Anda di halaman 1dari 40

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Tinjauan Teori

1. Lanjut Usia

a. Definisi

Lanjut usia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun keatas,

berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 tentang kesejahteraan lansia

(Kemenkes RI, 2016). Menurut Fatimah, 2010 Lanjut usia adalah fase akhir

dari rentang kehidupan yang karena usianya mengalami perubahan biologis,

fisik, kejiwaan, dan sosial.

b. Batasan Usia Lanjut

Menurut Aspiani, (2014) batasan umur lansia dini (55-64 tahun), Lansia

(65 tahun keatas), dan kelompok lansia resiko tinggi (70 tahun keatas).

Menurut organisasi WHO (2017), yang dikatakan lanjut usia tersebut

dibagi dalam tiga kategori yaitu:

1) Usia pertengahan (middle age) usia 45-59 tahun,

2) Lanjut usia (elderly) usia 60-69 tahun,

3) Lanjut usia tua (old) yang risiko tinggi usia >70 tahun

Sedangkan menurut Badan Pusat Statistik (2018) membagikan lanjut

Usia menjadi sebagai berikut:

1) Kelompok pralansia (45-59 tahun),

2) Kelompok usia lanjut muda (60-69 tahun)

3) Kelompok kelompok usia lanjut madya (70-79 tahun)

4) Kelompok usia lansia tua (80+ tahun).


9
10

c. Proses Menua

Menua (aging) adalah suatu proses menghilangnya secara perlahan-

lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki atau mengganti diri dan

mempertahankan struktur dan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan

terhadap jejas (termasuk infeksi) dan memperbaiki kerusakan yang diderita

(Martono dan Pranaka, 2011). Menurut Constantinedes,1994 (dalam Aspiani,

2014) Menua (menjadi tua) adalah suatu proses menghilangkan secara

perlahan-lahan kemampuan jaringan untuk memperbaiki diri/ mengganti dan

mempertahankan fungsi normalnya sehingga tidak dapat bertahan terhadap

infeksi dan memperbaiki kerusakan yang diderita.

Menua merupakan proses yang terjadi terus menerus secara alamiah

(Ratmini dan Arifin, 2011). Tahap dewasa merupakan tahapan dalam mencapai

titik perkembangan yang maksimal. Setelah itu tubuh akan mulai menyusut

dan mengalami penurunan fungsi secara perlahan-lahan (Siti, Mia, Rosidawati,

Jubaedi & Batubara, 2012).

Berdasarkan pernyataan ini, lanjut usia dianggap sebagai suatu penyakit

hal ini tidak benar. Gerontologi berpendapat lain sebab lanjut usia bukan suatu

prnyakit, melainkan suatu masa atau tahap hidup manusia yaitu: Bayi, kanak-

kanak, dewasa, tua, dan lanjut usia. Proses menua sudah mulai berlangsung

sejak seseorang mencapai usia dewasa misalnya dengan terjadinya kehilangan

jaringan otot, susunan saraf, dan jaringan lain sehingga tubuh mati sedikit demi

sedikit (Aspiani, 2014).

Secara umum, ada beberapa teori yang berkaitan dengan proses

penuaan, yaitu teori biologi, teori psikologi, teori sosial dan teori spiritual.
11

1) Teori Biologis

Teori ini berfokus pada proses fisiologi dalam kehidupan seseorang

dari lahir sampai meninggal. Teori biologis dalam proses menua mengacu

pada asumsi bahwa proses menua merupakan perubahan yang terjadi

dalam struktur dan fungsi tubuh selama masa hidup (Maryam, 2008).

2) Teori Psikologis

Teori psikologis menjelaskan perubahan yang terjadi pada lansia

seperti perubahan perilaku, peran dan hubungan yang terjadi pada

penuaan. Tiga teori psikologis klasik mengenai penuaan adalah teori

pemutusan hubungan, teori aktivitas, dan teori kontinuitas (Potter & Perry,

2010). Perubahan psikologis yang terjadi dapat dihubungkan pula dengan

keakuratan mental dan keadaan fungsional yang efektif. Adanya

penurunan dan intelektualitas yang meliputi persepsi, kemampuan

kognitif, memori dan belajar pada usia lanjut menyebabkan mereka sulit

untuk dipahami dan berinteraksi (Maryam, 2008).

3) Teori Sosial

Ada beberapa teori sosial yang berkaitan dengan proses penuaan,

yaitu teori interaksi sosial (sosial exchange theory), teori penarikan diri

(disengagement theory), teori aktivitas (activity theory), teori

perkembangan (development theory), teori kesinambungan (continuity

theory), dan teori stratifikasi usia (age stratification theory).

4) Teori Spritual

Komponen spritual dan tumbuh kembang merujuk pada pengertian

hubungan individu dengan alam semesta dan persepsi individu tentang arti

hidup.
12

d. Tipe Usia Lanjut

Maryam dkk (2010), beberapa tipe pada usia lanjut bergantung pada

karakter, pengalaman hidup, lingkungan, kondisi fisik, mental, sosial, dan

ekonomis. Tipe tersebut antar lain:

1) Tipe Arif Bijaksana

Kaya dengan hikmah, pengalaman, menyusuaikan diri dengan

perubahan zaman. Mempunyai kesibukan, bersikap ramah, rendah hati,

sederhana, dermawan, memenuhi undangan dan menjadi panutan.

2) Tipe Mandiri

Mengganti kegiatan yang hilang dengan kegiatan yang baru,

selektif dalam mencari pekerjaaan, teman bergaul dan memenuhi

undangan.

3) Tipe Tidak Puas

Konflik lahir batin yang menentang proses penuaan sehingga

menjadi pemarah, tidak sabar, mudah tersinggung, sulit dilayani, banyak

menuntut dan pengkritik.

4) Tipe Pasrah

Menerima dan menunggu nasib baik, mengikuti kegiatan agama,

ringan kaki, pekerjaan apa saja dilakukan.

5) Tipe Bigung

Kaget, kehilangan kepribadian, mengasingkan diri, tidak percaya

diri, menyesal, pasif dan acuh tak acuh.


13

6) Tipe lain dari usia lanjut

Tipe optimis, tipe konstruktif, tipe ketergantungan (dependen), tipe

bertahan (defensif), tipe militan dan serius, tipe marah/ frustasi, dan tipe

putus asa.

e. Perubahan-Perubahan Yang Terjadi Pada Lansia

Semakin bertambahnya umur manusia, terjadi proses penuaan secara

degeneratif yang akan berdampak pada perubahan-perubahan holistik pada diri

manusia, yaitu perubahan fisiologi, fungsional, kognitif dan psikososial.

1) Perubahan Fisiologis

a) Sistem Integumen

Seiring proses penuaan, kulit akan kehilangan elastisitas dan

kelembapannya. Lapisan epitel menipis, serat kologen elastis juga

mengecil dan menjadi kaku. Kerutan diwajah dan dileher

memperlihatkan pola aktivitas otot dan ekspresi wajah sepanjang usia

hidup, tarikan gravitasi, dan penurunan elastisitas.

Terdapat banyak bintik dan lesi pada kulit. Bintik dengan bentuk

yang tidak teratur (ireguler), halus, warna cokelat (lentigo sinilis)

awalnya akan timbul pada punggung tangan dan lengan bagian bawah

(Potter & Perry, 2010).

b) Kepala dan Leher

Tampilan wajah pada lansia akan tampak semakin menonjol

karena hilangnya lemak subkutan dan elastisitas kulit. Wajah tampak

asimetris karena adanya gigi yang hilang atau susunan gigi yang tidak

teratur. Selain itu perubahan suara yang umumnya terjadi adalah


14

peningkatan tinggi nada serta hilangnya volume dan jangkauan nada

suara.

Ketajaman penglihatan akan menurun seiiring penuaan. Ini

diakibatkan kerusakan retina, pengecilan pupil, kekeruhan lensa, atau

hilangnya elastisitas lensa. Penurunan akomodasi untuk penglihatan

dekat (presbiopia), seiring ditemukan. Kemampuan penglihatan dalam

gelap dan adaptasiterhadap perubahan gelap-terang yang mendadak

juga terjadi.

