Anda di halaman 1dari 37

TUGAS

TEORI ORGANISASI

1. Bagaimana pandangan umum tentang:

a. Konsep dasar organisasi?

Istilah atau konsep organisasi berasal dari bahasa Yunani yakni organon yang
berarti “alat” atau tool. Kata ini kemudian disalin ke dalam bahasa Latin dengan
sebutan organizatio, dan ke dalam bahasa Perancis dengan sebutan
organisation (lihat Kusdi, Teori Organisasi dan Administrasi, Jakarta, Salemba
Humanika, 2009, hal. 4). Menurut Kusdi, pengertian awal organisasi tidak
merujuk pada benda atau proses, melainkan tubuh manusia atau makhluk
biologis lainnya. Jadi organon merujuk pada keteraturan atau susunan tertentu
yang memungkinkan suatu fungsi dijalankan oleh tubuh atau makhluk hidup.
Atas dasar itu, Jones kemudian mendefinsikan organisasi sebagai sebuah alat
yang digunakan manusia untuk mengkoordinasikan kegiatan-kegiatannya untuk
mencapai tujuan atau nilai-nilai yang diinginkan (Jones seperti dikutip dalam
Agus Joko Purwanto, Teori Organisasi, Jakarta, UT, 2014, hal. 1).

Kini, konsep organisasi dipergunakan untuk menggambarkan penyusunan dan


pengelolaan berbagai aktivitas manusia (baik dengan institusi/lembaga maupun
tidak) yang bertujuan menjalankan suatu fungsi atau maksud tertentu.

Secara umum, para ahli memaknai konsep organisasi dalam dua dimensi, yakni
dari dimensi statis dan dinamis. Dalam pengertian statis, organisasi dipandang
sebagai wadah atau instrumen untuk mencapai sesuatu tujuan yang telah
ditetapkan sebelumnya. Selain itu, organisasi juga dipandang sebagai jaringan
dari hubungan kerja dan saluran hirarkhi yang berisi kedudukan, wewenang,
komando dan tanggungjawab.
2

Sedangkan dalam pengertian dinamis, organisasi dikonsepsikan sebagai


organisme yang hidup, yang di dalamnya terjalin kerjasama yang erat di antara
anggota-anggota organisasi tersebut untuk mencapai tujuan bersama yang
telah ditetapkan sebelumnya.

Beberapa pengertian atau definisi tentang organisasi yang dikutip di bawah ini,
secara umum menggambarkan dimensi statis dan dinamis dari konsep
organisasi sebagaimana dimaksudkan di atas. Atau dalam bahasa Yeremias T.
Keban, menggambarkan organisasi sebagai struktur dan sebagai sistem
kerjasama (lihat Yeremias T. Keban, Enam Dimensi Strategis Administrasi
Publik: Konsep, Teori dan Isu, Yogjakarta, Gava Media, 2008, hal. 126).

Dwight Waldo misalnya, mengartikan organisasi sebagai struktur otoritas dan


hubungan personal dalam suatu sistem administrasi. Sedangkan Chester
Barnard cenderung melihat organisasi sebagai sistem aktivitas yang
terkoordinasikan secara sadar, atau sistem kekuatan dua orang atau lebih, dan
Philip Selznick mendefinisikan organisasi sebagai suatu ekspresi struktural dari
kegiatan rasional (Lihat Keban, Ibid).

Selain itu, definisi yang lebih luas diberikan oleh E. Wight Bakke (lihat Kusdi,
Op.Cit, hal. 5) yang mengartikan organisasi sebagai “ a continuing system of
differentiated and coordinated human activities utilizing, transforming, and
wedding together a specific set of human, material, capital, ideational, and
natural resources into a unique problem-solving whole engaged in satisfying
particular human needs in interaction with other systems of human activities
and resources in it’s environment” (suatu sistem berkelanjutan dari aktivitas-
aktivitas manusia yang terdiferensiasi dan terkoordinasi dengan memanfaatkan,
mengubah, dan mengawinkan secara bersama-sama sekelompok manusia,
material, modal, ide, dan sumber daya alam tertentu menjadi satu kesatuan
pemecahan masalah yang unik, yang dimaksudkan untuk memuaskan
3

kebutuhan manusia dalam interaksi dengan sistem lain dari aktivitas manusia
dan sumber daya di lingkungannya).

Setelah mempelajari dan mendalami berbagai definisi tersebut, Gareth Morgan


(lihat Keban, Op.Cit, hal. 126) menyatakan bahwa organisasi dapat didefinisikan
secara bervariasi, yaitu sebagai:

1. Suatu kumpulan orang yang ingin mencapai tujuan secara rasional;


2. Suatu koalisi dari konstituen yang berkuasa di mana mereka menggunakan
kekuasaannya untuk mengontrol distribusi sumber daya dalam organisasi,;
3. Suatu sistem terbuka di mana terjadi sistem transformasi input-output
dengan lingkungan;
4. Sistem yang menghasilkan pemaknaan tertentu, di mana tujuan diciptakan
secara simbolik dan dipelihara oleh managemen;
5. Sistem pasangan yang independen, di mana unit-unit yang berada di
dalamnya dapat memiliki tujuan yang berbeda atau konflik;
6. Suatu sistem politik, di mana konstituen internal berusaha mengontrol
proses pembuatan keputusan dalam memantapkan posisinya;
7. Suatu alat untuk mendominasi;
8. Suatu unit yang memproses informasi baik secara horisontal maupun
vertikal
9. Melalui suatu hirarkhi struktural;
10. Suatu penjara psikis, di mana para anggotanya selalu ditekan/dihambat
kebebasannya oleh organisasi misalnya dengan menetapkan pembagian
kerja, standar kerja, pembentukan unit dan divisi;
11. Suatu kontrak sosial di mana terdapat serangkaian kesepakatan yang tidak
tertulis dan para anggotanya harus berperilaku sedemikian rupa sehingga
mendapat kompensasi.

Uraian yang berisi ikhtisar tentang pengertian organisasi oleh Gareth Morgan di
atas secara umum begitu luas dan kompleks. Karena itu, untuk memahami
4

pengertian organisasi secara lebih sederhana, di sini akan dikutip pendapat Ade
Heryana (Lihat Ade Heryana, Organisasi dan Teori Organisiasi, 2020). Menurut
Ade Heryana, secara filosofis terdapat tiga pendapat tentang pengertian
organisasi, yaitu:

1. Organisasi adalah sistem di mana manusia saling tergantung atau terkait satu
sama lain dan membentuk jejaring yang saling memberikan kemanfaatan
satu dengan yang lain;
2. Organisasi adalah kerangka kerja bagi managemen dalam bekerja. Artinya
organisasi merupakan wadah, lembaga, atau kelompok fungsional ketika
managemen berlangsung. Organisasi adalah semacam peta jalan ( road-map)
bagi managemen dan anggotanya untuk mencapai tujuan;
3. Organisasi adalah strategi kelompok yang melibatkan manusia yang didesain
untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, sehingga organisasi
merupakan wadah di mana sekumpulan orang diarahkan untuk tujuan-tujuan
spesifik dari organisasi. Semakin lama organisasi berdiri, maka semakin
kompleks hubungan antar manusia dan peralatan kerja yang ada di
dalamnya.

Sebuah organisasi menurut Ade Heryana terdiri dari 3 unsur pokok yakni orang-
orang, tujuan, dan struktur. Karena itu, fungsi utama organisasi adalah (a)
sebagai wadah bagi orang-orang dalam bekerja sama untuk mencapai suatu
tujuan; (b) sebagai wadah bagi orang-orang dalam membentuk perilaku dan
budaya organisasi;, dan (c) sebagai wadah untuk mencapai sasaran yang sulit
dicapai seorang diri.

Dari berbagai pengertian atau definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa


organisasi merupakan (lihat Agus Djoko Purwanto, Op.Cit, hal. 1.9):

a. Alat untuk mencapai tujuan;


b. Alat untuk mengorganisasikan sumberdaya;
c. Memiliki batas yang relatif dapat diidentifikasi;
5

d. Sebagai sistem sosial sehingga dapat berperilaku;


e. Dikoordinasikan secara sadar; dan
f. Melibatkan lebih dari satu orang.

b. Alasan mempelajari organisasi

Dengan mempelajari organisasi (dalam hal ini teori organisasi), kita akan
mengembangkan pemahaman terhadap apa, bagaimana, dan untuk apa
organisasi diadakan, serta juga memahami bagaimana organisasi beroperasi,
dirancang atau disusun. Studi organisasi juga sangat penting bagi para
manager atau pimpinan organisasi untuk meningkatkan pengetahuan dan
kemampuan memimpin sekelompok manusia, menggerakkan berbagai sumber
daya organisasi, dan mengantisipasi berbagai masalah yang muncul dalam
kehidupan sebuah organisasi.

Selain itu, dengan mempelajari organisasi, seseorang akan semakin paham dan
mampu menempatkan diri ketika bekerja dalam suatu organisasi. Dengan kata
lain, mempelajari organisasi akan membimbing seseorang atau sekelompok
orang dalam suatu organisasi untuk tahu bagaimana menyusun perencanaan
yang baik, pengorganisasian yang baik, pengawasan serta evaluasi dan
monitoring yang baik demi tercapainya tujuan organisasi secara efektif dan
efisien.

c. Perspektif organisasi?

