Abstrak:
Agama islam dengan seperangkat aturan yang diambil dari sumber hukum seperti Al-
Quran dan hadis, ternyata banyak sekali pendapat dari kalangan akademisi dan
masyarakat di seluruh dunia bahwa Syariah Islam itu keja, kaku, dan melanggar hak
asasi manusia. Hal ini sangat kontradiktif dengan semangat islam yang rahmatan
lilalamin atau rahmat bagi seluruh alam tanpa terkecuali. Argumentasi ini diperkuat
dengan Yusuf Al-Qardhawi Madkhal Li Dirasah Asy-Syariah Al-Islamiyah bahwa ada
lima faktor yang menjadikan syariah Islam itu luwes, yaitu faktor luasnya peluang
ijtihad, nas-nas hukum yang global, ke-mungkinan pemahaman teks yang berbeda,
mempertimbangkan situasi darurat, dan fleksibilitas fatwa. Melihat contoh di atas dan
faktor-faktor yang dinyatakan oleh Yusuf al- Qardhawi dapat tergambar bahwa Islam
adalah agama yang sangat memahami bagaimana keadaan penganutnya sehingga dapat
dinyatakan bahwa Islam adalah agama yang elastis, fleksibel dalam menghadapi
perkembangan masyarakat.
Pendahuluan
Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan bagi kehidupan manusia secara
keseluruhan, baik itu berbentuk nilai- nilai luhur yang tumbuh dalam masyarakat kolektif
maupun seperangkat aturan tertulis berupa produk hukum. Tanpa menafikan kalau memang
kepentingan manusia hidup di dunia dengan orientasi yang berbeda- beda, maka hukum
hadir untuk mengintegrasikan kehidupan manusia supaya lebih sistematis dan tidak
mengganggu bahkan merugikan pihak lainnya atau sering disebut dengan tool of social
control. Awal terbentuknya hukum disadari sebagai fase transidental menuju tahap analitis
dogmatis manusia. Atas dasar kesadaran kolektif itu menjadikan hukum sebagai tool of
engineering atau bentuk dari rekayasa sosial dan pembaharuan dalam masyarakat.
Selanjutnya yang paling penting dan mendasar adalah adanya hukum sebagai sarana untuk
meraih kesejahteraan serta keadilan sosial.
Agama islam dengan seperangkat aturan yang diambil dari sumber hukum seperti Al-
Qur’an dan hadis, ternyata banyak sekali pendapat dari kalangan akademisi dan masyarakat
di seluruh dunia bahwa Syari’ah Islam itu keja, kaku, dan melanggar hak asasi manusia.
Hal ini sangat kontradiktif dengan semangat islam yang rahmatan lil’alamin atau rahmat
bagi seluruh alam tanpa terkecuali. Argumentasi ini diperkuat dengan Yusuf Al-Qardhawi
Madkhal Li Dirasah Asy-Syari’ah Al-Islamiyah bahwa ada lima faktor yang menjadikan
syari’ah Islam itu luwes, yaitu faktor luasnya peluang ijtihad, nas-nas hukum yang global,
ke-mungkinan pemahaman teks yang berbeda, mempertimbangkan situasi darurat, dan
fleksibilitas fatwa. Melihat contoh di atas dan faktor-faktor yang dinyatakan oleh Yusuf al-
Qardhawi dapat tergambar bahwa Islam adalah agama yang sangat memahami bagaimana
keadaan penganutnya sehingga dapat dinyatakan bahwa Islam adalah agama yang elastis,
fleksibel dalam menghadapi perkembangan masyarakat.