Perubahan pendengaran lebih sulit didektesi. Lansia sering

mengabaikan tanda-tanda kehilangan pendengaran sampai ada

pemberitahuan dari teman dan angota keluarga bahwa klien melakukan

tindakan yang menunjukan tanda-tanda kehilangan pendengaran.

Perubahan yang umum ditemukan adalah presbikusis (prebycusis).

Presbikusis akan mempengaruhi kemampuan lansia untuk mendengar

suara bernada tinggi dan konsonan seperti s, sh, dan ch.

Pada indra pengecap, sekresi saliva menjadi berkurang, papil

perasaan mengalami atrofi, dan terjadi penurunan sensitivitas. Lansia

jadi kurang mampu membedakan antara rasa asin, manis, asam, dan

pahit. Sensasi penciuman juga berkurang sehingga ikut menurunkan

sensasi rasa (Potter & Perry, 2010).

c) Toraks dan Paru-Paru

Perubahan toraks (rongga dada) terjadi karena adanya perubahan

pada sistem muskuloskeletal. Setelah 55 tahun, kekuatan otot respirasi

mulai berkurang. Diameter rongga dada anteroposterior akan

bertambah. Perubahan tulang belakang akibat osteoporosis


15

menyebabkan kifosis punggung yang sering disebut (dowager’s hump).

Klasifikasi jaringan kartilago tulang iga menyebabkan menurunnya

pergerakan tulang iga. Dinding dada menjadi lebih kaku. Ekspansi

paru-paru berkurang, jika terdapat kifosis atau penyakit obstruktif paru,

suara pernafasan akan terdengar jauh.

d) Perubahan Kardiovaskuler

Perubahan struktur jantung dan sistem vaskuler mengakibatkan

penurunan kemampuan untuk berfungsi secara efektif. Katup jantung

berubah menjadi lebih tebal dan kaku, jantung serta arteri kehilangan

elastisitasnya. Timbunan kalsium dan lemak berkumpul didalam

dinding arteri, vena menjadi sangat berkelok-kelok. Meskipun fungsi

dipertahankan dalam keadaan normal, tetapi sistem kardiovaskuler

berkurang cadangannya, dan kemampuannya dalam merespon stress

menurun. Curah jantung saat istirahat menurun sekitar 1 persen

pertahun setelah usia 20. Dalam kondisi stress, baik curah jantung

maksimum dan denyut jantung maksimum juga berkurang tiap tahun

(Fatimah, 2010).

e) Sistem gastrointestinal

Perubahan yang terjadi pada sistem gastrointestinal seperti

terjadinya penurunan selera makan, rasa haus, asupan makanan dan

kalori, mudah terjadi konstipasi dan gangguan pencernaan lainnya.

Terjadi penurnan saliva, kesulitan menelan makanan, perlambatan

pengosongan esofagus dan lambung. Terjadi penurunan motilitas

gastrointestinal (Smeltzer & Bare, 2015).


16

f) Sistem genitourinaria

Perubahan yang terjadi pada sistem genitourinaria seperti pada

ginjal. Ginjal merupakan alat untuk mengeluarkan sisa metabolisme

tubuh melalui urin darah yang masuk ke ginjal, disaring oleh satuan

(unit) terkecil dari ginjal yang disebut dengan neuron. Kemudian

mengecil dan nefron menjadi atrofi, aliran darah ke ginjal menurun

sampai 50%, fungsi tubulus berkurang akibatnya terjadi kurangnya

kemampuan mengkonsentrasi urin, berat jenis urin menurun

proteinuria (biasanya +1) BUN (blood urea nitrogen) meningkat

hingga 21 mg%, dan nilai ambang ginjal terhadap glukosa juga

meningkat.

Perubahan selanjutnya terjadi pada vesika urinaria (kandung

kemih). Pada vesika urinaria otot-otot menjadi lemah, kapasitasnya

menurun hingga 200 ml atau menyebabkan frekuensi buang air kecil

menjadi meningkat, vesika urianaria ini pada pria dengan usia lanjut

susah untuk dikosongkan sehingga bisa mengakibatkan meningkatnya

retensi urin. Perubahan lain pada sistem genitourinaria yaitu pada pria

dengan usia diatas 65 tahun akan mengalami pembesaran pada prostat

+ 75% (Aspiani, 2014).

g) Sistem endokrin

Perubahan yang terjadi pada sistem endokrin pada usia lanjut

seperti produksi dari hampir seluruh hormon menurun, fungsi

parathoid dan sekresinya tidak berubah, perubahan juga terjadi pada

pituitari (pertumbuhan ada tetapi lebih rendah dan hanya di pembuluh

darah, berkurangnya produksi dari ACTH (Adrenocortikotropic


17

Hormone), TSH (Thyroid Stimulating Hormone), FSH (Folikel

Stimulating Hormone) dan LH (Leutinezing Hormone), menurunnya

aktivitas tiroid, menurunnya BMR (Basal Metabolic Rate),

menurunnya daya pertukaran zat, menurunnya produksi aldosterone,

menurunnya sekresi hormon kelamin (progesteron, estrogen dan

testosteron), dan pankreas melepaskan insulin lebih lambat (Lemone,

Burke & Bauldoff, 2016).

h) Sistem muskuloskeletal

Sistem muskuloskeletal berhubungan dengan mobilitas dan

keamanan yang dapat mempengaruhi seluruh aktivitas sehari-hari.

Perubahan muskoloskeletal yang terjadi pada lansia adalah

berkurangnya massa dan kekuatan tulang. Lansia mengalami

penurunan kekuatan dan kelenturan otot seperti kekuatan gangguan

tangan, kekuatan kaki berkurang pada pria, gangguan tangan dan

kekuatan kaki pada wanita. Terbatasnya rentang gerak sendi

meningkatnya resiko jatuh dan fraktur (Potter & Perry, 2010).

i) Sistem reproduksi dan seksualitas

Perubahan pada sistem ini pada lanjut usia seperti pada pria

cenderung mengalami perubahan penurunan ukuran penis dan tetis.

Sedangkan wanita juga mengalami penyempitan dan penurunan

elastisitas vagina, penurunan sekresi vagina. Pada pria dam wanita juga

mengalami respons seksual yang melambat (Smeltzer & Bare, 2015).

j) Sistem Neurologis

Pada pertengahan dekade dua, terjadi penurunan jumlah dan

ukuran neuron pada sistem saraf. Akibat penurunan jumlah neuron ini,
18

fungsi neurotransmitter juga berkurang. Refleks volunter menjadi

lambat dan individu menjadi kurang mampu merespon stimulus

multipel. Selain itu lansia juga sering mengalami perubahan kualitas

dan kuantitas tidur. Keluhan meliputi kesulitan tidur, kesulitan untuk

tetap terjaga, kesulitan untuk kembali tidur setelah terbangun dimalam

hari, terjaga terlalu cepat, dan tidur siang berlebihan. Masalah ini

diakibatkan oleh perubahan terkait usia dalam siklus tidur terjaga

(sleep-wake cycle) (Potter & Perry, 2010)

2) Perubahan Fungsional

Fungsi pada lansia bidang fisik, psikososial, kognitif dan sosial.

Penurunan fungsi yang terjadi pada lansia biasanya berhubungan dengan

penyakit dan tingkat keparahannya. Namun pada akhirnya hubungan

antara berbagai faktor diatas yang mempengaruhi kemampuan fungsional

dan kesahteraan seorang lansia. Beberapa dari mereka menyangkal adanya

perubahan dan terus mengharapkan penampilan yang sama tanpa

mempedulikan usianya. Lansia juga merasa takut menjadi tergantung

dengan adanya penurunan fungsi. Faktor yang mempengaruhi fungsi

tertinggi pada seluruh bidang adalah diet sehat dan seimbang, kegiatan

yang sesuai, kunjungan teratur ke tempat pelayanan kesehatan,

berpartisipasi dengan kegiatan yang bermanfaat, pemanfaatan teknik

manajemen stress, dan penghindaran alkhol, tembakau dan narkoba.