Menurut Ade Heryana, ada dua perspektif atau sudut pandang dalam
mempelajari organisasi, yakni perspektif konvensional dan perspektif modern.

Perspektif Konvensional: Perspektif Modern:


Perspektif Konvensional Perspektif Modern memandang
memandang organisasi sebagai: organisasi sebagai:
6

“Benda” yang kondisinya stabil “Hubungan” yang berjalan dinamis


Tidak fleksibel menghadapi perubahan Fleksibel menghadapi perubahan
Pekerjaan adalah fokus yang Keahlian adalah fokus yang
diutamakan diutamakan
Pekerjaan didefinisikan menurut Pekerjaan didefinisikan menurut tugas
posisi/jabatan nyata
Berorientasi lebih individualis Berorientasi pada kerjasama tim (team
work)
Pekerjaan yang melekat pada individu Pekerjaan yang melekat pada individu
bersifat tetap bersifat sementara
Orientasi pada perintah Orientasi pada partisipasi
Pengambilan keputusan didominasi Partisipasi karyawan melibatkan
oleh managemen/pimpinan karyawan meskipun keputusan tetap
diambil oleh pimpinan/managemen
Pengambilan keputusan mengacu pada Pengambilan keputusan lebih mengacu
peraturan atau kebijakan yang berlaku kepada konsumen
Karakteristik pekerja lebih homogen Karakteristik pekerja beragam
(heterogen)
Waktu kerja ditentukan Tidak ada batasan waktu kerja
Hubungan antar anggota bersifat Hubungan antar anggota organisasi
hirarkhis bersifat lateral dan jaringan
Pekerjaan dilakukan di fasilitas Pekerjaan bisa dilakukan di mana saja
organisasi selama jam kerja tertentu dan kapan saja

Selain itu, ahli lain juga menyatakan bahwa dalam mempelajari evolusi teori
organisasi, terdapat dua perspektif. Perspektif pertama memandang organisasi
sebagai sistem tertutup di mana organisasi dipandang berdiri sendiri dan
tertutup dari lingkungan sekitarnya. Sedangkan perspektif kedua yang
7

berkembang sesudah dekade 1960-an, memandang organisasi sebagai sistem


terbuka, di mana penekanannya pada peristiwa dan proses yang terjadi di
lingkungan eksternal (lihat Kusdi, Op.Cit, hal. 10-23).

2. Jelaskan evolusi teori organisasi (Lihat Kusdi, Op.Cit) menurut:

a. Teoritikus Tipe 1
Teoritikus tipe 1 atau dikenal pula dengan istilah Teori/Aliran Klasik adalah teori
tentang organisasi yang lahir dan berkembang pada akhir abad ke-18 atau
sebuah periode yang disebut pula sebagai revolusi industri. Dalam era ini,
organisasi dalam pengertian modern mulai berkembang. Revolusi industri
adalah titik pertama dalam sejarah di mana manusia mulai mengenal mesin
yang mampu melakukan pekerjaan repetitif secara otomatis. Mesin-mesin baru
tersebut pada giliran berikutnya melahirkan konsep baru lainnya, yakni pabrik.
Jika sebelumnya pekerjaan-pekerjaan industri dilakukan oleh tenaga-tenaga
khusus yang sangat terampil ( craftmanship), maka sebagian dari pekerjaan itu
dialihkan pada mesin. Organisasi pekerjaan pabrik mencerminkan pembagian
tugas secara fungsional dan hirarkhis, di mana setidak-tidaknya terdapat tiga
jenjang. Pertama, pemilik pabrik atau diwakili seorang administrator. Kedua,
mandor atau supervisor. Ketiga, lapisan pekerja atau buruh.

Menurut Hutch (seperti dikutip Kusdi, Ibid), pada periode klasik terdapat dua
kelompok besar ahli pemikir organisasi. Pertama, pemikir-pemikir aliran
sosiologis yang mencoba mendeskripsikan dan menganalisis perubahan struktur
organisasi dan peran-peran di dalamnya, serta implikasinya terhadap dunia
sosial yang lebih luas. Di sini ada nama-nama seperti Emile Durkheim, Max
Weber, dam Karl Marx. Kedua, pemikir-pemikir aliran administrasi dan
managemen yang lebih menitikberatkan pada masalah-masalah praktis yang
dihadapi para pengelola organisasi pabrik dalam menjalankan tugasnya. Di sini
terdapat ahli-ahli seperti Frederick Taylor, Henry fayol, dan Chester Barnard.
8

Dalam era klasik ini, para ahli terlalu menekankan pada sistem organisasi yang
efektif dan efisien sehingga mengabaikan faktor manusia. Para pekerja
kemudian diperlakukan sebagai faktor produksi dan alat organisasi belaka.
Aliran klasik ini mulai memperkenalkan konsep-konsep seperti planning,
organization, command, coordination, dan control.

Prinsip dasar organisasi pada aliran klasik ini adalah seperti yang diintrodusir
Frederick Winston Taylor yakni:

1. Menggeser semua pertanggungjawaban pekerjaan dari pekerja kepada


manager. Semua pekerjaan berpikir yang berkaitan dengan perencanaan
dan mendesain pekerjaan menjadi tugas manager. Tugas pekerja adalah
melaksanakan.
2. Menggunakan metode ilmiah untuk menemukan cara yang paling efisien
dalam melaksanakan suatu pekerjaan;
3. Memilih pekerja yang paling cocok dengan desain pekerjaan;
4. Melatih pekerja agar dapat bekerja efisien.
5. Memonitor pekerja untuk memastikan semua prosedur diikuti dan hasil yang
diharapkan dapat dicapai.

b. Teoritikus Tipe 2

Teoritikus tipe 2 atau yang dikenal pula sebagai Aliran Neoklasik merupakan
teori yang bereaksi terhadap aliran/teori klasik yang telah menyebabkan
dehumanisasi dalam pekerjaan sebab manusia cenderung dijadikan sebagai
faktor produksi atau alat organisasi semata. Aliran neoklasik ini kemudian ingin
menekankan pentingnya humanisasi dalam kehidupan suatu organisasi. Aliran
ini mulai berkembang pada dasawarsa 1930-an dengan tokoh-tokohnya seperti
Elton Mayo, David McGregor, dan Chris Argyris.
9

Aliran ini terutama diilhami Howtrone Studies, yaitu serangkai penelitian yang
menekankan pentingnya faktor manusia terhadap pencapaian efisiensi dan
efektivitas organisasi, khususnya organisasi industri.

Jika pada aliran klasik, organisasi dipandang sebagai mesin dan efektivitas
organisasi tidak tergantung kepada kondisi-kondisi psikologis karyawan dan
perubahan lingkungan, maka dalam aliran neoklasik ditemukan hubungan yang
erat antara kinerja organisasi dengan faktor-faktor psikologis seperti sikap dan
lingkungan sosial. Teori Abraham Maslow tentang hirarkhi kebutuhan manusia
dan McGregor tentang teori X dan Y dari manusia adalah dua contoh teori dari
aliran neoklasik atau hubungan manusia dimaksud.

c. Teoritikus Tipe 3

Hasil penelitian sebelumnya membuka perspektif baru bahwa efektivitas


organisasi berhubungan dengan lingkungan luar dan faktor-faktor psikologis di
dalam organisasi. Jika aliran klasik memandang organisasi sebagai sistem
tertutup, maka dalam studi-studi berikutnya dapat dibuktikan bahwa organisasi
yang efektif adalah yang menganut sistem terbuka. Pendekatan sistem ini
diintrodusir oleh Ludwig Von Bertalanffy yang mengemukakan general system
theory yang berfokus kepada: penekanan tentang pentingnya lingkungan di
mana organisasi hidup serta cara pandang organisasi yang terdiri dari berbagai
sub-sistem. Pendekatan ini mengamati keteraturan lain yang dianggap lebih
dinamis, yaitu keteraturan makhluk hidup atau dunia hayati.

Teori sistem umum (general system theory) yang disusun Bertalanffly dibangun
berdasarkan premis-premis dasar berikut ini:
1. Kesatuan dan interdependensi: dalam sebuah sistem berlaku adagium:
keseluruhan adalah lebih daripada bagian-bagiannya, karena masing-masing
bagian saling berhubungan secara interdependen;
10

2. Hirarkhi: sebuah sistem selalu terdiri dari tingkatan-tingkatan yang makin


tinggi kompleksitasnya. Sistem yang lebih besar disebut supra-system,
sedangkan sistem yang lebih kecil disebut sub-system.
3. Pengaturan diri (self-regulation) dan kontrol sistem : sistem selalu
berorientasi pada tujuan dan sistem mengatur perilakunya untuk mencapai
tujuan-tujuan tersebut.
4. Hubungan timbal-balik dengan lingkungan: sistem yang terbuka (open-
system) selalu berinteraksi dengan lingkungannya secara timbal-balik, yaitu
pertukaran materi dan energi dalam bentuk output-input.
5. Keseimbangan: keseimbangan sistem disebut juga homeostatis, yaitu
kemampuan untuk mempertahankan kestabilan.
6. Kemampuan perubahan dan penyesuaian diri: sebuah paradoks dari sistem
adalah bahwa untuk bertahan, sebuah sistem harus mempertahankan
keseimbangan serta berubah dan memiliki daya adaptasi terhadap dinamika
lingkungan.
7. Equifinality: tujuan sebuah sistem selalu bersifat ekuifinalitas, artinya suatu
keadaan final tertentu bisa dicapai dengan berbagai cara Dan dari titik
berangkat yang berbeda-beda sesuai dengan bergam kondisi lingkungan.

