterbatasan yang

diakibatkan oleh deficit neurologis dalam hubungan dengan peran

sosial klien dan rencana pelayanan yang akan mendukung

adaptasi pada gangguan neurologis didalam system dukungan

individu.
6) Pemeriksaan Fisik

a. Keadaan umum:

Pada keadaan hidrosefalus umumnya mengalami penurunan

kesadaran (GCS <15) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda

vital.

b. B1(breathing)

Perubahan pada system pernafasan berhubungan dengan

inaktivitas. Pada beberapa keadaan hasil dari pemeriksaan

fisik dari system ini akan didapatka hal-hal sebagai

berikut:Ispeksi umum: apakah didapatkan klien batuk,

peningkatan produksi sputum, sesak nafas, penggunaan otot

batu nafas, dan peningkatan frekuensi pernafasan. Terdapat

retraksi klavikula/dada, mengembangan paru tidak simetris.

Ekspansi dada: dinilai penuh/tidak penuh, dan

kesimetrisannya. Pada observasi ekspansi dada juga perlu

dinilai retraksi dada dari otot-otot interkostal, substernal

pernafasan abdomen dan respirasi paraddoks(retraksi

abdomen saat inspirasi). Pola nafas ini terjadi jika otot-otot

interkostal tidak mampu menggerakkan dinding dada.Palpasi:

taktil primitus biasanya seimbang kanan an kiriPerkusi:

resonan pada seluruh lapang paru.Auskultasi: bunyi nafas

tambahan, seperti nafas berbunyi stridor, ronkhi pada klien

dengan adanya peningkatan produksi secret dan kemampuan

batuk yang menurun yang sering didapatkan pada klien

hidrosefalus dengan penurunan tingkat kesadaran.


c. B2 (Blood)

Frekuensi nadi cepat dan lemah berhubungan dengan

homeostasis tubuh dalam upaya menyeimbangkan kebutuhan

oksigen perifer. Nadi brakikardia merupakan tanda dari

perubahan perfusi jaringan otak. Kulit kelihatan pucat

merupakan tanda penurunan hemoglobin dalam darah.

Hipotensi menunjukan adanya perubaha perfusi jaringan dan

tanda-tanda awal dari suatu syok.

d. B3 (Brain)
Kepela terlihat lebih besar jika dibandingkan dengan tubuh.

Hal ini diidentifikasi dengan mengukur lingkar kepala

suboksipito bregmatikus dibanding dengan lingkar dada dan

angka normal pada usia yang sama. Selain itu pengukuuran

berkala lingkar kepala, yaitu untuk melihat pembesaran

kepala yang progresif dan lebih cepat dari normal. Ubun-

ubun besar melebar atau tidak menutup pada waktunya,

teraba tegang atau menonjol, dahi tampak melebar atau kulit

kepala tampak menipis, tegang dan mengkilat dengan

pelebaran vena kulit kepala. Satura tengkorak belum menutup

dan teraba melebar. Didapatkan pula cracked pot sign yaitu

bunyi seperti pot kembang yang retak pada perkusi kepala.

Bola mata terdorong

kebawah oleh tekanan dan penipisan tulang subraorbita.

Sclera tanpak diatas iris sehingga iris seakan-akan matahari

yang akan terbenam atau sunset sign.

e. B4 (Bledder)
Kaji keadaan urine meliputi warna, jumlah dan karakteristik

urine, termasuk berat jenis urine. Peningkatan jumlah urine

dan peningkatan retensi cairan dapat terjadi akibat

menurunya perfungsi pada ginjal. Pada hidrosefalus tahap

lanjut klien mungkin mengalami inkontensia urin karena

konfusi, ketidak mampuan mengomunikasikan kebutuhan,

dan ketidak mampuan mengomunikasikan kebutuhan, dan

ketidakmampuan untuk menggunakan system perkemihan

karena kerusakan control motorik dan postural. Kadang-

kadang control sfingter urinarius eksternal hilang atau steril.

