Anda di halaman 1dari 37

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GERONTIK DENGAN DEMENSIA

Diyah Sulistyaningsih
202303016

PROGRAM STUDI NERS


ITEKES CENDEKIA UTAMA KUDUS
2023
HALAMAN PENGESAHAN

LAPORAN PENDAHULUAN KEPERAWATAN DENGAN JUDUL :

KEPERAWATAN GERONTIK DENGAN DEMENSIA

TELAH MENDAPATKAN PERSETUJUAN DARI PEMBIMBING AKADEMIK DAN


LAHAN

Telah disetujui pada :


Hari :
Tanggal :

DISUSUN OLEH
Diyah Sulistyaningsih
202303016

Pembimbing akademik

( Nila Putri Purwandari, S.Kep.Ns. M.Kep )


NIDN 0621059101

2
KONSEP GERONTIK

A. PENGERTIAN

Gerontik atau lansia adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan
manusia. Menjadi tua merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui
tiga tahap kehidupannya yaitu, anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik
secara biologis maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami
kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit yang mengendur,
rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas, penglihatan semakin
memburuk, gerakan lambat dan figur tubuh yang tidak proporsional (Nugroho, 2008).
WHO dan UU no 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lanjut usia pada Bab 1
Pasal 1 Ayat 2 menyebutkan bahwa umur 60 tahun adalah usia permulaan tua. Menua
bukanlah suatu penyakit, tetapi merupakan proses yang berangsur-angsur
mengakibatkan perubahan yang kumulatif, merupakan proses menurunnya daya tahan
tubuh dalam menghadapi rangsangan dari dalam dan luar tubuh yang berakhir dengan
kematian (Nugroho, 2008).
Dalam buku ajar Geriatri, Prof. Dr .R. Boedhi Darmojo dan Dr. H. Hadi Martono
(1994) mengatakan bahwa "menua" (mejadi tua) adalah suatu proses menghilangnya
secara perlahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/mengganti diri dan
mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan dan
memperbaiki kerusakan yang di deritannya.

B. BATASAN-BATASAN LANJUT USIA.


Ada beberapa sumber batasan lansia yang ada dalam buku Padilla (2013)
diantaranya yaitu:
a. Batasan umur lansia menurut organisasi kesehatan dunia (WHO) lanjut usia
meliputi:
1) Usia pertengahan (middle age), ialah kelompok usia 45 sampai 59 tahun
2) Lanjut usia (elderly) = antara 60 sampai 74 tahun
3) Lanjut usia tua (old) = antara 75 sampai 90 tahun

3
4) Sangat tua (very old) = diatas 90 tahun
b. Menurut Setyonegoro, batasan lansia adalah sebagai berikut :
1) Usia dewasa muda (elderly adulthood) usia 18/20-25 tahun
2) Usia dewasa penuh (medlle years) atau maturitas usia 25-60/65 tahun
3) Lanjut usia (geriatric age) usia > 65/70 tahun, terbagi atas :
a) Young old (usia 70-75)
b) Old (usia 75-80)
c) Very old (usia >80 tahun)
c. Menurut Bee (1996) bahwa tahapan masa dewasa adalah sebagai berikut :
1) Masa dewasa muda (usia 18-25 tahun)
2) Masa dewasa awal (usia 26-40 tahun)
3) Masa dewasa tengah (usia 41-65 tahun)
4) Masa dewasa lanjut (usia 66-75 tahun)
5) Masa dewasa sangat lanjut (usia > 75 tahun)
d. Menurut Burnsie (1979) sebagai berikut :
1) Youg Old (usia 60-70 tahun)
2) Middle age old (usia 70-79 tahun)
3) Old-old (usia 80-89 tahun)
4) Very old-old (usia > 90 tahun)

C. TIPE LANJUT USIA DI INDONESIA


Menurut Nugroho (2008) di kelompokkan dalam beberapa tipe yang
bergantung pada karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental,
sosial, dan ekonominnya. Antara lain :
a. Tipe Optimis
Lanjut usia santai dan periang, penyesuaian cukup baik, mereka memandang
masa lanjut usia dalam bentuk bebas dari tanggung jawab dan sebagai kesempatan
untuk menuruti kebutuhan pasifnya.
b. Tipe Konstruktif
Lanjut usia ini mempunyai integritas baik, dapat menikmati hidup, mumpunyai
toleransi yang tinggi, humoristik, fleksibel, dan tahu diri. Mereka dengan tenang
menghadapi proses menua dan mengadapi akhir.
c. Tipe Ketergantungan

4
Masih dapat diterima ditengah masyarakat, tetapi selalu pasif, tidak mempunyai

5
inisiatif dan bila bertindak selalu yang praktis.
d. Tipe Defensif
Mempunyai riwayat pekerjaan yang tidak stabil, bersifat selalu menolak bantuan,
emosi sering tidak terkontrol.
e. Tipe Militan dan Serius
Tidak mudah menyerah, serius, senang berjuang, dan bisa menjadi panutan.
Tipe Pemarah Frustasi
Pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, selalu menyalahkan orang lain,
menunjukkan penyesuaian yang buruk, dan sering mengekspresikan kepahitan
hidupnya.
f. Tipe Bermusuhan
Selalu menganggap orang lain yang menyebabkan kegagalan, selalu mengeluh,
bersikap agresif, dan curiga.
g. Tipe putus asa, membenci dan menyalahkan diri sendiri
Bersifat kritis dan menyalahkan diri sendiri, tidak mempunyai ambisi, mengalami
penurunan sosio-ekonomi, tidak dapat menyesuaikan diri. Selain mengalami
kemarahan, tetapi juga depresi, memandang lanjut usia sebagai berguna karena masa
yang tidak menarik, membenci diri sendiri, dan ingin cepat mati.
Penggolongan Lanjut Usia berdasarkan Kelompok Menurut Nugroho (2008) meliputi :
a. Lanjut usia mandiri sepenuhnya
b. Lanjut usia mandiri dengan bantuan langsung keluargannya
c. Lanjut usia mandiri dengan bantuan tidak langsung
d. Lanjut usia dibantu oleh badan sosial
e. Lanjut usia panti asuhan tresna werdha
f. Lanjut usia yang dirawat di rumah sakit
g. Lanjut usia yang mengalami gangguan mental

Perubahan Akibat Proses Menua Menurut Nugroho (2008) meliputi :


a. Sel
1) Jumlah sel menurun/lebih sedikit
2) Ukuran sel lebih besar

6
3) Jumlah cairan tubuh dan cairan intraselular berkurang
Proporsi protein di otak, otot, ginjal, darah, dan hati menurun
4) Jumlah sel otak menurun
5) Mekanisme perbaikan sel terganggu
6) Otak menjadi atrofi, beratnya berkurang 5-10%
7) Lekukan otak akan menjadi lebih dangkal dan melebar
b. Sistem Persyarafan
1) Menurun hubungan persarafan
2) Berat otak menurun 10-20% (sel saraf otak setiap orang berkurang setiap harinya
3) Respons dan waktu untuk bereaksi lambat, khusunya terhadap stress
4) Saraf panca indera mengecil
5) Penglihatan, pendengaran menghilang, saraf penciuman dan perasa mengecil
6) Kurang sensitif terhadap sentuhan
7) Defisit memori
c. Sistem Pendengaran
1) Membran timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis
2) Tinitus (bising yang bersifat mendengung, bisa bernada tinggi atau rendah,
bisa terus menerus atau intermiten)
3) Vertigo (perasaan tidak stabil yang terasa seperti bergoyang atau berputar)
d. Sistem Penglihatan
1) Sfingter pupil timbul sklerosis dan respons terhadap sinar menghilang
2) Kornea lebih berbentuk sferis (bola)
3) Lensa lebih suram (kekeruhan pada lensa), menjadi katarak, jelas
menyebabkan gangguan penglihatan
e. Sistem Kardiovaskular
1) Katup jantung menebal dan menjadi kaku
2) Elastisitas dinding aorta menurun
3) Curah jantung menurun
Tekanan darah meninggi akibat resistensi pembuluh darah perifer meningkat
Sistole normal ± 170 mmHg, diastole ± 90 mmHg

