Anda di halaman 1dari 236

Cetakan 1

Cetakan 1
Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan
Indonesia
Mata Kuliah Pilihan Selektif

Pendidikan Profesi Guru


Prajabatan Tahun 2022
Cetakan 1

Penulis:
Nia Kurnianingtyas, S.I.P., M.Kesos.
Asri Purnamasari, S.Pd., M.Ed. in TESOL

Penelaah:
Prof. Dr. Epon Ningrum, M.Pd.
Drs. Nasution, M.Hum.m M.Ed., Ph.d.

Desain Grafis & Ilustrasi:


Tim Desain Grafis

Copyright © 2022
Direktorat Pendidikan Profesi Guru
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang


Dilarang mengcopy sebagian atau keseluruhan isi buku ini untuk kepentingan komersial tanpa izin tertulis
dari Kementerian Pendidikan Kebudayaan Riset dan Teknologi
Kata Pengantar Direktur Jenderal Guru Dan Tenaga
Kependidikan
Dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen (UUGD). mengamatkan bahwa Guru adalah pendidik profesional dengan
tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai,
dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan
formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Selanjutnya dalam Pasal 8
UUGD menyatakan bahwa guru wajib memiliki kualifikasi akademik, kompetensi,
sertifikat pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta mampu mewujudkan tujuan
pendidikan nasional.

Sesuai dalam Pasal 17 ayat (1) Undang-Undang Nomor 12 tahun 2012 tentang
Pendidikan Tinggi bahwa pendidikan profesi merupakan pendidikan tinggi setelah
program sarjana yang menyiapkan Mahasiswa dalam pekerjaan yang memerlukan
persyaratan keahlian khusus.

Pendidikan Profesi Guru (PPG) Prajabatan merupakan program pendidikan yang


menyiapkan guru sebagai sumber daya manusia berkualitas untuk memenuhi
kondisi ideal guru di Indonesia yang meliputi aspek kuantitas, distribusi, kualifikasi,
dan kompetensi. PPG Prajabatan bertujuan menghasilkan guru profesional
pemula yang mengamalkan nilai-nilai Pancasila, semangat gotong royong, dan
mampu menggunakan teknologi digital, serta melahirkan hal-hal yang inovatif dan
kreatif. Selain itu, PPG Prajabatan menekankan pada konsep Merdeka Belajar,
yang berpusat kepada peserta didik dan pembelajarannya, berkomitmen menjadi
teladan dan pembelajar sepanjang hayat serta memiliki dasar-dasar
kepemimpinan.

Untuk mencapai tujuan tersebut, PPG Prajabatan mengedepankan penguatan


kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi sosial, dan
kompetensi profesional melalui clinical practice atau program praktik lapangan
yang diintegrasikan dalam perkuliahan. Sebagai calon guru pemula, mahasiswa
PPG Prajabatan perlu dibekali pengalaman pembelajaran yang bermakna yang
nantinya akan bermanfaat ketika mereka mengajar di kelas. Hal ini dilaksanakan

4 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


dengan perkuliahan berbasis kegiatan dan refleksi yang dikombinasikan dengan
praktik lapangan, termasuk di sekolah tempat guru pemula akan ditugaskan.
Pelaksanaan PPG Prajabatan melibatkan pengajar dari unsur akademisi, praktisi
pendidikan, dan Guru Penggerak. Keterlibatan pengajar dari berbagai unsur ini
bertujuan untuk menjembatani teori dan praktik di lapangan.

Paket-paket modul digunakan dalam perkuliahan yang dilaksanakan selama dua


semester melalui tiga kelompok mata kuliah, yaitu: Mata Kuliah Inti, Mata Kuliah
Pilihan Selektif, dan Mata Kuliah Pilihan Elektif. Setiap modul perkuliahan
mencakup komponen Capaian Pembelajaran Mata Kuliah (CPMK) dan asesmen,
perangkat pembelajaran, dan isi modul. Asesmen ketercapaian CPMK
dilaksanakan di antaranya melalui projek, studi kasus, portofolio, dan tes.
Perangkat pembelajaran meliputi Lembar Kerja (LK), media, dan sumber belajar
yang dilengkapi dengan pranala ke sumber belajar lainnya sebagai pengayaan.

Isi modul disusun berdasarkan alur MERDEKA, yaitu: Mulai dari diri (M),
Eksplorasi konsep (E), Ruang kolaborasi (R), Demonstrasi kontekstual (D),
Elaborasi pemahaman (E), Koneksi antar materi (K), dan Aksi nyata (A). Modul
dengan alur MERDEKA diharapkan dapat membantu mahasiswa mempersiapkan
diri dalam mencapai tuntutan profesi sebagai agen yang mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mampu mencetak generasi yang membawa perubahan ke hal yang
lebih baik.

Kami ucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada tim
penyusun dan berbagai pihak yang telah bekerja keras dan berkontribusi positif
mewujudkan penyelesaian modul ini serta membantu terlaksananya PPG
Prajabatan. Semoga Allah Yang Mahakuasa senantiasa memberkati upaya yang
kita lakukan demi pendidikan Indonesia. Amin.

Jakarta, September 2022


Direktur Jenderal Guru dan Tenaga
Kependidikan,

Dr. Iwan Syahril, Ph.D

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 5


Kata Pengantar Penyusun Mata Kuliah

Salam Bapak/Ibu Dosen Hebat di manapun Anda berada.

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi,
dan politik mempengaruhi pendidikan di Indonesia sejak masa penjajahan hingga
masa kini. Melalui mata kuliah ini, kita diajak untuk bersama mempersiapkan calon
guru agar dapat memahami bagaimana faktor-faktor tersebut memberikan
tantangan tersendiri bagi proses belajar mengajar yang terjadi di sekolah.

Bapak dan Ibu Dosen, tujuan mata kuliah ini adalah membekali calon guru agar
memiliki kemampuan serta pengetahuan untuk mengeksplorasi dan
mengintegrasikan faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam
menganalisis dan merefleksikan isu-isu pendidikan dan pembelajaran di
Indonesia, serta dalam merancang pembelajaran.

Calon guru diharapkan dapat mengembangkan kesadaran moral dan kultural


kebangsaan tentang pendidikan di Indonesia sebagai guru yang berorientasi
kepada murid.

Mata kuliah ini dapat melibatkan instruktur, guru penggerak, dan praktisi
pendidikan.

Bobot mata kuliah ini sebanyak 2 SKS dengan 6 topik materi pokok bahasan
sebagai berikut:

1. Pengantar perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam


pendidikan di Indonesia
2. Konsep dasar mengenai perspektif sosio kultural dalam pendidikan
3. Perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam pembelajaran
4. Pembelajaran pada ‘Zone of Proximal Development (ZPD)’
5. Pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan
sebagai Scaffolding pada ZPD
6. Isu-isu penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran di sekolah dalam
perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik

6 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Bapak ibu Dosen yang berbahagia, metode pembelajaran yang diterapkan pada
mata kuliah ini yaitu student-centered-learning, dengan alur MERDEKA, apa itu
merdeka?

M: Mulai dari diri


E: Eksplorasi konsep
R: Ruang kolaborasi
D: Demonstrasi kontekstual
E: Elaborasi pemahaman
K: Koneksi antar materi
A: Aksi nyata

Berikut penjelasan umum alur MERDEKA pada mata kuliah ini.

Pada topik Pengantar Perspektif Sosial, Budaya, Ekonomi, dan Politik dalam
Pendidikan di Indonesia, calon guru menguraikan pandangan, mengajukan
pertanyaan, menganalisis video dalam diskusi dan eksplorasi, presentasi
kelompok, serta menyimpulkan pemahaman, mengaitkan pembelajaran dan
diakhiri dengan aksi nyata tertulis dalam refleksi pada blog menggunakan alur
MERDEKA.

Pada topik materi selanjutnya yakni Konsep Dasar Perspektif Sosiokultural dalam
Pendidikan, calon guru akan menguraikan, mengajukan pertanyaan, mempelajari
konsep dasar, diskusi, analisis, presentasi, menyimpulkan pembelajaran dan
diakhiri dengan menulis refleksi dalam blog menggunakan alur MERDEKA.

Pada topik Perspektif Sosial, Budaya, Ekonomi, dan Politik dalam Pembelajaran,
calon guru akan menguraikan pandangan, mengajukan pertanyaan, mempelajari
materi, menemukan referensi, diskusi, analisis, argumentasi serta artikulasi hasil
kelompok yang dilanjutkan presentasi kelompok, menyimpulkan pemahaman dan
menulis refleksi dalam blog menggunakan alur MERDEKA.

Selanjutnya dalam topik Pembelajaran ‘Zone of Proximal Development (ZPD)’,


calon guru akan merefleksikan, menguraikan pandangan, mengajukan
pertanyaan, menganalisis, mempelajari materi serta menyimpulkan, melakukan
analisis, argumen serta artikulasi dalam presentasi kelompok dan diskusi, serta

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 7


menyimpulkan pembelajaran dengan menulis refleksi tentang pengalaman terkait
dalam blog menggunakan alur MERDEKA (mulai dari diri, eksplorasi konsep,
ruang kolaborasi, demonstrasi, elaborasi, koneksi antara materi, dan aksi nyata
yang perlu ditekankan).

Pada topik Pendekatan, Strategi, Metode, dan Teknik pembelajaran yang


diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD, calon guru akan Merefleksikan,
menguraikan, mengajukan pertanyaan, menganalisis, menguraikan pandangan,
diskusi kelompok, merancang, memodifikasi materi mengajar, artikulasi,
presentasi kelompok, serta menyimpulkan pembelajaran, menulis refleksi dalam
blog menggunakan alur MERDEKA.

Topik terakhir yakni Isu-Isu Penyelenggaraan Pendidikan dan Pembelajaran di


Sekolah dalam Perspektif Sosial, Budaya, Ekonomi dan Politik, calon guru akan
merefleksikan, menguraikan, mengajukan pertanyaan, menganalisis studi kasus,
menyimpulkan pandangan, menilai diri, diskusi kelompok, visualisasi hasil
kelompok, presentasi kelompok, analisis studi kasus, serta menyimpulkan
pembelajaran proses diakhiri dengan menulis refleksi dalam blog menggunakan
alur MERDEKA.

Bapak Ibu dosen yang berbahagia, evaluasi pembelajaran pada mata kuliah ini
akan dilakukan dengan cara evaluasi formatif dan summative.

Evaluasi formatif dilakukan di masing-masing topik pembelajaran dalam bentuk


penilaian unjuk kerja dan portofolio dalam pembelajaran serta blog dengan alur
MERDEKA

sedangkan untuk evaluasi summative dilakukan melalui tes tengah semester dan
akhir semester dalam bentuk project-based.

Proyek tengah semester berupa riset tentang penerapan pembelajaran di sekolah


pada mata pelajaran tertentu yang menerapkan ‘Scaffolding’ pada ‘Zone of
Proximal Development (ZPD)’. Di akhir semester, calon guru akan membuat
proyek “Kampanye Praktik Baik” dengan menggunakan hasil riset pada proyek
tengah semester. Proyek akhir semester ini berupa hasil refleksi dan rancangan
praktik baik yang dipresentasikan melalui media kreatif.

8 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Demikian perjumpaan kita kali ini Bapak Ibu Dosen hebat.

Kita perlu menganalisis kembali faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik
yang mempengaruhi pendidikan di Indonesia sejak masa penjajahan hingga masa
kini untuk menghadapi tantangan tersendiri dalam proses belajar mengajar yang
terjadi di sekolah serta dalam merancang pembelajaran. Pada mata kuliah ini,
selain untuk memahami, mengimplementasikan faktor-faktor ini akan
mengembangkan kesadaran moral dan kultural kebangsaan tentang pendidikan di
Indonesia, kita dapat mempersiapkan calon guru sebagai guru yang berorientasi
kepada murid.

Semangat untuk Bapak/Ibu Dosen hebat.

Mari bersama-sama bergerak menuju guru profesional dalam mewujudkan


merdeka belajar.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 9


Daftar Isi

Kata Pengantar Direktur Jenderal Guru Dan Tenaga Kependidikan 4

Kata Pengantar Penyusun Mata Kuliah 6

Daftar Isi 10

CPMK dan Asesmen 13

A. CMPK 13

B. Asesmen 13

ALUR ISI MODUL 15

MODUL 1 29

PENGANTAR PERSPEKTIF SOSIAL, BUDAYA, EKONOMI, DAN POLITIK


DALAM PENDIDIKAN INDONESIA 29

A. Mulai dari Diri 29

B. Explorasi Konsep 32

C. Ruang Kolaborasi 34

D. Demonstrasi Kontekstual 35

E. Elaborasi Pemahaman 36

F. Koneksi Antar Materi 61

G. Aksi Nyata 62

MODUL 2 66

KONSEP DASAR PERSPEKTIF SOSIO KULTURAL DALAM PENDIDIKAN


66

A. Mulai dari Diri 66

B. Explorasi Konsep 69

C. Ruang Kolaborasi 90

D. Demonstrasi Kontekstual 91

E. Elaborasi Pemahaman 93

10 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


F. Koneksi Antar Materi 93

G. Aksi Nyata 93

MODUL 3 98

PERSPEKTIF SOSIAL, BUDAYA, EKONOMI, DAN POLITIK DALAM


PEMBELAJARAN 98

A. Mulai dari Diri 98

B. Explorasi Konsep 100

C. Ruang Kolaborasi 123

D. Demonstrasi Kontekstual 124

E. Elaborasi Pemahaman 125

F. Koneksi Antar Materi 125

G. Aksi Nyata 126

MODUL 4 130

PEMBELAJARAN PADA ‘ZONE OF PROXIMAL DEVELOPMENT (ZPD)’ 130

A. Mulai dari Diri 130

B. Explorasi Konsep 132

PANDUAN UJIAN TENGAH SEMESTER 156

C. Ruang Kolaborasi 158

D. Demonstrasi Kontekstual 159

E. Elaborasi Pemahaman 160

F. Koneksi Antar Materi 160

G. Aksi Nyata 161

MODUL 5 165

PENDEKATAN, STRATEGI, METODE, DAN TEKNIK PEMBELAJARAN


YANG DITERAPKAN SEBAGAI SCAFFOLDING PADA ZPD 165

A. Mulai dari Diri 166

B. Explorasi Konsep 168

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 11


C. Ruang Kolaborasi 192

D. Demonstrasi Kontekstual 193

E. Elaborasi Pemahaman 194

F. Koneksi Antar Materi 194

G. Aksi Nyata 195

MODUL 6 199

ISU-ISU PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN PEMBELAJARAN DI


SEKOLAH DALAM PERSPEKTIF SOSIAL, BUDAYA, EKONOMI, DAN
POLITIK 199

A. Mulai dari Diri 199

B. Explorasi Konsep 201

C. Ruang Kolaborasi 221

D. Demonstrasi Kontekstual 222

E. Elaborasi Pemahaman 223

F. Koneksi Antar Materi 223

G. Aksi Nyata 224

PANDUAN UJIAN AKHIR SEMESTER 228

Daftar Pustaka 231

Lampiran 233

Penutup 234

Biodata Penyusun Modul 235

12 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


CPMK dan Asesmen

A. CMPK

1. Mampu memahami pentingnya mempelajari perspektif sosial, budaya, ekonomi dan politik
dalam pendidikan di Indonesia
2. Mampu memahami konsep dasar mengenai perspektif sosial kultural dalam pendidikan
3. Mampu memahami perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam pembelajaran di
sekolah
4. Mampu memahami proses pembelajaran pada ‘Zone of Proximal Development (ZPD)’
5. Mampu memahami pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan
sebagai Scaffolding pada ZPD
6. Mampu memahami isu-isu pendidikan dan pembelajaran di Indonesia dengan menggunakan
perspektif sosial, budaya, ekonomi dan politik
7. Mampu merefleksikan, merancang dan mempresentasikan penerapan perspektif sosial,
budaya, ekonomi dan politik dalam pembelajaran

B. Asesmen

Asesmen terdiri atas tugas, UTS, UAS dan partisipasi.

No Jenis Tugas Bobot CPMK Catatan


(%)

1 Menulis refleksi dan diupload ke dalam 20 1, 2, 3, 4, Individual


blog (tiap topik satu refleksi). 5, 6, 7
Mahasiswa diharapkan mempunyai
Blog (Wordpress), YouTube, Facebook,
TikTok, dll.)

2 Tugas: lembar kerja mahasiswa 20 1, 2, 3, 4, Individual atau


dalam setiap modul/topik 5, 6, 7 kelompok

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 13


3 UTS: Riset tentang penerapan 25 1, 2, 3, 4, Ujian Tengah
pembelajaran di sekolah pada mata 5, 6, 7 Semester
pelajaran tertentu yang menerapkan
‘Scaffolding’ pada ‘Zone of Proximal
Development (ZPD)’

4 UAS: Proyek “Kampanye Praktik 25 1, 2, 3, 4, Ujian Akhir Semester


Baik” dengan menggunakan hasil 5, 6, 7
riset pada proyek tengah semester.
Proyek akhir semester ini berupa
hasil refleksi dan rancangan praktik
baik yang dipresentasikan melalui
media kreatif.

5 Partisipasi 10 1, 2, 3, 4, Dikembangkan oleh


5, 6, 7 masing-masing dosen
(contoh disediakan)

Catatan:

Di luar asesmen tersebut, dan bukan bagian dari penilaian capaian mahasiswa,
diharapkan lahir kompilasi referensi, hasil reset mengenai penerapan ‘Scaffolding’
pada ‘ZPD’, serta ‘Kampanye Praktik Baik’ bagi pengajaran yang menerapkan
‘Scaffolding’ pada ‘ZPD’ yang dikelola oleh mahasiswa sendiri sebagai proyek
bersama.

14 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


ALUR ISI MODUL

Nama MK : Perspektif Sosio Kultural dalam Pendidikan Indonesia


Jumlah Topik : 6 Topik

Judul Topik JUMLAH Pertemuan ALUR RINCIAN KEGIATAN KEBUTUHAN


PERTEMUAN Ke- MERDEKA

1. Pengantar 2 1 (M) - Peserta menguraikan pandangan Upload contoh


perspektif sosial, Mulai dari tentang faktor sosial, budaya, pengalaman
budaya, Diri ekonomi dan politik yang pribadi
ekonomi, dan mempengaruhi proses pendidikan
politik dalam yang dialaminya LK 1
pendidikan di - Peserta mengajukan pertanyaan
Indonesia tentang apa yang ingin diketahui
terkait faktor sosial, budaya,
ekonomi dan politik yang
mempengaruhi pendidikan dan
pembelajaran

1 (E) - Peserta mempelajari video tentang Link video


Eksplorasi sejarah pendidikan di Indonesia
Konsep mulai dari masa penjajahan hingga LK 2
masa kini
- Peserta menguraikan
pandangannya tentang faktor
sosial, budaya, ekonomi dan politik
yang mempengaruhi proses
pendidikan di Indonesia
berdasarkan video yang dilihat

1 (R) - Dalam kelompok (tugas) melakukan LK 3 (Kelompok)


Ruang eksplorasi lebih lanjut mengenai
Kolaborasi faktor sosial, budaya, ekonomi dan

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 15


politik yang mempengaruhi
perkembangan pendidikan di
Indonesia dari masa penjajahan
hingga sekarang
- Dalam kelompok mendiskusikan
pertanyaan-pertanyaan reflektif dan
analitis yang disediakan

2 (D) - Presentasi setiap kelompok Upload LK 3


Demonstrasi mengenai hasil diskusi eksplorasi
Kontekstual

2 (E) - Peserta mendiskusikan isu-isu LK 4


Elaborasi yang muncul dalam presentasi
Pemahaman kelompok
- Peserta menyimpulkan tujuan dan
manfaat
mempelajari perspektif sosial,
budaya, ekonomi dan politik dalam
pendidikan di Indonesia bagi guru

2 (K) - Peserta mengaitkan LK 5


Koneksi pembelajaran dari MK lain untuk
antar Materi menguatkan pentingnya
mempelajari perspektif
sosiokultural dalam pendidikan

2 (A) - Peserta menuliskan refleksinya Blog (panduan


Aksi Nyata dalam blog (individu) terkait proses menulis blog)
pembelajaran Topik 1 dengan alur
MERDEKA

2. Konsep dasar 2 3 (M) - Peserta merefleksikan dan Link Video


perspektif Mulai dari menguraikan konsep dasar
sosiokultural Diri LK 6

16 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


dalam perspektif sosiokultural dalam
pendidikan pendidikan yang diketahuinya
- Peserta mengajukan pertanyaan
esensial terkait konsep dasar
konsep dasar perspektif
sosiokultural dalam pendidikan

3 (E) - Peserta mempelajari konsep dasar Link video


Eksplorasi tentang perspektif sosiokultural
Konsep dalam pendidikan Upload gambar/
- Peserta menguraikan poin-poin tulisan
penting yang telah dipelajarinya
LK 7

3 (R) - Diskusi kelompok membahas studi Upload gambar


Ruang kasus terkait penerapan perspektif
Kolaborasi sosiokultural dalam pendidikan LK 8 Kelompok
- Dalam kelompok, peserta
menganalisis studi kasus
menggunakan perspektif
sosiokultural
- Dalam kelompok, peserta
mengartikulasikan hasil analisis
dalam presentasi

4 (D) - Presentasi semua kelompok Upload LK 8


Demonstrasi
Kontekstual

4 (E) - Peserta mendiskusikan poin-poin LK 9


Elaborasi penting dalam presentasi semua
Pemahaman kelompok
- Peserta mempelajari materi
tambahan terkait konsep dasar

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 17


perspektif sosiokultural dalam
pendidikan

4 (K) - Peserta mengaitkan LK 10


Koneksi pembelajaran dari topik 1 dengan
antar Materi topik 2 untuk menyimpulkan
bagaimana penerapan pendidikan
dari pengalaman pribadi maupun
studi kasus dengan perspektif
sosiokultural

4 (A) - Peserta menuliskan refleksinya Blog (panduan


Aksi Nyata dalam blog (individu) terkait proses menulis blog)
pembelajaran Topik 2 dengan alur
MERDEKA

3. Perspektif 2 5 (M) - Peserta merefleksikan dan Link Video


sosial, budaya, Mulai dari menguraikan pendekatan,
ekonomi, dan Diri strategi, metode dan teknik LK 11
politik dalam pembelajaran yang menerapkan
pembelajaran perspektif sosial, budaya,
ekonomi, dan politik yang
diketahuinya
- Peserta mengajukan pertanyaan
esensial terkait pendekatan,
strategi, metode dan teknik
pembelajaran yang menerapkan
perspektif sosial, budaya,
ekonomi, dan politik

5 (E) - Peserta mempelajari pendekatan, Link video


Eksplorasi strategi, metode dan teknik
Konsep pembelajaran yang menerapkan Upload gambar/
perspektif sosial, budaya, tulisan
ekonomi, dan politik

18 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


- Peserta menguraikan poin-poin LK 12
penting yang telah dipelajarinya
- Peserta menemukan referensi
pendekatan, strategi, metode dan
teknik pembelajaran yang
menerapkan perspektif sosial,
budaya, ekonomi, dan politik

5 (R) - Diskusi kelompok untuk Upload gambar


Ruang menganalisis pendekatan,
Kolaborasi strategi, metode, dan teknik LK 13 Kelompok
pembelajaran yang menerapkan
perspektif sosial, budaya,
ekonomi, dan politik dari berbagai
referensi dan praktik yang ada
- Dalam kelompok, peserta
menganalisis studi kasus
mengenai pendekatan, strategi,
metode, dan teknik pembelajaran
yang menerapkan perspektif
sosial, budaya, ekonomi, dan
politik
- Peserta memberikan argumen
dalam diskusi mengenai
pendekatan, strategi, metode, dan
teknik pembelajaran yang
menerapkan perspektif sosial,
budaya, ekonomi, dan politik
dalam pembelajaran dari berbagai
referensi dan praktek yang ada
- Dalam kelompok, peserta
mengartikulasikan hasil analisis
dalam presentasi

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 19


6 (D) - Presentasi semua kelompok Upload LK 13
Demonstrasi
Kontekstual

6 (E) - Peserta mendiskusikan poin-poin LK 14


Elaborasi penting dalam presentasi semua
Pemahaman kelompok
- Peserta mempelajari materi
tambahan terkait pendekatan,
strategi, metode, dan teknik
pembelajaran yang menerapkan
perspektif sosial, budaya,
ekonomi, dan politik

6 (K) - Peserta mengaitkan LK 15


Koneksi pembelajaran dari topik-topik
antar Materi sebelumnya untuk menyimpulkan
bagaimana penerapan pendidikan
dari pengalaman pribadi maupun
studi kasus dengan pendekatan,
strategi, metode, dan teknik
pembelajaran yang menerapkan
perspektif sosial, budaya,
ekonomi, dan politik

6 (A) - Peserta menyimpulkan Blog (panduan


Aksi Nyata pentingnya menerapkan menulis blog)
pendekatan pembelajaran dengan
menggunakan perspektif sosial,
budaya, ekonomi, dan politik
- Peserta menuliskan refleksinya
dalam blog (individu) terkait
pendekatan, strategi, metode, dan
teknik pembelajaran yang

20 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


menerapkan perspektif sosial,
budaya, ekonomi, dan politik
dengan alur MERDEKA

Ujian Tengah 1 8 - Proyek tengah semester berupa


Semester observasi tentang penerapan
pembelajaran di sekolah pada
mata pelajaran tertentu yang
menerapkan scaffolding pada
‘Zone of Proximal Development
(ZPD)’ yang ditulis dalam bentuk
paper
- Proyek kelas, seluruh peserta
mengumpulkan hasil tugasnya
dalam Portofolio kelas

4. Pembelajaran 3 7 (M) - Peserta merefleksikan dan Link Video


pada ‘Zone of Mulai dari menguraikan Pembelajaran pada
Proximal Diri ‘Zone of Proximal Development LK 16
Development yang diketahui
(ZPD)’ - Peserta mengajukan pertanyaan
esensial terkait Pembelajaran
pada ‘Zone of Proximal
Development
- Peserta menganalisis rencana
dan materi pembelajaran yang
sesuai pada ‘Zone of Proximal
Development’

7 (E) - Peserta mempelajari Link video


Eksplorasi Pembelajaran pada ‘Zone of
Konsep Proximal Development Upload gambar/
- Peserta menguraikan poin-poin tulisan
penting yang telah dipelajarinya

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 21


- Peserta menyimpulkan LK 17
pemahamannya terkait
Pembelajaran pada ‘Zone of
Proximal Development

9 (R) - Diskusi kelompok, peserta Upload gambar


Ruang menganalisis dan membahas studi
Kolaborasi kasus terkait Pembelajaran pada LK 18 Kelompok
‘Zone of Proximal Development
- Dalam kelompok, peserta
mengartikulasikan hasil analisis
dalam presentasi
- Peserta berargumen dalam
diskusi

9 (D) - Presentasi semua kelompok Upload LK 18


Demonstrasi
Kontekstual

10 (E) - Peserta mendiskusikan poin-poin LK 19


Elaborasi penting dalam presentasi semua
Pemahaman kelompok
- Peserta mempelajari materi
tambahan terkait Pembelajaran
pada ‘Zone of Proximal
Development
- Peserta menyimpulkan
pendekatan, strategi, metode dan
teknis pembelajaran yang sesuai
pada ‘Zone of Proximal
Development’

10 (K) - Peserta mengaitkan LK 20


Koneksi pembelajaran dari topik-topik
antar Materi sebelumnya untuk menyimpulkan

22 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


bagaimana penerapan pendidikan
dari pengalaman pribadi maupun
studi kasus mengenai
Pembelajaran pada ‘Zone of
Proximal Development

10 (A) - Peserta menuliskan refleksinya Blog (panduan


Aksi Nyata dalam blog (individu) terkait proses menulis blog)
pembelajaran dengan alur
MERDEKA

5. Pendekatan, 3 11 (M) - Peserta merefleksikan dan Link Video


strategi, metode, Mulai dari menguraikan Pendekatan,
dan teknik Diri strategi, metode, dan teknik LK 21
pembelajaran pembelajaran yang diterapkan
yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD
sebagai yang diketahuinya
Scaffolding pada - Peserta mengajukan pertanyaan
ZPD esensial terkait Pendekatan,
strategi, metode, dan teknik
pembelajaran yang diterapkan
sebagai Scaffolding pada ZPD
- Peserta mampu menganalisis
dan menguraikan pendekatan,
strategi, metode, dan teknik
pembelajaran yang diterapkan
sebagai Scaffolding pada ZPD

11 (E) - Peserta mempelajari Pendekatan, Link video


Eksplorasi strategi, metode, dan teknik
Konsep pembelajaran yang diterapkan Upload gambar/
sebagai Scaffolding pada ZPD tulisan
- Peserta menguraikan poin-poin
penting yang telah dipelajarinya LK 22

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 23


12 (R) - Diskusi kelompok membahas studi Upload gambar
Ruang kasus terkait Pendekatan, strategi,
Kolaborasi metode, dan teknik pembelajaran LK 23 Kelompok
yang diterapkan sebagai
Scaffolding pada ZPD
- Peserta merancang dan
memodifikasi pendekatan,
strategi, metode, dan teknik
pembelajaran yang diterapkan
sebagai Scaffolding pada ZPD
(tugas)
- Dalam kelompok, peserta
merancang dan memodifikasi
materi mengajar yang menerapkan
Scaffolding pada ‘Zone of Proximal
Development’
- Dalam kelompok, peserta
mengartikulasikan hasil analisis
dalam presentasi

12 (D) - Presentasi semua kelompok Upload LK 23


Demonstrasi
Kontekstual Mengembangkan
pendekatan,
strategi, metode,
dan teknik, serta
materi
pembelajaran yang
diterapkan sebagai
Scaffolding pada
ZPD

24 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


13 (E) - Peserta mendiskusikan poin-poin LK 24
Elaborasi penting dalam presentasi semua
Pemahaman kelompok
- Peserta mempelajari materi
tambahan terkait Pendekatan,
strategi, metode, dan teknik
pembelajaran yang diterapkan
sebagai Scaffolding pada ZPD
- Peserta menganalisis dan
menyimpulkan pendekatan,
strategi, metode, dan teknik
pembelajaran yang diterapkan
sebagai Scaffolding pada ZPD

13 (K) - Peserta mengaitkan LK 25


Koneksi pembelajaran dari topik-topik
antar Materi sebelumnya untuk menyimpulkan
bagaimana penerapan
Pendekatan, strategi, metode, dan
teknik pembelajaran yang
diterapkan sebagai Scaffolding
pada ZPD

13 (A) - Peserta menuliskan refleksinya Blog (panduan


Aksi Nyata dalam blog (individu) terkait proses menulis blog)
pembelajaran Topik 2 dengan alur
MERDEKA
- Peserta berargumentasi dalam
tulisan blog

6. Isu-isu 2 14 (M) - Peserta menguraikan refleksinya LK 26


penyelenggaraa Mulai dari atas suatu berita/kasus
n pendidikan dan Diri penyelenggaraan pendidikan yang
pembelajaran di

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 25


sekolah dalam dekat dengan pengalaman sehari-
perspektif sosial, hari
budaya, ekonomi - Peserta mengajukan pertanyaan
dan politik esensial terkait isu-isu sosial,
ekonomi, budaya dan politik dalam
penyelenggaraan pendidikan

14 (E) - Peserta menganalisis studi kasus LK 27


Eksplorasi mengenai penyelenggaraan
Konsep pendidikan dan pembelajaran
dengan perspektif sosiokultural
- Peserta menyimpulkan pengaruh
faktor sosial, budaya, ekonomi dan
politik terhadap penyelenggaraan
pendidikan dan pembelajaran di
sekolah

14 (R) - Peserta menilai diri dalam hal LK 28


Ruang kesadaran moral dan kulturalnya
Kolaborasi sebagai guru yang berorientasi
pada siswa, dengan menjawab
pertanyaan yang disediakan
- Dalam kelompok, peserta berbagi
penilaiannya dan pembelajarannya

15 (D) - Dalam kelompok (tugas), peserta Upload LK


Demonstrasi membuat visualisasi penilaian diri 28/visual
Kontekstual tersebut
- Dalam kelompok, peserta
mempresentasikan hasil
visualisasi penilaian diri

15 (E) - Peserta menganalisis studi kasus LK 29


Elaborasi yang sama pada pertemuan 7
Pemahaman dengan scaffolding pada ZPD

26 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


- Peserta mempelajari materi
tambahan terkait isu-isu
pendekatan, strategi, metode, dan
teknik, serta materi pembelajaran
dalam perspektif sosiokultural

15 (K) - Dalam kelompok, peserta Upload gambar


Koneksi mengaitkan dan menyimpulkan
antar Materi seluruh proses pembelajaran yang LK 30
dilalui dengan tujuannya sebagai
guru, dengan membuat peta
konsep

15 (A) - Dalam kelompok, peserta melihat Upload visual


Aksi Nyata kembali visualisasi penilaian diri Blog
yang dibuat dan menambahkan
setelah menjalani pembelajaran 1
semester
- Peserta menuliskan refleksinya
dalam blog (individu) terkait proses
pembelajaran Topik 6

Ujian Akhir 1 16 - Proyek akhir semester berupa


Semester pengembangan ‘Kampanye
Praktik Baik’ dengan
menggunakan hasil observasi
pada proyek tengah semester
yang diimplementasikan ke
dalam ‘Praktik Baik’ sesuai
dengan pengetahuan yang telah
mereka dapatkan pada mata
kuliah ini. Selain menjelaskan
praktik baik yang ada, peserta
memberikan alternatif strategi,

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 27


teknik dan metode pembelajaran
sesuai dengan perspektif
sosiokultural. Peserta menyajikan
dalam media kreatif seperti video
- Proyek kelas, seluruh peserta
mengumpulkan hasil tugasnya
dalam Portofolio kelas

28 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


MODUL 1
PENGANTAR PERSPEKTIF SOSIAL, BUDAYA, EKONOMI, DAN
POLITIK DALAM PENDIDIKAN INDONESIA

Durasi: 2 pertemuan
Capaian Pembelajaran:
Setelah mempelajari topik ini, mahasiswa dapat:
1. menganalisis faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi dan politik yang mempengaruhi
perjalanan pendidikan di Indonesia
2. merefleksikan serta menjelaskan pentingnya mempelajari perspektif sosial, budaya,
ekonomi, dan politik dalam pendidikan di Indonesia

PERTEMUAN 1

A. Mulai dari Diri

Mahasiswa PPG Prajabatan yang berbahagia,

Selamat datang di topik yang pertama yaitu ‘Pengantar perspektif sosial, budaya,
ekonomi, dan politik dalam pendidikan di Indonesia’. Topik ini penting untuk
mengantar Anda mengenali terlebih dahulu apa yang diketahui dan diyakini
tentang perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik, serta bagaimana faktor
faktor ini mempengaruhi pendidikan di Indonesia sejak masa penjajahan hingga
saat ini.

Setelah mempelajari topik ini, Anda diharapkan mampu:

1. menguraikan pandangan tentang faktor sosial, budaya, ekonomi dan


politik yang mempengaruhi pendidikan dan pembelajaran
2. mengaitkan dan menyimpulkan pentingnya mempelajari perspektif sosial,
budaya, ekonomi dan politik dalam pendidikan di Indonesia bagi guru
3. mengartikulasikan harapan dan/atau pertanyaan tentang pengalaman
belajar perspektif sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam pendidikan

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 29


4. memberikan argumen dalam diskusi faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi
dan politik terkait perjalanan pendidikan di Indonesia

Kita akan mulai pembelajaran tentang ‘Pengantar perspektif sosial, budaya,


ekonomi, dan politik dalam pendidikan di Indonesia’ dengan melihat pengalaman
pribadi masing-masing. Mari kita identifikasi faktor sosial budaya dan/atau
ekonomi politik yang mempengaruhi pendidikan di Indonesia.

Di sebuah sekolah, siswa-siswinya berasal dari latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan
politik yang berbeda-beda. Termasuk Diera, yang adalah anak pendatang yang menempuh
sekolah dengan membawa latar belakang sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang tidak sama
dengan sekolahnya. Hal ini membuat teman-teman di sekolah Diera sering salah mengartikan
kemampuannya sehingga penghambat dalam berinteraksi dan berdinamika. Tidak hanya
demikian, Diera sendiri pun sering kali merasa kebingungan ketika guru memberikan instruksi
yang kurang dipahami olehnya karena perbedaan cara pandang. Diera sering kali berusaha
untuk bertanya kepada teman-temannya, namun hal ini semakin membuat teman-temannya
salah mengartikan kemampuannya. Diera pun semakin merasa terasing dan tidak dapat
diterima, padahal dia sudah berusaha untuk memahami sekitarnya. Sementara itu, teman-
temannya juga menjadi kurang responsif kepada Diera, karena banyak hal pada diri Diera yang
sulit mereka pahami. Alhasil, capaian nilai Diera pada awal sekolah sangat rendah, sampai
akhirnya Diera ingin menyerah dan tidak ingin bersekolah.

Dari pengalaman pribadi Diera tersebut, terlihat latar belakang sosial, budaya,
ekonomi, dan politik yang berbeda pada diri Diera menjadi penghambat bagi
pendidikan yang Diera jalani. Ditambah lagi kondisi ekonomi orang tuanya yang
kurang cukup, dukungan sosial budaya di lingkungan barunya yang belum bisa
diandalkan, serta kondisi politik yang dialaminya saat berpindah ke tempat
barunya.

30 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Selanjutnya, silakan jawab pertanyaan reflektif berikut ini:

1. Bagaimana pandangan Anda terhadap kasus di atas melalui sudut pandang


Anda sebagai seorang pendidik? Adakah hal yang dapat Anda lakukan sebagai
solusi bagi Diera?
………………………………………………………………………………………………
………

2. Dari pengalaman pribadi Anda, apa faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik
yang berpengaruh pada salah satu momentum penting dalam perjalanan
pendidikan Anda, bisa dalam konteks keberhasilan maupun hambatan?

………………………………………………………………………………………………
………
3. Bila pertanyaan sebelumnya berkaitan dengan level terkecil (pribadi), bila ditarik
lebih luas, menurut Anda sejauh mana faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik
berpengaruh dalam pendidikan dan pembelajaran di Indonesia?

………………………………………………………………………………………………
…..

4. Apa pertanyaan penting yang ingin Anda ajukan terkait perspektif sosial,
budaya, ekonomi, dan politik dalam pendidikan di Indonesia berdasarkan
pemahaman dan elaborasi diri Anda?

1) ……….
2) ……….
3) ……….

5. Apa yang ingin Anda dapatkan dari mempelajari mata kuliah Perspektif
Sosiokultural dalam Pendidikan ini?

1) ……….
2) ……….
3) ……….

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 31


B. Explorasi Konsep

Selanjutnya mari kita eksplorasi lebih lanjut terkait pentingnya mempelajari


perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam pendidikan di Indonesia,
sebelum membahas mengenai konsep dasar teori sosio kultural pada modul
berikutnya. Salah satu cara adalah belajar dari sejarah panjang bangsa ini. Mari
lihat video singkat berikut:

https://www.youtube.com/watch?v=Zw6DrK8jkAQ

Dari sejarah zaman kolonial tersebut kita bisa belajar bahwa pendidikan hanya
diselenggarakan secara terbatas, baik akses maupun tujuan pembelajarannya.
Bahkan dikatakan hanya untuk kepentingan membantu bisnis kolonial. Apa lagi
yang Anda pelajari dari video tersebut?

Selanjutnya, dua video berikut bisa Anda pelajari untuk lebih banyak tentang
pendidikan di zaman penjajahan.

https://www.youtube.com/watch?v=NwxsBTDkGqI
https://www.youtube.com/watch?v=xu yg-uol qfs

Dalam kelompok-kelompok kecil, silakan diskusikan pertanyaan-pertanyaan berikut:


1. Apa faktor-faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik yang mempengaruhi
penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran di masa penjajahan Belanda dan
Jepang?
2. Bila ditarik pada masa sekarang, menurut Anda, apa faktor sosial, budaya, ekonomi,
dan politik penting yang berpengaruh pada pendidikan saat ini? Apakah Anda sudah
mengalami dan melihat yang dicita-citakan oleh Ki Hajar Dewantara (lihat video singkat
di awal) yaitu belajar secara merdeka?
3. Menurut Anda sebagai guru, apa arti penting mempelajari perspektif sosial, budaya,
ekonomi, dan politik dalam pendidikan di Indonesia?
4. Apa semangat yang Anda dapatkan sebagai calon guru dari mempelajari video-video
tersebut?

32 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Catatan: peran dosen di sini adalah memfasilitasi diskusi di kelas sehingga
mendapatkan pembelajaran yang bermakna.

Selanjutnya, bila di bagian sebelumnya Anda telah belajar pentingnya faktor sosial,
budaya, ekonomi, dan politik dalam pendidikan sehingga mempengaruhi
bagaimana pendidikan diselenggarakan, misalnya pendidikan hanya diberikan
pada kalangan tertentu, maka faktor tersebut juga mempengaruhi bagaimana
pembelajaran hanya difokuskan untuk tujuan praktis kepentingan bisnis penjajah
sehingga yang diajarkan membaca dan menulis dasar saja.

Kemudian dari diskusi di kelas, Anda belajar bagaimana perubahan


penyelenggaraan pendidikan saat ini, dimana akses sudah terbuka untuk siapa
saja belajar hingga setinggi mungkin. Bila melihat secara makro, faktor sosial
budaya ekonomi dan politik dimana bangsa ini sudah merdeka, sejahtera, dan
damai dibanding masa penjajahan, mempengaruhi bagaimana akses pendidikan
sudah terbuka dan partisipasi untuk sekolah sudah tinggi.

Pertanyaannya kemudian, bagaimana dengan kondisi secara lebih mikro atau


lebih implementatif, apakah di kelas-kelas telah terlihat proses belajar yang
memerdekakan siswa/i? Apakah semua siswa/i dimana saja telah mengalami
kemerdekaan tersebut? Ingat bahwa siswa/i Anda berasal dari ragam latar
belakang, tidak hanya secara geografis tersebar di semua penjuru negara namun
juga latar belakang budaya, sosial, ekonomi, dan politik yang beragam. Faktor
sosial, budaya, ekonomi, dan politik menjadi penting untuk dipahami sebagai latar
atau konteks bagaimana pendidikan dan pembelajaran diterapkan dan
menghasilkan capaian yang diinginkan. Sebagai guru, bagaimana Anda
mempersiapkan diri? Bagaimana belajar perspektif sosial, budaya dapat
membantu mempersiapkan diri?

Untuk memulainya, silakan secara kolaboratif Anda mempelajari faktor-faktor


sosial, budaya, ekonomi, dan politik dari siswa/i di beberapa daerah saat ini,
melalui beberapa video ini. Kemudian diskusikan pertanyaan yang ada dan
siapkan presentasi hasil diskusi dengan kreatif. Aktivitas ini dikerjakan di luar
kelas. Silahkan Anda pelajari LK berikut.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 33


C. Ruang Kolaborasi

LEMBAR KERJA 2

● Pelajari video pengalaman pembelajaran dari beberapa pengajar yang mengajar di


beberapa daerah di Indonesia.
https://www.youtube.com/watch?v=oOIUbqwwszY
https://www.youtube.com/watch?v=9r6-akC3qok
https://www.youtube.com/watch?v=CdI7-WOMy78
https://www.youtube.com/watch?v=4KrlR89dvT4&t=49s
https://www.youtube.com/watch?v=gc0Ehj2cHXw

● Diskusikan dalam kelompok pertanyaan berikut


1. Apa faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik penting yang mempengaruhi
pendidikan dan pembelajaran di kelima daerah tersebut? Apa yang mirip atau
sama, dan apa yang berbeda?
2. Bagaimana faktor-faktor tersebut dipertimbangkan dan kemudian diterapkan ke
dalam strategi pembelajaran oleh pengajar yang ada di dalam video tersebut?
3. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut, apa yang akan Anda lakukan
selain yang sudah dilakukan pengajar tersebut?
4. Apakah dengan mempelajari faktor sosial, budaya, ekonomi, dan politik penting
yang mempengaruhi pendidikan dan pembelajaran mampu mengembangkan
diri Anda untuk menjadi pendidik yang baik?

● Hasil diskusi dipresentasikan pada pertemuan berikutnya

PERTEMUAN 2

34 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


D. Demonstrasi Kontekstual

Setelah menyelesaikan tugas secara berkelompok, saat ini Anda akan


mempresentasikan hasil kerja kelompok Anda. Silakan memperhatikan presentasi
dari kelompok lainnya, dan berikan apresiasi dengan saling memberikan penilaian.

Penilaian Tugas Kelompok:

● Tugas kelompok ini akan dinilai, baik oleh dosen maupun oleh kelompok
lainnya.
● Tiap kelompok menilai presentasi dari kelompok lainnya, dengan panduan
yang disediakan. Tuliskan penilaian kepada kelompok lain dengan
menyebutkan hasil penilaian (A/B/C/D) beserta komentar tentang apa yang
paling membuka mata dari presentasi tersebut.
● Panduan penilaian dapat dilihat dalam rubrik berikut. Kolom A adalah hasil
ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C, dan D.

A B C D

Artikulasi sangat jelas Artikulasi jelas dan Artikulasi cukup bisa Artikulasi kurang jelas.
dan mudah dipahami. mudah dipahami. dipahami.
Isi tidak memberikan
Isi menjelaskan Isi menjelaskan Isi cukup menjelaskan pandangan mengenai
pandangan mengenai pandangan mengenai pandangan mengenai topik bahasan serta
topik bahasan secara topik bahasan secara topik bahasan, namun keterkaitannya.
mendalam, serta mendalam. kurang dalam
Visualisasi kurang
memberikan insight mendeskripsikan
Visualisasi menarik dan kreatif dan menarik.
atau pembelajaran keterkaitannya.
kreatif.
terkait topik bahasan.
Visualisasi cukup
Visualisasi sangat menarik dan kreatif.
menarik dan kreatif.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 35


E. Elaborasi Pemahaman

Di bagian ini kita akan mengelaborasi pemahaman yang sudah didapatkan dari
proses pembelajaran. Namun sebelumnya, Anda bisa mempelajari materi yang
sudah disiapkan berikut ini atau mendengarkan paparan dari dosen tentang
relevansi mempelajari teori sosiokultural yang akan dibahas di modul berikutnya.

Pertama-tama kita akan fokus pada konsep atau istilah kunci kontemporer yang menyoroti
relevansi teori sosiokultural.

1. Multikulturalisme

Masalah budaya dan pembelajaran tidak dapat dipisahkan selama berabad-abad karena
alasan sederhana bahwa salah satu tujuan utama pembelajaran adalah transmisi budaya dari
generasi ke generasi. Namun demikian, sebagian besar pendidik tidak menyadari unsur
budaya ini sampai dihadapkan dengan realitas kelas multikultural. Dalam lingkungan
monokultur budaya sebagian besar tetap tidak terlihat, dan pendidik mulai memperhatikannya
hanya ketika dua atau lebih pola budaya secara empiris hadir di kelas yang sama, pada waktu
yang sama. Seseorang dapat mengatakan bahwa Vygotsky memiliki keuntungan tertentu
dalam hal ini karena ia bekerja dalam periode pergolakan sosial yang besar yang menempatkan
kelompok sosial dan etnis yang berbeda ke dalam fokus pendidikan yang sama. Masalah
keaksaraan, serta keragaman etnis dan budaya, jauh lebih jelas bagi Vygotsky.

Jawaban tentatif Vygotsky untuk tantangan ini terletak pada reorientasi radikal teori belajar dari
perspektif individualistis ke sosiokultural. Konsep kunci dalam orientasi baru ini adalah alat
psikologis. Alat psikologis adalah artefak simbolik – tanda, simbol, teks, formula, organisator
grafis – yang ketika diinternalisasi membantu individu menguasai fungsi psikologis alami
mereka sendiri dari persepsi, memori, perhatian, dan sebagainya (lihat Kozulin, 1998). Setiap
budaya memiliki seperangkat alat dan situasi psikologisnya sendiri di mana alat-alat ini
disesuaikan. Literasi dalam berbagai bentuknya merupakan salah satu alat psikologis yang
paling kuat.

Dengan demikian, situasi kelas multikultural dapat dioperasionalkan sebagai suatu sistem yang
berbeda dari alat-alat psikologis, dan integrasi pendidikan sebagai masalah perolehan oleh

36 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


siswa dan kadang-kadang juga oleh guru dari sistem alat-alat psikologis yang baru. Literasi
dalam perspektif ini tidak lagi menjadi entitas homogen yang terkait dengan kemampuan siswa
untuk memecahkan kode dan memahami teks tertulis standar dan muncul sebagai fenomena
yang beragam dan heterogen. Hari ini seseorang dapat berbicara tentang literasi terdistribusi,
di mana sejumlah peserta berkontribusi pada aspek yang berbeda dari satu tindakan literasi,
atau tentang literasi ilmiah, di mana pemahaman melampaui makna kata-kata sehari-hari.
Pembentukan keaksaraan yang berbeda terkait erat dengan apropriasi alat psikologis yang
berbeda.

Ketika pendidikan kontemporer menjadi sadar akan tantangan kelas multikultural, ia juga
menyadari perlunya pendidikan kognitif. Banyak masalah siswa tampaknya bukan berasal dari
penyajian materi konten yang buruk tetapi dari kurangnya strategi kognitif dan keterampilan
metakognitif yang diperlukan. Program pendidikan kognitif bertujuan untuk mengembangkan
keterampilan kognitif dasar yang diperlukan untuk studi yang efisien di semua bidang kurikuler
atau untuk mengembangkan fungsi kognitif tingkat tinggi yang spesifik untuk bidang kurikuler
tertentu, seperti sains, matematika, atau sastra. Dari sudut pandang Vygotskian, esensi
pendidikan kognitif terletak pada penyediaan alat psikologis baru kepada siswa yang dapat
membentuk fungsi kognitif umum atau lebih spesifik domain.

Dengan demikian orang dapat melihat bagaimana pertanyaan tentang literasi dan pendidikan
kognitif yang muncul dalam agenda pendidikan tanpa pengaruh langsung dari ide-ide Vygotsky
memperoleh makna baru dengan memenuhi jawaban konseptual yang diberikan oleh teori
sosiokultural.

2. Mediasi

Untuk waktu yang lama model pembelajaran yang dominan adalah akuisisi (lihat Sfard, 1998).
Anak dipersepsikan sebagai wadah yang harus diisi dengan pengetahuan dan keterampilan
oleh guru. Ketidaksepakatan utama di antara para pendidik terkait dengan tingkat aktivitas yang
diharapkan dari anak. Pendekatan yang lebih tradisional menggambarkan anak sebagai
penerima yang agak pasif dari pengetahuan yang dikemas, sedangkan Piaget dan pendukung
pembelajaran penemuan mengharapkan anak-anak menjadi agen akuisisi independen. Dalam
waktu menjadi jelas bahwa model akuisisi menginginkan baik secara teoritis dan empiris. Di
satu sisi, anak terbukti lebih dari sekadar penerima informasi yang pasif; di sisi lain, eksplorasi

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 37


mandiri sering menyebabkan perolehan konsep yang belum matang dan pengabaian
keterampilan sekolah yang penting. Pencarian model pembelajaran alternatif bergerak ke
depan konsep-konsep seperti mediasi, scaffolding, magang, dan organisasi kegiatan
pembelajaran.

Teori Vygotsky menyatakan bahwa perkembangan proses mental anak yang lebih tinggi
tergantung pada kehadiran agen mediasi dalam interaksi anak dengan lingkungan. Vygotsky
sendiri terutama menekankan alat-alat simbolik-mediator yang digunakan oleh anak-anak
dalam konteks kegiatan sosial budaya tertentu, yang paling penting yang dianggapnya sebagai
pendidikan formal. Peneliti dari Vygotsky meneliti dua jenis mediasi tambahan – mediasi melalui
manusia lain dan mediasi dalam bentuk aktivitas pembelajaran yang terorganisir. Dengan
demikian model akuisisi berubah menjadi model mediasi. Beberapa konsep mediasi seperti
scaffolding (lihat Wood, 1999) atau magang (Rogoff, 1990) muncul sebagai hasil asimilasi
langsung ide-ide Vygotskian; yang lain seperti pengalaman belajar yang dimediasi Feuerstein
(1990) telah dikembangkan secara independen dan hanya kemudian memperoleh makna baru
dalam konteks teori sosiokultural (Kozulin, 1998).

3. Potensi Belajar

Sejarah pengujian kecerdasan membawa paradoks yang melekat pada dirinya sendiri. Di satu
sisi, salah satu aspek terpenting dari tes kecerdasan adalah kemampuannya untuk
memprediksi kinerja masa depan anak. Di sisi lain, sistem pendidikan yang sejak awal menjadi
pelanggan utama tes psikometri bertujuan untuk menemukan dan mewujudkan potensi belajar
anak, yaitu kemampuan mereka untuk berubah di bawah pengaruh instruksi. Kesenjangan
antara sifat psikometrik yang stabil dari pengujian intelligence quotient (IQ) dan sifat dinamis
dari kemampuan belajar anak terungkap dengan sendirinya dalam sejumlah kontroversi IQ.
Secara bertahap, sistem alternatif penilaian dinamis telah muncul (Lidz, 1987; Sternberg &
Grigorenko, 2002). Yang menyatukan semua sistem ini adalah pengenalan fase pembelajaran
ke dalam situasi penilaian. Alih-alih mempelajari kinerja individu anak, penilaian dinamis
berfokus pada perbedaan antara kinerja sebelum dan sesudah fase pembelajaran atau
bantuan. Beberapa metode penilaian dinamis (misalnya, Feuerstein, Rand, Hoffman, & Miller,
1979) muncul tanpa pengaruh langsung dari ide-ide Vygotskian; yang lain secara eksplisit
menyebut gagasan Vygotsky tentang Zone of Proximal Development (ZPD) sebagai dasar
teoritis mereka (Brown & Ferrara, 1985). Gagasan ZPD memberikan tiga wawasan penting

38 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


untuk masalah pengujian dinamis: (1) Ini memfokuskan perhatian kita pada fungsi-fungsi
psikologis anak yang muncul pada saat tertentu tetapi belum sepenuhnya berkembang; (2)
Konsep ZPD memperkenalkan kinerja yang dibantu sebagai parameter yang sah dari prosedur
penilaian; (3) ZPD membantu mengkonseptualisasikan perbedaan antara tingkat kinerja aktual
dan potensi belajar anak. Demikian lagi kritik terhadap tes IQ dan munculnya alternatif-alternatif
dinamis yang terjadi tanpa pengaruh langsung dari teori sosiokultural memperoleh makna baru
dalam konteks paradigma ZPD.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 39


Gambar 1.1 menyajikan hubungan antara konsep Vygotskian seperti alat psikologis, mediasi,
dan ZPD serta isu-isu kontemporer, seperti pendidikan kognitif, penilaian potensi pembelajaran,
dan aktivitas bersama orang tua-anak, yang memperoleh makna baru melalui pertemuan
dengan Vygotskian perangkat teoritis.

40 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Berikut ini kita akan fokus pada dua konsep utama teori sosiokultural, alat psikologis dan
mediasi, dan mencoba menunjukkan bagaimana konsep-konsep ini selanjutnya dapat
berkontribusi pada teori pembelajaran dan pengajaran.

A. AGEN MEDIASI

Mediasi berfungsi sebagai kata kunci dalam sejumlah besar studi terbaru, beberapa di
antaranya terinspirasi oleh teori Vygotsky dan beberapa dikembangkan secara independen
(misalnya, Feuerstein, 1990). Seseorang dapat membedakan dua wajah mediasi, yang satu
manusiawi, yang lain simbolis. Pendekatan yang berfokus pada mediator manusia biasanya
mencoba menjawab pertanyaan terkait keterlibatan orang dewasa seperti apa yang efektif
dalam meningkatkan kinerja anak? Mereka yang berfokus pada aspek simbolik mengajukan
pertanyaan terkait perubahan apa dalam kinerja anak yang dapat ditimbulkan oleh pengenalan
alat-alat simbolik mediator?

1. PERANTARA MANUSIA

Peran mediator manusia didefinisikan dalam teori Vygotsky (1978) melalui gagasan bahwa
setiap fungsi psikologis muncul dua kali dalam perkembangan, sekali dalam bentuk interaksi
aktual antara orang-orang, dan yang kedua sebagai bentuk internal dari fungsi ini. Oleh karena
itu, salah satu fokus kajian sosiokultural yang diilhami oleh Vygotsky adalah untuk menjelaskan
bagaimana aktivitas yang dimulai sebagai interaksi antara anak dan orang dewasa menjadi
terinternalisasi sebagai fungsi psikologis anak itu sendiri. Dalam hal ini studi Wertsch dan Stone
(1985) tampaknya cukup representatif. Penulis mengamati dan merekam interaksi antara
seorang ibu dan putrinya yang berusia 2,5 tahun selama anak mengerjakan teka-teki. Anak
harus menyelesaikan teka-teki "salinan" sesuai dengan teka-teki "model", sementara ibu
diizinkan untuk membantunya. Pada awal pekerjaan, interaksi antara anak dan ibu berupa anak
bertanya ke mana harus pergi dan ibu mengarahkan anak ke model. Menjelang akhir
pekerjaan, verbalisasi anak memperoleh kualitas pengarahan diri sendiri, dan kebutuhan untuk
berkonsultasi dengan model tampaknya disesuaikan oleh anak itu sendiri. Dalam pengertian
Vygotsky (1978, 1986) tentang zona perkembangan proksimal (ZPD) yang dicapai adalah
pengalihan fungsi penggunaan model dari ZPD anak ke zona perkembangan aktual anak.

Jadi fokus penelitian yang sebenarnya adalah transisi fungsi dari bidang interpersonal ke
intrapersonal daripada sifat mediasi ibu, yang dijelaskan secara kontekstual dan konkret

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 41


(misalnya, "mengarahkan anak ke model") . Tampaknya ada sejumlah besar bentuk mediasi
orang dewasa yang berbeda, dari kehadiran orang dewasa, yang menyediakan lingkungan
belajar yang aman bagi anak, hingga dorongan, tantangan, dan umpan balik (Schaffer, 1996).
Penekanan utama dari studi Wertsch dan Stone (1985) dan studi serupa lainnya,
bagaimanapun, bukan pada pengidentifikasian pola mediasi tetapi pada penetapan bahwa (a)
dalam situasi interaktif anak-anak memang dapat terlibat dalam aktivitas yang lebih kompleks
daripada aktivitas yang mereka lakukan. dapat menguasai diri sendiri dan (b) aktivitas bersama
menghasilkan fungsi tertentu yang disesuaikan oleh anak.

Pemeriksaan studi neo-Vygotskian menegaskan kesan bahwa parameter mediasi manusia


ternyata terlalu banyak dan tergantung konteks untuk memungkinkan klasifikasi sederhana.
Misalnya, Tharp dan Gillimore (1988) menulis tentang bentuk-bentuk mediasi guru seperti
pemodelan, manajemen kontingensi (pujian dan kritik), umpan balik, dan, pada tingkat lain,
penataan kognitif. Penataan kognitif milik tingkat metakognitif dan termasuk strategi untuk
organisasi pekerjaan siswa. Jelas bahwa parameter mediasi guru yang disebutkan memiliki
tingkat yang berbeda dan aspek kegiatan interaktif yang berbeda.

Bahkan ketika tujuan instruksi yang dimediasi didefinisikan secara spesifik, bentuk-bentuk
mediasi tetap terbuka. Misalnya, dalam studi mani mereka Palinscar dan Brown (1984)
mengusulkan kerangka pengajaran timbal balik untuk pengembangan keaksaraan. Dalam
kerangka ini guru dan siswa bergiliran membaca dan mendiskusikan teks. Tujuan guru adalah
menggunakan teknik pembelajaran interaktif untuk mengembangkan strategi bertanya,
meringkas, memprediksi, dan mengklarifikasi siswa. Meskipun strategi itu sendiri didefinisikan
dengan cukup tepat, sarana mediasinya kurang spesifik, termasuk bentuk-bentuk yang
berbeda seperti pemodelan strategi, penciptaan kesadaran akan penggunaan strategi,
penyesuaian presentasi dengan tingkat kompetensi anak, dan pengalihan tanggung jawab
kepada siswa.

Kesulitan dalam mengidentifikasi berbagai bentuk mediasi menjadi sangat jelas melalui analisis
mediasi Rogoff (1995). Rogoff membedakan tiga aspek atau strata mediasi: magang,
partisipasi terbimbing, dan apropriasi. Magang memberikan model kegiatan masyarakat yang
memediasi pola sosiokultural kepada anak-anak atau pemula dewasa. Partisipasi terpimpin

42 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


meliputi aspek interpersonal dari aktivitas bersama. Apropriasi berkaitan dengan perubahan
yang terjadi pada individu karena keterlibatan mereka dalam kegiatan yang dimediasi.
Meskipun skema seperti itu berguna untuk orientasi umum, skema tersebut tidak dapat
digunakan untuk mengidentifikasi aktivitas mediasi khusus:

Konsep partisipasi terbimbing bukanlah definisi operasional yang mungkin digunakan


seseorang untuk mengidentifikasi beberapa dan bukan interaksi atau pengaturan lainnya.
Konsep tersebut tidak mendefinisikan kapan situasi tertentu menjadi atau tidak dipandu
partisipasi, melainkan memberikan perspektif tentang bagaimana melihat keterlibatan
interpersonal dan pengaturan. (Rogoff, 1995, hlm. 146–147).

Salah satu cara yang mungkin untuk menganalisis dan mengklasifikasikan berbagai jenis
mediasi adalah dengan membedakan antara jenis mediasi dan teknik khusus mediasi.
Misalnya, dari studi Bliss, Askew, dan Macrae (1996) tentang scaffolding dalam pengajaran
sains dapat disimpulkan bahwa persetujuan, dorongan, strukturasi, dan organisasi pekerjaan
siswa terkait dengan jenis mediasi, lebih terlokalisasi. scaffolding seperti fasilitasi “langkah
pertama” atau pemberian petunjuk dan slot terkait dengan teknik mediasi. Salah satu temuan
signifikan dari penelitian ini adalah, bagaimanapun, rendahnya tingkat mediasi spontan yang
efektif di antara para guru. Para guru menghindari pendekatan mediasi sama sekali,
menggunakan strategi pengajaran direktif, atau tidak berhasil dalam upaya mediasi mereka. Ini
menimbulkan masalah perbedaan antara lingkungan rumah dan sekolah dan batasan yang
dikenakan pada perluasan temuan yang dibuat tentang mediasi orang tua di rumah ke situasi
kelas. Meskipun mayoritas orang tua tampaknya menemukan bentuk mediasi yang tepat untuk
anak-anak mereka (Wood, 1999), mediasi ini biasanya hanya relevan untuk aktivitas kehidupan
sehari-hari. Masih harus ditunjukkan bagaimana mediasi orang tua efektif dalam
mempromosikan kinerja kelas anak. Kurangnya mediasi spontan guru di kelas menunjukkan
perlunya memberikan mereka pelatihan sistematis baik dalam jenis mediasi umum maupun
teknik khusus yang sesuai untuk usia dan materi pelajaran tertentu.

Pelatihan mediasi guru seperti itu dilaporkan dalam studi Lehrer dan Shumow (1997) yang
membandingkan bantuan orang tua dan guru untuk anak-anak memecahkan masalah
matematika. Pendampingan guru sebagian besar ditujukan pada pemahaman dan elaborasi
masalah, sedangkan bantuan orang tua cenderung memberikan kontrol strategis dan definisi
masalah. Orang tua lebih sering menggunakan intervensi langsung dengan memberi tahu

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 43


anak-anak apa yang harus dilakukan. Guru, di sisi lain, mencoba membantu siswa untuk
memahami masalah matematika dan kemudian mendorong mereka untuk memecahkan
masalah secara mandiri. Untuk menjembatani kesenjangan antara guru dan orang tua,
Shumow (1998) juga mengembangkan program pelatihan untuk orang tua. Pelatihan tersebut
mencakup materi buletin tertulis dan konseling melalui telepon. Orang tua yang berpartisipasi
dalam program ini menunjukkan perubahan dalam bantuan mereka ke arah penjabaran
masalah yang lebih besar dan pemahaman yang masuk akal.