Pada pembahasan kali ini penulis akan coba untuk menganalisa sejauh mana
keweangan atau kompetensi Makamah Syar’iyah untuk memutus dan mengadili baik
secara relatif maupun absolut. Relatif dalam hal ini diartikan sebagai kewenangan yang
timbul karena ada keterikatan tempat kejadian dengan cakupan wilayah pengadilan tersebut
berasal, dalam konteks pembahasan ini adalah makamah syar’iyah Lhoksukon. Hal ini
didasari pada tempat terjadinya putusan jarimah pelecehan seksual Nomor
12/JN/2023/MS.Lsk yang secara teritorial bertempat di Desa Paloh Gadeng Kecamatan
Dewantara Kabupaten Aceh Utara. Sedangkan kompetensi absolut merupakan kewenangan
untuk mengadili suatu perkara berdasarkan objek sengketa, dalam hal ini memang ,
dikategorikan dalam jarimah pelecehan seksual. Selanjutnya yang berhak mengadili secara
mutlak sesuai dengan kasus tertentu dengan substansi dan wewenang mengadilinya
masing- masing.
Metode penelitian
Pembahasan
Berdasarkan hasil putusan Nomor 12/JN/2023/MS.Lsk yang penulis juga lampirkan
beberapa hasil Salinan putusan dalam jarimah “ pemerkosaan” .Diketahui bahwa terdakwa
bernama xxxxx atau sebut saja Tovan yang lahir pada tanggal 29 Oktober 2001 di Paloh
Gadeng Kecamatan Dewantara Aceh Utara dan masuk dalam kewenangan Makamah Syari’ah
Lhoksukon untuk mengadili serta melaksanakan putusan dalam persidangan. Saat melakukan
tindakan tersebut ia masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa. Locus atau waktu yang
tertera dalam surat dakwaan memang tidak dijelaskan secara rinci, namun jarimah tersebut
terjadi pada tahun 2020 sekitar pukul 20:30 WIB yang bertempat di toilet balai pengajian Darul
Mua’atalimin Desa Paloh Gadeng Kec. Dewantara Kab. Aceh Utara.
Peristiwa ini bermula saat saksi korban atau sebut saja Rini yang menginginkan untuk
buang air kecil menuju toilet dengan jarak 20 meter dari tempat berlangsungnya majlis
pengajian Darul Mua’atalimin. Setelah beberapa saat kemudian terdengar bunyi ketukan pintu
sembari mengatakan kepada Rini yang masih ada di dalam dengan kalimat “tolong buka pintu”.
Secara spontan korban lalu menjawab “tunggu sebentar” karena merasa ada seseorang yang
sedang mengantri untuk juga menggunakan toilet tersebut. Secara tiba- tiba terdakwa langsung
mendorong dan mendobrak pintu toilet yang sedang terkunci itu kemudian ia langsung masuk
kedalamnya. Saat fase tersebut, korban dalam posisi belum menaikkan celana dalamnya dan
disusul dengan gerakan tangan kiri terdakwa yang meraba- raba area payudara dari posisi
belakang. Bersamaan dengan itu, gerakan tangan kanan terdakwa juga menyasar kemaluan
korban sambil menekan keluar masuk di area lubang vaginanya.
Selanjutnya terdakwa mencoba untuk memaksa Rini untuk berposisi saling berhadapan
satu sama lain. Kemudian Tovan mencoba mengangkangi kedua kaki korban sambil berdiri.
Jelasnya kaki kanan korban diangkat dan memasukan batang penisnya ke dalam kemaluannya
sambil menekan keluar masuk. Setelah beberapa menit kemudian setelah melakukan tindakan
tersebutkorban mulai merasakan bagian kemaluannya basah dan lengket. Akhirnya setelah
semua itu terjadi, terdakwa lantas menaikan celananya dan beranjak keluar dari toilet tersebut.
Tak berselang lama, korban juga langsung membersihkan kemaluannya dan berjalan keluar
toilet menuju kembali ke balai pengajian. Akhirnya, setelah keduanya kembali bertemu dalam
majlis pengajian tersebut, lantas terdakwa mengucapkan kalimat “jangan bilang sama mamak
ya kejadian tadi, malu kita” dan spontan dijawab oleh korban “ya”.
Hampir sekitar 3 tahun kejadian di majlis pengajian di atas terjadi, barulah korban
berani untuk bercerita kepada keluarganya pada hari Kamis, 28 Januari 2023 pukul 22:30 WIB.