Salah satu keunggulan dari teori sistem umum adalah dimasukkannya faktor
lingkungan di dalamnya. Hal ini sangat penting terutama dalam memperluas
cakupan kajian teori organisasi. Dengan memasukkan faktor lingkungan,
pendekatan sistem telah memindahkan fokus perdebatan di dalam teori
organisasi, tidak hanya bergulat pada aspek-aspek internal antara efektivitas-
efisiensi versus humanisme, tetapi sekarang dimungkinkan untuk
mengeksplorasi hubungan yang lebih luas antara organisasi dan lingkungan.

Teori lain yang dibangun di atas anggapan organisasi sebagai sistem terbuka
adalah teori kontingensi. Teori kontingensi beranggapan bahwa organisasi yang
efektif adalah organisasi yang mampu menyeimbangkan kondisi internalnya
11

dengan kondisi lingkungan. Menurut teori kontingensi, tidak ada cara terbaik
dalam pengorganisasian, tergantung dari jenis tugas dan lingkungan yang
dihadapi. Henry Mintzberg adalah salah satu tokoh aliran ini. Melalui buku
Structure in Five, Mintzberg menjelaskan berbagai karakter struktur organisasi
yang cocok dengan situasi lingkungan tertentu. Menurut Mintzberg (lihat Keban,
Op.Cit, hal. 142), dalam suatu organisasi terdapat lima bagian dasar atau
elemen penting, yakni:
1. The operating core yang dapat dilihat dari pegawai yang melakukan
pekerjaan dasar yang berkaitan dengan produksi barang dan jasa;
2. The strategic apex yaitu para manager tingkat tertinggi yang bertanggung-
jawab terhadap keseluruhan organisasi;
3. The middle line, yaitu para manager yang menghubungkan pekerja dasar
(nomor 1) dengan para manager tertinggi (nomor 2);
4. The technostructure yaitu para analis yang bertanggungjawab terhadap
standardisasi dalam organisasi;
5. The support staff yaitu orang yang menjadi staf yang memberikan dukungan
pelayanan langsung bagi organisasi.

Menurut Minztberg, kalau kontrol terletak pada the operating core atau
pelaksana operasional, maka keptusan bersifat desentralistis. Hal ini akan
menciptakan apa yang disebut profesional bureaucracy. Apabila the strategic
apex atau pimpinan tertinggi yang menjadi dominan, maka kontrol menjadi
tersentralisasi dan organisasi hanya memiliki simple structure atau struktur
sederhana. Kalau middle manager menjadi dominan, maka organisasi yang
bersangkutan memiliki unit-unit operasi yang bersifat otonom. Sedangkan
apabila technostructure dominan, maka kontrol dilakukan melalui standardisasi
dan bentuk strukturnya adalah machine bureaucracy. Dan terakhir, apabila
kontrol diletakkan pada staf pendukung, maka bentuk strukturnya menjadi
adhocracy.
12

d. Teoritikus tipe 4
Pendekatan paling mutakhir tentang teori organisasi memusatkan perhatian
pada sifat politis dari organisasi. Posisi ini mula-mula dibuat oleh James March
dan Herberth Simon, namun telah diperbaiki secara intensif oleh Jeffrey P.
Feffer.

March dan Simon menentang gagasan klasik mengenai keputusan yang rasional
atau optimum. Mereka berargumentasi bahwa mayoritas pengambil keputusan
memilih alternatif yang memuaskan, alternatif yang cukup baik. Hanya pada
kasus-kasus yang luar biasa, mereka akan mencari dan menyeleksi alternatif
yang optimal. March dan Simon menganjurkan agar model teori organisasi
diubah. Model yang diperbaiki itu mengakui keterbatasan rasionalitas pengambil
keputusan serta mengakui keberadaan tujuan yang saling bertentangan.

Berdasarkan karya March dan Simon tersebut, Jeffrey P. Feffer menciptakan


model teori organisasi yang mencakup koalisi kekuasaan, konflik intern atas
tujuan, serta keputusan desain organisasi yang mendukung kepentingan pribadi
dari mereka yang berkuasa. Feffer mengusulkan agar ke ndali di dalam
organisasi menjadi tujuan ketimbang hanya sebagai alat untuk mencapai
tujuan-tujuan yang rasional.

Organisasi dengan demikian merupakan koalisi yang terdiri dari berbagai


kelompok dan individu dengan tuntutan berbeda-beda. Desain organisasi
merupakan hasil pertarungan kekuasaan berbagai koalisi tersebut. Feffer
mengatakan bahwa jika kita ingin mengerti mengapa dan bagaimana organisasi
itu dirancang secara demikian, maka kita harus menilai preferensi dan
kepentingan dari mereka yang berada di dalam organisasi yang mempunyai
pengaruh terhadap pengambilan keputusan.

e. Bagaimana perkembangan dari evolusi teori organisasi di atas?


13

Secara umum evolusi merupakan perkembangan secara bertahap yang dilakukan


dengan memberikan koreksi dan inovasi-inovasi baru dalam teori organisasi. Silih
berganti teori dalam suatu disiplin ilmu sudah merupakan sebuah keniscayaan
dalam sejarah perkembangan disiplin ilmu yang bersangkutan. Melalui semua itu,
diharapkan teori-teori yang dihasilkan akan mampu mendeskripsikan, menjelaskan
(mengeksplanasi), dan memprediksi berbagai fenomena sosial maupun alam
secara lebih baik dan lebih komprehensif.
Ada dua dimensi dasar dalam evolusi teori organisasi. Pertama, sebelum Tahun
1960, teori organisasi cenderung didominasi oleh sistem tertutup. Namun pasca
Tahun 1960-an, teori organisasi mulai mengadopsi sistem terbuka. Analisis-analisis
yang sebelumnya hanya berfokus kepada karakteristik internal dari organisasi,
kemudian berubah menjadi pendekatan yang menekankan pentingnya organisasi
memperhatikan peristiwa dan proses yang terjadi di lingkungan eksternalnya.

Dimensi kedua berhubungan dengan hasil-hasil akhir dari struktur organisasi.


Perspektif rasional menyatakan bahwa struktur organisasi merupakan alat untuk
mencapai tujuan-tujuan khusus secara efektif. Sebaliknya, perspektif sosial
menekankan bahwa struktur adalah hasil utama dari kekuatan-kekuatan yang
saling bertentangan dari para pengikut organisasi yang mencari kekuasan dan
kendali.

Sedangkan Kusdi (lihat Kusdi, Op.Cit, hal. 35-36) membagi evolusi teori organisasi
melalui tiga fase, yaitu periode klasik, modern, dan post-modern. Pada setiap fase,
faktor lingkungan (khususnya lingkungan teknologi) sangat mempengaruhi
bagaimana manusia menyusun dan mengkonsepsi suatu organisasi.

Aliran-aliran pada masa klasik dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yakni
aliran sosiologis (yang menekankan pada analisis organisasi dan implikasinya
terhadap sistem sosial), dan aliran administrasi dan managemen (yang
menekankan pada analisis tentang masalah-masalah riil yang dihadapi pengelola
organisasi). Tokoh-tokoh yang menonjol pada masa tersebuit antara lain Emile
14

Durkheim, Max Weber, dan Karl Marx (pada aliran sosiologis), dan Frederick
Taylor, Henry fayol, dan Chester Barnard (pada aliran administrasi dan
managemen).

Kemudian aliran-aliran pemikiran pada masa modern adalah teori sistem. Secara
umum dapat dibagi dua, yaitu teori sistem umum ( general) dan teori sistem baru
(soft-system). Tokoh-tokohnya antara lain Ludwig Von Bertalanffy dan Kenneth
Boulding (teori sistem general), serta Chris Argyris, Peter Senge dalam teori sistem
baru. Selain itu, terdapat pula tokoh-tokoh seperti Talcott Parson (sosiologi),
Herbert Simon, James March (teori bounded rationality) dalam pengambilan
keputusan organisasi, dan David Easton (politik), dan lain-lain.

Sedangkan aliran pada masa post-modern sangat beragam dan sulit


dikelompokkan dalam satu pendekatan yang sama. Mereka umumnya menolak
untuk dikelompokkan dalam satu kategori tertentu. Terdapat antara lain arsitektur
post-modern, aliran teori sastra ( literary theory), pendekatan Marxis dan Neo-
Marxis, dan kritik feminis.