Relevansi mediasi orangtua spontan untuk kinerja kelas telah diperiksa oleh Portes (1991).
Siswa kelas lima dan enam diminta untuk melakukan sejumlah tugas kognitif (Blok Desain dari
WISC-R, klasifikasi gambar dan kata, tugas kreativitas) sementara ibu mereka diizinkan untuk
membantu mereka. Portes mengidentifikasi tiga jenis interaksi anak (pertanyaan dan
permintaan bantuan, persetujuan, dan interupsi) dan sembilan jenis interaksi ibu. Studi analitik
faktor menghasilkan satu faktor umum, Bimbingan Verbal Ibu (MVG). MVG mewakili jenis
interaksi yang mencakup permintaan verbal ibu, isyarat, pertanyaan tertutup; elaborasi ibu dan
anak selama dan setelah tugas; dan pertanyaan anak yang relevan dengan pemecahan
masalah. MVG ternyata menjadi prediktor kuat pencapaian skolastik anak-anak dalam
keterampilan matematika, membaca, dan referensi. Peran MGV sangat kuat dalam
memprediksi prestasi matematika, lebih kuat dari status sosial ekonomi (SES), ras, dan status
perkawinan orang tua. Dalam istilah yang disarankan sebelumnya, Portes mengidentifikasi
teknik mediasi orang tua inti yang relevan dengan aktivitas pemecahan masalah. Teknik-teknik
ini tampaknya mempromosikan strategi kognitif yang efektif dalam berbagai situasi belajar
formal. Signifikansi temuan Portes tidak hanya terletak pada identifikasi yang lebih spesifik dari
teknik mediasi, tetapi juga dalam demonstrasi bahwa tidak setiap jenis interaksi orang tua-anak
memiliki efek mediasi.

Studi yang diilhami oleh gagasan Vygotskian tentang mediasi manusia tampaknya sebagian
besar didorong oleh data. Mereka mulai dengan data empiris tentang interaksi orang tua-atau
guru-anak dan berusaha mengidentifikasi elemen-elemen penting dari mediasi manusia. Studi
yang diilhami oleh teori Feuerstein (1990; Feuerstein, Krasilovsky, & Rand, 1978) tentang
pengalaman belajar termediasi (MLE) didorong oleh teori. Feuerstein mendalilkan bahwa
kualitas pengalaman belajar yang dimediasi dapat dicapai hanya jika sejumlah kriteria MLE
terpenuhi. Di antara yang paling penting dari kriteria ini adalah intensionalitas dan timbal balik
interaksi, karakter transendennya (yaitu, memiliki signifikansi di luar situasi di sini dan

44 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


sekarang), dan mediasi makna. Studi yang mengikuti paradigma ini berfokus pada adanya
parameter MLE yang ditentukan dalam interaksi anak-dewasa dan konsekuensi dari tidak
adanya atau ketidakcukupan MLE untuk perkembangan dan pembelajaran kognitif anak.
Dengan tujuan ini, sejumlah skala untuk mengukur keberadaan parameter utama MLE
dikembangkan (Klein, 1988; Lidz, 1991).

Tzuriel (1997) menunjukkan bahwa skor MLE transendensi dan regulasi perilaku dalam
interaksi ibu-anak adalah prediktor yang baik dari kinerja kognitif anak-anak kelas dua dalam
Uji Modifikasi Inferensial. Menariknya, skor MLE menjelaskan skor posttest kognitif anak, tetapi
bukan skor pretest. Mempertimbangkan bahwa Inferensial Modifiability Test adalah tes dinamis
yang memiliki fase belajar antara pra dan pasca tes, tampaknya masuk akal bahwa kualitas
mediasi orang tua mempengaruhi potensi belajar anak daripada tingkat kinerja langsung.
Dengan kata lain, anak-anak yang menerima lebih banyak PMB melalui interaksi dengan orang
tuanya menjadi pembelajar yang lebih baik. Dalam istilah Vygotskian itu berarti bahwa kualitas
mediasi orang tua mempengaruhi batas atas ZPD anak, daripada zona perkembangan
aktualnya.

Tzuriel (1996) juga menunjukkan bahwa parameter mediasi yang berbeda bergerak ke depan,
tergantung pada isi dari aktivitas ibu-anak bersama. Dia membandingkan aktivitas bermain
bebas dengan aktivitas pemecahan masalah yang lebih terstruktur. Pertama-tama, ditemukan
bahwa ibu cenderung memberikan jumlah mediasi yang lebih besar secara keseluruhan dalam
situasi bermain bebas. Dua parameter MLE, mediasi makna dan mediasi perasaan kompetensi,
ternyata membedakan situasi ini. Ibu tampaknya merasa bahwa situasi bermain bebas terlalu
"samar" dan membutuhkan investasi yang lebih besar dari mereka untuk mendefinisikannya
dengan benar untuk anak. Dalam situasi pemecahan masalah, ibu tampaknya percaya bahwa
tugas itu sendiri memberikan struktur yang cukup sehingga keterlibatan orang tua kurang
penting.

Hasil ini memberikan petunjuk yang berguna untuk perbedaan antara mediasi di rumah dan di
kelas. Sebagian besar situasi berbasis rumah tidak terlalu terstruktur. Oleh karena itu, orang
tua merasa berkewajiban untuk memberikan mediasi ekstra makna untuk membuat situasi
menjadi jelas bagi anak-anak mereka. Di dalam kelas, aktivitas biasanya diatur di seputar
materi pembelajaran yang sangat terstruktur. Banyak guru tampaknya percaya bahwa makna

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 45


yang terkandung dalam materi ini cukup transparan bagi siswa dan oleh karena itu situasinya
tidak memerlukan mediasi intensif.

Studi tentang aspek manusia dari mediasi menegaskan pentingnya pembelajaran yang
dimediasi tetapi pada saat yang sama mengungkapkan karakter episodik pemahaman kita
tentang fenomena ini. Pertama-tama, klasifikasi umum interaksi mediasi tidak ada. Hal ini dapat
diatasi dengan perbedaan yang sudah diusulkan antara jenis mediasi dan teknik mediasi.
Dominasi jenis dan teknik mediasi tertentu dalam pengaturan pembelajaran formal dan informal
kemudian harus diselidiki secara sistematis. Neo-Vygotskian mungkin ingin mengambil
petunjuk dari studi yang didorong oleh teori Feuerstein dan mulai menyelidiki bentuk-bentuk
mediasi tertentu, seperti transendensi (yaitu, melampaui situasi di sini dan sekarang), dalam
kaitannya dengan perkembangan pembelajaran. - menggali potensi anak. Para siswa teori
MLE, di sisi lain, mungkin ingin memeriksa kembali secara kritis postulat mereka tentang tiga
kriteria universal mediasi (yaitu, intensionalitas, transendensi, dan makna). Mereka mungkin
bertanya pada diri mereka sendiri apakah MLE berdasarkan kriteria ini memiliki karakter holistik
sehingga efeknya tergantung pada jumlah keseluruhan mediasi atau apakah jumlah mediasi
yang memadai atau tidak memadai yang terkait dengan satu kriteria tertentu mungkin menjadi
sangat penting bagi perkembangan kognitif anak.

2. MEDIATOR SIMBOLIS

Teori Vygotsky (Vygotsky, 1978, 1997; Vygotsky & Luria, 1930/1993) membuat perbedaan
penting antara pengalaman yang dihasilkan oleh kontak langsung individu dengan rangsangan
lingkungan dan pengalaman yang dibentuk oleh interaksi yang dimediasi oleh alat simbolik. Di
antara mediator simbolis yang paling kuno, Vygotsky (1978, hlm. 127) menyebutkan “melempar
undi, mengikat simpul, dan menghitung jari.” Pengecoran lot muncul dalam situasi ketika
ketidakpastian keputusan yang disebabkan oleh kehadiran dua rangsangan berlawanan yang
sama kuatnya diselesaikan dengan aplikasi alat buatan dan sewenang-wenang, sebuah dadu.
Individu menghubungkan keputusannya dengan "jawaban" yang diberikan oleh dadu, sehingga
secara artifisial menyelesaikan situasi yang tidak dapat diselesaikan dengan cara alami.
Mengikat simpul dicontohkan pengenalan perangkat mnemonik dasar untuk memastikan
pengambilan informasi dari memori. Penghitungan jari menunjukkan bagaimana objek yang

46 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


selalu ada (jari) dapat berfungsi sebagai alat simbolis eksternal yang mengatur fungsi kognitif
yang terlibat dalam operasi aritmatika dasar.

Di luar alat primitif ini terletak area luas mediator simbolik tingkat tinggi termasuk tanda, simbol,
tulisan, formula, dan pengatur grafik yang berbeda. Perkembangan dan pembelajaran kognitif,
menurut Vygotsky, pada dasarnya bergantung pada penguasaan mediator simbolik anak,
apropriasi dan internalisasinya dalam bentuk alat psikologis batin (Kozulin, 1998).

Skema teoritis umum ini telah menghasilkan sejumlah konsekuensi. Salah satunya adalah
penelitian tentang pemahaman dan penggunaan simbol pada anak usia dini (misalnya,
DeLoach, 1995). Satu kesimpulan penting dari jalur penelitian ini adalah bahwa seseorang tidak
dapat menerima begitu saja bahwa anak-anak akan mendeteksi hubungan simbolis, tidak
peduli seberapa jelas hal itu tampak bagi orang dewasa. Perolehan hubungan simbolik
membutuhkan pengalaman yang dipandu; tidak muncul secara spontan. DeLoach mengamati
bahwa materi pembelajaran untuk anak kecil sering dirancang dengan cara yang
mengandaikan bahwa anak-anak telah menguasai hubungan simbolik antara simbol objek dan
konsep. Pada kenyataannya hubungan tersebut tidak muncul secara spontan tetapi harus
dibentuk secara sistematis.

Di sini kita menyentuh isu penting tentang hubungan antara aspek simbolis dan manusiawi dari
mediasi. Simbol mungkin tetap tidak berguna kecuali maknanya sebagai alat kognitif dimediasi
dengan benar kepada anak. Hanya tersedianya tanda atau teks tidak berarti bahwa mereka
akan digunakan oleh siswa sebagai alat psikologis. Fakta ini menjadi sangat jelas dalam studi
tentang hasil literasi.

Menulis dalam berbagai bentuknya merupakan kelas utama mediator simbolik. Dari studi awal
Vygotsky dan Luria (1930/1993; Luria, 1976) isu peran mediasi literasi telah menjadi pusat
perdebatan sosiokultural. Vygotsky dan Luria percaya, dan berusaha menunjukkan dalam studi
lapangan perintis mereka di Asia Tengah, bahwa penguasaan literasi mengubah seluruh sistem
proses kognitif pelajar. Baru-baru ini sentralitas literasi dan menulis untuk pengembangan
proses kognitif yang lebih tinggi ditegaskan kembali oleh Olson (1994). Namun, ada alasan
serius untuk percaya bahwa literasi seperti itu tidak memiliki pengaruh tegas pada fungsi
kognitif. Untuk mengajukan pertanyaan dengan benar, seseorang harus menanyakan tentang
jenis keaksaraan, konteks di mana itu diperoleh, dan jenis tugas yang memerlukan proses

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 47


kognitif secara hipotesis dipengaruhi oleh keaksaraan (Scribner & Cole, 1981; Scribner, 1997).
Scribner dan Cole menunjukkan bahwa bentuk-bentuk literasi yang diperoleh dalam konteks
studi agama, pembelajaran di rumah, dan sekolah formal semuanya memiliki karakteristik yang
berbeda dan dampak yang berbeda pada pemrosesan kognitif. Misalnya, literasi bahasa asing
yang diperoleh dalam konteks studi agama yang ditujukan untuk menghafal teks-teks suci
ternyata mempengaruhi fasilitas siswa dengan tugas-tugas memori tetapi gagal menunjukkan
pengaruh pada fungsi kognitif lainnya.

Temuan ini mengembalikan kita ke pertanyaan tentang apropriasi mediator simbolik. Apropriasi
seperti itu tampaknya tergantung pada tujuan yang ditetapkan oleh guru atau orang tua untuk
alat-mediator yang ditawarkan kepada anak. Kita sering cenderung mengacaukan literasi
dalam pengertian umum dengan tipe literasi analitik khusus yang seharusnya menjadi tujuan
pendidikan formal. Tidak setiap jenis literasi mengarah pada perubahan kognitif yang diamati
oleh Vygotsky dan Luria (Luria, 1976). Selain itu, bahkan keaksaraan yang diperoleh dalam
pengaturan pendidikan formal tidak selalu mengarah pada perubahan kognitif kecuali
keaksaraan ini dimediasi kepada siswa sebagai alat kognitif. Studi kita (Kozulin & Lurie, 1994)
tentang orang dewasa imigran baru yang dididik di sekolah-sekolah Ethiopia menunjukkan
bahwa kemampuan mereka untuk membaca, menulis, dan memecahkan masalah matematika
dasar dalam bahasa ibu mereka memiliki sedikit hubungan dengan kemampuan mereka untuk
memecahkan masalah baru. Kinerja tugas kognitif awal mereka dengan Tes Matriks Raven dan
Desain Blok jauh lebih rendah daripada yang diharapkan ketika memperhitungkan tingkat
pendidikan mereka. Performa meningkat hanya setelah subjek kita secara sistematis
diperkenalkan ke sistem simbolik yang relevan dengan aktivitas pemecahan masalah. Orang
mungkin menduga bahwa literasi dan numerasi diajarkan kepada mereka sebagai keterampilan
teknis yang sempit dengan tujuan terbatas untuk memecahkan kode, menghafal, dan
mereproduksi teks dan melakukan perhitungan dasar. Melek huruf dan berhitung tampaknya
tetap ada dalam pikiran mereka sebagai keterampilan teknis yang terpisah tanpa kepentingan
kognitif yang lebih luas. Optimisme awal Vygotsky dan Luria mengenai kekuatan transformasi
umum mediator simbolik harus memenuhi syarat. Memang benar bahwa pada dasarnya
mediator simbolik memiliki kapasitas untuk menjadi alat kognitif. Namun, untuk mewujudkan
kapasitas ini para mediator harus disesuaikan di bawah kondisi yang sangat khusus yang
menekankan makna mereka sebagai alat kognitif.

48 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Proses perampasan alat psikologis berbeda dari proses pembelajaran konten. Perbedaan ini
mencerminkan fakta bahwa sementara materi konten sering memproduksi realitas empiris yang
dikenal siswa dalam kehidupan sehari-hari, alat psikologis dapat diperoleh hanya dalam
kegiatan pembelajaran khusus. Misalnya, pengetahuan konten bahwa Roma adalah ibu kota
Italia sesuai dengan realitas empiris dan dapat dipelajari oleh siswa baik secara spontan dalam
kehidupan sehari-hari mereka atau sebagai bagian dari kurikulum sekolah. Di sisi lain, peta
geografis dan legendanya hanya dapat diperoleh selama kegiatan pembelajaran khusus. Peta
adalah alat simbolis yang membantu siswa untuk menemukan entitas geografis apa pun,
misalnya, ibu kota negara tertentu, bahkan jika negara yang bersangkutan dan ibu kotanya
tidak mereka ketahui. Untuk alasan ini perolehan alat psikologis memerlukan paradigma
pembelajaran yang berbeda dari perolehan pengetahuan konten empiris. Paradigma
pembelajaran ini mengandaikan (a) karakter proses pembelajaran yang disengaja, bukan
spontan; (b) pemerolehan alat-alat simbolik secara sistemik, karena alat-alat itu sendiri
diorganisasikan secara sistemik; (c) penekanan pada sifat umum dari alat-alat simbolik dan
penerapannya.

Jika seseorang membandingkan persyaratan ini dengan kriteria universal dari Mediated
Learning Experience yang didefinisikan oleh Feuerstein (1990) – intensionalitas, transendensi,
dan mediasi makna – orang akan melihat tumpang tindih yang cukup besar di antara mereka.
Tumpang tindih ini tidak mengejutkan, karena peran MLE adalah menciptakan prasyarat
kognitif yang penting untuk keberhasilan pembelajaran langsung. Banyak dari prasyarat kognitif
ini terkait erat dengan penggunaan alat simbolik. Inilah sebabnya mengapa tampaknya penting
untuk mengeksplorasi hubungan antara kriteria interaksi MLE dan kondisi perolehan alat
psikologis.

Seperti disebutkan, perolehan alat psikologis harus memiliki karakter tindakan yang disengaja.
Jika tidak ada kesengajaan dari mediator guru-, alat psikologis tidak akan disesuaikan oleh
siswa atau akan dianggap sebagai item konten lain, bukan alat. Terkadang, guru gagal
membantu siswa dalam mengidentifikasi perangkat simbolik yang disajikan bersama dengan
materi konten. Akibatnya siswa menerima alat bersama dengan konten secara sinkretis, cara
yang tidak dapat dibedakan dan tidak mampu mengidentifikasi bagian instrumen dari materi
pembelajaran.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 49


Alat simbolik memenuhi perannya hanya jika disesuaikan dan diinternalisasikan sebagai
instrumen umum, yaitu, alat psikologis yang mampu mengatur fungsi kognitif dan pembelajaran
individu dalam konteks yang berbeda dan dalam aplikasi untuk tugas yang berbeda. Itulah
sebabnya ketidakmampuan untuk mengajarkan alat-alat psikologis secara transenden pasti
mengarah pada kegagalan dalam perampasannya oleh siswa. Rupanya inilah yang terjadi
ketika pengajaran berbasis sekolah dalam membaca, menulis, dan matematika dilakukan murni
sebagai konten dan pelatihan keterampilan tanpa mediasi fungsi instrumental umum dari
sistem simbolik ini. Akibatnya keaksaraan dan keterampilan matematika tetap terisolasi dan
gagal untuk mempengaruhi kemampuan kognitif dan pemecahan masalah siswa secara
keseluruhan (Kozulin & Lurie, 1994).

Mediasi makna merupakan momen esensial dalam perolehan alat-alat psikologis, karena alat-
alat simbolik memperoleh maknanya hanya dari konvensi-konvensi budaya yang
melahirkannya. Alat simbolik (misalnya, huruf, kode, tanda matematika) tidak memiliki arti
apapun di luar konvensi budaya yang menanamkan mereka dengan makna dan tujuan. Jika
tujuan ini dimediasi dengan buruk kepada peserta didik, pemahaman yang tepat tentang fungsi
instrumental alat dapat hilang. Misalnya, bahasa asing kadang-kadang diajarkan sebagai
sistem pengkodean yang hanya memetakan korespondensi antara kata-kata asing dan kata-
kata dalam bahasa asli pelajar. Akibatnya pelajar menjadi sangat cacat dalam pemahaman dan
ekspresi dalam bahasa asing. Sebaliknya, jika tujuan studi bahasa asing dimediasi sebagai
kemampuan untuk memahami dan merumuskan proposisi yang bermakna, siswa menjadi
mampu menangkap peran instrumental dari sistem tanda asing (lihat Wallace, Pandaram, &
Modiroa, 1996; Kozulin & Garb, 2002).

B. MEDIASI: UNIVERSAL ATAU SPESIFIK BUDAYA?

Meskipun ada sedikit keraguan bahwa bentuk-bentuk mediasi manusia tertentu bersifat
universal dan dapat ditemukan dalam budaya mana pun, pertanyaan tentang apa yang
merupakan inti mediasi universal ini dan bentuk mediasi mana yang spesifik budaya tetap ada.
Penting juga untuk menanyakan apakah aspek mediasi yang sama memiliki arti dan
kepentingan yang identik dalam budaya yang berbeda dan untuk kelompok sosial yang
berbeda.

50 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Feuerstein menganggap tiga kriteria pertama MLE (intensionalitas, transendensi, dan mediasi
makna) universal karena mereka melampaui tidak hanya budaya tetapi juga modalitas mediasi.
Menurut Feuerstein dan rekan (1980, hlm. 23), perolehan MLE tidak bergantung pada konten
atau modalitas interaksi: “Menggunakan contoh instruksi dalam masyarakat yang belum melek
huruf, jelas bahwa mediasi dapat mengambil bentuk nonverbal. Mediator mengilustrasikan
tindakannya kepada pengamat yang tertarik dengan interaksi verbal yang terbatas, dan bahkan
interaksi semantik yang lebih sedikit. Dalam pengalaman kita, perubahan yang terjadi sebagai
akibat dari mediasi nonverbal melampaui isi dan cara isi ditransmisikan.”

Penelitian selanjutnya yang dilakukan dalam paradigma MLE meragukan posisi universalistik
yang kuat ini. Baik faktor sosial ekonomi maupun etnokultural terbukti berpengaruh terhadap
jumlah dan jenis mediasi. Tzuriel (1996) menunjukkan bahwa ada korelasi kuat antara jumlah
interaksi MLE yang diamati dan SES ibu: Semakin tinggi level SES, semakin tinggi skor MLE.
Tiga kriteria MLE, transendensi, mediasi makna, dan mediasi perasaan kompetensi, ternyata
sangat sensitif terhadap perbedaan SES. Misalnya, perbedaan signifikan dalam jumlah mediasi
transendensi (melampaui situasi di sini dan sekarang) ditemukan tidak hanya antara ibu SES
tinggi dan rendah, tetapi bahkan antara ibu SES tinggi dan menengah. Hal ini menunjukkan
bahwa aspek-aspek tertentu dari mediasi manusia secara selektif ditekankan dalam kelompok
SES tertentu daripada yang lain (lihat Portes dan Vadeboncoeur, volume ini).

Penyelidikan mediasi manusia dalam perspektif lintas budaya juga menghasilkan hasil yang
mendukung kekhususan budaya daripada universalitas. Dalam studinya tentang interaksi ibu-
anak dalam keluarga imigran dari Ethiopia, Tzuriel (1997) menggunakan konteks instruksional
berorientasi tradisional dan berorientasi Barat. Dalam konteks tradisional ibu-ibu berinteraksi
dengan anak-anaknya sambil menenun, membuat gerabah, dan mengerjakan kerajinan tangan
lainnya. Tugas berorientasi Barat termasuk memecahkan masalah analogis. Ditemukan bahwa
berbagai aspek mediasi bergerak ke depan, tergantung pada jenis tugasnya. Misalnya, aktivitas
tradisional menghasilkan jumlah mediasi makna dan transendensi yang lebih tinggi daripada
tugas Barat, tetapi jumlah intensionalitas lebih rendah dalam situasi tradisional. Ketika
perbandingan dibuat antara gaya mediasi ibu Ethiopia dan ibu Israel asli, menjadi jelas bahwa
mereka menekankan aspek mediasi yang berbeda. Intensionalitas dan regulasi perilaku lebih
tinggi pada ibu Ethiopia; mediasi perasaan kompetensi lebih tinggi pada ibu Israel. Selain itu,
sedangkan untuk sampel Israel jumlah MLE yang ditunjukkan selama interaksi ibu-anak
memprediksi kinerja anak dalam tes penalaran inferensial, hubungan ini tidak ada untuk sampel

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 51


Ethiopia. Dengan kata lain, aspek MLE yang ditangkap oleh skala observasional MLE adalah
prediktif untuk kemampuan mempelajari tugas pemecahan masalah pada anak-anak Israel
tetapi tidak pada anak-anak Ethiopia. Dengan demikian, seseorang dapat mempertanyakan
kemampuan skala MLE untuk menangkap bentuk mediasi yang "sama" dalam kelompok
budaya yang berbeda.

Paradigma sosiokultural, meskipun mengakui universalitas beberapa bentuk mediasi, seperti


partisipasi terpandu anak-anak dalam kegiatan orang dewasa, sebagian besar berfokus pada
interaksi budaya tertentu. Dalam studinya tentang partisipasi terpimpin, Rogoff (1990)
menekankan bahwa bentuk mediasi manusia secara langsung bergantung pada tujuan
sosiokultural yang dianggap penting oleh komunitas tertentu. Mungkin berguna dikotomi antara
masyarakat tradisional di mana anak-anak terlibat langsung dalam pekerjaan sehari-hari dan
kegiatan lain orang dewasa dan masyarakat industri modern yang menciptakan lingkungan,
tugas, dan kegiatan yang selaras dengan apa yang dianggap masyarakat sebagai kebutuhan
yang sesuai dengan usia anak-anak. Dalam lingkungan tradisional, interaksi anak-orang
dewasa biasanya kurang verbal dan lebih kontekstual dan ditujukan untuk keberhasilan
integrasi anak dalam kegiatan tradisional. Dalam lingkungan modern, interaksi lebih bersifat
verbal, lebih berpusat pada anak, dan lebih “abstrak” dalam arti membina pada anak-anak
keterampilan yang tidak memiliki nilai praktis langsung tetapi dianggap sebagai prasyarat untuk
integrasi masa depan mereka ke dalam masyarakat teknologi yang berubah dengan cepat. .
Akan tetapi, masih terlalu dini untuk mengklaim bahwa kita memiliki penamaan yang tepat untuk
pola-pola mediasi yang merupakan karakteristik dari lingkungan interaktif ini. Analisis Rogoff
(1990, bab 6) dari penelitian tentang interaksi orang tua-anak dan partisipasi terbimbing anak
mengungkapkan berbagai gaya mediasi yang membingungkan. Bahkan komunitas yang
berbeda menampilkan gaya mediasi yang sangat berbeda dari yang lebih diam, observasional,
dan berpusat pada topik menjadi lebih eksplisit, verbal, dan berorientasi pada konsep.

Teori sosiokultural menunjukkan bahwa gaya mediasi manusia tidak dapat dipahami dengan
baik kecuali peran mediator simbolik yang tersedia diakui. Dalam komunitas yang
menggunakan sistem mediator yang rumit yang terkait dengan literasi dan numerasi, sejumlah
besar mediasi manusia diarahkan pada perolehan dan perampasan alat-mediator ini oleh anak.
Ini tidak bisa tidak meninggalkan jejak proses mediasi. Misalnya, perolehan sistem simbolik

52 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


matematika dan ilmiah tingkat tinggi (rumus, dll.) membutuhkan jumlah transendensi yang jauh
lebih besar daripada perolehan operasi manual yang konkret.

Namun, orang harus menyadari bahwa alat simbolik selalu digunakan dalam kaitannya dengan
tujuan komunitas tertentu. Akibatnya sistem yang sama dari mediator simbolik dapat menjadi
terkait dengan sistem yang berbeda dari praktik mediasi. Studi Heath (1983) tentang literasi di
komunitas Appalachian yang berbeda menunjukkan bahwa secara nominal sistem literasi
bahasa Inggris yang sama tertanam dalam sistem mediasi yang sangat berbeda di keluarga
kulit putih kelas menengah, keluarga kulit putih kelas pekerja, dan keluarga kulit hitam
pedesaan. Orang tua kulit putih kelas pekerja mengajari anak-anak mereka menghormati kata-
kata tertulis tetapi tidak melibatkan informasi berbasis teks dalam kehidupan sehari-hari
mereka. Anak-anak ini memulai dengan baik di sekolah tetapi gagal kemudian ketika mereka
diharapkan menggunakan keterampilan melek huruf dalam menyusun dan menafsirkan teks-
teks yang kompleks. Anak-anak pedesaan kulit hitam diperkenalkan oleh orang tua mereka
pada penggunaan bahasa lisan yang kreatif dan imajinatif, tetapi kata-kata tertulis tidak
dimediasikan kepada mereka. Akibatnya anak-anak ini mengalami kesulitan pada langkah
pertama perolehan literasi berbasis sekolah dan jarang mampu mewujudkan potensi verbal
kreatif mereka.

Juga tidak benar untuk berpikir bahwa lembaga literasi harus merupakan individu yang
menyendiri. Meskipun dalam masyarakat teknologi seorang individu seharusnya menjadi melek
secara mandiri (walaupun penggunaan ekstensif pemeriksaan ejaan komputer memenuhi
syarat bahkan pernyataan ini), ini tidak benar di semua komunitas. Dalam studi mereka tentang
berbagai bentuk literasi di Maroko, Wagner, Messick, dan Spratt (1986) menyajikan kasus
untuk literasi terdistribusi. Badan keaksaraan terdistribusi seperti itu adalah kelompok daripada
individu. Beberapa individu masing-masing hanya memiliki beberapa aspek keaksaraan, dan
hanya dengan menyatukan upaya mereka dapat berfungsi sebagai individu yang sepenuhnya
melek huruf. Temuan tersebut memiliki dua implikasi untuk studi mediasi. Pertama, mereka
mengingatkan kita pada masalah mediasi literasi kepada anak-anak di bawah kondisi
terdistribusi daripada literasi individu. Kedua, mereka mengajukan pertanyaan tentang jenis
mediasi apa yang terjadi antara peserta dewasa dalam aksi literasi terdistribusi.

Dengan demikian, seseorang dapat menyimpulkan bahwa pencarian bentuk mediasi universal
dan spesifik budaya baru saja dimulai. Jelas, bagaimanapun, bahwa tujuan sosial dan budaya

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 53


dari komunitas tertentu dan mediator simbolis yang tersedia bagi para anggotanya akan
meninggalkan jejak mereka pada parameter dan gaya mediasi.

C. PENDIDIKAN KOGNITIF DAN ALAT PSIKOLOGIS

Program Pengayaan Instrumental (IE) (Feuerstein, Rand, Hoffman, & Miller, 1980) pertama kali
dipahami sebagai metode untuk mengembangkan potensi belajar pada remaja yang kurang
beruntung secara sosiokultural, banyak dari mereka adalah anggota kelompok etnis minoritas.
Penulis program ini berpendapat bahwa rendahnya tingkat pencapaian skolastik dan
rendahnya tingkat kinerja kognitif umum siswa ini adalah produk dari perkembangan yang tidak
memadai atau penggunaan fungsi kognitif yang tidak efisien yang berfungsi sebagai prasyarat
pemikiran dan pembelajaran yang efektif. Sumber dari kekurangan kognitif ini terlihat pada
jumlah atau jenis pengalaman belajar yang dimediasi siswa yang tidak memadai. IE demikian
dirancang sebagai program remedial dan pengayaan yang akan memberikan siswa dengan
pengalaman belajar yang dimediasi; memperbaiki fungsi kognitif mereka yang kurang; ajari
mereka konsep dasar, kosa kata, dan operasi yang diperlukan; menumbuhkan penalaran
reflektif; dan mengubah siswa ini dari penerima pasif informasi menjadi pembelajar aktif. Materi
IE mencakup 14 buklet tugas kertas dan pensil yang mencakup bidang-bidang seperti persepsi
analitik, perbandingan, kategorisasi, orientasi dalam ruang dan waktu, dan silogisme. Buklet ini
disebut instrumen karena membantu "memperbaiki" sejumlah fungsi kognitif yang kurang.

Seperti disebutkan, teori MLE menjabat sebagai landasan teoritis eksplisit untuk
pengembangan IE. Konsep alat psikologis dan teori sosiokultural Vygotsky tidak ada dalam
desain teoritis asli program ini (Kozulin & Presseisen, 1995). Tampaknya, bagaimanapun,
bahwa sebenarnya materi IE menawarkan sintesis yang bermanfaat dari alat psikologis dan
paradigma MLE. Selain itu, analisis IE dari perspektif alat psikologis dapat menghasilkan
seperangkat prinsip yang cocok untuk desain program intervensi kognitif baru yang
menggabungkan pendekatan MLE dan alat psikologis.

Program IE menggunakan materi yang bebas konten, aktivitas dengan materi ini berorientasi
pada proses, dan setiap instrumen IE dan baterai IE secara keseluruhan diatur secara
sistematis. Sifat materi IE yang bebas konten membantu siswa untuk menguasainya sebagai
alat yang diarahkan terutama pada proses kognitifnya sendiri. Materi IE menggabungkan
sejumlah besar perangkat grafis-simbolik seperti representasi skematik, tabel, bagan, dan

54 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


grafik. Semua perangkat ini memfasilitasi transisi siswa dari interaksi langsung dengan materi
ke interaksi yang dimediasi oleh alat simbolik. Kegiatan yang termasuk dalam program IE terdiri
dari coding dan decoding, penggunaan model dan formula, representasi satu masalah yang
sama dalam modalitas yang berbeda, generalisasi, dan klasifikasi. Semua kegiatan ini pada
intinya diarahkan pada apropriasi dan internalisasi alat-alat psikologis dan akhirnya pada
pengembangan fungsi-fungsi psikologis yang lebih tinggi yang bergantung pada alat-alat ini.
Penekanan pada proses daripada produk mengarah pada pengembangan kesadaran dan
kontrol metakognitif yang merupakan fitur konstituen dari fungsi psikologis yang lebih tinggi.

Salah satu karakteristik sentral dari fungsi psikologis yang lebih tinggi berdasarkan alat
psikologis adalah sifat sistemiknya. Program IE secara aktif mempromosikan organisasi
sistemik ini. Instrumen IE dirancang dengan cara yang menginduksi integrasi berulang dari
fungsi kognitif yang dikembangkan dengan bantuan tugas yang terletak di tempat yang berbeda
dalam satu instrumen dan dalam instrumen yang berbeda. Prinsip-prinsip kognitif yang sama
muncul kembali dalam instrumen yang berbeda dalam berbagai modalitas. Salah satu tujuan
utama IE sebagai program intervensi kognitif adalah untuk membuat alat psikologis simbolis
tersedia bagi siswa yang karena perbedaan budaya, deprivasi pendidikan, atau keadaan lain
tidak pernah memperoleh alat ini. IE menyediakan sistem perkembangan kognitif "buatan" atau
perwakilan, yang di bawah kondisi yang lebih menguntungkan terungkap dengan cara "alami".
Ketika diterapkan dengan benar, program IE tampaknya menjadi metode yang efektif untuk
remediasi fungsi kognitif pada siswa yang berbeda budaya, kekurangan pendidikan, dan
ketidakmampuan belajar (Ben-Hur, 1994; Kozulin, 2000).

D. PENDIDIKAN KOGNITIF: BERBASIS KONTEN ATAU KONTEN-NETRAL?

Baik teori sosiokultural maupun teori MLE menekankan bahwa kognisi, pembelajaran, dan
instruksi tidak boleh dipertimbangkan secara terpisah. Dalam kedua kerangka teori
pengembangan fungsi kognitif siswa disajikan sebagai tujuan penting dari proses pendidikan.
Vygotsky (1978) berbicara tentang instruksi sebagai motor sejati perkembangan kognitif anak;
Feuerstein (1990) menekankan bahwa proses pembelajaran hanya dapat berhasil jika
memperhatikan prasyarat kognitif pembelajaran. Kedua pendekatan tersebut menghasilkan
program terapan yang bertujuan untuk mengintegrasikan pengayaan kognitif siswa ke dalam

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 55


proses pembelajaran. Program-program ini, bagaimanapun, berbeda dalam perlakuan mereka
terhadap hubungan antara pengayaan kognitif dan pembelajaran konten.

Tujuan intervensi pendidikan berbasis MLE adalah untuk meningkatkan kemampuan modifikasi
kognitif siswa. Tujuan ini menentukan sifat bebas konten dari program IE (Feuerstein et al.,
1980). Dikatakan bahwa perolehan fungsi dan strategi kognitif paling dasar, yaitu proses belajar
bagaimana belajar, tidak memerlukan materi konten khusus: “Ketika seseorang berurusan
dengan fungsi kognitif dasar yang belum ditetapkan. , untuk alasan apa pun, dalam operasi
kognitif individu, maka masalah kekhususan menjadi kurang penting” (Feuerstein, Hoffman,
Egozi, & Ben Shachar, 1994, hlm. 32). Selain itu, Feuerstein menyajikan sejumlah alasan
khusus untuk sifat bebas konten dari program IE. Pertama adalah penolakan siswa yang
menganggap materi konten sebagai informasi saja dan enggan untuk terlibat dalam studi yang
lebih luas dari prinsip-prinsip kognitif yang mungkin tertanam ke dalam materi ini. Alasan kedua
adalah penolakan guru untuk menghabiskan waktu yang dialokasikan untuk materi konten pada
instruksi keterampilan berpikir. Alasan ketiga adalah materi konten memiliki logikanya sendiri –
matematis, fisik, sastra, sejarah, dan sebagainya – yang belum tentu sejalan dengan logika
peningkatan fungsi kognitif. Terakhir, ada faktor kegagalan yang sebelumnya dialami siswa
dalam konfrontasinya dengan materi konten tertentu. Untuk semua alasan ini, program
Pengayaan Instrumental dirancang sebagai program intervensi kognitif bebas konten yang
diajarkan selama waktu pelajaran yang dialokasikan secara khusus.

Fakta bahwa IE tidak memiliki koneksi ke area konten tertentu tidak berarti IE tidak memiliki
konten. Tugas yang digunakan dalam program ini memerlukan beberapa pengetahuan konten
dasar, seperti figure geometris. Ketika siswa menunjukkan kurangnya pengetahuan khusus
yang diperlukan untuk bekerja dengan materi program, mereka memperoleh pengetahuan ini
selama pelajaran IE. Pengetahuan ini, bagaimanapun, disajikan sebagai sarana daripada
tujuan. Informasi dan aturan matematika, geografis, atau linguistik diberikan dengan tujuan
kognitif umum daripada tujuan disiplin khusus. Setelah prinsip dan strategi kognitif umum
dikembangkan selama pelajaran IE, mereka ditransfer ke mata pelajaran konten. Jumlah dan
kualitas bridging ini tergantung pada keterampilan dan inisiatif guru. Karena IE terutama
merupakan program peningkatan kognitif, efektivitasnya dievaluasi terutama melalui
pengukuran kognitif. Dalam hal ini tampaknya cukup efektif dalam meningkatkan keterampilan
pemecahan masalah siswa, terutama yang diukur dengan tes nonverbal (Savell, Twohig, &
Rachford, 1986; Kozulin, 2000). Mengenai efek menjembatani ke mata pelajaran sekolah,

56 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


hasilnya tidak selalu konsisten atau mudah ditafsirkan. Sebagai contoh, Jensen (1990)
menunjukkan bahwa gunting memiliki dua bilah yang berfungsi efektif membutuhkan
keterampilan kognitif yang baik dan basis pengetahuan yang dapat diterapkan. Dalam kasus
studi Jensen, IE seharusnya diajarkan sebagai tambahan untuk kurikulum akademik yang kuat
sehingga menjembatani dapat dilakukan dari prinsip-prinsip kognitif ke materi konten yang
kaya. Namun pada kenyataannya, guru yang berpartisipasi dalam program memiliki sedikit
kesempatan untuk menawarkan pengetahuan akademis yang substansial dan koheren kepada
kelompok sasaran siswa minoritas yang kurang beruntung. Akibatnya perubahan dalam fungsi
kognitif siswa memiliki sedikit dampak dalam pembelajaran mata pelajaran konten mereka.

Sikap teori sosiokultural terhadap pembelajaran konten sangat berbeda. Untuk Vygotsky (1986)
pembelajaran konten dapat dikaitkan dengan dua proses konseptual yang berbeda:
pembentukan spontan, konsep empiris atau pengembangan konsep ilmiah (lihat Karpov,
volume ini).

Perolehan konsep sehari-hari tidak banyak menambah perkembangan kognitif siswa karena
konsep-konsep ini didasarkan pada mekanisme kognitif yang sudah ada dan hanya menambah
pengalaman yang kaya secara empiris. Tentu saja, terkadang keterampilan kognitif anak tidak
cukup bahkan untuk konsep spontan; dalam hal ini, program intervensi kognitif seperti IE
mungkin menjadi sangat berguna. Vygotsky, bagaimanapun, jauh lebih peduli dengan
kebutuhan untuk memimpin anak melampaui konsep-konsep spontan yang kaya secara
empiris tetapi tidak sistematis dan sering kontradiktif ke dalam ranah konseptualisasi ilmiah
yang sesuai dengan karakteristik penalaran sistematis ilmu pengetahuan dan humaniora.
Dalam ranah ini tidak ada pertentangan antara mekanisme kognitif dan pengetahuan konten
karena alasan sederhana bahwa konten muncul di sini dalam bentuk konseptual yang
mendefinisikan tidak hanya konten tetapi juga jenis penalaran yang terlibat. Karena teori
sosiokultural menekankan karakter historis kognisi manusia, struktur konseptual pengetahuan
disiplin muncul di sini sebagai bentuk pemikiran manusia yang sesungguhnya. Dengan kata
lain, tidak ada entitas seperti pemikiran murni yang kadang-kadang diterapkan pada masalah
fisik dan kadang-kadang pada masalah linguistik. Bentuk-bentuk penalaran dalam fisika dan
linguistik merupakan bentuk-bentuk pemikiran manusia yang sebenarnya sesuai dengan
aktivitas sosiokultural yang spesifik secara historis seperti penyelidikan fisik atau linguistik.
Pembelajaran konten yang terorganisir dengan baik akan menghasilkan banyak strategi kognitif
umum yang berfungsi sebagai fokus program pendidikan kognitif (cf. Fischer, 1990).

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 57


Perkembangan kognisi siswa demikian dipandang dalam teori sosiokultural sebagai elemen
integral dari pembelajaran konten konseptual.

Paradigma umum ini diwujudkan dalam sejumlah program pembelajaran (Davydov, 1988;
Lompscher, 1984; Karpov & Bransford, 1995). Titik penting dari program-program ini terletak
pada pembentukan aktivitas belajar. Teori neo-Vygotskian membedakan kegiatan belajar yang
dirancang khusus dari belajar dalam arti umum. Belajar dalam arti umum adalah bagian dari
banyak aktivitas manusia, seperti bermain, aktivitas praktis, dan interaksi interpersonal.
Meskipun merupakan komponen penting dari kegiatan ini, pembelajaran, bagaimanapun,
bukanlah tujuan mereka. Apa yang membedakan belajar sebagai jenis kegiatan khusus adalah
fokusnya pada perubahan yang dihasilkan dalam diri pelajar. Tujuan dari kegiatan belajar
adalah untuk membuat individu menjadi pembelajar yang kompeten (lihat Zuckerman, volume
ini).

Pembentukan prasyarat untuk kegiatan belajar harus dimulai sejak usia taman kanak-kanak:

Kegiatan belajar mengandaikan pengembangan pemikiran teoritis, yang dasarnya adalah


sistem konsep-konsep ilmiah. Namun, untuk anak-anak berusia lima tahun, bentuk kognisi
logis-konseptual hampir tidak khas seperti visual-imajinatif. Dengan demikian, pada usia ini
belum merupakan kegiatan belajar yang harus dikembangkan, melainkan prasyaratnya.
Landasan yang paling memadai untuk penguasaan selanjutnya dari sistem konsep-konsep
ilmiah adalah gagasan skema umum yang secara visual mencerminkan tautan dan hubungan
penting dari konsep-konsep yang harus dikuasai. (Venger & Gorbov, 1993, hal. 3).

Seseorang mungkin memperhatikan kesamaan tertentu antara penekanan pada prasyarat


pembelajaran dalam program prasekolah reguler Vygotskian dan program kompensasi usia
sekolah Feuerstein. Kesamaan ini tidak disengaja, karena alasan sederhana bahwa salah satu
tujuan Feuerstein's IE adalah untuk membentuk pada anak-anak yang lebih besar fungsi-fungsi
yang diperoleh anak-anak yang lebih beruntung pada usia yang lebih dini. Jadi, IE dalam fungsi
kompensasinya mirip dengan fungsi pembangkit perkembangan dari program prasekolah dan
kelas satu Vygotskian.

Setelah prasyarat pembelajaran terbentuk, model kegiatan pembelajaran dapat dilaksanakan


sepenuhnya. Model ini mendikte perubahan baik dalam materi pembelajaran maupun dalam
kegiatan kelas. Satuan materi pembelajaran bukan lagi soal matematika atau latihan membaca

58 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


yang terpisah, tetapi merupakan tugas pembelajaran yang mencerminkan prinsip umum
pembentukan atau transformasi materi pelajaran. Keumuman prinsip-prinsip tersebut membuat
mereka mirip dengan tugas-tugas yang digunakan dalam program pendidikan kognitif, tetapi
mereka tetap terkait erat dengan bidang disiplin. Aktivitas kelas juga bukan lagi sebagai wahana
untuk sekedar menyampaikan informasi dari guru kepada siswa dan balik, tetapi sebagai
sarana untuk secara aktif mengkonstruksi pemahaman teoritis siswa. Sifat konstruktif dari
aktivitas siswa menghubungkan karya neo-Vygotskians dengan paradigma konstruktivis dalam
pengajaran sains (Hatano, 1993). Harus diingat, bagaimanapun, bahwa untuk neo-Vygotskian
konstruksi pengetahuan konseptual pada siswa selalu muncul sebagai konstruksi yang
dipandu, bukan eksplorasi independen.

Desakan pada pemahaman teoritis daripada empiris merupakan ciri khas dari teori
pembelajaran konten neo-Vygotskian (Davydov, 1988; Hedegaard, 1990; Karpov & Bransford,
1995; lihat juga Kozulin, 1990, bab 7). Neo-Vygotskians berpendapat bahwa dalam
pembelajaran empiris perbedaan penting antara pengalaman hidup sehari-hari dan konsep-
konsep ilmiah dilenyapkan dan siswa gagal untuk menghargai logika khas dari penyelidikan
ilmiah. Pandangan ini tampaknya didukung oleh studi tentang pembelajaran sains yang
dilakukan dari perspektif selain Vygotskian. Penelitian tentang perubahan konseptual
menunjukkan bahwa apresiasi siswa terhadap kekhususan pendekatan ilmiah dan bahasa
ilmiah yang berbeda dari bahasa sehari-hari merupakan salah satu faktor utama yang
berkontribusi terhadap perolehan konsep ilmiah (Duit & Treagust, 1998).

Prinsip-prinsip pembelajaran teoretis berhasil diterapkan dalam pengajaran matematika,


membaca, sains, dan mata pelajaran lainnya di sekolah dasar dan menengah (Davydov, 1988;
Davydov & Tzvetkovich, 1991; Hedegaard, 1990; Lompscher, 1984, 1997). Hasil utama yang
dicapai dengan pendekatan ini adalah pembentukan pada siswa dari metode umum
pemecahan masalah yang melampaui penampilan eksternal dari masalah individu. Siswa juga
mempelajari bentuk umum kegiatan belajar seperti penciptaan dan penggunaan model,
manipulasi sistematis dengan variabel, identifikasi masalah dan pemisahan diketahui dan tidak
diketahui, dan strategi refleksi metakognitif. Lompscher (1997) berpendapat bahwa ciri-ciri
umum pembelajaran teoritis ini tidak dapat dicapai dalam "bentuk murni" tanpa instruksi khusus
domain. Semua fitur ini pada dasarnya adalah hasil dari kegiatan pembelajaran yang
terorganisir dengan baik yang tidak dapat bebas konten. Selama subjek konten

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 59


mempertahankan makna sosio kulturalnya, aktivitas pembelajaran yang terfokus pada mereka
akan mempertahankan kepentingannya sebagai mekanisme kognitif peningkatan.

KESIMPULAN

Mari kita tinjau beberapa pelajaran yang dapat diambil dari pertemuan antara masalah
pendidikan saat ini dan teori Vygotsky.

Pelajaran pertama adalah bahwa proses belajar bersifat individual dan sosiokultural, oleh
karena itu pentingnya memahami tidak hanya individu tetapi juga dimensi sosial dan budaya
dari situasi belajar yang dikonseptualisasikan oleh Vygotsky melalui pengertian alat psikologis
dan mediasi.

Pelajaran kedua adalah bahwa tak satupun dari gagasan yang disebutkan mampu membentuk
situasi belajar dalam isolasi dari yang lain. Alat simbolik memiliki potensi pendidikan yang kaya,
tetapi tetap tidak efektif jika tidak ada mediator manusia untuk memfasilitasi penggunaan
mereka oleh pelajar. Dengan cara yang sama, mediasi manusia yang melibatkan alat simbolik
yang canggih tidak akan membantu pelajar untuk menguasai bentuk-bentuk penalaran dan
pemecahan masalah yang lebih kompleks.

Dengan demikian, pelajaran ketiga adalah bahwa program pendidikan kognitif harus dibangun
sebagai kombinasi dari sistem perangkat simbolik dengan pendekatan didaktik berdasarkan
prinsip-prinsip pembelajaran termediasi.

Pelajaran keempat adalah bahwa isu-isu seperti universalitas, kekhususan sosiokultural, jenis,
dan teknik mediasi manusia memerlukan penyelidikan sistematis lebih lanjut karena
pemahaman kita tentang mereka masih sangat episodik.

Pelajaran kelima adalah bahwa batas harus ditemukan antara fungsi kognitif dasar yang
berfungsi sebagai dasar untuk setiap kegiatan pembelajaran dan fungsi kognitif yang lebih
khusus yang terkait dengan pembelajaran konseptual dalam bidang kurikuler tertentu. Rupanya
fungsi-fungsi dasar ini menjadi bergabung dan berubah dalam sistem konseptual yang baru.
Eksplorasi proses penggabungan tersebut dapat membawa kita ke desain yang lebih baik dari
program pembelajaran konten yang mencakup unsur-unsur kognitif.

60 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Dari seluruh proses belajar sebelumnya, buatlah kesimpulan dengan menjawab
beberapa pertanyaan berikut:

1. Apa yang Anda pahami setelah mempelajari mengenai pendidikan multikulturalisme,


mediasi, dan potensi belajar dalam pendidikan? Apa pentingnya hal ini bagi Anda?
2. Apa yang Anda pahami terkait dua konsep utama teori sosiokultural, yaitu sebagai alat
psikologis dan mediasi, dan bagaimana konsep-konsep ini selanjutnya dapat
berkontribusi pada teori pembelajaran dan pengajaran?
3. Bagaimana menurut Anda penerapan konsep tersebut dalam pendidikan di Indonesia?
Silahkan berdiskusi dengan mencari referensi yang ada dalam konteks pengajaran serta
pembelajaran di Indonesia.
4. Apa saja yang dapat Anda terapkan nantinya sebagai guru terkait pemahaman Anda?
5. Bagaimana Anda memandang kesiapan Anda sebagai guru dengan memahami konsep
tersebut?
6. Pertanyaan apa yang ingin Anda ajukan lebih lanjut tentang topik bahasan tersebut?

F. Koneksi Antar Materi

Buatlah koneksi antar materi dari pembelajaran mengenai topik bahasan tersebut
dengan pembelajaran yang sudah, sedang, atau akan Anda pelajari di mata kuliah
PPG lainnya. Selain menyebutkan topik/materi dalam mata kuliah ini dengan
topik/materi dalam mata kuliah lain, sebutkan juga keterkaitannya. Buatlah koneksi
tersebut dalam bentuk visual untuk memudahkan kita semua dalam memahami,
bisa dalam bentuk mindmap, diagram, bagan, atau lainnya. Selanjutnya, Anda
dapat berdiskusi bersama terkait koneksi antar materi dalam mata kuliah ini
dengan mata kuliah lainnya.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 61


G. Aksi Nyata

Pada akhir pembelajaran setiap topik, Anda diminta untuk merefleksikan


pembelajaran dalam blog masing-masing, dengan menggunakan alur MERDEKA
seperti dalam proses pembelajarannya. Anda bisa menceritakan refleksi Anda
dengan caranya masing-masing, bisa narasi yang dilengkapi visual, ataupun
narasi saja, atau model kreatif lainnya. Berikut ini panduan pertanyaan yang dapat
membantu Anda menuliskan blog:

No. Alur pembelajaran Pertanyaan Refleksi

1 Mulai Dari Diri Apa yang Anda pikirkan tentang topik ini sebelum memulai
proses pembelajaran?

2 Eksplorasi Konsep Apa yang Anda pelajari dari konsep yang Anda pelajari
dalam topik ini?

3 Ruang Kolaborasi Apa yang Anda pelajari lebih lanjut bersama dengan rekan-
rekan Anda dalam ruang kolaborasi?

4 Demonstrasi Kontekstual Apa hal penting yang Anda pelajari dari proses
demonstrasi kontekstual yang Anda jalani bersama
kelompok (bisa tentang materi, rekan, dan diri sendiri)?

5 Elaborasi Pemahaman Sejauh ini, apa yang sudah Anda pahami tentang topik ini?
Apa hal baru yang Anda pahami atau yang berubah dari
pemahaman di awal sebelum pembelajaran dimulai ?
Apa yang ingin Anda pelajari lebih lanjut?

6 Koneksi Antar Materi Apa yang Anda pelajari dari koneksi antar materi baik di
dalam mata kuliah yang sama maupun dengan mata kuliah
lain?

7 Aksi Nyata Apa manfaat pembelajaran ini untuk kesiapan Anda


sebagai guru?

62 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Bagaimana Anda menilai kesiapan Anda saat ini, dalam
skala 1-10? Apa alasannya?
Apa yang perlu Anda persiapkan lebih lanjut untuk bisa
menerapkannya dengan optimal?

Berikut rubrik penilaian blog yang digunakan untuk setiap modul. Kolom A adalah
hasil ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C, dan D.

A B C D

Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa


mengartikulasikan mengartikulasikan mengartikulasikan mengartikulasikan
refleksi dalam blog refleksi dalam blog refleksi dalam blog refleksi dalam blog
dengan alur yang jelas dengan alur yang jelas dengan cukup mudah dengan kurang jelas
dan mudah dipahami, dan mudah dipahami. dipahami. dan sulit dipahami.
serta kreatif.
Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa
Mahasiswa menguraikan secara menguraikan secara menguraikan secara
menguraikan secara mendalam dan mendalam, namun singkat pandangan
mendalam dan kurang tajam dalam tentang topik bahasan,
mengaitkan secara
dan tidak
mengaitkan secara tajam pandangan mengaitkan pandangan
tajam pandangan mengenai topik mengenai topik mengaitkan pandangan
mengenai topik bahasan, baik dari bahasan. mengenai topik
bahasan, baik dari dirinya dan bahasan.
Mahasiswa
dirinya dan kelompoknya.
menyimpulkan secara Mahasiswa tidak atau
kelompoknya, serta
Mahasiswa sederhana kurang jelas dalam
kaitannya dengan
menyimpulkan pemahamannya menyimpulkan
materi dari MK lain.
pemahaman mengenai mengenai topik
Pemahamannya
Mahasiswa topik bahasan secara bahasan.
mengenai topik
menyimpulkan jelas.
Mahasiswa secara bahasan.
pemahaman mengenai
singkat mengaitkan

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 63


topik bahasan secara Mahasiswa mengaitkan pembelajaran dari Mahasiswa tidak
tajam. pembelajaran dari modul ini dengan mengaitkan
modul ini dengan kesiapannya mengajar pembelajaran dari
Mahasiswa mengaitkan
kesiapannya mengajar sebagai guru. modul ini dengan
pembelajaran dari
sebagai guru. kesiapannya mengajar
modul ini dengan
sebagai guru.
kesiapannya mengajar
sebagai guru, termasuk
mengartikulasikan apa
yang perlu
disiapkannya.

Catatan untuk Dosen Pengampu

● Modul ini disusun untuk menggali pengalaman dan wawasan para calon
guru terkait proses mendidik yang sesuai.
● Modul ini dapat dimodifikasi oleh dosen pengampu.
● Dosen pengampu dapat menambah materi terkait topik bahasan.
● Selain penilaian tugas kelompok (LK) dan blog, dosen pengampu juga
perlu menilai partisipasi dan sikap mahasiswa dalam proses pembelajaran.
Rubrik penilaian partisipasi dan sikap ini bisa digunakan, namun
dipersilakan untuk dimodifikasi, atau mengembangkan sendiri. Kolom A
adalah kondisi ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C,
dan D.

A B C D

Mahasiswa aktif Mahasiswa aktif Mahasiswa jarang Mahasiswa tidak


memberikan pendapat, memberikan pendapat, terlihat memberikan terlihat memberikan
menjawab pertanyaan menjawab pertanyaan pendapat atau pendapat atau
dari dosen/modul, dan dari dosen/modul, dan menjawab pertanyaan menjawab pertanyaan
mengajukan pertanyaan mengajukan pertanyaan dari dosen/modul. dari dosen/modul.
yang memperkaya

64 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


pemahaman seluruh untuk konfirmasi atau Mahasiswa kurang Mahasiswa tidak
mahasiswa. klarifikasi. menunjukkan perilaku menunjukkan perilaku
memfasilitasi rekan memfasilitasi rekan
Mahasiswa Mahasiswa cukup
mahasiswanya dalam mahasiswanya dalam
menunjukkan perilaku menunjukkan perilaku
proses pembelajaran proses pembelajaran
memfasilitasi rekan memfasilitasi rekan
baik, di kelompok baik, di kelompok
mahasiswanya dalam mahasiswanya dalam
maupun di kelas secara maupun di kelas secara
proses pembelajaran proses pembelajaran
keseluruhan. keseluruhan.
baik, di kelompok baik, di kelompok
maupun di kelas secara maupun di kelas secara Mahasiswa Mahasiswa tidak
keseluruhan. keseluruhan. mengumpulkan tugas mengumpulkan tugas.
melebihi dengan
Mahasiswa Mahasiswa
tenggat waktu yang
mengumpulkan tugas mengumpulkan tugas
ditentukan.
sebelum tenggat waktu sesuai dengan tenggat
yang ditentukan. waktu yang ditentukan.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 65


MODUL 2
KONSEP DASAR PERSPEKTIF SOSIO KULTURAL DALAM
PENDIDIKAN

Durasi: 2 pertemuan
Capaian Pembelajaran:
Setelah mempelajari topik ini, mahasiswa dapat:
1. memahami konsep dasar mengenai perspektif sosiokultural dalam pendidikan
2. merefleksikan penerapan konsep dasar perspektif sosial kultural dalam pendidikan

PERTEMUAN 3

A. Mulai dari Diri

Mahasiswa PPG Prajabatan yang berbahagia,

Selamat datang di topik yang kedua yaitu ‘Konsep Dasar Perspektif Sosiokultural
dalam Pendidikan’. Topik ini penting untuk menggali lebih dalam mengenai konsep
dasar perspektif sosiokultural dalam pendidikan yang Anda pahami.

Setelah mempelajari topik ini, Anda diharapkan mampu:

1. menguraikan konsep dasar mengenai perspektif sosial kultural dalam


pendidikan
2. menganalisis penerapan konsep dasar mengenai perspektif sosiokultural
dalam pendidikan

66 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


3. memberikan argumen (artikulasi) dalam mendiskusikan penerapan konsep
dasar mengenai perspektif sosio kultural dalam pendidikan
4. menyimpulkan penerapan konsep dasar mengenai perspektif sosiokultural
dalam pendidikan

Kita akan mulai pembelajaran tentang konsep dasar perspektif sosiokultural dalam
pendidikan dengan mengingat apa yang sudah Anda pahami dari pembelajaran
sebelumnya dan dari pengalaman lain.

Silakan jawab pertanyaan reflektif berikut

1. Apa yang membuat faktor sosial, budaya, ekonomi dan politik penting dalam
penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran?
2. Apa konsep-konsep yang sudah dipelajari sebelumnya terkait faktor sosial, budaya,
ekonomi dan politik penting dalam pendidikan?
3. Apa yang bisa dilakukan oleh guru/pendidik untuk mendapatkan informasi dan
mempelajari faktor sosial budaya ekonomi dan politik dari siswa/i dan masyarakat
tempatnya bertugas?
4. Pertanyaan apa yang ingin Anda ajukan terkait konsep dasar perspektif sosio kultural
dalam pendidikan?

Kita akan mulai pembelajaran tentang ‘Konsep Dasar Perspektif Sosiokultural


dalam Pendidikan’ dengan melihat pengalaman pribadi masing-masing. Mari kita
identifikasi faktor sosial budaya dan/atau ekonomi politik yang mempengaruhi
perjalanan kita dalam menempuh dan menyelesaikan pendidikan.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 67


Berikut ini salah satu contoh pengalaman Nastiti, seorang profesional di bidang pendidikan,
yang saat ini sudah berusia 40-an, dan telah berpengalaman bekerja di bidang pendidikan di
beberapa negara. Nastiti menyelesaikan kuliah S1 ketika di universitas negeri terkemuka di
Indonesia yang jauh dari tempat asalnya. Waktu itu biaya kuliah cukup bisa dijangkau oleh
orang tuanya yang pekerjaannya bukan pegawai, sekitar Rp 225.000,- per semester, sehingga
dengan dia indekos pun orang tuanya masih mampu. Saat itu pemerintah memang memang
memberikan subsidi cukup banyak. Bila dibandingkan saat ini ketika anaknya sudah akan
segera kuliah, terasa sekali perbedaannya. Saat itu motivasinya untuk dapat kuliah sangat
tinggi karena akan menjadi yang pertama di dari keluarga besarnya yang sekolah hingga
universitas. Dukungan dari keluarga besarnya pun sangat tinggi.
Kemudian ketika masih kuliah, Nastiti aktif dalam kegiatan di luar kampus. Saat itu berbagai
gerakan peningkatan pendidikan turut menginspirasinya ikut bergerak. Saat itulah Nastiti
tertarik dengan isu pendidikan, yang kemudian membawanya menekuni profesi ini setelah
lulus kuliah. Bahkan Nastiti melanjutkan S2 di bidang pendidikan di sebuah universitas di luar
negeri dengan beasiswa yang berhasil didapatkannya.

Dari pengalaman pribadi Nastiti tersebut, terlihat faktor sosiokultural yang


mendukungnya untuk bisa menempuh pendidikan tinggi dan menjadi yang
pertama di keluarganya, yaitu kondisi ekonomi orang tuanya yang cukup baik
didukung dengan kebijakan pembiayaan kuliah negeri yang meringankan orang
tuanya, serta dukungan sosial budaya keluarga di desanya yang mulai melihat
pentingnya pendidikan tinggi. Dan kondisi politik penting di negara yang
dialaminya saat itu sangat berpengaruh terhadap keberlanjutan rencana karir dan
pendidikannya.

Selanjutnya, silakan jawab pertanyaan reflektif berikut ini:

1. Dari sudut pandang Anda, bagaimana Nastiti dapat menjalankan pendidikan,


dan apa dampak dari pendidikan yang diperolehnya?

………………………………………………………………………………………………
……

68 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


2. Dari pengalaman pribadi Anda, bagaimana faktor sosio kultural berpengaruh
pada pendidikan di Indonesia?

………………………………………………………………………………………………
………

3. Apa pertanyaan penting yang ingin Anda ajukan terkait perspektif sosiokultural
dalam pendidikan di Indonesia?

1) ……….

2) ……….

3) ……….

4. Apa yang ingin Anda dapatkan dari mempelajari topik Konsep Dasar Perspektif
Sosiokultural dalam Pendidikan ini?

4) ……….

5) ……….

6) ……….

Mari berproses bersama dalam rangkaian pembelajaran selanjutnya untuk


semakin memahami tentang konsep dasar perspektif sosiokultural dalam
pendidikan.

B. Explorasi Konsep

Pada bagian ini Anda akan mempelajari konsep-konsep dasar Perspektif


Sosiokultural dalam Pendidikan yang dapat membantu Anda menjalankan peran
sebagai pendidikan dengan lebih baik. Pelajari materi yang disampaikan berikut.

Aktivitas sosial dan interaksi orang dewasa-anak membentuk dasar sosialisasi kognitif. Sejauh

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 69


mana aktivitas sehari-hari berbeda menurut status sosioekonomi (SES), dan sejauh mana
mereka dipekerjakan secara berbeda, menjadi topik yang diperdebatkan ketika hasil yang
berbeda dalam kompetensi sosial dan akademik dihubungkan. Sosialisasi menghasilkan sikap,
nilai, dan keterampilan kognitif dan linguistik yang digunakan anak-anak saat mereka tumbuh
dan pada akhirnya menjadi sarana atau alat untuk perkembangan. Anak mengembangkan
kompetensi melalui berbagai pola interaksi orang dewasa-anak dan interaksi sosial lainnya.
Seringkali apa yang dianggap penting dan berharga untuk sosialisasi bervariasi antar
komunitas. Hanya beberapa literatur tentang interaksi orang dewasa-anak yang membahas
elemen pengaturan aktivitas yang berbeda SES - misalnya, struktur keluarga, skrip, nilai, dan
tuntutan tugas - yang secara historis tertanam. Topik ini berfokus pada analisis budaya-historis
dari penelitian yang menghubungkan SES dengan variasi dalam interaksi orang dewasa-anak.

Meskipun ruang lingkup topik membatasi sejauh mana topik ini dapat dieksplorasi, sampel
penelitian diperiksa dan dirangkum dalam struktur yang disediakan oleh Cultural-Historical
Activity Theory (CHAT), bersama dengan contoh penelitian interaksi orang dewasa-anak dilihat
dari perspektif CHAT. CHAT dicirikan oleh perkembangan dan analisis sosial tindakan manusia
yang umumnya dimediasi oleh alat budaya yang berbeda. Untuk memahami perbedaan dalam
perkembangan individu, variasi yang terakhir harus dipertimbangkan di seluruh pengaturan
aktivitas, serta cara seseorang merespons dalam hal nilai, harapan, dan praktik bersama.
Kerangka kerja CHAT sangat penting karena dalam memahami hubungan apa pun, seperti
hubungan SES dan pengembangan, analisis historis dan dinamis diperlukan tidak hanya dari
individu, tetapi juga pengaturan aktivitas di mana individu berinteraksi.