Kemudian keesokan harinya pukul 15:00 WIB keluarga korban berinisiatif pergi ke balai
pengajian Darul Mua’atalimin untuk melakukan musyawarah atas tindakan Tovan terhadap
Rini. Dalam forum musyawarah tersebut terdakwa mengakui apa yang ia perbuat, dengan itu
keluarga terdakwa juga meminta maaf dan menghendaki untuk memilih jalan damai bukan di
selesaikan secara hukum. Namun, ternyata keluarga korban merasa kecewa dan enggan untuk
memberikan jawaban dalam forum tersebut. Diketahui bahwa terdapat beberapa barang bukti
yang memperkuat adanya peristiwa tersebut berupa:
1. Satu helai rok bermotif garis- garis berwarna coklat
2. Satu helai baju kaos berwarna hijau muda
3. Satu helai kain sarung bermotif kotak- kotak berwarna hijau muda
4. Satu helai hijab berwarna coklat susu.
Akibat perbuatan yang dilakukan terdakwa, korban mengalami rasa sakit dan perih saat
buang air kecil, hal ini diperkuat berdasarkan hasil Visum Et Revertum Nomor: 10/10/2023
tertanggal 3 Februari 2023 yang dikeluarkan oleh dokter dari Rumah Sakit Umum Daerah Cut
Meutia Kabupaten Aceh Utara. Dari hasil pemeriksaan khusus terdapat:
1. Vulva : Dalam batas normal
2. Hymen : Robek di arah jam 3, 6, 11, luka lama.
Dengan kesimpulan selaput dara tidak utuh
Kesimpulannya Tovan di dakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 48
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, dengan sengaja melakukan jarimah
pelecehan.
Landasan teori
Menurut konsep dasar syari’at islam memang sangat menjunjung tinggi keadilan,
kemanusiaan, dan bertujuan untuk kebaikan umat manusia itu sendiri. Namun, beberapa aspek
yang harus dipenuhi dalam usaha untuk mengklasifikasikan suatu delik pidana terhadap ruang
lingkup jarimah ta’zir ini memang menjadi suatu hal problematis. Pandangan dari An- Na’im
menjelaskan hanya dengan prinsip kekuasaan hukum atau rule of law secara mutlak
kewenangan penguasa berjalan sesuai dengan ada yang telah disepakati dalam undang- undang
atau qanun. Jika memilih pandangan yang demikian, berarti asas legalitas sangat erat dengan
pelaksanaannya dan tidak dapat ditawar lagi.
Secara jenis, jarimah ta’zir diklasifikasikan dalam tiga bentuk menurut Audah :
1. Ta’zir disebabkan mengerjakan kemaksiatan
2. Ta’zir disebabkan kepentingan umum
3. Ta’zir disebabkan pelanggaran.
Menurut pengelompokan dari Audah di atas, secara jelas para ahli fiqih bersepakat
bahwa ta’zir merupakan perbuatan maksiat yang belum ditentukan hadd maupun kifarat. Hal
ini berlaku tidak hanya maksiat dengan Allah maupun melanggar dan merugikan hak manusia
lainnya. Selain itu ketika adanya hak orang lain dilanggar baik personal maupun kolektif, maka
sangat jelas adanya kemadlaratan didalamnya. Jarimah ta'zir adalah salah satu jenis hukuman
yang diberikan dalam sistem hukum Islam untuk tindakan-tindakan yang dianggap melanggar
nilai-nilai atau ketertiban masyarakat, namun tidak secara spesifik diatur dalam syariat Islam.
Panjangnya hukuman ta'zir bisa bervariasi tergantung pada keputusan hakim atau pihak yang
berwenang yang mempertimbangkan berbagai faktor, seperti beratnya pelanggaran,
dampaknya pada masyarakat, serta keadaan dan niat pelaku. Hukuman ta'zir tidak memiliki
ketetapan yang pasti dalam syariat, sehingga panjangnya hukuman bisa disesuaikan dengan
kasus yang bersangkutan.