Inkontensia urine yang berlanjut menunjukkan kerusakan

neurologis luas.

f. B5 (Bowel)

Didapatkan adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan

menurun, serta mual dan muntah pada fase akut. Mual sampai

muntah akibat peningkatan produksi asam lambung sehingga

menimbulkan masalah pemenuhan nutrisi. Pola defekasi

biasanya terjadi konstipasi akibat penurunan peristaltic usus.

Adanya kontensia alvi yang berlanjut menunjukkan

kerusakann neurologis luas.

g. B6 (Bone)

Disfungsi motorik paling umum adalah kelemahan fisik

umum, pada bayi disebabkan pembesaran kepala sehingga

menggangu mobilitas fisik secara umum. Kaji warna kulit,

suhu, kelembapan, dan turgon kulit. Adanya perubahan


warna kulit; warna kebiruaan menunjukkan adanya sianosis

(ujung kuku, ekstermitas,telingga, hidung, bibir dan

membrane mukosa). Pucat pada wajah dan membrane

mukosa dapat berhubungan dengan rendahnya kadar

hemoglobinatau syok. Warna kemerahan pada kulit dapat

menunjukan adanya damam atau infeksi. Integritas kulit

untuk menilai adanya lesi dan dekubitus. Adanya kesulitan

untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilangan sensori atau

paralisis/hemiplegia, mudah lelah menyebabkan masalah

pada pola aktivitas dan istirahat.

7) Pengkajian tingkat kesadaran

Gejala khas pada hidrosefalus tahap lanjut adalah adanya

dimensia. Pada keadaan lanjut tingkat kesadaran klien

hidrosefalus biasanya berkisar pada tingkat latergi, stupor,

semikomatosa sampai koma.

8) Pengkajian fungi serebral, meliputi:

a. Status mental.

Obresvasi penampilan, tingkah laku, nilai gaya bicara,

ekspresi wajah dan aktivitas motorik klien. Pada klien

hidrosefalus tahap lanjut biasanya status mental klien

mengalami perubahan. Pada bayi dan anak-anak pemeriksaan

statuss mental tidak dilakukan. Fungsi intelektual. Pada

beberapa kedaan klien hidrosefalus didapatkan. Penurunan

dalam ingatan dan memori, baik jangka pendek maupun

jangka panjang.
b. Pengkajin saraf cranial, meliputi

1. Saraf I (Olfaktori)

Pada beberapa keaaan hidrosefalus menekan anatomi dan

fissiologis ssaraf ini klien akan mengalami kelainan pada

fungsi penciuman/ anosmia lateral atau bilateral.

2. Saraf II (Optikus)

Pada anak yang agak besar mungkin terdapat edema pupil

saraf otak II pada pemeriksaan funduskopi.

3. Saraf III, IV dan VI (Okulomotoris, Troklearis,

Abducens)

Tanda dini herniasi tertonium adalah midriasis yang tidak

bereaksi pada penyinaran . paralisis otot-otot ocular akan

menyusul pada tahap berikutnya. Konvergensi sedangkan

alis mata atau bulu mata keatas, tidak bisa melihat

keatas,. Strabismus, nistagmus, atrofi optic sering di

dapatkan pada anak dengan hidrosefalus.

4. Saraf V (Trigeminius)

Karena terjadinya paralisis saraf trigeminus, didapatkan

penurunan kemampuan koordinasi gerakan mengunyah

atau menetek.

5. Saraf VII(facialis)

Persepsi pengecapan mengalami perubahan

6. Saraf VIII (Akustikus)

Biasanya tidak didapatkan gangguan fungsi pendengaran.

7. Saraf IX dan X( Glosofaringeus dan Vagus)


Kemampuan menelan kurang baik, kesulitan membuka

mulut

8. Saraf XI (Aksesorius)
Mobilitas kurang baik karena besarnya kepala

menghambat mobilitas leher klien

9. Saraf XII (Hipoglosus)

Indra pengecapan mengalami perubahan.