Tujuan dari bab ini adalah untuk mengintegrasikan literatur mengenai interaksi orang dewasa-
anak, menghubungkan faktor-faktor yang berhubungan dengan SES dengan perbedaan dalam
sosialisasi. Bagian pertama menguraikan pertanyaan teoritis dan penelitian mengenai
pengaruh SES pada pola interaksi orang dewasa-anak. Bagian kedua memberikan contoh studi
interaksi anak-anak arus utama dan CHAT dengan koneksi ke perbedaan SES dalam mediasi.
Bagian ketiga berfokus pada konstruksi historis status sosial ekonomi, bersama dengan
perbedaan SES dan modal budaya. Sebuah model yang mengartikulasikan hubungan dinamis
antara individu dan masyarakat, melalui partisipasi dalam pengaturan aktivitas dari waktu ke
waktu, digambarkan. Pada bagian terakhir, bidang penelitian masa depan yang sangat

70 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


signifikan dalam hal memajukan teori CHAT dan penelitian mengenai sosialisasi orang dewasa-
anak sehubungan dengan SES diidentifikasi.

PERTANYAAN TEORITIS DAN PENELITIAN DALAM MEMAHAMI PENGARUH STATUS


SOSIAL EKONOMI

Pola sosialisasi orang dewasa-anak membentuk dasar untuk nilai, harapan, naskah, dan
tuntutan tugas yang berbeda yang berdampak pada perkembangan anak di berbagai konteks
sosial. Dalam psikologi arus utama Amerika saat ini, studi penelitian khas mungkin berhipotesis
bahwa perbedaan SES dalam hasil siswa seperti prestasi atau keterasingan dimediasi oleh
konteks motivasi (Murdok, 1999). Peserta diukur pada berbagai instrumen, dan efek langsung
dan tidak langsung dimodelkan dan ditemukan signifikan. Temuan mengkonfirmasi bahwa SES
rendah merupakan faktor risiko keterasingan (keterlibatan rendah dan masalah disiplin), terkait
dengan kurang keberhasilan, dan persepsi ketidakadilan, dukungan rendah, dan penilaian oleh
guru. Sayangnya, penelitian berdasarkan model "dimediasi" seperti itu gagal untuk menentukan
konstruksi bersama dari sikap dan perilaku yang mungkin mendahului gambaran yang
dijelaskan. Jenis penelitian ini memberikan potongan-potongan berbeda dari teka-teki yang
jauh lebih besar yang dapat dibuat lebih eksplisit dengan pertanyaan-pertanyaan sosiokultural
seperti berikut ini:

● Apa sebenarnya yang disosialisasikan secara berbeda oleh keanggotaan kelompok


dalam kelompok SES yang berbeda (misalnya, pandangan dunia atau sikap tentang
kehidupan seperti apa yang mungkin diinginkan seorang anak untuk masa depan)?
● Apa yang sedang dibangun bersama secara perkembangan yang mungkin menjelaskan
variasi yang dapat diprediksi dalam perkembangan (misalnya, keyakinan yang bertahan
lama atau keterampilan)?
● Apakah perkembangan seseorang dijelaskan oleh pola interaksi yang mendahului
dengan pengaturan aktivitas tertentu dari waktu ke waktu, baik dari segi ketersediaan
dan tingkat partisipasi, atau terutama oleh kesinambungan pola tersebut (misalnya, apa
yang muncul ketika kita membandingkan pola interaksi di rumah? dan di sekolah dan
sejauh mana mereka kongruen)?
● Sejauh mana sosialisasi homogen dalam kelompok SES (dengan kata lain, apa sifat
dari jeda waktu antara sosialisasi orang tua, atau partisipasi dalam kegiatan hari ini, dan
tindakan yang akan dilakukan anak besok)?

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 71


● Mengapa perkembangan seseorang berbeda dari teman sebayanya dengan latar
belakang, akses, dan pola interaksi yang sama (misalnya, bagaimana individu
membangun realitas psikologis yang berbeda dalam kondisi yang sama)?

Betapapun berbedanya pertanyaan-pertanyaan ini, mereka berfungsi untuk menguji


keberanian pendekatan teoretis apa pun. Semakin jelas bahwa nilai-nilai orang tua mendorong
praktik sosialisasi yang, pada gilirannya, mempengaruhi partisipasi aktual dan menjadi lebih
SES-dibedakan dari waktu ke waktu. Nilai dan harapan orang tua membantu memediasi
hubungan guru dan mungkin menunda pengaruh teman sebaya, yang semuanya terkait
dengan motivasi, sikap, dan tujuan anak. Pengamatan lebih dekat dapat mengungkapkan
bahwa ini bukan hasil individu, melainkan pola aktivitas yang dibangun bersama berdasarkan
kognisi atau harapan yang dibagikan secara sosial. Pengaturan aktivitas, sebagai unit analisis,
memerlukan perhatian pada fitur objektif seperti yang sering diukur dan dikualifikasikan oleh
peneliti (misalnya, HOME Inventory, Caldwell, & Bradley, 1984). Mereka juga membutuhkan
perhatian pada fitur subjektif dari sudut pandang individu. Sebagai contoh, beberapa ahli
mencatat bagaimana kurikulum dan struktur partisipasi di lingkungan sekolah mendukung pola
interaksi dari budaya SES menengah (Fine, 1989; Oakes, 1985). Efek dari berbagai pengaturan
pada perkembangan manusia adalah signifikan dan banyak; sebuah teori dengan demikian
diperlukan untuk membantu kita mengidentifikasi keduanya (1) apa yang disosialisasikan
melalui aktivitas lintas setting dan bagaimana dan (2) perspektif anak serta tindakan kognitif
dan perilaku yang bersamaan.

Inti dari diskusi ini adalah deskripsi Valsiner (1989) tentang definisi studi budaya-historis
tentang pikiran. Untuk Valsiner (1989), “Bagian 'historis' dari label cultural-historis mengacu
secara khusus pada sifat perkembangan semua fenomena psikologis," bersama dengan
pengakuan bahwa pemikiran historis menyiratkan hubungan tidak hanya dengan masa lalu,
tetapi dengan masa kini. dan masa depan juga (hal. 60). Untuk analisis sejarah, perhatian harus
diarahkan pada hubungan sosial yang telah dibangun oleh orang dan kelompok dan di mana
mereka berpartisipasi. Selain itu, bentuk-bentuk kegiatan yang terkait dengan kerja, serta
kondisi material yang dihasilkan dari konteks sekitarnya, berfungsi untuk menempatkan
pembangunan. Bagian budaya dari istilah tersebut mengacu pada sifat dialektis dari aktivitas
manusia yang instrumental, khususnya, cara orang bertindak berdasarkan konteks sosial
mereka yang dibantu oleh alat-alat budaya. Tindakan demikian dialektis dan membentuk
lingkungan, sementara itu mengubah pembangunan manusia di berbagai bidang dan konteks.

72 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Alat budaya dapat dilihat sebagai perluasan di sepanjang kontinum yang dibatasi oleh institusi
sosial dan kondisi ekonomi di satu sisi, dan bergerak ke sisi lain di mana individu mengubahnya
melalui tindakan yang dimediasi.

Selain itu, elemen-elemen tertentu memerlukan klarifikasi sebelum literatur tentang interaksi
orang dewasa-anak diperiksa. Sebagai contoh, kesadaran dan perkembangan individu
sebenarnya bukanlah individu, melainkan bersama dan dibangun secara sosial. "Batas" antara
eksternal dan internal tidak sejelas yang diperkirakan oleh pendekatan psikologis tradisional
(Zinchenko, 2001). Dalam interaksi orang dewasa-anak, sejarah belajar anak dibangun
bersama dalam zona perkembangan proksimal. Internalisasi dimediasi oleh alat budaya,
seperti sistem tanda dan konsep, yang diberikan kepada anak melalui interaksi sosial, hanya
kemudian diinternalisasikan dan diubah untuk digunakan sendiri. Keterampilan linguistik dan
kognitif, nilai, harapan, dan, memang, metode interaksi masa depan adalah inti dari hasil
interaksi orang dewasa-anak, diartikulasikan dalam konteks tertentu sebagai modal budaya.

PENELITIAN INTERAKSI ORANG DEWASA-ANAK

Penelitian tentang interaksi orang dewasa-anak telah meningkatkan minat teoritis dalam
penelitian perkembangan kognitif sejak karya perintis oleh Baldwin, Kalhorn, dan Breese (1945)
dan lainnya yang memperluas genre penelitian ini. Perhatian utama dalam studi ini adalah
peran praktik sosialisasi kognitif dan relevansinya dalam memahami perbedaan di bidang
kompetensi akademik dan sosial. Perbedaan interaksi telah dikaitkan dengan faktor budaya
seperti status sosial ekonomi dan etnis dalam kaitannya dengan perkembangan intelektual dan
sosioemosional anak-anak dan hasil tugas (misalnya, Hess & Shipman, 1965). Sebuah
pertanyaan yang relevan menyangkut sejauh mana bentuk-bentuk ini terletak atau tergantung
pada tugas yang digunakan, konteksnya, atau keduanya. Meskipun perbedaan budaya baik
dalam kinerja atau interaksi umumnya dikacaukan dengan SES dan faktor-faktor yang terkait
dengan perolehan literasi (misalnya, Sigel, Anderson, & Shapiro, 1966), area penelitian ini
memiliki nilai strategis dalam mengungkap aspek budaya yang sering dikaitkan dengan kognisi.
dan instruksi, serta perbedaan kelompok dalam hasil yang terkait (Laosa, 1981; Portes, 1988).

Penelitian Interaksi Dewasa-Anak Arus Utama

Sebagian besar penelitian mikrogenetik tentang interaksi orang dewasa-anak melibatkan bayi
dan balita; yang memfokuskan generalisasi tentang pola interaksi orang dewasa-anak untuk

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 73


perkembangan awal anak-anak yang terkait dengan pengaruh dan ukuran sensori motorik
(Piaget, 1954). Interaksi orang dewasa-anak yang mendukung perhatian bersama dimulai
dengan acara tatap muka sederhana dan pindah ke acara interaksi yang mencakup objek,
seperti mainan (Isabella & Belsky, 1991; Stern, 1985). Penelitian yang ada tentang korelasi
interaksi orang dewasa-anak dengan SES menunjukkan beberapa perbedaan dalam hal
naskah, nilai, dan frekuensi bicara (Hart & Risley, 1992; Heath, 1983), meskipun ada juga
penelitian yang menunjukkan bahwa SES tidak terkait dengan hal-hal tertentu. jenis interaksi
orang dewasa-anak, seperti perhatian bersama (Saxon & Reilly, 1999).

Beberapa penelitian telah meneliti praktik pengajaran orang tua dengan anak-anak prasekolah
sejak tahun 1960-an, ketika penelitian tentang gaya konseptualisasi (Kagan, Moss, & Sigel,
1963) dan strategi pengajaran orang tua (Hess & Shipman, 1965; Laosa, 1981) memajukan
bidang ini. Yang lain juga telah memeriksa interaksi anak-anak prasekolah dengan orang
dewasa dan teman sebaya dengan tujuan yang sama. Misalnya, Henderson (1991) meneliti
interaksi orang dewasa dan anak-anak berusia 3 hingga 6 tahun selama kegiatan eksplorasi
dan menemukan kesepakatan tentang tujuan bersama. Secara umum, penelitian tentang
interaksi orang dewasa-anak untuk siswa usia sekolah telah difokuskan pada kinerja sekolah.
Sebuah studi yang dilakukan oleh Carlson, Sroufe, Collins, Jimerson, Weinfield, Hennighausen,
Egeland, Hyson, Anderson, dan Meyer (1999) menyimpulkan bahwa dukungan pemecahan
masalah yang diberikan dalam interaksi orang dewasa-anak selama masa balita dan
prasekolah diprediksikan sekolah remaja awal penyesuaian "bahkan setelah prestasi akademik
dan fungsi sosio emosional di masa kanak-kanak tengah diperhitungkan" (hal. 87).

Studi mikrogenetik interaksi orang dewasa-anak telah berkontribusi pada pengembangan


model, seperti model jarak (Sigel, Stinson, & Flaugher, 1991). Model ini memberi anak-anak
pertanyaan menantang yang memungkinkan mereka menjauhkan diri dari tugas yang ada,
untuk melatih keterampilan representasional. Menariknya, ada juga badan penelitian yang
menyoroti kekuatan anak untuk mengarahkan urutan peristiwa dalam interaksi orang dewasa-
anak (misalnya, Kucznski & Kochanska, 1990; Lytton, 1990), selain bukti untuk siklus timbal
balik dan timbal balik. pengaruh (Patterson, 1982).

Penelitian Interaksi Dewasa-Anak Terkait dengan Teori Aktivitas Budaya-Sejarah

74 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Sampai saat ini, karya Vygotsky dan peran aksi mediasi telah absen dari literatur ini. Namun,
konstruksi seperti perancah (Wood, Bruner, & Ross, 1976) dan kinerja yang dibantu (Tharp &
Gallimore, 1988) berbagi banyak konsep yang ditemukan dalam studi interaksi orang dewasa-
anak. Garis penelitian ini penting karena berfungsi untuk membongkar beberapa faktor agregat
yang melekat dalam SES dan budaya (Dunham, Kidwell, & Portes, 1995). Beberapa penelitian
telah meneliti karakteristik interaksi bantuan atau perancah melalui analisis interaksi orang
dewasa-anak dengan anak-anak dari berbagai usia (misalnya, Diaz, Neal, & Amaya-Williams,
1991; Portes, 1988; Wertsch, Minick, & Arns , 1984). Bimbingan metakognitif yang diberikan
oleh orang tua, sebagai teman sebaya yang lebih mampu, umumnya menjadi fokus utama dari
literatur ini, bersama dengan berbagai aspek teori (misalnya, zona perkembangan proksimal).
Sarana bantuan – seperti pertanyaan, manajemen kontingensi, umpan balik, dan restrukturisasi
kognitif – tampaknya didistribusikan secara berbeda di SES dan budaya. Pola bantuan yang
sama mungkin memiliki konsekuensi yang berbeda, tergantung pada bagaimana pikiran anak-
anak disosialisasikan pada awalnya, bagaimana nilai diperoleh di sekolah, dan tujuan kegiatan
yang diidentifikasi oleh orang tua dan guru.

Contoh lain interaksi orang dewasa-anak dari pendekatan ini disorot dalam diskusi berikut.
Misalnya, Valsiner (1984) melihat interaksi ibu dan anak kecil selama rutinitas waktu makan.
Dengan anak-anak usia sekolah, Rogoff dan Gardner (1984) mempelajari 32 ibu dan anak
berusia 6 sampai 9 tahun melakukan tugas memori seperti menyortir barang belanjaan dan
benda-benda lain dan menemukan bahwa instruksi yang berhasil melibatkan anak dalam
solusi. . Wertsch dkk (1984) meneliti konstruksi model pada 12 pasangan dewasa-anak dan
menemukan perbedaan dalam peraturan ibu versus peraturan guru. Ketika Radziszewska dan
Rogoff (1991) mempelajari 32 diad (dewasa atau teman sebaya dengan anak-anak berusia 9
tahun), mereka menemukan bahwa bimbingan orang dewasa, dibandingkan dengan bimbingan
teman sebaya, lebih efektif ketika merencanakan tugas. Gauvin dan Rogoff (1989) membentuk
diad dengan rekan-rekan terlatih, rekan-rekan terlatih, dan orang tua; mereka menemukan
yang terakhir lebih efektif dalam merencanakan kegiatan. Bidang studi interaksi orang dewasa-
anak telah mengembangkan berbagai model interaktif yang mencakup tidak hanya domain
kognitif, tetapi juga domain terkait seperti nilai-nilai orang tua dan komunitas sebagai penentu
praktik sosial.

Hanya sedikit penelitian dengan anak usia sekolah yang telah mengeksplorasi hubungan
antara gaya interaksi dan kinerja kognitif (misalnya, Portes, Zady, & Dunham, 1998; Tzuriel,

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 75


1996). Salah satu keuntungan bekerja dengan anak-anak prasekolah dan usia sekolah adalah
bahwa hubungan antara karakteristik interaksi yang diamati dan kinerja sekolah di berbagai
bidang konten dapat diperiksa. Beberapa studi mikrogenetik interaksi orang dewasa-anak telah
berkontribusi pada pengembangan model, seperti model gelombang pembawa (Dunham,
Kidwell, & Portes, 1995) dan pengajaran timbal balik (Palincsar & Brown, 1984). Secara umum,
studi penelitian ini mendukung hubungan sederhana antara karakteristik interaksi orang
dewasa-anak tertentu dan kinerja intelektual anak-anak.

Variasi konteks budaya belum diperiksa secara langsung sehubungan dengan gaya interaksi
orang dewasa-anak dengan cara yang mengontrol perbedaan SES sampai saat ini. Misalnya,
Portes dan rekan (1998) mempelajari apakah bakat anak-anak dalam sains maju ketika
dukungan kognitif tersedia melalui interaksi dengan individu yang lebih mampu. Sampel
termasuk 32 siswa kelas tujuh dan ibu mereka, dari sampel kenyamanan 98 diad sukarelawan.
Ada 16 siswa dengan prestasi sains rendah, diidentifikasi memiliki skor rata-rata 36,4 pada Tes
California untuk Keterampilan Dasar (CTBS), 10 perempuan dan 6 laki-laki. Selain itu, ada 16
siswa dengan prestasi sains tinggi, diidentifikasi memiliki nilai rata-rata 83,6 pada CTBS, 9
perempuan dan 7 laki-laki. Menyeimbangkan sampel sehubungan dengan SES itu sulit: Ada
beberapa siswa dengan SES rendah dan prestasi tinggi. Selain itu, rata-rata tingkat pendidikan
orang tua adalah 12 sampai 15 tahun untuk siswa yang berprestasi rendah dan 13 sampai 16
tahun untuk siswa yang berprestasi tinggi.

Penelitian ini memiliki tiga fase. Pertama, sikap siswa terhadap sains diukur dengan kuesioner.
Selanjutnya, siswa dan ibunya diwawancarai tentang minat mereka dalam sains, bantuan sains
di rumah, dan locus of control siswa untuk sukses dalam sains. Akhirnya, pasangan diminta
untuk menyelesaikan tiga tugas sains yang semakin sulit. Pola interaksi keseluruhan
diidentifikasi oleh penguatan positif, dorongan, dan persetujuan, dengan interupsi timbal balik
oleh ibu dan anak. Ini disebut faktor pemecahan masalah kooperatif (CPS). Pola interaksi ini,
yang dikaitkan dengan orang tua kelas menengah, secara signifikan berkorelasi dengan kinerja
intelektual anak dalam tugas-tugas ini, dan dengan prestasi sekolah secara umum.

Penelitian terbaru juga mengeksplorasi pertanyaan tentang universalitas dalam cara orang
dewasa membantu perkembangan intelektual. Portes, Cuentas, dan Zady (2000) meneliti
pertanyaan apakah "kelangsungan budaya" dalam membantu kinerja anak ada di seluruh
konteks sosial. Pekerjaan tersebut mengidentifikasi masalah kritis dalam penelitian yang

76 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


menghubungkan sosialisasi keluarga dengan perkembangan individu. Temuan utama
menunjukkan bahwa jalan yang berbeda untuk sosialisasi kognitif ada, khususnya di bidang
konsep formal atau ilmiah. Pola interaksi yang terkait dengan serangkaian batasan tugas
tertentu bervariasi dengan konteks etnokultural, bahkan ketika literasi, SES, dan gender
dikendalikan. Praktek sosialisasi kognitif yang efektif dalam satu konteks mungkin tidak perlu
dianggap efektif dalam konteks lain, sejauh tujuan tertentu, atribut, atau jenis kinerja (sosial
kognitif) menjadi perhatian para peserta dan peneliti.

Kajian Lintas Budaya dan Teori Aktivitas Budaya–Sejarah

Kajian lintas budaya arus utama yang mengkaji praktik sosialisasi di berbagai negara
cenderung meremehkan peran konteks budaya dalam memberikan dasar bagi keterjangkauan
dan kendala yang tersedia untuk digunakan dan transformasi oleh peserta penelitian (misalnya,
lihat volume yang diedit oleh Roopnarine & Carter, 1992). Beberapa penelitian lintas budaya
yang membandingkan anak-anak yang bersekolah dan tidak bersekolah pada berbagai tugas
konseptual mencerminkan hubungan langsung dengan CHAT dan tidak langsung (misalnya,
Cole, Gay, & Glick, 1968; Saxe, 1994). Literatur tentang perbedaan budaya dalam
perkembangan anak-anak sebagian besar berkaitan dengan konsekuensi kognitif dari sekolah,
faktor budaya makro. Sebagai contoh, Vygotsky (1978) dan rekan-rekannya termasuk yang
pertama memeriksa konsekuensi kognitif dari konteks budaya-sejarah yang berbeda pada
kognisi, sebuah tradisi yang kemudian diikuti oleh Scribner dan Cole (1981) dan lainnya.

Penelitian yang berfokus pada perbedaan budaya dan lintas budaya dalam interaksi orang
dewasa-anak dan sosialisasi kognitif bermasalah karena beberapa alasan. Salah satu masalah
utama dalam mempelajari perbedaan budaya penting dengan mata pelajaran yang tidak
bersekolah adalah kesenjangan antara realitas psikologis yang diciptakan oleh peneliti dan
realitas psikologis individu dalam kehidupan sehari-hari mereka. Seperti yang dicatat Cole
(1996), signifikansi data yang ambigu telah membatasi kemajuan teori. Meskipun mempelajari
mata pelajaran yang disekolahkan dalam etnokultur yang berbeda mungkin mendekati realitas
psikologis, sejauh ini sedikit yang diketahui tentang perbedaan dalam pola interaksi dan
hubungannya dengan perkembangan individu. Selain itu, berbagai metode, personel, usia, latar
belakang, dan tujuan penelitian membuat perbandingan sistematis hampir mustahil (misalnya,
Conroy, Hess, Azuma, & Kashiwagi, 1980). Akibatnya, praktik sosialisasi yang dipelajari di

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 77


sejumlah konteks budaya, dan hubungannya dengan perkembangan anak, sangat bervariasi
dari satu studi ke studi lainnya.

Rangkuman Penelitian Interaksi Orang Dewasa-Anak-Anak dan Arus Utama dan Budaya-
Sejarah

Inti dari literatur menunjukkan faktor jarak atau bantuan metakognitif umum dalam studi
interaksi orang dewasa-anak. Hal ini terkait dengan perbedaan perkembangan anak dan kinerja
tugas. Apakah faktor regulasi metakognitif ini sebagian besar merupakan fungsi SES dan
konsisten di seluruh konteks atau tugas budaya (disekolahkan) tetap menjadi pertanyaan
terbuka. Beberapa bukti menunjukkan bahwa bantuan tercermin dalam pola interaksi yang
diberikan oleh orang tua dikaitkan dengan keberhasilan di berbagai tugas dan kinerja sekolah
(Portes, 1991; 1996; Portes et al., 1998; Sigel, 1982). Studi-studi ini menunjukkan bahwa pola
interaksi tertentu sesuai dengan SES dan secara umum menyumbang sekitar 10% dari kinerja
kognitif anak-anak. Pola-pola interaksi seperti itu mewakili kesinambungan penting dalam
bentuk budaya mediasi melalui orang tua, guru, dan interaksi lainnya. Meskipun konten
interaksi dapat bervariasi sebagai fungsi tugas dan kompetensi representasional yang
meningkat dari pembelajaran dan pematangan anak, bukti kontinuitas ada untuk pola tersebut
(Sigel, Stinson, & Kim, 1993) dan/atau gaya yang mungkin sebagian independen dari SES
(Dunham, Kidwell, & Portes, 1988).

Tampaknya masuk akal bahwa beberapa aspek budaya dapat mempengaruhi bentuk dan isi
dari naskah atau gaya membantu pelajar muda, seperti SES, etnis, kebangsaan, dan variabel
terkait.

Tergantung pada struktur dan fungsi keluarga, lebih dari satu pola interaksi atau bantuan
mungkin terlibat dalam pengaturan keluarga. Dalam budaya lain, orang tua tidak menyibukkan
diri dengan memberikan bantuan metakognitif di bidang yang berkaitan dengan kesiapan
sekolah, dan banyak yang diserahkan kepada saudara kandung, teman sebaya, atau guru di
sekolah untuk melakukannya (Tharp & Gallimore, 1988).

Jika bantuan kognitif dan strategi yang ditemukan dalam interaksi orang dewasa-anak dan
teman sebaya berfungsi sebagai alat mediasi dalam perkembangan, kita mungkin bertanya
"cara macam apa" yang ada dalam interaksi antara anak-anak dan orang dewasa yang
sebenarnya menghasilkan perbedaan SES dalam pembelajaran dan perkembangan. Pada

78 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


tingkat kelompok, kita mungkin bertanya bagaimana variabel sosio kultural diatur dalam
pengaturan aktivitas yang berbeda dalam kaitannya dengan pertanyaan sebelumnya.
Bagaimana pola interaksi tertentu dapat diidentifikasi dan dipahami secara perkembangan?

KONSTRUKSI SEJARAH STATUS SOSIAL EKONOMI

Topik sebelum kita tidak hanya membutuhkan dokumentasi perbedaan SES, tetapi juga sarana
untuk konstruksi sejarah dan budaya mereka. Sebuah teori sistem harus mampu menjelaskan
asal mula perbedaan sosialisasi berbasis SES dan memprediksi dampaknya terhadap
pembangunan di masa depan. kita berpendapat bahwa perbedaan seperti itu didasarkan pada
alat, dibangun bersama secara sosial, dan rentan terhadap perubahan dalam hal relatif dan
historis. Alat dari garis budaya perkembangan (Vygotsky, 1978) dan, tentu saja, akses ke
mereka memainkan peran utama dalam penjelasan perbedaan perkembangan, terutama ketika
mereka terkait dengan kegiatan, bentuk kerja, atau partisipasi dalam sosial tertentu. praktek.

Sejarah dimana kelompok-kelompok tertentu menjadi tersubordinasi terhadap yang lain


membutuhkan perhatian pada pola-pola tindakan yang dimediasi yang dapat diakses oleh
beberapa kelompok dan sarana untuk mensosialisasikan anak-anak antargenerasi. Selain itu,
pola interaksi harus dieksplorasi dalam hal kompatibilitasnya dengan struktur institusi, seperti
sekolah. Struktur tersebut menjadi fokus penelitian yang berkaitan dengan kesenjangan
ekonomi dan pendidikan antar kelompok. Dalam CHAT, perhatian pada pengaruh sosio genetik
pada perkembangan dan pencapaian status kelompok merupakan hal mendasar dan
memerlukan analisis dinamis dari agensi yang menempatkan pembelajaran dan
pengembangan individu. Misalnya, SES dan perbedaan gender dalam mensosialisasikan anak-
anak secara kognitif dan emosional hanya seabad yang lalu dimediasi oleh gerakan sosial dan
hukum yang kemudian mengubah bentuk partisipasi, serta hasil sosial dan pendidikan. Topik
tindakan dan agensi yang dimediasi di tingkat kelompok dapat ditempatkan dalam inisiatif baru-
baru ini untuk meningkatkan standar kinerja di sekolah.

Kerangka kerja CHAT unik dalam menangani isu-isu individu-sosial atau psikologis-budaya
yang lebih luas dan cara-cara di mana mereka terkait. Bekerja dari hukum pertama
perkembangan budaya (Vygotsky, 1978), misalnya, kita mungkin mengusulkan dua perluasan:
(1) ke kelompok, bukan hanya individu, dan (2) nilai, sikap, dan harapan sosial. , bukan hanya
perampasan fungsi mental tingkat yang lebih tinggi. Praktik dan nilai sosialisasi SES menengah

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 79


dapat didasarkan pada pengetahuan teoritis (Karpov & Bransford, 1995) dan mencakup sikap,
operasi kompleks, atau penalaran. Praktik sosialisasi SES rendah mungkin tidak hanya
berbeda di permukaan, tetapi mencerminkan tujuan, sikap, dan ketergantungan yang berbeda
pada pengetahuan empiris. Di bawah kondisi yang khas (di luar intervensi eksperimental) kita
dapat menggambarkan dan menjelaskan cara kelompok sosial mengasuh anak dalam konteks
dengan tuntutan adaptasi: Praktik pengasuhan anak muncul pertama kali melalui keterlibatan
dalam kegiatan sehari-hari yang dilakukan dalam keluarga dan masyarakat, sebelum menjadi
mapan. pada generasi berikutnya. Yang terakhir mungkin melibatkan berbagai cara untuk
membantu perkembangan dengan anak-anak seseorang dalam banyak kasus. Dalam konteks
lain di mana praktik yang berbeda diamati, seseorang harus memperhitungkan motivasi,
penolakan (Anyon, 1980), konflik (Panofsky, 1999), kepribadian (Valsiner, 1998), dan
fenomena lain yang terkait dengan domain lain.

Analisis interaksi sosialisasi dapat diperkaya dengan menggunakan pendekatan historis, yang
sebagian besar bersifat teoritis dan didasarkan pada praktik-praktik sosial. Misalnya, gaya
interaksi yang diamati di sekitar tugas pemecahan masalah tidak selalu disebabkan oleh praktik
sosialisasi terkait etnis atau SES. Mungkin anggota kelompok tertentu menggunakan praktik
sosialisasi tertentu (sosial kognitif dan emosional) sebagai respons adaptif terhadap kondisi
sosial, yang sering kali dipaksakan oleh kelompok yang lebih kuat. Para peneliti mungkin
mengamati bahwa “kapasitas penyampaian” dari lingkungan rumah, atau apa yang semakin
dikonseptualisasikan sebagai modal budaya, kurang lebih efektif dalam kelompok etnis dan
SES tertentu daripada yang lain. Ketersediaan dan pengiriman jenis modal tertentu, bagaimana
mungkin berbeda atau hilang, seberapa "menguntungkan" interaksi tertentu, dan kapan ini
adalah pertanyaan penting bagi kita untuk dipertimbangkan dari perspektif CHAT. Namun,
pertanyaan "mengapa" tidak sering dikejar. Bagi kita, ini adalah pertanyaan mendasar yang
perspektif CHAT tidak hanya memberikan akses, tetapi juga membutuhkan perhatian.

Ketika kita mempertimbangkan interaksi orang dewasa-anak secara historis dan dari perspektif
dominan, penjelasan dapat menjadi berorientasi pada defisit (lihat Sigel et al., 1966, mengenai
perbedaan "ras"). Misalnya, salah satu alasan mengapa orang tua dengan SES rendah
ditemukan menggunakan cara yang lebih mengontrol adalah karena mereka secara tidak
sengaja menyesuaikan diri dengan kondisi sosial yang menindas yang menjadi “alami” bagi
kelompok tersebut setelah berabad-abad ketidakadilan sosial. dan diskriminasi (Portes,
Dunham, & Williams, 1986). Hipotesis bahwa menyediakan anak dengan SES rendah dengan

80 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


sosialisasi kelas menengah secara langsung dan/atau dengan pendidikan orang tua dapat
menjembatani kesenjangan prestasi gagal dikonfirmasi oleh penelitian yang
mendokumentasikan efek "pencucian" (Lazar & Darlington, 1982) . Sejumlah variasi yang telah
dicoba sejak itu mengarah pada pemahaman yang lebih baik tentang sosialisasi sebagai
program pembudayaan multidimensi. Penelitian seperti ini menunjukkan bahwa bantuan yang
diberikan dalam hal tindakan mediasi dalam intervensi mungkin diperlukan, tetapi tidak cukup
dalam mengatasi hambatan struktural yang menggagalkan anak-anak SES rendah di sekolah.
Singkatnya, pola interaksi mungkin merupakan fungsi dari kondisi sosial dan struktur sosial
yang mengkomunikasikannya dan mencerminkan efek historis daripada sekadar "penyebab"
perkembangan anak saat ini.

Perbedaan Interaksi Dewasa-Anak dan Status Sosial Ekonomi

Keluarga kelas menengah cenderung memiliki tingkat keberhasilan yang lebih tinggi dalam
menyampaikan nilai pendidikan dan usaha sebagai sarana menuju kehidupan yang lebih baik.
Keyakinan ini "dikomunikasikan" melalui harapan, tuntutan tugas, dan skrip dengan cara yang
berbeda secara signifikan dari praktik sehari-hari keluarga SES rendah. Selain itu, banyak
keyakinan yang didukung dan diperkuat oleh kondisi material di sekitar keluarga kelas
menengah, bersama dengan gagasan budaya meritokrasi dan individualisme yang menopang
fokus pada pencapaian tujuan individu. Untuk kelompok SES rendah, sistem kepercayaan
mungkin sangat bertentangan (Kohn, 1977). Optimisme anak-anak di sekolah awal tampaknya
memudar pada akhir sekolah dasar. Dalam hal kognisi sosial, pesan mengenai nilai dan nilai
anak-anak dari kelompok SES yang berbeda tampaknya datang melalui keras dan jelas oleh
kelas tiga (Comer, 1990) kecuali dimediasi sebaliknya.

Dari perspektif CHAT, perilaku “berisiko” SES rendah mungkin dipahami sebagai mode
adaptasi yang didasarkan pada kenyataan hidup. Manfaat pendidikan (misalnya, penyelesaian
sekolah menengah) tidak begitu besar untuk kelompok SES rendah dibandingkan dengan
mayoritas individu kelas menengah pada umumnya. Mengingat pergeseran kognisi sosial
selama masa remaja, tampaknya remaja SES rendah mulai memahami bagaimana SES
umumnya memoderasi efek pendidikan pada hasil ekonomi dan karir orang dewasa (Apple,
1989; Mickelson, 1990). Tanpa dukungan dari keluarga atau orang dewasa penting lainnya,
sikap dan praktik etos kerja yang mengarahkan pemuda SES menengah menuju kesuksesan

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 81


mungkin tidak cukup untuk siswa SES rendah. Yang terakhir tunduk pada pengaruh komunitas
dan pengaturan rekan di mana laporan bahwa pendidikan tidak membuahkan hasil berlimpah.

Pengetahuan tentang aspek struktural SES dibangun secara bertahap dan semiotik oleh anak-
anak sebagai fungsi operasi dan pengalaman yang ditemukan dalam berbagai setting aktivitas.
Sejauh mana individu menjadi berkomitmen untuk sekolah atau kegiatan lain dengan demikian
dapat dipahami sebagai fungsi hubungan SES-dibedakan yang menyangkut makna dan nilai
pendidikan, kegiatan ilegal, aktivitas seksual, dan lain-lain dalam konteks mereka. Anak-anak
SES rendah memang ditempatkan pada risiko, atau di zona perkembangan proksimal yang
berbahaya bukan hanya karena status kelompok, melainkan karena kendala yang membatasi
bentuk tindakan dan agensi tertentu dalam keluarga SES rendah, teman sebaya. , dan setelan
aktivitas komunitas. Yang terakhir berinteraksi dengan pengaturan kelembagaan dan informal
lainnya. Keanggotaan kelompok tidak hanya menghubungkan anak-anak dan remaja dengan
pilihan-pilihan tertentu, tetapi juga memutuskan yang lain. Ketika remaja dengan SES rendah
putus sekolah dan bekerja, bergabung dengan geng, memasuki perdagangan narkoba, atau
melarikan diri, kita melabeli tindakan tersebut secara negatif dalam kaitannya dengan risiko
atau kondisi psikopatologis individu yang sebenarnya. Sebenarnya, tindakan ini dapat
ditafsirkan secara berbeda sebagai bukti agensi dan adaptasi terhadap serangkaian pilihan
terstruktur dan tidak setara. Fitur pengaturan aktivitas keluarga dan kelompok tertentu
(misalnya, agama dan olahraga) bertindak sebagai faktor pelindung; yang lain (misalnya
konflik, kekerasan, kecanduan) tidak.

Psikologi perkembangan arus utama telah memberikan beberapa wawasan dan petunjuk
dalam memahami bagaimana variabel status distal seperti pendidikan orang tua dan
pendapatan diterjemahkan ke dalam pengembangan berbagai zona perkembangan dan
kompetensi, yang pada gilirannya dapat diintegrasikan dalam model CHAT yang luas. pola
sosialisasi yang telah selesai menunjukkan bahwa keluarga SES rendah lebih ketat,
menghukum, dan membatasi dalam kode bahasa (Bernstein 1962; Jackson, 1956). Data
tambahan berharga namun memerlukan integrasi teoretis.

Modal Budaya sebagai Konsep Interdisipliner

Struktur sosial umumnya telah diberikan keunggulan analitis oleh ilmuwan sosial, dianggap
memainkan peran yang lebih besar dalam menentukan perilaku manusia daripada faktor

82 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


psikologis. Analisis modal budaya, baik fisik dan simbolis, mewakili cara memahami
sosiogenesis perbedaan SES dari pandangan sosiologis (misalnya, Bourdieu, 1987). Sisi lain
dari koin itu lebih sulit, atau mungkin lebih lambat dalam memanifestasikan dirinya. Struktur
sosial, dalam analisis terakhir, dibangun oleh agensi manusia. Namun, lembaga tidak
beroperasi dalam ruang hampa. Badan yang diperlukan untuk membangun struktur dan
lembaga bersifat interaktif dan kolektif serta berbasis kekuasaan. Keluarga dengan SES rendah
dapat menginstansiasi properti struktur sosial melalui nilai, rutinitas, dan skrip dalam
pengaturan aktivitas khusus mereka; mereka juga terletak dalam hierarki yang sebagian besar
didasarkan pada interaksi antara sifat struktural tersebut dan agensi orang tua dan kelompok,
yang maknanya sebagian besar ditentukan oleh wacana dominan (misalnya mengubah label
untuk masalah dari kurang beruntung menjadi berisiko).

Ketika seseorang tumbuh dan menjelajah ke pengaturan lain, efek dari struktur terkait SES
mungkin memiliki prioritas. Fondasi agensi yang ditempa sebelumnya menjadi berlaku dan
dapat diubah dengan sendirinya. Agensi orang tua dan kelompok dapat menjadi variabel
proksimal, sedangkan kebijakan dan praktik sosial dan pendidikan mungkin tetap jauh dari
orang tersebut. Misalnya, bentuk kelompok modal "sosial" mencerminkan proses sejarah
tertentu yang menciptakan hierarki hubungan sosial. Mungkin alat dan praktik yang
dikembangkan oleh anggota kelompok tertentu mengkomodifikasi peserta dengan cara khusus,
memungkinkan mereka untuk berinteraksi di pasar secara berbeda atau kurang
menguntungkan. Mungkin sebagai hasil dari komodifikasi tersebut, beberapa peserta
mengakumulasi lebih banyak modal ekonomi selama siklus hidup, sesuatu yang pada
gilirannya memfasilitasi pengembangan alat psikologis lintas generasi. Praktik sosialisasi tidak
hanya bervariasi, tetapi juga terlibat dalam reproduksi struktur SES. Gagasan anak-anak
sebagai modal kurang baru dari perspektif bahwa anak-anak dikomodifikasi dan/atau
diberdayakan melalui pola interaksi orang dewasa-anak di seluruh pengaturan aktivitas
bertingkat.

Model Dinamis Budaya–Sejarah

A CHAT mendekati sifat interdisipliner (Kozulin, 1990; Wertsch, 1991) dan menambah diskusi
sosiologis kemungkinan menjelaskan proses psikologis aktual pembentukan dalam hal
identitas, agensi, kompetensi, dan nilai-nilai, misalnya. Contoh kasus, perbedaan SES dalam
prestasi akademik bervariasi, dari menyumbang 5% dari varians dalam beberapa penelitian

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 83


(White, 1982) hingga menghitung lebih banyak lagi dalam penelitian lain (Bryk & Thum, 1989),
tergantung pada metodenya. dan faktor-faktor yang dipertimbangkan. Motivasi berprestasi,
penundaan kepuasan, locus of control adalah beberapa hasil perkembangan yang tunduk pada
praktik sosialisasi (Portes, 1999; Wigfield & Eccles, 1992). Bagian dari jawaban atas
pertanyaan tentang bagaimana perbedaan tingkat antara kelompok sosial dapat ditemukan
dalam interaksi orang dewasa-anak setelah intervensi yang menyediakan mediasi budaya yang
lebih besar atau berbeda dan memaksimalkan pembelajaran (Portes et al., 1986). Pada tingkat
mikro, Karpov dan Bransford (1995); Tzuriel (1996); Portes, Smith, Zady, dan Del Castillo
(1997); dan lain-lain menunjukkan bagaimana pembelajaran dapat dimediasi dengan cara yang
membangkitkan bentuk baru dan lebih efektif dari lembaga individu, yang umumnya
dikonseptualisasikan dalam hal kinerja tugas dan pengembangan. Namun, seperti disebutkan
sebelumnya, sementara intervensi ini diperlukan, intervensi ini tidak cukup untuk mengetahui
pengaruh faktor struktur sosial.

Orang tua kelas menengah dapat dipandang memiliki modal budaya yang "lebih banyak dan
berbeda" yang pada gilirannya menguntungkan perkembangan anak secara kumulatif daripada
orang tua dengan modal budaya yang lebih sedikit. Jika kita melihat modal berbasis SES orang
tua secara dinamis seperti yang berlaku melalui kegiatan di mana anak-anak berpartisipasi,
maka perkembangan modal anak dipahami sebagai dimediasi oleh modal budaya orang tua
dan orang lain melalui partisipasi dalam berbagai pengaturan kegiatan. Tindakan yang
dimediasi ditemukan dalam interaksi keluarga yang dapat membantu membangun nilai
bersama, disposisi, keterampilan, dan harapan untuk bentuk agensi saat ini dan masa depan.
Apa yang sedang dimediasi dan dikumpulkan di seluruh konteks? Modal fisik, mungkin, tetapi
lebih penting untuk diskusi kita, modal simbolik dalam bentuk alat budaya: pengetahuan yang
dilegitimasi secara sosial, praktik sosial, keterampilan kognitif dan linguistik, dan sikap yang
mendorong pembangunan (lihat Anyon, 1980, untuk diskusi tentang pengaruh modal fisik dan
simbolik pada instruksi di sekolah).

Salah satu cara modal budaya mempengaruhi pembangunan adalah dengan paparan dan
partisipasi dalam berbagai pengaturan kegiatan yang membantu pembangunan bersama,
dengan pandangan ke arah agen masa depan (misalnya, perjalanan, museum, dan
pendampingan). Konsep agensi dengan demikian mungkin terkait dengan motivasi (misalnya,
motivasi pencapaian, locus of control, ketekunan, orientasi usaha, ketidakberdayaan yang
dipelajari, atau keterampilan resolusi konflik) untuk bentuk kegiatan di masa depan. Yang

84 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


terakhir ini dapat berkisar dari menyelesaikan sekolah hingga tidak melakukan hubungan
seksual hingga membuat pilihan karier. Perspektif CHAT menekankan konstruksi bersama
proses psikologis yang mendasari berbagai bentuk agensi – mengingat ketersediaan dan
apropriasi alat budaya – yang dikontekstualisasikan oleh nilai modal simbolik yang diapropriasi.
Pendekatan ini memungkinkan kita tidak hanya mengidentifikasi tren umum, tetapi juga
memahami pengecualian tren tersebut. Misalnya, mengapa beberapa kelompok atau keluarga
SES rendah menghasilkan anak-anak yang lebih termotivasi dan berhasil daripada kelompok
atau keluarga SES rendah dan menengah lainnya?

Menjelaskan variasi dalam kelompok dalam perkembangan sama pentingnya dengan teori apa
pun seperti menjelaskan perbedaan antarkelompok. Model ACHAT dapat dibayangkan,
sebagian, sebagai jam pasir yang dapat dibalik untuk melihat tidak hanya bentuk agensi sosial
top-down yang membentuk perkembangan individu selama dua atau lebih garis waktu (lihat
Gambar 17.1), tetapi lembaga individu dan kelompok yang didorong oleh interaksi sosial dan
budaya dan mengarah pada pembentukan dan reformasi struktur sosial masa lalu dan masa
kini. Gambar tersebut menunjukkan bahwa hubungan antara individu dan perkembangan
masyarakat berubah seiring dengan meningkatnya agensi individu dengan perolehan alat dan
kedewasaan. Oleh karena itu, perkembangan individu tidak sepenuhnya ditentukan oleh
masyarakat atau ciri-ciri biologis sebagai “produk”, tetapi dikonstruksi bersama seiring dengan
kemajuan budaya, memainkan peran yang lebih berpengaruh dalam dirinya sendiri dari waktu
ke waktu. Individu dengan berbagai kit budaya (Wertsch, 1991) secara bertahap
mempengaruhi struktur sosial yang berubah dari waktu ke waktu juga.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 85


Cara agensi anak mempromosikan perubahan dalam interaksi orang dewasa-anak telah
dipelajari untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang perubahan timbal balik
dalam hubungan atau aktivitas manusia. Peran lembaga di tingkat kolektif yang lebih besar
kurang mendapat perhatian dalam memahami hubungan antara SES dan pembangunan
manusia. Contoh tingkat keagenan ini dapat dikaitkan dengan gerakan-gerakan yang
menangani isu-isu penindasan berbagai kelompok sosial, hak-hak anak, dan penegasan nilai
melalui jalur hukum. Reformasi sekolah dan kebijakan akuntabilitas, pada tingkat sosiogenetik,
dapat mengubah hubungan antara SES dan prestasi sekolah dari waktu ke waktu. Intinya

86 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


adalah untuk memahami tarian sejarah di mana jam pasir terlihat berputar perlahan di atas
garis waktu dan sejarah budaya dan individu yang membatasi atau mendorong pembangunan.

Dengan alat, kelompok budaya telah mengembangkan dan mempertahankan kekuasaan,


menciptakan berbagai pengelompokan status sosial. Poin penting di sini menyangkut peran
alat budaya dan konseptual berbasis SES dalam mengatur pembangunan, serta pelembagaan
mereka sendiri di sekolah dan di luarnya. Salah satu perhatian dalam bab ini adalah bagaimana
proses akses dan penggunaan modal simbolik menjadi instrumen dalam memahami perbedaan
SES. Misalnya, bagaimana bahasa, perilaku, pengetahuan berbasis pengalaman, dan sikap
menjadi sarana untuk membangun dan mempertahankan kompatibilitas dengan sekolah dan
institusi lain?

Hubungan antara SES dan pendekatan instruksional membuka setidaknya dua pertanyaan
berbeda: Pertama, pendekatan instruksional mana yang paling baik digunakan dengan siswa
dari latar belakang SES yang berbeda? Kedua, dan mungkin lebih penting, pendekatan
instruksional mana yang cenderung tersedia bagi siswa dari latar belakang SES yang berbeda?
Mengingat penelitian oleh Anyon (1980), Bowles dan Gintis (1976), salah satu cara agar
struktur SES direproduksi adalah melalui proses pemberian pendekatan instruksional yang
berbeda, ditambah dengan berbagai bentuk modal simbolik, kepada siswa dari latar belakang
SES yang berbeda. Jika ini masalahnya, maka pendidik harus bertanya pada diri sendiri apakah
kegiatan yang mereka buat untuk siswa mereka adalah jenis kegiatan yang paling baik untuk
mempersiapkan mereka untuk masa depan yang penuh dengan peluang yang tidak pasti.
Hubungan antara metode pengajaran yang berbeda di lingkungan sekolah SES yang berbeda,
serta di dalam sekolah dalam bentuk pengelompokan dan pelacakan kemampuan, memberikan
ilustrasi yang paling jelas. Diskusi ini mengingatkan pada perdebatan panjang di Amerika
Serikat antara pendidik yang menganjurkan pendidikan liberal untuk semua siswa, dan mereka
yang berpendapat bahwa melacak siswa ke kursus persiapan kejuruan dan perguruan tinggi
lebih “efisien secara sosial” dan realistis.

Sejumlah pendekatan yang menjanjikan telah muncul dalam literatur penelitian pendidikan
yang konsisten dengan CHAT, termasuk program pengurangan ukuran kelas dan multi abilitas,
kelompok pembelajaran kooperatif. Contoh lain, pengajaran timbal balik (Palincsar & Brown,
1984), menggunakan bentuk partisipasi terstruktur yang memungkinkan siswa untuk
menginternalisasi strategi untuk membaca dan menganalisis teks. Dalam format kelompok

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 87


kooperatif, seorang guru memimpin kelompok kecil siswa melalui dialog yang meminta siswa
untuk membentuk pertanyaan, mengidentifikasi bagian yang membingungkan, meringkas teks,
dan membuat prediksi tentang apa yang terjadi selanjutnya. Seiring waktu, peran guru
berkurang dan siswa mengambil tanggung jawab untuk memimpin kelompok melalui proses
tersebut.

Program afterschool berorientasi akademis juga membantu mengkompensasi siswa SES


rendah untuk mediasi yang sering diberikan di rumah SES menengah, termasuk inisiatif tutor
sebaya. Di sisi pengajaran persamaan pembelajaran sekolah, keahlian konten guru membantu
pendidik menjadi mediator yang lebih efektif, terutama ketika mereka menggunakan standar
untuk pedagogi yang efektif (CREDE, 2002) yang telah meningkatkan hasil siswa. Upaya untuk
mengubah budaya sekolah dengan cara membantu pendidik untuk bekerja secara kolaboratif
juga terkait dengan prestasi siswa yang tinggi di sekolah dengan proporsi siswa yang berisiko
tinggi. Dalam beberapa pengecualian tersebut, harapan yang tinggi untuk siswa SES rendah
berlaku, bersama dengan upaya untuk mempromosikan keterlibatan orang tua. Singkatnya,
praktik sosialisasi yang lebih efektif dapat disusun kembali di sekolah tradisional untuk
mendukung dan mempromosikan pengembangan siswa dengan SES rendah dengan praktik
yang menghilangkan mereka dari risiko terstruktur yang masih ada.

KESIMPULAN PEMIKIRAN DAN PENELITIAN MASA DEPAN

Di Amerika Serikat, sekitar 20% anak usia sekolah terdampar dalam lingkaran kemiskinan
dengan sedikit harapan untuk mengatasi hambatan yang ditimbulkan oleh tuntutan tugas yang
melekat dalam praktik sekolah saat ini. Bagi sebagian besar anak-anak Afrika, Latin, dan
penduduk asli Amerika, persentasenya kira-kira tiga kali lebih parah daripada siswa budaya
dominan (The Condition of Education, 1998). Kemiskinan menghambat pembangunan,
khususnya di bidang-bidang yang paling prediktif dari perolehan alat atau literasi dan prestasi
di sekolah untuk kelompok-kelompok tersebut. Terlepas dari masalah teoretis, praktis, dan etis
yang terlibat dalam mengubah nasib anak-anak ini, yang sering kali dihukum karena gagal
sejak dini, basis penelitian yang didorong oleh teori yang kuat sangat dibutuhkan untuk
memahami cara-cara di mana SES berdampak pada pembangunan. dan untuk memandu
kebijakan sehubungan dengan peningkatan konteks sekolah dan mengubah hambatan yang
dilembagakan terhadap kesetaraan.

88 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Tampaknya jelas bahwa perbedaan interaksi berbasis SES menghasilkan efek meresap yang
umumnya didasarkan pada kesenjangan berkelanjutan dalam variabel terkait literasi, seperti
yang melekat pada keterlibatan orang tua, waktu mengerjakan tugas, rasio orang dewasa-
anak, dan aktivitas yang dimediasi. Efek dari sekolah pada perkembangan manusia biasanya
tidak terlepas dari budaya keluarga-masyarakat. Faktanya, saling ketergantungan mereka
tumbuh dari waktu ke waktu, dan tak lama kemudian, konsekuensinya menjadi lebih terukir
melalui pengelompokan "kemampuan", program pelacakan kejuruan dan perguruan tinggi,
harapan guru, identitas, dan sejumlah faktor non akademik. Bekerja menuju pemahaman yang
lebih besar sebagai dasar untuk membawa perubahan informasi bagi anak-anak ini sejak dini
sangat dibutuhkan.

Jelas bahwa menghilangkan disparitas dalam praktik sosialisasi dewasa-anak berbasis SES
membutuhkan restrukturisasi sosial dan akses yang adil ke serangkaian pengalaman mediasi
strategis. Yang terakhir ini menyiratkan reorganisasi konteks kelembagaan dan fungsi
sosialnya. Penelitian sebelumnya telah mengidentifikasi gaya interaksi tertentu sebagai
pendefinisian perbedaan SES, tanpa mengakui konteks historis yang mengarah pada
pengembangan hierarki sosial dan karakteristik terkaitnya. Perbedaan ini diperburuk ketika
pendekatan pembelajaran di sekolah didasarkan pada persepsi siswa yang tidak akurat dan,
oleh karena itu, memperbesar perbedaan di antara mereka. Topik di hadapan kita tidak hanya
membutuhkan dokumentasi perbedaan SES, tetapi juga sarana untuk memahami dan
meningkatkan konstruksi perkembangan dan budaya mereka. Misalnya, kurikulum pendidikan
orang tua untuk siswa sekolah menengah direkomendasikan untuk mendekonstruksi
perbedaan berbasis SES dalam pengetahuan dan praktik sosial dan psikologis.

Akhirnya, kita perlu mengingatkan diri kita sendiri bahwa jenis perilaku dan gaya interaksi
tertentu dapat melayani tujuan fungsional yang mencerminkan strategi koping, daripada
metode interaksi yang "dipilih". Kita tidak boleh berasumsi bahwa interaksi orang dewasa-anak
adalah hasil dari penindasan, kurangnya akses ke pengaturan aktivitas tertentu dan hubungan
sosial yang berlabuh pada cara produksi dan tenaga kerja; kita juga tidak boleh berasumsi
bahwa mereka tidak. Sebaliknya, ini adalah panggilan untuk integrasi penelitian di seluruh
domain genetik (Wertsch, 1991), menggunakan analisis multilevel sarana mediational (Kozulin,
1990) dan menggunakan variabel objektif dan subjektif dalam pengaturan aktivitas sebagai unit
analisis (Weisner, 1984). ). Ini juga merupakan pengingat, mungkin, dari motif di balik proyek
etis yang lebih besar yang menjadi tujuan ilmu dan penelitian ini. Betapapun sulitnya bagi

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 89


Vygotsky untuk memisahkan sains dan politik pada masanya, hari ini sebuah praksis di antara
keduanya tampaknya tidak hanya muncul, tetapi juga tak terhindarkan.

Dari seluruh proses belajar sebelumnya, buatlah kesimpulan dengan menjawab


beberapa pertanyaan berikut:

1. Apa yang Anda pahami setelah mempelajari mengenai status sosioekonomi (SES)? Apa
pentingnya hal ini bagi proses pengajaran yang Anda jalani?
2. Apa yang Anda pahami terkait dua konsep utama teori sosiokultural, yaitu sebagai alat
psikologis dan mediasi, dan bagaimana konsep-konsep ini selanjutnya dapat
berkontribusi pada teori pembelajaran dan pengajaran?
3. Bagaimana menurut Anda penerapan konsep tersebut dalam pendidikan di Indonesia?
Silahkan berdiskusi dengan mencari referensi yang ada dalam konteks pengajaran serta
pembelajaran di Indonesia.
4. Apa saja yang dapat Anda terapkan nantinya sebagai guru terkait pemahaman Anda?
5. Bagaimana Anda memandang kesiapan Anda sebagai guru dengan memahami konsep
tersebut?
6. Pertanyaan apa yang ingin Anda ajukan lebih lanjut tentang topik bahasan tersebut?

C. Ruang Kolaborasi

Setelah mempelajari tentang ‘Konsep dasar perspektif sosiokultural dalam


pendidikan’ yang mempengaruhi proses pendidikan dan merefleksikan dalam
pembelajaran, silakan bekerja dalam kelompok untuk menganalisis studi kasus
berikut.

90 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Lembar Kerja 2 - Kelompok

Pada tugas kali ini, silakan Anda bergabung dalam kelompok. Anda akan mempelajari studi kasus
tentang perspektif sosiokultural dalam penerapan pendidikan di Indonesia dalam kelompok:

1. Berikut cerita tentang penerapan pembelajaran sebagai bahan untuk studi kasus:
a. Belajar Berdemokrasi, dari buku Mengajar untuk Perubahan, hal 58-75
b. Ray Sang Pecandu Online Game, dari buku Mengajar untuk Perubahan, hal 76-92
c. Literasi Dasar, dari Buku Melawan Setan Bermata Runcing: Pengalaman Gerakan
Pendidikan Sokola, hal 125-156
2. Dengan menggunakan konsep yang sudah dipelajari, tiap kelompok menganalisis:
a. faktor sosial, budaya, ekonomi dan politik yang penting dalam cerita tersebut
b. bagaimana guru/pengajar tersebut mempertimbangkan perspektif sosiokultural dalam
caranya mengajar
c. cara lain yang akan Anda lakukan selain yang sudah diterapkan guru/pengajar
tersebut
d. Pembelajaran yang diperoleh dari menganalisis studi kasus dan pembelajaran pada
Mata Kuliah lain yang terkait
3. Hasil analisis kelompok akan dipresentasikan pada pertemuan berikutnya. Silakan
membuat presentasi sebaik dan sekreatif mungkin.

PERTEMUAN 4

D. Demonstrasi Kontekstual

Setelah menyelesaikan tugas secara berkelompok, saat ini Anda akan


mempresentasikan hasil kerja kelompok Anda. Tiap kelompok memperhatikan
kelompok lain yang melakukan presentasi, dan memberikan apresiasi dengan
melakukan penilaian juga.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 91


Penilaian Tugas Kelompok:

● Tugas kelompok ini akan dinilai baik oleh dosen maupun oleh kelompok
lainnya.
● Tiap kelompok menilai presentasi dari kelompok lainnya, dengan panduan
yang disediakan. Tuliskan penilaian kepada kelompok lain dengan
menyebutkan hasil penilaian (A/B/C/D) beserta komentar tentang apa yang
paling membuka mata dari presentasi tersebut.
● Panduan penilaian dapat dilihat dalam rubrik berikut. Kolom A adalah hasil
ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C, dan D.

A B C D

Artikulasi sangat jelas Artikulasi jelas dan Artikulasi cukup bisa Artikulasi kurang jelas.
dan mudah dipahami. mudah dipahami. dipahami.
Isi tidak memberikan
Isi menjelaskan Isi menjelaskan Isi cukup menjelaskan pandangan mengenai
pandangan mengenai pandangan mengenai pandangan mengenai topik bahasan serta
topik bahasan secara topik bahasan secara topik bahasan, namun keterkaitannya.
mendalam, serta mendalam. kurang dalam
Visualisasi kurang
memberikan insight mendeskripsikan
Visualisasi menarik dan kreatif dan menarik.
atau pembelajaran keterkaitannya.
kreatif.
terkait topik bahasan.
Visualisasi cukup
Visualisasi sangat menarik dan kreatif.
menarik dan kreatif.

92 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


E. Elaborasi Pemahaman

Dari demonstrasi kontekstual yang sudah dilakukan sebelumnya, dengan


mempelajari topik bahasan, dipandu oleh dosen silahkan buat kesimpulan berikut:

1. Apa pembelajaran terpenting yang Anda dapatkan mengenai topik bahasan ini?
2. Apa pandangan Anda sebagai calon guru tentang perspektif/teori sosiokultural ini?
Bagaimana Anda menerapkan ilmu yang Anda dapatkan terkait topik bahasan dalam
profesi Anda sebagai guru?
3. Tantangan apa yang Anda bayangkan akan dihadapi dalam hal menggunakan perspektif
ini dalam mengajar? Bagaimana Anda akan mengatasinya?
4. Pertanyaan apa yang ingin Anda ajukan lebih lanjut tentang topik bahasan ini?

F. Koneksi Antar Materi

Pada modul 1, Anda sudah membuat koneksi antar materi dari pembelajaran mata
kuliah Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan dengan pembelajaran yang
sudah, sedang atau akan dipelajari di mata kuliah PPG lainnya. Silakan Anda
lanjutkan proses membuat koneksi tersebut.

G. Aksi Nyata

Pada akhir pembelajaran setiap topik, Anda diminta untuk merefleksikan


pembelajaran dalam blog masing-masing, dengan menggunakan alur MERDEKA
seperti dalam proses pembelajarannya. Anda bisa menceritakan refleksi Anda
dengan caranya masing-masing, bisa narasi yang dilengkapi visual, ataupun
narasi saja, atau model kreatif lainnya. Berikut ini panduan pertanyaan yang dapat
membantu Anda menuliskan blog:

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 93


No. Alur pembelajaran Pertanyaan Refleksi

1 Mulai Dari Diri Apa yang Anda pikirkan tentang topik ini sebelum memulai
proses pembelajaran?

2 Eksplorasi Konsep Apa yang Anda pelajari dari konsep yang Anda pelajari
dalam topik ini?

3 Ruang Kolaborasi Apa yang Anda pelajari lebih lanjut bersama dengan rekan-
rekan Anda dalam ruang kolaborasi?

4 Demonstrasi Kontekstual Apa hal penting yang Anda pelajari dari proses
demonstrasi kontekstual yang Anda jalani bersama
kelompok (bisa tentang materi, rekan, dan diri sendiri)?

5 Elaborasi Pemahaman Sejauh ini, apa yang sudah Anda pahami tentang topik ini?
Apa hal baru yang Anda pahami atau yang berubah dari
pemahaman di awal sebelum pembelajaran dimulai ?
Apa yang ingin Anda pelajari lebih lanjut?

6 Koneksi Antar Materi Apa yang Anda pelajari dari koneksi antar materi baik di
dalam mata kuliah yang sama maupun dengan mata kuliah
lain?

7 Aksi Nyata Apa manfaat pembelajaran ini untuk kesiapan Anda


sebagai guru?
Bagaimana Anda menilai kesiapan Anda saat ini, dalam
skala 1-10? Apa alasannya?
Apa yang perlu Anda persiapkan lebih lanjut untuk bisa
menerapkannya dengan optimal?

Berikut rubrik penilaian blog yang digunakan untuk setiap modul. Kolom A adalah
hasil ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C, dan D.

A B C D

94 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa
mengartikulasikan mengartikulasikan mengartikulasikan mengartikulasikan
refleksi dalam blog refleksi dalam blog refleksi dalam blog refleksi dalam blog
dengan alur yang jelas dengan alur yang jelas dengan cukup mudah dengan kurang jelas
dan mudah dipahami, dan mudah dipahami. dipahami. dan sulit dipahami.
serta kreatif.
Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa
Mahasiswa menguraikan secara menguraikan secara menguraikan secara
menguraikan secara mendalam dan mendalam, namun singkat pandangan
mendalam dan kurang tajam dalam tentang topik bahasan,
mengaitkan secara
dan tidak
mengaitkan secara tajam pandangan mengaitkan pandangan
tajam pandangan mengenai topik mengenai topik mengaitkan pandangan
mengenai topik bahasan, baik dari bahasan. mengenai topik
bahasan, baik dari dirinya dan bahasan.
Mahasiswa
dirinya dan kelompoknya.
menyimpulkan secara Mahasiswa tidak atau
kelompoknya, serta
Mahasiswa sederhana kurang jelas dalam
kaitannya dengan
menyimpulkan pemahamannya menyimpulkan
materi dari MK lain.
pemahaman mengenai mengenai topik
Pemahamannya
Mahasiswa topik bahasan secara bahasan.
mengenai topik
menyimpulkan jelas.
Mahasiswa secara bahasan.
pemahaman mengenai
Mahasiswa mengaitkan singkat mengaitkan
topik bahasan secara Mahasiswa tidak
pembelajaran dari pembelajaran dari
tajam. mengaitkan
modul ini dengan modul ini dengan
pembelajaran dari
Mahasiswa mengaitkan kesiapannya mengajar kesiapannya mengajar
modul ini dengan
pembelajaran dari sebagai guru. sebagai guru.
kesiapannya mengajar
modul ini dengan
sebagai guru.
kesiapannya mengajar
sebagai guru, termasuk
mengartikulasikan apa
yang perlu
disiapkannya.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 95


Catatan untuk Dosen Pengampu

● Modul ini disusun untuk menggali pengalaman dan wawasan para calon
guru terkait proses mendidik yang sesuai.
● Modul ini dapat dimodifikasi oleh dosen pengampu.
● Dosen pengampu dapat menambah materi terkait topik bahasan.
● Selain penilaian tugas kelompok (LK) dan blog, dosen pengampu juga
perlu menilai partisipasi dan sikap mahasiswa dalam proses pembelajaran.
Rubrik penilaian partisipasi dan sikap ini bisa digunakan, namun
dipersilakan untuk dimodifikasi, atau mengembangkan sendiri. Kolom A
adalah kondisi ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C,
dan D.