3. Jelaskan

a. Jelaskan Konsep Efektivitas Organisasi

Suatu organisasi yang berhasil dapat diukur dengan melihat pada sejauhmana
organisasi tersebut dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan. Konsep
Efektivitas yang dikemukakan para ahli organisasi dan manajemen memiliki makna
yang berbeda, tergantung pada kerangka acuan yang dipergunakan. Secara nyata
Stoner (1982) menekankan pentingnya efektivitas organisasi dalam pencapaian
tujuan-tujuan organisasi dan efektivitas adalah kunci dari kesuksesan suatu
organisasi. Sedangkan Miller (1977: 292) mengemukakan bahwa Efektivitas
dimaksud sebagai tingkat seberapa jauh suatu sistem sosial mencapai tujuannya.
Sementara itu, Amitai Etzioni (lihat Keban, Op.Cit, hal. 327) menyatakan bahwa
15

efektivitas organisasi merupakan gambaran sampai seberapa jauh suatu organisasi


merealisasikan tujuan akhirnya (goals). Efektivitas harus dibedakan dengan
efisiensi. Efisiensi terutama mengandung pengertian perbandingan antara biaya
dan hasil, sedangkan efektivitas secara langsung dihubungkan dengan pencapaian
suatu tujuan.

Bagaimana mengukur efektivitas organisasi? Sharma (1992:34) memberikan


kriteria atau ukuran efektivitas organisasi yang menyangkut faktor internal
organisasi dan faktor eksternal organisasi, yang meliputi antara lain:
1. Produktivitas organisasi atau output;
2. Efektivitas organisasi dalam bentuk keberhasilannya menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan di dalam dan di luar organisasi;
3. Tidak adanya ketegangan di dalam organisasi atau hambatan-hambatan konflik
di antara bagian-bagian organisasi.

Konsepsi Sharma tersebut di atas jelas menyangkut tiga elemen yang berbicara
mengenai produktivitas, organisasi sebagai output, dan kemampuan organisasi
menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, serta bagaimana organisasi
mengelola dan mengatasi konflik internal yang terjadi. Efektivitas organisasi
menurut Syamsir Torang, juga dapat ditentukan oleh struktur kekuasaan, pola
hubungan kekuasaan, cara pengawasan, kinerja pegawai, dan produktivitas (Lihat
Syamsir Torang, Organisasi dan Managemen, Bandung, Alfabeta, 2013, hal. 99).

Selain Sharma, Richard M. Steers (1986: 33) mengemukakan lima kriteria dalam
mengukur efektivitas organisasi, yakni:
1. Produktivitas;
2. Kemampuan adaptasi;
3. Kepuasan kerja;
4. Kemampuan berlaba;
5. Pencarian sumber daya.
16

Dengan mencermati pendapat para ahli tersebut, maka dapat dikatakan bahwa
efekitivitas organisasi berkaitan dengan pencapaian tujuan organisasi secara
efisien dan efektif berdasarkan mutu yang ditetapkan sebelumnya.
b. Bagaimana pendekatan yang dilakukan terhadap efektivitas organisasi?

Pendekatan yang dilakukan untuk menilai efektivitas organisasi untuk waktu


tertentu mungkin tidak tepat lagi atau menyesatkan pada waktu berikutnya. Hal ini
terjadi karena pendekatan keanekaragaman terhadap masalah yang merintangi
usaha pengukuran yang meliputi: (1) kriteria evaluasi yang ada sering tidak
mantap; (2) untuk perspektif waktu yang berbeda-beda (jangka pendek versus
jangka panjang); (3) kriteria seringkali bertentangan satu sama lain; (4) sebagian
kriteria tidak dapat diterapkan pada jenis-jenis organisasi tertentu; (5) sebagian
kriteria mungkin sulit diukur dengan tepat.

Stephen P. Robbins (lihat Keban, Ibid, hal. 228) mengungkapan bahwa dalam
mengukur efektivitas organisasi terdapat empat pendekatan, antara lain: (1)
pendekatan “goal-attainment”, pendekatan “systems”, pendekatan “strategic-
constituencies”, dan pendekatan “competing-values”.

Pendekatan goal-attainment mengukur sampai seberapa jauh tercapainya tujuan


yang telah ditetapkan. Dalam pendekatan ini yang ditekankan adalah hasil dan
bukan cara. Sedangkan pendekatan “systems” mengukur tersedianya sumberdaya
yang dibutuhkan, memelihara dirinya secara internal sebagai suatu organisme,
dan berinteraksi secara sukses dengan lingkungan luar. Di sini harus ada korelasi
yang jelas antara input dengan output.

Seterusnya, pendekatan “strategic-constituencies” mengukur tingkat kepuasan dari


para konstituen kunci. Dukungan konstituen kunci inilah yang dibutuhkan
organisasi untuk mempertahankan eksistensi selanjutnya. Dan pendekatan
“competing values” mengukur apakah kriteria keberhasilan yang dipentingkan
organisasi seperti keadilan, pelayanan, return on investment, market share, new-
17

product innovation, dan job security telah sesuai dengan kepentingan atau
kesukaan para konstituennya.

Yang penting adalah setiap usaha untuk menilai tingkat efektivitas organisasi
harus didahului analisis yang cermat mengenai kemungkinan kesalahan yang tidak
dapat dipisahkan dari setiap usaha evaluasi. Sebab jika dalam penilaian didapatkan
kriteria evaluasi yang tidak tepat, penilaian yang dihasilkan mungkin tidak ada
gunanya.

c. Bagaimana menerapkan efektivitas organisasi pada organisasi publik

Pengukuran efektivitas organisasi publik harus dibedakan dengan organisasi privat.


Jika organisasi privat lebih banyak berorientasi profit ( profit-oriented), maka
organisasi publik lebih banyak berorientasi pada pelayanan publik. Karena itu,
indikator untuk menilai efektivitas organisasi publik biasanya diseputar variabel
seperti: tingkat absen, intensitas administrasi, tingkat otonomi, sentralisasi,
komitmen, komunikasi, kompleksitas, pelanggaran konflik, koordinasi,
departementasi, keadilan distributif, efektivitas, formalisasi….dsb (Price dan
Mueller dalam Keban, Ibid).

Jika organisasi privat melihat rakyat sebagai pelanggan, maka organisasi publik
harus melihat rakyat sebagai warga negara. Sebegitu, organisasi publik harus
membangun trust dan bersikap responsif terhadap kepentingan publik, dan bukan
semata mencari keuntungan atau efisiensi yang lebih tinggi dalam melakukan
tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat. Semboyan terkenalnya: “ citizen first”.
Itu berarti meskipun harus mengeluarkan biaya dan sumberdaya yang banyak,
tetapi demi untuk kepentingan kemaslahatan masyarakat banyak ( citizen first),
organisasi publik harus tetap memberikan pelayanan secara prima.

4. Jelaskan!

a. Konsep besaran organisasi


18

Lebih dari 80 persen penelitian menggunakan besaran organisasi ( organization


size) sebagai variabel, yang secara umum, didefinisikan sebagai ”jumlah total
pegawai (total number of employees). Besaran organisasi adalah segala sesuatu
yang dapat diukur dan dihitung. Peter Blau menyatakan “size is the most
important condition affecting the structure of organization”.

Isu tentang besaran organisasi menjadi penting sebab berkaitan dengan


pengelolaan suatu organisasi, yakni terkait langsung dengan struktur organisasi.
Besaran organisasi menyangkut besarnya organisasi yang dilihat dari jumlah
anggota organisasi. Jumlah anggota atau besaran organisasi akan berpengaruh
pada kompleksitas organisasi baik horizontal maupun vertikal. Besaran juga
berpengaruh pada formalisasi dan sentralisasi. Semakin besar organisasi semakin
tinggi formalisasi dan semakin besar besaran organisasi semakin rendah
sentralisasi.

b. Pendukung besaran imperative?

Salah satu argumen paling kuat mengenai pentingnya besaran sebagai sebuah
determinan struktur dibuat oleh Peter Blau. Berdasarkan kajian di berbagai
lembaga pemerintah, universitas dan toserba ia menyimpulkan bahwa besaran
(size) adalah kondisi paling penting yang mempengaruhi struktur.

Penelitian Universitas of Aston di Inggris menemukan bahwa besaran adalah


determinan utama dari struktur. Penelitian yang dilakukan oleh Aston Group
meninjau empat puluh organisasi dan menemukan bahwa :

1. Peningkatan besaran dihubungkan dengan spesialisasi dan formalisasi yang


besar.
2. Peningkatan skala kegiatan akan meningkatkan frekuensi dari kejadian yang
berulang dan pengulangan keputusan, sehingga standarisasi lebih disukai.
19

Salah satu kasus terkuat bagi size imperative diajukan oleh Mayer. Ia berargumen
bahwa hubungan antara besaran dan dimensi struktural tidak bersifat timbal-balik.
Mayer kemudian mendesain sebuah proyek penelitian yang memungkinkannya
menarik kesimpulan mengenai hubungan timbal-balik tersebut.
Dalam penelitian longitudinal atas 194 departemen keuangan Amerika Serikat
yang meliputi tingkat Kota dan Negara Bagian, Mayer berargumentasi bahwa
dengan membandingkan organisasi itu dalam jangka waktu tertentu, maka dapat
ditentukan rangkaian waktu bagi variabel-variabel. Artinya meskipun besaran
struktur didapatkan saling berhubungan di antara sekelompok organisasi pada
waktu tertentu, namun hanya analisis longitudinal-lah yang akan memungkinkan
dihapuskannya hipotesis kebalikan yang menyatakan bahwa struktur
menyebabkan besaran.