9) Pengkajian system motorik.

Pada infeksi umum, didapatkan kelemahan umum karena

kerusakan pusat pengatur motorik.

a. Tonus otot

Didapatkan menurun sampai hilang

b. Kekuatan otot

Pada penilaian dengan menggunakan tingkat kekuatan otot

didapatkan penurunan kekuatan otot-otot ekstermitas.

c. Keseimbangan dan koordinasi

Didapatkan mengalami gangguan karena kelemahan fisik

umum dan kesulitan dalam berjalan.

10) Pengkajian Refleks.

Pemeriksaan reflex profunda, pengetukan pada tendon,

ligamentum atau periosteum derajat reflex pada rrespon normal.

Pada tahap lanjut, hidrosefalus yang mengganggu pusat refleks,

maka akan didapatkan perubahan dari derajat refleks.

Pemeriksaan refleks patologis, pada fase akut refleks fisiologis

sisi yang lumpuh akan menghilang. Setelah beberapa hari refleks


fisiologis akan muncul kembali didahului dengan refleks

patologis.

11) Pengkajian system sensorik.

Kehilangan sensori karena hidrosefalus dapat berupa kerusakan

sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan

propriosepsi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan

bagian tubuh) serta kesulitan dalam menginterpretasikan stimuli

visual, taktil, dan auditorius.

b. Diagnosa Keperawatan
1) Risiko Perfusi Serebral Tidak Efektif dibuktikan dengan Hidrosefalus
(D0017)
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan Ketidakseimbangan
ventilasi-perfusi (D. 0003)
3) Defisit Perawatan Diri berhubungan dengan kelemahan (D.0109)
4) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan Sekresi
(D.0149)
c. Intervensi
TABEL 1

DIAGNOSIS
TINDAKAN KEPERAWATAN
KEPERAWATAN & DATA RASIONAL
PENUNJANGAN
Tujuan dan kriteria Tindakan
Setelah dilakukan tindakan Manajemen peningkatan intra
D.0017 keperawatan selama 3x 24jam kranial (I.09325) :
diharapkan perfusi serebral
Risiko Perfusi Serebral Tidak 1. Monitor tanda/gejala 1. Agar tidak terjadi
(L.02014) dapat meningkat dengan
peningkatan TIK peningkatan TIK
Efektif dibuktikan dengan kriteria hasil :
2. Monitor intake dan 2. Agar kebutuhan cairan
Hidrosefalus 1. Tingkat kesadaran kognitif terpenuhi
meningkat output cairan
3. Agar mengetahui
2. Tekanan Intra Kranial 3. Identifikasi penyebab penyebab peningkatan
menurun peningkatan TIK TIK
3. Nilai rata – rata tekanan 4. Monitor MAP 4. Agar MAP normal
5. Minimalkan stimulus 5. Agar pasien merasa
darah membaik
dengan menyediakan nyaman dan tenang
4. Kesadaran membaik
lingkungan yang
tenang
Setelah dilakukan tindakan Terapi oksigen (SIKI
keperawatan selama 3x 24jam I.01026) 1. Untuk melihat apakah alat
diharapkan pertukaran gas (SLKI 1. Monitor alat terapi terapi oksigen benar
L.01003) dapat meningkat dengan oksigen masuk dengan sesuai atau
kriteria hasil : 2. Monitor integritas tidak
1. Bunyi nafas tambahan mukosa hidung akibat 2. Agar proses penyaringan
menurun pemasangan oksigen udara tidak terganggu
D.0003 2. Sao2 membaik dengan 3. Pertahankan 3. Agar klien tidak
normal 95-100% kepatenan jalan nafas kekurangan oksigen yang
Gangguan pertukaran gas 3. Takikardia membaik dengan 4. Siapkan dan atur bisa menyebabkan
normal 60-100 x/menit peralatan pemberian terjadinya kematian
berhubungan dengan 4. Pola nafas membaik dengan oksigen 4. Mempermudah saat akan
Ketidakseimbangan ventilasi- normal 16-20 x/menit 5. Gunakan perangkat dipasang pada klien
oksigen yang sesuai 5. Agar oksigen yang
perfusi dengan tingkat diberikan bisa masuk
mobilisasi pasien 6. Untuk melegakan jalan
6. Kolaborasi pemberian nafas klien
obat nebulizer
combivent dan
pulmicort 3x/hari