7
Masalah yang bisa muncul pada lansia Menurut Nugroho (2008) meliputi :
b. Depresi mental
c. Gangguan pendengaran
d. Bronkitis kronis
e. Gangguan pada tungkai/sikap berjalan
f. Gangguan pada koksa/sendi panggul
g. Anemia
h. Demensia
i. Gangguan penglihatan
j. Ansietas/kecemasan
k. Dekompensasi kordis
l. Diabetes mellitus, osteo malasia, dan hipotiroidisme
m. Gangguan defekasi

DIMENSIA

A. Pengertian

Demensia merupakan sindrom yang ditandai oleh berbagai gangguan


fungsi kognitif tanpa gangguan kesadaran. Gangguan fungsi kognitif antara lain
pada intelegensi, belajar dan daya ingat, bahasa, pemecahan masalah, orientasi,
persepsi, perhatian dan konsentrasi, penyesuaian, dan kemampuan bersosialisasi.
(Arif Mansjoer, 1999)
Demensia adalah gangguan fungsi intelektual tanpa gangguan fungsi
vegetatif atau keadaan yang terjadi. Memori, pengetahuan umum, pikiran abstrak,
penilaian, dan interpretasi atas komunikasi tertulis dan lisan dapat terganggu.
(Elizabeth J. Corwin, 2009)
Demensia adalah penurunan fungsi intelektual yang menyebabkan
hilangnya independensi sosial. (William F. Ganong, 2010)
Menurut Grayson (2004) menyebutkan bahwa demensia bukanlah sekedar
penyakit biasa, melainkan kumpulan gejala yang disebabkan beberapa penyakit
atau kondisi tertentu sehingga terjadi perubahan kepribadian dan tingkah laku.

8
Demensia adalah sindroma klinis yang meliputi hilangnya fungsi intelektual dan
memori yang sedemikian berat sehingga menyebabkan disfungsi hidup sehari -
hari. Demensia merupakan keadaan ketika seseorang mengalami penurunan
daya ingat dan daya pikir lain yang secara nyata mengganggu aktivitas kehidupan
sehari hari (Nugroho, 2008).
Demensia dapat diartikan sebagai gangguan kognitif dan memori yang
dapat mempengaruhi aktifitas sehari-hari. Penderita Demensia seringkali
menunjukkan beberapa gangguan dan perubahan pada tingkah laku harian
(behavior symptom) yang menganggu (disruptive) ataupun tidak menganggu
(non-disruptif) (Voicer. L., Hurley, A.C., Mahoney, E.1998).
Jadi, Demensia adalah penurunan kemampuan mental yang biasanya
berkembang secara perlahan, dimana terjadi gangguan ingatan, fikiran, penilaian
dan kemampuan untuk memusatkan perhatian, dan bisa terjadi kemunduran
kepribadian. Penyakit yang dapat dialami oleh semua orang dari berbagai latar
belakang pendidikan maupun kebudayaan. Walaupun tidak terdapat perawatan
khusus untuk demensia, namun perawatan untuk menangani gejala boleh
dilakukan.

B. Etiologi
Penyebab utama dari penyakit demensia adalah penyakit alzheimer, yang
penyebabnya sendiri belum diketahui secara pasti, namun diduga penyakit
Alzheimer disebabkan karena adanya kelainan faktor genetik atau adanya kelainan
gen tertentu. Pada penyakit alzheimer, beberapa bagian otak mengalami
kemunduran, sehingga terjadi kerusakan sel dan berkurangnya respon terhadap
bahan kimia yang menyalurkan sinyal di dalam otak. Di dalam otak ditemukan
jaringan abnormal (disebut plak senilis dan serabut saraf yang semrawut) dan
protein abnormal, yang bisa terlihat pada otopsi.
Penyebab kedua dari Demensia yaitu, serangan stroke yang berturut-turut.
Stroke tunggal yang ukurannya kecil dan menyebabkan kelemahan yang ringan
atau kelemahan yang timbul secara perlahan. Stroke kecil ini secara bertahap
menyebabkan kerusakan jaringan otak, daerah otak yang mengalami kerusakan
akibat tersumbatnya aliran darah yang disebut dengan infark. Demensia yang
disebabkan oleh stroke kecil disebut demensia multi-infark. Sebagian
penderitanya memiliki tekanan darah tinggi atau kencing manis, yang keduanya

9
menyebabkan kerusakan pembuluh darah di otak.

Penyebab demensia menurut Nugroho (2008) dapat digolongkan menjadi 3


golongan besar :
a. Sindroma demensia dengan penyakit yang etiologi dasarnya tidak dikenal
kelainan yaitu : terdapat pada tingkat subseluler atau secara biokimiawi pada
sistem enzim, atau pada metabolisme
b. Sindroma demensia dengan etiologi yang dikenal tetapi belum dapat diobati,
penyebab utama dalam golongan ini diantaranya :

1) Penyakit degenerasi spino-serebelar.


2) Subakut leuko-ensefalitis sklerotik van Bogaert
3) Khorea Huntington
c. Sindoma demensia dengan etiologi penyakit yang dapat diobati, dalam golongan
ini diantaranya :
1) Penyakit cerebro kardiofaskuler
2) penyakit- penyakit metabolik
3) Gangguan nutrisi
4) Akibat intoksikasi menahun

C. Manifestasi Klinis
Tanda dan Gejala dari Penyakit Demensia antara lain :
1. Rusaknya seluruh jajaran fungsi kognitif.
2. Awalnya gangguan daya ingat jangka pendek.
3. Gangguan kepribadian dan perilaku (mood swings).
4. Defisit neurologi dan fokal.
5. Mudah tersinggung, bermusuhan, agitasi dan kejang.
6. Gangguan psikotik : halusinasi, ilusi, waham, dan paranoid.
7. Keterbatasan dalam ADL (Activities of Daily Living)
8. Kesulitan mengatur penggunaan keuangan.
9. Tidak bisa pulang kerumah bila bepergian.
10.Lupa meletakkan barang penting.
11.Sulit mandi, makan, berpakaian dan toileting.
12.Mudah terjatuh dan keseimbangan buruk.
13.Tidak dapat makan dan menelan.
14.Inkontinensia urine