Penemuan Mayer tersebut mengakibatkan kita tidak dapat meremehkan dampak


dari besaran terhadap karekteristik lain dari organisasi. Temuan bahwa efek
besaran akan terlihat dimana-mana, dan hubungan tersebut searah dan bahwa
dampak variable lain yang kelihatannya mempengaruhi struktur akan menghilang
jika besaran tersebut dikontrol.

c. Kritik terhadap size imperative?

Suatu kajian independen memperlihatkan bahwa besaran tidak mempunyai


dampak atau hanya berdampak minimal terhadap struktur. Setidaknya terdapat
bukti sementara yang memberi indikasi bahwa besaran mempengaruhi struktur
hanya pada organisasi yang mempunyai manajer yang professional namun bukan
di antara organisasi yang dikontrol oleh pemilik.1

Chris Argyris yang menganalisis data Blau, mempertanyakan ukuran-ukurannya


dan menyatakan bahwa organisasi pemerintah adalah khas. Ia mencatat bahwa
organisasi pemerintahan mempunyai keterbatasan anggaran, batasan geografis

1
20

yang jelas, jumlah staf yang pada dasarnya ditetapkan sebelumnya dan
dipengaruhi oleh peraturan. Ia juga mengakui peran kebebasan manajer, para
manajer yang bekerja dikantor pemerintah mengikuti teori manajemen tradisional
tentang spesialisasi tugas, kesatuan komando, tentang kendali dan sebagainya.

Size imperative dari Blau juga ditentang oleh Mayhew dan kawan-kawannya,
dengan menggunakan program computer yang menentukan tingkat diferensiasi
yang mungkin untuk setiap tingkat besaran. Mereka menyimpulkan bahwa
penemuan Blau mengenai hubungan antara besaran dan kompleksitas merupakan
kepastian matematik jika probabilitas yang setara ditetapkan terhadap semua
kemungkinan kombinasi struktural.

Penelitian kelompok Aston juga mendapatkan kritik, Aldrich menganalisis kembali


data Aston dan mengusulkan beberapa alternatif dan interprestasi yang mungkin.
Aldrich mengatakan bahwa perusahaan yang mempunyai kompleksitas dan
formalisasi yang tinggi secara sederhana dapat dikatakan perlu memperkerjakan
lebih banyak tenaga kerja dibanding perusahaan yang kurang terstruktur.

d. Hubungan besaran dan struktur

Hubungan antara besaran dan struktur tidak sama, meskipun beberapa orang
telah menemukan adanya hubungan yang kuat dan mendukung sifat kausalnya,
yang lain menentang pendapat ini atas dasar metodologinya atau menyatakan
bahwa besaran merupakan konsekuensi ketimbang penyebab struktur. Tetapi jika
kita melihat penelitian itu secara lebih rinci, maka timbul pola yang lebih jelas. Kita
akan memperlihatkan bahwa besaran pasti tidak menentukan keseluruhan desain
struktur, tetapi penting untuk meramalkan beberapa dimensi struktur. Pengaruh
besaran organisasi akan tampak pada karakter kompleksitas, formalisasi dan
sentralisasi dalam suatu organisasi.

a. Besaran dan Formalisasi


21

Formalisasi yaitu sejauh mana aturan, prosedur, aturan dilakukan secara


tertulis.Organisasi yang besar pasti diiringi dengan masalah yang besar pula .

Menurut Robbins (1990:95-7), tujuan atau manfaat formalisasi adalah :

1. Konsistensi dan keseragaman, yaitu untuk mencapai output-output yang tidak


berubah-ubah kualitasnya.
2. Meningkatkan koordinasi. Untuk tugas-tugas yang membutuhkan koordinasi
tinggi di antara anggota organisasi, formalisasi merupakan salah satu cara
yang efektif dan biasa dipakai organisasi.
3. Penghematan biaya secara ekonomis.

Contohnya seperti ketidaksamaan karyawan dalam bekerja atau perbedaan


karakter karyawan, yang pada akhirnya semua itu akan menimbulkan suatu
aturan-aturan yang tidak baku dari para pimpinan. Dari aturan yang tidak baku itu
akhirnya akan ada karyawan yang mematuhi dan ada beberapa karyawan yang
tidak mematuhinya. Pada akhirnya peraturan-peraturan itu akan dibakukan oleh
pimpinan agar terjadi kesesuaian dan keselarasan dalam mencapai tujuan
perusahaan. Menurut robbins (1990:160), aturan-aturan dan prosedur formal
memungkinkan pengelola organisasi untuk mendelegasikan pengambilan
keputusan sekaligus memastikan bahwa keputusan–keputusan yang diambil
sejalan dengan keinginan pengelola organisasi. Dengan perkataan lain, ukuran
organisasi akan meningkatkan desentralisasi, sejalan dengan meningkatnya
formalisasi.

b. Besaran Dan Kompleksitas

Kompleksitas yaitu jumlah diferensiasi vertikal, jumlah unit atau departeman.


Semakin besar organisasi, semakin nyata keragaman divisi yang ada. Maksudnya
adalah suatu organisasi yang besar akan memiliki berbagai perkejaan yang banyak
dan hal itu membuat ketelitian serta pengawasan yang lebih, untuk itu perlu
adanya pemecahan-pemecahan dalam sebuah divisi atau departemen untuk
22

mempermudah melakukan pengawasan dalam bekerja dan untuk mempermudah


dalam memberikan pertanggungjawaban kerja. Selain itu kompleksitas juga
mempermudah dalam mencari pekerja baru karena akan sesuai dengan
kemampuan setiap individu.

Terdapat banyak bukti yang mendukung ide bahwa ukuran sebuah organisasi
secara signifikan mempengaruhi strukturnya. Sebagai contoh, organisasi-
organisasi besar yang mempekerjakan 2.000 orang atau lebih cenderung memiliki
banyak spesialisasi, departementalisasi, tingkatan vertikal, serta aturan dan
ketentuan daripada organisasi kecil. Namun, hubungan itu tidak bersifat linier.
Alih-alih, ukuran memengaruhi struktur dengan kadar yang semakin menurun.
Dampak ukuran menjadi kurang penting saat organisasi meluas.

C. Besaran dan Sentralisasi

Sentralisasi yaitu konsentrasi wewenang pengambilan keputusan. Sentralisasi


merupakan suatu dimensi organisasi yang lebih sulit dan lebih banyak
diperdebatkan ketimbang dua dimensi yang telah dibahas sebelumnya. Menurut
Hatch (1997:168), kesulitan dalam mengukur tingkat sentralisasi adalah terletak
pada beragamnya jenis keputusan di dalam organisasi itu sendiri. Artinya, suatu
organisasi bisa bersifat sentralis dalam satu hal, dan desentralis dalam hal lain.

Sebab-sebab mengapa organisasi yang besar membutuhkan desentralisasi,


menurut Robbins (1990:111), adalah sebagai berikut :

 Kapasitas pengolahan informasi manusia terbatas.


 Organisasi membutuhkan respons yang cepat.
 Keputusan dapat diambil dengan informasi yang lebih rinci dan lengkap.
 Motivasi pekerja dapat ditingkatkan dengan desentralisasi.
 Desentralisasi memberi peluang pembelajaran.

Menurut Robbins (1990:160), kita baru memiliki kesimpulan yang pasti tentang
hubungan ukuran organisasi dan formalisasi. Namun dari kesimpulan ini, menurut
23

Robbins, kita bisa menarik sebuah logika: Aturan-aturan dan prosedur formal
memungkinkan pengelola organisasi untuk mendelegasikan pengambilan
keputusan sekaligus memastikan bahwa keputusan-keputusan yang diambil
sejalan dengan keinginan pengelola organisasi.

B. Jelaskan konsep tujuan dan strategi dari organisasi

Strategi pada hakekatnya merupakan penerjemahan dari analisis lingkungan dan


analisis terhadap organisasi yang selanjutnya diterjemahkan dalam struktur
organisasi (Lihat Kusdi, Op.Cit, hal. 84-102). Menurut Kusdi, strategi organisasi
dulu hanya dipandang sebagai variabel antara yang menghubungkan faktor-faktor
lingkungan dan kapabilitas organisasi dengan struktur organisasi.

Strategi organisasi lebih menitikberatkan pada permasalahan bagaimana strategi


menghubungkan organisasi dan lingkungannya. Pada mulanya, terutama di
dekade 1960-an dan 1970-an, penyusunan strategi organisasi sangat dipengaruhi
oleh perspektif atau model rasional dari perencanaan strategis. Namun kemudian,
disadari bahwa para penyusun strategi organisasi tidak selalu mengikui model
rasional tersebut. Tampaknya, unsur non-rasional (intuisi) turut mempengaruhi
bagaimana strategi disusun dalam praktiknya. Hal ini mengundang munculnya
perspektif simbolis-interpretatif, misalnya studi-studi tentang pengaruh kultur
terhadap strategi organisasi. Adapun perspektif post-modern belum banyak
melibatkan diri dalam kajian strategi organisasi. Namun perpektif ini menolak
kecenderungan para peneliti strategi organisasi, yang biasanya terlalu
menitiberatkan kepada puncak pimpinan organisasi sehingga mengabaikan
kepentingan dan pendapat para anggota organisasi pada lapisan bawah (Lihat
Kusdi, Ibid).