Secara etimologis ta’zir berati menolak dan mencegah. jarimah ta'zir merujuk pada
hukuman yang diberikan oleh pengadilan syariah atas tindakan yang dianggap melanggar
norma atau hukum Islam, meskipun tindakan tersebut tidak secara spesifik diatur dalam hukum
Islam. Secara epistemologi, konsep ini melibatkan analisis mendalam terhadap sumber-sumber
hukum Islam, termasuk Al-Quran, Hadis, ijma' (kesepakatan umat Islam), qiyas (analogi), serta
prinsip-prinsip maqasid al-shariah (maksud atau tujuan syariah). Dalam konteks ini, ta'zir
melibatkan kebijaksanaan hakim untuk memberikan hukuman yang sesuai dengan kebutuhan
sosial, tanpa batasan tertentu dari sumber hukum yang spesifik. Jadi, jarimah ta'zir merupakan
hasil dari proses pemikirandan kajian mendalam tentang konsep humum islam dalam bidang
sosial yang memadai.
Jarimah ta’zir bersifat universal artinya berlaku bagi siapa saja, muslim maupun
nonmuslim; akan tetap dihukum takzir sebagai Pelajaran baginya. Setiap umat islam taupun
nonmuslim yang mengganggu pihak lain dengan cara apapun bisa dengan berbuatan, ucapan
yang tujuanya adalah untuk agar pelaku tidak mengulanginya lagi.
Jika di tinjau dari hak yang di langar, ada dua macam jarimah takzir sebagai berikut :
1. Jarimah Ta’zir yang berorientasi terhadap pelangaran hak Allah; maksudnya
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum
2. Jarimah Ta’zir yang berorientasi terhadap pelangaran hak individu;
maksudnya segala sesuatu perbuatan yang merugikan orang lain dan bukan
orang banyak
Kemudian ada pendapat lain dari sudut pandang sebab musebab bahwa jarimah takzir di bagi
menjadi 3 bagian :
1. Takzir dikarenakan melakukan maksiat
2. Takzir dikarenakan melakukan Tindakan yang membahayakan
kemaslahatan umum
3. Takzir dikarenakan melanggar larangan agama
Jarimah takzir yang berkaitan dengan pembunuhaan maka sanksi pidananya adalah di bunuh
atau di hukum mati (qisas) dan apabila di beri keringanan oleh pihak keluarga maka hanya
membayar diyat (ganti rugi). Dalam konsep ini atau hukuman yang di maafkan maka sansi
pidanya selanjutnya di serahkan kepada hakim (ulil-alamri).
• Jarimah Ta'zir yang unsurnya berupa penyerangan ffisik
Menurut pendapat Imam Malik, hukuman atas pelukaan adalah dengan mengkumulasikan
hukuman qisas dalam jarimah pelukaan di tambah takzir sebagai imbalan atas tercerabutnya
hak masyarakat, keluarga dari yang bersangkutan memafakan makan hanya di hukum takzir
saja.
• Jarimah Ta'zir yang unsurnya seputar Tindakan tidak menyenangkan
pidana ini berkaitan dengan perzinahan, menuduh berzina (Al-qadzfu) dan mneyrang
kehormatan orang lain . adalah jarimah zinah yang tidak memenuhi syarat atas terlaksananya
hukuman zina, maka hukuman atas Tindakan ini adalah seperti jarimah menuduh berzinah pada
umumnya.
• .Jarimah Ta'zir yang unsurnya harta benda
Pidana pencurian dan perampasan merupakan tindak pidana yang membahas seputar menjaga
harta benda ( hibzu mal) Maka ketika tidak memenuhi syarat seperti percobaan pencurian, atau
perambokan maka bisa di kenakan hukuman takzir.