10
15.Dapat berjalan jauh dari rumah dan tidak bisa pulang.
16.Menurunnya daya ingat yang terus terjadi. Pada penderita demensia, “lupa”
menjadi bagian keseharian yang tidak bisa lepas.
17.Gangguan orientasi waktu dan tempat, misalnya: lupa hari, minggu, bulan,
tahun, tempat penderita demensia berada
18.Penurunan dan ketidakmampuan menyusun kata menjadi kalimat yang benar,
menggunakan kata yang tidak tepat untuk sebuah kondisi, mengulang kata atau
cerita yang sama berkali-kali
19.Ekspresi yang berlebihan, misalnya menangis berlebihan saat melihat sebuah
drama televisi, marah besar pada kesalahan kecil yang dilakukan orang lain,
rasa takut dan gugup yang tak beralasan. Penderita demensia kadang tidak
mengerti mengapa perasaan-perasaan tersebut muncul.
20. Adanya perubahan perilaku, seperti : acuh tak acuh, menarik diri dan
gelisah

D. Klasifikasi Dimensia
1. Menurut Kerusakan Struktur Otak
a. Tipe Alzheimer
Alzheimer adalah kondisi dimana sel saraf pada otak mengalami kematian
sehingga membuat signal dari otak tidak dapat di transmisikan sebagaimana
mestinya (Grayson, C. 2004). Penderita Alzheimer mengalami gangguan
memori, kemampuan membuat keputusan dan juga penurunan proses
berpikir. Sekitar 50-60% penderita demensia disebabkan karena penyakit
Alzheimer.
Demensia ini ditandai dengan gejala :
1) Penurunan fungsi kognitif dengan onset bertahap dan progresif,
2) Daya ingat terganggu, ditemukan adanya : afasia, apraksia, agnosia,
gangguan fungsi eksekutif,
3) Tidak mampu mempelajari / mengingat informasi baru,
4) Perubahan kepribadian (depresi, obsesitive, kecurigaan),
5) Kehilangan inisiatif.

Penyakit Alzheimer dibagi atas 3 stadium berdasarkan beratnya deteorisasi


intelektual :
1) Stadium I (amnesia)

11
a) Berlangsung 2-4 tahun
b) Amnesia menonjol
c) Perubahan emosi ringan
d) Memori jangka panjang baik
e) Keluarga biasanya tidak terganggu
2) Stadium II (Bingung)
a) Berlangsung 2 – 10 tahun
b) Episode psikotik
c) Agresif
d) Salah mengenali keluarga
3) Stadium III (Akhir)
a) Setelah 6 - 12 tahun
b) Memori dan intelektual lebih terganggu
c) Membisu dan gangguan berjalan
d) Inkontinensia urin

b. Demensia Vascular
Demensia tipe vascular disebabkan oleh gangguan sirkulasi darah di otak
dan setiap penyebab atau faktor resiko stroke dapat berakibat terjadinya
demensia. Depresi bisa disebabkan karena lesi tertentu di otak akibat
gangguan sirkulasi darah otak, sehingga depresi dapat diduga sebagai
demensia vaskular.
Tanda-tanda neurologis fokal seperti :
1) Peningkatan reflek tendon dalam
2) Kelainan gaya berjalan
3) Kelemahan anggota gerak
2. Menurut Umur:
a. Demensia senilis ( usia >65tahun)
b. Demensia prasenilis (usia <65tahun)
3. Menurut perjalanan penyakit :
a. Reversibel (mengalami perbaikan)
b. Ireversibel (Normal pressure hydrocephalus, subdural hematoma, vit.B,
Defisiensi, Hipotiroidisma, intoxikasi Pb)
Pada demensia tipe ini terdapat pembesaran vertrikel dengan
meningkatnya cairan serebrospinalis, hal ini menyebabkan adanya :
1) Gangguan gaya jalan (tidak stabil, menyeret).
2) Inkontinensia urin.
12
3) Demensia.

4. Menurut sifat klinis:


a. Demensia proprius

b. Pseudo-demensia
.

E. Patofisiologi

Hal yang menarik dari gejala penderita demensia (usia >65 tahun) adalah
adanya perubahan kepribadian dan tingkah laku sehingga mempengaruhi aktivitas
sehari-hari. Lansia penderita demensia tidak memperlihatkan gejala yang
menonjol pada tahap awal, mereka sebagaimana Lansia pada umumnya
mengalami proses penuaan dan degeneratif. Kejanggalan awal dirasakan oleh
penderita itu sendiri, mereka sulit untuk mengingat dan sering lupa jika
meletakkan suatu barang. Mereka sering kali menutup-nutupi hal tersebut dan
meyakinkan bahwa itu adalah hal yang biasa pada usia mereka. Kejanggalan
berikutnya mulai dirasakan oleh orang-orang terdekat yang tinggal
bersamamereka, mereka merasa khawatir terhadap penurunan daya ingat yang
semakin menjadi, namun sekali lagi keluarga merasa bahwa mungkin lansia
kelelahan dan perlu lebih banyak istirahat. Mereka belum mencurigai adanya
sebuah masalah besar di balik penurunan daya ingat yang dialami oleh orang tua
mereka.
Gejala demensia berikutnya yang muncul biasanya berupa depresi pada
Lansia, mereka menjaga jarak dengan lingkungan dan lebih sensitif. Kondisi
seperti ini dapat saja diikuti oleh munculnya penyakit lain dan biasanya akan
memperparah kondisi Lansia. Pada saat ini mungkin saja lansia menjadi sangat
ketakutan bahkan sampai berhalusinasi. Disinilah keluarga membawa Lansia
penderita demensia ke rumah sakit dimana demensia bukanlah menjadi hal utama
fokus pemeriksaan. Seringkali demensia luput dari pemeriksaan dan tidak terkaji
oleh tim kesehatan. Tidak semua tenaga kesehatan memiliki kemampuan untuk
dapat mengkaji dan mengenali gejala demensia.

13
Faktor Psikososial
Derajat keparahan dan perjalanan penyakit demensia dapat dipengaruhi
oleh faktor psikososial. Semakin tinggi intelegensia dan pendidikan pasien
sebelum sakit maka semakin tinggi juga kemampuan untuk mengkompensasi
deficit intelektual. Pasien dengan awitan demensia yang cepat (rapid onset)
menggunakan pertahanan diri yang lebih sedikit daripada pasien yang mengalami
awitan yang bertahap. Kecemasan dan depresi dapat memperkuat dan
memperburuk gejala. Pseudodemensia dapat terjadi pada individu yang
mengalami depresi dan mengeluhkan gangguan memori, akan tetapi pada
kenyataannya ia mengalami gangguan depresi. Ketika depresinya berhasil
ditanggulangi, maka defek kognitifnya akan menghilang.