Strategi organisasi menurut Kusdi adalah penetapan berbagai tujuan dan sasaran
jangka panjang yang bersifat mendasar bagi sebuah organisasi, yang dilanjutkan
dengan penetapan rencana aktivitas dan pengalokasian sumber daya yang
diperlukan guna mencapai berbagai sasaran tersebut. Strategi memuat tujuan dan
24

sasaran yaitu hasil akhir yang diinginkan. Strategi juga memuat cara mencapainya,
yaitu upaya yang menyeluruh dan terintegrasi untuk mengoperasional tujuan dan
sasaran melalui penetapan kebijakan, program, kegiatan, dan alokasi sumberdaya.

Hubungan antara strategi dan tujuan organisasi sangatlah erat. Dari sisi
perumusannya, terkadang organisasi menetapkan tujuan terlebih dahulu,
kemudian menyusun strategi yang diperlukan untuk mencapainya. Tetapi juga bisa
terjadi sebaliknya yakni organisasi terlebih dahulu mengembangkan suatu rencana
strategis yang sistematis dan terperinci, di mana kemudian tujuan-tujuan
organisasi disusun sebagai bagian dari perencanaan tersebut.

Menurut Robbin (lihat Kusdi, Ibid), tujuan-tujuan organisasi (goals) mengacu pada
tujuan-tujuan akhir organisasi (ends), sementara strategi mengacu kepada tujuan-
tujuan akhir organisasi (ends) dan cara-cara mencapainya ( means). Oleh karena
itu, Robbin berpendapat bahwa tujuan-tujuan organisasi merupakan bagian dari
strategi. Dari segi penekanannya, tujuan-tujuan organisasi lebih mengacu ke
dalam (internal), yaitu apa-apa yang ingin dicapai berdasarkan kapabilitas dan
sumber daya yang tersedia dalam organisasi, sementara strategi lebih
menekankan keluar (eksternal), yaitu bagaimana mencocokkan kapabilitas dan
sumber daya internal (kelemahan dan kekuatan organisasi) dengan “peluang dan
ancaman” lingkungan sedemikian rupa agar tujuan-tujuan tersebut dapat dicapai.

C. Strategi apakah yang dapat diterapkan untuk soal nomor 4 butir b di atas
(tentang pendukung besaran imperative)

Dalam setiap badan usaha maupun organisasi, pastilah banyak kendala maupun
faktor-faktor yang mempengaruhi badan usaha maupun organisasi tersebut. Di
sini terdapat beberapa faktor-faktor yang dapat mempengaruhi organisasi
tersebut, di antaranya:

Strategi Organisasi.
25

Strategi organisasi adalah salah satu sarana yang digunakan manajemen untuk
mencapai sasaran maupun tujuannya. Karena sasaran diturunkan dari strategi
organisasi secara keseluruhan, logis kalau strategi dan struktur harus terkait erat.
Tepatnya, struktur harus mengikuti strategi. Jika manajemen melakukan
perubahan yang signifikan dalam strategi organisasinya, struktur pun perlu
dimodifikasi untuk menampung dan mendukung perubahannya. Sebagian besar
kerangka strategi dewasa ini terfokus pada tiga dimensi, yaitu strategi inovasi,
strategi minimalisasi biaya, dan strategi imitasi. Strategi inovasi adalah strategi
yang menekankan diperkenalkannya suatu produk dan jasa baru yang menjadi
andalan. Sedangkan strategi minimalisasi biaya adalah strategi yang menekankan
pada pengendalian biaya secara ketat, menghindari pengeluaran untuk inovasi dan
pemasaran yang tidak dibutuhkan, dan pemotongan harga. Dan strategi imitasi
adalah strategi yang mencoba masuk ke produk-produk atau pasar-pasar baru,
hanya setelah viabilitas terbukti.

Skala organisasi

Terdapat banyak bukti yang mendukung ide, bahwa ukuran sebuah organisasi
secara signifikan mempengaruhi strukturnya. Jumlah anggota dalam suatu
organisasi pasti menjadi faktor yang berpengaruh. Sebagai contoh, Memimpin 10
orang pasti berbeda dengan memimpin 100 orang. Dan organisasi-organisasi
besar, yang mempekerjakan 2.000 orang atau lebih, cenderung memiliki banyak
spesialisasi, departementalisasi, tingkatan vertikal, serta aturan dan ketentuan
daripada organisasi kecil. Tetapi, hubungan itu tidak bersifat linier. Ukuran
mempengaruhi struktur dengan kadar yang semakin menurun. Dampak ukuran
menjadi kurang penting saat organisasi meluas.

Teknologi

Dengan adanya teknologi, tingkat efektivitas dan efesiensi suatu organisasi pasti
berbeda. Istilah teknologi mengacu pada cara sebuah organisasi mengubah input
menjadi output. Setiap organisasi paling tidak memiliki satu teknologi untuk
26

mengubah sumber daya finansial, SDM, dan sumber daya fisiknya. Contohnya,
dengan adanya web cam, suatu organisasi dapat mengadakan net meeting meski
jarak memisahkan peserta rapat organisasi tersebut.

Lingkungan

Struktur organisasi dipengaruhi oleh lingkungannya karena lingkungan selalu


berubah. Lingkungan merupakan faktor eksternal yang sangat berpengaruh
karena daya saing dari pihak luar pasti akan mendorong semangat suatu
organisasi untuk bisa lebih maju. Beberapa organisasi menghadapi lingkungan
yang relatif statis. Yaitu tak banyak kekuatan di lingkungan mereka yang berubah.
Misalnya, tidak muncul pesaing baru, tidak ada terobosan teknologi baru oleh
pesaing saat ini, atau tidak banyak aktivitas dari kelompok-kelompok tekanan
publik yang mungkin dapat mempengaruhi organisasi. Adapun organisasi-
organisasi lain menghadapi lingkungannya yang sangat dinamis, yaitu peraturan
pemerintah cepat berubah dan mempengaruhi bisnis mereka, adanya pesaing
baru, dan kesulitan dalam mendapatkan bahan baku, preferensi pelanggan yang
terus berubah terhadap produk, dan semacamnya. Secara signifikan, lingkungan
yang statis memberi lebih sedikit ketidakpastian bagi para manajer dibanding
lingkungan yang dinamis. Karena ketidakpastian adalah sebuah ancaman bagi
keefektifan sebuah organisasi, manajemen akan menocba meminimalkan dampak
tersebut.

D. Bagaimana analisis saudara terhadap soal nomor 4 A butir c di atas (tentang


kritik terhadap size imperative)?

Mayhew dkk mengkritik penelitian Blau mengenai hubungan antara besaran dan
kompleksitas. Menurut mereka, hubungan antara besaran dan kompleksitas
merupakan kepastian matematik jika probabilitas yang setara ditetapkan terhadap
semua kemungkinan kombinasi struktural. Chris Agyris yang menganalisa data
Blau juga mempertanyakan ukuran-ukurannya dan menyatakan bahwa organisasi
pemerintaha adalah khas. Ia mencatat bahwa organisasi pemerintah mempunyai
27

keterbatasan anggaran, batasan geografis yang jelas, jumlah staf yang pada
dasarnya ditetapkan sebelumnya dan dipengaruhi oleh aturan. Ia juga mengakui
peran kebebasan manager, para manager yang bekerja di kantor pemerintah
mengikuti teori managemen tradisional tentang spesialisasi tugas, komando,
rentang kendali dan sebagainya.

Kajian independen lainnya memperlihatkan bahwa besaran tidak mempunyai


dampak atau hanya berdampak minimal terhadap struktur. Ada bukti bahwa
besaran mempengaruhi struktur hanya pada organisasi yang mempunyai manajer
profesional namun bukan di antara organisasi yang dikontrol langsung oleh
pemilik.

Sedangkan Aldrich mengkritik hasil penelitian Aston. Menurutnya besaran adalah


hasil, bukan penyebab: teknologi menentukan struktur yang pada gilirannya akan
menentukan besaran. Penggunaan teknologi informasi misalnya, dapat
mempengaruhi atau akan mengubah besaran organisasi. Penggunaan komputer
secara luas oleh staf managemen yang dapat berhubungan dengan pusat-pusat
basis data besar yang disentralisasi dan yang dihubungkan satu sama lain sebagai
bagian dari jaringan kerja komputer yang lebih besar tentu akan berdampak
terhadap struktur atau besaran organisasi (lihat Syamsir Torang, Op.Cit, hal. 94).

5. Jelaskan!

a. Bagaimana analisis saudara tentang birokrasi yang dikemukakan oleh Max


Weber?