Status fungsional lansia biasanya merujuk kepada kemampuan dan

prilaku yang aman pada aktivitas harian (ADL). ADL adalah tanda

penyakit akut atau pemburukan masalah kronisi. Pneumonia, infeksi

saluran kemih, dehidrasi, gangguan eloktrolit, dan delirum adalah contoh


19

penyakit akut dalam gejala perubahan fungsi. Contoh penyakit kronis

dengan perubahan fungsi adalah diabetes, penyakit kardiovaskuler, atau

penyakit paru-paru kronis (Potter & Perry, 2010).

3) Perubahan fungsi kognitif lansia

Banyak mitos yang berkembang dimasyarakat tentang penurunan

intelegensi lansia dan anggapan bahwa lansia sulit untuk diberikan

pelajaran karena psoses pikiran yang mulai melambat, mudah lupa,

bingung dan pikun. Padahal peneliti memperlihatkan bahwa lingkungan

yang memberikan stimulasi, tingkat pendidikan yang tinggi, status

pekerjaan dan kesehatan kardivaskuler yang baik dapat memberikan efek

positif terhadap angka intelegensi lansia (Fatimah, 2010)

Perubahan fungsi kognitif pada lansia meliputi fungsi daya ingat,

fungsi intelektual dan kemampuan untuk belajar. Lansia mempunyai

kelemahan dalam mengingat jangka pendek (short term memory) tetapi

tidak dengan kemampuan mengingat masa lampau (long term memory).

Sedangkan lansia mengalami peningkatan kemampuan untuk

mengintegrasi informasi dan pengetahuan terkait dengan pengalaman,

pengertian, komunikasi, perkembangan daya nilai, dan juga pemikiran

terkait kebutuhan kehidupan sehari-hari. Fungsi intelektual lansia

memasuki tahapan paling tinggi dalam fungsi kepandaian. Hal tersebut

berkaitan dengan kemampuan yang terkristalisasi dari pengetahuan

sebelum masa kehidupan masuk pada kondisi yang stabil pada tahap

kehidupan dewasa (Azizah, 2011).


20

4) Perubahan Psikososial

Perubahan psikososil pada selama proses penuanan akan

melibatkan proses transisi kehidupan dan kehilangan. Semakin panjang

usia sesesorang, maka akan semakin banyak pula transisi dan kehilangan

yang harus dihadapin. Transisi hidup yang mayoritas disususn oleh

pengalaman kehilangan, meliputi masa pensiun dan perubahan keaadaan

finasial, perubahan peran dan hubungan, perubahan kesehatan dan

kemampuan fungsional, perubahan jaringan sosial, dan relokasi.

Kehilangan yang umum bagi lansia biasanya berkisar pada kehilangan

suatu hubungan akibat proses kematian (Potter & Perry, 2010).

Efendi dan Makhfudli (2013) mengatakan perubahan psikososial

pada lansia yaitu:

Psikososial terjadi terutama setelah seseorang mengalami pensiun.

Berikut ini adalah hal-hal yng akan terjadi pada masa pensiun.

a) Kehilangan sumber finansial (income berkurang).

b) Kehilangan status karena dulu mempunyai jabatan posisi yang cukup

tinggi, lengkap dengan segala fasilitasnya.

c) Kehilangan teman atau relasi.

d) Kehilangan pekerjaan atau kegiatan.

e) Merasakan atau kesadaran akan kematian (sense of awarensess of

mortality).

5) Perubahan Spiritual

Agama atau kepercayaan makin terintegrasi dalam kehidupan

lansia. Lansia makin teratur dalam kehidupan keagaamannya, hal ini

terlihat dalam berfikir dan bertindak dalam sehari-hari. Perkembangan


21

spritual pada usia 70 tahun disebut dengan universalizing,

perkembanganya yang dicapai pada tingkat ini adalah berfikir dan

bertindak dengan cara memberikan conoh cara mencintai dan keadilan

(Nugroho, 2002 dalam Mujahidulla, 2012).

2. Posbindu

a. Pengertian

Posbindu lansia adalah suatu bentuk keterpaduan pelayanan kesehatan

terhadap lansia ditingkat desa/kelurahan dimasing-masing wilayah kerja

puskesmas. Keterpaduan dalam posbindu lansia berupa keterpaduan pada

pelayanan yang dilatarbelakangi oleh kriteria lansia yang memiliki berbagai

macam penyakit. Dasar pembentukan posbindu adalah untuk meningkatkan

kesejatraan masyarakat terutama lansia. Adapun tujuan umum posyandu lansia

untuk meningkatkan derajat kesehatan dan mutu kehidupan lansia untuk

mencapai masa tua yang bahagia dan berdaya guna dalam kehidupan keluarga

dan masyarakat (Ismawati, 2016)

Menurut (Permenkes, 2015) Posyandu Lanjut Usia adalah suatu wadah

pelayanan kepada lanjut usia di masyarakat dimana proses pembentukan dan

pelaksanaanya dilakukan oleh masyarakat berdasarkan inisiatif dan kebutuhan

masyarakat itu sendiri dan dilaksanakan bersama oleh masyarakat, kader,

lembaga suwadaya masyarakat, lintas sektor, swasta dan organisasi sosial

dengan menitik beratkan pada upaya promotif dan preventif.

Dalam penyelenggaraan dan operasional Posbindu dibutuhkan beberapa

kebijakan pelayanan kesehatan lanjut usia yang disusun berdasarkan prinsip-

prinsip mewujudkan lanjut usia sehat sebagai berikut:


22

1) Pembinaan kesehatan lanjut usia terutama ditujukan pada upaya

peningkatan kesehatan dan kemampuan untuk mandiri, tetap produktif dan

berperan aktif dalam pembangunan, selama mungkin.

2) Pemberdayaan masyarakat melalui peningkatan peran keluarga dan

masyarakat, serta menjalin kemitraan dengan Lembaga Swadaya

Masyarakat, organisasi kemasyarakatan, kelompok khusus, dan swasta

dalam penyelenggaraan upaya kesehatan lanjut usia secara

berkesinambungan.

3) Pembinaan kesehatan lanjut usia dilaksanakan melalui pendekatan holistik

dengan memperhatikan nilai sosial dan budaya yang ada.

4) Pembinaan kesehatan lanjut usia dilaksanakan secara terpadu dengan

meningkatkan peran, koordinasi dan integrasi dengan lintas program dan

lintas sektor.

5) Pembinaan kesehatan lanjut usia dilaksanakan sebagai bagian dari

pembinaan kesehatan keluarga.

6) Pendekatan siklus hidup dalam pelayanan kesehatan untuk mencapai lanjut

usia yang sehat, mandiri, aktif dan produktif.

7) Upaya kesehatan lanjut usia yang dilaksanakan melalui fasilitas pelayanan

kesehatan tingkat pertama dan rujukan yang berkualitas, secara

komprehensif meliputi upaya promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.

b. Tujuan Posbindu

Tujuan Posbindu adalah meningkatkan derajat kesehatan lanjut usia

untuk mencapai lanjut usia yang sehat, mandiri, aktif, produktif dan

berdayaguna bagi keluarga dan masyarakat (Permenkes, 2016), yang

kemudian dijabarkan sebagai berikut:


23

1) Meningkatnya cakupan dan kualitas pelayanan kesehatan santun lanjut

usia

2) Meningkatnya ketersediaan data dan informasi di bidang kesehatan lanjut

usia

3) Meningkatnya koordinasi dengan lintas program, lintas sektor,

profesi/organisasi profesi, organisasi masyarakat, dunia usaha, media

massa dan pihak terkait lainnya.

4) Meningkatnya peran serta dan pemberdayaan keluarga, masyarakat dan

lanjut usia dalam upaya peningkatan kesehatan lanjut usia

5) Meningkatnya peran serta lanjut usia dalam upaya peningkatan kesehatan

keluarga dan masyarakat.

c. Sasaran

Adapun sasaran posbindu lansia menurut Permenkes, 2016 adalah

1) Sasaran langsung kelompok pra lanjut usia (45-59 tahun), lanjut usia (60-

69 tahun), dan lanjut usia risiko tinggi (lanjut usia >70 tahun atau usia >=

60 tahun dengan masalah kesehatan).