A B C D

Mahasiswa aktif Mahasiswa aktif Mahasiswa jarang Mahasiswa tidak


memberikan pendapat, memberikan pendapat, terlihat memberikan terlihat memberikan
menjawab pertanyaan menjawab pertanyaan pendapat atau pendapat atau
dari dosen/modul, dan dari dosen/modul, dan menjawab pertanyaan menjawab pertanyaan
mengajukan pertanyaan mengajukan pertanyaan dari dosen/modul. dari dosen/modul.
yang memperkaya untuk konfirmasi atau
Mahasiswa kurang Mahasiswa tidak
pemahaman seluruh klarifikasi.
menunjukkan perilaku menunjukkan perilaku
mahasiswa.
Mahasiswa cukup memfasilitasi rekan memfasilitasi rekan
Mahasiswa menunjukkan perilaku mahasiswanya dalam mahasiswanya dalam
menunjukkan perilaku memfasilitasi rekan proses pembelajaran proses pembelajaran
memfasilitasi rekan mahasiswanya dalam baik, di kelompok baik, di kelompok
mahasiswanya dalam proses pembelajaran maupun di kelas secara maupun di kelas secara
proses pembelajaran baik, di kelompok keseluruhan. keseluruhan.
baik, di kelompok

96 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


maupun di kelas secara maupun di kelas secara Mahasiswa Mahasiswa tidak
keseluruhan. keseluruhan. mengumpulkan tugas mengumpulkan tugas.
melebihi dengan
Mahasiswa Mahasiswa
tenggat waktu yang
mengumpulkan tugas mengumpulkan tugas
ditentukan.
sebelum tenggat waktu sesuai dengan tenggat
yang ditentukan. waktu yang ditentukan.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 97


MODUL 3
PERSPEKTIF SOSIAL, BUDAYA, EKONOMI, DAN POLITIK
DALAM PEMBELAJARAN

Durasi: 2 pertemuan
Capaian Pembelajaran:
Setelah mempelajari topik ini, mahasiswa dapat:
1. memahami penerapan perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam
pembelajaran
2. memahami berbagai strategi, metode dan teknik pembelajaran yang diterapkan
berdasarkan perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik dari berbagai referensi
3. memahami pentingnya penerapan perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam
pembelajaran

PERTEMUAN 5

A. Mulai dari Diri

Mahasiswa PPG Prajabatan yang berbahagia,

Selamat datang di topik yang ketiga yaitu ‘Perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan
politik dalam pembelajaran’. Topik ini penting untuk Anda memahami perspektif
sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam pembelajaran yang mempengaruhi
pendidikan di Indonesia.

Setelah mempelajari topik ini, Anda diharapkan mampu:

1. menemukan referensi pendekatan, strategi, metode dan teknik


pembelajaran yang menerapkan perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan
politik
2. menganalisis pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran
yang menerapkan perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik dari
berbagai referensi dan praktik yang ada

98 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


3. memberikan argumen dalam diskusi mengenai pendekatan, strategi,
metode, dan teknik pembelajaran yang menerapkan perspektif sosial,
budaya, ekonomi, dan politik dalam pembelajaran dari berbagai referensi
dan praktek yang ada
4. menyimpulkan pentingnya menerapkan pendekatan pembelajaran
dengan menggunakan perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik

Kita akan mulai pembelajaran tentang perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan
politik dalam pembelajaran dengan melakukan pengamatan terhadap video
berikut ini.

Video Lentera Indonesia - Pengejar Mimpi di Bumi Petani


https://www.youtube.com/watch?v=inbOD1zeZ2k

Setelah mengamati video tersebut, silakan menjawab pertanyaan berikut ini:

Lembar Kerja 9

Dari pengamatan tentang kondisi daerah tersebut:

1. Pernahkah Anda mengalami hal yang serupa? Bila ya, apa saja hal yang sama dan berbeda
yang Anda temui?

…………………………………………………………………………………………………..

2. Apa yang Anda pikirkan dan rasakan tentang kondisi pendidikan tersebut?

…………………………………………………………………………………………………..

3. Apa yang Anda pikirkan tentang pendidikan di masa itu?

………………………………………………………………………………………………….

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 99


Selanjutnya, silakan jawab pertanyaan reflektif berikut ini:

1. Bila Anda mendapatkan tugas mengajar bagaimana Anda memperhatikan dan


mengimplementasikan perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam pembelajaran?

…………………………………………………………………………………………………..

2. Siapkah Anda mengajar dengan memperhatikan perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan
politik dalam pembelajaran? Apa alasannya?

…………………………………………………………………………………………………..

Mari berproses bersama dalam rangkaian pembelajaran selanjutnya untuk


semakin memahami tentang perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam
pembelajaran.

B. Explorasi Konsep

Dalam teorinya tentang pikiran, Vygotsky mengusulkan tiga bentuk mediasi: alat, tanda dan
simbol (semiosis), dan interaksi sosial. Sebagian besar penelitian sosiokultural Vygotskian
berfokus pada bentuk mediasi semiotik untuk mengatasi tantangan kognitif dalam pendidikan.
Sedangkan mediasi semiotik bergantung pada interaksi sosial, dan interaksi sosial sering terdiri
dari "unit analisis", mediasi interaksi sosial itu sendiri sebagian besar masih harus dibongkar.
Meskipun beberapa penelitian telah menyelidiki proses kerjasama atau kolaborasi dalam
pembelajaran, dinamika proses tersebut sebagai hubungan sosial belum mendapat pemeriksaan
ekstensif dalam penelitian Vygotskian. Mediasi hubungan sosial - dinamika kekuasaan, posisi,
lokasi sosial dalam interaksi sosial pembelajaran - sangat penting dalam pendidikan. Tidak ada
pentingnya hubungan sosial dalam pembelajaran yang lebih nyata daripada dinamika kelas
sosial di sekolah.

Namun dinamika hubungan sosial telah terbukti menjadi pusat pengalaman kegagalan bagi
banyak siswa berpenghasilan rendah, meskipun literatur tentang hubungan ini jarang

100 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


menginformasikan studi sosiokultural dalam pendidikan. Sebagai peneliti yang peduli dengan
pembelajaran siswa, ahli teori sosiokultural perlu memeriksa masalah hubungan sosial dari
mereka yang kita pelajari, karena hubungan sosial ini merupakan mediator kunci pembelajaran
sekolah siswa. Idealnya, perspektif teori sosiokultural mampu mengintegrasikan tingkat analisis
dari tingkat makro budaya ke tingkat mikro interaksi sosial dan pemikiran dan ucapan individu.
Penelitian yang akan dibahas di sini menunjukkan bahwa dinamika hubungan sosial dalam
interaksi sosial pembelajaran merupakan bagian penting dalam memahami artikulasi dan
integrasi tingkatan. Bab ini meninjau kembali literatur tentang hubungan sosial sekolah untuk
pelajar berpenghasilan rendah dengan memperhatikan cara-cara teori sosiokultural dapat
diinformasikan oleh pekerjaan itu dan cara-cara teori sosiokultural dapat menginformasikan
konsepsi pengalaman peserta didik berpenghasilan rendah tentang perbedaan. hubungan sosial
di sekolah.

LATAR BELAKANG: VYGOTSKY DAN ‘KELAS’

Para peneliti telah berteori cara kerja kelas dalam pendidikan dalam berbagai cara, tetapi teori
sosiokultural dapat menawarkan dimensi baru yang penting. Apa itu "kelas", dan bagaimana cara
kerjanya dalam pembelajaran? Pendekatan sosiokultural Vygotsky dan yang lainnya membuka
jalan untuk menjawab pertanyaan semacam itu.

Vygotsky dipengaruhi oleh sejumlah ahli teori sosial. Dalam karyanya ia mengacu pada
Durkheim, Hegel, Marx, dan lain-lain (lihat Kozulin, 1990, khususnya bab 4). Secara khusus,
referensi berulang Vygotsky kepada Marx muncul ketika komentar Vygotsky sangat relevan
dengan hubungan sosial atau interpersonal. Salah satu kunci konsepsi bersama adalah
hubungan sosio genetik antara individu dan masyarakat. Dalam sebuah diskusi tentang
kesadaran, Vygotsky (1997b) menulis, “Momen sosial dalam kesadaran adalah yang utama
dalam waktu dan juga fakta. Aspek individu dikonstruksikan sebagai aspek turunan dan sekunder
atas dasar aspek sosial dan tepat menurut modelnya” (hal. 77). Dalam kutipan terkenal dari Marx
berikut, yang disinggung Vygotsky dalam karyanya sendiri (misalnya, 1993, hlm. 162), Marx
menekankan dimensi relasional masyarakat dalam perkembangan kesadaran:

Hasil umum di mana kita tiba dan yang, sekali menang, berfungsi sebagai benang penuntun
untuk studi kita, dapat dirumuskan secara singkat sebagai berikut: Dalam produksi sosial
kehidupan mereka, manusia masuk ke dalam hubungan tertentu yang sangat diperlukan dan di-

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 101


bergantung pada kehendak mereka, hubungan-hubungan produksi yang sesuai dengan tahap
perkembangan tertentu dari tenaga-tenaga produktif material mereka. Jumlah total dari
hubungan ini . . . sesuai [dengan] bentuk-bentuk tertentu dari kesadaran sosial. . . . Bukan
kesadaran manusia yang menentukan keberadaan mereka, tetapi, sebaliknya, keberadaan
sosial mereka yang menentukan kesadaran mereka. (Tucker, 1978, hlm. 4; penekanan
ditambahkan)

Vygotsky mengeksplorasi pentingnya hubungan sosial untuk pembentukan kesadaran dalam


sebuah artikel yang diterjemahkan sebagai “The Socialist Alteration of Man” (1994).
Mengomentari hubungan antara basis dan suprastruktur yang disinggung oleh Marx dalam
perikop tersebut, Vygotsky menulis,

Pengaruh dasar pada suprastruktur psikologis manusia ternyata tidak langsung, tetapi dimediasi
oleh sejumlah besar faktor material dan spiritual yang sangat kompleks. Tetapi bahkan di sini,
hukum dasar sejarah perkembangan manusia, yang menyatakan bahwa manusia diciptakan oleh
masyarakat di mana mereka tinggal dan bahwa itu merupakan faktor penentu dalam
pembentukan kepribadian mereka, tetap berlaku. (hal. 176) Vygotsky melanjutkan dengan
menekankan bahwa "karakter kelas, sifat kelas dan perbedaan kelas... bertanggung jawab atas
pembentukan tipe manusia" (1994, hal. 176).

Meskipun hubungan di sini antara kelas dan kepribadian dapat dinyatakan terlalu gamblang,
bagian ini penting untuk mengangkat isu pluralisme dan pentingnya mempertimbangkan kelas
untuk mengembangkan perspektif pluralistik tentang pembelajaran dan pengembangan. Dalam
volumenya tentang Psikologi Pendidikan (1997a), Vygotsky menulis bahwa “lingkungan sosial
berbasis kelas dalam strukturnya sejauh, jelas, semua hubungan baru dicetak oleh basis kelas
lingkungan. . . . Akibatnya, keanggotaan kelas mendefinisikan sekaligus orientasi budaya dan
alami kepribadian dalam lingkungan” (hlm. 211–212).

Namun, Vygotsky tidak meneliti fungsi kelas di sekolah; dia juga tidak sepenuhnya
mengembangkan konsepsinya tentang "mediasi oleh sejumlah besar faktor yang sangat
kompleks dan spiritual" yang berkontribusi pada pembentukan berbagai bentuk karakter kelas.
Dia, meskipun, mengidentifikasi baik proses kerja dan proses kelembagaan sekolah sebagai
terdiri dari sistem sosial dan situs yang signifikan dalam produksi kepribadian dan psikologi
manusia. Diskusi ini bertujuan untuk mengeksplorasi pengalaman sekolah siswa berpenghasilan

102 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


rendah sebagai situs dalam produksi identitas mereka sebagai pelajar dan untuk menyoroti cara-
cara hubungan interpersonal atau sosial kelas memediasi pembelajaran siswa. Meskipun lebih
dari 20 tahun penelitian yang diilhami Vygotskian dalam pendidikan di Amerika Serikat, sedikit
pertimbangan telah diberikan kepada sekolah itu sendiri sebagai situs atau sistem sosial di mana
kelas menengahi pembentukan kepribadian dan psikologi pelajar. . Tetapi seperti halnya Marx
mengklaim tempat kerja sebagai tempat utama dalam produksi "makhluk sosial" orang dewasa,
demikian pula sekolah dapat dianggap sebagai situs kunci dalam produksi makhluk sosial kaum
muda; dan makhluk sosial siswa memiliki implikasi yang signifikan bagi hidupnya sebagai
pembelajar. Diskusi akan mengeksplorasi "hubungan pasti" yang mana pelajar dapat menjadi
subjek di sekolah dan implikasi hubungan tersebut bagi mereka sebagai pelajar - dan, pada
gilirannya, untuk teori pembelajaran sosiokultural Vygotskian. Secara khusus, kita membahas
masalah perbedaan kelas sosial untuk memeriksa keberadaan dan kesadaran sosial siswa
sebagai pelajar, dengan bertanya, “Apa yang diketahui tentang 'hubungan belajar' untuk siswa
dari latar belakang berpenghasilan rendah dan bagaimana hubungan ini memediasi
pembelajaran mereka. ?”

kita beralih, untuk diskusi ini, untuk studi etnografi kunci perbedaan kelas sosial dalam
pengalaman hidup peserta didik. Cole (1996) telah mendorong para pekerja dalam studi sosio
kultural pendidikan untuk menggabungkan penelitian mereka dengan para peneliti di disiplin lain
untuk mempelajari "pengaturan kelembagaan dari kegiatan-kegiatan-dalam-konteks. . . . [F] dari
perspektif budaya-sejarah tingkat analisis ini penting sebagai situs di mana faktor-faktor skala
besar seperti kelas sosial mengartikulasikan dengan pengalaman individu” (hal. 340). Secara
khusus, sejumlah studi etnografi tentang anak-anak miskin dan kelas pekerja di sekolah, SD
hingga SMA, menyarankan pentingnya teori pembelajaran Vygotskian untuk melihat secara
dekat isu-isu hubungan sosial, termasuk kekuasaan dan konflik dalam dinamika. pembelajaran
institusional. kita akan menggunakan beberapa teks ini untuk mengilustrasikan pentingnya
perhatian ini bagi teori Vygotskian. Namun, pertama-tama, kita akan mengklarifikasi cara budaya
dan kelas sosial digunakan dalam diskusi ini.

KERANGKA KERJA UNTUK PEMERIKSAAN KELAS SOSIAL DI SEKOLAH

Vygotsky menulis bahwa "anak-anak tumbuh menjadi kehidupan intelektual orang-orang di


sekitar mereka" (1978, hal. 88). Dalam waktu, Vygotsky mencatat, lingkungan individu mengalami
perubahan ketika "meluas ke partisipasi dalam produksi masyarakat" (Vygotsky, 1998, hal. 43).

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 103


Anak-anak tumbuh menjadi kehidupan orang-orang di sekitar mereka, dan ruang-ruang
kehidupan itu beragam dan beragam. Tentu saja, antara waktu anak-anak tumbuh ke dalam
kehidupan keluarga dan kemudian ke dalam kehidupan "produksi sosial", mereka juga tumbuh
ke dalam kehidupan sekolah. Ketika lingkungan berkembang, Vygotsky menunjukkan, kaum
muda juga mengembangkan minat dan aktivitas hidup bersama dengan kelompok sosial ekonomi
tertentu: “Sejarah anak usia sekolah dan remaja adalah sejarah perkembangan yang sangat
intensif dan perumusan psikologi kelas. dan ideologi” (ibid.).

Jadi, Vygotsky mencatat sifat pluralistik perkembangan dan pentingnya kelas dalam variasi itu.
Leontev (1981), juga, dalam membahas konsep aktivitas, mengidentifikasi relevansi struktur
sosial dalam semua aktivitas manusia:

Jika kita menghapus aktivitas manusia dari sistem hubungan sosial dan kehidupan sosial, itu
tidak akan ada dan tidak akan memiliki struktur. Dengan segala bentuknya yang beraneka ragam,
aktivitas individu manusia merupakan suatu sistem dalam sistem hubungan sosial. Itu tidak ada
tanpa hubungan ini. Bentuk khusus di mana ia ada ditentukan oleh bentuk dan sarana interaksi
sosial material dan mental. . . [yang tergantung pada tempat individu] dalam masyarakat.” (1981,
hlm. 47; penekanan ditambahkan)

Lebih jauh, Leont'ev berpendapat bahwa keinginan, emosi, motif semuanya diproduksi di dalam
dan melalui sistem hubungan sosial, seperti halnya proses kognitif. Dia menulis bahwa keinginan
adalah “faktor yang memandu dan mengatur aktivitas konkret agen dalam lingkungan objektif....
[Pembentukan hasrat] dijelaskan oleh fakta bahwa dalam masyarakat manusia objek hasrat
diproduksi, dan keinginan itu sendiri karena itu juga diproduksi. . . . Kita dapat mengatakan hal
yang sama tentang emosi atau perasaan” (1981, hlm. 49-50; penekanan pada aslinya).
Konseptualisasi Leont'ev tentang pembentukan keinginan dan perasaan menjadi signifikan
dalam upaya untuk memahami pengalaman hidup siswa di sekolah dan pembentukan identitas
siswa, cara mereka bertindak atau bentuk agensi, dan transformasi mereka dari waktu ke waktu
di lingkungan sekolah. proses budaya sekolah. Meskipun Vygotsky dan Leont'ev terutama
merujuk pada keluarga dan lingkungan kerja sebagai tempat dalam produksi kesadaran, sekolah
jelas juga merupakan tempat aktivitas penting dalam sistem hubungan sosial.

Gagasan yang diberikan oleh Vygotsky dan Leont'ev penting untuk memberikan konsepsi proses
budaya dan produksinya dan untuk menyinggung dinamika kekuasaan dan konflik yang lebih

104 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


besar yang dimainkan di tingkat masyarakat. Tetapi perhatian lebih harus diberikan pada cara-
cara spesifik aktivitas membentuk fenomena psikologis, terutama karena cara kerja kekuasaan
dan konflik di tingkat makro kehidupan sosial dan refleksinya di tingkat mikro hubungan sosial
sangat sedikit dibahas. Ratner (2000), bagaimanapun, telah mengumpulkan dimensi
konseptualisasi budaya Vygotsky dan menambahkan kekhususan dengan cara yang dapat
membantu dalam artikulasi tingkat mikro dan makro dari analisis contoh-contoh tertentu. Ratner
mengidentifikasi lima jenis utama fenomena budaya: aktivitas budaya; nilai, skema, makna, dan
konsep budaya; artefak fisik; fenomena psikologis; dan agensi. Karena pentingnya rumusan
Ratner dalam analisis selanjutnya, kita akan mengutip pembahasannya tentang lima jenis utama
secara lengkap:

1. Kegiatan budaya seperti memproduksi barang, membesarkan dan mendidik anak, membuat
dan menegakkan kebijakan dan hukum, memberikan perawatan medis. Melalui aktivitas inilah
manusia bertahan dan mengembangkan dirinya. Mereka adalah dasar cara individu berinteraksi
dengan objek, orang, dan bahkan diri sendiri.
2. Nilai budaya, skema, makna, konsep. Orang-orang secara kolektif memberikan hal-hal dengan
makna. Pemuda, usia tua, pria, wanita, fitur tubuh, kekayaan, alam, dan waktu memiliki arti yang
berbeda dalam masyarakat yang berbeda.
3. Artefak fisik seperti perkakas, buku, kertas, gerabah, peralatan makan, jam, pakaian, gedung,
perabotan, mainan, permainan, senjata dan teknologi yang dibangun secara kolektif.
4. Fenomena psikologis seperti emosi, persepsi, motivasi, penalaran logis, kecerdasan, memori,
penyakit mental, imajinasi, bahasa, dan kepribadian secara kolektif dibangun dan didistribusikan.
5. Agency. Manusia secara aktif membangun dan merekonstruksi fenomena budaya. “Agensi” ini
diarahkan untuk mengkonstruksi fenomena budaya dan juga dipengaruhi oleh aktivitas, nilai,
artefak, dan psikologi budaya yang ada. (Ratner, 2000, hal. 4)

Lima jenis fenomena ini jelas saling terkait dan saling bergantung, masing-masing mewujudkan
karakter khas dari yang lain di dalam dirinya sendiri. Misalnya, "Agensi berasal, mencerminkan,
dan memfasilitasi kegiatan, konsep, artefak, dan fenomena psikologis" (hal. 4). Kelima dimensi
ini memberikan kekhususan pada analisis konteks dan kegiatan sekolah.

Selain konseptualisasi budaya, konsep kelas sosial diperlukan untuk diskusi ini. Sejarah panjang
studi sosiologis tentang kelas telah menghasilkan banyak konsepsi dan pandangan yang
berbeda tentang kelas sosial. Di sini, kita mengambil pendekatan yang ditawarkan oleh Pierre

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 105


Bourdieu, yang mengambil apa yang dia sebut "relasional" daripada "substansial" atau
pendekatan kategoris untuk konsepsi kelas sosial. Dia menyangkal keberadaan kelas, dalam
dirinya sendiri, tetapi berpendapat bahwa perbedaan dalam ruang sosial terus-menerus
diberlakukan; maka "kelas" adalah relasional. Bourdieu bertanya, haruskah kita “menerima atau
menegaskan keberadaan kelas? Tidak. Kelas sosial tidak ada. . . . Apa yang ada adalah ruang
sosial, ruang perbedaan, di mana kelas ada dalam beberapa pengertian dalam keadaan virtual,
bukan sebagai sesuatu yang diberikan tetapi sebagai sesuatu yang harus dilakukan” (1998, hlm.
12). Ruang sosial adalah "realitas tak terlihat yang tidak dapat ditampilkan tetapi yang mengatur
praktik dan representasi agen" (1998, hlm. 10). Praktik dan representasi yang diatur oleh kelas
sosial membangun jarak atau kedekatan antara siswa dan guru dan bekerja melalui interaksi
guru-siswa untuk membedakan pengalaman siswa, seperti yang akan dilihat nanti.

Konsepsi Bourdieu sangat cocok dengan teori sosiokultural karena ia mengembangkan teori
tindakan dan berfokus pada analisis praktik. Fokusnya pada perbedaan yang berlaku, daripada
dilihat sebagai karakteristik kelompok statis, sangat relevan dengan dinamika kelas di sekolah.
Meskipun tulisannya padat dan kompleks, Bourdieu menyatakan bahwa perspektifnya dapat
“diringkas dalam sejumlah kecil konsep dasar – habitus, bidang, modal – dan landasannya
adalah hubungan dua arah antara struktur objektif (yang bidang sosial) dan struktur yang
tergabung (yang berasal dari habitus)” (Bourdieu, 1998, hlm. vii). Ruang sosial dipahami sebagai
semacam lapangan, mendistribusikan dan membedakan individu dengan “modal ekonomi dan
modal budaya. Oleh karena itu semua agen ditempatkan di ruang ini sedemikian rupa sehingga
semakin dekat mereka satu sama lain dalam dua dimensi itu, semakin mereka memiliki
kesamaan; dan semakin jauh mereka satu sama lain, semakin sedikit kesamaan yang mereka
miliki” (1998, hlm. 6). Habitus mewakili perwujudan atau penggabungan dari struktur relasional
ini. Ini adalah:

prinsip generatif yang menerjemahkan kembali karakteristik intrinsik dan relasional dari suatu
posisi [dalam ruang sosial] ke dalam gaya hidup kesatuan, yaitu, satu set pilihan orang, barang,
praktik. . . . [Apa] yang dimakan pekerja, dan terutama cara dia memakannya, olahraga yang
dipraktikkan, dan cara dia mempraktikkannya. . . . Tetapi poin penting adalah bahwa, ketika dilihat
melalui kategori persepsi sosial ini, prinsip-prinsip visi dan pembagian ini, perbedaan dalam
praktik, dalam barang yang dimiliki, atau dalam pendapat yang diungkapkan menjadi perbedaan
simbolis dan merupakan bahasa yang sesungguhnya. (1998, hlm. 8; penekanan ditambahkan)

106 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Inilah kunci analisis budaya sekolah: Struktur diferensiasi dan persepsi membentuk bahasa yang
dibaca dan dipahami semua orang, meskipun di luar kesadaran. Pembacaan semacam itu
berfungsi sebagai apa yang disebut Bourdieu sebagai “logika kekerasan simbolik . . . yang
menurutnya gaya hidup yang didominasi hampir selalu dirasakan, bahkan oleh mereka yang
menjalaninya, dari sudut pandang destruktif dan reduktif dari estetika dominan” (1998, hlm. 9).
Ketika struktur diferensiasi ini beroperasi (seperti yang mereka miliki secara kultural dan historis),
mereka menghasilkan mekanisme pemilahan di sekolah. Gaya hidup dominan, dengan cara ini,
memberlakukan “logika” kekerasan simbolik. Meskipun kekerasan simbolik mungkin tampak
sebagai istilah yang dilebih-lebihkan atau terlalu dramatis, ia memiliki arti yang nyata dan spesifik
dan digunakan untuk mendenaturasi, untuk menentukan objektivitas melalui evaluasi yang
membedakan peluang (misalnya, hierarki yang tidak diragukan dari "kemampuan" tinggi dan
rendah yang dihasilkan melalui identifikasi. dialek atau dengan pengujian). Penting untuk dicatat
bahwa cara kerja budaya dari estetika dominan di sekolah sebagian besar tidak terlihat, tampak
“alami”, dan tidak untuk dipahami sebagai tindakan jahat yang dilakukan oleh para pendidik.
Sebaliknya, logika kekerasan simbolik adalah bagian dari budaya out-of-awareness yang ingin
diperlihatkan oleh analisis. Seperti yang disarankan Cole, praktik yang kita pelajari perlu
ditempatkan di bidang sosial yang lebih besar daripada yang sering terjadi dalam analisis
aktivitas kita yang relatif mikro. Konsep Bourdieu tentang bidang, habitus, dan modal dapat
membantu melakukan itu, dalam hubungannya dengan konsep budaya yang mencari penyatuan
materi, ideal, praktik, subjektivitas, dan agensi.

STUDI ETNOGRAFI TENTANG PERBEDAAN KELAS SOSIAL DI SEKOLAH

Sejumlah penelitian oleh peneliti etnografi telah berfokus pada masalah kelas sosial sebagai
faktor di sekolah dan ruang kelas, dan banyak di antaranya penting di sini. Contoh dapat dikutip
menangani semua usia populasi pelajar, dari prasekolah sampai perguruan tinggi; menangani
berbagai pengaturan sekolah, perkotaan, pinggiran kota, dan pedesaan; mempertimbangkan
semua wilayah; dan mencakup banyak subkelompok di berbagai identitas etnis, budaya, dan ras.
Daripada mencoba untuk mensurvei literatur ini, kita memilih untuk memeriksa beberapa studi
kunci secara mendalam. Studi-studi yang dipilih di sini menyajikan karya penting dan
mengungkap, tetapi temuan masing-masing dapat dijelaskan secara lebih mendalam melalui
penerapan teori-teori yang baru saja dirangkum. Lebih jauh lagi, penerapan teori-teori ini pada

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 107


beberapa studi klasik menggambarkan bagaimana teori sosiokultural dapat diartikulasikan
dengan studi sosiologis dan antropologis tentang cara kerja kelas sosial di sekolah.

kita akan mulai dengan pertimbangan dua studi yang meneliti anak-anak di tahun-tahun awal
sekolah umum. Satu studi meneliti kelas sosial di sekolah di mana semua siswa dan personel
dewasa berkulit hitam; studi lain membandingkan ruang kelas di dua sekolah dalam komunitas
yang pada dasarnya semua berkulit putih. Kesamaan dalam temuan di kedua studi membantu
untuk memperjelas relevansi perbedaan kelas sosial untuk sekolah. Studi pertama yang
dipertimbangkan dilakukan oleh Ray Rist. Meskipun Rist melakukan penelitian lebih dari 30 tahun
yang lalu, pengaruhnya telah bertahan lama, dan pada tahun 2000 artikel tersebut diterbitkan
ulang di Harvard Education Review sebagai "klasik" karena relevansinya yang berkelanjutan.
Lokasi penelitian Rist adalah “sekolah ghetto perkotaan” di mana “semua administrator, guru,
staf, dan murid berkulit hitam” (1970/2000, hlm. 271) dan lebih dari separuh siswa memiliki
keluarga yang sedang menerima bantuan ekonomi. Tempat belajar dan guru dianggap “sama
baiknya dengan yang ada di kota” (hal. 271). Secara signifikan, Rist menemukan bahwa
perbedaan kelas secara luas tercermin dalam perlakuan orang dewasa terhadap siswa.

Rist mengidentifikasi pola mendalam yang terbentuk sebelum akhir minggu kedua taman kanak-
kanak dan tampaknya menentukan sekolah anak-anak sejak saat itu dan seterusnya. Pada hari
kedelapan taman kanak-kanak, guru menempatkan anak-anak ke dalam tiga kelompok
membaca yang dianggapnya sebagai kemampuan refleksi. Penempatan didasarkan pada tidak
ada pengujian, karena tidak ada yang dilakukan. Dalam upaya untuk menjelaskan cara
penempatan dibuat, Rist mengidentifikasi semua sumber informasi yang tersedia bagi guru.
Sebelum awal sekolah, guru memiliki informasi tentang setiap anak dari formulir pendaftaran
orang tua (seperti apakah anak pernah bersekolah di prasekolah), dari pekerja sosial (apakah
keluarga menerima bantuan, seperti yang dilakukan 55% dari populasi sekolah) , dan dari guru
lain (seperti apakah kakaknya adalah "pembuat onar"). Begitu sekolah dimulai, guru tampaknya
mulai menyukai anak-anak yang mengenakan pakaian yang lebih baru dan lebih bersih dan
berbicara dalam dialek yang mirip dengan standar. Bahkan lebih cepat daripada anak-anak
ditempatkan dalam tiga kelompok berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah, Rist
memperhatikan bahwa kelompok yang disukai telah muncul – mereka yang dipanggil guru untuk
memimpin kegiatan dan menjawab pertanyaan dan yang kemudian semuanya muncul di
kelompok tinggi. Ini adalah logika kekerasan simbolik yang dirujuk oleh Bourdieu, yang
mencerminkan cara kerja ruang sosial dan keterpencilan dan kedekatan agen dan

108 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


mengungkapkan cara hierarki ekonomi hubungan sosial diberlakukan di kelas. Kesamaan yang
dapat diidentifikasi dalam kelompok tinggi adalah materi dan identifikasi kelas: Anak-anak
mengenakan pakaian yang lebih baru dan lebih bersih, dan dialek bahasa Inggris mereka
mendekati standar kelas menengah.

Seiring waktu, Rist menemukan beberapa tingkat di mana kekerasan simbolik diwujudkan sejalan
dengan struktur guru dari tiga kelompok peringkat dan menghasilkan ekonomi di kelas yang
mewakili hirarki hak istimewa yang kuat di dalam kelas. Guru memberikan waktu dan
perhatiannya kepada siswa "kelompok tinggi" Tabel 1 dan semua mengabaikan siswa di Tabel 2
dan 3 selama pengajaran. Ketika guru mengarahkan perhatiannya ke Tabel 2 dan 3, dia
menyampaikan pesan negatif kepada siswa; Tabel 1 tidak pernah menerima pesan negatif. Baik
siswa kelompok tinggi maupun kelompok bawah menginternalisasi norma nilai dan hak istimewa
dengan memperlakukan satu sama lain sesuai dengan seperangkat nilai bersama: Siswa
kelompok tinggi Tabel 1 menganiaya siswa Tabel 2 dan 3, baik secara fisik maupun verbal. Siswa
Tabel 2 dan Tabel 3 juga saling menganiaya – tetapi tidak pernah siswa Tabel 1.

Rist menjelaskan perilaku guru dalam istilah "kelompok referensi normatif," di mana dia akan
mengidentifikasi siswa individu yang memiliki karakteristik yang dikaitkan dengan menjadi yang
paling seperti kelompok kelas menengah nya sendiri yang sukses secara akademis, dan paling
tidak mirip dengan kelas menengah yang kurang berhasil. siswa istimewa. Gagasan Bourdieu
tentang bidang sosial, habitus, dan modal dapat memberikan lebih banyak kekhususan pada
temuan: Guru tampaknya menyukai siswa yang berlokasi serupa dengannya di bidang sosial,
menampilkan habitus yang mencerminkan modal budaya dan ekonomi yang serupa. Habitus
siswa meliputi “berasal dari keluarga yang berpendidikan [sampai SMA], bekerja, tinggal
bersama. . . . menunjukkan kemudahan interaksi di antara orang dewasa; tingkat verbalisasi yang
tinggi dalam Bahasa Inggris Amerika Standar; kemampuan untuk menjadi seorang pemimpin;
penampilan yang rapi dan bersih. . . dan kemampuan untuk berpartisipasi dengan baik sebagai
anggota kelompok” (Rist, 1970/2000, hlm. 276). Rist menemukan pola hubungan sosial yang
serupa antara guru dan siswa dan antara pengelompokan anak-anak ketika dia mengikuti anak-
anak ke Kelas 2 dan 3. Secara khusus, dia menemukan ketidakpuasan yang meningkat dari
aktivitas kelas di antara siswa Tabel 2 dan 3, yang dimanifestasikan baik sebagai "bertindak
keluar” melalui perlawanan verbal dan perilaku terhadap pekerjaan sekolah atau sebagai sikap
apatis dalam bentuk pekerjaan yang tidak dilakukan.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 109


Melihat temuan Rist melalui lensa Ratner (2000) lima dimensi budaya menyoroti potensi
pembentukan habitus diferensial dalam pengalaman sekolah itu sendiri. Temuan Rist
menunjukkan bahwa pengalaman hidup sekolah anak-anak kelompok bawah berbeda secara
substansial dari mereka yang berada di kelompok istimewa dalam hal kelima dimensi budaya
yang diidentifikasi oleh Ratner: (a) guru melibatkan anak-anak kelompok tinggi dalam hal yang
lebih bergengsi. kegiatan budaya, dan kegiatan ini menawarkan kesempatan yang lebih besar
untuk pembelajaran akademis; (b) guru memberkahi kelompok dengan nilai-nilai yang berbeda
melalui penggunaan pesan verbal dan nonverbal sehingga identitas sub kelompok nilai sosial
tinggi dan rendah ditetapkan; (c) nilai yang lebih rendah dikaitkan dengan kondisi fisik meja dan
lokasi, karena meja kelompok bawah lebih jauh dari guru dan papan tulis, tidak terlihat oleh
keduanya, dan lebih ramai; (d) pengalaman emosional dan motivasi penolakan versus keinginan
membangun psikologi kelas yang berbeda; (e) kelompok-kelompok yang berbeda tampaknya
mencerminkan konstruksi agensi yang berbeda, karena anak-anak istimewa menyesuaikan diri
dengan nilai-nilai guru dan sekolah, sedangkan anak-anak kelompok bawah yang distigmatisasi
melakukan perlawanan aktif atau pasif dalam bentuk perilaku oposisi atau pelepasan. Seiring
waktu, perkembangan “watak tahan lama” atau habitus yang semakin berbeda tampaknya sangat
mungkin terjadi, dengan potensi berkurangnya peluang bagi sebagian orang dan berkurangnya
kemanusiaan untuk semua.

Intinya di sini, kemudian, bukan hanya untuk meninjau kembali literatur tentang pengaruh
ekspektasi guru yang berbeda. Sebaliknya, diskusi ini berusaha menjelaskan sekolah anak-anak
berpenghasilan rendah sebagai kegiatan budaya dengan hubungan sosial yang khas karena
karakter kegiatan tersebut dan hubungan semacam itu sangat penting bagi perkembangan anak-
anak sebagai peserta didik, perkembangan kebiasaan peserta didik mereka dan hubungan
tersebut. identitas sekolah, yang secara kuat dapat memediasi pembelajaran anak. Jika
demikian, dimensi-dimensi ini penting dalam konstruksi teori pembelajaran sosiokultural.

Studi penting kedua tentang kelas sosial sebagai faktor dalam sekolah awal dilakukan oleh
Kathleen Wilcox (1988). Tidak seperti Rist, Wilcox mempelajari ruang kelas di dua sekolah
selama 1 tahun dalam desain perbandingan terkontrol. Dia juga menggunakan observasi
etnografi, di sini, di dua ruang kelas kelas satu di distrik yang sama, satu di sekolah lingkungan
kelas menengah atas (UMC), yang lain di kelas menengah bawah (LMC). Baik guru dan hampir
semua anak berkulit putih. Temuan Wilcox sangat mirip dengan Rist (dengan guru dan anak-
anak Afrika-Amerika), dan tidak ada temuan yang berbeda antara kedua penelitian. Wilcox,

110 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


bagaimanapun, mengungkap dimensi lebih lanjut dari ekspektasi dan perlakuan yang berbeda.
Ingatlah bahwa Rist menemukan lebih banyak perilaku mengendalikan yang ditujukan kepada
anak-anak dari latar belakang yang kurang istimewa. Terkait, Wilcox menemukan perbedaan
kualitatif dalam cara guru secara verbal mengontrol anak-anak dengan status lebih tinggi (UMC)
dan lebih rendah (LMC). Dia mengidentifikasi bahasa "kontrol eksternal" dan bahasa "kontrol
internal". Dalam kontrol eksternal, guru hanya mengarahkan anak atau anak-anak, misalnya, “kita
ingin itu selesai sekarang” atau “Kamu punya tugas; duduk dan sibuk lah” (Wilcox, 1988, hlm.
288). Dalam bahasa pengendalian internal, guru menekankan internalisasi tanggung jawab anak-
anak, seperti dalam "Apakah perilaku buruk ini akan membantu Anda menjadi pembaca yang
lebih baik?" atau “Bersikap adil pada diri sendiri; gunakan waktu Anda dengan bijak untuk
membantu Anda menjadi pembaca yang lebih baik” (Wilcox, 1988, hlm. 290). Wilcox menemukan
perbedaan mencolok dalam distribusi penggunaan strategi internal dan eksternal guru dan pesan
kontrol:

Ruang kelas UMC 39% Strategi internal 59% Pesan internal

Kelas LMC 9% Strategi internal 10% Pesan internal

Untuk menentukan apakah perbedaan tersebut hanya mencerminkan variasi guru individu,
Wilcox juga memisahkan setiap kelas menjadi bagian atas dan bawah pembaca, dengan hasil
sebagai berikut:

Anak-anak di bagian atas kelompok membaca di kedua kelas menerima secara signifikan lebih
banyak pesan internal daripada anak-anak di bagian bawah kelompok membaca di dua ruang
kelas (p = .005). Mereka juga menerima lebih banyak pesan akademik internal (p = 0,046).
Dengan demikian, pendekatan internal, khususnya yang berkaitan dengan interaksi akademik,
diasosiasikan di kedua kelas dengan anak-anak yang dianggap memiliki tingkat kemampuan
tertinggi dan potensi masa depan. (hal. 290–291)

Selain itu, Wilcox menemukan bahwa anak-anak berstatus lebih tinggi diberi lebih banyak
kesempatan untuk mengembangkan apa yang dia sebut "keterampilan presentasi diri" seperti
berbicara dan mempresentasikan di depan kelompok dan bahwa mereka menerima banyak
bimbingan dan pujian untuk melakukannya. Anak-anak berstatus lebih tinggi juga diberi fokus
yang cukup besar pada masa depan, "Anda akan menjadi apa dan karena itu perlu
mempersiapkan diri." Guru dari anak-anak berstatus lebih tinggi menyuarakan harapannya

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 111


delapan kali lebih sering tentang masa depan mereka dan menekankan kuliah, sedangkan guru
dari anak-anak berstatus lebih rendah tidak pernah diamati mengacu pada perguruan tinggi.
Tentang guru anak-anak LMC, Wilcox menulis, “Karakteristik paling luar biasa dari pendekatan
Mrs. Jones terhadap masa depan anak-anak di kelasnya adalah bahwa dia hampir
mengabaikannya” (hal. 295).

Wilcox memberikan perhatian yang cukup besar untuk mencoba menempatkan pola perbedaan
yang diidentifikasi ke dalam konteks sosiokultural yang lebih besar untuk menjelaskan
temuannya yang mengganggu. Dia tidak menemukan bukti bahwa bentuk-bentuk perlakuan yang
berbeda terjadi sebagai respons terhadap cara anak-anak bertindak; Sebaliknya, mereka
diprakarsai oleh personel sekolah. Wilcox menulis “Wawancara dengan guru sendiri memperjelas
bahwa mereka merasa bahwa mereka mengizinkan dan mendorong setiap anak untuk
berkembang dan maju sejauh yang masing-masing mampu; mereka akan terkejut dengan
tuduhan perlakuan berbeda berdasarkan kelas sosial” (hal. 295).

Apa yang Wilcox temukan adalah keterputusan antara komitmen umum terhadap kesetaraan dan
keyakinan khusus tentang keluarga dan kehidupan rumah anak-anak di sekolah pada tingkat staf
sekolah, staf distrik, dan aparat pendidikan negara bagian. Di tingkat sekolah, ia menyimpulkan
bahwa “tingkat kelas sosial lingkungan adalah karakteristik yang sangat menonjol di benak staf
di kedua sekolah. Ini menghasilkan tingkat harapan umum untuk anak-anak di setiap lingkungan
yang dapat dilihat mempengaruhi perilaku guru di kelas” (Wilcox, 1988, hal. 298). Perbedaan-
perbedaan ini tampaknya memiliki “konsekuensi yang sangat berbeda dalam hal reaksi staf
terhadap masalah belajar individu di pihak masing-masing anak” (ibid.). Seorang anak UMC yang
memiliki masalah belajar, misalnya, akan menerima berbagai bentuk bantuan sampai masalah
tersebut diselesaikan, sedangkan seorang anak LMC tidak akan menerima bantuan karena
masalah itu dipandang sebagai "yang diharapkan".

Temuan Wilcox di tingkat kabupaten dan negara bagian mencerminkan pola analog dari
ekspektasi diferensial yang terkait dengan kelas sosial.2 Wilcox menyimpulkan, “Yang paling
signifikan adalah fakta bahwa semua faktor yang digunakan untuk menentukan tingkat harapan
adalah faktor di luar dinding kelas. Implikasinya adalah, tak terhindarkan, bahwa yang benar-
benar penting dalam hal pencapaian adalah karakteristik yang dibawa anak dari rumah daripada
apa yang terjadi di sekolah” (hlm. 299–300). Pada akhirnya, bagaimanapun, Wilcox tidak
mendakwa personel individu di semua tingkat sistem pendidikan, tetapi sebaliknya menyarankan

112 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


bahwa "tenaga kependidikan yang diamati dalam penelitian ini berperilaku tidak berbeda dari
yang bisa diharapkan makhluk budaya mana pun untuk berperilaku dalam situasi tersebut"
(Wilcox, 1988, hal.302).

Kesimpulan Wilcox menghadirkan tantangan signifikan terhadap inovasi pendidikan yang hanya
ditujukan pada tingkat pembelajaran dan pengajaran:

Temuan penelitian menunjukkan bahwa banyak reformasi pendidikan populer cenderung hanya
untuk mengatur ulang tampilan interaksi kelas, meninggalkan substansi dari apa yang terjadi di
kelas sebagian besar tidak tersentuh. Ini karena reformasi dikonseptualisasikan dan
diperkenalkan dengan sedikit pemahaman tentang pengaruh budaya yang kuat di tempat kerja
di kelas. (Wilcox, 1988, hlm. 303)

Menggunakan lima dimensi Ratner lagi, seperti studi Rist, ada cara signifikan yang ditambahkan
temuan Wilcox untuk mengkonseptualisasikan produksi budaya dari habitus siswa. Fokus
diferensiasi pada strategi internal dan frekuensi diferensial pesan internal merupakan aktivitas
budaya dan nilai budaya tertentu (a dan b); ini, pada gilirannya, berkontribusi pada diferensiasi
dalam psikologi, khususnya motivasi (d), dan menghasilkan perbedaan yang signifikan dalam
rasa keagenan siswa (e). Demikian pula, akses diferensial ke aktivitas presentasi diri (a)
berkontribusi pada perkembangan diferensial bahasa, memori, dan proses kognitif terkait (d),
serta rasa agensi (e).

Penyelidikan akhir kelas satu kelas yang akan dibahas memperluas pentingnya hubungan
diferensial dengan konten kurikuler tertentu. James Collins (1986) menyelidiki cara di mana pola
perlakuan diferensial seperti yang diidentifikasi oleh Rist dan Wilcox diterjemahkan ke dalam
instruksi diferensial dalam kelompok membaca. Collins memeriksa pelajaran membaca kelas
satu dalam kelompok tinggi dan rendah di kelas yang sama, yang dilakukan oleh guru senior dan
ajudan guru reguler, sepanjang tahun ajaran. Kelas dibagi menjadi empat kelompok membaca,
dianggap rendah (1), sedang (2), tinggi (3), dan ekstra tinggi (4); Collins membandingkan
kelompok 1 dan 3, kelompok rendah dan kelompok tinggi. "Pembaca kelompok tinggi berasal
dari keluarga profesional kulit putih, pembaca kelompok rendah dari keluarga kelas pekerja kulit
hitam" (Collins, 1986, hlm. 122). Mengacu pada kontras antara kelompok, Collins menulis,
"Karena kedua kelompok itu homogen dalam hal kelompok etnis dan keanggotaan kelas sosial

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 113


... kita dapat mengharapkan kontras maksimal dalam gaya bicara berbasis komunitas dan dalam
hal-hal seperti harapan guru implisit" (ibid).

Temuan Collins mengikuti pola yang mirip dengan yang diidentifikasi oleh Rist dan Wilcox. Dia
merangkum temuannya sebagai berikut:

Perbandingan kelompok mengungkapkan struktur dua tingkat perlakuan diferensial. Pada satu
tingkat, yang lebih umum dari jumlah waktu yang dihabiskan di berbagai jenis kegiatan
instruksional, pembaca kelompok rendah diberi latihan identifikasi kata-suara yang ekstensif,
dengan sedikit perhatian yang diberikan pada kebermaknaan tugas membaca, sementara
mereka yang tinggi rekan kelompok diberikan lebih banyak latihan dalam membaca bagian dan
menjawab pertanyaan tentang materi yang sedang dibaca. Di tingkat lain, bahwa prosedur
instruksional khusus, koreksi kesalahan membaca lisan untuk pembaca kelompok rendah
berfokus pada korespondensi grafem-fonem dan pengenalan kata, sedangkan koreksi untuk
pembaca kelompok tinggi lebih fokus pada semantik dan pragmatik pemahaman teks – disingkat
artinya. (Collins, 1986, hlm. 122–123)

Collins mengembangkan analisis yang lebih halus dari pelajaran yang ditranskripsikan dari
kelompok-kelompok kecil daripada yang dapat disajikan sepenuhnya di sini. Signifikansi khusus
untuk diskusi ini adalah bahwa proses interaksi pertukaran guru-siswa dalam kelompok-
kelompok kecil mengarah pada dua konsepsi yang berbeda tentang apa yang dianggap sebagai
membaca yang dipelajari oleh dua kelompok siswa. Dengan memeriksa fitur-fitur seperti jeda,
titik interupsi, dan intonasi, Collins menunjukkan bahwa para guru merespons secara berbeda
terhadap kesalahan yang setara dalam dua kelompok: “Banyak contoh yang diambil dari seluruh
kumpulan enam belas pelajaran telah menunjukkan bahwa kesalahan yang identik mendorong
baik koreksi yang berfokus pada decoding atau yang berfokus pada pemahaman” (Collins, 1986,
hlm. 129). Artinya, tanggapan guru berbeda belum tentu karena anak memiliki keterampilan yang
berbeda; sebaliknya, mereka berbeda bahkan ketika anak-anak dalam kelompok yang berbeda
membuat kesalahan yang sama. Temuan ini mengklarifikasi dimensi lain dari cara kerja ruang
sosial karena “mengatur praktik agen,” seperti yang disarankan oleh Bourdieu. “Kesalahan”
akademik yang sama diinterpretasikan secara berbeda, tergantung pada posisi relatif dalam
ruang sosial; tindakan yang lebih jauh secara spasial dimaknai sebagai kurang bermakna dan

114 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


kurang terampil. Temuan tersebut menimbulkan pertanyaan apakah jawaban "benar" yang sama
juga dapat ditafsirkan secara berbeda, tergantung pada lokasi sosial.

Seperti temuan Rist dan Wilcox, studi Collins juga menyarankan diferensiasi dalam beberapa
dimensi budaya yang ditentukan dalam model Ratner: aktivitas instruksional yang berbeda (a)
merupakan cara membaca yang berbeda sebagai proses psikologis linguistik dan kognitif (d);
perbedaan konten spesifik dari tugas mekanis versus tugas bermakna juga membawa implikasi
bagi perbedaan nilai dan makna yang dipelajari siswa untuk diberikan membaca (b), serta untuk
konstruksi diferensial motivasi dan perasaan tentang membaca (juga d), dan rasa agensi dalam
kaitannya dengan membaca (e).

Seperti Wilcox, Collins (1986) berhati-hati untuk mencatat bahwa analisisnya

Namun, tidak boleh ditafsirkan sebagai kutukan terhadap guru secara individu. Ketika kita
mempelajari interaksi percakapan dalam situasi multi-etnis kita mencari efek dari kebiasaan tidak
sadar mengatur pembicaraan (prosodic, leksikal, sintaksis) pada interaksi berlangsung. Tetapi
seorang partisipan, sebagai aktor yang hadir dalam situasi tersebut, baik sebagai guru atau
siswa, tidak dapat diharapkan untuk menggunakan perspektif analis yang terpisah. Sebaliknya,
dia sibuk dalam proses menilai dan menanggapi kontribusi orang lain. (hal. 129)

Referensi untuk "kebiasaan bawah sadar" yang ditawarkan Collins mengingatkan pernyataan
Bourdieu tentang berfungsinya bidang sosial. Persepsi guru yang dibentuk secara sosial
terhadap siswa yang diposisikan paling jauh dari mereka memberlakukan logika kekerasan
simbolik karena siswa diberi kesempatan yang lebih kecil untuk belajar melalui instruksi
diferensial dan pembeda, serta interaksi diferensial dan pembeda.

Secara keseluruhan, studi Collins, Wilcox, dan Rist semuanya menunjukkan bahwa proses
ekspektasi yang berbeda dan perlakuan yang berbeda dari pembelajar berpenghasilan rendah
sama-sama di luar kesadaran personel pendidikan di semua dimensi yang diamati oleh para
peneliti dan, di waktu yang sama, integral dengan proses budaya sekolah di masyarakat AS.3
Temuan dari tiga studi sangat menyarankan bahwa perlakuan berbeda dalam proses sekolah itu
sendiri adalah sangat penting untuk pengembangan rasa identitas pelajar dan lembaga. Jika
seseorang menerima bahwa seorang anak tidak memulai sekolah formal dengan "kebiasaan
siswa" yang terbentuk sepenuhnya, maka penting untuk menyadari bahwa sekolah bukanlah
"ruang kosong" dalam produksi rasa diri anak sebagai dirinya sendiri. pelajar dan perasaannya

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 115


tentang apa praktik dan proses sekolah itu. Guru dan tenaga kependidikan lainnya di semua
tingkatan bekerja dengan disposisi sosial dan budaya mereka sendiri, habitus mereka sangat
berkembang selama bertahun-tahun pengalaman hidup dalam masyarakat bertingkat dan
stratifikasi. Refleksi yang cukup diperlukan untuk meng denaturalisasi subjektivitas yang
dihasilkan sehingga subjektivitas tersebut dapat diubah dan bahwa hubungan pembelajaran
untuk siswa berpenghasilan rendah dapat diubah, pada gilirannya.

DISKUSI

Tiga studi yang ditinjau semuanya meneliti pengalaman sekolah paling awal dari pelajar
berpenghasilan rendah. Bagaimana pengalaman hidup para siswa dalam studi ini dapat
diekstrapolasikan selama rentang panjang 12 tahun sekolah? Hukum umum perkembangan
budaya Vygotsky menawarkan cara untuk mendekati pertanyaan ini:

Setiap fungsi dalam perkembangan budaya anak muncul dua kali, atau pada dua bidang.
Pertama muncul di bidang sosial, dan kemudian di bidang psikologis. Pertama ia muncul di antara
orang-orang sebagai kategori interpsikologis, dan kemudian di dalam diri anak sebagai kategori
interpsikologis. . . . Tidak perlu dikatakan bahwa internalisasi mengubah proses itu sendiri dan
mengubah struktur dan fungsinya. Hubungan sosial atau hubungan di antara orang-orang secara
genetik mendasari semua fungsi yang lebih tinggi dan hubungan mereka. (Vygotsky, 1981, hlm.
163)

Tiga studi membantu untuk menyarankan bagaimana "perkembangan budaya" anak-anak


dibedakan dalam proses sekolah. Demikian pula, konsep Habitus Bourdieu melengkapi gagasan
Vygotsky. Habitusnya adalah ”sistem yang bertahan lama . . . disposisi yang, mengintegrasikan
pengalaman masa lalu, berfungsi setiap saat sebagai matriks persepsi, apresiasi, dan tindakan”
(Bourdieu, 1977, hlm. 82). Ini adalah "alam yang dibuat oleh sejarah" (1977, hlm. 78). Habitus
adalah “sejarah yang diwujudkan, diinternalisasikan sebagai sifat kedua dan dilupakan sebagai
sejarah. . . kehadiran aktif dari seluruh masa lalu yang merupakan produknya” (Bourdieu, 1990,
hlm. 56, penekanan ditambahkan). Vygotsky dan Bourdieu menjelaskan fenomena yang sama
pada tingkat fokus masing-masing, psikologis dan sosiologis. Jadi, misalnya, Collins menemukan
pembaca kelompok rendah dan tinggi membuat kesalahan membaca lisan yang sama, tetapi
yang satu dikoreksi dengan fakta penguraian kode dan yang lainnya dikoreksi dengan strategi
pembuatan makna. Bagi yang pertama, membaca dialami sebagai aktivitas membuat

116 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


korespondensi simbol-suara; untuk yang terakhir ini adalah kegiatan membuat makna dari teks
tercetak. Studi tentang remaja yang bukan pembaca atau pembaca yang buruk mendukung
saran bahwa instruksi membaca mereka tidak terfokus pada pembuatan makna dan mereka
belum mengenal membaca sebagai aktivitas yang bermakna dan menarik (misalnya, lihat
Mueller, 2001).

Jika pengalaman siswa secara konsisten terpola seperti yang disarankan oleh studi Rist, Wilcox,
dan Collins, pertimbangkan bagaimana sejarah sekolah dapat menjadi kebiasaan. Bagaimana
perbedaan “interpsikologis” pengalaman siswa membangun kebiasaan dan identitas siswa “intra
psikologis” yang berbeda? Mengacu sekali lagi pada dimensi budaya Ratner (2000), aktivitas
budaya yang sedang berlangsung (a) sekolah adalah pengalaman hidup kegagalan dan
penolakan yang signifikan bagi beberapa orang, tetapi salah satu keberhasilan dan penegasan
bagi orang lain. Bagi beberapa anak, sekolah dan literasi diberkahi dengan makna dan nilai positif
dan diinginkan (b), sedangkan bagi yang lain mereka diberkahi dengan makna dan nilai negatif
dan permusuhan atau setidaknya kegiatan yang membosankan dan tidak bermakna. Beberapa
anak di sekolah memiliki akses ke artefak berharga (c) seperti "meja tinggi" dan "buku tinggi",
dan yang lain menerima artefak dan penempatan yang kurang bernilai. Untuk beberapa anak,
pengalaman hidup sekolah membangun fenomena psikologis (d) emosi negatif dan motivasi
terhadap sekolah dan membatasi akses ke pengalaman yang dapat mendorong perkembangan
bahasa, memori, penalaran logis dan kecerdasan; sebaliknya, bagi orang lain, sekolah adalah
aktivitas yang mendorong produksi dan distribusi fenomena positif dan proses kognitif yang
sangat berkembang. Akhirnya, beberapa anak mengembangkan rasa agensi yang kuat dan
positif (e) dalam aktivitas sekolah, sedangkan yang lain melihat diri mereka sebagai agen
pembelajaran yang lemah dan tidak mampu atau agensi nyata dalam bentuk penolakan terhadap
aktivitas sekolah, baik secara aktif sebagai perilaku oposisi atau secara pasif sebagai
ketidaktertarikan. Saran, kemudian, adalah bahwa hubungan siswa-guru pembelajaran yang
berbeda secara luas dalam hal makna, nilai, kegiatan, artefak, agensi, dan perasaan
berkontribusi pada produksi identitas siswa yang berbeda.

Apa yang bisa dibayangkan bagi siswa seperti mereka yang belajar di Rist, Wilcox, dan Collins
ketika mereka sampai di sekolah menengah? Partisipasi sekolah seperti apa yang diharapkan
setelah 8 tahun hubungan sekolah yang tidak menguntungkan? Banyak penelitian tentang siswa
berpenghasilan rendah di sekolah menengah mendukung hipotesis identitas siswa yang
“menolak sekolah” (misalnya, Everhart, 1983; McLeod, 1987; Weis, 1985). Dalam sebuah studi

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 117


siswa sekolah menengah kelas pekerja, Weis (1990) menemukan kesamaan di seluruh studi
siswa menengah berpenghasilan rendah. Secara khusus, ada “penolakan yang sering terbuka
dan terkadang terselubung terhadap makna dan budaya sekolah. Ada upaya dari kalangan
pemuda kelas pekerja untuk mengukir ruang mereka sendiri di dalam institusi – ruang yang
kemudian dapat diisi dengan makna mereka sendiri yang pada dasarnya anti sekolah” (Weis,
1990, hlm. 18). Ironisnya, Weis menemukan bahwa industrialisasi dan hilangnya pekerjaan
bergaji tinggi telah menyebabkan siswa bercita-cita ke pendidikan tinggi. Tapi, bertentangan
dengan aspirasi eksplisit mereka, tindakan siswa mendustakan penilaian negatif dari
pembelajaran akademik dan disposisi. Siswa telah belajar untuk melihat sekolah hanya sebagai
pekerjaan yang harus diselesaikan, yang kemudian diterjemahkan sebagai "tiket" untuk
pekerjaan yang lebih baik. Sebagai siswa yang secara efektif telah menjadi “orang luar” bagi
keberhasilan pendidikan, mereka tidak melihat nilai substantif dalam sekolah itu sendiri. Dalam
pengertian ini, “lulus” mata kuliah dianggap cukup untuk melanjutkan ke perguruan tinggi, tetapi
tentu saja pandangan seperti itu berujung pada kegagalan di kemudian hari ketika mereka masuk
perguruan tinggi. Tidak mengherankan, siswa kelas pekerja tidak memiliki akses ke pengetahuan
budaya – dalam bahasa Bourdieu, “modal budaya” – untuk memahami bagaimana pendidikan
tinggi sebenarnya “bekerja”.

Interpretasi dari temuan Weis adalah bahwa identitas sekolah yang dihasilkan melalui
pengalaman bawahan selama bertahun-tahun tidak mudah diubah untuk mendukung aspirasi
yang diadopsi terlambat. Sebuah sejarah panjang menghasilkan "sifat kedua" yang mendalam
yang membutuhkan hubungan sosial yang berbeda secara substansial untuk mencapai
transformasi: Proses interpsikologis baru dapat dihasilkan dengan baik melalui proses
interpsikologis yang berbeda. Transformasi seperti itu sulit dan tidak mungkin, meskipun bukan
tidak mungkin (misalnya, lihat Rose, 1989). Beberapa penulis, bagaimanapun, mengidentifikasi
keluarga dan komunitas sebagai sumber dari jenis kesamaan yang diidentifikasi oleh Weis dan
lainnya, yang mencerminkan "mentalitas lantai toko" yang tersedia dalam keluarga dan
komunitas kelas pekerja. Meskipun sumber pengaruh seperti itu tidak dapat diabaikan, bukti
tandingan yang meyakinkan telah ditemukan dalam studi kelas jalur rendah di sekolah menengah
yang sangat makmur, di mana siswa non-kelas pekerja menunjukkan identitas sekolah yang
sama dan tersubordinasi. Sebagai contoh, Page (1987) mempelajari kelas-kelas “tidak resmi
dengan jalur rendah” di “sekolah menengah impian”. Para siswa di kelas yang dipelajari oleh
Page sebagian besar adalah kelas menengah dan kelas menengah atas dan tidak menunjukkan

118 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


identifikasi kelas pekerja. Namun, para siswa ini menerima kurikulum dan pengajaran yang
kurang bernilai, yang oleh para siswa itu sendiri sering disebut sebagai "pekerjaan bayi." Seperti
siswa sekolah menengah berpenghasilan rendah yang dipelajari oleh Weis dan lainnya, siswa
dalam penelitian Page telah menjadi agen penolak sekolah yang sama, mempraktikkan
ketidakhadiran, keterlambatan, dan perilaku kelas yang ditandai secara bergantian oleh perilaku
buruk atau penarikan yang cemberut. Sampel siswa yang kontras dari Page menambah bobot
argumen bahwa sekolah itu sendiri adalah sumber signifikan dari habitus siswa.

Intinya adalah bahwa di sekolah berstatus tinggi, sama seperti di sekolah kelas pekerja, ruang
sosial membangun guru sebagai jarak dari kelompok jalur rendah, yang terjadi, menerima
kurikulum yang kurang bernilai dan hubungan yang kurang terarah dengan guru. Dalam kata-
kata Page, "Guru menjauhkan diri dari peran [mengajar] jalur rendah, mengejek diri mereka
sendiri, siswa dan perusahaan pendidikan di mana mereka terlibat bersama" (hal. 450). Pada
akhirnya, "perjumpaan di kelas [jalur bawah] menjadi karikatur dari pendidikan yang sangat baik
yang disediakan perguruan tinggi" (hal. 472).

IMPLIKASI UNTUK TEORI PEMBELAJARAN SOSIOKULTURAL

Maksud dari diskusi ini adalah untuk membangun pemahaman tentang pengalaman sekolah
siswa berpenghasilan rendah dalam hal hubungan antar pribadi yang memediasi pembelajaran
mereka dan pengalaman sekolah mereka dan untuk menetapkan konsepsi hubungan belajar
dalam lingkup yang lebih besar. konteks budaya dan masyarakat. Diskusi menunjukkan
kebutuhan dalam teori sosiokultural untuk definisi budaya yang diperluas, seperti Ratner, dan
teori ruang sosial yang diartikulasikan, seperti Bourdieu, untuk menjelaskan dinamika konflik dan
kekuasaan dalam pembelajaran dan pengembangan. Pengalaman sekolah yang berbeda
mencerminkan konflik yang lebih besar dalam masyarakat dan merupakan bentuk kekerasan
simbolik yang diderita oleh pelajar berpenghasilan rendah. Tidak mengherankan bahwa seiring
waktu siswa yang berbagi pengalaman menjadi "pecundang" dalam konflik ini, dan objek
kekerasan simbolis dalam pengertian Bourdieu, dapat mengembangkan oposisi terhadap
sekolah. Jika "makhluk sosial menentukan kesadaran", tidak mengherankan bahwa hubungan
interpersonal negatif di sekolah terkait dengan penolakan terhadap makna sekolah. Vygotsky
menyadari hal ini ketika dia menulis bahwa negativisme remaja “muncul terutama sebagai reaksi
terhadap efek penolakan dari lingkungan . . . [seperti] efek opresif dari situasi sekolah” (1998,
hlm. 22). Penting untuk digarisbawahi bahwa penolakan terhadap makna sekolah adalah

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 119


tindakan kolektif, bukan tindakan individu semata, sesuai dengan pengalaman penolakan
bersama. Daripada tindakan menyimpang individu yang terpisah, penolakan sekolah adalah
tindakan kolektif siswa yang berbagi sejarah kelembagaan. Vygotsky juga mengomentari
perkembangan psikologi kolektif:

[Kita] harus menghadirkan psikologi kelas tidak secara tiba-tiba muncul, tetapi berkembang
secara bertahap.... Sejarah anak usia sekolah dan remaja adalah sejarah perkembangan dan
perumusan psikologi dan ideologi kelas yang sangat intensif. . . . Kohesi kelas terbentuk bukan
sebagai hasil dari imitasi eksternal, tetapi oleh kehidupan, aktivitas, dan minat bersama. (1998,
hal. 43)

Studi yang diulas menunjukkan bahwa sekolah adalah konteks yang signifikan di mana siswa
dapat secara kolektif memiliki "kehidupan, aktivitas, dan minat bersama."