• Jarimah Ta'zir yang unsurnya seputar kepentingan individu
Perbuatan yang merugikan orang lain seperti contohnya adalah memberikan kesaksian palsu
atau bersuta di hadapan persidangan, meyakiti hewan dan orang lain
• Jarimah Ta'zir yang unsurnya berupa kepentingan umum
Jarimah ini seperti menganggu keamanan masyarakkat, perilau tidak baik terhadap
pemerintahan, korupsi, memebrikan pelayanan yang kurang maksimal terhadap masyrakat,
melawan hukum, melawan petuas, memalsukan identitas, tanda tangan dan setempel
Lembaga lain
Auda’ menyebutkan ada beberapa hukuman takzir sebagai beriku:
1) Hukuman Mati
Hukuman Mati ( ) القتل عقوبةPara fuqahā’ secara bersamamemperbolehkan memberikan
hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana apabila berbuatan tersebut di lakukan
secara berulang, serta melakukan hubungan seks sesame jenis. Di dasarkan kepada
hadis Ḥadīṡ riwayat Abu Dāwud:
من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به: قال رسول هللاا صلى هللاا عليه وسلم: عن ابن عباس قال
2) Hukuman Cambuk
Hukuman Cambuk ( ) الجلد عقوبةHukuman cambuk dari kalangan ulama berbeda pendapat
atas hal ini contohnya Abu Hanifa yang mengusulkan bahwa hukuman cambuk
maksimal 39 kali
3) Penjara () الحبس
Hukuman penjara batas terendahnya adalah satu hari dan tidak boleh melebihi satu tahun
menurut pendapat Imam Syafii, ini di qiasakan terhadap pengasingan had zina.
4) ( )الصلبSalib)
adalah hukuman bagi jarimah perampokan adalah di bunuh, menurut imam syafi’I dan
maliki salib atau hukuman Salib adalah bagian dari ta’zir yang memberikan pengajaran
terhadap kesalahan terbuka secara bersama.
Kewenangan pemerintah atau ulil amri mengadili dan melaksanakan suatu keputusan
dalam hal jarimah ta’zir juga diperkuat dengan pendapat Wahbah Al-Zuhayli yang
mendefinisikan ta’zir sebagai al-man’u berarti melarang atau mencegah, juga dapat bermakna
al-nasrah atau pertolongan. Selain itu juga mengandung maksud al-ta’dib berarti pendidikan
atau pengajaran, jelasnya ta’zir mencoba untuk memberikan gambaran bahwa perbuatan
maksiat itu harus dihindari. Dengan adanya hukuman yang ditetapkan atas jarimah ta’zir ini
akan membuat manusia berfikir dua kali untuk melakukannya, terlebih bentuk hukumannya
yang nantinya akan memberikan efek jera bagi pelanggar atau edukasi terhadap pelanggaran
supaya tidak kembali terulang. Kondisi semacam ini yang diharapkan, terwujudnya keadilan,
ketertiban, dan kenyamanan dalam kaitannya dengan interaksi yang tidak merugikan, baik
secara personal maupun masyarakat secara umum.
Penjelasan yang cukup luas juga diberikan oleh Fathi menyatakan bahwa ta‘zir adalah
hukuman yang diserahkan kepada penguasa untuk menentukan bentuk dan kadarnya sesuai
dengan kemaslahatan yang menghendaki tujuan syari’at dalam menetapkan hukum, ditetapkan
pada seluruh bentuk maksiat, berupa meninggalkan perbuatan wajib atau mengerjakan
perbuatan yang dilarang, yang semuanya itu tidak termasuk ke dalam kategori hudud dan
kafarah, baik yang berhubungan dengan hak Allah berupa gangguan terhadap masyarakat
umum, keamanan mereka, serta perundang-undangan yang berlaku, maupun yang terkait
dengan hak-hak pribadi.