2) Sasaran tidak langsung keluarga, masyarakat, lembaga swadaya

masyarakat, organisasi kemasyarakatan, kelompok khusus, dan swasta,

lintas program, dan lintas sektor.

d. Waktu Penyelenggaran

Posbindu dapat diselenggarakan dalam sebulan sekali, bila diperlukan

dapat lebih dari satu kali dalam sebulan untuk kegiatan pengendalian faktor

resiko penyakit lainnya misalnya olahraga bersama, penyuluhan dan lainnya.

Hari dan waktu yang dipilih sesuai dengan kesepakatan serta dapat saja

disesuaikan disituasi dan kondisi setempat (Kemenkes, 2012).


24

e. Pelaksanaan Kegiatan Posbindu Lansia

Kegiatan pelaksanaan posbindu lansia ini mencakupi upaya-upaya

perbaikan dan peningkatan kesehatan masyarakat, meliputi (Ismawati dkk,

2016) :

1) Kegiatan Promotif

Memberikan penyuluhan tentang perilaku hidup sehat, gizi,

penyakit degeneratif, kebugaran jasmani, pemeliharaan kemandirian serta

produktivitas usia lanjut usia.

2) Kegiatan Preventif

Kegiatan yang bertujuan untuk mencegah sedini mungkin

terjadinya penyakit dan komplikasi melalui deteksi dini dan pemantauan

kesehatan usia lanjut. Kegiatan ini dapat dilakukan di Kelompok Usia

Lanjut dengan menggunakan Kartu Menuju Sehat (KMS) Usia Lanjut.

3) Kegiatan Kuratif

Kegiatan pengobatan ringan bagi usia lanjut yang sakit dapat

dilakukan di posbindu dan yang mebutuhkan perawatan lebih lanjut dapat

dilakukan di Puskesmas serta bagi yang mebutuhkan penangan dengan

fasilitas lebih lengkap dpat di rujuk ke Rumah Sakit.

4) Kegiatan Rehabilitatif

Kegiatan ini dapat berupa upaya medis, psikososial, edukatif

maupun upaya lain yang dapat dilakukan semaksimal mungkin

mengembalikan kemampuan fungsional dan kepercayaan diri usia lanjut

(Maryam dkk, 2010).


25

f. Frekuensi Kunjungan Keaktifan Lanjut Usia

Keaktifan lansia adalah kegiatan atau kesibukan lansia dalam mengikuti

dan menghadiri kegiatan posyandu lansia secara rutin setiap bulannya di

wilayah setempat. Keaktifan lansia dapat diukur dengan kehadiran selama

setahun. Lansia dapat dikatakan aktif jika kehadirannya mencapai 70% atau ≥

8 kali kehadirannya yang disesuaikan dengan program pelayanan kesehatan

puskesmas setempat dalam satu tahun ( Rusmin dkk, 2016 & Pertiwi, 2013).

g. Peran Serta Lansia

Peran lansia diharapkan dapat bersama-sama mewujudkan kesehatan

dengan cara:

1) Berperan aktif dalam kegiatan penyuluhan\

2) Olahraga secara teratur sesuai kemampuan

3) Menjalani pemeriksaan kesehatan secara berkala

4) Menjalani pengobatan

5) Meningkatkan upaya kemandirian dan pemenuhan kebutuhan pribadi

(Ismawati, 2016).

h. Peran Petugas Kesehatan Puskesmas

Puskesmas memiliki tanggung jawab pembinaaan Posbindu di wilayah

kerjanya sehingga kehadiran petugas Puskesmas dalam kegiatan Posbindu

sangan diperlukan dalam bentuk peran seperti (Kemenkes, 2012):

1) Memberikan bimbingan teknis kepada para kader posbindu dalam

penyelengaraannya.

2) Memberikan materi kesehatan terkait dengan permasalahan risiko PTM

dalam penyuluhan maupun kegiatan lainnya.

3) Mengambil dan menganalisa hasil kegiatan posbindu


26

4) Menerima, menangani, dan memberi umpan balik pada kasus rujukan dari

Posbindu.

5) Melakukan koordinasi dengan para pemangkukepentingan lain terkait.

i. Peran Kader

Dari sejumlah kader yang telah dilatih di tetapkan koordinator dan

penanggung jawab untuk penggerak, pemantau, konselor/ edukator serta

pencatat. Beberapa tugas kader, seperti berikut (Kemenkes, 2012):

1) Tugas kader sebelum hari pelaksanaan posyandu/persiapan lansia

a) Mengadakan pertemuan kelompok untuk menentukan jadwal kegiatan

b) Menyiapkan tempat dan peralatan yang diperlukan

c) Membuat dan menyebarkan pengumuman mengenai waktu pelaksaan

d) Mengundang dan menggerakan masyarakat, yaitu lansia untuk datang

ke posyandu dan melakukan pendekatan tokoh yang bisa membantu

memotivasi lansia untuk datang

e) Melaksanakan pembagian tugas seperti menentukan pembagian tugas

diantara kader posyandu (Sya’diyah, 2018).

2) Tahap Pelaksanaan

a) Melakukan pelayanan dengan sistem 5 meja atau modifikasi sesuai

dengan kebutuhan dan kesepakatan yang sama.

b) Aktifitas bersama seperti berolahraga bersama, demo masak, dan

penyuluhan

c) Membagi PMT pada lansia.

d) Menyampaikan penghargaan kepada lansia yang telah datang ke

Posyandu dan minta mereka untuk kembali pada hari Posyandu

berikutnya.
27

3) Sesudah Hari Buka Posyandu

a) Melakukan kunjungan rumah pada lansia yang tidak hadir pada hari

buka Posyandu.

b) Memotivasi masyarakat, misalnya untuk memanfaatkan pekarangan

dalam rangka meningkatkan gizi keluarga, menanam tanaman obat

keluarga, membuat tempat bermain anak yang aman dan nyaman.

Selain itu, memberikan penyuluhan tentang Perilaku Hidup Bersih dan

Sehat (PHBS).

c) Melakukan pertemuan dengan tokoh masyarakat, pimpinan wilayah

untuk menyampaikan hasil kegiatan Posyandu serta mengusulkan

dukungan agar Posyandu terus berjalan dengan baik.

d) Menyelenggarakan pertemuan, diskusi dengan masyarakat, untuk

membahas kegiatan Posyandu. Usulan dari masyarakat digunakan

sebagai bahan menyusun rencana tindak lanjut kegiatan berikutnya.

e) Mempelajari Sistem Informasi Posyandu (SIP). SIP merupakan sistem

pencatatan data atau informasi tentang pelayanan yang diselenggarakan

di Posyandu. Manfaat SIP adalah sebagai panduan untuk kader dalam

memahami permasalahan yang ada, sehingga dapat mengembangkan

jenis kegiatan yang tepat dan sesuai dengan kebutuhan sasaran.

j. Sistem 5 Tahapan (5 Meja)

Pelaksanaan kegiatan di posyandu lanjut usia dapat dilakukan oleh

kader kesehatan yang sudah dilatih, dengan tenaga teknik adalah tenaga

kesehatan dari Puskesmas. Untuk memberikan pelayanan kesehatan yang

prima di posyandu lanjut usia, kegiatan yang sebaiknya digunakan adalah

sitem 5 tahapan (5 meja) (Permenkes, 2015).


28

1) Meja 1

Pendaftaran anggota kelompok lansia dan pengisian data bagi

kelompok lansia yang baru mendaftar

2) Meja 2

Pencatatan kegiatan sehari-hari yang dilakukan usia lanjut, serta

penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan.

3) Meja 3

Pengukuran tekanan darah (TD), pemeriksaan kesehatan dan

pemeriksaan status mental.

4) Meja 4

Pemeriksaan urin dan pengukuran gula darah/ glukometer.