Harus diakui konsepsi Max Weber tentang birokrasi sebagai organisasi legal-
rasional untuk mewadahi semakin luas dan kompleksnya tugas-tugas administratif-
pemerintahan telah menjadi model ideal bagi banyak organisasi publik dan
organisasi pemerintahan di berbagai negara di dunia sejak gagasan tersebut
dikumandangkan diawal abad ke-20.
28

Gagasan Weber tentang birokrasi sebagai model ideal tersebut awalnya diilhami
oleh mekanisasi industri di Barat yang berhasil mengubah proses produksi yang
kompleks menjadi sebuah proses yang sederhana, rutin, dapat dikendalikan dan
dapat diperkirakan (predictable). Proses mekanisasi tersebut mampu menghasilkan
produk yang standar secara efisien. Keberhasilan mekanisasi itu kemudian
mendorong Weber untuk menerapkan pada proses administrasi. Hal itu dilakukan
dengan mengembangkan satu model organisasi yang bekerja menyerupai sebuah
mesin (Agus Dwiyanto, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi
Birokrasi, Jakarta, Gramedia, 2011, hal. 23). Birokrasi dengan demikian
merupakan organisasi dengan sebuah hirarkhi penggajian, pejabat tetap/penuh
waktu yang menyusun rantai komando (Weber seperti dikutip dalam Muhammad,
Birokrasi: Kajian Konsep, Teori Menuju Good Governance , Lhokseumawe, 2018,
hal. 16).

Fungsi birokrasi untuk menangani tugas-tugas yang besar dan kompleks tersebut
membuat Peter M. Blau dan Marshall W. Mayer mendefinisikan birokrasi sebagai
tipe dari suatu organisasi yang dimaksudkan untuk mencapai tugas-tugas
administratif yang besar dengan cara mengkoordinasikan secara sistematis
(teratur) pekerjaan dari banyak orang (lihat Muhammad, Ibid, hal. 11-12).

Birokrasi sebagai organisasi ideal menurut Weber memiliki karakteristik sebagai


berikut (lihat Peter M. Blau dan Marshall W. Mayer, Birokrasi dalam Masyarakat
Modern, Jakarta, Prestasi Pustakaraya, 2000, hal. 21-26):

1. Berbagai aktivitas reguler diperlukan untuk pencapaian tujuan-tujuan organisasi


yang didistribusikan dengan suatu cara yang baku sebagai kewajiban-kewajiban
resmi.
2. Organisasi kantor-kantor mengikuti prinsip hirarkhi, yaitu setiap kantor yang
lebih rendah dibawah kontrol dan pengawasan kantor yang lebih tinggi. Setiap
pejabat dalam hirarkhi administratif ini bertanggungjawab terhadap atasan
29

masing-masing atas keputusan-keputusan bawahannya dan juga atas tindakan-


tindakannya sendiri.
3. Operasi-operasi birokratis diselenggarakan melalui suatu sistem kaidah-kaidah
abstrak yang konsisten dan terdiri atas penerapan kaidah-kaidah ini terhadap
kasus-kasus spesifik. Sistem ini dirancang untuk mempertahan uniformitas yang
terdapat dalam kinerja setiap tugas tanpa memandang jumlah personalia yang
terlibat di dalamnya dan koordinasi dari tugas-tugas yang berlainan.
4. Pejabat yang ideal menjalankan kantornya berdasarkan impersonalitas
formalistik, tanpa kebencian atau kegairahan, dan karenanya tanpa antusiasme
atau afeksi. Untuk itu, perlu dibuat standar-standar rasional yang mengatur
operasi-operasi tanpa campur tangan dari pertimbangan-pertimbangan
personal.
5. Perekrutan dalam organisasi birokrasi didasarkan pada kualifikasi-kualifikasi
teknis dan yang terhindar dari tindakan pemecatan yang sewenang-wenang.
6. Pengalaman secara universal cenderung memperlihatkan bahwa tipe organisasi
adminitrasi yang murni birokratis, dari sudut pandang teknis murni, mampu
mencapai tingkat efisiensi yang paling tinggi.

Bagi Weber, jika keenam karakteristik di atas diterapkan dalam kehidupan sebuah
birokrasi, maka birokrasi tersebut dapat dikatakan bercorak legal-rasional.
Selanjutnya Weber menyoal kedudukan staf di sebuah organisasi legal rasional
sebagai berikut:

1. Para anggota staf bersifat bebas secara pribadi, dalam arti hanya menjalankan
tugas-tugas impersonal sesuai dengan jabatan mereka.
2. Terdapat hirarkhi jabatan yang jelas.
3. Fungsi-fungsi jabatan ditentukan secara tegas.
4. Para pejabat diangkat berdasarkan kontrak.
5. Para pejabat dipilih berdasarkan kualifikasi profesional, idealnya didasarkan
pada suatu diploma (ijazah) yang diperoleh melalui ujian.
30

6. Para pejabat memiliki gaji dan biasanya juga dilengkapi dengan hak-hak
pensiun.
7. Pos jabatan adalah lapangan kerja pokok bagi para pejabat.
8. Suatu struktur karir dan promosi dimungkinkan atas dasar senioritas dan
keahlian (merrit system) serta menurut pertimbangan keunggulan (superior).
9. Pejabat tunduk pada sistem disiplin dan kontrol yang seragam.

Birokrasi dikatakan bersifat legal-rasional sebab tunduk pada aturan-aturan tertulis


dan dapat disimak oleh siapapun (legal), dan dapat dipahami, dipelajari dan jelas
penjelasan sebab-akibatnya (rasional).

b. Relevankah birokrasi menurut Max Weber pada masa sekarang?

Semenjak konsepsi Weber tentang birokrasi sebagai organisasi ideal diterapkan di


berbagai negara, sesungguhnya Weber berharap birokrasi yang mekanis menjadi
organisasi yang mampu meningkatkan efisiensi dan rasionalitas kegiatan
pemerintahan. Weber juga ingin mewujudkan cita-citanya untuk membangun
birokrasi yang netral dan mampu memberikan pelayanan kepada masyarakat
secara adil.

Namun dalam perkembangannya, harus diakui birokrasi sebagai organisasi ideal


sangat sulit diwujudkan dalam praktek. Selalu ada jarak antara idealitas dan
realitas. Salah satu kelemahan dan keterbatasan organisasi birokrasi yang digagas
Weber adalah kecenderungan pengabaian terhadap nilai-nilai kemanusiaan dari
organisasi birokrasi. Hal ini sangat kentara dalam konsepsinya tentang sifat
impersonal dan hubungan-hubungan formal dalam organisasi birokrasi. Dalam
kata-kata Agus Dwiyanto, kedudukan warga dalam birokrasi tidak diperlakukan
sebagai manusia dengan segala aspek kehidupannya, tetapi hanya dianggap
sebagai “kasus”. Maksudnya, agar pejabat birokrasi bersikap adil pada semua
orang yang datang kepada birokrasi untuk memperoleh pelayanan harus dianggap
sebagai kasus (Agus Dwiyanto, Op.Cit, hal. 26-27).
31

Hal lain yang juga membuat konsepsi Weber kurang relevan dengan
perkembangan zaman adalah kecenderungan birokrasi untuk mengandaikan
manusia sebagai sekrup dari sebuah mesin besar bernama birokrasi. Cara pandang
mekanisntik seperti itu terbukti menghukum potensi manusia secara utuh sebagai
makhluk yang memiliki akal sehat, tetapi juga hati nurani. Atas nama regulasi,
standar, prosedur, petunjuk pelaksanaan, dan petunjuk teknis, manusia dengan
segala kebutuhan dan aspirasinya mudah disubordinasikan.

Hal lain yang juga tak kalah kritisnya adalah kelambanan dan prosedur yang
berbelit-belit dalam organisasi birokrasi. Saat ini, terutama di era revolusi 4.0,
manusia dan organisasi-organisasi (privat dann publik) semakin lincah bergerak
dan mampu melayani kebutuhan manusia secara lebih cepat. Hal ini kontras sekali
dengan pakem atau norma hirarkhi kekuasaan dan prosedur kerja yang cenderung
membuat pengambilan keputusan birokrasi lambat dan pelayanan kepada
masyarakat menjadi lama dan berbelit-belit. Yeremias T. Keban (lihat Keban,
Op.Cit, hal. 244) mengamini fenomena patologi dalam birokrasi ala Weber
tersebut dengan menyatakan bahwa organisasi birokrasi yang ideal tersebut,
ternyata dalam perkembangannya bisa berubah sifatnya menjadi sangat kaku,
bertele-tele, dan penuh red-tape (Weber fallacy).

Berbaga koreksi dan pembaharuan terhadap birokrasi ala Weber tersebut juga
dilakukan dalam paradigma New Public Managemen (NPM) seperti munculnya
tujuh doktrin (Osborn dan Mclaughlin, 2002), delapan doktrin (Martin, 2002),
sembilan doktrin (Kasaments, 2000), dan sepuluh doktrin yang disampaikan dalam
Reinventing Government (Gaebler dan Osborne, 1992), dan lain sebagainya (Lihat
Keban, Ibid, hal. 245).

Sebagai salah satu bentuk koreksi dan pembaharuan tersebut, David Osborne dan
Ted Gaebler merekomendasikan sepuluh doktrin bagi kepentingan reinventing
government atau pembaharuan pemerintahan (lihat David Osborne dan Ted
32

Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing Government), Jakarta, PPM,


2000) yakni:

1. Pemerintahan katalis: mengarahkan ketimbang mengayuh;


2. Pemerintahan milik masyarakat: memberi wewenang ketimbang melayani;
3. Pemerintahan yang kompetitif: menyuntikan persaingan ke dalam pemeberian
pelayan;
4. Pemerintahan yang digerakkan oleh misi: mengubah organisasi yang digerakkan
oleh peraturan;
5. Pemerintahan yang berorientasi hasil: membiayai hasil, bukan masukan;
6. Pemerintahan berorientasi pelanggan: memenuhi kebutuhan pekanggan, bukan
birokrasi;
7. Pemerintahan wirausaha: menghasilkan ketimbang membelanjakan;
8. Pemerintahan antisipatif: mencegah daripada mengobati;
9. Pemerintahan desentralisasi;
10. Pemerintahan Berorientasi pasar: mendongkrak perubahan melalui pasar.