Teori pembelajaran sosiokultural telah mengeksplorasi secara mendalam peran tanda dan simbol
dalam mediasi tetapi harus lebih mempertimbangkan cara hubungan interpersonal memediasi
kehidupan sekolah siswa dan konsekuensi dari hubungan sosial ini untuk pembelajaran. Zona
perkembangan proksimal (ZPD) adalah gagasan dari karya Vygotsky yang telah banyak dirujuk
dalam teori dan praktik pendidikan kontemporer. Tetapi diskusi dan penerapan ZPD belum
membahas aspek kualitatif atau diferensial dari hubungan interpersonal. Kris Gutierrez dan
rekan-rekannya (Gutierrez, Baquedano-Lopez, & Tejeda, 1995) secara tidak langsung
membahas hubungan sosial dalam penggunaan "ruang ketiga" sebagai cara untuk
mengkonseptualisasikan pencapaian dialog nyata antara siswa dan guru di kelas yang al - paling
eksklusif monologis. Gutierrez dan rekan menunjukkan bahwa perubahan nyata bagi siswa yang
kehilangan haknya membutuhkan lebih dari sekadar metode pengajaran baru; sifat hubungan
antara guru dan peserta didik harus berubah. Demikian pula, Alan Davis dan rekan (Davis, 1996;
Clarke, Davis, Rhodes, & Baker, 1996) telah mempelajari ruang kelas di mana pelajar
berpenghasilan rendah berhasil. Ini adalah ruang kelas di mana siswa berpenghasilan rendah
yang di tempat lain akan dicap memiliki kemampuan rendah berhasil. Para peneliti tidak
menemukan metode atau pendekatan pengajaran tertentu (seperti "bahasa utuh" atau "fonik")
yang umum untuk kelas yang sukses. Sebaliknya, mereka menemukan setiap kelas memiliki
“sistem sosial yang sangat koheren dan inklusif. . . . Apa yang 'sesuai secara budaya' tentang
ruang kelas yang telah kita pelajari bukanlah nilai-nilai yang mendasarinya atau sifat kegiatan di
mana siswa terlibat, melainkan pengembangan hubungan di mana setiap orang dihargai dan

120 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


mampu berpartisipasi dengan sukses” ( hlm. 25–26). Bukan hanya bahwa guru "baik" kepada
siswa di kelas ini: Siswa dihormati dan diharapkan untuk mempelajari kurikulum yang bernilai
tinggi dan terlibat dalam pemikiran kritis. Tetapi kesempatan untuk hubungan guru-murid yang
bermakna justru merupakan karakteristik yang memediasi akses ke konten yang menuntut
secara akademis dan telah hilang dari ruang kelas yang diperiksa dalam diskusi ini. Ada dua
pertanyaan penting terkait zona perkembangan proksimal di sini. Pertama, guru mengambil ZPD
siswanya seperti apa? Jawabannya di sini akan tergantung pada apakah guru mempersepsikan
siswa mampu atau tidak dan apakah guru memandang siswa terbuka untuk belajar atau menolak
belajar; persepsi mampu dan terbuka tampaknya lebih mungkin untuk mengukur lokasi ZPD
siswa secara tepat. Kedua, apa yang siswa anggap sebagai niat guru relatif terhadap
pembelajarannya? Siswa yang mengalami hubungan hormat dan saling percaya dengan guru
akan lebih cenderung ingin belajar dari guru dan, dengan demikian, terlibat dalam ZPD-nya. Jadi,
kemungkinan seorang guru dan siswa untuk "memasuki" "zona" siswa tampaknya bergantung
pada hubungan mereka. (Tentu saja, hubungan produktif mungkin juga relatif terhadap kumulatif
pengalaman sekolah siswa sebelumnya, untuk seorang siswa yang telah hidup melalui bertahun-
tahun hubungan belajar yang merendahkan, misalnya, mungkin "sulit dijangkau" dan
membutuhkan keterampilan relasional yang cukup besar. seorang guru.Teori pembelajaran
sosiokultural perlu mengatasi tantangan seperti itu.)

Dalam banyak penelitian yang melibatkan ZPD, hubungan pembelajaran tidak bermasalah.
Misalnya, dalam studi interaksi orang tua-anak, orang tua menyesuaikan interaksi mereka
dengan kebutuhan anak, dan mereka sangat perhatian dan peka terhadap kebutuhan tersebut.
Namun, ketika interaksi berpindah dari lingkungan keluarga yang intim dan pribadi ke pengaturan
formal sekolah umum, hubungan pembelajaran menjadi berbeda dan memerlukan perhatian dan
teori tambahan. Dinamika hubungan sosial antara guru dan siswa harus diperiksa dengan cara
yang halus untuk memahami cara hubungan tersebut memediasi pembelajaran siswa. Studi
kasus tentang guru yang berhasil bekerja dengan pelajar berpenghasilan rendah menawarkan
cara penting untuk mempelajari cara hubungan sosial mediasi pembelajaran. Penting untuk
mengamati interaksi yang sedang berlangsung antara guru dan siswa tersebut, serta
mengumpulkan laporan tentang guru yang hubungan sosialnya dengan siswa berpenghasilan
rendah membentuk lingkungan belajar yang produktif dan untuk mengumpulkan laporan tentang
siswa itu sendiri.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 121


KESIMPULAN

Meskipun kelompok sosial telah lama menjadi subjek penelitian yang diilhami Vygotskian, seperti
dalam studi awal Luria tentang anak-anak perkotaan, pedesaan, dan tunawisma (Luria, 1978),
hanya ada sedikit pekerjaan pada pelajar berpenghasilan rendah sebagai kelompok sosial dalam
aktivitas tersebut. konteks sekolah, khususnya dengan sekolah dipahami sebagai bidang sosial
dimana hubungan sosial mediasi pembelajaran. Karena Dewey (misalnya, 1900) mulai
mendesak lebih dari satu abad yang lalu, pendidik harus lebih memperhitungkan dimensi sosial
di sekolah, dan tempat untuk fokus adalah pada hubungan sosial antara siswa dan guru.
Demikian pula, feminis dan banyak ilmuwan sosial telah mengkritik tidak adanya pertimbangan
sosial dalam berbagai domain studi (misalnya, Geertz, 1983; Martin, 1992; 1994; Sampson,
1989; 1993). Meskipun pendekatan yang diilhami Vygotskian bertujuan untuk menempatkan
individu dalam konteks sosial, budaya, dan sejarah, kami menyarankan bahwa pendekatan
sosiokultural untuk belajar memberikan pertimbangan yang lebih besar juga untuk konsepsi
sosial pelajar dan hubungan belajar jika teori pembelajaran yang memadai sepenuhnya. akan
dibangun untuk pendidikan.

Setelah Anda memahami lebih dalam mengenai perspektif sosial, budaya,


ekonomi, dan politik dalam pendidikan di Indonesia, silahkan menjawab beberapa
pertanyaan reflektif berikut ini.

Lembar Kerja 10

Apa pandangan yang Anda miliki saat ini tentang perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik
dalam pendidikan di Indonesia?

1. Saya merasa …………… bila ditugaskan mengajar dengan memahami Perspektif sosial,
budaya, ekonomi, dan politik dalam pembelajaran pada peserta didik.
2. Apa yang saya rasakan tersebut dipengaruhi oleh:
a. pandangan saya tentang Perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam
pembelajaran di Indonesia yang ……………………..
b. pandangan saya tentang pendidikan serta pengajaran di Indonesia yang ………….........
c. pandangan saya lainnya yang ………………………….

122 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


d. keyakinan saya bahwa ………………………
e. pengalaman dan memori saya bahwa ……………………

C. Ruang Kolaborasi

Setelah mempelajari tentang ‘Perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik


dalam pembelajaran’ yang mempengaruhi proses pendidikan dan merefleksikan
dalam pembelajaran, silakan bekerja dalam kelompok yang terdiri dari 4 orang
untuk berbagi hasil refleksi dan menyelesaikan tugas berikut.

Lembar Kerja 11 - Kelompok

1. Silakan berbagi pemikiran mengenai pandangan mengenai perspektif sosial, budaya,


ekonomi, dan politik dalam pembelajaran yang mempengaruhi proses pendidikan kepada
rekan sekelompok. Kemudian diskusikan pertanyaan berikut ini:

a. Apa pandangan masing-masing anggota kelompok tentang Perspektif sosial,


budaya, ekonomi, dan politik dalam pembelajaran yang mempengaruhi proses
pendidikan?
b. Apa pandangan masing-masing anggota kelompok tentang kesiapannya
mengajar dengan memperhatikan Perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik
dalam pembelajaran pada peserta didik?
c. Apa persamaan dan perbedaan pandangan tentang Perspektif sosial, budaya,
ekonomi, dan politik dalam pembelajaran yang mempengaruhi proses pendidikan
yang dimiliki?
d. Apa persamaan dan perbedaan pandangan tentang mengajar dengan
memperhatikan Perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan politik dalam
pembelajaran pada peserta didik yang dimiliki?

2. Presentasikan hasil diskusi kelompok dalam bentuk visualisasi yang kreatif.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 123


PERTEMUAN 6

D. Demonstrasi Kontekstual

Setelah menyelesaikan tugas secara berkelompok, saat ini Anda akan


mempresentasikan hasil kerja kelompok Anda, dalam bentuk pameran hasil kerja,
yaitu menempelkan plano hasil visualisasi dalam ruangan dan bergantian dalam
presentasi, atau presentasi secara online dengan upload hasil kelompok dalam
folder yang disediakan.

Penilaian Tugas Kelompok:

● Tugas kelompok ini akan dinilai baik oleh dosen maupun oleh kelompok
lainnya.
● Tiap kelompok menilai presentasi dari kelompok lainnya, dengan panduan
yang disediakan. Tuliskan penilaian kepada kelompok lain dengan
menyebutkan hasil penilaian (A/B/C/D) beserta komentar tentang apa yang
paling membuka mata dari presentasi tersebut.
● Panduan penilaian dapat dilihat dalam rubrik berikut. Kolom A adalah hasil
ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C, dan D.

A B C D

Artikulasi sangat jelas Artikulasi jelas dan Artikulasi cukup bisa Artikulasi kurang jelas.
dan mudah dipahami. mudah dipahami. dipahami.
Isi tidak memberikan
Isi menjelaskan Isi menjelaskan Isi cukup menjelaskan pandangan mengenai
pandangan mengenai pandangan mengenai pandangan mengenai topik bahasan serta
topik bahasan secara topik bahasan secara topik bahasan, namun keterkaitannya.
mendalam, serta mendalam. kurang dalam

124 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


memberikan insight Visualisasi menarik dan mendeskripsikan Visualisasi kurang
atau pembelajaran kreatif. keterkaitannya. kreatif dan menarik.
terkait topik bahasan.
Visualisasi cukup
Visualisasi sangat menarik dan kreatif.
menarik dan kreatif.

E. Elaborasi Pemahaman

Dari demonstrasi kontekstual yang sudah dilakukan sebelumnya, dengan


mempelajari topik bahasan, buat kesimpulan berikut:

Lembar Kerja 12

1. Apa pandangan Anda mengenai topik bahasan tersebut?


2. Bagaimana Anda menyikapi tantangan yang ada terkait topik bahasan tersebut?
3. Apa saja hal baik yang Anda dapatkan mengenai topik bahasan tersebut?
4. Bagaimana Anda menerapkan ilmu yang Anda dapatkan terkait topik bahasan dalam
profesi Anda sebagai guru?
5. Pertanyaan apa yang ingin Anda ajukan lebih lanjut tentang topik bahasan tersebut?

F. Koneksi Antar Materi

Buatlah koneksi antar materi dari pembelajaran mengenai topik bahasan tersebut
dengan pembelajaran yang sudah, sedang, atau akan Anda pelajari di mata kuliah
PPG lainnya. Selain menyebutkan topik/materi dalam mata kuliah ini dengan
topik/materi dalam mata kuliah lain, sebutkan juga keterkaitannya. Buat koneksi
tersebut dalam bentuk visual untuk memudahkan kita semua dalam memahami,
bisa dalam bentuk mindmap, diagram, bagan, atau lainnya.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 125


Selanjutnya, Anda dapat berdiskusi bersama terkait koneksi antar materi dalam
mata kuliah ini dengan mata kuliah lainnya.

G. Aksi Nyata

Pada akhir pembelajaran setiap topik, Anda diminta untuk merefleksikan


pembelajaran dalam blog masing-masing, dengan menggunakan alur MERDEKA
seperti dalam proses pembelajarannya. Anda bisa menceritakan refleksi Anda
serta rencana yang akan dilakukan dengan caranya masing-masing, bisa narasi
yang dilengkapi visual, ataupun narasi saja, atau model kreatif lainnya. Berikut ini
panduan pertanyaan yang dapat membantu Anda menuliskan blog:

No. Alur pembelajaran Pertanyaan Refleksi

1 Mulai Dari Diri Apa yang Anda pikirkan tentang topik ini sebelum memulai
proses pembelajaran?

2 Eksplorasi Konsep Apa yang Anda pelajari dari konsep yang Anda pelajari
dalam topik ini?

3 Ruang Kolaborasi Apa yang Anda pelajari lebih lanjut bersama dengan rekan-
rekan Anda dalam ruang kolaborasi?

4 Demonstrasi Kontekstual Apa hal penting yang Anda pelajari dari proses
demonstrasi kontekstual yang Anda jalani bersama
kelompok (bisa tentang materi, rekan, dan diri sendiri)?

5 Elaborasi Pemahaman Sejauh ini, apa yang sudah Anda pahami tentang topik ini?
Apa hal baru yang Anda pahami atau yang berubah dari
pemahaman di awal sebelum pembelajaran dimulai ?
Apa yang ingin Anda pelajari lebih lanjut?

126 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


6 Koneksi Antar Materi Apa yang Anda pelajari dari koneksi antar materi baik di
dalam mata kuliah yang sama maupun dengan mata kuliah
lain?

7 Aksi Nyata Apa manfaat pembelajaran ini untuk kesiapan Anda


sebagai guru?
Bagaimana Anda menilai kesiapan Anda saat ini, dalam
skala 1-10? Apa alasannya?
Apa yang perlu Anda persiapkan lebih lanjut untuk bisa
menerapkannya dengan optimal?

Berikut rubrik penilaian blog yang digunakan untuk setiap modul. Kolom A adalah
hasil ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C, dan D.

A B C D

Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa


mengartikulasikan mengartikulasikan mengartikulasikan mengartikulasikan
refleksi dalam blog refleksi dalam blog refleksi dalam blog refleksi dalam blog
dengan alur yang jelas dengan alur yang jelas dengan cukup mudah dengan kurang jelas
dan mudah dipahami, dan mudah dipahami. dipahami. dan sulit dipahami.
serta kreatif.
Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa
Mahasiswa menguraikan secara menguraikan secara menguraikan secara
menguraikan secara mendalam dan mendalam, namun singkat pandangan
mendalam dan kurang tajam dalam tentang topik bahasan,
mengaitkan secara
dan tidak
mengaitkan secara tajam pandangan mengaitkan pandangan
tajam pandangan mengenai topik mengenai topik mengaitkan pandangan
mengenai topik bahasan, baik dari bahasan. mengenai topik
bahasan, baik dari dirinya dan bahasan.
Mahasiswa
dirinya dan kelompoknya.
menyimpulkan secara
kelompoknya, serta
Mahasiswa sederhana
menyimpulkan pemahamannya

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 127


kaitannya dengan pemahaman mengenai mengenai topik Mahasiswa tidak atau
materi dari MK lain. topik bahasan secara bahasan. kurang jelas dalam
jelas. menyimpulkan
Mahasiswa Mahasiswa secara
menyimpulkan Mahasiswa mengaitkan singkat mengaitkan Pemahamannya
pemahaman mengenai pembelajaran dari pembelajaran dari mengenai topik
topik bahasan secara modul ini dengan modul ini dengan bahasan.
tajam. kesiapannya mengajar kesiapannya mengajar
Mahasiswa tidak
sebagai guru. sebagai guru.
Mahasiswa mengaitkan mengaitkan
pembelajaran dari pembelajaran dari
modul ini dengan modul ini dengan
kesiapannya mengajar kesiapannya mengajar
sebagai guru, termasuk sebagai guru.
mengartikulasikan apa
yang perlu
disiapkannya.

Catatan untuk Dosen Pengampu

● Modul ini disusun untuk menggali pengalaman dan wawasan para calon
guru terkait proses mendidik yang sesuai.
● Modul ini dapat dimodifikasi oleh dosen pengampu.
● Dosen pengampu dapat menambah materi terkait topik bahasan.
● Selain penilaian tugas kelompok (LK) dan blog, dosen pengampu juga
perlu menilai partisipasi dan sikap mahasiswa dalam proses pembelajaran.
Rubrik penilaian partisipasi dan sikap ini bisa digunakan, namun
dipersilakan untuk dimodifikasi, atau mengembangkan sendiri. Kolom A
adalah kondisi ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C,
dan D.

128 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


A B C D

Mahasiswa aktif Mahasiswa aktif Mahasiswa jarang Mahasiswa tidak


memberikan pendapat, memberikan pendapat, terlihat memberikan terlihat memberikan
menjawab pertanyaan menjawab pertanyaan pendapat atau pendapat atau
dari dosen/modul, dan dari dosen/modul, dan menjawab pertanyaan menjawab pertanyaan
mengajukan pertanyaan mengajukan pertanyaan dari dosen/modul. dari dosen/modul.
yang memperkaya untuk konfirmasi atau
Mahasiswa kurang Mahasiswa tidak
pemahaman seluruh klarifikasi.
menunjukkan perilaku menunjukkan perilaku
mahasiswa.
Mahasiswa cukup memfasilitasi rekan memfasilitasi rekan
Mahasiswa menunjukkan perilaku mahasiswanya dalam mahasiswanya dalam
menunjukkan perilaku memfasilitasi rekan proses pembelajaran proses pembelajaran
memfasilitasi rekan mahasiswanya dalam baik, di kelompok baik, di kelompok
mahasiswanya dalam proses pembelajaran maupun di kelas secara maupun di kelas secara
proses pembelajaran baik, di kelompok keseluruhan. keseluruhan.
baik, di kelompok maupun di kelas secara
Mahasiswa Mahasiswa tidak
maupun di kelas secara keseluruhan.
mengumpulkan tugas mengumpulkan tugas.
keseluruhan.
Mahasiswa melebihi dengan
Mahasiswa mengumpulkan tugas tenggat waktu yang
mengumpulkan tugas sesuai dengan tenggat ditentukan.
sebelum tenggat waktu waktu yang ditentukan.
yang ditentukan.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 129


MODUL 4
PEMBELAJARAN PADA ‘ZONE OF PROXIMAL DEVELOPMENT
(ZPD)’

Durasi: 3 pertemuan
Capaian Pembelajaran:
Setelah mempelajari topik ini, mahasiswa dapat:
1. menganalisis pembelajaran pada ‘Zone of Proximal Development (ZPD)
2. mendiskusikan pembelajaran pada ‘Zone of Proximal Development (ZPD)’ untuk
menemukan pendekatan, strategi, metode, dan teknis pembelajaran yang sesuai

PERTEMUAN 7

A. Mulai dari Diri

Mahasiswa PPG Prajabatan yang berbahagia,

Selamat datang di topik yang keempat yaitu ‘Pembelajaran pada ‘Zone of Proximal
Development (ZPD)’. Topik ini penting untuk mengantar Anda memahami
Pembelajaran pada ‘Zone of Proximal Development (ZPD)’, serta bagaimana
faktor faktor ini mempengaruhi pendidikan di Indonesia.

Setelah mempelajari topik ini, Anda diharapkan mampu:

1. menganalisis rencana dan materi pembelajaran yang sesuai pada ‘Zone of


Proximal Development’
2. menyimpulkan pendekatan, strategi, metode dan teknis pembelajaran
yang sesuai pada ‘Zone of Proximal Development’
3. berargumen dalam diskusi dan tulisan blog

Kita akan mulai pembelajaran tentang Pembelajaran pada ‘Zone of Proximal


Development (ZPD)’ dengan melakukan pengamatan terhadap video berikut ini.

Video Lentera Indonesia - Kisah Pejuang Pendidikan di Alor


130 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan
https://www.youtube.com/watch?v=xsfCrFbaOLM
Setelah mengamati video tersebut, silakan menjawab pertanyaan berikut ini:

Lembar Kerja 1

Dari pengamatan tentang kondisi daerah tersebut:

1. Pernahkah Anda mengalami hal yang serupa? Bila ya, apa saja hal yang sama dan berbeda
yang Anda temui?

…………………………………………………………………………………………………..

2. Apa yang Anda pikirkan dan rasakan tentang kondisi pendidikan tersebut?

…………………………………………………………………………………………………..

3. Apa yang Anda pikirkan tentang pendidikan di masa itu?

………………………………………………………………………………………………….

Selanjutnya, silakan jawab pertanyaan reflektif berikut ini:

1. Bila Anda mendapatkan tugas mengajar bagaimana Anda memperhatikan pembelajaran pada
‘Zone of Proximal Development (ZPD)’?

…………………………………………………………………………………………………..

2. Siapkah Anda mengajar dengan memperhatikan Pembelajaran pada ‘Zone of Proximal


Development (ZPD)’? Apa alasannya?

…………………………………………………………………………………………………..

Mari berproses bersama dalam rangkaian pembelajaran selanjutnya untuk


semakin memahami tentang Pembelajaran pada ‘Zone of Proximal Development
(ZPD)’.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 131


B. Explorasi Konsep

Jenis pengajaran apa yang optimal untuk anak tertentu? Tanpa ragu, pertanyaan ini segera dapat
dipahami oleh setiap guru yang berkomitmen di hampir semua negara di dunia, dan sebagian
besar guru cenderung menginginkan jawaban konkret untuk pertanyaan itu, tidak hanya sebagai
teka-teki teoretis, tetapi dalam kaitannya dengan praktik langsung mereka. Jika seseorang
mencari nasihat dari psikologi ilmiah dan penelitian pendidikan sehubungan dengan masalah
praktis ini, seperti apa jawabannya?

Pertanyaan sederhana ini menimbulkan beberapa masalah yang mendalam. Masalah normatif
dan politik tentang tujuan pengajaran dan sumber daya yang tersedia untuk mewujudkan tujuan
ini harus diselesaikan. Diperlukan teori belajar yang dapat menjelaskan bagaimana kemampuan
intelektual dikembangkan. Jika pengajaran tidak dipandang sebagai tujuan itu sendiri, maka teori
tentang hubungan antara instruksi materi pelajaran tertentu dan konsekuensinya bagi
perkembangan psikologis juga diperlukan. Masalah terakhir ini adalah ketegangan utama di
mana Vygotsky mengembangkan konsepnya yang terkenal tentang zona perkembangan
proksimal, sehingga zona tersebut berfokus pada hubungan antara pengajaran dan
pengembangan, sementara relevan dengan banyak masalah lain ini. Konsep Vygotsky tentang
zona perkembangan proksimal lebih tepat dan terperinci daripada penerimaan atau interpretasi
umum. Tujuan utama dari bab ini adalah untuk memberikan pengenalan yang komprehensif dan
interpretasi konsep ini, bersama dengan komentar tentang interpretasi kontemporer yang
dominan. Bab ini diakhiri dengan beberapa perspektif dan implikasi yang diperoleh dari
interpretasi yang disajikan di sini.

MENEMUKAN ZONA PERKEMBANGAN PROKSIMAL (ZPD)

Istilah zona perkembangan proksimal mungkin merupakan salah satu gagasan yang paling
dikenal dan dikenal luas terkait dengan produksi ilmiah Vygotsky. Istilah ini sekarang muncul di
sebagian besar buku teks psikologi perkembangan dan pendidikan, serta beberapa buku
psikologi umum. Dalam penelitian pendidikan, konsep tersebut sekarang digunakan secara luas
(atau dirujuk) dalam studi tentang pengajaran dan pembelajaran di banyak bidang materi
pelajaran, termasuk membaca, menulis, matematika, sains, pembelajaran bahasa kedua

132 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


(misalnya, Dunn & Lantolf, 1998; Lantolf & Pavlenko, 1995), pendidikan moral (misalnya, Tappan,
1998), dan pengajaran biola (Gholson, 1998); dengan beragam jenis murid, termasuk yang
disebut siswa yang kurang beruntung, tidak mampu belajar, terbelakang, dan berbakat; dengan
anak-anak prasekolah (misalnya, Smith, 1993) dan dengan orang dewasa (misalnya, Kilgore,
1999); dengan teknologi informasi dan komunikasi yang dimediasi komputer (misalnya, Hung,
2001); dengan penggunaan perpustakaan oleh anak-anak (McKechnie, 1997); dengan diskusi
tentang pelatihan guru (misalnya, Jones, Rua, & Carter, 1998; Torres, 1996) dan tentang
pendidikan keperawatan (misalnya, Pasangan, 1998). Konsep ini juga telah diambil dan
digunakan secara serius dan substantif dalam disiplin akademis lain dan bidang profesional,
termasuk keperawatan (misalnya, Holaday, LaMontagne, & Marciel, 1994), psikoanalisis
(misalnya, Wilson & Weinstein, 1996), psikoterapi (misalnya, Leiman & Stiles, 2001), dan terapi
okupasi (misalnya, Exner, 1990; Lyons, 1984).

Meskipun istilah itu sudah tersedia dalam terjemahan tahun 1962 tentang Pemikiran dan Bahasa,
kemunculan bab 6 dalam Mind in Society (1978) yang menandai transisi ke perhatian
berkelanjutan terhadap konsep oleh audiens yang membaca bahasa Inggris. Pada saat ini dalam
sejarah, konsep tersebut, setidaknya dalam bentuk yang agak disederhanakan, cukup dikenal di
kalangan peneliti berorientasi pendidikan. Oleh karena itu, sebagian besar pembaca bab ini pasti
telah menemukan beberapa atau semua frasa standar yang sering digunakan untuk menjelaskan
atau mendefinisikan konsep, terutama definisi dari bab tersebut: “jarak antara tingkat
perkembangan aktual yang ditentukan oleh pemecahan masalah independen dan tingkat
perkembangan potensial sebagaimana ditentukan melalui pemecahan masalah di bawah
bimbingan orang dewasa atau dalam kolaborasi dengan teman sebaya yang lebih mampu”
(Vygotsky, 1978, p. 86, penekanan dalam aslinya) atau “apa yang dapat dilakukan anak dalam
kolaborasi hari ini dia akan dapat melakukannya secara mandiri besok” (Vygotsky, 1987, hlm.
211; lihat juga, 1998b, hlm. 202).

Popularitas memiliki harga, namun. Wertsch (1984) menyarankan bahwa jika konstruksi teoretis
ini tidak dielaborasi lebih lanjut, maka ada risiko bahwa "itu akan digunakan secara longgar dan
tanpa pandang bulu, sehingga menjadi sangat tidak berbentuk sehingga kehilangan semua
kekuatan penjelas" (hal. 7). Mercer dan Fisher (1992) percaya bahwa "ada bahaya bahwa istilah
ini digunakan sebagai alternatif mode untuk terminologi Piaget atau konsep IQ untuk
menggambarkan perbedaan individu dalam pencapaian atau potensi" (hal. 342). Palinscar (1998)
menunjukkan bahwa dalam konteks penelitian tentang sifat negosiasi pengajaran dan

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 133


pembelajaran itu "mungkin salah satu konstruksi yang paling sering digunakan dan paling tidak
dipahami muncul dalam literatur pendidikan kontemporer" (hal. 370).

Apa arti frasa terkenal dari halaman 86 itu? Seseorang jarang menemukan sumber lain yang
dikutip atau didiskusikan dalam kaitannya dengan zona perkembangan proksimal di luar teks
1978 ini, dengan tambahan sesekali dari Thinking and Speech (1987). Apakah ini satu-satunya
atau definisi utama? Apakah pengetahuan saat ini tentang zona perkembangan proksimal
sebagian besar mencerminkan upaya untuk menafsirkan fragmen tekstual ini, mungkin
dilengkapi dengan sedikit pengetahuan umum tentang pendekatan Vygotsky? Kecuali teks
tambahan dipertimbangkan, apakah ada alasan untuk percaya bahwa seorang sarjana memiliki
interpretasi yang lebih baik dari kata-kata itu daripada yang lain?

Konsepsi Umum Zona Perkembangan Proksimal

Konsepsi umum tentang zona perkembangan proksimal mengandaikan interaksi pada tugas
antara orang yang lebih kompeten dan orang yang kurang kompeten, sehingga orang yang
kurang kompeten menjadi mahir secara mandiri pada apa yang awalnya merupakan tugas yang
diselesaikan bersama. Dalam konsepsi umum ini, tiga aspek utama sering ditonjolkan atau
ditekankan (walaupun tidak harus ketiganya oleh seorang peneliti tunggal). Untuk kepentingan
diskusi, ketiga aspek ini bersama-sama mewakili 'tipe ideal' yang akan disebut interpretasi umum
dari zona perkembangan proksimal. Untuk memudahkan referensi, ketiga aspek akan diberi
nama asumsi umum (yaitu, berlaku untuk mempelajari semua jenis materi pelajaran), asumsi
bantuan (belajar tergantung pada intervensi oleh orang lain yang lebih kompeten), dan asumsi
potensial (properti pelajar yang memungkinkan pembelajaran terbaik dan termudah).

Aspek pertama berfokus pada gagasan bahwa seseorang mampu melakukan sejumlah tugas
sendiri tetapi dalam kolaborasi dapat melakukan lebih banyak tugas. "Rentang tugas" yang
dilakukan dalam kolaborasi kadang-kadang disajikan sebagai definisi zona perkembangan
proksimal (misalnya, Berk, 1997, hlm. 248), tetapi ini pasti keliru. Bahkan definisi klasik mengacu
pada tingkat perkembangan, bukan tugas. Paling-paling, jumlah (atau jenis) tugas harus diambil
sebagai indikator untuk ditafsirkan dalam kaitannya dengan tingkat perkembangan. Masalah
terkait adalah jenis tugas apa yang melibatkan zona perkembangan proksimal. Sering
diasumsikan bahwa zona perkembangan proksimal dimaksudkan untuk diterapkan pada semua
jenis tugas belajar. "Untuk domain keterampilan apa pun, ZPD dapat dibuat" (Tharp & Gallimore,

134 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


1998, hlm. 96), atau dalam konsepsi "yang diperluas" yang dirumuskan oleh Wells (1999), zona
perkembangan proksimal berlaku untuk "situasi apa pun di mana , saat berpartisipasi dalam
suatu kegiatan, individu sedang dalam proses mengembangkan penguasaan praktik atau
pemahaman suatu topik” (hal. 333).

Aspek kedua menekankan bagaimana orang dewasa/guru/orang yang lebih kompeten harus
berinteraksi dengan seorang anak. Terkadang aspek ini disajikan sebagai karakteristik yang
menentukan. “Bisa dibilang, gagasan zona perkembangan proksimal sedikit lebih bermakna
daripada situasi belajar yang disajikan kepada seorang anak, di mana orang dewasa dan/atau
anak-anak yang lebih maju secara langsung atau tidak langsung memiliki pengaruh positif pada
anak” (Gillen, 2000, hlm. 193–194).

Aspek ketiga berfokus pada “sifat-sifat pembelajar”, termasuk gagasan tentang potensi dan/atau
kesiapan pembelajar untuk belajar. Aspek ini tampaknya sering menginspirasi ide atau harapan
bahwa akan sangat mungkin untuk mempercepat atau memfasilitasi pembelajaran anak, jika
zona tersebut dapat diidentifikasi dengan benar. Berikut adalah dua ilustrasi dari diskusi buku
teks baru-baru ini: “Dalam zona inilah potensi seseorang untuk belajar baru paling kuat” (Fabes
& Martin, 2001, hal. 42) atau “Ungkapan Vygotsky untuk potensi individu saat ini untuk intelektual
lebih lanjut. pengembangan, kapasitas yang biasanya tidak diukur dengan tes kecerdasan
konvensional” (LeFrancois, 2001, hlm. 587). Terkadang aspek ini diartikan bahwa mengajar di
zona perkembangan proksimal harus menghasilkan bentuk pembelajaran yang paling mudah
atau paling mudah bagi anak (misalnya, “zona perkembangan proksimal siswa adalah kisaran
tingkat keterbacaan buku yang akan menantang siswa tanpa menyebabkan frustrasi atau
kehilangan motivasi,” abstrak 1998 dalam database ERIC).

Kritik terhadap Konsepsi Umum

Konsepsi umum tentang zona perkembangan proksimal mendukung atau menginspirasi visi
kesempurnaan pendidikan, di mana guru yang berwawasan luas (atau beruntung) dapat
membantu seorang anak menguasai, dengan mudah dan gembira, materi pelajaran apa pun
yang ada di program hari itu. Dengan konsepsi semacam ini, pembaca mungkin berharap bahwa
bab tentang zona perkembangan proksimal dan instruksi akan menjelaskan (a) bagaimana
mengidentifikasi zona perkembangan proksimal anak untuk setiap tugas belajar, (b) bagaimana
cara mengajar. dengan cara yang pasti akan melibatkan zona perkembangan proksimal, yang

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 135


(c) dengan cara yang lancar dan menyenangkan akan mempercepat pembelajaran secara
signifikan. Namun, ada beberapa masalah untuk penglihatan yang sempurna ini.

Asumsi Umum

Jika niat Vygotsky adalah menggunakan konsep tersebut untuk semua jenis pembelajaran,
mengapa tidak menamakannya zona pembelajaran proksimal? Mengapa istilah pembangunan
muncul dalam konsep? Penggunaan istilah tersebut bukanlah suatu kebetulan. Dalam beberapa
teks, Vygotsky menganalisis bagaimana hubungan antara pembelajaran dan pengembangan
dirumuskan dalam tradisi psikologis yang ada (1987, hlm. 194–201; 1935b, lihat van der Veer &
Valsiner, 1991, hlm. 329–331 untuk ringkasan; 1935 d, 1982b), menyimpulkan bahwa ada
kesatuan tetapi bukan identitas antara pembelajaran dan proses perkembangan batin (Vygotsky,
1982d, hlm. 123). Vygotsky (1987) membedakan instruksi yang ditujukan “menuju perkembangan
penuh [anak] dari instruksi dalam keterampilan teknis khusus seperti mengetik atau mengendarai
sepeda” (hal. 212). Singkatnya, zona perkembangan proksimal tidak berkaitan dengan
pengembangan keterampilan tugas tertentu, tetapi harus terkait dengan perkembangan.

Asumsi Bantuan

Karena guru yang kompeten penting untuk pembelajaran, gagasan zona perkembangan
proksimal sering digunakan untuk memusatkan perhatian pada pentingnya bantuan yang lebih
kompeten. Namun, ketika Vygotsky pertama kali memperkenalkan zona perkembangan
proksimal dalam Berpikir dan Berbicara, ia menganggapnya sebagai fakta yang terkenal bahwa
“dengan kolaborasi, arahan, atau semacam bantuan, anak selalu dapat melakukan lebih banyak
dan menyelesaikan tugas yang lebih sulit yang [sic] dia bisa mandiri” (Vygotsky, 1987, hlm. 209).
Lebih penting, dalam pandangannya, adalah menjelaskan mengapa ini terjadi. Dengan kata lain,
bukan kompetensi orang yang lebih berpengetahuan itu yang penting; melainkan untuk
memahami arti dari bantuan tersebut dalam kaitannya dengan pembelajaran dan perkembangan
anak.

Asumsi Potensial

Vygotsky tidak pernah berasumsi bahwa pembelajaran yang berkaitan dengan zona
perkembangan proksimal selalu menyenangkan. Dia (1967, hlm. 16) memberikan contoh:
Seorang anak yang berlari dalam perlombaan mungkin tidak bersenang-senang, terutama

136 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


setelah kalah, namun tindakan ini tetap dapat menjadi bagian dari zona perkembangan
proksimal. Demikian pula, seperti yang akan dikembangkan nanti, potensi bukanlah milik anak –
seperti yang kadang-kadang ditafsirkan oleh formulasi ini – tetapi hanya indikasi adanya fungsi
pendewasaan tertentu, yang dapat menjadi target tindakan intervensi yang bermakna.

Analisis sebelumnya dimaksudkan untuk menimbulkan keraguan tentang interpretasi umum dari
konsep Vygotsky tentang zona perkembangan proksimal dan membenarkan kebutuhan untuk
mempertimbangkan secara lebih konkret apa yang dimaksud Vygotsky dengan konsep tersebut.
Setidaknya ada delapan teks yang diterbitkan di mana Vygotsky menggunakan zona ekspresi
perkembangan proksimal setidaknya sekali (lihat Tabel 2.1 untuk daftar teks-teks ini, bersama
dengan beberapa terjemahan yang diterbitkan). Sebagian besar teks-teks ini hanya memiliki
komentar singkat tentang konsep tersebut; diskusi yang lebih luas ditemukan dalam bab 6 dari
Berpikir dan Berbicara dan bab “Masalah Usia.” Dengan kata lain, tidak ada kumpulan materi
yang luas dari mana arti sebenarnya Vygotsky, atau definisi resmi, atau interpretasi dapat
ditemukan (tetapi lihat bibliografi dalam Rieber, 1999; kemungkinan bahwa beberapa dari yang
tidak diterbitkan, saat ini tidak tersedia teks dari tahun 1933 dan 1934 juga membahas konsep
ini). Seseorang dapat membaca sebagian besar materi yang tercantum dalam Tabel 2.1 dalam
beberapa jam, terutama karena beberapa teks memiliki konten yang tumpang tindih. Dari sudut
pandang itu, seharusnya mudah untuk menjadi “ahli” dalam konsep Vygotsky, tanpa perlu diskusi
interpretatif.

Akan lebih produktif, bagaimanapun, untuk fokus pada masalah konseptual yang Vygotsky coba
atasi ketika zona perkembangan proksimal diperkenalkan. Kepentingan utama kemudian adalah
untuk menyajikan interpretasi yang dapat lebih terintegrasi dengan konsep dan argumen teoritis
lain yang dikembangkan Vygotsky dalam kaitannya dengan zona perkembangan proksimal.
Mengingat bahwa Vygotsky adalah sumber argumen yang diidentifikasi saat ini sebagai zona
perkembangan proksimal, tampaknya layak untuk membiarkan versinya disajikan dari perspektif
teoretisnya sendiri, daripada menyaring atau membiarkannya melalui lensa keprihatinan
kontemporer dan posisi (Cazden, 1996, memiliki argumen serupa dalam kaitannya dengan
penelitian yang diilhami Vygotskian tentang penulisan). Interpretasi yang lebih komprehensif dari
program penelitian Vygotsky ini tidak diberikan di sini hanya sebagai keingintahuan sejarah;
model teoritis layak penyelidikan lebih lanjut, kritik, dan elaborasi. Namun, sebagai langkah

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 137


pertama, kita harus memastikan untuk memiliki pemahaman yang masuk akal tentang
bagaimana analisis teoritis dibangun dan apa yang ingin dicapai.

ZONA PERKEMBANGAN PROKSIMAL (ZPD) DALAM PERSPEKTIF TEORITIS VYGOTSKY

Zona perkembangan proksimal diperkenalkan sebagai bagian dari analisis umum perkembangan
anak. Ini bukan konsep utama atau sentral dalam teori perkembangan anak Vygotsky (1998b).
Melainkan perannya untuk menunjukkan tempat dan momen penting dalam proses tumbuh
kembang anak. Untuk memahami peran ini, seseorang harus menghargai perspektif teoretis di
mana ia muncul. Artinya, kita perlu memahami apa yang dimaksud Vygotsky dengan
perkembangan secara umum, jika kita ingin memahami apa yang dimaksud dengan zona
perkembangan proksimal pada khususnya. Dengan cara ini, pembaca dapat mengembangkan
pemahaman generatif tentang pendekatan teoritis, yang akan lebih berharga daripada definisi
kamus konsep tersebut.

Teori Perkembangan Anak Vygotsky

Vygotsky merumuskan beberapa persyaratan atau kriteria yang harus dipenuhi oleh suatu model
perkembangan anak. Pertama, model harus menjelaskan, bukan deskriptif. Lebih khusus, model
harus diatur oleh prinsip-prinsip substansial yang dapat menjelaskan pembangunan "sebagai
satu proses pengembangan diri" (Vygotsky, 1998b, p. 189). Kedua, model harus
mempertimbangkan seluruh anak, sebagai pribadi yang utuh. Ketiga, masa kanak-kanak harus
dibagi menjadi beberapa periode, sehingga setiap periode dicirikan dengan cara yang prinsip dan
terpadu. Artinya, prinsip-prinsip penulisan abstrak yang sama harus digunakan untuk
mengkarakterisasi setiap periode (maka kesatuan), tetapi manifestasi konkret dari hubungan
abstrak harus ditemukan dan dicirikan untuk konten tertentu dari setiap periode usia.

Untuk memenuhi persyaratan ini, Vygotsky mengusulkan bahwa setiap periode masa kanak-
kanak dicirikan secara abstrak oleh struktur psikologis, satu set hubungan integral antara fungsi
psikologis (misalnya, persepsi, memori sukarela, bicara, berpikir). Struktur ini harus
mencerminkan keseluruhan anak (yaitu, sebagai orang yang terlibat dalam hubungan sosial
terstruktur dengan orang lain) – tidak hanya sebagai deskripsi kualitas anak, tetapi juga sebagai
deskripsi hubungan anak dengan lingkungannya. Dari sudut pandang psikologis, keseluruhan ini
digambarkan sebagai struktur hubungan yang terintegrasi antara fungsi-fungsi psikologis yang
dikembangkan dan dikembangkan yang lebih tinggi yang diperoleh melalui interaksi material.

138 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Deskripsi psikologis seorang anak berfokus pada hubungan timbal balik antara fungsi, daripada
mempertimbangkan fungsi psikologis individu dalam isolasi. Misalnya, anak-anak berusia 2 tahun
cenderung lebih diarahkan oleh reaksi terhadap apa yang dapat segera mereka rasakan daripada
oleh pembentukan kemungkinan yang dibayangkan (yaitu, sebuah pemikiran). Dalam hal ini,
fungsi persepsi, pikiran, dan kehendak berdiri dalam hubungan tertentu satu sama lain, sehingga
persepsi dominan dalam hubungannya dengan kehendak dan pikiran (Vygotsky, 1982d, hlm.
104). Struktur psikologis mengacu pada hubungan struktural di antara seperangkat fungsi
psikologis.

Fokus pada keseluruhan menghalangi pendekatan metodologis yang mempertimbangkan fungsi


tertentu tanpa mempertimbangkan hubungannya dengan keseluruhan. Dengan cara ini,
Vygotsky dapat mewujudkan tujuannya untuk "memahami perkembangan sebagai proses yang
dicirikan oleh kesatuan aspek material dan mental, kesatuan sosial dan pribadi selama pendakian
anak ke tahap-tahap perkembangan" (hal. 190 ). Kedua kesatuan ini (material-mental dan sosial-
personal) adalah cara alternatif untuk mengekspresikan ide yang sama, dan keduanya
merupakan kesatuan karena struktur psikologis anak (yaitu, mental, pribadi) selalu
mencerminkan hubungan dengan lingkungan sosial. dan materi. Vygotsky mengusulkan untuk
menggambarkan perkembangan anak-anak, dari masa bayi hingga remaja, sebagai serangkaian
periode stabil yang relatif lama (1 sampai 4 tahun), diselingi oleh periode krisis yang lebih pendek
(lihat Mahn, volume ini, untuk penjelasan komprehensif dari Vygotsky. model periode usia, lihat
juga Davydov, 1988, hlm. 63-87). Untuk menjelaskan dinamika kausal dari perkembangan ini,
kita harus memberikan penjelasan tentang bagaimana dan mengapa ada perubahan kualitatif
dalam struktur psikologis yang khas untuk setiap periode usia. Titik awal untuk penjelasan
Vygotsky adalah hubungan anak yang spesifik, tetapi komprehensif, dengan lingkungannya,
yang ditunjuk sebagai situasi sosial perkembangan. “Situasi sosial pembangunan merupakan
momen awal bagi semua perubahan dinamis yang terjadi dalam pembangunan selama periode
tertentu”; oleh karena itu, untuk mempelajari dinamika segala usia, pertama-tama kita harus
menjelaskan situasi sosial pembangunan (Vygotsky, 1998b, hlm. 198).

Setiap periode usia memiliki formasi baru sentral yang khas dalam kaitannya dengan
perkembangan fungsi psikologis (Vygotsky, 1998b, hlm. 197). Formasi baru ini diatur dalam
situasi sosial perkembangan oleh kontradiksi mendasar antara kemampuan anak saat ini (seperti
yang dimanifestasikan dalam fungsi psikologis yang benar-benar berkembang), kebutuhan dan
keinginan anak, dan tuntutan dan kemungkinan lingkungan. Dalam upaya untuk mengatasi

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 139


kontradiksi ini (sehingga dapat mewujudkan aktivitasnya), anak terlibat dalam tugas-tugas
konkret yang berbeda dan interaksi tertentu, yang dapat mengakibatkan pembentukan fungsi
baru atau pengayaan fungsi yang ada. Pembentukan pusat baru yang dihasilkan untuk periode
usia tertentu merupakan konsekuensi dari interaksi anak dalam situasi sosial perkembangan
dengan fungsi psikologis yang relevan yang belum matang. (Untuk analisis konkret untuk periode
usia bayi, lih. Vygotsky, 1998a, khususnya hlm. 215–216; untuk penjabaran yang berguna dan
terkait dari konsepsi perkembangan Vygotsky, lih. Schneuwly, 1994, hlm. 282–284.)

Banyak (bahkan sebagian besar) tindakan khusus anak dalam kehidupan sehari-hari tidak perlu
diorientasikan untuk menghadapi kontradiksi ini (kadang-kadang disebut aktivitas dominan).
Namun, fungsi yang diperlukan untuk transisi ke periode zaman baru (yaitu, perubahan struktural
dalam organisasi fungsi) dibentuk dan diuraikan (dalam kaitannya dengan formasi baru sentral)
dalam situasi di mana anak terlibat secara khusus dalam tindakan. relevan dengan kontradiksi
ini. Setiap periode memiliki aktivitas unggulan yang menjadi sumber utama perkembangan dalam
suatu periode (Vygotsky, 1967, hlm. 15-16). Pengertian “kegiatan memimpin” adalah suatu cara
untuk mengidentifikasi hubungan-hubungan tertentu dalam situasi sosial perkembangan yang
mungkin berkontribusi pada perkembangan fungsi-fungsi yang mengarah pada reorganisasi
struktural fungsi-fungsi psikologis anak. (Gagasan umum ini kemudian dihubungkan dengan teori
aktivitas dan dikembangkan secara lebih rinci, misalnya, El'konin, 1999.) Aktivitas itu sendiri tidak
mengembangkan anak; alih-alih, untuk mewujudkan aktivitas utama, anak terlibat dalam tindakan
yang berfungsi untuk mengembangkan fungsi psikologis yang diperlukan untuk aktivitas itu.
Formasi baru adalah produk, bukan prasyarat, dari suatu periode zaman (Vygotsky, 1998b, hlm.
198).

Penting untuk diketahui bahwa periode usia ini dipahami sebagai konstruksi historis dan material
– secara historis karena fungsi dibangun melalui sejarah praktik manusia, secara material karena
fungsi dikembangkan sebagai konsekuensi dari tugas dan interaksi dengan orang lain. Situasi
sosial perkembangan menyediakan cara untuk mengkarakterisasi interaksi antara bentuk-bentuk
praktik yang dibangun secara historis dan minat dan tindakan anak (yang mencerminkan periode
usia anak saat ini). Daripada menjadi penerima pasif dari lingkungan objektif, anak selektif
tentang apa yang dirasakan dan menarik. Hubungan ini berubah dengan setiap periode usia
tertentu, yang mencerminkan struktur fungsi psikologis untuk usia tersebut. (Lihat Lampert
Shepel, 1995, hlm. 429–431, untuk pandangan terkait.)

140 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Perubahan dalam hubungan historis akan mendorong peneliti untuk memprediksi perubahan
fungsi psikologis (lihat Bodrova dan Leong, volume ini, untuk diskusi tentang pertanyaan ini
dalam kaitannya dengan anak usia dini). Penting untuk diketahui bahwa periode ini tidak
mencerminkan kebutuhan biologis (karena sumber genetik atau sumber organik lainnya),
meskipun perkembangan fungsi psikologis yang lebih tinggi (misalnya, persepsi, memori
sukarela, ucapan, pemikiran) bergantung pada ini. kondisi alam. Ketika Vygotsky menulis tentang
"usia", maka itu dipahami sebagai mencerminkan kategori psikologis dan bukan hanya
karakteristik temporal. Jadi, dalam pernyataan “tingkat perkembangan aktual ditentukan oleh usia
itu, tahap atau fase dalam usia tertentu yang dialami anak pada waktu itu” (Vygotsky, 1998b, hlm.
199), seseorang dapat memahami “dalam usia tertentu” untuk merujuk pada periode
perkembangan. Demikian pula, tidak ada fungsi psikologis yang "murni" dalam arti modul atau
fakultas yang diberikan secara biologis. Melainkan mereka terbentuk, baik secara historis dalam
perkembangan filogenetik masyarakat manusia maupun secara individual dalam perkembangan
ontogenetik orang-orang dalam masyarakat ini.

Zona Perkembangan Proksimal dalam Teori Perkembangan Anak Vygotsky

Kita sekarang dapat menggunakan model perkembangan anak ini, seperti yang dilakukan
Vygotsky, untuk memperkenalkan gagasan tentang zona perkembangan proksimal. Zona
perkembangan proksimal digunakan untuk dua tujuan yang berbeda dalam analisis
perkembangan psikologis (yaitu, transisi dari satu periode usia ke periode lainnya). Salah satu
tujuannya adalah untuk mengidentifikasi jenis fungsi psikologis yang matang (dan interaksi sosial
yang terkait dengannya) yang diperlukan untuk transisi dari satu periode usia ke periode
berikutnya. Yang lainnya adalah mengidentifikasi keadaan anak saat ini dalam kaitannya dengan
pengembangan fungsi-fungsi ini yang diperlukan untuk transisi itu. Mari kita pertimbangkan setiap
penggunaan secara bergantian.

Untuk setiap periode usia, ada sekelompok fungsi psikologis yang matang dalam kaitannya
dengan formasi baru yang sentral dan yang akan mengarah pada restrukturisasi fungsi yang ada
ke pembentukan struktur baru. Formasi baru ini menghasilkan transisi ke periode usia berikutnya.
Untuk kejelasan referensi, kita akan menunjuk konstelasi tripartit zaman sekarang, fungsi
pematangan, dan zaman berikutnya sebagai zona objektif perkembangan proksimal. Zona ini
'objektif' dalam arti tidak mengacu pada individu anak mana pun tetapi mencerminkan fungsi

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 141


psikologis yang perlu dibentuk selama periode usia tertentu agar periode usia berikutnya dapat
terbentuk.

Zona objektif tidak didefinisikan secara apriori tetapi mencerminkan hubungan struktural yang
dibangun secara historis dan dibentuk secara objektif dalam periode sejarah di mana anak itu
hidup. Seseorang dapat mengatakan bahwa zona untuk periode usia tertentu bersifat normatif,
karena mencerminkan tuntutan dan harapan yang dilembagakan yang berkembang secara
historis dalam tradisi praktik masyarakat tertentu. Misalnya, anak usia sekolah diharapkan
mengembangkan kemampuan untuk bernalar dengan konsep akademik (yaitu, ilmiah). Individu
yang tidak mengembangkan kemampuan ini dapat dikatakan memiliki struktur intelektual yang
berbeda dengan kebanyakan anak usia sekolah. Penalaran dengan konsep adalah manifestasi
khusus dari bentukan-bentukan baru untuk zaman ini, yang menurut Vygotsky adalah kesadaran
dan kemauan.

Semua fungsi mental utama baru yang secara aktif berpartisipasi dalam pengajaran di sekolah
dikaitkan dengan bentukan-bentukan baru yang penting pada zaman ini, yaitu dengan kesadaran
dan kemauan. Ini adalah fitur yang membedakan semua fungsi mental yang lebih tinggi yang
berkembang selama periode ini. (Vygotsky, 1987, hlm. 213)

Dengan kondisi objektif yang berbeda (misalnya, kehidupan anak-anak yang bekerja di pabrik-
pabrik Inggris selama abad ke-19; lihat Marx 1990, bab 10, bagian 3–6), situasi perkembangan
sosial akan berbeda; jadi orang perlu mengkarakterisasi zona objektif yang berbeda dari
perkembangan proksimal untuk periode usia tertentu.

Untuk zona objektif perkembangan proksimal tertentu, dimungkinkan untuk (berusaha) menilai
keadaan perkembangan anak individu saat ini (dalam kaitannya dengan zona objektif). Menurut
teori Vygotsky, fungsi pematangan adalah sumber perubahan struktur internal pada periode usia
tertentu. Prosedur penilaian harus ditujukan untuk mengidentifikasi status terkini dari fungsi-
fungsi pematangan ini. Karena fungsi-fungsi ini tidak memadai untuk kinerja independen, maka
perlu untuk mengidentifikasinya melalui prosedur dinamis dan interaktif yang memberikan
indikasi untuk memperkirakan tingkat perkembangannya (lihat Lidz dan Gindis, volume ini, untuk
diskusi ekstensif tentang prosedur tersebut). Perkiraan ini dapat dipahami secara relatif – yaitu,
status fungsi pematangan saat ini relatif terhadap perubahan struktural yang mencirikan periode
usia berikutnya. Seseorang dapat merujuk pada sejauh mana fungsi pematangan anak saat ini

142 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


mewujudkan struktur periode usia berikutnya sebagai zona subjektif perkembangan proksimal.
Zona subjektif disebut 'subjektif' untuk menunjukkan bahwa seseorang berbicara tentang
perkembangan individu seseorang dalam kaitannya dengan tujuan, periode yang terbentuk
secara historis dari perkembangan selanjutnya.

Singkatnya, fitur utama dari analisis zona perkembangan proksimal adalah (a) seluruh anak, (b)
struktur internal (yaitu, hubungan antara fungsi psikologis), (c) perkembangan sebagai
perubahan kualitatif dalam hubungan struktural, (d) ditimbulkan oleh tindakan anak dalam situasi
perkembangan sosial (mencerminkan apa yang anak rasakan dan minati), di mana (e) setiap
periode usia memiliki aktivitas/kontradiksi utama yang mengatur tindakan anak ( di mana
kepentingan subjektif beroperasi) di mana fungsi-fungsi baru berkembang. Zona perkembangan
proksimal adalah cara untuk merujuk pada fungsi yang berkembang secara ontogenetik untuk
periode usia tertentu (objektif) dan keadaan perkembangan anak saat ini dalam kaitannya
dengan fungsi yang idealnya perlu diwujudkan (subyektif). Dalam hal ini, zona perkembangan
proksimal merupakan penemuan teoritis dan empiris.

MENGIDENTIFIKASI (DAN MENJELASKAN) ZONA SUBJEKTIF PERKEMBANGAN


PROKSIMAL: PERAN IMITASI

Masalah utama yang dibahas di sini adalah “bagaimana seseorang mengidentifikasi atau menilai
zona perkembangan proksimal anak secara individu”? Beberapa masalah harus
dipertimbangkan: (a) Mengapa seseorang ingin menilai zona perkembangan proksimal? (b)
Mengapa ada zona perkembangan proksimal? (c) Apa peran imitasi dan kolaborasi? (d) Apa
"ukuran" dari zona subjektif? Berbagai aspek ini disatukan oleh kepentingan umum untuk
memahami dinamika perkembangan dalam kaitannya dengan psikologi yang diarahkan pada
praktik. (Zona objektif ada melalui situasi sosial pembangunan.)

Mengapa kita Ingin Menilai Zona Perkembangan Proksimal?

Sebagai langkah pertama untuk memahami bagaimana Vygotsky merumuskan zona subjektif
perkembangan proksimal, penting dan perlu untuk memahami mengapa seseorang ingin
membuat penilaian seperti itu. Ingatlah bahwa minat Vygotsky adalah untuk mengembangkan
dasar teoritis untuk intervensi pedagogis yang tepat, termasuk prinsip-prinsip untuk kemungkinan
pengelompokan instruksional anak-anak dan identifikasi intervensi khusus untuk masing-masing
anak. Intervensi harus didasarkan pada prosedur diagnostik yang didasarkan pada pemahaman

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 143


yang jelas tentang keadaan perkembangan anak saat ini. Dalam pandangan ini, tidak dapat
diterima untuk hanya memiliki indikator atau gejala perkembangan psikologis (yang berkorelasi);
seseorang harus menggunakan pemahaman teoritis tentang proses di mana seseorang
berkembang. "Diagnosis yang benar harus memberikan penjelasan, prediksi, dan dasar ilmiah
untuk resep praktis" (Vygotsky, 1998b, hal. 205). Sebuah solusi untuk masalah diagnostik identik
dengan memiliki teori penjelasan perkembangan psikologis. Dari perspektif ini, seseorang dapat
memahami mengapa Vygotsky (1998b) menghubungkan tingkat usia, praktik, dan diagnostik:

Masalah tingkat usia tidak hanya merupakan inti dari semua psikologi anak, tetapi juga
merupakan kunci dari semua masalah praktik. Masalah ini berhubungan langsung dan erat
dengan diagnosa perkembangan anak yang berkaitan dengan usia. (hal. 199)

Singkatnya, jika kita memahami dinamika kausal perkembangan anak, maka kita harus dapat
mengembangkan prosedur untuk menilai keadaan perkembangan seseorang saat ini dengan
cara yang memberikan wawasan tentang apa yang perlu dikembangkan oleh orang tersebut.
Vygotsky mengusulkan bahwa zona perkembangan proksimal sebagai prinsip diagnostik
"memungkinkan kita untuk menembus ke dalam hubungan kausal-dinamis dan genetik internal
yang menentukan proses perkembangan mental itu sendiri" (hal. 203). Untuk mewujudkan cita-
cita yang diusulkan Vygotsky, seseorang memerlukan penjelasan teoritis tentang mengapa zona
subjektif perkembangan proksimal ada dan bagaimana ia beroperasi untuk menilai zona
perkembangan proksimal anak individu (yaitu, zona subjektif perkembangan proksimal).

Mengapa Zona (Subjektif) Perkembangan Proksimal Ada?

Untuk memahami penjelasan Vygotsky tentang keberadaan zona perkembangan proksimal, kita
harus mempertimbangkan konsep teknisnya tentang imitasi, di mana analisisnya dibangun.
Kemampuan seseorang untuk meniru, seperti yang dipahami oleh Vygotsky, adalah dasar untuk
zona subjektif perkembangan proksimal. (Zona objektif ada melalui situasi sosial pembangunan.)
Imitasi, seperti yang digunakan di sini, bukanlah peniruan tindakan tanpa berpikir (1997a, hlm.
95; 1998b, hlm. 202). Sebaliknya Vygotsky ingin melepaskan diri dari pandangan penyalinan,
untuk memberi arti baru pada imitasi – yang mencerminkan posisi teoretis baru – di mana imitasi
mengandaikan beberapa pemahaman tentang hubungan struktural dalam suatu masalah yang
sedang dipecahkan (1987, hlm. 210).

144 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Seorang anak tidak dapat meniru apapun (1998b, hlm. 201; 1987, hlm. 209). “[I]mitasi hanya
mungkin sejauh dan dalam bentuk-bentuk yang disertai dengan pemahaman” (Vygotsky, 1997a,
hlm. 96). “Sudah pasti bahwa anak hanya dapat meniru apa yang ada di dalam zona potensi
intelektualnya” (Vygotsky, 1987, hlm. 209). Peniruan mengacu pada ”segala jenis kegiatan jenis
tertentu yang dilakukan oleh anak . . . bekerja sama dengan orang dewasa atau dengan anak
lain” (1998b, hlm. 202) dan mencakup “segala sesuatu yang tidak dapat dilakukan anak secara
mandiri, tetapi yang dapat diajari atau yang dapat dia lakukan dengan arahan atau kerja sama
atau dengan bantuan pertanyaan yang mengarah” (1998b, hal. 202).

Asumsi penting adalah bahwa imitasi dimungkinkan karena (a) pematangan fungsi psikologis
masih belum cukup untuk mendukung kinerja independen tetapi (b) telah berkembang cukup
sehingga (c) seseorang dapat memahami bagaimana menggunakan tindakan kolaboratif
(misalnya, memimpin pertanyaan, demonstrasi) orang lain. Kehadiran fungsi pematangan ini
adalah alasan adanya zona perkembangan proksimal. Atau, dapat dikatakan bahwa zona
perkembangan proksimal didefinisikan sebagai mengacu pada tindakan intelektual dan fungsi
mental yang dapat digunakan anak dalam interaksi, ketika kinerja mandiri tidak memadai.

Klarifikasi Lebih Lanjut tentang Imitasi

Vygotsky mungkin percaya bahwa ada kemungkinan bahwa istilah imitasi akan disalahpahami.
Dia menyadari bahwa dia mencoba memberi arti baru pada istilah yang telah digunakan
sebelumnya dalam perspektif teoretis lainnya. Misalnya, ketika dia memperkenalkan ide ini dalam
History of the Development of Higher Mental Functions (1997a), dia menandakan reformulasi
yang dimaksudkan ("yang mungkin kita sebut dengan kata imitasi yang diterima secara umum")
dan kemudian segera mencoba untuk mencegah kesalahpahaman, "itu mungkin tampak bahwa
dalam berbicara tentang imitasi. . . kita kembali ke prasangka yang baru saja kita bicarakan” (hal.
95). Demikian pula, ia kadang-kadang mengacu pada imitasi "dipahami dalam arti luas"
(Vygotsky, 1987, hlm. 210) atau "sebagaimana didefinisikan di atas" (1998b, hlm. 202).

Vygotsky ingin mencegah kesalahpahaman ini, karena dia menganggap imitasi (saat dia
mencoba untuk mendefinisikannya) sebagai "salah satu jalur dasar perkembangan budaya anak"
(1997a, hlm. 95). Istilah imitasi dalam teks-teks Vygotsky harus dibaca dengan kesadaran bahwa
makna teknis khusus dimaksudkan. Apakah konsep imitasi Vygotsky dielaborasi secara

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 145


memadai adalah pertanyaan yang berbeda dan memerlukan pemeriksaan lebih lanjut. Untuk
tujuan sekarang, mari kita coba memahami apa yang dimaksudkan dengan konsep tersebut.

Kita melihat di sini bahwa Vygotsky menggunakan istilah imitasi untuk merujuk pada situasi di
mana seorang anak dapat terlibat dalam interaksi dengan orang lain yang lebih kompeten di
sekitar tugas-tugas tertentu yang tidak dapat dilakukan oleh anak itu sendiri, karena adanya
fungsi psikologis yang matang. . “[T]ia anak dapat masuk ke dalam peniruan melalui tindakan
intelektual kurang lebih jauh melampaui apa yang dia mampu dalam mental independen dan
tindakan yang bertujuan atau operasi intelektual” (1998b, hlm. 201). Sebagai contoh:

Jika kita tidak bisa bermain catur, kita tidak akan bisa bermain catur bahkan jika seorang master
catur menunjukkan caranya. Jika kita tahu aritmatika, tetapi mengalami kesulitan dengan solusi
dari masalah yang kompleks, demonstrasi akan segera mengarah pada penyelesaian masalah
kita sendiri. Di sisi lain, jika kita tidak tahu matematika yang lebih tinggi, demonstrasi resolusi
persamaan diferensial tidak akan menggerakkan pemikiran kita sendiri ke arah itu dengan satu
langkah. Untuk meniru, harus ada kemungkinan untuk berpindah dari apa yang bisa kita lakukan
ke apa yang tidak bisa kita lakukan. (Vygotsky, 1987, hlm. 209)

Bersama dengan upaya untuk menggeser arti imitasi ini, orang dapat melihat ide inti dari zona
subjektif perkembangan proksimal dalam pemikiran Vygotsky, yang dirumuskan setidaknya 2
tahun sebelum penyebutan pertama yang tercatat: “meringkas posisi baru psikologi di area ini,
kita dapat mengatakan: lingkaran imitasi yang tersedia bertepatan dengan lingkaran
kemungkinan perkembangan aktual hewan” (Vygotsky, 1997a, hlm. 95). Asumsi kritis ini, yang
diklaim oleh Vygotsky (1998b) sebagai dukungan penelitian, selanjutnya dirumuskan dalam
bentuk yang lebih kuat: ada "pola genetik yang ketat antara apa yang dapat ditiru oleh seorang
anak dan perkembangan mentalnya" (hal. 202).

Menggunakan Imitasi untuk Menilai Zona Perkembangan Proksimal

Kita sekarang dapat mempertimbangkan bagaimana konsep imitasi memberikan pembenaran


teoritis untuk bagaimana menilai zona perkembangan proksimal (subjektif) anak. “Area yang
belum matang, tetapi proses pematangan membentuk zona perkembangan proksimal anak”
(Vygotsky, 1998b, hlm. 202). Untuk anak tertentu, fungsi pematangan ini kurang lebih
berkembang tetapi tidak mampu mendukung kinerja mandiri. Kinerja independen tidak dapat
memberikan bukti tentang fungsi pematangan yang ada. Jika anak telah mengembangkan fungsi

146 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


mental yang memadai, maka kinerja mandiri akan dimungkinkan. Dalam situasi interaksi
(kolaborasi), anak hanya dapat meniru apa yang ada fungsi pematangannya. Jika anak tidak
memiliki kemampuan untuk meniru, maka ini akan dianggap sebagai indikasi bahwa fungsi
mental pematangan yang relevan tidak ada. Dengan kata lain, anak hanya dapat memanfaatkan
bantuan yang dapat dipahami oleh anak. Jadi, seseorang menentukan "apa yang anak mampu
dalam imitasi intelektual jika kita memahami istilah ini seperti yang didefinisikan di atas" (1998b,
hal. 202).