Analisis
Putusan mahkamah adalah pernyataan yang diucapkan oleh hakim dalam sidang
pengadilan, yang dapat berupa putusan pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang dan Qanun. Dalam
memberikan putusan dan penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa, maka hakim harus
mempunyai pertimbangan yuridis dan non-yuridis. Yang dimaksud Pertimbangan yuridis
seperti, pasal-pasal yang dilanggar dakwaan Jaksa Penuntut Umum,keterangan saksi-saksi,
keterangan terdakwa, dan alat bukti. Hakim dituntut untuk mempunyai keyakinan dengan
mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan alat-alat bukti yang sah sehingga dapat menciptakan
hukum yang berdasarkan keadilan yang tentunya tidak bertentangan dengan sumber dari segala
hukum yakni pancasila.
Merujuk kepada Putusan No 12/JN/2023/MS.Lsk yang telah di jelaskan di awal dan
berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan di sertai denagan alat bukti yang sah
serta keterangan para saksi dan terdakwa, penulis memutusan bahwa terdakwa terbukti secara
sah dan bersalah melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap korban. Menurut penulis,
berbagai pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh yang memeriksa dan
mengadili perkara ini, harusnya dilakukan secermat mungkin sesuai dengan perundang-
undangan dan Qanun yang terkait dan harus berdasarkan alat bukti, pertimbangan yuridis,
maupun fakta persidangan yang mendukung dalam persidangan tersebut, dan jelas mengacu
pada surat dakwaan jaksa penuntut umum. Meskipun demikian belum tentu pihak-pihak yang
berperkara merasa puas atas amar putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Sebelum membahas lebih jauh tentang Putusan No 12/JN/2023/MS.Lsk terlebih dahulu
memahami tentang pasal apa yang digunakan jaksa penuntut umum untuk menjerat terdakwa
pemerkosaan. Diantaranya Pasal 48 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat
yang unsur- unsurnya termuat sebagai berikut:
1. Setiap Orang
2. Dengan Sengaja
3. Melakukan Jarimah Pelecehan Seksual
Kesimpulan
Kajian di atas menunjukkan bahwa kewenangan mengadili jarimah hudud, qisash-
diyat, dan ta’zir adalah sarana hukum yang sangat efektif untuk mencegah merebaknya
kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat. Di samping itu feleksibilitas ta‘zir dapat terjawab
degan adanya qanun atau produk hukum di suatu negara, karena tidak diatur secara jelas di
dalam Alquran dan Sunah. Sangat memungkinkan konsep ini mengakomodasi bentuk-bentuk
kejahatan kontemporer yang semakin berkembang akhir-akhir ini tanpa mengenal tempat dan
waktu. Selanjutnya peran pemerintah yang mutlak dalam memutuskan apakah sebuah
perbuatan itu masuk dalam kategori kemaksiatan ataupun kejahatan, juga dalam rangka
menentukan jenis hukumannya menjadi keniscayaan. Adanya uqubah juga pada dasarnya
dimaksudkan menjadikan seseorang yang melakukan menjadi jera untuk melakukannya
kembali, dilain sisi memberi tadib atau pendidikan dan pemahaman tentang uqubah yang
diperoleh, sehingga diharapkan masyarakat berfikir berkali- kali untuk melakukan pelanggaran
tersebut. Dalam hal ini analisis dalam putusan di atas menunjukan bahwa kewenangan untuk
memutus dan mengadili merupakan salah satu variabel kompetensi absolut maupun relatif yang
dimiliki oleh makamah syar’iyah. Terbukti kalau adanya putusan tersebut menunjukan adanya
eksistensi dan kekuatan hukum mengikat di dalam kondisi yg mutlak.
DAFTAR PUSAKA
Sunarso, Siswanto, Filsafat Hukum Pidana: Konsep , Dimensi dan Aplikasi, Jakarta:
Rajawali Pers, 2015
.
An-Naim, Abdullah Ahmed, 1997, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.
Al-Zuhaili, Wahbah, 2002, Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Juz VII, Damaskus: Dar al-Fikr
Dr. Rokhmadi, M.Ag, 2021, Hukum Acara Pidana Islam, Semarang: Lawwana Semarang