5) Meja 5

Pemberihan konseling dan penyuluhan

3. Konsep Efikasi Diri ( Self-efficacy)

a. Pengertian

Efikasi diri (self-efficacy) adalah keyakinan diri atau sikap percaya diri

terhadap kemampuan sendiri untuk menampilkan tingkah laku yang akan

mengarahkan pada seseorang pada hasil yang diharapkan (Yusuf & Nurihsan,

2011). Efikasi diri (self-efficacy) adalah keyakinan seseorang mengenai

kemampuan-kemampuannya dalam mengatasi beraneka ragam situasi yang

muncul dalam hidupnya.

Efikasi diri secara umum tidak berkaitan dengan kecakapan yang

dimiliki, tetapi berkaitan dengan keyakinan individu mengenai hal yang dapat

dilakukan dengan kecakapan yang dimiliki sebesar apapun. Albert Bandura

sebagai tokoh yangn memperkenalkan istilah efikasi diri terkait dengan


29

sejumlah perkembangan positif dalam kehidupan seseorang, termasuk

pemecahan masalah untuk mencapai hasil tertentu (Ghufron & Risnawati,

2012).

Penelitian telah menunjukan bahwa efikasi diri berhubungan dengan

keberhasilan berbagai perubahan hidup yang positif. Seseorang dengan efikasi

dipercaya bahwa mereka mampu melakukan sesuatu untuk mengubah

kejadian-kejadian disekitarnya, sedangkan seseorang dengan efikasi diri rendah

menganggap dirinya pada dasarnya tidak mampu mengerjakan segalah sesuatu

yang ada disekitarnya. Dalam situasi sulit, orang dengan efikasi diri yang

rendah mudah menyerah. Sementara orang dengan efikasi diri yang tinggi akan

berusaha lebih keras untuk mengatasi tantangan yang ada (Ghufron, 2010).

Efikasi diri mempengaruhi apakah orang-orang berusaha untuk

mengembangkan kebiasaan-kebiasaan sehat dan juga seberapa banyak usaha

yang mereka curahkan dalam melakukan coping terhadap stres, berapa lama

mereka bertahan dalam hambatan, dan seberapa banyak stress dan rasa sakit

yang mereka alami (King, 2010).

b. Sumber self efficacy

Menurut Bandura (1997) dalam Ghafron dan Risnawati (2012) Self

efficacy pribadi itu didapatkan, dikembangkan, atau diturunkan melalui satu

atau dari kombinasi empat sumber, yang mana pada setiap sumber, informasi

tentang diri dan lingkungan diproses secara kognitif dan bersama-sama

rekoleksi terhadap pengalaman-pengalaman sebelumnya, dan mengubah self

efficacy yang dimiliki. Keempat sumber tersebut, yaitu:


30

1) Pengalaman-Pengalaman Tentang Penguasaan (Mastery Experience)

Sumber paling berpengaruh bagi self efficacy adalah pengalaman-

pengalaman tentang penguasaan (Mastery Experience), yaitu performa-

performa yang sudah dilakukan dimasa lalu. Biasanya, kesuksesan kinerja

akan membangkitkan harapan atau keyakinan terhadap kemampuan diri

untuk mempengaruhi hasil yang diharapkan. Sedangkan kegagalan,

cenderung merendahkannya. Pernyataan umum ini mempunyai enam

konsekuensi praktis.

Pertama, kesuksesan kinerja akan membangkitkan self efficacy

dalam menghadapi kesulitan tugas. Kedua, tugas individu yang di kerjakan

dengan sukses, lebih membangkitkan self efficacy dibandingkan dengan

kesuksesan tugas yang dikerjakan secara berkelompok. Ketiga, kegagalan

tampaknya lebih banyak menurunkan self efficacy, terutama jika kita sadar

sudah mengupayakan yang terbaik. Keempat, kegagalan dibawah kondisi

emosi yang tinggi atau tingkatan stress tinggi, self efficacy nya tidak

selemah dari pada kegagalan dibawah kondisi-kondisi maksimal. Kelima,

kegagalan dalam memperoleh pengalaman-pengalaman tentang

penguasaan lebih merusak self efficacy dari pada kegagalan sesudah

memperolehnya. Keenam, kegagalan pekerjaan memiliki efek yang kecil

saja bagi self efficacy, khususnya bagi mereka yang memiliki ekspektasi

kesuksesan tinggi.

2) Pengalaman Orang Lain (vicarious experience)

Pengamatan terhadap keberhasilan orang lain dengan kemampuan

yang sebanding dalam mengerjakan tugas akan meningkatkan efikasi diri

individudalam mengerjakan tugas yang sama.


31

3) Pemodelan sosial (social modeling)

Sumber kedua self efficacy adalah pemodelan sosial, yaitu

pengalaman-pengalaman tak terduga (vicarious experience) yang

disediakan orang lain. Self efficacy meningkat ketika manusia mengamati

pencapaian orang lain yang setara kompetensinya, tetapi menurun ketika

melihat kegagalan seorang rekan. Apabila orang lain tidak setara dengan

kita, pemodelan sosial hanya memberikan efek kecil saja bagi self efficacy.

Secara umum, efek-efek pemodelan sosial dalam meningkatkan self

efficacy tidak sekuat performa sosial. Sebaliknya, pemodelan sosial, dapat

memiliki efek kuat jika berkaitan dengan ketidak percayaan diri.

4) Persuasi sosial (social persuasion)

Self efficacy dapat dikuatkan atau dilemahkan dengan persuasi

sosial. Efek dari sumber ini agak terbatas namun, dalam kondisi yang

tepat, persuasi orang lain dapatt meningkatkan atau menurunkan self

efficacy. Kondisi pertama adalah seseorang harus percaya terhadap sang

pembicara, penolakan atau kritik dari sumber yang dipercaya inimemiliki

efek yang lebih kuat pada self efficacy dari pada sumber yang tidak

dipercaya. Meningkatkan self efficacy lewat persuasi sosial akan efektif

hanya jika aktifitas yang diperkuat termaktub dalam daftar perilaku yang

diulang-ulang. Bandura berhipotesis bahwa efek sebuah nasihat bagi self

efficacy berkaitan erat dengan status dan otoritas pemberi nasihat. Status

disini tidak sama dengan otoritas. Sebuah persuasi sosial terbukti lebih

efektif jika berkombinasi dengan keberhasilan performa.


32

5) Kondisi fisik dan emosi (fisical and emotional state).

Ketegangan fisik dalam situasi yang menekan dipandang individu

sebagai tanda ketidakmampuan karena dapat melemahkan performansi

kerja individu.

c. Aspek-Aspek Self Efficacy

Bandura (1997) dalam Ghufron (2014: 80), efikasi diri tiap individu

berbeda satu sama lain, hal ini berdasarkan tiga dimensi self efficacy, antara

lain:

1) Dimensi Tingkat (Level)

Dimensi ini berkaitan dengan derajat kesulitan tugas ketika

individu merasa mampu untuk melakukannya. Apabila individu

dihadapkan pada tugas-tugas yang disusun menurut tingkat kesulitannya,

maka efikasi diri individu mungkin akan terbatas pada tugas yang mudah,

sedang, bahkan paling sulit sesuai dengan batas kemampuannya untuk

memenuhi tuntutan perilaku yang dibutuhkan pada masing-masing tingkat.

Individu yang memiliki efikasi diri tinggi akan cendrung memilih

terlibat lansung dalam melakukan suatu tugas, sedangkan individu yang

memiliki efikasi rendah cendrung menghindari tugas tersebut. Individu

yang memiliki efikasi diri yang tinggi cendrung mengerjakan suatu tugas

tertentu meskipun tugas tersebut dirasa sulit. Mereka tidak memandang

tugas sebagai suatu ancaman yang harus mereka hindari. Mereka yang

gagal dalam melaksanakan sesuatu, biasanya cepat mendapatkan kembali

efikasi diri setelah mengalami kegagalan tersebut.