Setelah dilakukan tindakan SIKI I.01011 : Manajemen


keperawatan selama 3x24jam jalan nafas 1. Untuk mengetahui apakah
D.0149 diharapkan bersihan jalan nafas 1. Monitor pola nafas
terjadi penurunan pada
(SLKI L.01001) meningkat dengan 2. Monitor bunyi nafas
Bersihan jalan nafas tidak pola nafas klien
kriteria hasil: 3. Monitor sputum
efektif berhubungan dengan 1. Produksi sputum menurun 2. Mengetahui adakah suara
2. Sulit bicara menurun 4. Posisikan semi fowler
Sekresi yang tertahan tambahan pada pernafasan
3. Frekuensi nafas membaik 5. Lakukan penghisapan
klien
dengan normal 16-20 x/menit lendir kurang dari 15
4. Pola nafas membaik 3. Untuk mengetahui apakah
detik ada penumpukan sputum
6. Berikan oksigen 2 pada jalan nafas klien
liter 4. Untuk memperlancar jalan
7. Anjurkan asupan nafas klien
cairan 2000 ml/hari 5. Agar tidak terjadi
penumpukan sekret dan
jalan nafas klien tidak
tersumbat
6. Menghindari terjadinya
kekurangan oksigen ke
dalam otak
7. Agar tidak terjadi
dehidrasi

Setelah dilakukan tindakan SIKI I.11348 : Dukungan


D.0109 1. Mengetahui sampai sejauh
keperawatan selama 3x24 jam perawatan diri
mana kemandirian klien
Defisit Perawatan Diri diharapkan perawatan diri meningkat 1. Monitor tingkat
dalam melakukan defisit
berhubungan dengan (SLKI L.11103), dengan kriteria kemandirian
perawatan diri
kelemahan hasil : 2. Identifikasi kebutuhan
2. Agar mengerti apa saja alat
1. Kemampuan mandi meningkat alat bantu kebersihan
- yang dibutuhkan klien selesai
2. Kemampuan mengenakan diri, berpakaian,
perawatan diri
pakaian meningkat berhias, dan makan
3. Untuk mempermudah saat
3. Kemampuan makan meningkat 3. Siapkan keperluan akan digunakan
4. Kemampuan ke toilet (BAB pribadi 4. Membantu klien dalam
dan BAK) meningkat 4. Dampingi perawatan melakukan perawatan diri
5. Mempertahankan kebersihan diri sampai mandiri 5. Agar klien tidak mengalami
diri meningkat 5. Bantu klien dalam cidera saat melakukan
6. Mempertahankan kebersihan memenuhi perawatan perawatan diri
mulut meningkat diri 6. Untuk menjaga kebersihan
6. Anjurkan melakukan diri dan terhindar dari adanya
perawatan diri yang mikroorganisme yang
konsisten menempel
7. Kolaborasi dengan 7. Agar klien bisa lebih nyaman
keluarga untuk saat dilakukan perawatan diri
perawatan membantu
perawatan diri
d. Implementasi

Setelah rencana tindakan keperawatan di susun maka untuk selanjutnya

adalah pengolahan data dan kemudian pelaksanaan asuhan keperawatan

sesuai dengan rencana yang telah di susun tersebut. Dalam pelaksanaan

implementasi maka perawat dapat melakukan observasi atau dapat

mendiskusikan dengan klien atau keluarga tentang tindakan yang akan

dilakukan

e. Evaluasi

Evaluasi adalah langkah terakhir dalam asuhan keperawatan, evaluasi

dilakukan dengan pendekatan SOAP ( data subjektif, data objektif, analisa

dan planning ). Dalam evaluasi ini dapat ditentuukan sejauh mana

keberhasilan rencana tindakan keperawatan yang harus dimodifikasi.