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang : (Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003)
1. Pemeriksaan laboratorium rutin
Pemeriksaan laboratorium hanya dilakukan begitu diagnosis klinis demensia
ditegakkan untuk membantu pencarian etiologi demensia khususnya pada
demensia reversible, walaupun 50% penyandang demensia adalah demensia
Alzheimer dengan hasil laboratorium normal, pemeriksaan laboratorium rutin
sebaiknya dilakukan. Pemeriksaan laboratorium yang rutin dikerjakan antara lain:
pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, elektrolit serum, kalsium darah, ureum,
fungsi hati, hormone tiroid, kadar asam folat
2. Imaging
Computed Tomography (CT) scan dan MRI (Magnetic Resonance Imaging)
telah menjadi pemeriksaan rutin dalam pemeriksaan demensia walaupun hasilnya
masih dipertanyakan.
3. Pemeriksaan EEG
Electroencephalogram (EEG) tidak memberikan gambaran spesifik dan pada
sebagian besar EEG adalah normal. Pada Alzheimer stadium lanjut dapat memberi
gambaran perlambatan difus dan kompleks periodik.
4. Pemeriksaan cairan otak

14
Pungsi lumbal diindikasikan bila klinis dijumpai awitan demensia akut,
penyandang dengan imunosupresan, dijumpai rangsangan meningen dan panas,
demensia presentasi atipikal, hidrosefalus normotensif, tes sifilis (+), penyengatan
meningeal pada CT scan.
5. Pemeriksaan genetika
Apolipoprotein E (APOE) adalah suatu protein pengangkut lipid polimorfik
yang memiliki 3 allel yaitu epsilon 2, epsilon 3, dan epsilon 4. setiap allel
mengkode bentuk APOE yang berbeda. Meningkatnya frekuensi epsilon 4 diantara
penyandang demensia Alzheimer tipe awitan lambat atau tipe sporadik
menyebabkan pemakaian genotif APOE epsilon 4 sebagai penanda semakin
meningkat.
6. Pemeriksaan neuropsikologis
Pemeriksaan neuropsikologis meliputi pemeriksaan status mental, aktivitas
sehari-hari / fungsional dan aspek kognitif lainnya. (Asosiasi Alzheimer
Indonesia,2003) Pemeriksaan neuropsikologis penting untuk sebagai penambahan
pemeriksaan demensia, terutama pemeriksaan untuk fungsi kognitif, minimal yang
mencakup atensi, memori, bahasa, konstruksi visuospatial, kalkulasi dan problem
solving. Pemeriksaan neuropsikologi sangat berguna terutama pada kasus yang
sangat ringan untuk membedakan proses ketuaan atau proses depresi. Sebaiknya
syarat pemeriksaan neuropsikologis memenuhi syarat sebagai berikut:
a. Mampu menyaring secara cepat suatu populasi
b. Mampu mengukur progresifitas penyakit yang telah diindentifikaskan
demensia.
7. Sebagai suatu esesmen awal pemeriksaan Status Mental Mini (MMSE)
adalah test yang paling banyak dipakai. (Asosiasi Alzheimer
Indonesia,2003 ;Boustani,2003 ;Houx,2002 ;Kliegel dkk,2004) tetapi sensitif untuk
mendeteksi gangguan memori ringan. (Tang-Wei,2003)
Pemeriksaan status mental MMSE Folstein adalah test yang paling sering
dipakai saat ini, penilaian dengan nilai maksimal 30 cukup baik dalam mendeteksi
gangguan kognisi, menetapkan data dasar dan memantau penurunan kognisi dalam
kurun waktu tertentu. Nilai di bawah 27 dianggap abnormal dan mengindikasikan
gangguan kognisi yang signifikan pada penderita berpendidikan tinggi.(Asosiasi
Alzheimer Indonesia,2003).
Penyandang dengan pendidikan yang rendah dengan nilai MMSE paling

15
rendah 24 masih dianggap normal, namun nilai yang rendah ini
mengidentifikasikan resiko untuk demensia.

(Asosiasi Alzheimer Indonesia,2003). Pada penelitian Crum R.M 1993


didapatkan median skor MMSE adalah 29 untuk usia 18-24 tahun, median skor 25
untuk yang > 80 tahun, dan median skor 29 untuk yang lama pendidikannya >9 tahun,
26 untuk yang berpendidikan 5-8 tahun dan 22 untuk yang berpendidikan 0-4
tahun.Clinical Dementia Rating (CDR) merupakan suatu pemeriksaan umum pada
demensia dan sering digunakan dan ini juga merupakan suatu metode yang dapat
menilai derajat demensia ke dalam beberapa tingkatan. (Burns,2002). Penilaian fungsi
kognitif pada CDR berdasarkan 6 kategori antara lain gangguan memori, orientasi,
pengambilan keputusan, aktivitas sosial/masyarakat, pekerjaan rumah dan hobi,
perawatan diri. Nilai yang dapat pada pemeriksaan ini adalah merupakan suatu derajat
penilaian fungsi kognitif yaitu; Nilai 0, untuk orang normal tanpa gangguan
kognitif. Nilai 0,5, untuk Quenstionable dementia. Nilai 1, menggambarkan derajat
demensia ringan, Nilai 2, menggambarkan suatu derajat demensia sedang dan nilai 3,
menggambarkan suatu derajat demensia yang berat.(Asosiasi Alzheimer
Indonesia,2003,Golomb,2001)

G. Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
Sebagian besar kasus demensia tidak dapat disembuhkan.
a. Untuk mengobati demensia alzheimer digunakan obat - obatan
antikoliesterase sepertiDonepezil , Rivastigmine , Galantamine , Memantine
b. Dementia vaskuler membutuhkan obat -obatan anti platelet
seperti Aspirin , Ticlopidine ,Clopidogrel untuk melancarkan aliran darah
ke otak sehingga memperbaiki gangguan kognitif.
c. Demensia karena stroke yang berturut-turut tidak dapat diobati, tetapi
perkembangannya bisa diperlambat atau bahkan dihentikan dengan
mengobati tekanan darah tinggi atau kencing manis yang berhubungan
dengan stroke.
d. Jika hilangnya ingatan disebabakan oleh depresi, diberikan obat anti-depresi
sepertiSertraline dan Citalopram.

16
e. Untuk mengendalikan agitasi dan perilaku yang meledak-ledak, yang bisa
menyertai demensia stadium lanjut, sering digunakanobat anti-psikotik
(misalnya Haloperidol ,Quetiapine dan Risperidone). Tetapi obat ini kurang
efektif dan menimbulkan efek samping yang serius. Obat anti-psikotik
efektif diberikan kepada penderita yang mengalami halusinasi
atau paranoid.

2. Dukungan atau Peran Keluarga


a. Mempertahankan lingkungan yang familiar akan membantu penderita tetap
memiliki orientasi. Kalender yang besar, cahaya yang terang, jam dinding
dengan angka-angka yang besar atau radio juga bisa membantu penderita
tetap memiliki orientasi.

b. Menyembunyikan kunci mobil dan memasang detektor pada pintu bisa


membantu mencegah terjadinya kecelekaan pada penderita yang senang
berjalan-jalan.

c. Menjalani kegiatan mandi, makan, tidur dan aktivitas lainnya secara rutin,
bisa memberikan rasa keteraturan kepada penderita.

d. Memarahi atau menghukum penderita tidak akan membantu, bahkan akan


memperburuk keadaan.

e. Meminta bantuan organisasi yang memberikan pelayanan sosial dan


perawatan, akan sangat membantu.