Kinerja yang sukses (dibantu) dapat digunakan sebagai indikator keadaan fungsi psikologis yang
matang:

Secara kasar, dengan menguji batas-batas imitasi yang mungkin, kita menguji batas-batas
kecerdasan hewan yang diberikan. . . . Jika kita ingin mempelajari seberapa banyak kecerdasan
yang diberikan telah matang untuk satu fungsi atau lainnya, kita dapat menguji ini dengan cara
meniru. (Vygotsky, 1997a, hlm. 96)

Singkatnya, kita meminta anak untuk memecahkan masalah yang berada di luar usia mentalnya
[yang diukur dengan kinerja mandiri] dengan semacam kerja sama dan menentukan seberapa
jauh potensi kerja sama intelektual dapat direntangkan untuk anak yang diberikan dan seberapa
jauh itu melampaui usia mentalnya. (Vygotsky, 1998b, hlm. 202)

Tujuan Kolaborasi dalam Menilai dan Mengkarakterisasi Ukuran Zona Perkembangan


Proksimal

Interaksi atau kolaborasi dengan anak digunakan untuk menilai zona perkembangan proksimal
(subjektif) anak, karena memberikan kesempatan untuk meniru, yaitu cara untuk mengidentifikasi
kematangan fungsi psikologis yang masih belum memadai untuk kinerja mandiri. Hal ini dapat
dilihat secara implisit sebagai berikut:

Dengan menerapkan prinsip kerja sama untuk membangun zona perkembangan proksimal, kita
memungkinkan untuk mempelajari secara langsung apa yang paling tepat menentukan
kematangan mental yang harus diwujudkan dalam periode proksimal dan selanjutnya dari tahap
perkembangannya. (Vygotsky, 1998b, hlm. 203)

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 147


Vygotsky sering menggunakan istilah kolaborasi dalam pembahasannya tentang penilaian zona
perkembangan proksimal. Istilah ini tidak boleh dipahami sebagai upaya bersama dan
terkoordinasi untuk bergerak maju, di mana mitra yang lebih ahli selalu memberikan dukungan
pada saat-saat ketika fungsi yang matang tidak memadai. Tampaknya istilah ini digunakan untuk
merujuk pada situasi apa pun di mana seorang anak ditawari beberapa interaksi dengan orang
lain yang terkait dengan masalah yang harus dipecahkan. Fokus utama intervensi kolaboratif
adalah menemukan bukti untuk fungsi psikologis yang matang, dengan asumsi bahwa anak
hanya dapat mengambil keuntungan dari intervensi ini karena fungsi pematangan mendukung
kemampuan untuk memahami pentingnya dukungan yang ditawarkan.

Vygotsky tampaknya tidak memiliki prinsip, metode, atau teknik sistematis apa pun yang harus
memandu bagaimana kolaborasi harus dilakukan oleh seseorang yang menilai zona
perkembangan proksimal – jika seseorang menilai dari diskusinya dalam teks yang dibahas di
sini. Pertimbangkan contoh-contoh intervensi untuk menilai zona (subyektif) perkembangan
proksimal seorang anak. “kita membantu setiap anak melalui demonstrasi, pertanyaan utama,
dan dengan memperkenalkan elemen solusi tugas” (Vygotsky, 1987, hlm. 209). Berikut adalah
daftar paling lengkap yang dapat kita temukan, di mana Vygotsky (1998b) mengusulkan bahwa
setelah memberikan masalah kepada seorang anak,

kita menunjukkan kepada anak bagaimana masalah seperti itu harus diselesaikan dan melihat
apakah dia dapat menyelesaikan masalah dengan meniru demonstrasi. Atau kita mulai
memecahkan masalah dan meminta anak untuk menyelesaikannya. Atau kita mengusulkan agar
anak memecahkan masalah yang berada di luar usia mentalnya dengan bekerja sama dengan
anak lain yang lebih berkembang atau, akhirnya, kita menjelaskan kepada anak itu prinsip
pemecahan masalah, tanya pimpinan pertanyaan, menganalisis masalah untuknya, dll. (hal.
202).

Kita tidak melihat urutan prinsip dalam jenis intervensi ini, dan tidak ada diskusi di sini (atau di
tempat lain yang dapat kita temukan) tentang bagaimana menafsirkan tanggapan terhadap
intervensi yang berbeda dalam kaitannya dengan zona perkembangan proksimal.

Menafsirkan Hasil Kolaborasi

Meskipun Vygotsky tidak memberikan penjelasan rinci tentang prosedur untuk menilai zona
perkembangan proksimal, ia menunjukkan bagaimana seseorang (secara kasar) dapat

148 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


menafsirkan hasil dari melakukan pemecahan masalah kolaboratif dengan seorang anak, dengan
fokus pada (mungkin) contoh hipotesis dari dua anak yang usia mentalnya diukur (dengan
prosedur tes intelegensi standar) menjadi 8 tahun (Vygotsky, 1998b, hlm. 202-203; 1987, hlm.
209). Setelah terlibat dalam pemecahan masalah yang dibantu (dari masalah yang tidak
ditentukan) dengan anak-anak, seseorang menentukan bahwa dengan bantuan satu anak
memecahkan masalah yang sesuai dengan standar untuk anak berusia 12 tahun, dan anak
lainnya memecahkan masalah yang sesuai dengan standar untuk anak. 9 tahun. “Sehubungan
dengan proses pendewasaan, yang satu berjalan empat kali lebih jauh dari yang lain” (1998b,
hlm. 203).

Yang lebih menarik adalah penggunaan yang dibuat Vygotsky dari diagnostik ini dalam
eksperimen instruksional. Jika diasumsikan bahwa mungkin, dengan cara yang mendekati, untuk
menggunakan prosedur kolaborasi dan interpretasi seperti yang dijelaskan dalam paragraf
sebelumnya, maka harus dimungkinkan untuk mengidentifikasi anak-anak yang memiliki zona
"lebih besar" dan "lebih kecil". perkembangan proksimal. Penting untuk dicatat bahwa "ukuran"
ini mengacu pada sejauh mana seorang anak dapat memanfaatkan kolaborasi untuk
mewujudkan kinerja di luar apa yang ditentukan oleh kinerja mandiri dan relatif terhadap norma
usia. Tidak ada alasan untuk percaya bahwa "ukuran" ini adalah properti tetap seorang anak
yang tetap konstan sepanjang periode usia.

Dengan prosedur ini di tangan, adalah mungkin bagi Vygotsky untuk melakukan eksperimen yang
mengeksplorasi konsekuensi dari penggunaan hasil prosedur ini sebagai prinsip untuk
mengelompokkan anak-anak untuk tujuan instruksional. Dalam satu artikel, yang sejauh yang
kita tahu tidak diterjemahkan atau tersedia, Vygotsky (1935a) menjelaskan serangkaian
eksperimen di mana anak-anak diuji dan diidentifikasi memiliki IQ tinggi atau rendah serta zona
besar atau kecil. (sebagaimana ditentukan oleh jenis prosedur yang dijelaskan dalam paragraf
sebelumnya). Keberhasilan sekolah selanjutnya ditentukan, dan tampaknya ukuran zona
perkembangan proksimal lebih dapat diprediksi daripada IQ. Artinya, anak-anak dengan zona
perkembangan proksimal yang lebih besar (yaitu, lebih banyak fungsi pematangan yang tersedia
saat ini) memiliki perkembangan intelektual yang sebanding, terlepas dari IQ. Demikian pula,
anak-anak dengan zona perkembangan proksimal yang lebih kecil memiliki perkembangan
intelektual yang sebanding, terlepas dari IQ yang diukur pada awalnya. Dengan kata lain, zona
perkembangan proksimal memberikan indikasi yang lebih baik untuk memprediksi atau
memahami perkembangan intelektual masa depan daripada ukuran kinerja independen karena

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 149


berfokus pada fungsi pematangan. Sejumlah besar fungsi pendewasaan memberi anak
kesempatan yang lebih baik untuk memperoleh manfaat dari pengajaran di sekolah. Ringkasan
rinci artikel ini ditemukan di van der Veer dan Valsiner (1991, hlm. 336–341).

Menangani Beberapa Ketidaklegalan Teoretis

Sebagai ringkasan tentatif, tampak bahwa Vygotsky merumuskan logika teoritis umum untuk
menilai zona (subyektif) perkembangan proksimal tetapi hanya memiliki kesempatan untuk
menyusun prosedur khusus untuk membuat kolaborasi dan menginterpretasikan hasil secara
kasar atau perkiraan. tata krama. Dalam menyajikan konsep imitasi Vygotsky dan cara
menggunakannya untuk menyelidiki zona (subjektif) perkembangan proksimal, kita telah
mencoba untuk menyoroti logika teoritis umum ini, khususnya, gagasan bahwa zona harus
didefinisikan berdasarkan penjelasan yang jelas. pertimbangan sifat pembangunan dan penilaian
yang harus diarahkan pada proses ini. Pekerjaan di masa depan perlu mempertimbangkan
apakah akan mengembangkan (atau menolak) logika ini.

Perbedaan ini – antara logika teoretis dan usulan khusus untuk mewujudkan logika ini –
memberikan cara yang berguna untuk menangani beberapa masalah konseptual yang muncul
dalam mencoba membingkai gagasan zona perkembangan proksimal dalam kaitannya dengan
fungsi pematangan, formasi baru, dan periode usia, sambil menghubungkannya dengan gagasan
usia mental dan kinerja independen, yang mungkin didasarkan pada teori perkembangan yang
berbeda.

Dalam diskusi yang diterbitkannya, Vygotsky tampaknya menerima secara tidak kritis bahwa
kinerja independen, pada kenyataannya, mengukur fungsi psikologis yang dikembangkan
sepenuhnya. Demikian pula, ia mengacu pada usia mental, tetapi bagaimana hal ini berhubungan
dengan gagasan tentang periode usia? Apa hubungan antara usia mental dan formasi baru yang
diperlukan untuk transisi ke periode usia berikutnya? Gagasan imitasi terkait dengan konsep
Gestalt tentang wawasan struktural – haruskah itu dihilangkan, direvisi, atau ditambah? Banyak
penelitian kontemporer telah dilakukan sekarang pada interaksi dalam pemecahan masalah
bersama antara orang dewasa dan anak. Apakah karya ini memerlukan revisi dan elaborasi dari
gagasan kolaborasi Vygotsky yang agak berbeda? Masih banyak lagi pertanyaan semacam ini
yang bisa diajukan. Mereka tidak mungkin diselesaikan secara semantik dengan
menyempurnakan definisi. Yang lebih penting adalah fokus pada pembingkaian masalah (yaitu,

150 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


struktur teoretis dari argumen umum yang dirumuskan), dalam hal ini, memiliki penjelasan
perkembangan dan prosedur diagnosis yang dimotivasi langsung oleh teori perkembangan itu.
dan bukan dengan gejala perilaku. Pekerjaan di masa depan harus difokuskan pada
penyempurnaan dan elaborasi bahwa program teoretis (misalnya, penilaian perkembangan
mental harus secara langsung terkait dengan fungsi psikologis spesifik yang sedang
berkembang; perlu untuk mengidentifikasi fungsi psikologis yang diperlukan untuk mendukung
transisi ke usia berikutnya. periode), menggambar pada pemahaman tambahan apa pun yang
kita miliki tentang proses pengembangan dan pembelajaran.

PERSPEKTIF DAN IMPLIKASI (SEBAGAI PENGGANTI RINGKASAN)

● Dalam istilah yang paling umum, gagasan zona perkembangan proksimal dimaksudkan
untuk mengarahkan perhatian pada gagasan bahwa instruksi/pengajaran (obuchenie)
harus difokuskan pada fungsi psikologis yang matang, daripada fungsi yang sudah ada,
yang relevan untuk intelektual umum perkembangan ke periode usia berikutnya.

● Zona menggambarkan hubungan struktural, baik dalam hal jumlah, luas, dan hubungan
antara fungsi-fungsi pematangan (subyektif) dan dalam kaitannya dengan fungsi-fungsi
yang dibutuhkan untuk periode usia berikutnya (objektif). Artinya, zona objektif (yaitu,
perkembangan apa yang akan mengarah pada perkembangan berikutnya) adalah sama
untuk semua anak, tetapi posisi subjektif masing-masing anak dalam kaitannya dengan
zona objektif ini berbeda (1987, hlm. 209; 1986, hlm. 187; 1982b, hlm. 116–119; untuk
ringkasan tahun 1935a, lihat Van der Veer & Valsiner, 1991, hlm. 338–339).

● Isi dan makna zona berubah, tergantung pada periode usia yang dipertimbangkan. Prinsip
umum untuk memahami dinamika perubahan struktural adalah sama, tetapi kita perlu
memeriksa situasi sosial untuk pembangunan, struktur psikologis yang ada, dan struktur
berikutnya yang sedang dibentuk untuk mencirikan zona objektif perkembangan
proksimal. periode usia tertentu kira-kira dengan pantas.

● Fokus pembelajaran konsep akademik atau sekolah dalam kaitannya dengan zona
perkembangan proksimal muncul karena perkembangan ini relevan dengan usia sekolah,
bukan karena zona perkembangan proksimal selalu melibatkan pengembangan konsep
akademik. Lainnya periode usia akan memiliki fokus lain.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 151


● Dalam kaitannya dengan usia sekolah, fungsi teoritis dari penelitian perkembangan
proksimal zona Vygotsky dapat dipahami sebagai pencarian untuk mengidentifikasi cara
berprinsip untuk mengkonseptualisasikan sekolah dalam kaitannya dengan seluruh anak
dan bukan hanya kinerja anak pada satu tugas (lihat Hedegaard, 1990, untuk contoh yang
berguna).

● Zona perkembangan proksimal bukan sekadar cara untuk merujuk pada perkembangan
melalui bantuan orang lain yang lebih kompeten. Bantuan ini hanya berarti dalam
kaitannya dengan fungsi pendewasaan yang diperlukan untuk transisi ke periode usia
berikutnya.

● Zona tidak pernah terletak semata-mata pada anak, bahkan zona subjektif sekalipun.
Zona subjektif selalu merupakan evaluasi kemampuan anak dalam kaitannya dengan
model teoritis periode usia.

Implikasi dalam Kaitannya dengan Interpretasi Kontemporer

● Beberapa peneliti telah mengkarakterisasi konsep Vygotsky sebagai "metaforis" dan/atau


"heuristik" (misalnya, Daniels, 2001, hal. 56; Kovalainen, Kumpulainen, & Vasama, 2001,
hal. 18; Lloyd & Fernyhough, 1999, hal. 18; Valsiner, 1998, p.68; Wells, 1999, p.314),
atau retoris, deskriptif, dan tidak dimaksudkan untuk pengembangan teoretis sistematis
(Valsiner, 1998, p. 69; Valsiner & van der Veer, 1993, p. .43). Sepertinya tidak ada
menjadi dukungan untuk pernyataan tersebut.

● Beberapa peneliti berpendapat bahwa zona perkembangan proksimal tercipta dalam


interaksi antara anak dan orang dewasa (misalnya, Davydov, 1998, hlm. 29; Mercer &
Fisher, 1992, hlm. 342; Sternberg & Grigorenko, 2002, hlm. 37– 38). Argumen-argumen
ini layak untuk dianalisis lebih lanjut. Menurut analisis yang disajikan di sini, zona
perkembangan proksimal mengacu pada fungsi pematangan yang relevan dengan
periode usia berikutnya dan yang menyediakan sarana untuk tampil dalam situasi
kolaboratif yang tidak dapat dicapai secara mandiri. Fungsi-fungsi ini tidak dibuat dalam
interaksi; melainkan interaksi menyediakan kondisi untuk mengidentifikasi keberadaan
mereka dan sejauh mana mereka telah berkembang.

152 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Banyak masalah yang masih harus didiskusikan:

● Konteks historis dan dasar metodologis dimana ide-ide ini dikembangkan


● Hubungan dengan teori Vygotsky (1997a) tentang perkembangan psiko-fungsi logika
● Hubungan dengan literatur scaffolding (lihat Stone, 1998, untuk tujuan yang baik diskusi)
● Masalah dengan rumusan teoretis Vygotsky
● Masalah dengan banyak interpretasi kontemporer dari zona perkembangan proksimal
● Implikasi untuk teori instruksi dan desain instruksional
● Implikasi untuk pengajaran di kelas dan murid yang beragam

KESIMPULAN

Salah satu daya tarik dari gagasan zona perkembangan proksimal dalam kaitannya dengan
praktik pendidikan adalah bahwa ia memberikan perspektif khusus untuk
mengkonseptualisasikan hubungan antara pembelajaran dan perkembangan manusia – sebuah
perspektif yang juga memiliki beberapa perbedaan mendasar dengan banyak pandangan yang
saat ini dominan tentang hubungan ini. Meskipun bahan tekstual tipis tersedia dari Vygotsky
tentang zona perkembangan proksimal, interpretasi ide sudah cukup untuk merangsang banyak
penelitian dan refleksi untuk memperjelas dan menguraikan ide dasar. Hal ini telah menghasilkan
keragaman interpretasi dan variasi; keragaman seperti itu kemungkinan akan berlanjut dalam
beberapa dekade mendatang, mengingat sifat formulasi asli yang agak kurang spesifik dan
berbagai situasi praktis di mana gagasan itu digunakan. Variasi dan elaborasi ini, bersama
dengan evaluasi kritisnya, merupakan bagian penting dari proses ilmiah yang diperlukan untuk
menyempurnakan zona perkembangan proksimal sebagai konsep untuk memahami dan
mengembangkan praktik pendidikan. Tidak ada alasan untuk mempertahankan infalibilitas atau
kecukupan argumen dan pencapaian Vygotsky dengan konsep zona perkembangan proksimal.
Namun, (a) Vygotsky mencoba mengangkat serangkaian isu yang belum cukup dikonfrontasikan
dalam literatur kontemporer yang mengacu pada konsep ini; (b) banyak dari “resolusi” atau
“perkembangan baru” yang telah diusulkan oleh berbagai penulis tampaknya merupakan
pengenceran dari masalah teoritis umum ini, daripada klarifikasi atau pendalaman; dan (c)
banyak argumen, kritik, dan kekhawatiran yang dikemukakan secara eksplisit salah atau tidak
mengarah pada perspektif teoretis Vygotsky sama sekali. Orang yang ingin menggunakan

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 153


konsep zona perkembangan proksimal harus, minimal, mencoba memahami masalah teoritis dan
konseptual tertentu yang coba ditangani Vygotsky ketika ia merumuskan konsep ini.

Sekarang setelah lebih banyak teks Vygotsky tersedia, tidak ada alasan untuk terus
menggunakan interpretasi konsep yang terbatas atau terdistorsi. Tampaknya lebih tepat
menggunakan istilah zona perkembangan proksimal untuk merujuk pada fenomena yang ditulis
Vygotsky dan menemukan istilah lain (misalnya, instruksi berbantuan, perancah) untuk merujuk
pada praktik seperti mengajarkan konsep materi pelajaran tertentu, keterampilan, dan
sebagainya.

Ini bukan untuk menyangkal kebermaknaan penyelidikan lain (misalnya, pemecahan masalah
bersama, penilaian dinamis kemampuan intelektual), hanya untuk menunjukkan bahwa tidak ada
nilai ilmiah tambahan dalam merujuk ini sebagai zona perkembangan proksimal kecuali satu
secara bersamaan. memiliki teori perkembangan yang penilaian ini dapat terkait. Justru pada titik
inilah orang dapat melihat, dengan cara kontras, bagaimana sebagian besar pekerjaan yang
mengacu pada zona perkembangan proksimal tidak memiliki teori perkembangan seperti itu,
bahkan secara implisit. Aspek ini patut ditelaah lebih intensif.

Setelah Anda memahami lebih dalam mengenai Pembelajaran pada ‘Zone of


Proximal Development (ZPD)’, silahkan menjawab beberapa pertanyaan reflektif
berikut ini.

Lembar Kerja

Apa pandangan yang Anda miliki saat ini tentang Pembelajaran pada ‘Zone of Proximal
Development (ZPD)’?

1. Saya merasa …………… bila ditugaskan mengajar dengan memahami Pembelajaran


pada ‘Zone of Proximal Development (ZPD)’ pada peserta didik.
2. Apa yang saya rasakan tersebut dipengaruhi oleh :
a. pandangan saya tentang Pembelajaran pada ‘Zone of Proximal Development (ZPD)’
dalam pendidikan di Indonesia yang ……………………..
b. pandangan saya tentang pendidikan serta pengajaran di Indonesia yang ………….........
c. pandangan saya lainnya yang ………………………….

154 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


d. keyakinan saya bahwa ………………………
e. pengalaman dan memori saya bahwa ……………………

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 155


PANDUAN UJIAN TENGAH SEMESTER

Ujian Tengah Semester ini merupakan aksi nyata penerapan pembelajaran berupa
observasi tentang penerapan pembelajaran di sekolah pada mata pelajaran
tertentu yang menerapkan scaffolding pada ‘Zone of Proximal Development (ZPD)’
yang ditulis dalam bentuk paper, dengan ketentuan sebagai berikut:

● Gunakan Kelas PPL yang sedang Anda jalani, di mana Anda mengajar
dan mengobservasi penerapan scaffolding pada ‘Zone of Proximal
Development (ZPD). Jelaskan konteks tersebut sebagai latar belakang
kelas, konteks, deskripsi mata pelajaran, serta informasi penting lainnya
yang mempengaruhi penerapan scaffolding pada ‘Zone of Proximal
Development (ZPD) bagi kelas tertentu.

● Berdasarkan analisis tersebut, susunlah sebuah paper untuk penerapan


scaffolding pada ‘Zone of Proximal Development (ZPD) pada satu mata
pelajaran di kelas tertentu. Diharapkan satu kelompok dapat bervariasi
dalam memilih mata pelajaran dan tingkatannya.

Paper memuat:
● Judul
● Pendahuluan
o Latar Belakang
o Rumusan Masalah
o Tujuan
● Pembahasan
● Penutup
● Daftar Pustaka

Untuk referensi, Anda dapat mempelajari portal belajar.id dengan akun Anda
(https://guru.kemdikbud.go.id/perangkat-ajar/) atau sumber lain yang sudah banyak
tersedia di internet.

156 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


● Tugas dikumpulkan pada pertemuan ke-8.
● Seluruh Paper yang disusun didokumentasikan dalam satu folder, sebagai
portofolio kelas, beserta semua tugas dan referensi lainnya.
● Rubrik penilaian

A B C D

- Mahasiswa - Mahasiswa - Mahasiswa - Mahasiswa


kurang/tidak menganalisis secara menganalisis konteks menganalisis secara
menganalisis konteks singkat konteks penerapan penerapan tajam konteks
daerah yang melatari penerapan penerapan scaffolding pada ‘Zone penerapan penerapan
penerapan scaffolding scaffolding pada ‘Zone of Proximal scaffolding pada ‘Zone
pada ‘Zone of of Proximal Development (ZPD) of Proximal
Proximal Development Development (ZPD) Development (ZPD)
- Mahasiswa
(ZPD)
- Mahasiswa - Mahasiswa
merancang penerapan
- Mahasiswa merancang rencana scaffolding pada ‘Zone merancang penerapan
merancang penerapan penerapan scaffolding of Proximal scaffolding pada ‘Zone
scaffolding pada ‘Zone pada ‘Zone of Development (ZPD, of Proximal
of Proximal Proximal Development dengan alur yang Development (ZPD),
Development (ZPD), (ZPD), dengan alur sistematis dengan alur yang
dengan alur yang yang kurang sistematis
- Mahasiswa
kurang sistematis sistematis
menyertakan - Mahasiswa
- Mahasiswa tidak - Mahasiswa tidak beberapa referensi menyertakan referensi
menyertakan referensi menyertakan referensi yang mendukung yang lengkap untuk
yang mendukung yang mendukung penerapan penerapan mendukung
penerapan penerapan penerapan penerapan scaffolding pada ‘Zone penerapan penerapan
scaffolding pada ‘Zone scaffolding pada ‘Zone of Proximal scaffolding pada ‘Zone
of Proximal of Proximal Development (ZPD) of Proximal
Development (ZPD) Development (ZPD) Development (ZPD)

- Mahasiswa
menyelesaikan tugas

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 157


melebihi tenggat - Mahasiswa - Mahasiswa - Mahasiswa
waktu menyelesaikan tugas menyelesaikan tugas menyelesaikan tugas
tepat waktu tepat waktu tepat waktu

PERTEMUAN 9

C. Ruang Kolaborasi

Setelah mempelajari tentang Pembelajaran pada ‘Zone of Proximal Development


(ZPD)’ yang mempengaruhi proses pendidikan dan merefleksikan dalam
pembelajaran, silakan bekerja dalam kelompok yang terdiri dari 4 orang untuk
berbagi hasil refleksi dan menyelesaikan tugas berikut.

Lembar Kerja - Kelompok

1. Silakan berbagi pemikiran mengenai pandangan mengenai Pembelajaran pada ‘Zone of


Proximal Development (ZPD)’ yang mempengaruhi proses pendidikan serta
pembelajaran kepada rekan sekelompok. Kemudian diskusikan pertanyaan berikut ini:

a. Apa pandangan masing-masing anggota kelompok tentang Pembelajaran pada


‘Zone of Proximal Development (ZPD)’ yang mempengaruhi proses pendidikan
serta pembelajaran?
b. Apa pandangan masing-masing anggota kelompok tentang kesiapannya
mengajar dengan memperhatikan Pembelajaran pada ‘Zone of Proximal
Development (ZPD)’ pada peserta didik?
c. Apa persamaan dan perbedaan pandangan tentang Pembelajaran pada ‘Zone of
Proximal Development (ZPD)’ yang mempengaruhi proses pendidikan yang
dimiliki?
d. Apa persamaan dan perbedaan pandangan tentang mengajar mengajar dengan
memperhatikan Pembelajaran pada ‘Zone of Proximal Development (ZPD)’ yang
pada peserta didik yang dimiliki?

2. Presentasikan hasil diskusi kelompok dalam bentuk visualisasi yang kreatif.

158 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


D. Demonstrasi Kontekstual

Setelah menyelesaikan tugas secara berkelompok, saat ini Anda akan


mempresentasikan hasil kerja kelompok Anda, dalam bentuk pameran hasil kerja,
yaitu menempelkan plano hasil visualisasi dalam ruangan dan bergantian dalam
presentasi, atau presentasi secara online dengan upload hasil kelompok dalam
folder yang disediakan.

Penilaian Tugas Kelompok:

● Tugas kelompok ini akan dinilai baik oleh dosen maupun oleh kelompok
lainnya.
● Tiap kelompok menilai presentasi dari kelompok lainnya, dengan panduan
yang disediakan. Tuliskan penilaian kepada kelompok lain dengan
menyebutkan hasil penilaian (A/B/C/D) beserta komentar tentang apa yang
paling membuka mata dari presentasi tersebut.
● Panduan penilaian dapat dilihat dalam rubrik berikut. Kolom A adalah hasil
ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C, dan D.

A B C D

Artikulasi sangat jelas Artikulasi jelas dan Artikulasi cukup bisa Artikulasi kurang jelas.
dan mudah dipahami. mudah dipahami. dipahami.
Isi tidak memberikan
Isi menjelaskan Isi menjelaskan Isi cukup menjelaskan pandangan mengenai
pandangan mengenai pandangan mengenai pandangan mengenai topik bahasan serta
topik bahasan secara topik bahasan secara topik bahasan, namun keterkaitannya.
mendalam, serta mendalam. kurang dalam
Visualisasi kurang
memberikan insight mendeskripsikan
Visualisasi menarik dan kreatif dan menarik.
atau pembelajaran keterkaitannya.
kreatif.
terkait topik bahasan.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 159


Visualisasi sangat Visualisasi cukup
menarik dan kreatif. menarik dan kreatif.

PERTEMUAN 10

E. Elaborasi Pemahaman

Dari demonstrasi kontekstual yang sudah dilakukan sebelumnya, dengan


mempelajari topik bahasan, buat kesimpulan berikut:

Lembar Kerja

1. Apa pandangan Anda mengenai topik bahasan tersebut?


2. Bagaimana Anda menyikapi tantangan yang ada terkait topik bahasan tersebut?
3. Apa saja hal baik yang Anda dapatkan mengenai topik bahasan tersebut?
4. Bagaimana Anda menerapkan ilmu yang Anda dapatkan terkait topik bahasan dalam
profesi Anda sebagai guru?
5. Pertanyaan apa yang ingin Anda ajukan lebih lanjut tentang topik bahasan tersebut?

F. Koneksi Antar Materi

Buatlah koneksi antar materi dari pembelajaran mengenai topik bahasan tersebut
dengan pembelajaran yang sudah, sedang, atau akan Anda pelajari di mata kuliah
PPG lainnya. Selain menyebutkan topik/materi dalam mata kuliah ini dengan
topik/materi dalam mata kuliah lain, sebutkan juga keterkaitannya. Buat koneksi
tersebut dalam bentuk visual untuk memudahkan kita semua dalam memahami,
bisa dalam bentuk mindmap, diagram, bagan, atau lainnya.

Selanjutnya, Anda dapat berdiskusi bersama terkait koneksi antar materi dalam
mata kuliah ini dengan mata kuliah lainnya.

160 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


G. Aksi Nyata

Pada akhir pembelajaran setiap topik, Anda diminta untuk merefleksikan


pembelajaran dalam blog masing-masing, dengan menggunakan alur MERDEKA
seperti dalam proses pembelajarannya. Anda bisa menceritakan refleksi Anda
dengan caranya masing-masing, bisa narasi yang dilengkapi visual, ataupun
narasi saja, atau model kreatif lainnya. Berikut ini panduan pertanyaan yang dapat
membantu Anda menuliskan blog:

No. Alur pembelajaran Pertanyaan Refleksi

1 Mulai Dari Diri Apa yang Anda pikirkan tentang topik ini sebelum memulai
proses pembelajaran?

2 Eksplorasi Konsep Apa yang Anda pelajari dari konsep yang Anda pelajari
dalam topik ini?

3 Ruang Kolaborasi Apa yang Anda pelajari lebih lanjut bersama dengan rekan-
rekan Anda dalam ruang kolaborasi?

4 Demonstrasi Kontekstual Apa hal penting yang Anda pelajari dari proses
demonstrasi kontekstual yang Anda jalani bersama
kelompok (bisa tentang materi, rekan, dan diri sendiri)?

5 Elaborasi Pemahaman Sejauh ini, apa yang sudah Anda pahami tentang topik ini?
Apa hal baru yang Anda pahami atau yang berubah dari
pemahaman di awal sebelum pembelajaran dimulai ?
Apa yang ingin Anda pelajari lebih lanjut?

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 161


6 Koneksi Antar Materi Apa yang Anda pelajari dari koneksi antar materi baik di
dalam mata kuliah yang sama maupun dengan mata kuliah
lain?

7 Aksi Nyata Apa manfaat pembelajaran ini untuk kesiapan Anda


sebagai guru?
Bagaimana Anda menilai kesiapan Anda saat ini, dalam
skala 1-10? Apa alasannya?
Apa yang perlu Anda persiapkan lebih lanjut untuk bisa
menerapkannya dengan optimal?

Berikut rubrik penilaian blog yang digunakan untuk setiap modul. Kolom A adalah
hasil ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C, dan D.

A B C D

Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa


mengartikulasikan mengartikulasikan mengartikulasikan mengartikulasikan
refleksi dalam blog refleksi dalam blog refleksi dalam blog refleksi dalam blog
dengan alur yang jelas dengan alur yang jelas dengan cukup mudah dengan kurang jelas
dan mudah dipahami, dan mudah dipahami. dipahami. dan sulit dipahami.
serta kreatif.
Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa
Mahasiswa menguraikan secara menguraikan secara menguraikan secara
menguraikan secara mendalam dan mendalam, namun singkat pandangan
mendalam dan kurang tajam dalam tentang topik bahasan,
mengaitkan secara
dan tidak
mengaitkan secara tajam pandangan mengaitkan pandangan
tajam pandangan mengenai topik mengenai topik mengaitkan pandangan
mengenai topik bahasan, baik dari bahasan. mengenai topik
bahasan, baik dari dirinya dan bahasan.
Mahasiswa
dirinya dan kelompoknya.
menyimpulkan secara
kelompoknya, serta
Mahasiswa sederhana
menyimpulkan pemahamannya

162 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


kaitannya dengan pemahaman mengenai mengenai topik Mahasiswa tidak atau
materi dari MK lain. topik bahasan secara bahasan. kurang jelas dalam
jelas. menyimpulkan
Mahasiswa Mahasiswa secara
menyimpulkan Mahasiswa mengaitkan singkat mengaitkan Pemahamannya
pemahaman mengenai pembelajaran dari pembelajaran dari mengenai topik
topik bahasan secara modul ini dengan modul ini dengan bahasan.
tajam. kesiapannya mengajar kesiapannya mengajar
Mahasiswa tidak
sebagai guru. sebagai guru.
Mahasiswa mengaitkan mengaitkan
pembelajaran dari pembelajaran dari
modul ini dengan modul ini dengan
kesiapannya mengajar kesiapannya mengajar
sebagai guru, termasuk sebagai guru.
mengartikulasikan apa
yang perlu
disiapkannya.

Catatan untuk Dosen Pengampu

● Modul ini disusun untuk menggali pengalaman dan wawasan para calon
guru terkait proses mendidik yang sesuai.
● Modul ini dapat dimodifikasi oleh dosen pengampu.
● Dosen pengampu dapat menambah materi terkait topik bahasan.
● Selain penilaian tugas kelompok (LK) dan blog, dosen pengampu juga
perlu menilai partisipasi dan sikap mahasiswa dalam proses pembelajaran.
Rubrik penilaian partisipasi dan sikap ini bisa digunakan, namun
dipersilakan untuk dimodifikasi, atau mengembangkan sendiri. Kolom A
adalah kondisi ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C,
dan D.

A B C D

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 163


Mahasiswa aktif Mahasiswa aktif Mahasiswa jarang Mahasiswa tidak
memberikan pendapat, memberikan pendapat, terlihat memberikan terlihat memberikan
menjawab pertanyaan menjawab pertanyaan pendapat atau pendapat atau
dari dosen/modul, dan dari dosen/modul, dan menjawab pertanyaan menjawab pertanyaan
mengajukan pertanyaan mengajukan pertanyaan dari dosen/modul. dari dosen/modul.
yang memperkaya untuk konfirmasi atau
Mahasiswa kurang Mahasiswa tidak
pemahaman seluruh klarifikasi.
menunjukkan perilaku menunjukkan perilaku
mahasiswa.
Mahasiswa cukup memfasilitasi rekan memfasilitasi rekan
Mahasiswa menunjukkan perilaku mahasiswanya dalam mahasiswanya dalam
menunjukkan perilaku memfasilitasi rekan proses pembelajaran proses pembelajaran
memfasilitasi rekan mahasiswanya dalam baik, di kelompok baik, di kelompok
mahasiswanya dalam proses pembelajaran maupun di kelas secara maupun di kelas secara
proses pembelajaran baik, di kelompok keseluruhan. keseluruhan.
baik, di kelompok maupun di kelas secara
Mahasiswa Mahasiswa tidak
maupun di kelas secara keseluruhan.
mengumpulkan tugas mengumpulkan tugas.
keseluruhan.
Mahasiswa melebihi dengan
Mahasiswa mengumpulkan tugas tenggat waktu yang
mengumpulkan tugas sesuai dengan tenggat ditentukan.
sebelum tenggat waktu waktu yang ditentukan.
yang ditentukan.

164 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


MODUL 5
PENDEKATAN, STRATEGI, METODE, DAN TEKNIK
PEMBELAJARAN YANG DITERAPKAN SEBAGAI SCAFFOLDING
PADA ZPD

Durasi: 3 pertemuan
Capaian Pembelajaran:
Setelah mempelajari topik ini, mahasiswa dapat:

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 165


1. menjelaskan pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan
sebagai Scaffolding pada ZPD
2. menyusun pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan
sebagai Scaffolding pada ZPD
3. merancang materi pembelajaran yang menerapkan Scaffolding pada ZPD
4. mendiskusikan pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan
sebagai Scaffolding pada ZPD

PERTEMUAN 11

A. Mulai dari Diri

Mahasiswa PPG Prajabatan yang berbahagia,

Selamat datang di topik yang kelima yaitu Pendekatan, strategi, metode, dan
teknik pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD. Topik ini
penting untuk mengantar Anda memahami Pendekatan, strategi, metode, dan
teknik pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD, serta
bagaimana faktor faktor ini mempengaruhi pendidikan di Indonesia.

Setelah mempelajari topik ini, Anda diharapkan mampu:

1. menganalisis dan menguraikan pendekatan, strategi, metode, dan teknik


pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD
2. merancang dan memodifikasi pendekatan, strategi, metode, dan teknik
pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD (tugas)
3. merancang dan memodifikasi materi mengajar yang menerapkan
Scaffolding pada ‘Zone of Proximal Development’
4. menganalisis dan menyimpulkan pendekatan, strategi, metode, dan
teknik pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD
5. berargumentasi dalam diskusi dan tulisan blog

166 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Kita akan mulai pembelajaran tentang Pendekatan, strategi, metode, dan teknik
pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD dalam pendidikan di
Indonesia dengan melakukan pengamatan terhadap video berikut ini.

Video Lentera Indonesia - Wayatim, Bacan, Halmahera Selatan


https://www.youtube.com/watch?v=WXo7b6jFYY4&t=7s

Setelah mengamati video tersebut, silakan menjawab pertanyaan berikut ini:

Lembar Kerja

Dari pengamatan tentang kondisi daerah tersebut:

1. Pernahkah Anda mengalami hal yang serupa? Bila ya, apa saja hal yang sama dan berbeda
yang Anda temui?

…………………………………………………………………………………………………..

2. Apa yang Anda pikirkan dan rasakan tentang kondisi pendidikan tersebut?

…………………………………………………………………………………………………..

3. Apa yang Anda pikirkan tentang pendidikan di masa itu?

………………………………………………………………………………………………….

Selanjutnya, silakan jawab pertanyaan reflektif berikut ini:

1. Bila Anda mendapatkan tugas mengajar bagaimana Anda memperhatikan Pendekatan,


strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD?

…………………………………………………………………………………………………..

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 167


2. Siapkah Anda mengajar dengan memperhatikan Pendekatan, strategi, metode, dan teknik
pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD? Apa alasannya?

…………………………………………………………………………………………………..

Mari berproses bersama dalam rangkaian pembelajaran selanjutnya untuk


semakin memahami tentang Pengantar perspektif sosial, budaya, ekonomi, dan
politik dalam pendidikan di Indonesia.

B. Explorasi Konsep

Pengertian kegiatan belajar dalam arti luas terdiri dari praktik pendidikan yang memperlakukan
siswa tidak hanya sebagai pelaksana instruksi guru tetapi, yang lebih penting, sebagai agen
tindakan kognitif yang didistribusikan antara guru dan siswa. Dengan penekanan pada aktivitas
pelajar, istilah aktivitas belajar mengacu pada beragam praktik pendidikan yang konsisten
dengan teori konstruktivis. Filsuf pendidikan John Dewey dan psikolog perkembangan Lev
Vygotsky, Jean Piaget, dan Jerome Bruner, di antara lain, mengusulkan bahwa anak-anak secara
aktif membangun pengetahuan, dan bahwa pengetahuan ini dibangun dalam konteks sosial.
Dengan demikian, siswalah yang menetapkan tujuan, mencari cara dan metode untuk
mencapainya, dan terlibat dalam pengendalian diri dan evaluasi diri atas pencapaian yang
dihasilkan.

Istilah dan konsep kegiatan belajar, dalam arti sempit, dikembangkan pada akhir 1950-an oleh
Daniel Elkonin (1904-1984). Seorang mahasiswa dan rekan Lev Vygotsky, psikolog pendidikan
dan perkembangan Rusia terkemuka ini sangat mempengaruhi beberapa generasi pendidik dan
peneliti di negaranya. Elkonin dan rekan langsungnya Vassily Davydov (1930-1998) menyusun
teori pendidikan yang inovatif bersama dengan praktik pendidikan terkait yang mewujudkan dan
mencontohkan teori tersebut. Sistem pendidikan ini membantu anak untuk menjadi agen
perubahan diri yang ditujukan untuk melampaui batas-batas pengalaman, pengetahuan,
keterampilan, dan kemampuan sendiri dan untuk memperoleh metode belajar mandiri (Davydov,
1988; Elkonin, 1988). Elkonin memulai konstruksi eksperimental dan verifikasi praktik pendidikan

168 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


ini pada tahun 1958 di satu sekolah Moskow. Sekarang pendekatannya telah berkembang
menjadi sistem pendidikan berpengaruh yang diadopsi oleh sekitar 10% sekolah di Rusia dan
oleh banyak pendidik di seluruh dunia (Amano, 1999; Carpay & Van Oers, 1999; Hedegaard,
1990; Lompscher, 2000). Bab ini membahas dasar-dasar psikologis dari teori aktivitas belajar.
Fondasi ini didasarkan pada teori sejarah budaya Vygotsky, terutama gagasannya bahwa
pendidikan memimpin pembangunan.

Dalam wacana psikologis dan pendidikan saat ini, gagasan kegiatan belajar sering
disalahgunakan untuk memasukkan segala jenis kegiatan yang tergabung dalam pelajaran kelas;
ini bukan arti dari istilah yang ditampilkan dalam bab ini. Seperti yang dijelaskan Michael Cole,
“Sangat sulit untuk menemukan aktivitas belajar yang nyata di lingkungan sekolah, setidaknya
lingkungan sekolah normal yang menampung jutaan anak Rusia dan Amerika setiap hari”
(Davydov & Markova, 1982, hlm. 50). Ketika pendidik membangun aktivitas belajar di kelas,
mereka membuka kemungkinan perkembangan baru bagi siswa mereka. Alih-alih eksperimen
laboratorium tradisional, metode penelitian dasar untuk menyelidiki aktivitas pembelajaran
adalah eksperimen desain, di mana eksperimenter berpartisipasi aktif dalam penyusunan
kurikulum, pendidikan guru, pengamatan dan intervensi jangka panjang di kelas, dan
pemantauan perkembangan. - perubahan tal pada siswa dan guru mereka. Eksperimen desain
sebagai metode penelitian "menghadirkan sakit kepala metodologis untuk psikologi tradisional,
alergi seperti halnya eksperimen yang membingungkan" (Brown, 1992, hlm. 166). Pada saat
yang sama itu adalah alat yang bermanfaat, meskipun sangat memakan tenaga untuk
mendukung dan mempelajari pendidikan, pengembangan, dan hubungan mereka.

KEGIATAN BELAJAR MEMBANGUN DASAR ORIENTASI UNTUK TINDAKAN DI MASA


DEPAN

Belajar adalah bagian tak terelakkan dari setiap aktivitas: Apapun yang dilakukan atau dialami
seseorang, dia pasti memperoleh kesan dan sikap baru, maksud dan makna, informasi dan kosa
kata, keterampilan dan kemampuan, potongan kebijaksanaan dan skema mental. Anak-anak
secara khusus diberkati dengan kemampuan untuk belajar. Dalam 5 tahun pertama kehidupan
kita, kita mengambil lebih banyak daripada di tahun-tahun sisa keberadaan kita. Sebagai ilustrasi,
bandingkan perbedaan perkembangan motorik antara (a) seorang atlet pemula dan seorang
juara dunia dan, sebaliknya, (b) seorang bayi yang baru lahir dan seorang anak berusia 5 tahun.
Kedua kasus berbeda setidaknya dalam dua aspek. Pertama, selama 5 tahun awal kehidupan,

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 169


anak-anak memperoleh lebih banyak keterampilan dan kapasitas motorik daripada atlet selama
5 tahun latihan keras. Selain itu, keterampilan yang diperoleh anak lebih mendasar, tidak hanya
untuk latihan olahraga, tetapi juga untuk berbagai bidang aktivitas motorik manusia lainnya.
Kedua, sebagian besar keterampilan yang diperoleh anak merupakan hasil sampingan dari
kegiatan lain. Anak-anak berlari, melompat, dan bermain bola bukan untuk tujuan yang disadari
dan disengaja untuk mengembangkan keterampilan, tetapi terutama untuk kesenangan murni
dari petualangan tubuh.

Sejak zaman kuno, sekolah telah menjadi institusi sosial khusus yang mengubah pembelajaran
prasekolah – yang awalnya terkait dengan repertoar luas aktivitas anak – menjadi aktivitas yang
terisolasi. Sekolah muncul ketika menjadi tidak mungkin untuk mengajarkan keterampilan baru
kepada anak-anak melalui peniruan langsung tindakan orang dewasa dalam proses praktik
bersama sehari-hari. Dengan kata lain, pendidikan sekolah formal mengisolasi instruksi dari
praktik kehidupan nyata. Teori pembelajaran dan kognisi terletak (Lave & Wenger, 1990)
mengkritik isolasi ini dengan menyatakan bahwa belajar biasanya merupakan fungsi dari
aktivitas, konteks, dan budaya di mana ia terjadi (yaitu, terletak). Klaim dari teori pembelajaran
terletak ini menimbulkan kecurigaan pada banyak kegiatan kelas, yang sering melibatkan
pengetahuan yang abstrak dan di luar konteks.

Kerugian dari pendidikan yang dikontekstualisasikan seperti itu sudah diketahui dengan baik.
Ketika dipelajari di luar konteks otentik, tindakan kehilangan dorongan motivasionalnya, dan
sebagai akibatnya, pembelajaran menjadi membosankan dan tidak berarti. Pendidik harus
berusaha untuk mengembangkan motif baru kegiatan belajar di luar utilitas langsung, misalnya,
minat kognitif, kesenangan penyelidikan ke yang tidak diketahui, dan kegembiraan
kesempurnaan diri. Namun, terlepas dari tantangan ini, ada keuntungan psikologis setidaknya
sebagian memisahkan instruksi dari praktik sehari-hari. Untuk memahaminya dengan lebih baik,
mari kita bedakan antara dua komponen tindakan manusia – mental dan manual, verbal dan
nonverbal, sadar dan tidak sadar, perspektif dan mnemonik: kinerja dan orientasi. Psikolog anak
Rusia yang terkenal, Piotr Galperin (1902–1988), yang merupakan murid Vygotsky dan rekan
dekat dan teman Elkonin, memperkenalkan gagasan tentang dasar orientasi dari suatu tindakan
(OBA). OBA mengacu pada seluruh rangkaian elemen orientasi yang memandu orang tersebut
dalam melakukan suatu tindakan dan karena itu menentukan kualitasnya. OBA adalah semacam
"peta kognitif," memberikan pelajar dengan informasi yang diperlukan untuk kinerja tindakan baru
dan untuk koreksi diri. Saat melakukan tindakan baru, pelajar harus memperhitungkan kondisi

170 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


orientasi seperti hasil yang diproyeksikan, sarana dan objek tindakan, dan urutan operasinya
(Galperin, 1992).

Semakin muda anak, semakin sedikit keterpisahan kinerja dan orientasinya. Misalnya, seorang
bayi biasanya tidak memeriksa gadget baru secara detail terlebih dahulu sebelum menyalakan
semua kenop dan tombolnya. Anak kecil belajar melalui akting. Orang dewasa, setidaknya
mereka yang menjadi pembelajar yang baik, pertama-tama memeriksa dan kemudian bertindak.
Sekolah adalah tempat di mana pembelajaran sengaja terputus dari tindakan praktis untuk
membantu siswa secara sadar membangun dasar tindakan yang berorientasi. Ada tiga dimensi
penting yang dapat digunakan untuk mengklasifikasikan OBA sehubungan dengan status
perkembangan mereka:

● Apakah OBA disediakan oleh guru atau dibangun oleh mahasiswa


● Apakah OBA lengkap dan cukup untuk menghasilkan tindakan yang tepat atau tidak
lengkap, oleh karena itu terkait dengan coba-coba atau koreksi langkah demi langkah dan
modifikasi OBA awal selama proses akting
● Apakah OBA bersifat umum, sehingga memberikan solusi yang tepat dari kelas luas tugas
serupa, atau sebagian, gagal mendukung transfer metode tertentu ke area baru

Aktivitas belajar adalah aktivitas self-propelled siswa yang membangun OBA umum dan lengkap
dalam praktik budaya yang dipilih secara tradisional untuk sekolah generasi baru: matematika,
seni, bahasa, ilmu alam, dan sebagainya. Bagi para pendidik, tantangannya adalah untuk
membangun aktivitas seperti itu ketika sebagian besar siswa yang memasuki sekolah sangat
ingin bertindak di tempat, menunjukkan sedikit atau tidak ada kecenderungan yang dapat diamati
untuk orientasi awal dalam tindakan mereka di masa depan.

AKTIVITAS BELAJAR: VISI BARU TENTANG TUGAS PERKEMBANGAN YANG SESUAI


DENGAN USIA

Peningkatan dan penguatan yang disengaja dari daftar kompetensi dan kemampuan seseorang
adalah salah satu tujuan paling tradisional dari pendidikan formal. Berabad-abad dan bangsa
berbeda secara dramatis dalam cara mereka mengangkat dan menjawab pertanyaan-
pertanyaan abadi tentang pendidikan sekolah: Apa yang harus mereka kembangkan dan
tingkatkan pada anak-anak yang lebih muda? Apa yang harus mereka lakukan dari sekolah?

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 171


Menjelaskan wawasan Vygotsky tentang pendidikan sebagai sarana utama untuk perkembangan
anak, Elkonin (1972) muncul dengan pertanyaan yang tak terduga dan tajam: Apa norma
perkembangan? Norma biasanya dianggap sebagai kinerja rata-rata statistik yang diamati dalam
kelompok usia tertentu dalam bidang keahlian tertentu. Gagasan statistik tentang norma ini
mengaburkan efek pendidikan pada tingkat pencapaian setiap anak dengan prosedur
mendefinisikan norma perkembangan untuk setiap kelompok usia. Sementara itu, “kebanyakan
teori pengembangan yang ada hanya menangkap satu versi pengembangan yang mungkin –
versi yang terikat pada alat kognitif yang kurang memadai yang digunakan dalam jenis instruksi
yang saat ini mendominasi” (Arievitch & Stetsenko, 2000, hlm. 69).

Lingkaran setan dengan mudah terbentuk di sekitar konsep statistik norma. Produk sistem
pendidikan dianggap sebagai norma perkembangan "alami", akibatnya tidak pernah ditantang,
dan akhirnya diterima sebagai sesuatu yang tidak berubah. Tidak ada yang menanyakan
pertanyaan yang jelas, Mungkinkah berbeda? Sebaliknya, anak dianggap “secara alami” mampu
atau tidak mampu mencapai tingkat perkembangan tertentu pada usia tertentu. Pendidikan yang
mendukung kedatangan yang aman pada tingkat perkembangan ini adalah yang dianggap sesuai
dengan usia. Seorang anak yang dijadwalkan untuk mencapai tingkat perkembangan ini pada
waktu tertentu dan tidak gagal untuk melakukannya diberi label siap.

Sangat sulit untuk memutuskan lingkaran setan ini jika seseorang menganggap pendekatan
statistik untuk mengidentifikasi norma-norma pembangunan. Namun, ada visi alternatif tentang
norma – sebagai model atau ideal. Misalnya, dianggap sebagai norma untuk tidak pernah
berbohong, meskipun banyak dari kita menghubungkan ketidakakuratan kecil atau menghindari
mengatakan seluruh kebenaran setidaknya sekali sehari. Elkonin mengusulkan bahwa visi norma
sebagai tingkat pencapaian potensi tertinggi adalah pengertian norma yang lebih umum daripada
pengertian statistik. Selain itu, ini lebih sesuai dengan pandangan Vygotskian tentang peran
penting pendidikan dalam pembangunan. Perkembangan seorang anak akan mencapai tingkat
potensi tertingginya ketika pendidikan melepaskan dan mempromosikan kemungkinan-
kemungkinan ini. Dalam pandangan ini, baik "pendidikan" dan "pembangunan" dianggap sebagai
variabel yang saling bergantung – bahkan lebih esensial, sebagai buatan – yang dibangun dalam
interaksi orang dewasa dan anak-anak. Singkatnya, pendidikan dan pengembangan dibuat,
dibentuk, atau dirancang, daripada terjadi secara alami.

172 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Dalam perspektif Vygotskian, tingkat pencapaian potensial yang dapat dicapai dengan bantuan
mitra yang lebih berpengetahuan (misalnya, seorang guru) sering dikaitkan dengan konsep zona
perkembangan proksimal. Konsep ini direvisi dalam teori aktivitas belajar.

AKTIVITAS BELAJAR: VISI BARU TENTANG ZONA PERKEMBANGAN PROKSIMAL

Zona perkembangan proksimal (ZPD) sering didefinisikan sebagai rentang potensi belajar
individu. Kemampuan potensial ini melebihi kemampuan aktual individu, ketika belajar difasilitasi
oleh seseorang yang lebih ahli (Wertsch, 1991). Dengan bantuan dari pasangan yang
berpengetahuan, seorang anak dapat tampil pada tingkat yang lebih tinggi daripada ketika
bertindak tanpa bantuan. Konsep ZPD diuraikan oleh Seth Chaiklin dalam volume ini; oleh karena
itu, kita hanya akan menyoroti satu aspek, yaitu lanskap multidimensi potensi perkembangan, di
mana memilih satu kemungkinan berarti menolak yang lain (Waddington, 1957).

Pada setiap titik perkembangan, setiap anak memiliki banyak potensi yang belum
teraktualisasikan untuk pencapaian lebih lanjut. Beberapa di antaranya akan menjadi nyata jika
didukung, tetapi dukungan itu juga akan mengekang, menahan, atau meruntuhkan lintasan
alternatif pengembangan potensial. Untuk memahami lebih baik sifat ambivalen dari dukungan
pendidikan, yang selalu secara bersamaan mendorong dan menahan, kita harus mengatasi
gagasan umum pembangunan sebagai jalur linier dari titik A (tingkat perkembangan yang telah
dicapai) ke titik B (tingkat perkembangan yang telah dicapai) tingkat pembangunan yang
berpotensi dapat diakses). Dalam lanskap perkembangan yang dirancang oleh seorang
Vygotskian, sistem pendidikan adalah faktor yang memilih jalur untuk perkembangan masa
depan anak dan alat budaya yang memotong lintasan perkembangan tertentu. Visi nonlinier dan
multidimensi tentang potensi perkembangan seperti itu membawa kita ke konsekuensi
pendidikan langsung. Sistem pendidikan yang berbeda mengirim siswa ke arah yang berbeda
dengan memfasilitasi potensi perkembangan tertentu, sementara mengabaikan dan/atau
membatasi yang lain. Sebagai ilustrasi, sekolah dasar tradisional, yang pada awalnya dibangun
oleh masyarakat industri yang sedang berkembang untuk mempersiapkan sebagian besar siswa
ke pabrik dan lapangan, menyalurkan pembangunan ke arah yang sama sekali tidak selaras
dengan misi sekolah dasar pada pergantian abad ke-20. abad, ketika tugas perkembangan
utama bagi anak-anak sekolah menengah pertama adalah mempersiapkan pendidikan seumur
hidup dan belajar mandiri.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 173


Mari kita mengidentifikasi lintasan perkembangan yang dipromosikan dan dibatasi oleh sistem
sekolah dasar tradisional. Produk utamanya adalah motivasi yang mendalam untuk kerja yang
teliti, disiplin diri bekerja, kecenderungan untuk mengikuti pekerjaan yang sudah dimulai dengan
penuh semangat, kecenderungan untuk menuntut pekerjaan seperti yang direncanakan, dan
kemampuan dan keterampilan untuk mengikuti instruksi yang disajikan sebagai teks, tanda, dan
simbol. Pada saat yang sama, sekolah tradisional menghambat perkembangan sikap kritis
terhadap aturan dan model, dan kapasitas untuk secara kreatif mengubah aturan dan cara
tindakan yang ada dan memodifikasinya atas inisiatif sendiri.

Terlepas dari pembatasan yang diberlakukan oleh sekolah tradisional pada perkembangan anak,
sangat sedikit anak, yang secara konvensional disebut berbakat, menunjukkan kapasitas luar
biasa untuk kreativitas, inisiatif intelektual, dan pemikiran kritis. Elkonin berhipotesis bahwa
kemampuan "spontan" yang biasanya hanya dikaitkan dengan siswa berbakat berusia 6 hingga
12 tahun di sekolah tradisional dapat dikembangkan di sebagian besar anak sekolah dasar di
bawah sistem pendidikan lain. Hipotesisnya yang berani diverifikasi oleh bukti dari eksperimen
selama 30 tahun yang dilakukan oleh Elkonin, Davydov, dan kolaborator mereka. Hasil praktis
dari pekerjaan mereka adalah sistem baru untuk pendidikan sekolah yang dirancang untuk
membekali siswa dengan aktivitas belajar.

KEGIATAN BELAJAR SEBAGAI PERANCAH UNTUK PENGEMBANGAN KEMAMPUAN


REFLEKTIF

Apa kemungkinan intelektual anak sekolah dasar yang terhalang oleh jenis pendidikan
tradisional? Potensi manusia seperti apa yang mungkin dipenuhi oleh jenis pendidikan baru?
Setengah abad yang lalu Elkonin dan Davydov memberikan jawaban singkat untuk pertanyaan-
pertanyaan ini. Ini adalah refleksi sebagai kemampuan dasar manusia (a) untuk
mempertimbangkan tujuan, motif, metode, dan sarana tindakan dan pikiran sendiri dan orang lain
(segi mental dari kemampuan ini kadang-kadang disebut metakognisi); (b) mengambil sudut
pandang orang lain, yaitu, melihat masalah dari sudut pandang lain dari sudut pandangnya
sendiri; dan (c) untuk memahami diri sendiri; mempelajari kelebihan dan keterbatasan diri sendiri
untuk menemukan cara agar unggul atau menerima kekurangan. Introspeksi adalah salah satu
bagian dari potensi manusia yang luar biasa ini; kekuatan untuk mengubah diri sendiri dan untuk
melampaui keterbatasan seseorang adalah elemen lain dari kapasitas manusia untuk refleksi.

174 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Tentu saja, ini adalah definisi dari refleksi yang sangat berkembang, yang dicapai baik pada usia
sekolah dasar maupun pada masa remaja. Faktanya, hanya sedikit orang dewasa yang
menunjukkan kemampuan reflektif yang sangat berkembang. Masalahnya adalah apakah
komponen utama refleksi intelektual, sosial, dan pribadi dapat dikembangkan pada anak sekolah
dasar dengan dukungan pendidikan. Orang mungkin bertanya mengapa itu harus dikembangkan
pada usia dini, ketika kebanyakan anak tidak diharapkan untuk menunjukkan kecenderungan
untuk refleksi. Solusi dari permasalahan tersebut adalah pendekatan Elkonin terhadap potensi
anak sekolah dasar. Ketika anak-anak dibantu dalam penemuan-penemuan yang "berbakat"
tampaknya membuat secara spontan (terutama, cara reflektif bertindak penting untuk
pembangunan independen dari OBA umum dan lengkap), sebagian besar kelompok usia ini
sesuai refleksi. Ketika pendidikan tidak menyalurkan siswa di sepanjang cara reflektif dalam
bertindak dan berpikir, kapasitas yang tak ternilai ini tetap menjadi karakteristik minoritas yang
memiliki hak istimewa, seperti yang memang terjadi dalam realitas kita yang tidak sempurna.

Pernyataan bahwa kegiatan belajar mengarahkan perkembangan anak sekolah dasar ke arah
kemampuan reflektif tidak mewakili apa yang terjadi secara alami. Sebaliknya, keadaan ini adalah
produk dari niat yang dinyatakan oleh para pendidik yang menganggap penting untuk
meregangkan ZPD anak-anak sekolah dasar menuju kecerdasan reflektif. Memilih lintasan
perkembangan (pilihan yang dibuat oleh masyarakat dewasa untuk anak-anak) selalu berarti
secara bersamaan menolak skenario perkembangan lainnya. Oleh karena itu, kita harus secara
eksplisit mengidentifikasi kemampuan mana yang dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran
dan mana yang tidak.

Kegiatan belajar dengan sengaja dan sistematis mengembangkan refleksi sebagai kapasitas
untuk membedakan antara yang diketahui dan yang tidak diketahui dan, ketika seseorang
berhipotesis tentang hal yang tidak diketahui, untuk mempertimbangkan tindakannya sendiri dan
tindakan pasangannya. Kemampuan untuk menyelidiki yang tidak diketahui dan untuk meminta
informasi yang sangat diperlukan; kebiasaan mengkritik pendapat dan tindakan diri sendiri dan
orang lain, menolak untuk menerima bukti yang tidak berdasar; dan kecenderungan untuk
mencari bukti dan sudut pandang yang beragam – ini adalah manifestasi perilaku dari
pengembangan kemampuan reflektif pada anak sekolah dasar.

Kegiatan belajar tidak mengembangkan kemampuan awalnya non reflektif, seperti kepercayaan,
empati, perilaku mimetis, dan penerbangan spontan dari imajinasi. Pengembangan bakat

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 175


tersebut akan berlangsung secara mandiri dari kegiatan belajar. Bakat-bakat ini didorong oleh
kegiatan lain, yang diperkaya oleh kegiatan belajar tetapi tidak digantikan olehnya. Dalam
membangun lingkungan belajar, merancang kurikulum, dan merencanakan pembelajaran,
pendidik harus menyeimbangkan berbagai kegiatan. Membangun aktivitas belajar saja akan
mengakibatkan perkembangan anak yang timpang.

Percikan refleksi sudah diamati dalam tindakan dan pikiran anak-anak prasekolah, namun
refleksi sebagai sikap perilaku umum hampir tidak mungkin sebelum sekolah yang sistematis.
Tidak mungkin bahkan di usia sekolah dasar jika pendidikan tidak secara konsisten mendukung
perkembangannya. Dalam hal ini akan ditumbuhkan kebiasaan-kebiasaan yang merugikan dari
karya intelektual, seperti menganggap pendapat suatu otoritas sebagai kebenaran final, tanpa
mencari bukti, dan mempertahankan sikap hitam-putih terhadap pendapat yang berbeda. Kelak
kebiasaan berpikir seperti itu akan membatasi akses siswa untuk belajar mandiri. Sangat sulit
untuk menundukkan kebiasaan seperti itu di sekolah menengah; jauh lebih mudah untuk
mengarahkan anak-anak sekolah dasar secara langsung menuju kebiasaan berpikir yang
reflektif. Selanjutnya, kita akan mendefinisikan dukungan pendidikan yang diperlukan untuk
menjadikan anak-anak sekolah dasar reflektif secara sistematis.

ISI KEGIATAN PEMBELAJARAN

Berpikir dan belajar selalu merupakan interaksi keterampilan dan pengetahuan umum dan
khusus mata pelajaran. Untuk membekali siswa dengan sarana untuk memperoleh praktik
manusia yang dihargai secara sosial dan pada saat yang sama dengan kemampuan untuk
mengarahkan dirinya sendiri secara mandiri dalam bidang keahlian baru, teori aktivitas belajar
memperkenalkan alat yang inovatif dan kuat. Pengenalan ke setiap kelas baru tugas harus
dimulai dengan penemuan oleh siswa dari metode yang paling umum untuk memecahkan tugas-
tugas ini (Davydov, 1990). Anak-anak menemukan metode ini melalui kegiatan dan eksperimen
langsung dengan subjek yang dipelajari dan kemudian mengungkapkan penemuan mereka
dalam model atau skema yang mewakili konsep umum. Subyek dieksplorasi lebih lanjut dengan
mengkonkretkan dan memperkaya konsep umum awal dengan setiap fakta baru yang muncul.
Sistem konsep yang menggambarkan seluruh bidang pengetahuan dideduksi dari konsep
“embrionik” awal yang paling umum. Siswa berpindah dari umum ke khusus ketika mereka

176 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


menghadapi kontradiksi antara fakta baru dan pengetahuan yang ditetapkan dalam model.
Penyelesaian kontradiksi-kontradiksi inilah yang memperkaya konsep awal (Davydov, 1988).