Individu yang memiliki efikasi diri yang rendah akan menjauhi

tugas-tugas yang sulit karena tugas tersebut dipandang sebagai ancaman


33

bagi mereka. Individu seperti ini memiliki aspirasi yang rendah serta

komitmen yang rendah dalam mencapai tujuan yang mereka pilih atau

mereka tetapkan.

Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa individu

yang memiliki efikasi diri tinggi dan rendah memiliki ciri-ciri sebagai

berikut (Permana, 2016) :

a) Self Efficacy Tinggi

Individu yang memiliki self efficacy tinggi memiliki ciri-ciri

sebagai berikut: mampu menangani masalah yang mereka hadapi

secara efektif, cendrung memilih terlibat langsung dalam mengerjakan

suatu tugas, cendrung mengerjakan tugas tertentu walaupun tugas

dirasakan sulit, menganggap kegagalan sebagai akibat kurang usaha,

pengetahuan dan keterampilan, gigih dalam berusaha, percaya pada

kemampuan diri yang dimilikinya, hanya sedikit menampakan keragu-

raguan, dan suka mencari situasi yang baru (Ghufron dkk, 2012).

b) Self Efficacy Rendah

Individu yang memiliki self efficacy rendah memiliki ciri-ciri

sebagai berikut: cendrung menghindari tugas, ragu-ragu atas

kemampuannya, tugas yang sulit dipandang sebagai ancaman, lamban

dalam membenahi diri ketika mendapatkan kegagalan, aspirasi dan

komitmen pada tugas lemah, tidak berfikir bagaimana cara

menghadapi masalah, dan tidak suka mencari situasi yang baru

(Permana, 2016).
34

2) Dimensi Kekuatan (Strength)

Dimensi ini berkaitan dengan tingkat kekuatan dari keyakinan atau

pengharapan individu mengenai kemampuannya. Pengharapan yang lemah

mudah digoyahkan oleh pengalaman-pengalaman yang tidak mendukung.

Sebaliknya, pengharapan yang mantap mendorong individu tetap bertahan

dalam usahanya meskipun mungkin ditemukan pengalaman yang kurang

menunjang. Dimensi ini berkaitan langsung dengan dimensi level yaitu

semakin tinggi taraf kesulitasn tugas, semakin lemah keyakinan yang

dirasakan untuk menyelesaikannya (Ghufron dkk, 2012).

3) Dimensi Generalisasi (Generality)

Dimensi ini berkaitan dengan luas bidang tingkah laku dimana

individu merasa yakin akan kemampuannya dan bagaimana seseorang

mampu menggeneralisasikan tugas dan pengalaman sebelumnya ketika

menghadapi suatu tugas atau pekerjaan, misalnya apakah ia dapat

menjadikan pengalaman sebagai hambatan atau sebagai kegagalan

(Ghufron dkk, 2012).

d. Proses Self Efficacy

Bandura (2008: 3-6) memaparkan proses self efficacy, antara lain proses

kognitif, proses motivasi, proses afektif dan proses seleksi. Berikut akan

dijelaskan uraian lengkap dari proses self efficacy

1) Proses Kognitif

Semakin kuat self efficacy yang dirasakan, semakin tinggi tujuan

dan komitmen yang akan ditetapkan. Sebagian besar, tindakan dilakukan

berdasarkan pemikiran. Keyakinan orang sebagai bentuk dari antisipasi

mereka untuk membangun dan berlatih. Mereka yang memiliki self


35

efficacy yang tinggi akan membuat rencana yang didalamnya terdapat

panduan positif untuk menunjang kinerja mereka. Mereka yang meragukan

keyakinan akan memikirkan rencana dan banyak hal yang salah oleh

karena itu, sulit mencapai keberhasilan bila memiliki keraguan.

2) Proses Motivasi

Self efficacy memainkan peranan dalam pengaturan motivasi.

Orang memotivasi diri dan membimbing tindakan mereka untuk

mengantisipasi tugas melalui latihan. Mereka membentuk keyakinan

tentang apa yang bisa mereka lakukan, mengantisipasi kemungkinan yang

dapat terjadi melalui tindakan dan menetapkan tujuan mereka serta

merencanakan program untuk masa depan.

3) Proses Afektif

Proses afektif adalah keyakinan orang terhadap kemampuan

mereka dalam mengatasi stres dan depresi dalam situasi yang sulit. Self

efficacy memainkan peran penting dalam kecemasan. Orang yang percaya

bahwa mereka dapat mengontrol diri, maka pola pikir mereka tidak akan

terganggu. Tapi orang yang yakin bahwa mereka tidak dapat mengontrol

diri sendiri, akan mengalami kecemasan. Mereka selalu memikirkan

kekurangan mereka, melihat lingkungan penuh dengan bahaya dan

semakin parah dengan khawatir bila sesuatu akan terjadi. Pemikiran sperti

itu akan menyusahkan dan merusak mereka. Dalam hal ini, self efficacy

akan memberikan pengaruh terhadap kecemasan. Semakin tinggi self

efficacy, semakin berani orang menghadapi tantangan. Kecemasan tidak

hanya dipengaruhi oleh self efficacy tetapi juga dipengaruhi oleh pikiran

mereka.
36

4) Proses Seleksi

Orang adalah bagian dari produk lingkungan, oleh karena itu, self

efficacy membentuk arah kehidupan dan mempengaruhi jenis kegiatan

orang dalam lingkungan. Orang menghindari aktivitas diluar batas

kemampuan mereka. Tapi mereka mau melakukan tugas menantang dan

menilai yang sekiranya sesuai dengan kemampuan mereka. Melalui pilihan

yang dibuat, orang akan berkompetisi dalam menentukan program.

e. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Self Efficacy

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan self efficacy

diantaranya (Omrod, 2009) :

1) Keberhasilan dan Kegagalan Pembelajaran Sebelumnya

Pembelajaran lebih mungkin untuk yakin bahwa mereka dapat

berhasil pada tugas ketika mereka telah berhasil pada tugas tersebut atau

tugas lain yang mirip dimasa lalu.

2) Pesan dari Orang Lain

Self efficacy seseorang dapat ditingkatkan dengan memberikan

alasan-alasan untuk percaya bahwa mereka dapat sukses dimasa depan.

Pernyataan-pernyataan seperti ini “kamu bisa untuk melakukannya”,

pernyataan tersebut dapat meningkatkan rasa percaya diri seseorang.

3) Kesuksesan dan Kegagalan Orang lain

Seseorang sering beranggapan mengenai kemampuan yang dimiliki

dirinya sendiri dengan cara mengamati kesuksesan dan kegagalan orang

lain.
37

4) Kesuksesan dan Kegagalan dalam Keompok Lain

Pembelajaran dapat berfikir secara lebih inteligent dan

mendapatkan pemahaman yang lebih kompleks tentang sebuah topik

ketika mereka berkolaborasi dan menerapkan materi. Kolaborasi dengan

teman-teman sebaya memiliki manfaat yang potensial. Pembelajaran

mungkin memiliki sifat self efficacy yang lebih besar ketika mereka

bekerja dalam kelompok.

5) Kondisi Fisik dan Emosional

Pada keadaan ini mempengaruhi pengambilan keputusan seseorang

terkait efikasi diri, individu akan menilai kemampuannya untuk melakukan

perilaku kesehatan. Pada tahap ini seseorang akan mengalami ketegangan,

kegelisahan dan depresi yang merupakan tanda dari defisiensi diri.

Keadaan stres juga dapat memberikan pengaruh yang negatif pada efikasi

diri (Sari, 2019).

6) Dukungan Sosial

Seseorang harus diberikan dukungan sosial yang penuh. Dukungan

sosial yang diberikan adalah dukungan informasi yaitu berupa nasehat,

saran dan informasi. Seseorang yang meberikan dukungan informasi

berupa nasehat, saran dan informasi atau petunjuk kepada seseorang

cendrung membuat seseorang lebih percaya diri dan yakin akan

kemampuannya (Sari & Sumiati, 2016).

7) Tingkat Pengetahuan

Berdasarkan hasil penelitian Rahayuningsih (2013) menyatakan

bahwa adanya hubungan tingkat pengetahuan pasien tentang hipertensi


38

dengan self efficacy. Pengetahuan sebagai dasar individu untuk

menentukan sikap dan prilaku.