3. Terapi Simtomatik
Pada penderita penyakit demensia dapat diberikan terapi simtomatik, meliputi :

a. Diet

b. Latihan fisik yang sesuai

c. Terapi rekreasional dan aktifitas

d. Penanganan terhadap masalah-masalah

17
H. Pencegahan dan Perawatan Dimensia
Hal yang dapat kita lakukan untuk menurunkan resiko terjadinya demensia
diantaranya adalah menjaga ketajaman daya ingat dan senantiasa mengoptimalkan
fungsi otak, seperti :
1. Mencegah masuknya zat-zat yang dapat merusak sel-sel otak seperti alkohol
dan zat adiktif yang berlebihan.
2. Membaca buku yang merangsang otak untuk berpikir hendaknya dilakukan
setiap hari.
3. Melakukan kegiatan yang dapat membuat mental kita sehat dan aktif :
4. Kegiatan rohani & memperdalam ilmu agama.
5. Tetap berinteraksi dengan lingkungan, berkumpul dengan teman yang
memiliki persamaan minat atau hobi

6. Mengurangi stress dalam pekerjaan dan berusaha untuk tetap relaks dalam
kehidupan sehari-hari dapat membuat otak kita tetap sehat.

I . Konsep Asuhan Keperawatan Gerontik pada Lansia yang Mengalami Demensia


A. Pengkajian
Menurut Aspiani (2014) Pengertian pengkajian adalah langkah pertama pada
proses keperawatan, meliputi pengumpulan data, analisa data, dan menghasilkan
diagnosis keperawatan.
a. Pengkajian

Identitas klien meliputi nama, umur, jenis kelamin, suku bangsa/latar belakang
kebudayaan, status sipil, pendidikan, pekerjaan dan alamat. Pada pengkajian umur
didapatkan data umur pasien memasuki usia lanjut
b. Keluhan utama
Keluhan Utama yang sering ditemukan pada klien dengan masalah psikososial
Demensia adalah klien kehilangan ingatan.
Pemeriksaan fungsi kognitif awal bia menggunakan Minimental-state
examination (MMSE) dari folstein dengan skor/ angka maksimal 30. Jika mempunyai
skor dibawah 24, pasien patut dicurigai mengalami demensia.

18
Tabel 2.1 Pengkajian MMSE (Aspiani, 2014)

Mini Mental State Exam (MMSE)


Nilai
Max Pasien Pertanyaan
Orientasi
5 (tahun) (musim) (tanggal) (hari) (bulan) apa sekarang?
5 Dimana kita: (Negara bagian) (wilayah) (kota) (rumah sakit) (lantai)
Registrasi
3 Nama 3 objek: 1 detik untuk mengatakan masing-masing.
Kemudian tanyakan klien ketiga objek setelah anda telah
mengatakannya. Beri 1 poin untuk setiap jawaban yang benar.
Kemudian ulangi sampai ia mempelajari ketiganya. Jumlahkan
percobaan dan catat. Percobaan:.......................................

Perhatian dan Kalkulasi


5 Kurangi 100 dengan 7 secara menurun, 1 poin untuk
setiap kebenaran. Berhenti setelah 5 jawaban.
Mengingat
3 Minta untuk mengulang ketiga objek di atas Berikan 1 poin untuk

setiap kebenaran
Bahasa
9 Nama pensil, dan melihat (2 poin)
Mengulang hal berikut: "tak ada jika, dan,atau tetapi" (1 poin)
Ikuti perintah 3-langkah: "ambil kertas di tangan kanan anda,
lipat dua, dan taruh di lantai" (3 poin)
Baca dan turuti hal berikut: "tutup mata
Anda" (1 poin) Tulis satu kalimat (1 poin)
Menyalin gambar (1 poin)

30 Nilai total

19
1) Analisa hasil:
a) Nilai 24-30 : Normal
b) Nilai 17-23 : gangguan kognitif ringan
c) Nilai 0-16 : gangguan kognitif berat
c. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum : Keadaan umum klien lansia yang mengalami masalah
psikososial demensia biasanya lemah.

2) Kesadaran : Biasanya Composmentis


3) Tanda-tanda Vital
a) Suhu dalam batas normal (37°.C)
b) Nadi normal (N: 70-82x/mnt).
c) Tekanan darah kadang meningkat atau menurun.
4) Pemeriksaan Review Of System (ROS)
a) Sistem pernafasan (B1: Breathing)
Dapat ditemukan peningkatan frekuensi nafas atau masih dalam batas normal
b) Sistem sirkulasi (B2: Bledding)
Tidak ditemukan adanya kelainan, frekuensi nadi masih dalam batas normal.
c) Sistem persyarafan (B3: Brain)
Klien mengalami ganguan memori, kehilangan ingatan, gangguan
konsentrasi, kurang perhatian, gangguan persepsi sensori, insomnia.
d) Sistem Perkemihan (B4: Bledder)
Tidak ada keluhan terkait dengan pola berkemih.
e) Sistem pencernaan (B5: Bowel)
Klien makan berkurang atau berlebih karena kadang lupa apakah sudah makan
atau belum, penurunan berat badan kadang juga konstipasi.
f) Sistem muskuloskeletal (B6: Bone)
Klien mengalami gangguan dalam pemenuhan aktivitas.

20
5) Pengkajian saraf kranial. Pengakajian saraf ini meliputi pengkaijan
saraf kranial I- XII:
a) Saraf I (Olfaktorius)
Biasanya pada klien penyakit alzheimer tidak ada kelaianan fungsi penciuman.
b) Saraf II (Optikus)
Tes ketajaman penglihatan perubahan yaitu sesuai dengan keadaan usia lanjut
biasanya klien dengan demensi mengalami penurunan ketajaman penglihatan.
Saraf III (Okulomotorius), IV (Troklearis), VI (Abdusen) Biasanayatidak ada
ditemukan adanya kelainan pada saraf ini.
c) Saraf V (Trigeminus)
wajah simetris dan tidak ada kelaianan pada saraf ini.
d) Saraf VII (Fasialis)
Persepsi pengecapan dalam batas normal.
e) Saraf VIII (Vestibulokoklearis)
Adanya konduktif dan tuli persepsi berhubungan proses senilis serta penurunan
aliran darah regional.
f) Saraf IX (Glosofaringeal) dan X (Vagus)
Kesulitan dalam menelan makan yang berhubungan dengan perubahaan status
kognitif.
g) Saraf XI (Aksesorius)
Tidak atrofi otot strenokleidomastoideus dan trapezius.
h) Saraf XII (Hipoglossus)
Lidah simetris, tidak ada deviasi pada satu sisi dan idak ada vasikulasi dan
indera pengecapan normal.
d. Pola fungsi kesehatan
Yang perlu dikaji adalah aktivitas apa saja yang biasa dilakukan sehubungan
dengan adanya masalah psikososial demensia :
1) Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Klien mengalami gangguan persepsi, klien mengalami gangguan dalam
memelihara dan menangani masalah kesehatannya.
2) Pola tidur dan istirahat Klien
mengalami insomnia.
3) Pola aktivitas

21
Klien mengalami gangguan dalam pemenuhan aktivitas sehari-hari karena
penurunan minat. Pengkajian kemampuan klien dalam memenuhi kebutuhan
aktivitas sehari-hari dapat menggunakan Indeks KATZ.

Tabel 2.2 Pengkajian Indeks KATZ (Aspiani, 2014)

INDEKS KATZ
SKORE KRITERIA
A Kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke kamar
kecil, beipakaian dan mandi
B Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali satu dari
fungsi

tersebut
C Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali
mandi dan satu fungsi tambahan
D Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari,
kecuali mandi, berpakaian dan satu fungsi tambahan
E Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari,
kecuali mandi, berpakaian, ke kamar kecil dan satu
fungsi tambahan
F Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari,
kecuali mandi, berpakaian, berpindah dan satu fungsi
tambahan
G Ketergantungan pada enam fungsi tersebut
Lain-lain Ketergantungan pada sedikitnya dua fungsi,
tetapi tidak dapat diklasifikasikan sebagai C,
D, E, F dan G
Menurut Asyikah (2017) menyatakan bahwa kemandirian pada lansia bergantung
pada kemampuan individu dalam melakukan aktivitas harian.