Metafora untuk konsep awal dan paling umum ini adalah sel atau embrio awal, yang berisi seluruh
sistem konsep masa depan dalam bentuknya yang paling purba, sama seperti benih adalah janji
pohon masa depan. Metafora sel awal membantu menjelaskan pergerakan dari yang umum ke
yang khusus. Pohon adalah sistem yang terstruktur dengan baik dan sangat berkembang,
sedangkan embrio tampak tidak canggih namun sudah mengandung dalam bentuk laten
kekayaan sensual masa depan dan integritas organisasi yang kompleks. Vygotskian akan
menambahkan bahwa meskipun embrio secara alami akan tumbuh menjadi pohon, konsep awal
akan berkembang menjadi sistem konsep hanya jika dan ketika guru membuat perancah setiap
langkah pendidikan.

Bagaimana pendidik mendapat manfaat dari memperkenalkan siswa ke bidang pengetahuan


baru melalui konsep yang paling umum? Pertama, setiap unit baru dibangun secara sistematis
berdasarkan pengetahuan awal siswa. Kedua, setiap fakta konkret yang dilihat oleh peserta didik
melalui konsep ini sebagai manifestasi khusus dari hukum umum, atau sebagai kontradiksi yang
menginspirasi transformasi konsep sebelumnya.

Pembangun kurikulum dengan cermat memilih konsep awal yang umum, dengan
mempertimbangkan dua asumsi epistemologis: (1) Konsep sebagai skema tindakan mental
adalah pembuatan ulang yang diucapkan (secara verbal atau skematis) dari tindakan ini; (2)
tanda, skema, dan simbol berfungsi sebagai mediator antara tindakan dan skema mentalnya:

Model atau skema struktur rasional "tersembunyi" dari objek dan hubungan esensialnya, begitu
mereka diinternalisasi oleh anak-anak, menjadi bagian kunci dari orientasi anak-anak dalam
domain subjek yang luas. Sebagai alat kognitif baru yang kuat, model ini . . . secara kualitatif
mengubah seluruh cara anak melihat sesuatu, berpikir tentang berbagai hal, dan beroperasi
dengan hal-hal dalam domain tertentu. Bahkan mereka memajukan perkembangan kognitif anak
ke tingkat yang baru dan luar biasa tinggi. (Arievitch & Stetsenko, 2000, hal. 86)

Pemodelan diakui sebagai tindakan sentral dari kegiatan belajar karena membantu siswa
menyatukan dan mempertimbangkan secara bersamaan objek dan ide tentang sifat dan asal
objek ini (Davydov, 1988; Lehrer & Schauble, 2000). Konsep model Vygotskian dan bentuk

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 177


mediasi lainnya sebagai mekanisme sentral untuk pembangunan manusia dijelaskan secara
lebih rinci oleh Alex Kozulin dalam buku ini.

Dari sudut pandang ini, instruksi tentang objek apa pun harus berkisar pada pertimbangan
metode umum untuk memproduksinya daripada sekadar mendaftar properti esensialnya.

Pendekatan serupa untuk masalah pendidikan yang menjengkelkan dalam memutuskan tema
atau konsep apa yang harus dipilih untuk mengatur kurikulum, menentukan titik awal yang tepat
untuk pengajaran, dan memutuskan bagaimana unit harus diurutkan setelahnya sering disebut
dalam pendidikan AS sebagai masalah mengidentifikasi "Ide Besar, atau Mendalam" dalam suatu
disiplin (Steen, 1990; Schifter & Fosnot, 1993). Ide Besar adalah prinsip pengorganisasian inti
dari bidang pengetahuan tertentu; mereka mengintegrasikan tema dan unit interdisipliner
pembelajaran. Sebuah Ide Besar tunggal mungkin sering membawa melalui beberapa tingkatan
kelas yang berbeda untuk dieksplorasi dari berbagai sudut pandang pada kedalaman yang
berbeda-beda. Ketika Ide Besar diutarakan kembali sebagai pertanyaan pemandu yang terbuka,
mereka menjadi pertanyaan mendasar yang menavigasi pencarian pemahaman. Diartikulasikan
secara rutin, mereka mendukung tujuan yang mendasari pekerjaan siswa. Ide Besar
menempatkan fokus pada pembelajaran, mengaktifkan kurikulum, dan menjadikan semua siswa
sebagai penyelidik. Dengan cara ini Ide Besar memfasilitasi makna yang bertahan lama setelah
konsep yang kurang signifikan dilupakan.

Awalnya Ide Besar atau konsep umum ini muncul di wacana kelas sebagai hasil penemuan
siswa, dipandu oleh guru. Bagaimana masing-masing siswa dapat menyesuaikan konsep-
konsep ini? Bagaimana konsep-konsep ini dapat menjadi alat sebagai alat mental untuk berpikir
tentang subjek yang sedang dipelajari dan untuk pembelajaran lebih lanjut? Untuk menjawab
pertanyaan ini, mari kita tinjau kembali konsep Vygotsky tentang internalisasi tindakan bersama
yang awalnya didistribusikan antara guru dan siswa.

DARI KOOPERATIF KE BENTUK INDIVIDUAL DARI KEGIATAN BELAJAR

Mandiri, Namun Tidak Sendiri

Menjelaskan asal usul kapasitas manusia, Vygotsky menekankan peran kerjasama anak-orang
dewasa, di mana anak memiliki kebutuhan dan kesempatan untuk mencoba praktik budaya baru.

178 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Setiap fungsi dalam perkembangan budaya anak muncul dua kali: pertama, pada tingkat sosial,
dan kemudian pada tingkat individu; pertama, antar manusia (inter psikologis), dan kemudian di
dalam diri anak (intra psikologis). Ini berlaku sama untuk perhatian sukarela, memori logis, dan
perumusan konsep. Semua fungsi yang lebih tinggi berasal dari hubungan faktual antara individu
manusia. (Vygotsky, 1978, hal. 57)

Hubungan ini, atau tindakan kooperatif didefinisikan sebagai interpsikologis atau intermental,
karena mereka tidak sepenuhnya milik individu yang berpartisipasi. Mereka juga non-aditif:
Mereka tidak dapat direduksi menjadi jumlah operasi yang dilakukan oleh semua peserta
(Gagasan tentang sifat non-aditif dari tindakan bersama akan diuraikan lebih lanjut nanti, dalam
diskusi tentang kerjasama rekan.) Vygotsky menunjukkan bahwa setiap manusia Kemampuan
lahir bukan dalam diri individu, tetapi dalam ruang interpsikologis interaksi manusia.

Sangat mudah untuk menyederhanakan visi tentang kemampuan manusia yang berkembang
dari luar ke dalam, dari tindakan yang awalnya kooperatif menjadi tindakan individu. Orang
dewasa menyajikan model tindakan baru, dan seorang anak meniru model ini. Setelah
serangkaian latihan dibantu oleh orang dewasa, anak dapat melakukan tindakan ini sendiri, tanpa
bantuan apa pun. Peningkatan keterampilan secara bertahap ini sering diartikan sebagai
tumbuhnya kemandirian atau, dalam istilah Vygotskian, sebagai keberhasilan seorang anak
dalam menginternalisasi model orang dewasa. Penafsiran ini didasarkan pada beberapa
spekulasi implisit: (a) Pendidikan dianggap sebagai penuangan pengetahuan dari pemegangnya
kepada yang kurang; (b) istilah individu (intra psikologis) dan independen digunakan sebagai
sinonim; dan (c) kemandirian diartikan sebagai kemampuan meniru model orang dewasa tanpa
bantuan ahli. Namun, ketika peniruan model orang dewasa adalah satu-satunya mekanisme
pembelajaran, tidak ada tempat untuk inisiatif anak. Mari kita amati seorang anak kecil yang
sedang memeriksa gadget baru dan mengganggu orang tuanya dengan pertanyaan:
“Bagaimana?” "Mengapa?" "Bagaimana jika?" Anak ini memulai kerjasama belajar dengan orang
dewasa untuk mendapatkan bantuan dengan tindakan-tindakan yang belum dipelajari dan hanya
dapat dilakukan bersama-sama dengan orang dewasa. Jadi kemandirian anak merupakan atribut
dari tindakan interpsikologis.

Sumber kemandirian anak dalam tindakan interpsikologis tidak dapat direduksi menjadi
penguasaan sarana dan metode tindakan. kita berasumsi bahwa jauh sebelum anak-anak
menjadi mandiri dalam mempraktikkan instrumen, simbol, gagasan, atau ide, mereka

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 179


memperoleh kemandirian dalam inisiatif berinteraksi dengan orang dewasa. Mereka mulai
menggunakan interaksi secara instrumental, dengan sengaja membangun lingkungan belajar
mereka sendiri. Ada dua komponen kemandirian: (1) kemandirian interpsikologis, diwujudkan
dalam kemampuan pelajar untuk memulai bantuan dari seorang ahli, dan (2) kemandirian
interpsikologis, diwujudkan dalam kemampuan pelajar untuk menyelesaikan tugas tanpa bantuan
apapun. . Mari kita tekankan bahwa kemandirian interpsikologis muncul lebih awal dalam
perkembangan anak daripada kemandirian interpsikologis.

Kemampuan untuk melakukan sesuatu secara mandiri, sendiri, tanpa bantuan seseorang juga
sering membingungkan. Dari perspektif sosiokultural, tidak ada yang namanya tindakan individu.
Berdasarkan asalnya, semua tindakan manusia yang otonom dilakukan di hadapan mitra yang
mungkin tidak terlihat dan tidak terdengar oleh pengamat eksternal. Itu berarti bahwa kemajuan
dari interaksi ke tindakan individu (individual) tidak mengecualikan pasangan dan proses interaksi
itu sendiri. Internalisasi dipahami sebagai transisi dari kemitraan fisik ke mental. Dari sudut
pandang ini, metafora populer tentang perancah agak menyesatkan. Pertimbangkan
kecenderungan seorang anak untuk memulai interaksi dengan orang dewasa ketika interaksi ini
penting untuk menyelesaikan tugas. Kita tidak dapat memperlakukan interaksi hanya sebagai
elemen tambahan dan sementara dari perkembangan psikologis, semacam perancah untuk
kapasitas individu masa depan yang akan direkonstruksi segera setelah kapasitas individu
dibentuk. Sebaliknya, kemampuan anak untuk memulai dan mempertahankan berbagai bentuk
interaksi sangat berharga. Ini adalah salah satu hasil perkembangan utama dari pembelajaran
dalam konteks sosial.

Ide-ide umum yang diturunkan dari Bakhtin (1981) dan Vygotsky ini merupakan kerangka kerja
untuk merancang kegiatan pembelajaran. Pertama, sarana dan metode interaksi dengan mitra
(baik guru dan peserta didik lainnya) menjadi pertimbangan penting untuk mengajar sebagai isi
kurikulum (konsep dan keterampilan). Kedua, guru harus memberikan perhatian penuh untuk
memfasilitasi bentuk inisiatif pembelajaran yang ada (pertanyaan siswa, keraguan, saran, dan
hipotesis), bersama dengan menghasilkan yang baru.

Isi dan Bentuk Interaksi

Inisiatif seorang anak memiliki dua fokus. Setiap tindakan bersama, pertama-tama ditujukan pada
isi tugas, kedua, pada mitra yang terlibat dalam tugas bersama dengan anak. Seorang pelajar

180 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


menyelesaikan tugas kompleks membangun konsep baru yang bermakna dengan
mengidentifikasi invarian konten di seluruh kelas dari tugas serupa. Contohnya adalah mengenali
huruf tidak hanya dalam teks tercetak, tetapi juga sebagai tanda yang sama yang terbuat dari
tongkat atau digambar di atas debu. Anak belajar menghabiskan banyak usaha untuk
mengidentifikasi jenis kemitraan dalam keragaman empiris interaksi. Invarian interaksi yang
dikenali sebagai pola selanjutnya disebut sebagai bentuk interaksi. Bentuk ini ditentukan oleh (a)
cara pembagian fungsi di antara para mitra, (b) formula mengundang mitra untuk berinteraksi,
(c) harapan bersama dari para mitra.

Dengan memisahkan isi dan bentuk interaksi, kita dapat membedakan antara dua produk
internalisasi, atau inovasi psikologis yang sering membingungkan. Ini termasuk inovasi yang
berkaitan dengan mempelajari keterampilan atau konsep baru dan yang terkait dengan
penguasaan jenis hubungan manusia baru, bentuk interaksi baru. Inovasi psikologis tipe pertama
memastikan keberhasilan aktivitas individual. Inovasi psikologis tipe kedua memberikan
kemampuan untuk membangun semacam keterkaitan tertentu dengan orang lain, yaitu menjadi
mampu secara mandiri menciptakan kondisi interpsikologis untuk belajar mandiri (Zuckerman,
1997).

Menyadari perbedaan antara isi dan bentuk interaksi, kita dapat menghindari beberapa jalan
buntu metodologis psikologi. Misalnya, dalam eksperimen diagnostik klasik, psikolog biasanya
mengabaikan fakta bahwa anak yang berinteraksi bukanlah tabula rasa sehubungan dengan
harapan orang dewasa. Karena karya Piaget dan para pengikutnya, kita sekarang tahu banyak
tentang bagaimana anak-anak memandang isi aktivitas bersama, tetapi apakah kita juga sadar
bagaimana anak-anak memandang bentuk-bentuk interaksi mereka dengan orang dewasa
(Siegal, 1991)? Siswa yang memasuki situasi pendidikan atau penilaian tertentu telah
menyimpan banyak pengalaman, memungkinkan mereka untuk memulai berbagai bentuk
interaksi dengan orang dewasa secara mandiri. Dengan menetapkan anak-anak untuk suatu
tugas atau memberi mereka masalah untuk dipecahkan, orang dewasa selalu mengundang
mereka untuk berinteraksi, dan anak-anak sangat menyadari hal itu. Dalam undangan ini, anak-
anak merasakan harapan tertentu dari orang dewasa. Beberapa anak mengantisipasi bahwa
orang dewasa ingin mereka memunculkan ide-ide orisinal; yang lain percaya bahwa kepatuhan
dan ketekunan mereka terutama diharapkan; kelompok anak-anak ketiga dapat menerima tugas
tersebut sebagai undangan untuk bermain dan/atau menjalin kontak pribadi. Konsekuensi
metodologis dasar berikut: Kita jatuh ke dalam perangkap yang dibuat oleh desain eksperimental

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 181


kita sendiri jika kita mengira bahwa adalah mungkin untuk menafsirkan tindakan anak dalam
situasi pendidikan atau pengujian apa pun seolah-olah antisipasi ini tidak dimainkan. Setiap kali
orang dewasa gagal mendefinisikan bentuk interaksi yang diharapkan, anak-anak memilihnya
sendiri. Dan jika orang dewasa tidak memiliki sarana atau niat untuk merancang bentuk interaksi
sebelumnya, tidak mungkin untuk membedakan solusi yang buruk untuk masalah yang telah
diajukan dari jawaban yang sangat baik untuk beberapa pertanyaan lain yang belum diajukan.
Untuk mengatasi dilema ini, seseorang memerlukan kriteria yang jelas untuk membedakan
antara aktivitas bersama yang berbeda dimana pembelajaran berlangsung.

Klasifikasi Bentuk Dasar Interaksi Anak-Dewasa

Tabel 9.1 membantu membedakan aktivitas belajar dari bentuk aktivitas anak lainnya. Teori
Elkonin tentang tahapan perkembangan anak (Elkonin, 1972) berfungsi sebagai dasar untuk
klasifikasi yang diusulkan.

Ingatlah bahwa istilah aktivitas belajar yang digunakan dalam paradigma ini bukanlah sinonim
untuk belajar. Belajar terjadi dalam aktivitas apa pun, dalam banyak kasus sebagai efek
sampingnya. Belajar sebagai tujuan utama kegiatan, yang ditujukan untuk memperoleh konsep
khusus mata pelajaran dan metode umum pemecahan masalah, disebut sebagai kegiatan belajar
itu sendiri. Untuk menjadi agen kegiatan belajar, siswa harus mampu memulai dan memelihara
interaksi belajar yang membentuk lingkungan yang memadai untuk menguasai konten tertentu
dari kegiatan belajar. Ketika anak-anak memasuki ruang kelas untuk pertama kalinya dalam
hidup mereka, mereka tidak menjadi pelaku kegiatan belajar secara otomatis, meskipun mereka
memasukkan semua pengalaman kegiatan prasekolah yang kaya ke dalam kelas. Di sekolah,
anak-anak dihadapkan pada ide-ide yang sebelumnya tidak diketahui, baik yang menarik
maupun yang misterius: angka, kata, gerak, bentuk, dan sebagainya. Pada awalnya, siswa tidak
berdaya dalam mengimplementasikan ide-ide tersebut dan membutuhkan bantuan dan
dukungan. Namun, anak-anak tidak berarti tidak berdaya dalam mengatur interaksi. Pada hari
pertama sekolah, anak-anak sudah aktif dan penuh inisiatif dalam menerapkan bentuk-bentuk
interaksi prasekolah yang sudah dikuasai: bermain, memanipulasi sesuatu, berkomunikasi, dan
lain-lain. Namun, tidak semua ini sesuai dengan isi kegiatan belajar, meskipun anak-anak sama
sekali tidak menyadarinya. Jika siswa tidak secara khusus diajarkan bentuk-bentuk kerja sama
belajar yang baru, mereka akan mempertahankan bentuk-bentuk interaksi prasekolah yang
biasa. Selain itu, bentuk interaksi mempengaruhi isinya: Seorang anak yang bermain, belajar,

182 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


dan berkomunikasi membangun makna yang berbeda saat mengerjakan tugas yang sama. Untuk
alasan ini, orang dewasa harus waspada dan peka terhadap pilihan intuitif anak tentang bentuk
interaksi. Orang-orang dari segala usia, ketika berkomunikasi secara emosional, terutama
membahas masalah pribadi, dan subjek yang dipelajari biasanya hilang. Bermain diarahkan pada
proses itu sendiri, sehingga hasil akhir biasanya diabaikan atau direndahkan. Kerja sama yang
diarahkan pada imitasi tidak memerlukan refleksi. Oleh karena itu, seorang siswa yang terutama
terlibat dalam meniru model guru sering kehilangan aspek reflektif mereka. Sementara peniruan
sebagai bentuk interaksi siswa-guru sering disalahartikan dengan kerjasama belajar. Oleh karena
itu, selanjutnya kita akan membandingkan kedua bentuk interaksi ini secara lebih rinci.

Perbedaan Imitasi dan Kerjasama Belajar

Saat mengundang orang dewasa ke dalam aksi bersama, seorang anak menunjukkan bantuan
dan partisipasi seperti apa yang dia harapkan dari pasangannya. Misalnya, seorang anak
mendekati orang dewasa dengan daya tarik yang khas: “kita tidak dapat memperbaikinya. . . .
Tidak bekerja. . . . Tolong aku." Permintaan ini menunjukkan bahwa seorang anak telah
melakukan banyak refleksi tentang masalahnya. Dia telah mencoba untuk mencapai tujuan, telah
menemui beberapa rintangan, telah mengenalnya sebagai rintangan, dan sekarang
menunjukkannya kepada orang dewasa. Tugas orang dewasa yang diharapkan adalah
menyelesaikan refleksi yang diperlukan untuk mengidentifikasi alasan kegagalan anak,
menemukan jalan keluar, mencontohkan tindakan yang berhasil, dan mendorong anak untuk
mengambil risiko baru. Balita mempraktekkan bentuk kerjasama ini bahkan sebelum mereka
benar-benar verbal, seperti ketika mereka membutuhkan bantuan orang dewasa dengan
resleting atau laci yang “tidak patuh”. Orang dewasa sering kali memprakarsai bentuk kerjasama
yang sama untuk mempelajari keterampilan baru dari seorang ahli (misalnya, pengguna
komputer biasanya membuat banyak permohonan seperti itu kepada spesialis).

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 183


184 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan
Jenis bantuan yang cukup berbeda diminta oleh seorang siswa yang berbicara kepada seorang
guru bukan dengan teriakan minta tolong secara global, tetapi dengan pertanyaan khusus
(sebagai contoh lihat Zuckerman, Chudinova, & Khavkin, 1998). “Kita tahu apa yang kita tidak
tahu. Kita memiliki beberapa asumsi tentang yang tidak diketahui. Kita berharap guru kita
membantu kita memverifikasi dugaan kita. ” Demikian rumusan inisiatif siswa dalam interaksi
pembelajaran dengan guru. Inkuiri dan penemuan terarah adalah salah satu nama untuk
kerjasama pembelajaran yang dijelaskan, yang diprakarsai oleh pelajar yang mencari bagian
informasi yang hilang atau alat untuk memvalidasi hipotesis. Kemampuan belajar mandiri adalah
sebutan untuk produk intra psikologis dari kerjasama belajar.

Siswa ideal yang telah menguasai kerjasama belajar bukanlah anak yang memberikan jawaban
yang benar dan mengulangi apa yang dikatakan guru, tetapi siswa yang mampu
mempertanyakan pendapat konvensional, mengembangkan sudut pandangnya sendiri, dan tidak
setuju dengan pendapat umum. kepercayaan yang diterima. Itulah sebabnya anggur baru dari
kegiatan pembelajaran tidak dapat dituangkan ke dalam botol lama kerjasama meniru, dan siswa
kelas satu harus diajarkan tidak hanya konten baru, tetapi juga metode baru belajar kerjasama
mulai dari hari-hari pertama kehidupan sekolah mereka. (Tsukerman, Elizarova, Frumina, &
Chudinova, 1995; Zuckerman, 1994a).

Kerjasama dengan Teman Sebaya sebagai Syarat yang Diperlukan untuk Pengembangan
Kemampuan Reflektif

Sampai saat ini, kita membahas interaksi guru-siswa sebagai prasyarat untuk memulai anak
untuk kegiatan belajar. Mengingat bahwa ZPD dibangun melalui interaksi seorang anak dengan
pasangan yang berpengetahuan, kita dapat menyimpulkan bahwa interaksi guru-siswa
diperlukan dan cukup untuk perkembangan anak. Benarkah?

Konsep umum membutuhkan refleksi, sedangkan konsep sehari-hari tidak. Seseorang tidak
dapat secara memadai bekerja dengan konsep umum tanpa mempertimbangkan batas
penerapannya, dan seseorang tidak dapat memperoleh konsep umum tanpa secara sadar
memeriksa batas pengetahuan dan pemahamannya sendiri (Davydov, 1988). Konsep sehari-hari
dan keterampilan yang relevan dapat diperoleh dengan meniru model. Kondisi penting untuk jenis
pembelajaran ini adalah bahwa seorang ahli harus mempresentasikan model-model ini kepada
seorang pemula. Namun, mitra yang lebih berpengetahuan baik menginduksi dan membatasi

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 185


perolehan konsep umum (Slobodchikov & Tsukerman, 1992). Pada awal berurusan dengan
konsep-konsep umum, ketika kerja sama belajar belum terbentuk, siswa cenderung mau tidak
mau tergelincir ke dalam bentuk-bentuk kerja sama prasekolah, terutama peniruan. Perhatikan
bahwa imitasi tidak termasuk hipotesis dan pertanyaan tentang realitas yang tidak diketahui atau
kontradiktif. Akibatnya beban refleksi digeser ke arah orang dewasa. Itu dibuktikan secara
eksperimental bahwa untuk mengajar siswa untuk merenungkan metode mereka dan penyebab
kegagalan dan kesalahan mereka, guru harus mengatasi sekelompok teman sebaya, bukan anak
individu (Zuckerman, 1994b). Dalam bentuk interpsikologis awal mereka, tindakan reflektif
dengan konsep umum didistribusikan tidak antara anak dan orang dewasa, tetapi antara orang
dewasa dan sekelompok rekan memecahkan masalah bersama-sama (Rubtsov & Guzman,
1984).

Kerja sama teman sebaya ketika menguasai konsep-konsep umum dibangun sebagai kerja
bersama anak-anak pada tugas-tugas yang memancing sudut pandang atau posisi yang
berbeda. Itulah sebabnya kerjasama semacam itu disebut posisional. Tugas-tugas ini biasanya
ditujukan untuk menyelesaikan kontradiksi pendapat siswa dan/atau konflik kognitif (Perret-
Clermont, 1980; Doise & Mugny, 1981). Eksposisi kontradiksi yang terbuka membantu siswa
yang berpartisipasi mengambil perspektif yang berbeda pada subjek diskusi dan untuk
mendesentralisasikan dari sudut pandang utama mereka dan mengembangkan pendekatan baru
yang lebih canggih (Zuckerman, 1994b). Pada langkah pertama mengajar siswa untuk bekerja
sama ketika memecahkan tugas-tugas yang kontradiktif ini, guru dapat menugaskan peserta
untuk peran yang sesuai dengan posisi yang berbeda. Ketika kelompok seperti itu menyerang
tugas, masing-masing anggotanya, dengan memainkan peran tertentu, mungkin akan menyusun
sudut pandangnya sendiri dan kemudian mengkoordinasikannya dengan yang lain. Fokus
kerjasama belajar adalah garis batas yang bergerak antara pengetahuan dan ketidaktahuan
anak-anak di setiap langkah studi mereka. Belajar kerjasama dengan teman sebaya dapat
disajikan sebagai materialisasi spesifik dari perbatasan seperti itu, ketika tindakan atau saran dari
satu siswa membantu pasangan lain untuk merefleksikan tindakan dan keyakinan mereka
sendiri.

Guru mengatur interaksi belajar dengan teman sebaya dalam dua mode komplementer: (a)
diskusi seluruh kelas dan (b) diskusi kelompok kecil. Yang terakhir ini diakui sebagai rumah kaca,
di mana keterampilan sosial dari interaksi pembelajaran berkecambah, tumbuh, dan matang di
lingkungan yang paling terlindungi dan tidak mengancam. Sekelompok teman sebaya dapat

186 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


secara reflektif menarik guru mereka ke dalam kerja sama dengan menyarankan tugas, fungsi,
dan peran orang dewasa dalam pekerjaan umum sebagai penasihat dan koordinator sudut
pandang anak-anak. Mengatasi guru dalam format reflektif, siswa mencari informasi yang hilang,
menunjukkan bahwa metode yang sudah dikuasai tidak memadai untuk tugas-tugas masalah
baru, dan meminta guru melengkapi mereka dengan metode baru. Atau mereka menyarankan
versi mereka sendiri dari solusi masalah dan meminta guru untuk membantu membenarkan
hipotesis mereka.

Pendidik telah sampai pada kebutuhan dan keuntungan dari kerjasama, kolaborasi, atau
komunitas penyelidik-peserta didik dari beragam perspektif teoretis, mengejar tujuan praktis yang
berbeda. Namun dalam setiap kasus ini, semua pendidik mengakui pentingnya kerja bersama
sekelompok anak di mana orang dewasa tidak berpartisipasi secara langsung sebagai alat
pendidikan yang ampuh untuk membesarkan siswa ke bentuk pembelajaran yang lebih
bermakna dan tidak kekanak-kanakan dari para ahli. (Brown & Campione, 1994; Rogoff, 1994;
Slavin, 1995; Wells, 1999). Bukti eksperimental tentang perluasan kemandirian pelajar ini
menentang salah satu interpretasi doktrin Vygotskian yang berlaku. Tidak hanya kerjasama
dengan mitra yang lebih maju, tetapi juga kerjasama dengan mitra yang tidak ahli yang
berkontribusi pada pengembangan inisiatif siswa dalam belajar kerjasama (Zuckerman, 1994b).
Kata-kata Vygotsky yang sering dikutip tentang rekan-rekan yang lebih mampu sebagai sumber
pengembangan telah disangkal oleh penelitian dalam pembelajaran kooperatif (Forman &
McPhail, 1993; Tudge, 1992). Wells (1999, p. 324) mengklaim bahwa:

dalam menangani tugas yang sulit sebagai sebuah kelompok, meskipun tidak ada anggota yang
memiliki keahlian di luar rekan-rekannya, kelompok secara keseluruhan, dengan bekerja
bersama pada masalah, mampu membangun solusi yang tidak dapat dicapai sendiri oleh siapa
pun. Dengan kata lain, masing-masing "dipaksa untuk naik di atas dirinya sendiri" dan, dengan
membangun kontribusi dari anggota individunya, kelompok secara kolektif membangun hasil
yang tidak dibayangkan oleh satu anggota pun pada awal kolaborasi.

Kerja sama dari mitra yang sama-sama tidak berpengalaman menjadi bukti penting dari sifat non-
aditif dari interaksi manusia, ketika hasil kelompok melebihi jumlah operasi yang dilakukan oleh
semua peserta. Hasil kerjasama seorang ahli dan seorang pemula terlalu sering direduksi
menjadi masukan dari ahli.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 187


Pemula yang mau diajar dan siap terjun ke dalam bentuk-bentuk kerjasama baru dengan guru
menjadi pembelajar yang mampu menginisiasi kerjasama belajar dengan para ahli. Transfer ini
memanifestasikan “akhir yang bahagia” dalam pengembangan kemandirian belajar pada usia
sekolah dasar. kita menyarankan bahwa kemampuan belajar mandiri atau kemandirian belajar
anak SD hanya hadir dalam bentuk inter psikologisnya, sebagai kemampuan untuk mengajar diri
sendiri dengan bantuan seorang ahli. Prestasi lebih lanjut menuju kemandirian belajar
berlangsung pada masa remaja. Untuk siswa sekolah menengah, kesempatan untuk bekerja di
posisi guru untuk siswa muda (kerjasama belajar dalam kelompok usia yang berbeda) adalah
rute yang efisien dan bermanfaat untuk mewujudkan kemandirian belajar mereka pada tingkat
interpsikologis.

BAHAYA REFLEKSI

Baik Ecclesiastes maupun Shakespeare melalui pahlawannya, selebritas paling reflektif dalam
sastra Eropa, membuat pernyataan yang sama: Kemampuan untuk berefleksi adalah ikatan
manusia dan hadiah yang tak ternilai. Tanpa refleksi, kita tidak akan pernah merasakan
kepedihan hati nurani, ketidakpuasan permanen dan ketidaksepakatan dengan diri sendiri,
ketidakpastian, dan masalah pilihan. Mengembangkan refleksi sama berbahayanya dengan
bereksperimen dalam fisika nuklir dan rekayasa genetika, dengan hasil yang tidak pasti. Bagi hati
nurani seorang pendidik, mengembangkan refleksi pada anak-anak dan remaja adalah masalah
yang tak terelakkan dan tak terpecahkan yang menyakitkan seperti masalah yang abadi, "Menjadi
atau tidak?" Untuk mengembangkan refleksi pada anak-anak atau tidak? Jika ya, sejauh mana,
dan bagaimana menentukan tingkat kritis yang diizinkan? Serangkaian pertanyaan ini terutama
berkaitan dengan nilai-nilai moral. Setelah pilihan pribadi dibuat, inilah saatnya untuk melakukan
penelitian ilmiah tentang potensi usia dan keterbatasan perkembangan kemampuan reflektif:
untuk menjelaskan cara-cara untuk membangkitkan dan memperkuat refleksi, metode untuk
menilainya, dan, terutama, sarana untuk membatasi refleksi dalam batas aman.

KESIMPULAN

"Siswa ini tidak membantu kita: dia sepenuhnya setuju dengan kita." Dua puluh lima abad yang
lalu, filsuf besar Tiongkok, Konfusius (552/551– 479 SM) menangkap dilema sekolah yang masih
berlaku hingga saat ini – bagaimana mengembangkan siswa terdidik, berpengetahuan yang telah
menguasai nilai-nilai budaya masa lalu, namun mampu mengatasi batas-batas tradisi budaya

188 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


dengan melampaui solusi dan kerangka kerja yang diterima secara umum untuk memecahkan
masalah baru. Di masa lalu, ambisi ini dianggap hanya cocok untuk pendidikan elit intelektual;
hari ini mereka penting bagi semua orang. Membuat tujuan ini dapat diakses oleh mayoritas telah
menjadi fokus dari 30 tahun pendidikan praktis menurut sistem Elkonin-Davydov, dielaborasi dan
dikembangkan dalam paradigma Vygotskian.

Apa yang benar-benar membedakan seorang pembelajar otentik bukanlah pengetahuan yang
mendalam dan luas, atau tampilan yang cemerlang dari apa yang telah dipelajarinya. Ini adalah
kemampuan dan insentif untuk mencari dan menemukan pengetahuan secara mandiri, untuk
melampaui batas pengetahuan sendiri dan keyakinan stereotip yang mapan. Mengajukan
pertanyaan, merumuskan tujuan belajar – itulah titik awal belajar yang sebenarnya, yang harus
dimulai selambat-lambatnya pada hari pertama sekolah. Hanya dalam hal ini mayoritas anak,
bukan hanya kelompok elit, akan menjadi pembelajar sejati.

Kegiatan pembelajaran ditujukan untuk menguasai konsep-konsep umum dan refleksi sebagai
komponen penting dari tindakan dengan konsep-konsep tersebut. Menjadi agen interaksi
pembelajaran berarti mampu secara mandiri (atas inisiatif sendiri) melampaui batas tingkat
pengetahuan, keterampilan, pemahaman, dan kapasitas yang telah dicapai untuk menemukan
cara bertindak dalam situasi baru. Pada tahap awal pendidikan, prakarsa pembelajaran purba
mengambil bentuk pertanyaan - hipotesis di mana anak menunjukkan kontradiksi antara cara
bertindak yang sudah diketahui dan masalah baru yang membutuhkan cara bertindak baru. Pada
awal pendidikan, gurulah yang menyusun kondisi untuk tindakan anak dan juga merancang
situasi yang memunculkan pertanyaan-hipotesis anak. Kemudian, pada tingkat kemandirian
belajar yang lebih tinggi, siswa sendiri mengungkapkan kecenderungan untuk mengubah kondisi
tindakan mereka dan mencari cara baru untuk bertindak.

Inisiatif belajar anak-anak dapat dibedakan dari yang tidak belajar dengan bentuk di mana para
ahli ditangani. Rumus kegiatan non-belajar adalah, “Kita tidak tahu. Kita tidak bisa melakukannya.
Tunjukkan padaku bagaimana caranya." Dengan demikian, anak yang menyadari batas
kemampuannya menyerahkan kepada orang dewasa baik hak maupun kewajiban untuk menjadi
pelaku kegiatan bersama mereka – untuk menemukan penyebab kesulitan anak, menemukan
cara untuk mengatasinya, dan memberikan sebuah model. Rumus kegiatan belajar sama sekali
berbeda: “Kita akan dapat melakukannya jika/ketika kita mempelajari yang berikut ini.” Dalam
kasus terakhir, siswa mengakui dan secara terbuka menyatakan batas-batas kapasitasnya dan

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 189


melampaui batas-batas ini dengan menyarankan hipotesis tentang metode atau sedikit
pengetahuan yang hilang.

Ketika isi interaksi mengandaikan refleksi (seperti dalam kasus kegiatan pembelajaran), peran
guru menjadi ambivalen: Pola yang mendominasi untuk berbagi tanggung jawab dengan ahli
dapat mengekang kapasitas anak untuk menguasai tindakan reflektif. Anak mengharapkan ahli
untuk menetapkan tujuan, rencana, dan kontrol dan untuk mengevaluasi usahanya yang
bersemangat untuk mengikuti instruksi dan model ahli. Oleh karena itu, interaksi dengan inexpert
equals diperlukan untuk melepaskan dan mengembangkan kapasitas reflektif pada anak. Kelas
atau kelompok siswa, pada kenyataannya, agen kolektif dari kegiatan pembelajaran, memajukan
seluruh kelompok hipotesis yang mungkin, membangkitkan diskusi pembelajaran yang diarahkan
untuk memverifikasi setiap hipotesis dan mencari metode akting yang baru.

Saat ini, kita mengenali tiga kondisi yang diperlukan untuk memunculkan inisiatif siswa dalam
merumuskan hipotesis:

1. Cara khusus untuk memperkenalkan materi pelajaran: melalui pengertian yang paling
umum, yang berpotensi mencakup sistem konseptual yang menggambarkan materi
pelajaran yang diberikan. Dengan memberikan konsep umum kepada siswa, pendidik
tampaknya mengangkat anak-anak ke puncak di mana mereka dapat melihat rute yang
mungkin untuk gerakan mereka selanjutnya dalam menyelidiki subjek. Menguraikan
prospek potensial dari pembelajaran yang akan datang memberi siswa kebebasan dan
inisiatif yang lebih besar dalam menetapkan tujuan pendidikan.
2. Cara non imitatif khusus untuk berinteraksi dengan orang dewasa. Seorang siswa yang
bertindak sebagai pembelajar tidak mengantisipasi solusi atau model siap dari guru. Anak
mampu memulai kerjasama dengan guru, menunjukkan bantuan apa yang dibutuhkan
siswa ketika dia telah merumuskan hipotesisnya dan belum tahu bagaimana
memverifikasinya.
3. Cara interaksi posisional khusus dengan rekan-rekan yang dijamin oleh kerja bersama,
yang membantu mendistribusikan berbagai sudut pandang tentang masalah yang sedang
didiskusikan di antara para peserta dan membantu mengkoordinasikan sudut pandang
yang dihasilkan oleh kelompok. Pola kerjasama pembelajaran posisional harus
bersumber dari konteks kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu, salah satu syarat
mendidik peserta didik adalah menyusun suatu sistem masalah yang pada prinsipnya

190 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


tidak dapat diselesaikan secara individual dan memerlukan keragaman pendapat di
dalam kelas.
Selama 2 atau 3 tahun awal yang dihabiskan anak-anak di sekolah, aktivitas belajar hanya ada
dalam bentuk inter psikologisnya. Artinya kelas sebagai komunitas pembelajar dapat
membangkitkan seluruh komponen kegiatan pembelajaran, mulai dari menetapkan tujuan hingga
mengontrol dan mengevaluasi hasil akhir, sedangkan siswa secara individu belum menjalankan
kegiatan pembelajaran secara keseluruhan. Adalah tugas sekolah dasar untuk membangun
komunitas pembelajar yang merangkul semua anak di kelas. Di sekolah menengah, kegiatan
belajar bersama yang awalnya menjadi individual, membentuk siswa yang ingin dan berani
mencari perluasan pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan mereka seumur hidup.

Setelah Anda memahami lebih dalam mengenai Pendekatan, strategi, metode,


dan teknik pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD, silahkan
menjawab beberapa pertanyaan reflektif berikut ini.

Lembar Kerja

Apa pandangan yang Anda miliki saat ini tentang Pendekatan, strategi, metode, dan teknik
pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD dalam pendidikan di Indonesia?

1. Saya merasa …………… bila ditugaskan mengajar dengan memahami Pendekatan,


strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD
pada peserta didik.
2. Apa yang saya rasakan tersebut dipengaruhi oleh :
b. pandangan saya tentang Pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran
yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD dalam pendidikan di Indonesia yang
……………………..
c. pandangan saya tentang pendidikan serta pengajaran di Indonesia yang
………….........
d. pandangan saya lainnya yang ………………………….
e. keyakinan saya bahwa ………………………
f. pengalaman dan memori saya bahwa ……………………

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 191


PERTEMUAN 12

C. Ruang Kolaborasi

Setelah mempelajari tentang faktor sosial, budaya, ekonomi dan politik yang
mempengaruhi proses pendidikan dan merefleksikan dalam pembelajaran, silakan
bekerja dalam kelompok yang terdiri dari 4 orang untuk berbagi hasil refleksi dan
menyelesaikan tugas berikut.

Lembar Kerja - Kelompok

1. Silakan berbagi pemikiran mengenai pandangan mengenai Pendekatan, strategi, metode,


dan teknik pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD yang
mempengaruhi proses pendidikan serta pembelajaran kepada rekan sekelompok.
Kemudian diskusikan pertanyaan berikut ini:

a. Apa pandangan masing-masing anggota kelompok tentang Pendekatan, strategi,


metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD
yang mempengaruhi proses pendidikan serta pembelajaran?
b. Apa pandangan masing-masing anggota kelompok tentang kesiapannya
mengajar dengan memperhatikan Pendekatan, strategi, metode, dan teknik
pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD pada peserta didik?
c. Apa persamaan dan perbedaan pandangan tentang Pendekatan, strategi,
metode, dan teknik pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD
yang mempengaruhi proses pendidikan yang dimiliki?
d. Apa persamaan dan perbedaan pandangan tentang mengajar mengajar dengan
memperhatikan Pendekatan, strategi, metode, dan teknik pembelajaran yang
diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD yang pada peserta didik yang dimiliki?

2. Presentasikan hasil diskusi kelompok dalam bentuk visualisasi yang kreatif.

192 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


D. Demonstrasi Kontekstual

Setelah menyelesaikan tugas secara berkelompok, saat ini Anda akan


mempresentasikan hasil kerja kelompok Anda, dalam bentuk pameran hasil kerja,
yaitu menempelkan plano hasil visualisasi dalam ruangan dan bergantian dalam
presentasi, atau presentasi secara online dengan upload hasil kelompok dalam
folder yang disediakan.

Penilaian Tugas Kelompok:

● Tugas kelompok ini akan dinilai baik oleh dosen maupun oleh kelompok
lainnya.
● Tiap kelompok menilai presentasi dari kelompok lainnya, dengan panduan
yang disediakan. Tuliskan penilaian kepada kelompok lain dengan
menyebutkan hasil penilaian (A/B/C/D) beserta komentar tentang apa yang
paling membuka mata dari presentasi tersebut.
● Panduan penilaian dapat dilihat dalam rubrik berikut. Kolom A adalah hasil
ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C, dan D.

A B C D

Artikulasi sangat jelas Artikulasi jelas dan Artikulasi cukup bisa Artikulasi kurang jelas.
dan mudah dipahami. mudah dipahami. dipahami.
Isi tidak memberikan
Isi menjelaskan Isi menjelaskan Isi cukup menjelaskan pandangan mengenai
pandangan mengenai pandangan mengenai pandangan mengenai topik bahasan serta
topik bahasan secara topik bahasan secara topik bahasan, namun keterkaitannya.
mendalam, serta mendalam. kurang dalam
Visualisasi kurang
memberikan insight mendeskripsikan
kreatif dan menarik.
keterkaitannya.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 193


atau pembelajaran Visualisasi menarik dan Visualisasi cukup
terkait topik bahasan. kreatif. menarik dan kreatif.

Visualisasi sangat
menarik dan kreatif.

PERTEMUAN 13

E. Elaborasi Pemahaman

Dari demonstrasi kontekstual yang sudah dilakukan sebelumnya, dengan


mempelajari topik bahasan, buat kesimpulan berikut:

Lembar Kerja

1. Apa pandangan Anda mengenai topik bahasan tersebut?


2. Bagaimana Anda menyikapi tantangan yang ada terkait topik bahasan tersebut?
3. Apa saja hal baik yang Anda dapatkan mengenai topik bahasan tersebut?
4. Bagaimana Anda menerapkan ilmu yang Anda dapatkan terkait topik bahasan dalam
profesi Anda sebagai guru?
5. Pertanyaan apa yang ingin Anda ajukan lebih lanjut tentang topik bahasan tersebut?

F. Koneksi Antar Materi

Buatlah koneksi antar materi dari pembelajaran mengenai topik bahasan tersebut
dengan pembelajaran yang sudah, sedang, atau akan Anda pelajari di mata kuliah
PPG lainnya. Selain menyebutkan topik/materi dalam mata kuliah ini dengan
topik/materi dalam mata kuliah lain, sebutkan juga keterkaitannya. Buat koneksi
tersebut dalam bentuk visual untuk memudahkan kita semua dalam memahami,
bisa dalam bentuk mindmap, diagram, bagan, atau lainnya.

194 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Selanjutnya, Anda dapat berdiskusi bersama terkait koneksi antar materi dalam
mata kuliah ini dengan mata kuliah lainnya.

G. Aksi Nyata

Pada akhir pembelajaran setiap topik, Anda diminta untuk merefleksikan


pembelajaran dalam blog masing-masing, dengan menggunakan alur MERDEKA
seperti dalam proses pembelajarannya. Anda bisa menceritakan refleksi Anda
dengan caranya masing-masing, bisa narasi yang dilengkapi visual, ataupun
narasi saja, atau model kreatif lainnya. Berikut ini panduan pertanyaan yang dapat
membantu Anda menuliskan blog:

No. Alur pembelajaran Pertanyaan Refleksi

1 Mulai Dari Diri Apa yang Anda pikirkan tentang topik ini sebelum memulai
proses pembelajaran?

2 Eksplorasi Konsep Apa yang Anda pelajari dari konsep yang Anda pelajari
dalam topik ini?

3 Ruang Kolaborasi Apa yang Anda pelajari lebih lanjut bersama dengan rekan-
rekan Anda dalam ruang kolaborasi?

4 Demonstrasi Kontekstual Apa hal penting yang Anda pelajari dari proses
demonstrasi kontekstual yang Anda jalani bersama
kelompok (bisa tentang materi, rekan, dan diri sendiri)?

5 Elaborasi Pemahaman Sejauh ini, apa yang sudah Anda pahami tentang topik ini?
Apa hal baru yang Anda pahami atau yang berubah dari
pemahaman di awal sebelum pembelajaran dimulai ?
Apa yang ingin Anda pelajari lebih lanjut?

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 195


6 Koneksi Antar Materi Apa yang Anda pelajari dari koneksi antar materi baik di
dalam mata kuliah yang sama maupun dengan mata kuliah
lain?

7 Aksi Nyata Apa manfaat pembelajaran ini untuk kesiapan Anda


sebagai guru?
Bagaimana Anda menilai kesiapan Anda saat ini, dalam
skala 1-10? Apa alasannya?
Apa yang perlu Anda persiapkan lebih lanjut untuk bisa
menerapkannya dengan optimal?

Berikut rubrik penilaian blog yang digunakan untuk setiap modul. Kolom A adalah
hasil ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C, dan D.

A B C D

Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa


mengartikulasikan mengartikulasikan mengartikulasikan mengartikulasikan
refleksi dalam blog refleksi dalam blog refleksi dalam blog refleksi dalam blog
dengan alur yang jelas dengan alur yang jelas dengan cukup mudah dengan kurang jelas
dan mudah dipahami, dan mudah dipahami. dipahami. dan sulit dipahami.
serta kreatif.
Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa
Mahasiswa menguraikan secara menguraikan secara menguraikan secara
menguraikan secara mendalam dan mendalam, namun singkat pandangan
mendalam dan kurang tajam dalam tentang topik bahasan,
mengaitkan secara
dan tidak
mengaitkan secara tajam pandangan mengaitkan pandangan
tajam pandangan mengenai topik mengenai topik mengaitkan pandangan
mengenai topik bahasan, baik dari bahasan. mengenai topik
bahasan, baik dari dirinya dan bahasan.
Mahasiswa
dirinya dan kelompoknya.
menyimpulkan secara
kelompoknya, serta
Mahasiswa sederhana
menyimpulkan pemahamannya

196 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


kaitannya dengan pemahaman mengenai mengenai topik Mahasiswa tidak atau
materi dari MK lain. topik bahasan secara bahasan. kurang jelas dalam
jelas. menyimpulkan
Mahasiswa Mahasiswa secara
menyimpulkan Mahasiswa mengaitkan singkat mengaitkan Pemahamannya
pemahaman mengenai pembelajaran dari pembelajaran dari mengenai topik
topik bahasan secara modul ini dengan modul ini dengan bahasan.
tajam. kesiapannya mengajar kesiapannya mengajar
Mahasiswa tidak
sebagai guru. sebagai guru.
Mahasiswa mengaitkan mengaitkan
pembelajaran dari pembelajaran dari
modul ini dengan modul ini dengan
kesiapannya mengajar kesiapannya mengajar
sebagai guru, termasuk sebagai guru.
mengartikulasikan apa
yang perlu
disiapkannya.

Catatan untuk Dosen Pengampu

● Modul ini disusun untuk menggali pengalaman dan wawasan para calon
guru terkait proses mendidik yang sesuai.
● Modul ini dapat dimodifikasi oleh dosen pengampu.
● Dosen pengampu dapat menambah materi terkait topik bahasan.
● Selain penilaian tugas kelompok (LK) dan blog, dosen pengampu juga
perlu menilai partisipasi dan sikap mahasiswa dalam proses pembelajaran.
Rubrik penilaian partisipasi dan sikap ini bisa digunakan, namun
dipersilakan untuk dimodifikasi, atau mengembangkan sendiri. Kolom A
adalah kondisi ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C,
dan D.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 197


A B C D

Mahasiswa aktif Mahasiswa aktif Mahasiswa jarang Mahasiswa tidak


memberikan pendapat, memberikan pendapat, terlihat memberikan terlihat memberikan
menjawab pertanyaan menjawab pertanyaan pendapat atau pendapat atau
dari dosen/modul, dan dari dosen/modul, dan menjawab pertanyaan menjawab pertanyaan
mengajukan pertanyaan mengajukan pertanyaan dari dosen/modul. dari dosen/modul.
yang memperkaya untuk konfirmasi atau
Mahasiswa kurang Mahasiswa tidak
pemahaman seluruh klarifikasi.
menunjukkan perilaku menunjukkan perilaku
mahasiswa.
Mahasiswa cukup memfasilitasi rekan memfasilitasi rekan
Mahasiswa menunjukkan perilaku mahasiswanya dalam mahasiswanya dalam
menunjukkan perilaku memfasilitasi rekan proses pembelajaran proses pembelajaran
memfasilitasi rekan mahasiswanya dalam baik, di kelompok baik, di kelompok
mahasiswanya dalam proses pembelajaran maupun di kelas secara maupun di kelas secara
proses pembelajaran baik, di kelompok keseluruhan. keseluruhan.
baik, di kelompok maupun di kelas secara
Mahasiswa Mahasiswa tidak
maupun di kelas secara keseluruhan.
mengumpulkan tugas mengumpulkan tugas.
keseluruhan.
Mahasiswa melebihi dengan
Mahasiswa mengumpulkan tugas tenggat waktu yang
mengumpulkan tugas sesuai dengan tenggat ditentukan.
sebelum tenggat waktu waktu yang ditentukan.
yang ditentukan.

198 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


MODUL 6
ISU-ISU PENYELENGGARAAN PENDIDIKAN DAN
PEMBELAJARAN DI SEKOLAH DALAM PERSPEKTIF SOSIAL,
BUDAYA, EKONOMI, DAN POLITIK

Durasi: 2 pertemuan
Capaian Pembelajaran:
Setelah mempelajari topik ini, mahasiswa dapat:
1. mendiskusikan isu-isu terkait pendekatan, strategi, metode, dan teknik, serta materi pembelajaran
yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD
2. merefleksikan pendekatan, strategi, metode, dan teknik, serta materi pembelajaran yang
diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD untuk mewujudkan pendidikan yang berorientasi
kepada murid

PERTEMUAN 14

A. Mulai dari Diri

Mahasiswa PPG Prajabatan yang berbahagia,

Selamat datang di topik yang keenam yaitu ‘Isu-isu penyelenggaraan pendidikan


dan pembelajaran di sekolah dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi dan politik’.
Topik ini penting untuk memahami isu-isu penyelenggaraan pendidikan dan
pembelajaran di sekolah dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi dan politik,
serta bagaimana faktor faktor ini mempengaruhi pendidikan di Indonesia.

Setelah mempelajari topik ini, Anda diharapkan mampu:

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 199


1. mengaitkan dan menyimpulkan pembelajaran yang didapatkan selama
pertemuan sebelumnya
2. mengaitkan dan menyimpulkan isu-isu terkait pendekatan, strategi,
metode, dan teknik, serta materi pembelajaran yang diterapkan sebagai
Scaffolding pada ZPD
3. menilai pendekatan, strategi, metode, dan teknik, serta materi
pembelajaran yang diterapkan sebagai Scaffolding pada ZPD untuk
mewujudkan pendidikan yang berorientasi kepada murid

Kita akan mulai pembelajaran tentang Isu-isu penyelenggaraan pendidikan dan


pembelajaran di sekolah dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi dan politik
dalam pendidikan di Indonesia dengan melakukan pengamatan terhadap video
berikut ini.

Video Lentera Indonesia - Asa Anak Asmat


https://www.youtube.com/watch?v=MRcfBunIonA

Setelah mengamati video tersebut, silakan menjawab pertanyaan berikut ini:

Lembar Kerja

Dari pengamatan tentang kondisi daerah tersebut:

1. Pernahkah Anda mengalami hal yang serupa? Bila ya, apa saja hal yang sama dan berbeda
yang Anda temui?

…………………………………………………………………………………………………..

2. Apa yang Anda pikirkan dan rasakan tentang kondisi pendidikan tersebut?

…………………………………………………………………………………………………..

200 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


3. Apa yang Anda pikirkan tentang pendidikan di masa itu?

………………………………………………………………………………………………….

Selanjutnya, silakan jawab pertanyaan reflektif berikut ini:

1. Bila Anda mendapatkan tugas mengajar bagaimana Anda memperhatikan Isu-isu


penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran di sekolah dalam perspektif sosial, budaya,
ekonomi dan politik?

…………………………………………………………………………………………………..

2. Siapkah Anda mengajar dengan memperhatikan Isu-isu penyelenggaraan pendidikan dan


pembelajaran di sekolah dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi dan politik? Apa alasannya?

…………………………………………………………………………………………………..

Mari berproses bersama dalam rangkaian pembelajaran selanjutnya untuk


semakin memahami tentang Isu-isu penyelenggaraan pendidikan dan
pembelajaran di sekolah dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi dan politik
dalam pendidikan di Indonesia.

B. Explorasi Konsep

Ketika teori Vygotsky menjadi dapat diakses oleh para peneliti dan pembelajar, itu ditafsirkan,
dipahami, dan dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan tradisi budaya dan intelektual yang ada
di masing-masing konteks. Cendekiawan banyak berkontribusi pada pengembangan kreatif ide-
idenya di semua tingkatan: teori, penelitian, dan aplikasi. Mereka juga memainkan peran penting
dalam menyebarkan ide-idenya ke seluruh dunia. Namun, dalam bab ini, kita akan berurusan,
terutama, dengan beberapa bias budaya dalam memahami ide-ide Vygotsky. Seperti yang baru-
baru ini diperhatikan oleh Alex Kozulin (2002, komunikasi pribadi):

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 201


Di satu sisi, para peneliti berperan penting dalam memperkenalkan ide-ide Vygotsky kepada
audiens yang berbahasa Inggris. Kecenderungan ini menjadi jelas ketika terjemahan (ringkasan)
pertama dari Vygotsky's Thought and Language yang diedit oleh Bruner muncul pada tahun 1962
(Vygotsky, 1962). Sementara aspek empiris dari karya Vygotsky dipertahankan, hampir semua
gambar puitis, filosofis, dan historis dihapus dari edisi ini.

Kita beruntung memiliki pengalaman langsung dengan ide-ide Vygotsky. Dengan mengetahui
tentang Vygotsky, kita dapat lebih bagaimana interpretasi yang berbeda dari ide-idenya. Variasi
ini jauh melampaui perbedaan individu – betapapun luasnya cakupan perbedaan individu. Variasi
ini mewakili pola budaya yang sangat konsisten, beberapa aspek yang dibahas dalam bab ini.

Berbeda dengan artikel A. Kozulin (1995) dengan judul yang sama, di mana penulis memberikan
gambaran tentang perkembangan utama gagasan pendidikan Vygotsky di seluruh dunia, dan
berbeda dari sejumlah publikasi berorientasi penelitian lainnya tentang konteks budaya karya
Vygotsky. bekerja (Bruner, 1987; 1995a; 1995b; Kozulin, 1984, 1998; van der Veer & Valsiner,
1991), bab ini berfokus, terutama, pada persepsi teori Vygotsky di kelas khas Amerika.

Dengan menganalisis tanggapan siswa kita terhadap ide-ide Vygotsky melalui lensa budaya, kita
berharap dapat menjembatani pendekatan sosiokultural Vygotsky dengan teori dan penelitian
lintas budaya modern. Beberapa dimensi tertentu dari variabilitas antarbudaya – seperti
kolektivisme versus individualisme dan komunikasi konteks tinggi versus komunikasi konteks
rendah – di mana Rusia dan Amerika Serikat tampaknya sangat berbeda secara drastis
(Alexander, 2000) sangat relevan untuk tujuan ini, karena adalah beberapa perbedaan penting
dalam tradisi intelektual umum di kedua negara. Kita juga akan membagikan beberapa pedagogi
kreatif yang membantu kita memfasilitasi pemahaman tentang teks Vygotskian yang “sulit secara
budaya” di antara siswa Amerika.

REDUKSIONISME BIOLOGIS DAN INDIVIDUALISTIS

Beberapa bab pertama Vygotsky's Mind and Society (1978), serta banyak karyanya (1997, 1998),
berisi banyak referensi untuk penelitian tentang kecerdasan dan pemecahan masalah pada
primata yang lebih tinggi. Vygotsky membutuhkan data ini sebagai titik referensi untuk
membuktikan salah satu kemajuan teoretis utamanya tentang peran unik yang dimainkan bahasa
dalam proses mediasi perkembangan fungsi psikologis yang lebih tinggi. Murid-murid kita sangat
sering bingung bahwa salah satu asumsi utama Vygotsky, desakannya pada kemampuan unik

202 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


manusia dalam menggunakan simbol, tampaknya bertentangan secara langsung dengan apa
yang mereka lihat sebagai bukti ilmiah modern. Butuh beberapa waktu dan upaya untuk
menjelaskan bahwa Vygotsky tidak dan tidak berpura-pura menjadi ahli kecerdasan hewan atau
perilaku primata, meskipun, cukup ironis, tidak lama sebelum kematiannya, dan sebagai akibat
dari meningkatnya tekanan politik dan kesehatannya yang memburuk. , dia secara serius
mempertimbangkan untuk pindah dari Moskow ke Sukhumi (Georgia) untuk bekerja di Suaka
Kera Nasional di sana (Feigenberg, 1996). Penting juga untuk dicatat bahwa banyak cabang
studi modern tentang primata bahkan tidak ada pada masanya.

Kemampuan primata yang lebih tinggi untuk menggunakan simbol dan alat merupakan
pertanyaan penelitian yang serius (Kozulin, 1990; Tomasello, 1999), seluruh masalah yang jauh
melampaui tujuan bab ini. Tujuan utama kita di sini hanyalah, dengan menggunakan contoh-
contoh seperti ini, untuk menggambarkan apa yang kita sebut sebagai kecenderungan
reduksionisme biologis dan individualistis dalam menjelaskan pikiran manusia dan masyarakat
yang sebagian besar siswa kita miliki baik dalam bentuk eksplisit maupun implisitnya. Dalam
beberapa kasus, asumsi bahwa pikiran manusia tidak terbatas pada aktivitas otak dan dapat
digambarkan sebagai produk dari berbagai kekuatan sosial yang berbeda dalam tindakan
memang menghadirkan tantangan besar bagi banyak siswa kita. Seperti yang dikatakan salah
satu dari mereka dalam menanggapi membaca bab-bab awal Mind in Society: "Kita adalah orang
yang mandiri, dan tidak ada yang pernah membentuk kita, atau membangun kita, atau mencuci
otak kita dalam hal ini." Yang mengejutkan kita, kebingungan antara teori konstruktivisme sosial
dan proses cuci otak ideologis ini tampaknya cukup umum di antara murid-murid kita.

Jadi, timbul pertanyaan, apakah teori Vygotsky, pada intinya, bertentangan dengan beberapa
nilai inti budaya Amerika? Dalam pandangan kita, pertanyaan ini terlalu penting untuk diabaikan,
dan kita yakin jawabannya adalah ya. Gagasan bahwa pikiran manusia dibentuk begitu dalam
dan dibentuk oleh interaksi sosial tampaknya secara langsung bertentangan dengan banyak nilai
dan cita-cita Amerika yang menonjol, seperti individualisme, kemandirian, dan kemandirian. kita
percaya kontradiksi ini menjelaskan mengapa beberapa konsep dan ide Vygotsky, seperti zona
perkembangan proksimal (ZPD) dan penerapannya dalam pembelajaran kooperatif, diterima dan
dipromosikan dengan antusias, sedangkan yang lain, seperti interpretasi kolektifnya tentang sifat
interaksi sosial dan proses belajar-mengajar, terkadang diabaikan atau ditolak.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 203


Penolakan Vygotsky yang tegas terhadap reduksionisme individualistik dalam menjelaskan
perkembangan pikiran manusia dan masyarakat merupakan bagian penting dari teorinya. Ini
sejalan dengan penolakannya terhadap reduksionisme biologis. Salah satu ide paling konsisten
dari karya Vygotsky adalah penolakannya terhadap segala upaya untuk menggunakan
reduksionisme individualistik atau biologis untuk menjelaskan asal usul dan fungsi pikiran
manusia. Apapun proses psikologis sederhana atau kompleks yang dipertanyakan, Vygotsky
memiliki bakat nyata untuk menunjukkan bahwa bagian atau komponen yang paling menarik
tidak diwariskan secara biologis, tetapi disebabkan oleh dan berasal dari serangkaian interaksi
sosial tertentu (Vygotsky, 1978; 1997; 1998).

Formulasi ini juga menjelaskan mengapa dia sangat tidak setuju dengan psikologi perkembangan
Piaget – tepatnya karena dia melihatnya sebagai reduksionisme biologis dan individualistis.
Menarik untuk disebutkan bahwa beberapa Vygotskian Rusia (Leontiev, 1978) dalam perjuangan
mereka melawan setiap upaya untuk mereduksi manusia menjadi karakteristik biologisnya dan
untuk mencabik-cabik individu dan masyarakat, bahkan telah menciptakan istilah khusus,
Robinsonade, yang merupakan turunan bahasa Rusia dari nama Robinson Crusoe, seorang
tokoh dalam novel Daniel Defoe. Di Rusia istilah ini telah diterapkan pada setiap teori dan
penelitian yang menggambarkan perkembangan psikologis dalam istilah individualistis murni.
Gambaran luar biasa dari seorang penyendiri, seorang individu yang berjuang untuk bertahan
hidup, sendirian, dalam isolasi sosial di sebuah pulau tak berpenghuni, telah digunakan sebagai
metafora untuk menggambarkan esensi dari banyak teori Barat tentang perkembangan anak,
membuat kritik terhadap reduksionisme individualistik secara meyakinkan gamblang.

Apakah kita masih membuat Robinsonades? Apakah kita masih menggabungkan konsep
sosiokultural dengan konten individualistis? Apakah teori implisit kita tentang perkembangan
psikologis dan proses belajar-mengajar tetap cukup individualistis, jauh di lubuk hati, terlepas dari
semua terminologi sosiokultural yang kita gunakan? Kita percaya ini adalah pertanyaan yang
sangat penting untuk ditanyakan ketika kita berbicara tentang pengajaran teori sosiokultural di
ruang kelas Amerika. Pengalaman kita yang terbatas memberi kita beberapa wawasan tentang
pertanyaan-pertanyaan ini. Dan bahkan dengan risiko dituduh melakukan generalisasi yang
berlebihan, kita terpaksa mengakui bahwa jawaban kita, sejauh ini, adalah ya untuk semua
pertanyaan ini.

204 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


PENGUKURAN DAN KUANTIFIKASI

Zona perkembangan proksimal (ZPD), mungkin, yang paling sering diselidiki dari semua konsep
yang pernah diperkenalkan oleh Vygotsky (Tharp & Gallimore, 1988; Moll, 1990; lihat juga
Chaiklin, volume ini). Di sinilah beberapa mahasiswa pendidikan pascasarjana kita, untuk
pertama kalinya dalam pencarian mereka untuk memahami kompleksitas Vygotsky, menemukan
diri mereka di medan yang kurang lebih familiar dari aplikasi instruksional dan implikasinya.
Namun, hal-hal tidak serta merta berjalan mulus terkait dengan zona tersebut.

Di mana zonanya? Milik siapa? Bagaimana kita bisa mengukur zona? Ini hanyalah contoh kecil
dari pertanyaan umum yang sering diganggu oleh siswa di kelas kita. Melalui lensa pertanyaan-
pertanyaan ini, budaya berbicara kepada kita dengan suaranya yang sangat keras dan fasih.
Seseorang hampir secara fisik dapat merasakan tekanan besar yang turun pada siswa Amerika
kita – tekanan untuk beroperasi dengan istilah yang jelas, terdefinisi dengan baik, dan tidak
ambigu, didukung oleh data yang andal dan statistik yang canggih. Konsep ZPD hanyalah satu
contoh untuk menggambarkan bagaimana cara Vygotsky dalam bereksperimen dan berteori,
secara umum, memberikan tantangan serius lainnya bagi sebagian besar siswa kita: sampelnya
kecil, datanya tidak jelas dan/atau ambigu, statistik tingkat lanjut masih kurang. tidak ada, dan
tidak jelas bagaimana dia mengontrol variabel independen. Singkatnya, hampir semua standar
modern dari penyelidikan objektif "ilmiah yang tepat" tampaknya dilanggar dengan berani.