8) Tingkat Spritualitas

Tingkat spritualitas yang tinggi dapat mempengaruhi kognisi

manusia untuk berfikir positif. Kegiatan spritual yang dilakukan secara

berulang akan meningkatkan kedekatan kepada Tuhan sehingga

menimbulkan pemikiran yang positif. Seseorang yang memiliki spritualitas

yang baik akan menggunakan kepercayaan untuk tindakan positif dalam

melakukan perawatan diri (Asstuti, 2017).

4. Hipertensi

a. Definisi

Penyakit jantung dan pembuluh darah, termasuk hipertensi telah

menjadi penyakit yang mematikan banyak penduduk di negra maju dan negara

berkembang lebih dari delapan dekade terakhir. Hipertensi merupakan

gangguan sistem peredaran darah yang menyebabkan kenaikan tekanan darah

diatas nilai normal, yaitu 140/90 mmHg (Triyanto, 2014), sementara menurut

WHO bahwa hipertensi terjadi bila tekanan darah di atas 160/95 mmHg.

Hipertensi, juga dikenal sebagai tekanan darah tinggi atau naik, adalah

suatu kondisi di mana pembuluh darah terus-menerus meningkatkan tekanan,

menempatkan mereka di bawah tekanan yang meningkat. Setiap kali jantung

berdetak; memompa darah ke dalam pembuluh, yang membawa darah ke

seluruh tubuh. Tekanan darah diciptakan oleh kekuatan darah yang mendorong

dinding pembuluh darah (arteri) karena dipompa oleh jantung. Semakin tinggi

tekanan, semakin sulit jantung memompa. Hipertensi disebut "silent killer".


39

Kebanyakan orang dengan hipertensi tidak menyadari masalah ini

karena mungkin tidak memiliki tanda atau gejala peringatan. Untuk alasan ini,

sangat penting bahwa tekanan darah diukur secara teratur. Ketika gejalanya

muncul, mereka bisa termasuk sakit kepala di pagi hari, mimisan, irama

jantung yang tidak teratur, perubahan penglihatan, dan berdengung di telinga.

Hipertensi berat dapat menyebabkan kelelahan, mual, muntah, kebingungan,

kecemasan, nyeri dada, dan tremor otot (WHO, 2015).

b. Klasifikasi Hipertensi

Who menetapkan klasifikasi hipertensi menjadi tiga tingkat yaitu (Ode,

2016) :

1) Tingkat 1 : Tekanan darah meningkat tanpa gejala-

gejala dari gangguan atau sistem kardiovaskuler.

2) Tingkat II : Tekanan darah meningkat dengan gejala

hipoterapi kardiovaskuler, tetapi tanpa ada gejala-

gejala kerusakan atau gangguan alat atau organ

lain.

3) Tingkat III : Tekanan darah meningkat dengan gejala-

gejala yang jelas dari kerusakan dan gangguan fatal

dari target organ.

Berdasarkan The Seventh Report of The Joint National Committee on

Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure

(JNC 8) (2015) klasifikasi tekanan darah pada orang dewasa terbagi menjadi 4

kategori kelompok normal, pra-Hipertensi, Hipertensi derajat 1, hipertensi

derajat 2 (Bell K, Twiggs J& Olin B, 2015).


40

Tabel 1
Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VIII

Klasifikasi TDS TDD


mmHg
mmHg
Normal <120 <80
Pre hipertensi 120-139 80-89
Hipertensi derajat I 140-159 90-99
Hipertensi derajat II ≥ 160 >100

Tabel 2
Klasifikasi tekanan darah dari European Society of Hypertension (ESH)
Kategori Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Optimal < 120 (dan) < 80
Normal 120-129 (dan/atau) 80-84
Normal tinggi 130-139 (dan/atau) 85-89
Derajat 1 hipertensi 140-159 (dan/atau) 90-99
Derajat 2 hipertensi 160-179 (dan/atau) 100-109
Derajat 3 hipertensi > 180 (dan/atau) > 110
Sistolik hipertensi
terisolasi > 140 (dan) < 90

Sumber: (Michael, Natalia, Margaretta, Putra & Gabrielia, 2014).

Menurut penyebabnya pengelompokan hipertensi terbagi menjadi 2

jenis:

1) Hipertensi Esensial ( Hipertensi Primer)

Tipe ini terjadi pada sebagian besar kasus tekanan darah tinggi,

walaupun dikaitkan dengan kombinasi faktor gaya hidup seperti kurang

bergerak ( in aktivitas) dan pola makan.

2) Hipertensi Sekunder

Hipertensi ini lebih jarang terjadi, hanya sekitar 5% dari seluruh

kasus tekanan darah tinggi. Tekanan darah tinggi tipe ini disebabkan oleh

kondisi medis lainnya (misalnya penyakit ginjal) atau reakasi obatan

tertentu (misalnya Pil KB). Klasifikasi tekanan darah oleh JNC 7 untuk
41

pasien dewasa (umur ≥ 18 tahun) berdasarkan rata-rata pengukuran dua

tekanan darah atau lebih pada dua atau lebih kunjungan klinis.

Hipertensi pada lanjut usia dibedakan atas:

1) Hipertensi pada tekanan sistolik sama atau lebih besar dari 140 mmHg

atau tekanan darah diasistolik sama atau lebih besar dari 90 mmHg.

2) Hipertensi Sistolik terisolasi: tekanan sistolik lebih besar dari 160 mmHg

dan tekanan diastolik lebih rendah daro 90 mmHg.

c. Etiologi Hipertensi

Menurut Smeltzer dkk (2013), berdasarkan penyebab terjadinya,

hipertensi terbagi atas dua bagian, yaitu :

1) Hipertensi Primer (Esensial)

Hipertensi primer yaitu hipertensi yang tidak diketahui apa

penyebabnya. Kurang lebih 90% penderita hipertensi tergolong hipertensi

primer (Padila, 2013).

Beberapa faktor yang diduga berkaitannya dengan

berkembangannya hipertensi primer diantaranya:

a) Genetik

Individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan hipertensi,

beresiko lebih tinggi untuk mendapatkan penyakit hipertensi

dibandingkan yang tidak memiliki riwayat hipertensi. Tanda gejala

hipertensi akan muncul dalam waktu 30-50 tahun dengan kemungkinan

komplikasinya (Ardiyansyah, 2012).

b) Ras
42

Tekanan darah tinggi lebih umum diderita warga kulit hitam

ketimbang ras lainnya, dan itu menimpa mereka diusia yang lebih

muda. Warga Afrika, Amerika jauh lebih peka terhadap natrium

daripada orang yang berkulit putih, dan menu makan mereka

cenderung tinggi natrium, sehingga resiko hipertensi menjadi berlipat

ganda (Kowalski, 2010).

c) Jenis kelamin

Perempuan saat usia 65 tahun ke atas atau lansia lebih beresiko

mengalami hipertensi dari pada laki-laki. Kondisi ini dipengaruhi oleh

hormon. Seseorang wanita yang sudah memasuki masa menopause,

lebih beresiko untuk mengalami obesitas yang akan meningkatkan

terjadinya hipertensi (Prasetyaningrum, 2014).

d) Berat badan/obesitas (25% lebih berat diatas berat ideal)

Obesitas adalah faktor resiko lain yang sangat menentukan

tingkat keparahan hipertensi. Semakin besar massa tubuh seseorang,

maka semakin banyak darah yang dibutuhkan untuk menyuplai

oksigen dan nutrisi ke otot dan jaringan lainnya. Obesitas

meningkatkan panjangnya pembuluh darah, sehingga meningkatkan

retensi darah yang seharusnya mampu menempuh jarah yang lebih

jauh (Kowalski, 2010).

e) Kurang olahraga

Orang yang bermalas-malasan cenderung lebih rentan terhadap

serangan jantung karena otot jantung mereka tidak berkerja dengan

efisien dan perlu berkerja lebih keras untuk memompa darah

(Kowalski, 2010).
43

f) Merokok dan konsumsi alkohol

Perokok kemungkinan menderita tekanan darah tinggi lebih

besar dari pada bukan perokok karena nikotin dalam rokok mampu

menyempitkan pembuluh darah (Buckman & Westcott, 2010). Nikotin

dalam rokok juga merangsang katekolamin. Peningkatan katekolamin

menyebabkan iritabilitas miokardial, peningkatan denyut jantung, dan

menyebabkan vasokontriksi, yang mana pada akhirnya meningkatkan

tekanan darah (Udjianti, 2013).