4) Pola hubungan dan peran


Menggambarkan dan mengetahui hubungan dan peran klien terhadap anggota
keluarga dan masyarakat tempat tinggal, pekerjaan, tidak punya rumah, dan masalah
keuangan. Menggunakan pengkajian APGAR Keluarga.

22
Tabel 2.3 Pengkajian APGAR Keluarga (Aspiani, 2014)

APGAR Keluarga
No Fungsi Uraian Skore
1.
Adaptasi Saya puas bahwa saya dapat kembali pada keluarga
(teman- teman) saya untuk membantu pada waktu
sesuatu menyusahkan saya
2.
Hubungan Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) saya
membicarakan sesuatu dengan saya dan
mengungkapkan masalah dengan saya
3.
Pertumbuhan Saya puas bahwa keluarga (teman-teman) saya
menerima dan mendukung keinginan saya untuk
melakukan aktivitas atau arah baru
4.
Afeksi Saya puas dengan cara keluarga (teman-teman) saya
mengekspresikan afek dan berespons terhadap
emosi- emosi saya, seperti marah, sedih atau
mencintai

5.
Pemecahan Saya puas dengan cara teman-teman saya dan saya
menyediakan waktu bersama-sama

Status sosial lansia dapat diukur dengan menggunakan APGAR Keluarga. Penilaian:
jika pertanyaan-pertanyaan yang dijawab selalu (poin 2), kadang- kadang (poin 1),
hampir tidak pernah (poin 0).

23
5) Pola sensori dan kognitif
Klien mengalami kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan
minat dan motivasi, mudah lupa, gagal dalam melaksanakan tugas, cepat marah,
disorientasi. Untuk mengetahui status mental klien dapat dilakuan pengkajian
menggunakan tabel Short Portable Mental Status Quesionere (SPSMQ).

Tabel 2.4 Pengkajian SPSMQ (Aspiani, 2014)

Short Portable Mental Status Questionnaire (SPMSQ)


Skore
No Pertanyaan Jawaban
+ -
V - 1. Tanggal berapa hari ini?
2. Hari apa sekarang ini? (hari, tanggal, tahun)
3. Apa nama tempat ini?
4. Berapa nomor telpon Anda?
Dimana alamat Anda? (tanyakan hanya bila klien tidak mempunyai
4a. telepon)

5. Berapa umur Anda?


6. Kapan Anda lahir?
7. Siapa presiden Indonesia sekarang?
8. Siapa presiden sebelumnya?
9. Siapa nama kecil ibu Anda?
Kurangi 3 dari 20 dan tetap pengurangan 3 dari setiap angka baru,
10. 10. semua secara menurun
Jumlah kesalahan total

Penilaian SPMSQ
(1) Kesalahan 0-2 fungsi intelektual utuh
(2) Kesalahan 3-4 fungsi intelektual ringan
(3) Kesalahan 5-7 fungsi intelektual sedang
(4) Kesalahan 8-10 fungsi intelektual berat

a) Bisa dimaklumi bila lebih dari satu kesalahan bila subjek hanya
berpendidikan sekolah dasar.
b) Bisa dimaklumi bila kurang dari satu kesalahan bila subjek
mempunyai pendidikan di atas sekolah menengah atas
c) Bisa dimaklumi bila lebih dari satu kesalahan untuk subjek kulit hitam dengan
menggunakan kriteria pendidikan yang sama

24
6) Pola persepsi dan Konsep diri
Klien dengan demensia umumnya mengalami gangguan depresi, tidak
mengalami gangguan kosep diri.
7) Pola mekanisme / penanggulangan stress dan koping
Klien menggunakan mekanisme koping yang tidak efektif dalam menangani
stress yang dialaminya.
8) Spiritual
Keyakinan klien terhadap agama dan keyakinan masih kuat tetapi tidak atau
kurang mampu dalam melaksanakan ibadahnya sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
9) Personal Hygine
Biasanya pada demensia dalam melakukan personal Hygiene perlu
bantuan/tergantung orang lain. Tidak mampu mempertahankan penampilan, kebiasaan
personal yang kurang, kebiasaan pembersihan buruk, lupa pergi untuk kekamar
mandi, lupa langkah-langkah untuk buang air, tidak dapat menemukan kamar mandi
dan kurang berminat pada atau lupa pada waktu makan dan menyiapkannya dimeja,
makan, menggunakan alat makan, berhias, maupun kemandirian dalam kebersihan
merawat tubuh. Uuntuk mengetahui tingkat ketergantungan pola personal hygine
klien dapat dilakukan dengan pengkajian Bathel Index.

Tabel 2.5 Pengkajian Index Bathel (Aspiani, 2014)

No. Item yang dinilai Skor Nilai


1.
Makan(Feeding) 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan memotong,
mengoles mentega dll.
2 = Mandiri
2.
Mandi (Bathing) 0 = Tergantung orang lain
1 = Mandiri
3.
Perawatan diri (Grooming) 0 = Membutuhkan bantuan orang lain
1 = Mandiri dalam perawatan muka,
rambut, gigi, dan bercukur
4.
Berpakaian (Dressing) 0 = Tergantung orang lain
1 = Sebagian dibantu (misal
mengancing baju) 2 = Mandiri
5.
Buang air kecil (Bowel) 0 = Inkontinensiaatau pakai kateter dan tidak
terkontrol
1 = Kadang Inkontinensia (maks, 1x24 jam)
2 = Kontinensia(teratur untuk lebih dari 7 hari)
6.
Buang air besar (Bladder) 0 = Inkontinensia(tidak teratur atau perlu
25
enema)
1 = Kadang Inkontensia (sekali seminggu)
2 = Kontinensia (teratur)
7.
Penggunaan toilet 0 = Tergantung bantuan orang lain

1 = Membutuhkan bantuan, tapi dapat


melakukan beberapa hal
2 = sendiri Mandiri
8. Transfer 0 = Tidak mampu
1 = Butuh bantuan untuk bisa duduk (2
orang)
2 = Bantuan kecil (1 orang)
3 = Mandiri
9. Mobilitas 0 = Immobile (tidak mampu)
1 = Menggunakan kursi roda
2 = Berjalan dengan bantuan satu
orang
3 = Mandiri (meskipun menggunakan
alat
bantu seperti, tongkat)
10. Naik turun tangga 0 = Tidak mampu
1 = Membutuhkan bantuan (alat bantu)
2 = Mandiri

a. Interpretasi hasil :

1) 20 : Mandiri
2) 12-19 : Ketergantungan Ringan
3) 9-11 : Ketergantungan Sedang
4) 5-8 : Ketergantungan Berat
5) 0-4 : Ketergantungan Total

e. Data subyektif
1) Pasien mengatakan mudah lupa akan peristiwa yang baru saja terjadi
2) Pasien mangatakan tidak mampu mengenali orang, tempat dan waktu
f. Data obyektif:
1) Pesien kehilangan kemampuan utuk mengenali wajah, tempat, dan objek yang
sudah dikenalnya dan kehilangan suasana keluarganya
2) Pasiem mengulang uleang cerita yang sama karena lupa telah menceritakannya
3) Terjadi perubahan ringan dalam pola berbicara; mendengar menggunakan kata
kata yang lebug sederhana, menggunakan kata kata yang tidak tepat atau tidak
mampu menemukan kata kata yang tepat.