Kesepuluh doktrin dari Osborne dan Gaebler tersebut hampir sebagian besar
merupakan koreksi atau antitesa terhadap konsepsi Weber tentang birokrasi
sebagai organisasi ideal. Sebagai misal, tugas pemerintah itu adalah
mengarahkan, bukan mengayuh perahu. Memberikan pelayanan adalah
mengayuh, dan pemerintah tidaklah pandai mengayuh (E.S. Savas dalam Osborne
dan Gaebler, Ibid, hal. 29). Hal ini berbeda dengan konsepsi Weber di mana
pemerintah begitu dominan memberikan pelayanan, padahal pemerintah terbukti
tidak selamanya pandai mengayuh. Karena itu, pelayanan kepada masyarakat
tidak boleh dimonopoli semua oleh pemerintah. Selain itu, dalam reinventing
government pemerintah semakin dianjurkan untuk memberi wewenang kepada
masyarakat untuk memenuhi kebutuhannya, ketimbang melayani masyarakat
semata yang cenderung berkonsekuensi mematikan prakarsa masyarakat. Dan lain
sebagainya sebagaimana termaktub dalam 8 doktrin lainnya (dari 10 doktrin) yang
dikonsepsikan Osborne dan Gaebler di atas.
33

Selain New Public Management (NPM), kritik juga disampaikan melalui paradigma
New Public Service (NPS). King dan Stivers dalam buku Government With Us,
mendesak agar para administrator melibatkan warga masyarakat. Mereka harus
melihat rakyat sebagai warga masyarakat (bukan sebagai pelanggan) sehingga
dapat saling membagi otoritas dan melonggarkan kendali, serta percaya terhadap
keefektifan kolaborasi (King dan Stiver dalam Keban, Op.Cit, hal. 247).

c. Bagaimana konsekuensi penyelenggaraan birokrasi menurut Max Weber.


Saudara diminta untuk menganalisis kondisi riil sekarang ini!

Organisasi birokrasi menurut Weber merupakan sebuah mesin raksasa dari suatu
negara yang di dalamnya berisi orang-orang atau pejabat-pejabat yang diberi gaji
dan dipekerjakan oleh negara untuk memberikan suatu nasihat dan melaksanakan
kebijakan-kebijakan negara. Masing-masing pejabat mempunyai wewenang dan
kekuasaan dalam menjalankan tugasnya sebagai pemimpin yang melayani
masyarakat umum.

Di Indonesia, penerapan sistem birokrasi ala Weber seyogyanya ditopang oleh


para pejabat yang kapabel, berkarakter dan memiliki integritas. Namun fakta
berbicara lain. Banyak sekali pejabat birokrasi yang selalu menghalalkan segala
cara untuk memenuhi kepentingan subyektifnya. Max Weber menyebut perbuatan
menyimpang tersebut sebagai patologi birokrasi.

Weber juga menyatakan bahwa birokrasi sebagai tipe ideal harus didasarkan pada
peraturan yang rasional dan semaksimal mungkin menghindari paternalisme.
Karena itu, hasil kerja birokrasi harus dapat diandalkan, terukur, efisien, dan dapat
diprediksikan. Penerapan birokrasi rasional ini tidak terlepas dari tuntutan
demokratisasi yang mensyaratkan penegakkan hukum dan legalisme formal dalam
pelaksanaan tugas-tugas institusionalnya. Model pendekatan rasional dan
legalisme formal birokrasi ala Weber ini kemudian menimbulkan beberapa
konsekuensi. Pertama, karena terlalu tunduk kepada aturan, birokrasi kemudian
tidak lincah, kurang inovatif, dan kurang adaptif menghadapi perubahan dan
34

perkembangan kontemporer. Kedua, peraturan yang dirancang sebagai alat untuk


mencapai tujuan, terkadang menjadi tujuan itu sendiri. Ketiga, kekakuan
mengikuti aturan seringkali menimbulkan konflik dengan masyarakat. Keempat,
aturan birokrasi yang rasional biasanya kurang sensitif terhadap nilai-nilai
kemanusiaan. Kelima, penerapan hirakhi secara berlebihan dalam birokrasi
ditengarai telah menimbulkan penyakit, yaitu berkembangnya perilaku birokrasi
paternalistik (lihat Agus Dwiyanto, Op.Cit, hal. 4). Hal ini akan menciptakan
ketergantungan bawahan kepada atasan secara berlebihan, Implikasi selanjutnya
adalah bawahan kemudian akan berusaha selalu menarik simpati atasan dengan
perilaku “asal bapak senang” (ABS).

Selain itu, beberapa konsekuensi dari penerapan birokrasi Weberian yang ketat
terbukti menghambat pelayanan kepada masyarakat. Hal ini kemudian coba
dikoreksi melalui kebijakan untuk melakukan debirokratisasi, deregulasi, dan
privatisasi. Pemerintah Indonesia pun sejak beberapa dasawarsa lalu, telah
menggelorakan dan melaksanakan kebijakan terkait ketiga isu tersebut di atas.
Dengan melakukan debirokratisasi, deregulasi dan privatisasi, maka pemerintah
Indonesia akan semakin memperbaiki kinerja birokrasinya untuk melayani
kepentingan publik atau kepentingan seluruh warga negara efisien, efektif, dan
manusiawi.

Isu tentang debirokratisasi dilakukan terutama dengan cara menyederhanakan


struktur birokrasi dan prosedur. Misalnya merampingkan struktur birokrasi
sejumlah kementerian dan lembaga non-kementerian di tingkat Pusat. Begitu pula
di tingkat Daerah, hal yang sama pun dilakukan. Masyarakat pun menuntut
adanya penyederhanaan prosedur pelayanan publik yang selama ini menghambat
terwujudnya pelayanan yang murah dan mudah diakses oleh warga. Selain itu,
masyarakat juga menuntut pemerintah agar memangkas jalur birokrasi yang
dinilai terlalui panjang dan berbelit-belit.
35

Kemudian isu tentang deregulasi juga merupakan persoalan yang dipandang


penting untuk memudahkan pelayanan kepada masyarakat dan menumbuhkan
iklim yang kondusif untuk pembangunan dalam artian yang luas. Sebab paling
sering ditemui regulasi-regulasi yang menghambat masyarakat, termasuk
menghambat investasi dan kegiatan ekonomi dan sosial budaya lainnya. Belum
lagi terdapatnya tumpang tindih aturan yang membingungkan dan menghambat
pelayanan kepada masyarakat dan dunia usaha.

Sedangkan isu privatisasi ditujukan untuk mendorong pemerintah agar tidak


memonopoli berbagai urusan dalam masyarakat. Pihak swasta yang lincah, efisien
dan kreatif dalam menyediakan layanan kepada masyarakat perlu diikutsertakan
sehingga kelak pemerintah lebih fokus untuk melaksanakan tugas-tugas
normatifnya saja (minimal state.

Daftar Pustaka:

Ade Heryana, Organisasi dan Teori Organisasi, Jakarta, 2020

Agus Dwiyanto, Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi ,


Jakarta, Gramedia, 2011

Agus Joko Purwanto, Teori Organisasi, Jakarta, UT, 2014,

David Osborne dan Ted Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi (Reinventing


Government), Jakarta, PPM, 2000
Kusdi, Teori Organisasi dan Administrasi, Jakarta, Salemba Humanika, 2013

Miftah Thoha, Perspektif Perilaku Birokrasi, Jakarta, PT RadjaGrafindo Persada,


2002

Mohamad Masun, Pengukuran Kinerja Sektor Publik, Yogyakarta, BPFE, 2006

Muhammad, Birokrasi: Kajian Konsep, Teori Menuju Good Governance ,


Lhokseumawe, 2018

Peter M. Blau dan Marshall W. Mayer, Birokrasi dalam Masyarakat Modern,


Jakarta, Prestasi Pustakaraya, 2000

Richard M. Steers, Efektivitas Organisasi, Jakarta, PPM, 1986.


36

Stephen P. Robbins, Teori Organisasi, Struktur, Desain, dan Aplikasi , (Jakarta:


Arcan, 1994)

Sondang P. Siagian, Organisasi, Kepemimpinan dan Perilaku Administrasi, Jakarta,


CV Haji Masagung, 1982

Syamsir Torang, Organisasi dan Managemen, Bandung, Alfabeta, 2013

Yeremias T. Keban, Enam Dimensi Administrasi Publik: Konsep, Teori dan Isu ,
Yogyakarta, Gava Media, 2008.
37

TUGAS MATA KULIAH

TEORI ORGANISASI

OLEH:

EDWIN ALDRIAN HUWAE, SH

PROGRAM PASCASARJANA ADMINISTRASI PUBLIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS PATTIMURA AMBON

Anda mungkin juga menyukai