DAFTAR PUSTAKA

Alvin Kosasih, et al. (2018) Diagnosis Dan Tatalaksana Kegawatdaruratan Paru.


Dalam Praktek Sehari-Hari. Jakarta: CV Sagung Seto.

Ardiansyah, Muhammad. (2012). Medical Bedah Untuk Mahasiswa. Jogjakarta :


DIVA Ekspres

Arifputra. (2014). Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Penerbit UI.

Febi, Selly, and Margaretha Panggabean. (2012). “Gambaran Terhadap Proses


Perencanaan Keperawatan Dalam Mengimplementasikan Asuhan
Keperawatan.”

Lamba, Tejpreet Singh MD; Sharara, Rihab Saeed MD; Singh, Anil C. MD,
MPH, FCCP; Balaan, Marvin MD. 2016. “Pathophysiology and
Classification of Respiratory Failure, Critical Care Nursing” 3 (2): 85–93.

Permata, O. D. (2019). ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN KEJANG


DEMAM SIMPLEKS DENGAN HIPERTERMI DI RUANG NUSA INDAH
ATAS RSUD dr.SLAMET GARUT.
Ilmu Anestesia Dan, SMF. (2017). “KESEIMBANGAN ASAM BASA Oleh:
Putu Aksa Viswanatha Dr. Kadek Agus Heryana Putra,Span.”
Marni. (2014). Buku Ajar Keperawatan Pada Anak Dengan Gangguan
Pernapasan. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
PPNI, Tim Pokja SDKI DPP (2017). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
SIKI, Tim Pokja. 2018. Standar Intervensi Keperawatan Indonesia. 2nd ed.
Jakarta: Dewan PP PPNI.
SLKI, Tim Pokja. 2019. Standar Luaran Keperawatan Indonesia. Jakarta: Dewan
PP PPNI.
Rohmah, S. W. N. (2016). Proses Keperawatan Teori Dan Aplikasi. 3rd ed.
Yogyakarta: Ar Ruzz Media.
Sinarti, A., Elmiyati, D., Yulianto, D., Supriyanto, E., & Syam, F. (2021). Analisa
Praktik Kkinik Keperawatan Pada Pasoen Terpasang Ventilasi Mekanik
Dengan Intervensi Inovasi Kombinasi Fisioterapi Dada Dan Elevasi Kepala
60 ̊ Dengan Hiperoksigenasi Pada Proses Close Suction Terhadap
Perubahan Saturasi Di Ruang Intensive Care Un
Isaacs AM, Riva-Cambrin J, Yavin D, et al. Age-specific global epidemiology of
hydrocephalus: Systematic review, metanalysis and global birth surveillance.
Cheungpasitporn W, editor. PLOS ONE. 2018 Oct 1;13(10):e0204926.
Rahmayani DD, Gunawan PI, Utomo B. Profil Klinis dan Faktor Risiko
hydrocephalus Komunikans dan Non Komunikans pada Anak di RSUD dr.
Soetomo. Sari Pediatri. 2017 Aug 22;19(1):25.
Khalatbari, H., & Parisi, M. (2021). Management of Hydrocephalus in Children:
Anatomic Imaging Appearances of CSF Shunts and Their Complications.
American Journal of Roentgenology, 216(1), pp. 187–99.
Koleva M, De Jesus O. Hydrocephalus. In: StatPearls. Treasure Island (FL):
StatPearls Publishing; 2022 Jan-.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK560875/

Anda mungkin juga menyukai