26
B. Diagnosa Keperawatan Dimensia

a. Sindrom stress relokasi berhubungan dengan perubahan dalam aktivitas


kehidupan sehari-hari ditandai dengan kebingungan, keprihatinan, gelisah,
tampak cemas, mudah tersinggung, tingkah laku defensive, kekacauan mental,
tingkah laku curiga, dan tingkah laku agresif.
b. ‘Perubahan proses pikir berhubungan dengan perubahan fisiologis (degenerasi
neuron ireversibel) ditandai dengan hilang ingatan atau memori, hilang
konsentrsi, tidak mampu menginterpretasikan stimulasi dan menilai realitas
dengan akurat.
c. Perubahan persepsi sensori berhubungan dengan perubahan persepsi, transmisi
atau integrasi sensori (penyakit neurologis, tidak mampu berkomunikasi,
gangguan tidur, nyeri) ditandai dengan cemas, apatis, gelisah, halusinasi.
d. Perubahan pola tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan ditandai
dengan keluhan verbal tentang kesulitan tidur, terus-menerus terjaga, tidak
mampu menentukan kebutuhan/ waktu tidur.
e. Kurang perawatan diri berhubungan dengan intoleransi aktivitas, menurunnya
daya tahan dan kekuatan ditandai dengan penurunan kemampuan melakukan
aktivitas sehari-hari.
f. Resiko terhadap cedera berhubungan dengan kesulitan keseimbangan,
kelemahan, otot tidak terkoordinasi, aktivitas kejang.
g. Resiko terhadap perubahan nutrisi lebih dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan mudah lupa, kemunduran hobi, perubahn sensori.

27
C. Intervensi Keperawatan

Tujuan dan kriteria


Dx Intervensi Rasional
hasil
1 Setelah diberikan a. Jalin hubungan saling a) Untuk membangan
tindakan keperawatan mendukung dengan klien. kepercayaan dan rasa
diharapkan klien nyaman.
dapabt .
b..Orientasikan pada
beradaptasi dengan b) Menurunkan
lingkungan dan rutinitas
perubahan aktivitas kecemasan dan
baru.
sehari- hari dan perasaan terganggu.
a. lingkungan dengan KH :
c. Kaji tingkat stressor c)Untuk
mengidentifikasi
b. (penyesuaian diri, menentukan persepsi
perubahan
perkembangan, peran klien tentang kejadian
mampu beradaptasi
keluarga, akibat perubahan dan tingkat serangan.
pada perubahan
status kesehatan)
lingkungan dan aktivitas
c. kehidupan sehari-hari
cemas dan takut
d. d. Tentukan jadwal c) Konsistensi
berkurang
aktivitas yang wajar dan mengurangi
membuat pernyataan
yang positif tentang masukkan dalam kegiatan kebingungan dan
lingkungan yang baru. rutin. meningkatkan rasa
kebersamaan.

e) Menurunkan
e. Berikan penjelasan dan ketegangan,
informasi yang mempertahankan rasa
menyenangkan mengenai saling percaya, dan
kegiatan/ peristiwa.
orientasi.

28
Tujuan dan kriteria
Dx Intervensi Rasional
hasil
2 Setelah diberikan a. Kembangkan a. Mengurangi
tindakan keperawatan lingkungan yang kecemasan dan
diharapkan klien mampu mendukung dan hubungan emosional.
mengenali perubahan klien-perawat yang
dalam berpikir dengan terapeutik.
KH:
a.
Mampu
memperlihatkan b. Kebisingan
b. Pertahankan merupakan sensori
kemampuan kognitif
lingkungan yang berlebihan yang
untuk menjalani
menyenangkan dan tenang. meningkatkan
konsekuensi kejadian
yang menegangkan gangguan neuron.
terhadap emosi dan
c. Tatap wajah ketika c. Menimbulkan
pikiran tentang diri.
berbicara dengan klien. perhatian, terutama
Mampu
pada klien dengan
mengembangkan strategi
gangguan perceptual.
untuk mengatasi
anggapan diri yang
d. Nama adalah
negative. d. Panggil klien dengan
bentuk identitas diri
Mampu mengenali namanya.
dan
tingkah laku dan faktor
menimbulkan
b. penyebab.
pengenalan terhadap
realita dan klien.
e. Gunakan suara yang
agak rendah dan berbicarda. e. Meningkatkan
dengan perlahan pada klien. pemahaman. Ucapan
c. tinggi dan keras
menimbulkan stress yg
mencetuskan konfrontasi
dan respon marah.

29
30
Tujuan dan kriteria
Dx Intervensi Rasional
hasil
3 Setelah diberikan a. Kembangkan a. Meningkatkan
tindakan keperawatan lingkungan yang suportif kenyamanan dan
diharapkan perubahan dan hubungan perawat-klien menurunkan kecemasan
persepsi sensori klien yang terapeutik. pada klien.
dapat berkurang atau
terkontrol dengan KH: b. Bantu klien untuk
Mengalami penurunan memahami halusinasi.
a. halusinasi.
Mengembangkan c. Kaji derajat sensori b. Keterlibatan otak
b. strategi psikososial untuk atau gangguan persepsi dan memperlihatkan
mengurangi stress. bagaiman hal tersebut masalah yang bersifat
Mendemonstrasikan mempengaruhi klien asimetris menyebabkan
c. termasuk penurunan klien kehilangan
respons yang sesuai
stimulasi. penglihatan atau kemampuan pada salah
pendengaran. satu sisi tubuh.

d.Untuk menurunkan
d. Ajarkan strategi untuk kebutuhan akan
mengurangi stress. halusinasi

e. Ajak piknik sederhana,


jalan-jalan keliling rumah e. Piknik
sakit. Pantau aktivitas menunjukkan realita
dan memberikan
stimulasi sensori yang
menurunkan perasaan
curiga dan halusinasi
yang disebabkan
perasaan terkekang.
4 Setelah dilakukan a. Jangan menganjurkan a. Irama sirkadian
tindakan keperawatan klien tidur siang apabila (irama tidur-bangun)
diharapkan tidak terjadi berakibat efek negative yang tersinkronisasi
gangguan pola tidur pada terhadap tidur pada malam disebabkan oleh tidur

31
Tujuan dan kriteria
Dx Intervensi Rasional
hasil
klien dengan KH : hari. siang yang singkat.
a.
Memahami faktor b. Evaluasi efek obat
b. Deragement
penyebab gangguan pola klien (steroid, diuretik) yang
psikisterjadi bila
tidur. mengganggu tidur.
b. Mampu terdapat panggunaan
menentukan
kortikosteroid,
penyebab tidur
inadekuat. c. Tentukan kebiasaan termasuk perubahan
c. Melaporkan dapat dan rutinitas waktu tidur mood, insomnia.
beristirahat yang cukup. malam dengan kebiasaan
d. klien(memberi susu hangat).
Mampu menciptakan c. Mengubah pola
pola tidur yang adekuat. d. Memberikan yang sudah terbiasa dari
lingkungan yang nyaman asupan makan klien
untuk meningkatkan pada malam hari
tidur(mematikan lampu, terbukti mengganggu
ventilasi ruang adekuat, tidur.
suhuyang sesuai,
menghindari kebisingan).
e. Buat jadwal tidur Hambatan kortikal
secara teratur. Katakan pada formasi reticular
padda. klien bahwa saat ini akan berkurang selama
adalah waktu untuk tidur. tidur, meningkatkan
respon otomatik,
karenanya respon
kardiovakular terhadap
suara meningkat selama
tidur.