Seratus tahun dominasi positivis-perilaku dalam pendidikan dan psikologi, dengan fokus pada
metodologi eksperimental objektif, data kuantitatif yang dapat diandalkan, replikasi desain
eksperimental, dan sebagainya, belum terungkap tanpa konsekuensi budaya terdalam. Dominasi
ini telah meninggalkan akar yang sangat dalam dalam mentalitas Amerika dan telah menjadi
budaya tersendiri. Dan terlepas dari semua tren baru-baru ini ke pergeseran paradigma
(misalnya, Fischetti, Dittmer, & Kyle, 1996), sebuah gerakan menuju pendekatan yang lebih
kualitatif dan intuitif untuk mempelajari dan mendidik manusia, yang terus mendapatkan
popularitas dan kekuatan selama beberapa tahun terakhir. beberapa dekade, sikap positivis lama
masih terlalu kuat: Apa yang tidak dapat diukur tidak ada atau, setidaknya, tidak ada sebagai
entitas ilmiah atau objek penyelidikan ilmiah yang sehat. Dapatkah teori dan penelitian Vygotsky
bertahan dalam pengawasan persyaratan positivistik yang begitu sempit? Ini adalah salah satu

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 205


pertanyaan paling sulit yang dihadapi siswa kita, segera setelah mereka membaca Vygotsky
sendiri. Untuk menjawab pertanyaan ini, kita perlu melihat eksperimen Vygotsky lebih hati-hati.

Istilah genetik, yang digunakan oleh Vygotsky untuk mendefinisikan merek eksperimen baru yang
dia temukan, tidak hanya tidak membantu tetapi memperburuk kebingungan siswa kita.
Sebenarnya, ini adalah salah satu istilah yang paling menyesatkan di seluruh warisan Vygotsky.
Dia menggunakan istilah ini pada saat genetika, sebagai suatu disiplin ilmu, sedang berkembang.
Saat ini, genetika dipandang sebagai salah satu disiplin ilmu yang paling maju, dengan potensi
dan janji yang hampir tak terbatas untuk kemajuan yang terus berkembang dalam kedokteran
dan biologi, dan pada saat yang sama sering dipandang sebagai kekuatan yang mengancam
untuk mengubah dasar-dasar kehidupan. Bumi. Referensi genetika menempati sebagian besar
wacana politik dan publik sehari-hari (misalnya, rekayasa genetika dan kloning). Singkatnya, kata
genetik saat ini secara otomatis diasosiasikan dengan sesuatu yang tidak dapat dipisahkan dari
makna yang digunakan Vygotsky pada tahun 1920-an dan 1930-an (seperti dalam
perjuangannya melawan reduksionisme biologis, yang dibahas sebelumnya).

Di banyak kelas kita, kita telah mencoba menemukan alternatif yang lebih baik untuk turunan
Yunani yang menyesatkan ini. Istilah genesis bermanfaat bagi beberapa siswa kita: “Jadi, ini
tentang bagaimana ini dan itu dimulai?” Hampir semua hal akan lebih baik daripada genetik –
mungkin seperti genesis atau generatif – tetapi mungkin yang terbaik adalah istilah sederhana,
eksperimen perkembangan. Setidaknya itu tidak akan secara otomatis membangkitkan asosiasi
biologis tersebut, yang begitu asing dengan esensi pendekatan Vygotsky (untuk analisis lebih
rinci eksperimen Vygotsky dalam konteks budaya, lihat Bruner, 1987; Kozulin, 1990; 1998; van
der Veer & Valsiner, 1991).

Yang lebih sulit lagi dipahami oleh siswa kita adalah gambaran besar di balik eksperimen
Vygotsky. Sangat kontras dengan sebagian besar peneliti sezaman dan generasi modernnya,
Vygotsky selalu memiliki fenomena yang kompleks dan otentik sebagai objek penelitiannya,
bukan laboratorium pengganti. Yang paling penting baginya adalah selalu menggambar jalur
perkembangan dari fenomena tertentu, misalnya, memori yang dimediasi, konsep ilmiah, atau
permainan. Dalam setiap eksperimen dia dengan sangat hati-hati menyelidiki fase-fase
perkembangan dari fenomena yang bersangkutan. Biasanya, seseorang dapat melihat
setidaknya lima fase berikut di sebagian besar penelitian Vygotsky: (1) fase di mana fenomena
yang diberikan belum memanifestasikan dirinya; (2) fase di mana jejak awalnya tampaknya

206 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


muncul untuk pertama kalinya, selalu dengan analisis yang sesuai dari alat psikologis dan
kekuatan sosial yang menghidupkan fenomena ini; (3) fase dimana fenomena mencapai
klimaksnya, selalu terkait dengan interaksi sosial dan penggunaan alat; (4) fase “interiorisasi”
bertahapnya (lihat Lantolf, volume ini); (5) dan terakhir, fase, di mana tampak bahwa fenomena
yang bersangkutan selalu ada, wajar saja, di kepala kita, menyerupai milik individu yang diwarisi
yang tinggal menunggu waktunya untuk diaktualisasikan.

Sementara desain eksperimental arus utama dalam psikologi semakin bersemangat untuk
mengorbankan kompleksitas, relevansi, keaslian, dan validitas eksternal dari fenomena yang
mereka pelajari demi validitas internal, akurasi, reliabilitas, dan kuantifikasi, Vygotsky tampaknya
sengaja bergerak. dalam arah yang berlawanan. Jika kita dapat melanjutkan metafora Toulmin
(1978), menyebut Vygotsky "Mozart psikologi," kita akan membandingkan eksperimennya
dengan karya musik yang panjang, kompleks, dan rumit, seperti opera, atau simfoni, dengan
lagu-lagu pop pendek dan sederhana, namun bagus dan berharga yang terakhir mungkin, dari
sebagian besar orang sezamannya.

DEKONTEKSTUALISASI PENDEKATAN SOSIOKULTURAL

Hambatan serius lain yang dihadapi siswa kita adalah masalah hubungan Vygotsky dengan
Marxisme (untuk analisis rinci tentang masalah ini, lihat Bruner, 1987; Kozulin, 1984; 1990; Rosa
& Montero, 1990). Dalam pengalaman kita, rata-rata siswa di sekolah pascasarjana pendidikan
Amerika hanya tahu sedikit tentang Marxisme, dan jarang membaca buku Marx sendiri, belum
lagi kaum Marxis di kemudian hari. Jika kebanyakan siswa pernah mendengar sesuatu tentang
Marxisme (seringkali Marxisme dikacaukan dengan komunisme), itu pasti tidak terlalu positif.
Untuk menghubungkan nama Vygotsky (yang banyak dijunjung tinggi bahkan sebelum masuk
kelas dan mempelajari dasar-dasar sosiokultural) dengan apa yang dulu mereka pandang
sebagai sesuatu yang lama, negatif, dan ketinggalan zaman memang menghadirkan tantangan
bagi banyak siswa kita. Dan, seperti yang diprediksi oleh teori disonansi kognitif, salah satu
strategi yang paling sering digunakan dalam keadaan seperti itu adalah menghindari hubungan
ini sama sekali.

Alasan ideologis untuk sosok diam ini cukup jelas. Masuk akal untuk menjauhkan diri dari latar
belakang ideologis musuh politik jangka panjang yang pernah ada di bekas Uni Soviet.
Mengambil teori yang baik dan menggunakannya tanpa menyebutkan akar ideologisnya yang

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 207


“salah”, yang dapat mengkompromikannya, tampaknya merupakan strategi yang baik, yang
sayangnya, telah terlalu sering digunakan di dunia kita yang sangat terpolitisasi dan terpolarisasi.
Apa yang lebih penting, bagaimanapun, adalah kecenderungan yang lebih umum tidak hanya
untuk menghindari hubungan teori Vygotsky dengan Marxisme, tetapi untuk menghindari
pertimbangan kontekstual dari pekerjaan Vygotsky sama sekali. Orang dapat melihat ironi besar
di sini: Teori budaya-sejarah cenderung ditafsirkan dan diajarkan dalam ruang hampa budaya
dan sejarah.

Ada beberapa alasan mengapa karya Vygotsky didekontekstualisasikan selain alasan ideologis
dan politis yang telah kita sebutkan. Beberapa dari mereka kurang jelas daripada yang lain. Untuk
memahami alasan tersebut, kita harus kembali beberapa dekade ke era kritik baru tahun 1940-
an dan 1950-an dan strukturalisme tahun 1960-an dan 1970-an, yang mendominasi ilmu-ilmu
sosial, literasi, dan pendidikan di Amerika Serikat ( misalnya, Pantai, 1993). Menurut orientasi
teoritis ini, sekali sangat modis dan sangat berpengaruh, teks adalah segalanya. Posisi mereka
dapat dirumuskan dengan cara ini: “Ada teks, hanya teks, tidak ada apa-apa selain teks.” Semua
upaya untuk melampaui teks dinyatakan tidak hanya tidak relevan, tetapi juga salah. Misalnya,
dengan mempertimbangkan niat penulis diberi label sebagai "kesalahan yang disengaja,"
pertimbangan keadaan hidup dan waktu penulis sebagai "kesalahan afektif," dan seterusnya
(Rene & Warren, 1949).

Meskipun dominasi, pertama, kritik baru dan kemudian strukturalisme, secara bertahap mereda,
pengaruhnya masih sangat terasa baik dalam teks-teks ilmiah yang menafsirkan Vygotsky dan
ruang kelas universitas yang mempelajari karyanya. Dalam kedua kasus tersebut, para pembaca
dan penafsir Vygotsky sama-sama berusaha untuk mencapai pemahaman penuh tentang
Vygotsky dari teks-teksnya, dan teks-teksnya saja. Gagasan sederhana untuk melampaui teks
dan mempertimbangkan konteks sosial, politik, budaya, dan lainnya yang lebih besar, yang
menurut kita, satu-satunya cara otentik untuk memahami pendekatan sosio kulturalnya, tidak
mudah diterima. Pada awalnya, banyak siswa melihat analisis kontekstual sebagai tidak relevan,
atau bahkan merepotkan, dan terus berusaha untuk mendapatkan semua jawaban dari teks.
Untuk menggunakan kerangka kerja Vygotsky, dalam hal ini dapat dikatakan bahwa
mengkontekstualisasikan informasi dan ide baru belum menjadi alat pikiran.

Kumpulan alasan terakhir, yang sebenarnya paling membuat kita terpesona, berasal dari dasar-
dasar budaya Amerika. Dalam bidang psikologi lintas budaya, budaya Amerika sering

208 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


didefinisikan sebagai budaya komunikasi konteks rendah, atau budaya komunikasi langsung
(Gugykunst, 1998; Ting-Toomy, 1999). “Katakan maksudmu! Jangan bertele-tele! Jangan
membuatku menebak!" – maksim seperti ini dapat dianggap sebagai logo komunikatif budaya
Amerika yang sebenarnya. Kecenderungan sebaliknya terlihat di banyak negara lain di dunia,
termasuk Rusia, di mana pola komunikasi sering didefinisikan sebagai budaya komunikasi
konteks tinggi, atau budaya komunikasi tidak langsung.

Pola komunikatif konteks tinggi adalah pola di mana “sebagian besar informasi ada dalam
konteks fisik atau terinternalisasi dalam diri seseorang, sementara sangat sedikit dalam bagian
pesan yang dikodekan, eksplisit, dan ditransmisikan” (Hall, 1976, hal.79). Jadi, sementara
“komunikasi konteks rendah cenderung langsung, tepat, dan jelas, komunikasi konteks tinggi
cenderung tidak langsung dan ambigu” (Gudykunst, 1998, hlm. 57). Ada banyak alasan yang
sangat logis untuk menjadi tidak langsung dalam budaya komunikasi konteks tinggi, termasuk
konvensi budaya tertentu, seperti sikap umum menghindari konflik dan "menyelamatkan muka",
banyak kendala ideologis, dan tekanan politik. Logika ini, meskipun, mungkin jelas dan "logis"
untuk individu konteks tinggi saja.

Perbedaan antara gaya komunikasi konteks tinggi dan rendah memiliki dampak besar pada
interaksi interpersonal dan diyakini menjadi salah satu sumber paling sering kesalahpahaman
antar budaya, kesalahan budaya, bentrokan budaya, dan frustasi timbal balik dalam hubungan
interpersonal (Hofstede, 1997; Fry & Bjorkquist, 1997; Gydykunst, 1998). Pengaruh budaya
komunikasi konteks tinggi dan rendah pada penulisan akademis, tidak diragukan lagi, jauh lebih
kecil. Wacana akademik cenderung lebih universal daripada pola komunikasi interpersonal.
Namun, variasi budaya pasti ada dan tidak boleh diremehkan bahkan dalam tulisan. Setiap
profesor perguruan tinggi yang pernah bekerja dengan mahasiswa internasional dari budaya
komunikasi konteks tinggi akan segera mengenali apa yang kita bicarakan: Upaya khusus dan
terkadang signifikan harus dilakukan untuk membantu tulisan individu komunikasi konteks tinggi
menjadi lebih langsung, eksplisit. , linier, dan presisi. Singkatnya, kita bekerja keras untuk
membuat tulisan mereka sesuai dengan harapan budaya komunikasi konteks rendah kita.
Keberhasilan akademis dari begitu banyak siswa internasional adalah bukti terbaik bahwa
perubahan budaya seperti itu dapat terjadi, tetapi itu tidak terjadi dengan mudah atau otomatis:
Ini membutuhkan, seperti halnya mempelajari bahasa asing itu sendiri, banyak waktu dan usaha.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 209


Banyak konvensi budaya tertentu, kendala ideologis, dan tekanan politik, juga berkontribusi pada
ketidaklangsungan penulisan akademis dalam budaya komunikasi konteks tinggi. Oleh karena
itu, meskipun pada tingkat yang jauh lebih rendah daripada dalam komunikasi interpersonal,
dalam teks akademik yang dihasilkan dalam budaya komunikasi konteks tinggi apa yang tidak
secara langsung dikatakan dalam teks mungkin sama pentingnya dengan, atau bahkan lebih
penting daripada, apa yang dikatakan. Jadi, bagi kita semua yang berurusan dengan penulisan
akademis seseorang dari budaya komunikasi konteks tinggi, kita akan memperluas dan sedikit
merumuskan kembali saran yang direkomendasikan oleh Miller (1998) untuk percakapan kelas
tentang topik multikultural: Selalu ingat siapa yang suara diam, apa yang tidak kita bicarakan,
dan mengapa.

Perbedaan antara budaya komunikasi tinggi dan rendah sangat relevan dengan interpretasi
budaya dari karya Vygotsky. Dia berasal dari budaya komunikasi konteks tinggi, dan tulisannya
memiliki banyak ciri khas seperti itu. Semua yang dikatakan sebelumnya tentang
ketidaklangsungan dan ambiguitas teks budaya konteks tinggi berlaku, sampai batas tertentu,
pada tulisan Vygotsky. Penerjemah bahasa Inggris dari teks-teksnya mengetahui hal ini dengan
sangat baik (misalnya, John-Steiner & Cole, 1978). Jadi, betapapun paradoks dan anehnya
kedengarannya bagi beberapa rekan komunikasi konteks rendah kita, kita berani mengatakan
yang berikut: Ketika mengajarkan teori Vygotsky dan membaca teks Vygotsky di ruang kelas
Amerika, sangat disarankan untuk terus bertanya, Apa tidak dikatakan dalam teks-teksnya dan
mengapa?

Dalam diskusi lebih lanjut, kita hanya akan berfokus pada dua masalah yang tidak ada dalam
teks-teks Vygotsky dalam bentuk eksplisitnya, namun menurut kita sangat penting dalam
memahami pendekatannya secara keseluruhan. Salah satunya terkait dengan kendala teoritis
dan tekanan politik pada masanya; yang lain terkait dengan apa yang kita sebut bukti diri dari
konvensi budaya sendiri. Yang pertama terkait dengan hubungan Vygotsky dengan
multikulturalisme modern; yang terakhir menyentuh spesifik budaya interaksi sosial, pada
umumnya, dan mediasi sosial dalam proses belajar-mengajar, pada khususnya.

VYGOTSKY DAN MULTIKULTURALISME

Kata budaya adalah salah satu yang paling sering digunakan dalam tulisan-tulisan Vygotsky. Ini
juga merupakan salah satu kata yang paling sering digunakan dalam teori dan praktik pendidikan

210 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


modern. Budaya, keragaman budaya, kepekaan budaya, multikulturalisme, dan banyak turunan
lainnya telah menjadi bagian besar dari perdebatan teoritis dan politik modern tentang
pendidikan. Jadi tampaknya siswa seharusnya tidak mengalami kesulitan, setidaknya, dengan
bagian dari warisan Vygotsky ini. Faktanya, mereka melakukannya.

Pada awalnya, siswa kita melihat Vygotsky sebagai seorang visioner, nenek moyang
multikulturalisme modern, yang berbicara tentang aspek budaya pembangunan dan pendidikan
pada saat tidak ada orang lain yang tertarik dengan masalah ini. Tetapi seiring dengan kemajuan
siswa kita mengenal teks-teks Vygotsky, mereka selalu mulai mengajukan pertanyaan-
pertanyaan tidak nyaman berikut ini: Apakah Vygotsky menggunakan istilah budaya dengan cara
yang sama seperti yang kita gunakan saat ini? Apakah dia benar-benar seorang multikulturalis,
atau setidaknya pendahulunya? Apakah dia benar-benar tertarik pada budaya dan perbedaan
budaya?

Ini adalah pertanyaan yang sangat penting, dan jawaban yang dapat dipahami akan
membutuhkan lebih banyak ruang daripada format bab ini akan memungkinkan. Untuk
menjawabnya secara singkat, kita perlu menyentuh setidaknya dua konteks yang berbeda. Yang
pertama terkait dengan hubungan teoritis umum antara Marxisme dan relativisme budaya, yang
secara adil dilihat sebagai salah satu landasan teoritis multikulturalisme modern (Sleeter & Grant,
1999). Yang kedua terkait dengan keadaan politik dan ideologis tertentu di Rusia selama masa
Vygotsky.

Relativisme budaya, sebagai sebuah teori dan ideologi, pertama-tama muncul dalam bidang
antropologi budaya; kemudian menyebar ke disiplin ilmu tetangga, seperti linguistik dan sosiologi.
Psikologi dan pendidikan tampaknya merupakan disiplin ilmu terakhir yang dipengaruhi oleh
paradigma ini. Relativisme budaya secara radikal menentang hampir semua asumsi sebelumnya
tentang sejarah, kemajuan sosial, dan budaya. Ia menolak penjelasan linear satu dimensi tentang
peradaban manusia dengan fokus mereka pada kemajuan sosial dan universal budaya.
Sebaliknya, ia menawarkan analisis rinci dan mendalam tentang kekhususan budaya (Cole,
1995).

Menurut Herskovits (1950), relativisme budaya adalah “sebuah filosofi yang, dalam mengakui
nilai-nilai yang ditetapkan oleh setiap masyarakat untuk memandu hidupnya sendiri, menekankan
martabat dalam setiap adat istiadat, dan pada perlunya toleransi terhadap konvensi, meskipun

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 211


mereka mungkin berbeda dari miliknya sendiri” (hal. 76). Relativisme budaya menegaskan bahwa
"semua budaya memiliki nilai yang sama dan nilai serta perilaku suatu budaya hanya dapat dinilai
dengan menggunakan budaya itu sebagai kerangka acuan" (Gudykunst & Kim, 1984, hlm. 97).

Relativis budaya melihat Marxisme sebagai salah satu dari banyak teori "evolusioner" yang
mencoba memasukkan semua keragaman budaya ke dalam landasan Procrustean dari skema
universal, sederhana, dan linier, yang tidak sesuai dengan penelitian empiris tentang varietas
budaya aktual yang pernah ada. di dunia. Sekarang timbul pertanyaan, di mana posisi Vygotsky
dalam pertempuran relativis budaya melawan “evolusionis” ini? Di mana dia berdiri di atas
dikotomi penting dari universal budaya versus kekhususan budaya? Tidak ada indikasi bahwa
Vygotsky bahkan menyadari bahwa pertempuran ini akan segera dimulai. Nenek moyang
relativisme budaya, F. Boaz, adalah kontemporer Vygotsky kemudian, dan relativisme budaya,
sebagai paradigma baru, sepenuhnya dirumuskan hanya setelah kematian Vygotsky (Herskovits,
1950; 1973).

Beberapa wawasan tentang posisi keseluruhan Vygotsky dalam masalah ini dapat diambil dari
penelitiannya dan Luria di Uzbekistan (Luria, 1976) tentang peran literasi dalam memediasi
proses psikologis yang lebih tinggi. Meski terdengar ironis, faktanya adalah bahwa Luria dan
Vygotsky melakukan yang terbaik untuk tidak menyelidiki dan bahkan tidak menyebutkan
kekhasan atau kekhasan budaya Uzbekistan sama sekali. Alasan utama Luria pergi ke
Uzbekistan adalah karena lebih mudah untuk menemukan sampel besar orang dewasa yang
buta huruf, yang mereka butuhkan untuk studi mereka, di sana.

Alasan untuk menghindari kekhususan budaya dalam karya Vygotsky dapat dipahami
sepenuhnya hanya dalam konteks politik yang lebih luas, yaitu, mengingat tekanan politik pada
psikologi, pendidikan, dan humaniora di bekas Uni Soviet selama kehidupan Vygotsky. Bagi
cendekiawan Soviet, pilihan antara universal budaya dan kekhasan budaya tidak hanya menjadi
bahan perdebatan akademis, tetapi yang lebih penting, itu juga merupakan masalah politik yang
sarat muatan. Bekas Uni Soviet adalah salah satu negara dengan budaya paling beragam di
dunia. Para pemimpin Soviet melihat banyak potensi bahaya dalam minat otentik dalam budaya
dan keragaman budaya, yang mereka gunakan untuk menyamakan dengan gagasan
"nasionalisme," digunakan dengan konotasi negatif eksklusif.

212 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Program politik yang diproklamasikan secara resmi adalah membangun masyarakat tanpa kelas
baru tanpa jejak rasisme, ketidaksetaraan etnis, atau diskriminasi. Para pemimpin Soviet melihat
minat akademis dalam keragaman budaya, etnis, dan identitas etnis sebagai hambatan atau
tantangan dan ancaman nyata bagi program ini. Inilah sebabnya, mulai akhir 1920-an, istilah
budaya menjadi kurang populer dan jarang digunakan dalam psikologi, pendidikan, dan
humaniora. Ini juga menjelaskan, dalam pandangan kita, mengapa "teori budaya-sejarah"
Vygotsky digantikan oleh "teori aktivitas" Leontiev (1978), yang terakhir secara mencolok
kehilangan kata budaya dari judulnya dan, memang, mengandung sangat sedikit referensi untuk
masalah budaya sama sekali. (untuk interpretasi yang lebih rinci dan agak berbeda dari masalah
ini, lihat Kozulin, 1984).

Oleh karena itu, setiap kali Vygotsky menggunakan kata budaya atau budaya, kita harus ingat
bahwa ia, secara umum, berarti konotasinya yang umum dan universal, bukan spesifik dan
khusus. Oleh karena itu, dalam banyak kasus, kata budaya, dan budaya dapat dengan mudah
diganti dengan kata masyarakat, sosial, dan kemasyarakatan. Sebenarnya, substitusi budaya ke
masyarakat ini berfungsi dengan baik sebagai alat dalam membantu siswa kita untuk lebih
memahami makna teks-teks Vygotsky, sedangkan kata budaya sangat sering memunculkan
makna modernnya, terutama terkait dengan kekhasan budaya, dan itu bisa sangat menyesatkan.
Sama menyesatkannya dengan kecenderungan umum untuk memodernisasi Vygotsky, untuk
percaya bahwa semua jawaban tentang bagaimana mengajar pembelajar yang beragam hari ini,
pada awal abad baru, dapat diambil langsung dari teks-teks Vygotsky yang ditulis pada awal
abad terakhir, 70 –80 tahun yang lalu. Modernisasi yang dangkal seperti itu akan merugikan baik
bagi Vygotsky sendiri maupun bagi pendidikan multikultural.

Pada saat yang sama, sulit untuk melebih-lebihkan pentingnya pendekatan Vygotsky untuk
pendidikan multikultural, yang, pada intinya, berisi salah satu kerangka teoritis terbaik untuk
mendidik peserta didik yang beragam budaya. Misalnya, bahkan jika kontribusi Vygotsky terbatas
pada karyanya dalam pendidikan khusus, maka dampaknya terhadap pendidikan multikultural
modern akan sangat mengesankan. Jika kita memasukkan peserta didik yang cacat dalam
kategori yang lebih umum dari "pebelajar yang beragam secara budaya," seperti yang sering
dilakukan saat ini, kontribusi Vygotsky untuk pendidikan multikultural akan sangat sulit untuk
ditaksir terlalu tinggi. kita setuju dengan Gindis (1995): “Lev S. Vygotsky merumuskan kerangka

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 213


teoritis yang unik untuk praktik pendidikan khusus yang paling komprehensif, inklusif dan
manusiawi yang dikenal di abad kedua puluh” (hlm. 155–156).

Kerangka teori umum Vygotsky sangat relevan dengan pendidikan multikultural modern karena
sejumlah alasan (lihat Kozulin, volume ini). Misalnya, interpretasi fundamentalnya tentang tanda
dan simbol sebagai mediator dalam pengembangan proses kognitif melalui interaksi sosial
memiliki potensi besar untuk mengajar peserta didik yang beragam secara budaya. Potensi ini
berasal dari fakta bahwa tanda, simbol, dan interaksi sosial itu sendiri, sebagian besar, spesifik
secara budaya, tidak universal. Semakin banyak, penelitian telah menunjukkan kekhususan
budaya yang mendalam ini dalam banyak konteks umum dan pendidikan (Moll, 1990; Rogoff,
1990; Martin, 1995; Cole, 1995). Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa hasil pendidikan
positif yang signifikan dapat dicapai ketika kekhususan budaya ini dipertimbangkan sepenuhnya
dalam praktik pendidikan (McNamee, 1990; Au & Kawakita, 1991; Bruner, 1996; Shade, Kelly, &
Olberg, 1997; Hollins, 1997; Gernsten & Himenez, 1998; Diaz, 2001).

Penelitian lebih lanjut diperlukan, bagaimanapun, untuk memahami sepenuhnya pentingnya


kekhususan budaya untuk pendidikan peserta didik yang beragam budaya, termasuk
kekhususan budaya interaksi sosial dan hubungan interpersonal. Seperti yang dinyatakan oleh
Carolyn Panofsky (lihat Panofsky, volume ini), “Teori pembelajaran sosiokultural telah
mengeksplorasi secara mendalam peran tanda dan simbol dalam mediasi tetapi harus lebih
mempertimbangkan cara hubungan interpersonal memediasi kehidupan sekolah siswa dan
konsekuensinya. - sarana untuk belajar.” Pada bagian terakhir dari bab ini, kita akan membahas
beberapa isu yang berhubungan dengan kekhususan budaya dari hubungan interpersonal dan
peran mediasi mereka dalam proses belajar-mengajar.

KEKHUSUSAN BUDAYA DALAM INTERAKSI SOSIAL DAN PROSES BELAJAR-


MENGAJAR

Berbeda dengan contoh yang dijelaskan, gagasan interaksi sosial dalam karya Vygotsky
tampaknya tidak menimbulkan masalah bagi siswa kita. Bukankah kita berinteraksi kurang lebih
dengan cara yang sama? Namun, gagasan interaksi sosial, mungkin, menghadirkan tantangan
utama dan merupakan sumber dari banyak salah tafsir budaya. Dan ini adalah contoh lain dari
sesuatu yang esensial bagi pendekatan Vygotsky secara keseluruhan, yang tetap tidak eksplisit
dalam teks-teksnya. Ini tidak pernah ditangani oleh Vygotsky secara langsung, dalam pandangan

214 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


kita, dengan alasan sederhana untuk menjadi jelas dengan sendirinya, seperti kebanyakan
konvensi budaya kita.

Apakah interaksi sosial dan hubungan interpersonal bersifat universal atau spesifik secara
budaya? Seperti yang dicatat oleh Alex Kozulin (lihat Kozulin, volume ini),

Meskipun ada sedikit keraguan bahwa bentuk-bentuk mediasi manusia tertentu bersifat universal
dan dapat ditemukan dalam budaya apa pun; pertanyaannya tetap tentang apa yang merupakan
inti universal dari mediasi ini dan bentuk mediasi mana yang spesifik budaya. Penting juga untuk
menanyakan apakah aspek mediasi yang "sama" memiliki arti dan kepentingan yang identik
dalam budaya yang berbeda dan untuk kelompok sosial yang berbeda.

Jadi, meskipun perdebatan akademis umum tentang rasio yang tepat dari apa yang universal
dan apa yang secara budaya spesifik dalam perilaku manusia terus berlanjut, banyak aspek
spesifik dari variabilitas budaya telah menjadi subjek penyelidikan intensif di bidang psikologi
lintas budaya modern dan antar budaya. komunikasi (Brislin & Yoshida, 1994; Triandis, 1995;
Cushner & Brislin, 1997; Hofstede, 1997; Fry & Bjorkqvist, 1997; Ting-Toomy, 1999).

Salah satu dimensi terpenting dari keragaman budaya yang menarik perhatian para peneliti
adalah individualisme versus kolektivisme. (Triandis, 1995; Hofstede, 1997; Gudykunst, 1998).
kita telah menyebutkan dimensi ini sebelumnya, dalam membahas kecenderungan
reduksionisme biologis dan individualistik dalam penjelasan pikiran dan masyarakat. Pada titik
ini, kita akan membahas implikasi yang lebih luas terkait dengan perbedaan budaya yang
mendasar ini.

Ada konsensus langka di antara para peneliti dalam mendefinisikan budaya Amerika Utara
sebagai sangat individualis dan Rusia lebih kolektivis (Bronfenbrenner, 1974; Hofstede, 1997;
Landis, 1997; Alexander, 2000). Sebenarnya, sebuah studi terkenal dari 53 negara dan wilayah
di kelima benua oleh Geert Hofstede (1997) menempatkan Amerika Serikat sebagai negara
individualis nomor satu dalam kontinum individualisme versus kolektivisme. Perbedaan antara
budaya individualis dan kolektivis tampaknya banyak, mendalam, dan mencakup. Menurut G.
Hofstede, dalam budaya kolektivis

orang dilahirkan dalam keluarga besar atau kelompok lain yang terus melindungi mereka dengan
imbalan kesetiaan....Identitas didasarkan pada jaringan sosial tempat seseorang berada....Anak-

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 215


anak belajar berpikir dalam kerangka "kita". ...Hubungan menang atas tugas. . . . [Dalam budaya
individualis] setiap orang tumbuh untuk menjaga dirinya sendiri dan keluarga dekat (inti) saja. . .
. Identitas didasarkan pada individu. . . . Anak-anak belajar berpikir dalam kerangka “aku”. . . dan
tugas menang atas hubungan. (1997, p. 67)

Peneliti lain telah menambahkan banyak perbedaan penting lainnya antara budaya kolektivis dan
individualis. Misalnya, dalam budaya individualis, tujuan individu mengalahkan tujuan kelompok;
kemandirian, kemandirian, dan privasi sangat dihargai. Dalam budaya kolektivis, sebaliknya,
tujuan kelompok menang atas tujuan individu; saling ketergantungan sangat dihargai, dan privasi
diremehkan (Triandis, 1995; Brislin & Yoshida, 1994).

Hubungan interpersonal dalam budaya individualistik cenderung berorientasi jangka pendek,


sedangkan dalam budaya kolektivis cenderung berorientasi jangka panjang (Cushner & Brislin,
1997; Gudykunst, 1998). Dikotomi terakhir ini berarti bahwa kolektivis cenderung
mempertimbangkan setiap hubungan sosial. interaksi sebagai organisme hidup, sebagai proses
jangka panjang dan berkembang, perlahan-lahan bergerak dari hubungan formal dan
konvensional ke hubungan pribadi dan istimewa. Orientasi budaya jangka panjang berarti bahwa
keseimbangan antara pribadi dan komponen formal interaksi sosial adalah proses yang sangat
dinamis, perlahan-lahan bergeser ke arah kutub yang semakin pribadi. Dengan kata lain, rasio
antara aspek konvensional, formal, dan resmi dalam interaksi sosial dengan komponen informal,
idiosinkratik, dan personalnya memiliki dinamika yang kompleks dan rumit. Biasanya, setiap
interaksi sosial baru dimulai dengan cara yang agak formal dan resmi, dan hanya seiring
berjalannya waktu rasio antara unsur-unsur formal dan pribadi dari suatu hubungan berubah.
Setiap interaksi yang berhasil cenderung menjadi lebih pribadi, atau setidaknya ini merupakan
ekspektasi budaya implisit dalam budaya kolektivis.

Individualis, di sisi lain, cenderung menetapkan rasio antara komponen pribadi dan formal dalam
interaksi mereka di awal, dan rasio ini cenderung tetap kurang lebih sama. Apa yang lebih penting
di sini bukanlah dinamika masa depan dari interaksi ini pada kontinum pribadi-formal, melainkan
kesesuaian rasio ini dengan situasi di mana interaksi itu terjadi. Individualis tampaknya lebih
nyaman dengan interaksi jangka pendek yang didefinisikan semata-mata oleh peran sosial,
norma, dan kendala lain dari interaksi sosial tertentu yang telah dianalisis dengan sangat rinci,
misalnya, dalam teori interaksionisme simbolik (Mead, 1934). Itu tidak berarti bahwa interaksi
sosial dalam budaya individualis tidak pernah berubah sama sekali, hanya saja rentang

216 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


perubahan tersebut jauh lebih kecil, dibandingkan dengan interaksi kolektif. Singkatnya, kolektivis
cenderung terlalu menekankan komponen pribadi atau interpersonal dari setiap interaksi sosial,
termasuk interaksi guru-siswa, sedangkan individualis cenderung meremehkan atau tidak
menekankannya.

Diaz-Guerrero (1975) melangkah lebih jauh secara langsung menyandingkan realitas


"Interpersonal" atau subjektif, yang berlaku untuk pola perilaku, persepsi, dan interaktif dari
kolektivis, dan realitas "Eksternal" atau objektif, yang menggambarkan perilaku , persepsi, dan
interaksi sosial orang-orang dari budaya individualis. Seperti yang dijelaskan oleh Tomoko
Yoshida (1994), “Realitas interpersonal mengacu pada perasaan dan kesan yang diciptakan
selama interaksi antara dua orang atau lebih” (hal. 256), sedangkan “realitas eksternal mengacu
pada fenomena terukur, dapat diverifikasi, yang ada di alam. Inilah yang sering diterima orang
sebagai 'fakta'” (hlm. 258). Menurut Yoshida (1994), “Meskipun banyak interaksi memungkinkan
pertimbangan simultan dari kedua realitas, situasi tertentu memaksa orang untuk memilih atau
menekankan satu sama lain. Budaya seringkali menjadi kekuatan penuntun dalam membuat
keputusan seperti itu” (hal. 256). Dia menyimpulkan, "Sebuah masyarakat yang menghargai
kolektivisme jelas akan menempatkan nilai yang lebih tinggi pada harmoni dan hubungan
interpersonal yang baik sementara masyarakat individualistik cenderung mendorong perilaku
yang membawa manfaat bagi orang-orang tertentu" (hal. 243). Menurut pendapatnya, alasan
terjadinya banyak blunder dan bentrokan budaya adalah adanya realitas yang sama sekali
berbeda ini, yang paling sering tidak diakui oleh kedua belah pihak.

Dimensi variabilitas antar budaya ini memiliki dampak yang sangat besar pada pendidikan
peserta didik yang beragam, yang sayangnya, pentingnya belum sepenuhnya disadari. Misalnya,
untuk seorang anak imigran yang baru saja tiba di Amerika Serikat dari budaya yang sangat
kolektivis, cara budaya yang akrab dan sukses baginya untuk berinteraksi dengan orang lain
(teman, teman sebaya, guru, orang tua, orang dewasa lainnya). ), dengan demikian, harus tidak
langsung, saling bergantung, kolaboratif, tidak kompetitif, pribadi, dan sederhana. Bisakah kita
memprediksi apa yang akan terjadi pada anak dengan sikap komunikatif seperti itu di kelas khas
Amerika? Sebagai kumpulan data yang berkembang, kecenderungan kolektivis untuk bekerja
sama dan berkolaborasi secara spontan di dalam dan di luar kelas (dan tidak di bawah bimbingan
guru dalam kerangka "pembelajaran kooperatif" yang didefinisikan secara sempit) sering
dianggap sebagai ketidakjujuran dan kecurangan. Kesederhanaan dan ketidaktegasan mereka
sangat sering dianggap sebagai kurangnya ambisi dan harga diri yang rendah.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 217


Ketidakkompetitifan dan orientasi mereka terhadap hubungan interdependen dan jangka panjang
dianggap sebagai kelemahan dan kurangnya karakter (Cushner, 1994; Goodman, 1994; Igoa,
1995; Shade et al., 1997; Diaz, 2001).

Jelas bahwa penelitian lintas budaya yang lebih konkrit semacam ini sangat dibutuhkan untuk
menjelaskan seluk-beluk dan kompleksitas mendidik pelajar yang berbeda budaya. Namun, pada
titik ini, kita perlu kembali ke Vygotsky dan mengajukan pertanyaan penting berikut ini: Ketika
Vygotsky menggunakan istilah interaksi sosial, mediasi sosial, dan hubungan interpersonal,
interpretasi mana – individualistik atau kolektivis – yang ada dalam pikirannya? Atau
menggunakan terminologi Diaz-Guerrero (1975) dan T. Yoshida (1994), realitas mana yang dia
maksudkan – interpersonal atau eksternal?

kita percaya jawabannya harus cukup jelas. Terlepas dari minatnya yang besar pada budaya
Barat pada umumnya (terutama sastra dan teater), dan pengetahuannya yang hampir
ensiklopedis tentang psikologi, filsafat, linguistik Barat, dan sebagainya, khususnya, Vygotsky
tidak pernah tinggal di negara asing dan, dengan demikian, tidak memiliki pengalaman langsung,
pribadi, langsung hidup dalam budaya individualistis. Tanpa pengalaman pribadi ini, tanpa
kebutuhan mendesak untuk menyesuaikan, untuk mengakomodasi budaya baru yang sangat
berbeda dari negara asal seseorang, fitur utama dari budaya sendiri, bahkan yang paling
mendasar dari nilai-nilai, asumsi, dan konvensi. , tetap implisit dan jelas. Budaya lain adalah titik
referensi yang sangat kuat, cermin ajaib, dan hanya dengan melihatnya, seseorang dapat
dengan jelas memahami budayanya sendiri, nilai-nilai dan ciri-cirinya yang paling mendasar.

Kita semua menerima asumsi budaya dasar kita begitu saja. Begitu juga dengan Vygotsky. Hidup
dalam budaya kolektivis, Vygotsky, dalam pandangan kita, menghubungkan makna yang jauh
lebih pribadi dan interpersonal dengan gagasan tentang interaksi sosial dan mediasi sosial,
seperti yang dilakukan oleh rekan-rekan dan pembaca Rusia-nya, tidak diragukan lagi, juga.
Penafsiran semacam itu tidak memerlukan referensi atau penjelasan khusus apapun karena
gaya interaksi sosial kolektivis adalah satu-satunya jenis yang mereka ketahui.

Kesimpulan yang akan kita tarik berdasarkan analisis sebelumnya dapat memulai halaman baru
dalam interpretasi budaya atas karya Vygotsky: Yaitu, kita berpendapat bahwa untuk benar-
benar mengubah pendidikan kita dalam pengertian Vygotsky atau benar-benar menerapkan
teorinya ke dalam praktik pendidikan. , interpretasi yang lebih kolektivis dari ide-idenya

218 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


diperlukan. Dan itu berarti, khususnya, di antara banyak hal lainnya, menjadikan proses
pendidikan lebih personal. Setiap kali kita menghapus, atau hanya membatasi, komponen pribadi
dalam interaksi kita dengan siswa kita, kita tidak mendekati Vygotsky, tetapi menjauh darinya,
tidak peduli seberapa sering kita mengutipnya atau berapa banyak konsepnya yang kita gunakan
dalam tulisan kita. . Tidak peduli betapa pentingnya alasan untuk membatasi atau menghapus
komponen pribadi dalam proses belajar-mengajar mungkin tampak – pengujian berisiko tinggi,
meningkatkan tekanan untuk menggunakan teknologi sebanyak mungkin, menyebarkan
popularitas pembelajaran jarak jauh, masalah hukum – tidak adanya komponen pribadi dalam
proses belajar-mengajar selalu mengakibatkan kerugian pendidikan dari satu jenis atau lainnya.

KESIMPULAN

Kita berpendapat bahwa ada beberapa alasan penting mengapa interpretasi kontekstual dan
budaya dari ide-ide Vygotsky diperlukan. Di negara yang berbeda, kita melihat pendekatan
Vygotsky melalui lensa budaya yang berbeda, melihat ide-idenya tercermin dalam cermin budaya
yang berbeda. kita percaya waktunya telah tiba untuk melihat dengan seksama pada lensa dan
cermin ini, untuk merefleksikan secara kritis nilai-nilai budaya, asumsi, dan konvensi kita: Apakah
mereka tidak sedikit menyimpang atau tidak fokus? kita percaya bahwa waktunya telah tiba,
akhirnya, ketika kita tidak hanya membutuhkan terjemahan linguistik yang baik dari teks-teks
Vygotsky, tetapi juga interpretasi budaya yang baik dari ide-idenya. kita juga percaya bahwa
sekarang semua hambatan politik dan ideologis yang begitu tak tertandingi pada masa Vygotsky
akhirnya telah runtuh, waktunya telah tiba untuk memulai dialog antar budaya yang otentik
tentang isu-isu yang berkaitan dengan teori Vygotsky dan penerapannya pada praktik
pendidikan.

Segera setelah siswa kita menerima paradigma ini, segera setelah mereka terlibat dalam dialog
antarbudaya, segera setelah mereka mulai memeriksa lensa budaya mereka sendiri, segera
setelah mereka memulai eksplorasi konteks budaya dan sejarah yang terkait dengan kehidupan,
pekerjaan, dan waktu Vygotsky. , hubungan mereka dengan Vygotsky berubah secara tidak
dapat ditarik kembali: Mereka mulai melihat makna yang dalam di mana mereka dulu hanya
melihat kebingungan, dan mereka mulai "menyesuaikan" ide-ide sosiokultural dengan kehidupan
mereka sendiri dan proses belajar-mengajar mereka sendiri, daripada hanya berbicara tentang
seperangkat konsep yang tidak dikenal, yang maknanya tidak sepenuhnya mereka pahami.
Kemudian, peran kita sebagai guru juga berubah. Alih-alih hanya menengahi pemahaman

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 219


mereka tentang teks dan terminologi dekontekstualisasi, kita sekarang terlibat dalam proses yang
jauh lebih menarik dan bermanfaat. kita membantu murid-murid kita untuk menemukan beberapa
makna pribadi dan budaya yang sangat mendalam dalam teori Vygotsky, yang tanpanya teori itu
berisiko selalu tertinggal dalam apa yang Jim Wertsch (1990) sebut sebagai “rasionalitas yang
didekontekstualisasikan.”

Setelah Anda memahami lebih dalam mengenai Isu-isu penyelenggaraan


pendidikan dan pembelajaran di sekolah dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi
dan politik, silahkan menjawab beberapa pertanyaan reflektif berikut ini.

Lembar Kerja

Apa pandangan yang Anda miliki saat ini tentang Isu-isu penyelenggaraan pendidikan dan
pembelajaran di sekolah dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam pendidikan
di Indonesia?

1. Saya merasa …………… bila ditugaskan mengajar dengan memahami Isu-isu


penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran di sekolah dalam perspektif sosial,
budaya, ekonomi dan politik pada peserta didik.
2. Apa yang saya rasakan tersebut dipengaruhi oleh :
a. pandangan saya tentang Isu-isu penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran di
sekolah dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi dan politik dalam pendidikan di
Indonesia yang ……………………..
b. pandangan saya tentang pendidikan serta pengajaran di Indonesia yang ………….........
c. pandangan saya lainnya yang ………………………….
d. keyakinan saya bahwa ………………………
e. pengalaman dan memori saya bahwa ……………………

220 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


C. Ruang Kolaborasi

Setelah mempelajari tentang faktor sosial, budaya, ekonomi dan politik yang
mempengaruhi proses pendidikan dan merefleksikan dalam pembelajaran, silakan
bekerja dalam kelompok yang terdiri dari 4 orang untuk berbagi hasil refleksi dan
menyelesaikan tugas berikut.

Lembar Kerja - Kelompok

1. Silakan berbagi pemikiran mengenai pandangan mengenai Isu-isu penyelenggaraan


pendidikan dan pembelajaran di sekolah dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi dan
politik yang mempengaruhi proses pendidikan serta pembelajaran kepada rekan
sekelompok. Kemudian diskusikan pertanyaan berikut ini:
a. Apa pandangan masing-masing anggota kelompok tentang Isu-isu penyelenggaraan
pendidikan dan pembelajaran di sekolah dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi dan
politik yang mempengaruhi proses pendidikan serta pembelajaran?
b. Apa pandangan masing-masing anggota kelompok tentang kesiapannya mengajar
dengan memperhatikan Isu-isu penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran di
sekolah dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi dan politik pada peserta didik?
c. Apa persamaan dan perbedaan pandangan tentang Isu-isu penyelenggaraan pendidikan
dan pembelajaran di sekolah dalam perspektif sosial, budaya, ekonomi dan politik yang
mempengaruhi proses pendidikan yang dimiliki?
d. Apa persamaan dan perbedaan pandangan tentang mengajar mengajar dengan
memperhatikan Isu-isu penyelenggaraan pendidikan dan pembelajaran di sekolah dalam
perspektif sosial, budaya, ekonomi dan politik pada peserta didik yang dimiliki?

2. Presentasikan hasil diskusi kelompok dalam bentuk visualisasi yang kreatif.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 221


PERTEMUAN 15

D. Demonstrasi Kontekstual

Setelah menyelesaikan tugas secara berkelompok, saat ini Anda akan


mempresentasikan hasil kerja kelompok Anda, dalam bentuk pameran hasil kerja,
yaitu menempelkan plano hasil visualisasi dalam ruangan dan bergantian dalam
presentasi, atau presentasi secara online dengan upload hasil kelompok dalam
folder yang disediakan.

Penilaian Tugas Kelompok:

● Tugas kelompok ini akan dinilai baik oleh dosen maupun oleh kelompok
lainnya.
● Tiap kelompok menilai presentasi dari kelompok lainnya, dengan panduan
yang disediakan. Tuliskan penilaian kepada kelompok lain dengan
menyebutkan hasil penilaian (A/B/C/D) beserta komentar tentang apa yang
paling membuka mata dari presentasi tersebut.
● Panduan penilaian dapat dilihat dalam rubrik berikut. Kolom A adalah hasil
ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C, dan D.

A B C D

Artikulasi sangat jelas Artikulasi jelas dan Artikulasi cukup bisa Artikulasi kurang jelas.
dan mudah dipahami. mudah dipahami. dipahami.
Isi tidak memberikan
Isi menjelaskan Isi menjelaskan Isi cukup menjelaskan pandangan mengenai
pandangan mengenai pandangan mengenai pandangan mengenai topik bahasan serta
topik bahasan secara topik bahasan secara topik bahasan, namun keterkaitannya.
mendalam, serta mendalam. kurang dalam
memberikan insight

222 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


atau pembelajaran Visualisasi menarik dan mendeskripsikan Visualisasi kurang
terkait topik bahasan. kreatif. keterkaitannya. kreatif dan menarik.

Visualisasi sangat Visualisasi cukup


menarik dan kreatif. menarik dan kreatif.

E. Elaborasi Pemahaman

Dari demonstrasi kontekstual yang sudah dilakukan sebelumnya, dengan


mempelajari topik bahasan, buat kesimpulan berikut:

Lembar Kerja

1. Apa pandangan Anda mengenai topik bahasan tersebut?


2. Bagaimana Anda menyikapi tantangan yang ada terkait topik bahasan tersebut?
3. Apa saja hal baik yang Anda dapatkan mengenai topik bahasan tersebut?
4. Bagaimana Anda menerapkan ilmu yang Anda dapatkan terkait topik bahasan dalam
profesi Anda sebagai guru?
5. Pertanyaan apa yang ingin Anda ajukan lebih lanjut tentang topik bahasan tersebut?

F. Koneksi Antar Materi

Buatlah koneksi antar materi dari pembelajaran mengenai topik bahasan tersebut
dengan pembelajaran yang sudah, sedang, atau akan Anda pelajari di mata kuliah
PPG lainnya. Selain menyebutkan topik/materi dalam mata kuliah ini dengan
topik/materi dalam mata kuliah lain, sebutkan juga keterkaitannya. Buat koneksi
tersebut dalam bentuk visual untuk memudahkan kita semua dalam memahami,
bisa dalam bentuk mindmap, diagram, bagan, atau lainnya.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 223


Selanjutnya, Anda dapat berdiskusi bersama terkait koneksi antar materi dalam
mata kuliah ini dengan mata kuliah lainnya.

G. Aksi Nyata

Pada akhir pembelajaran setiap topik, Anda diminta untuk merefleksikan


pembelajaran dalam blog masing-masing, dengan menggunakan alur MERDEKA
seperti dalam proses pembelajarannya. Anda bisa menceritakan refleksi Anda
dengan caranya masing-masing, bisa narasi yang dilengkapi visual, ataupun
narasi saja, atau model kreatif lainnya. Berikut ini panduan pertanyaan yang dapat
membantu Anda menuliskan blog:

No. Alur pembelajaran Pertanyaan Refleksi

1 Mulai Dari Diri Apa yang Anda pikirkan tentang topik ini sebelum memulai
proses pembelajaran?

2 Eksplorasi Konsep Apa yang Anda pelajari dari konsep yang Anda pelajari
dalam topik ini?

3 Ruang Kolaborasi Apa yang Anda pelajari lebih lanjut bersama dengan rekan-
rekan Anda dalam ruang kolaborasi?

4 Demonstrasi Kontekstual Apa hal penting yang Anda pelajari dari proses
demonstrasi kontekstual yang Anda jalani bersama
kelompok (bisa tentang materi, rekan, dan diri sendiri)?

5 Elaborasi Pemahaman Sejauh ini, apa yang sudah Anda pahami tentang topik ini?
Apa hal baru yang Anda pahami atau yang berubah dari
pemahaman di awal sebelum pembelajaran dimulai ?
Apa yang ingin Anda pelajari lebih lanjut?

224 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


6 Koneksi Antar Materi Apa yang Anda pelajari dari koneksi antar materi baik di
dalam mata kuliah yang sama maupun dengan mata kuliah
lain?

7 Aksi Nyata Apa manfaat pembelajaran ini untuk kesiapan Anda


sebagai guru?
Bagaimana Anda menilai kesiapan Anda saat ini, dalam
skala 1-10? Apa alasannya?
Apa yang perlu Anda persiapkan lebih lanjut untuk bisa
menerapkannya dengan optimal?

Berikut rubrik penilaian blog yang digunakan untuk setiap modul. Kolom A adalah
hasil ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C, dan D.

A B C D

Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa


mengartikulasikan mengartikulasikan mengartikulasikan mengartikulasikan
refleksi dalam blog refleksi dalam blog refleksi dalam blog refleksi dalam blog
dengan alur yang jelas dengan alur yang jelas dengan cukup mudah dengan kurang jelas
dan mudah dipahami, dan mudah dipahami. dipahami. dan sulit dipahami.
serta kreatif.
Mahasiswa Mahasiswa Mahasiswa
Mahasiswa menguraikan secara menguraikan secara menguraikan secara
menguraikan secara mendalam dan mendalam, namun singkat pandangan
mendalam dan kurang tajam dalam tentang topik bahasan,
mengaitkan secara
dan tidak
mengaitkan secara tajam pandangan mengaitkan pandangan
tajam pandangan mengenai topik mengenai topik mengaitkan pandangan
mengenai topik bahasan, baik dari bahasan. mengenai topik
bahasan, baik dari dirinya dan bahasan.
Mahasiswa
dirinya dan kelompoknya.
menyimpulkan secara
kelompoknya, serta
Mahasiswa sederhana
menyimpulkan pemahamannya

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 225


kaitannya dengan pemahaman mengenai mengenai topik Mahasiswa tidak atau
materi dari MK lain. topik bahasan secara bahasan. kurang jelas dalam
jelas. menyimpulkan
Mahasiswa Mahasiswa secara
menyimpulkan Mahasiswa mengaitkan singkat mengaitkan Pemahamannya
pemahaman mengenai pembelajaran dari pembelajaran dari mengenai topik
topik bahasan secara modul ini dengan modul ini dengan bahasan.
tajam. kesiapannya mengajar kesiapannya mengajar
Mahasiswa tidak
sebagai guru. sebagai guru.
Mahasiswa mengaitkan mengaitkan
pembelajaran dari pembelajaran dari
modul ini dengan modul ini dengan
kesiapannya mengajar kesiapannya mengajar
sebagai guru, termasuk sebagai guru.
mengartikulasikan apa
yang perlu
disiapkannya.

Catatan untuk Dosen Pengampu

● Modul ini disusun untuk menggali pengalaman dan wawasan para calon
guru terkait proses mendidik yang sesuai.
● Modul ini dapat dimodifikasi oleh dosen pengampu.
● Dosen pengampu dapat menambah materi terkait topik bahasan.
● Selain penilaian tugas kelompok (LK) dan blog, dosen pengampu juga
perlu menilai partisipasi dan sikap mahasiswa dalam proses pembelajaran.
Rubrik penilaian partisipasi dan sikap ini bisa digunakan, namun
dipersilakan untuk dimodifikasi, atau mengembangkan sendiri. Kolom A
adalah kondisi ideal yang diharapkan, kemudian dilanjutkan dengan B, C,
dan D.

226 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


A B C D

Mahasiswa aktif Mahasiswa aktif Mahasiswa jarang Mahasiswa tidak


memberikan pendapat, memberikan pendapat, terlihat memberikan terlihat memberikan
menjawab pertanyaan menjawab pertanyaan pendapat atau pendapat atau
dari dosen/modul, dan dari dosen/modul, dan menjawab pertanyaan menjawab pertanyaan
mengajukan pertanyaan mengajukan pertanyaan dari dosen/modul. dari dosen/modul.
yang memperkaya untuk konfirmasi atau
Mahasiswa kurang Mahasiswa tidak
pemahaman seluruh klarifikasi.
menunjukkan perilaku menunjukkan perilaku
mahasiswa.
Mahasiswa cukup memfasilitasi rekan memfasilitasi rekan
Mahasiswa menunjukkan perilaku mahasiswanya dalam mahasiswanya dalam
menunjukkan perilaku memfasilitasi rekan proses pembelajaran proses pembelajaran
memfasilitasi rekan mahasiswanya dalam baik, di kelompok baik, di kelompok
mahasiswanya dalam proses pembelajaran maupun di kelas secara maupun di kelas secara
proses pembelajaran baik, di kelompok keseluruhan. keseluruhan.
baik, di kelompok maupun di kelas secara
Mahasiswa Mahasiswa tidak
maupun di kelas secara keseluruhan.
mengumpulkan tugas mengumpulkan tugas.
keseluruhan.
Mahasiswa melebihi dengan
Mahasiswa mengumpulkan tugas tenggat waktu yang
mengumpulkan tugas sesuai dengan tenggat ditentukan.
sebelum tenggat waktu waktu yang ditentukan.
yang ditentukan.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 227


PERTEMUAN 16

PANDUAN UJIAN AKHIR SEMESTER

Ujian Akhir Semester ini merupakan aksi nyata penerapan pembelajaran berupa
pengembangan ‘Kampanye Praktik Baik’, dengan ketentuan sebagai berikut:

● Gunakan hasil observasi pada proyek tengah semester yang


diimplementasikan ke dalam ‘Praktik Baik’ sesuai dengan pengetahuan
yang telah Anda dapatkan pada mata kuliah ini.
● Selain menjelaskan praktik baik yang ada, silahkan Anda memberikan
alternatif strategi, teknik dan metode pembelajaran yang sesuai dengan
perspektif sosiokultural.
● Silahkan Anda sajikan ‘Kampanye Praktik Baik’ dalam media kreatif
seperti video, film dokumenter, dan lain sebagainya yang dapat
dipublikasikan melalui berbagai media sosial yang ada.
● Silahkan mengupload ‘Kampanye Praktik Baik’ Anda pada Portal Praktik
Baik Liga Kampanye Penguatan Karakter adalah wadah apresiasi bagi
berbagai pemangku kepentingan termasuk para guru, tenaga
kependidikan, maupun praktisi pendidikan yang memiliki perhatian yang
tinggi terhadap penerapan dan penyebaran praktik baik Penguatan
Karakter di tempat tugas masing-masing, baik berupa karya maupun
kegiatan. Dikemas melalui sebuah aplikasi dengan konsep gamifikasi
(gamification) menarik dimana setiap sahabat karakter (sebutan bagi
pengguna portal berbagi praktik baik) yang membagikan praktik baiknya
berupa kegiatan atau karya kreatif akan mendapatkan poin dan masuk
dalam papan peringkat (leaderboard). Anda dapat mengakses informasi
melalui YouTube: https://www.youtube.com/watch?v=Vz8Rom_dppo
pada Akun: Cerdas Berkarakter Kemdikbud RI atau melalui tautan
Website berikut:
https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2021/09/kemendikbudristek-
luncurkan-portal-praktik-baik-liga-kampanye-penguatan-karakter

228 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Kampanye Praktik Baik memuat:

● Judul
● Ringkasan Intervensi terkait penerapan scaffolding pada ‘Zone of Proximal
Development (ZPD)
● Hasil yang dicapai terkait penerapan scaffolding pada ‘Zone of Proximal
Development (ZPD)
● Pembelajaran dan Replikasi terkait penerapan scaffolding pada ‘Zone of
Proximal Development (ZPD)

Untuk referensi, Anda dapat mempelajari portal belajar.id dengan akun Anda
(https://guru.kemdikbud.go.id/perangkat-ajar/) atau sumber lain yang sudah banyak
tersedia di internet, seperti Kompendium Praktik Baik - UNICEF berikut ini:
https://www.unicef.org/indonesia/media/10701/file/Kompendium%20Praktik%20Baik.pdf

● Tugas dikumpulkan pada pertemuan ke-16.


● Seluruh ‘Kampanye Praktik Baik’ yang disusun didokumentasikan dalam
satu folder, sebagai portofolio kelas, beserta semua tugas dan referensi
lainnya.
● Rubrik penilaian

A B C D

- Mahasiswa - Mahasiswa - Mahasiswa - Mahasiswa


kurang/tidak menganalisis secara menganalisis konteks menganalisis secara
menganalisis konteks singkat konteks penerapan penerapan tajam konteks
daerah yang melatari penerapan penerapan scaffolding pada ‘Zone penerapan penerapan
penerapan scaffolding scaffolding pada ‘Zone of Proximal scaffolding pada ‘Zone
pada ‘Zone of of Proximal Development (ZPD) of Proximal
Proximal Development Development (ZPD) Development (ZPD)
- Mahasiswa
(ZPD)
Mahasiswa - Mahasiswa
merancang penerapan
- Mahasiswa merancang rencana scaffolding pada ‘Zone merancang penerapan
merancang penerapan penerapan scaffolding of Proximal scaffolding pada ‘Zone

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 229


scaffolding pada ‘Zone pada ‘Zone of Development (ZPD, of Proximal
of Proximal Proximal Development dengan alur yang Development (ZPD),
Development (ZPD), (ZPD), dengan alur sistematis dengan alur yang
dengan alur yang yang kurang sistematis
- Mahasiswa
kurang sistematis sistematis
menyertakan - Mahasiswa
- Mahasiswa tidak - Mahasiswa tidak beberapa referensi menyertakan referensi
menyertakan referensi menyertakan referensi yang mendukung yang lengkap untuk
yang mendukung yang mendukung penerapan penerapan mendukung
penerapan penerapan penerapan penerapan scaffolding pada ‘Zone penerapan penerapan
scaffolding pada ‘Zone scaffolding pada ‘Zone of Proximal scaffolding pada ‘Zone
of Proximal of Proximal Development (ZPD) of Proximal
Development (ZPD) Development (ZPD) Development (ZPD)
- Mahasiswa
- Mahasiswa - Mahasiswa menyelesaikan tugas- Mahasiswa
menyelesaikan tugas menyelesaikan tugas tepat waktu menyelesaikan tugas
melebihi tenggat tepat waktu tepat waktu
waktu

230 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Daftar Pustaka

Utama:

Freire, P. (2011). Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: Pustaka LP3ES Indonesia


Kozulin, A., Gindis, B., Ageyev, V. S., & Miller, S. M. (2003) Vygotsky’s Educational
Theory in Cultural Context. UK: Cambridge University Press.
Latif, Yudi. (2021). Pendidikan yang Berkebudayaan: Histori, Konsepsi, dan
Aktualisasi Pendidikan Transformatif. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Lin, T. B., Chen, V., & Chai, C. S. (2015). New Media and Learning in the 21st
Century: A Socio-Cultural Perspective. London: Springer.
Rahardjo, T. (2018). Sekolah Biasa Saja. INSISTPress.
Wells, G. (1999). Dialogic Inquiry: Towards a Sociocultural Practice and Theory of
Education. UK: Cambridge University Press.

Pendukung:

Dholakia, N., & Turcan, R. V. (2014). Toward a Metatheory of Economic Bubbles:


Socio-Political and Cultural Perspectives. New York: Palgrave Macmillan.
Freire, P. (2007). Pedagogy of the Heart. New York: The Continuum International
Publishing Group Inc.
Freire, P. (2010). Teaching for Freedom and Transformation: The Philosophical
Influences on the Work on the Work of Paulo Freire. New York: Springer.
Freire, P. (2005). Pedagogy of the Oppressed. New York: The Continuum
International Publishing Group Inc.
Freire, P. Pedagogy of Freedom: Ethics, Democracy, and Civic Courage.
Freire, P. & Shor, I. (1987). A Pedagogy for Liberation: Dialogues on Transforming
Education. UK: Macmillan Education LTD.
Ismadi, H. D. (2014). Pendidikan Karakter dalam Perspektif Kebudayaan. Jakarta:
PT Gading Inti Prima.
Langford, P. E. (2005). Vygotsky’s Developmental and Educational Psychology.
New York: Psychology Press.
Stetsenko, A. (2017). The Transformative Mind: Expanding Vygotsky’s Approach
to Development and Education. New York: Cambridge University Press.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 231


Suwignyo, Agus. (2021). Pendidikan dan Pelibatan Politik. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama
Uskul, A. K. & Oishi, S. (2018). Socio-Economic Environment and Human
Psychology: Social, Ecological, and Cultural Perspectives. USA: Oxford University
Press.
Wertsch, J. V. (1985). Vygotsky and the Social Formation of Mind. USA: President
and Fellow of Harvard College.

232 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Lampiran

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 233


Penutup

234 | Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan


Biodata Penyusun Modul

Asri Purnamasari, menyelesaikan pendidikan sarjana (S1) dari Pendidikan


Bahasa Inggris, Universitas Sanata Dharma, Indonesia dan mendapatkan gelar
Master of Education (M.Ed). in Teaching English to Speakers of Other Languages
(TESOL) dari University of Exeter, Inggris. Passion nya dalam mengajar, belajar
dan riset di bidang pendidikan membawanya bekerja untuk beberapa projek di
komunitas global. Saat ini mengajar di Departemen Pendidikan Bahasa Inggris,
Universitas Kristen Indonesia. Asri tertarik pada pengembangan profesi pendidik,
praktik-praktik yang mengeksplorasi, pelatihan guru, penguasaan bahasa,
pembelajaran bahasa, pengembangan kurikulum dan bahan pembelajaran, tes
dan asesmen bahasa, serta teknologi yang meningkatkan pembelajaran bahasa.

Nia Kurnianingtyas, praktisi di bidang pembangunan sosial yang memiliki


pengalaman lebih dari 20 tahun. Memulai dari pengembangan program penguatan
kapasitas, berlanjut dengan pengembangan program-program sosial dan
komunitas, hingga saat ini aktif sebagai coach profesional untuk karir dan
pengembangan diri. Sejak tahun 2015 mendirikan Sala Sinau Esensia, sebuah
perusahaan sosial yang bekerja mendukung pengembangan program-program
pembangunan sosial, praktik organisasi yang baik, dan penguatan kapasitas
individu dan tim. Sebelum mendirikan Sala Sinau Esensia bersama rekan-
rekannya, Nia menjadi salah satu orang yang mengembangkan Indonesia
Mengajar, dan pernah terpilih menjadi Hubert H. Humphrey Fellow 2008-2009 dari
Indonesia untuk pengembangan leadership. Nia menyelesaikan pendidikan S1
dari Jurusan Hubungan Internasional Universitas Gadjah Mada tahun 2000, dan
S2 dari Ilmu Kesejahteraan Sosial, Universitas Indonesia pada awal tahun 2021.

Perspektif Sosiokultural dalam Pendidikan | 235

Anda mungkin juga menyukai