2) Hipertensi Sekunder

Hipertensi sekunder memiliki ciri dengan peningkatan tekanan

darah dan disertai penyebab yang spesifik, seperti penyempitan arteri

renalis, kehamilan, medikasi tertentu, dan penyebab lainnya. Lemone,

Burke dan Bauldoff (2016) mengatakan ada beberapa penyebab terjadinya

hipertensi sekunder diantaranya yaitu:

a) Penyakit ginjal, setiap penyakit yang mempengaruhi aliran darah

ginjal (mis, stenosis arteri renalis) atau fungsi ginjal (mis,

glemerulonefritis, gagal ginjal) bisasanya dapat menyebabkan

hipertensi.

b) Koarktasi aorta, penyempitan aorta, biasanya tepat di distal arteri

subklavia. Penurunan aliran darah ginjal dan perifer menstimulasi

sistem renin-angiotensin-aldosteron dan respons vasokonstriksi lokal,

manaikkan tekanan darah.

c) Gangguan endokrin, gangguan kelenjar adrenal seperti sindrom

Cushing dan aldosteronisme primer dapat menyebabkan hipertensi.


44

d) Gangguan neurologis, peningkatan tekanan darah intrakranial

menyebabkan kenaikan tekanan darah saat tubuh berupaya untuk

mempertahankan aliran darah serebral.

e) Pemakaian obat, pemakain kontrasepsi estrogen dan oral dapat

menyebabkan hipertensi, dengan meningkatnya retensi natrium dan air

mempengaruhi sistem reni-angiotensin-aldosteron. Obat-obatan

stimulan, seperti kokain dam metamfetamin, meningkatkan resistensi

vaskular dan curah jantung, meningkatkan hipertensi.

Bustan (2015) mengatakan adapun faktor-faktor pemicu lainnya yang

dapat mempengaruhi peningkatan risiko hipertensi diantaranya yaitu:

1) Kelelahan

2) Keturunan

3) Stres

4) Proses penuaan

5) Diet yang tidak seimbang

6) Sosial budaya.

d. Tanda dan Gejala

Hipertensi sulit dideteksi oleh seseorang sebab hipertensi tidak

memiliki tanda/ gejala khusus. Gejala-gejala yang mudah untuk diamati seperti

terjadi pada gejala ringan yaitu pusing atau sakit kepala, cemas, wajah tampak

kemerahan, tengkuk terasa pegal, cepat marah, telinga berdengung, sulit tidur,

sesak napas, rasa berat di tengkuk, mudah lelah, mata berkunang-kunang,

mimisan (keluar darah di hidung) (Fauzi, 2014; Ignatavicius, Workman, &

Rebar, 2017). Tanda dan gejala pada hipertensi dibedakan menjadi :


45

1) Tidak ada Gejala

Tidak ada gejala spesifik yang dapat dihubungkan dengan

peningkatan tekanan darah, selain penentuan tekanan arteri oleh dokter

yang memeriksa. Hal ini berarti hipertensi arterial tidak akanpernah

terdiagnosa jika tekanan arteri tidak diukur.

2) Gejala yang Lazim

Sering dikatakan bahwa gejala yang biasa meyertai hipertensi

meliputi nyeri kepala dan kelelahan. Dalam kenyataannya ini ,merupakan

gejala terlazim yang mengenai kebanyakan pasien mencari pertolongan

medis. Beberapa pasien yang menderita hipertensi:

a) Mengeluh sakit kepala atau pusing

b) Lemas, kelelahan

c) Sesak nafas

d) Gelisah

e) Mual, muntah

f) Epistaksi

g) Kesdaran menurun.

e. Penatalaksanaan

Setiap program terapi memiliki suatu tujuan yaitu untuk mencegah

kematian dan komplikasi, dengan mencapai dan mempertahankan tekanan

darah arteri pada atau kurang dari 140/90 mmHg (130/80 mmHg untuk

penderita diabetes melitus atau penderita penyakit ginjal kronis) kapan pun jika

memungkinkan (Smeltzer, 2013).

1) Pendekatan nonfarmakologis mencakup penurunan berat badan;

pembatasan alkohol dan natrium; olahraga teratur dan relaksasi. Diet


46

DASH (Dietary Approaches to Stop Hypertension) tinggi buah, sayuran,

dan produk susu rendah lemak telah terbukti.

2) Pilih kelas obat yang memiliki efektivitas terbesar, efek samping terkecil,

dan peluang terbesar untuk diterima pasien. Dua kelas obat tersedia

sebagai terapi lini pertama : diuretik dan penyekat beta (Smeltzer, 2013).

3) Tingkatkan kepatuhan dengan menghindari jadwal obat yang kompleks

(Smeltzer, 2013).

Menurut Irwan (2016), tujuan pengobatan hipertensi adalah

mengendalikan tekanan darah untuk mencegah terjadinya komplikasi, adapun

penatalaksanaannya sebagai berikut :

1) Non Medikamentosa

Pengendalian faktor risiko. Promosi kesehatan dalam rangka

pengendalian faktor risiko, yaitu :

a) Turunkan berat badan pada obesitas.

b) Pembatasan konsumsi garam dapur (kecuali mendapat HCT).

c) Hentikan konsumsi alkohol.

d) Hentikan merokok dan olahraga teratur.

e) Pola makan yang sehat.

f) Istirahat cukup dan hindari stress.

g) Pemberian kalium dalam bentuk makanan (sayur dan buah) diet

hipertensi.

f. Komplikasi Hipertensi
47

Komplikasi hipertensi berdasarkan target organ, antara lain sebagai

berikut (Irwan, 2016):

1) Serebrovaskuler: stroke, transient ischemic attacks, demensia vaskuler,

ensefalopati.

2) Mata : retinopati hipertensif

3) Kardiovaskuler : penyakit jantung hipertensif, disfungsi atau hipertrofi

ventrikel kiri, penyakit jantung koroner, disfungsi baik sistolik maupun

diastolik dan berakhir pada gagal jantung (heart failure).

4) Ginjal : nefropati hipertensif, albuminuria, penyakit ginjal kronis.

5) Arteri perifer : klaudikasio intermiten.

B. Kerangka Konsep Penelitian

Kerangka konsep penelitian adalah suatu hubungan atau berkaitan antara

konsep satu terhadap konsep yang lainnya dari masalah yang ingin diteliti. Kerangka

konsep ini gunanya untuk menghubungkan atau menjelaskan secara panjang lebar

tentang suatu topik yang akan dibahas (Setiadi, 2013). Tujuan dari kerangka konsep

adalah mensitesa dan membimbing atau mengarahakan penelitian, serta panduan untuk

anlisis dan intervensi. Fungsi kritis dari kerangka konsep adalah menggambarkan

hubungan-hubungan antara variabel-variabel dan konsep yang akan diteliti (Sujarweni,

2014).

Kerangka konsep dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

Skema 1.
Kerangka konsep penelitian
Variabel Independen Variabel Dependen
Keaktifan lansia mengikuti
Tingkat Self Efficacy
kegiatan posbindu
p a. Tinggi
a. Aktif
b. Rendah
b. Tidak
C. Hipotesis aktif
Penelitian
48

Ha : Ada hubungan keaktifan lansia mengikuti kegiatan posbindu

lansia dengan tingkat self efficacy pada lansia hipertensi.

Ho : Tidak ada hubungan keaktifan lansia mengikuti kegiatan

posbindu lansia dengan tingkat self efficacy pada lansia hipertensi

Anda mungkin juga menyukai