Penguatan bahwa
saatnya tidur dan
mempertahankan
e.
kesetabilan lingkungan.

5 Setelah diberikan a. Identifikasi kesulitan a.


yang
tindakan keperawatan dalam berpakaian/
diharapkan klien dapat perawatan diri, seperti: Memahami
penyebab

32
mempengaruhi

33
Tujuan dan kriteria
Dx Intervensi Rasional
hasil
merawat dirinya sesuai keterbatasan gerak fisik, intervensi. Masalah
dengan kemampuannya apatis/ depresi, penurunan dapat diminimalkan
dengan KH : kognitif seperti apraksia. dengan menyesuaikan
a. Mampu melakukan b. Identifikasi kebutuhan atau memerlukan
aktivitas perawatan diri kebersihan diri dan berikan konsultasi dari ahli lain.
sesuai dengan tingkat bantuan sesuai kebutuhan
kemampuan. dengan perawatan b. Seiring
b. perkembangan
Mampu rambut/kuku/ kulit,
mengidentifikasi dan bersihkan kaca mata, dan penyakit, kebutuhan
menggunakan sumber gosok gigi. kebersihan dasar
pribadi/ komunitas yang mungkin dilupakan.
dapat memberikan c. Perhatikan adanya tanda-
bantuan. tanda nonverbal yang
fisiologis.

d. Beri banyak waktu c. Kehilangan


untuk melakukan tugas. sensori dan penurunan
fungsi bahasa
menyebabkan klien
mengungkapkan
e. Bantu mengenakan
kebutuhan perawatan
pakaian yang rapi dan
diri dengan cara
indah.
nonverbal, seperti
terengah-engah, ingin
berkemih dengan
memegang dirinya.

d. Pekerjaan yang
tadinya mudah sekarang
menjadi terhambat
karena penurunan
motorik dan perubahan
kognitif.

e. Meningkatkan

34
Tujuan dan kriteria
Dx Intervensi Rasional
hasil
kepercayaan untuk
hidup.
6 Setelah dilakukan a. Kaji derajat gangguan a. Mengidentifikasi
tindakan keperawatan kemampuan, tingkah laku risiko di lingkungan
diharapkan Risiko cedera impulsive dan penurunan dan mempertinggi
tidak terjadi dengan KH : persepsi visual. Bantukesadaran perawat akan
a. Meningkatkan tingkat keluarga mengidentifikasi bahaya. Klien dengan
aktivitas. risiko terjadinya bahaya tingkah laku impulsi
b.
Dapat beradaptasi yang mungkin timbul. berisiko trauma karena
dengan lingkungan untuk kurang mampu
mengurangi risiko b. Hilangkan sumber mengendalikan
bahaya lingkungan.
c. trauma/ cedera. perilaku. Penurunan
Tidak mengalami persepsi visual berisiko
cedera. terjatuh.

c. Alihkan perhatian saat b. Klien dengan


perilaku teragitasi/ gangguan kognitif,
berbahaya, memenjat pagar gangguan persepsi
tempat tidur. adalah awal terjadi
trauma akibat tidak
bertanggung jawab
terhadap kebutuhan
keamanan dasar.

d. Kaji efek samping obat,


tanda keracunan (tanda c. Mempertahankan
ekstrapiramidal, hipotensi keamanan dengan
ortostatik, gangguan menghindari
penglihatan, gangguan konfrontasi yang
gastrointestinal). meningkatkan risiko
e. Hindari penggunaan terjadinya trauma.
restrain terus-menerus.
Berikan kesempatan
keluarga tinggal bersama d. Klien yang tidak
klien selama periode agitasi dapat melaporkan

35
Tujuan dan kriteria
Dx Intervensi Rasional
hasil
akut. tanda/gejala obat dapat
menimbulkan kadar
toksisitas pada lansia.
Ukuran dosis/
penggantian obat
diperlukan untuk
mengurangi gangguan.
e. Membahayakan
klien, meningkatkan
agitasi dan timbul risiko
fraktur pada klien lansia
(berhubungan dengan
penurunan kalsium
tulang).
7 Setelah dilakukan a. Beri dukungan untuk a. Motivasi terjadi
tindakan keperawatan penurunan berat badan. saat klien
diharapkan klien mengidentifikasi
mendapat nutrisi yang b. Awasi berat badan kebutuhan berarti.
seimbang dengan KH: setiap minggu. b. Memberikan
a. Mengubah pola asuhan umpan balik/
yang benar c. Kaji pengetahuan penghargaan.
b. keluarga/ klien mengenai
Mendapat diet nutrisi
kebutuhan makanan. c. Identifikasi
c. yang seimbang.
Mendapat kembali d. Usahakan/ beri bantuan kebutuhan membantu
berat badan yang sesuai. dalam memilih menu. perencanaan
e. Beri Privasi saat pendidikan.
kebiasaan makan menjadi
masalah. d. Klien tidak mampu
menentukan pilihan
kebutuhan nutrisi.
e. Ketidakmampuan
menerima dan
hambatan sosial dari
kebiasaan makan
berkembang seiring
berkembangnya
penyakit.

36
DAFTAR PUSTAKA

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar : Keperawatan Medikal Bedah .Vol 1 & 2.
EGC : Jakarta.
Doenges, Marilyn E. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk Perencanaan
dan Pendokumentasian Perawatan Pasien edisi 3 alih bahasa I Made Kariasa, Ni
Made Sumarwati. EGC : Jakarta.
Elizabeth.J.Corwin. 2009. Buku Saku : Patofisiologi. Ed.3. EGC : Jakarta.
Kushariyadi.2010. Askep pada Klien Lanjut Usia. Salemba medika : Jakarta
Nugroho, Wahjudi. 1999. Keperawatan Gerontik Edisi 2 Buku Kedokteran. EGC :
Jakarta.
Silvia.A.Price & Wilson, Patofisiologi. Ed.8. Jakarta. EGC.2006
Stanley,Mickey. 2002. Buku Ajar Keperawatan Gerontik.Edisi2. EGC;
Jakarta.
Sumber : http://stikeskabmalang.wordpress.com/2009/10/03/demensia-pada-lansia-3/
Arjatmo, (2001). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: FKUI
Brunner & Suddart, (1996). Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Capernito, (2000). Diagnosa Keperawatan, edisi 8. Jakarta: EGC
Doengoes, (1999). Rencana Asuhan Keperawatan. Jakarta: EGC
Prince, Loraine M. Wilson, (1995). Patofisiologi Konsep Klinis Proses Penyakit, edisi
4. Jakarta: EGC
Corwin, J. Elizabeth, (2001). Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC

37

Anda mungkin juga menyukai