Anda di halaman 1dari 13

KEWENANGAN MENGADILI DAN MELAKSANAKAN

HUKUMAN PADA JARIMAH HUDUD, QISASH-DIYAT,


DAN TAZIR
Najid As Syafiq¹, M Angger Gilang Bagaskaara ²,Dinda Nor
Rohmah ³ Penulis¹, 2102026002@studen,walisongo.ac.id
penuis²,2102026025@studen.walisongo.ac.id, Penulis ³
,2102026097@student.walisongo.ac.id
Hukum Pidan Islam Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Walisongo Semarang

Abstrak:

Agama islam dengan seperangkat aturan yang diambil dari sumber hukum seperti Al-
Quran dan hadis, ternyata banyak sekali pendapat dari kalangan akademisi dan
masyarakat di seluruh dunia bahwa Syariah Islam itu keja, kaku, dan melanggar hak
asasi manusia. Hal ini sangat kontradiktif dengan semangat islam yang rahmatan
lilalamin atau rahmat bagi seluruh alam tanpa terkecuali. Argumentasi ini diperkuat
dengan Yusuf Al-Qardhawi Madkhal Li Dirasah Asy-Syariah Al-Islamiyah bahwa ada
lima faktor yang menjadikan syariah Islam itu luwes, yaitu faktor luasnya peluang
ijtihad, nas-nas hukum yang global, ke-mungkinan pemahaman teks yang berbeda,
mempertimbangkan situasi darurat, dan fleksibilitas fatwa. Melihat contoh di atas dan
faktor-faktor yang dinyatakan oleh Yusuf al- Qardhawi dapat tergambar bahwa Islam
adalah agama yang sangat memahami bagaimana keadaan penganutnya sehingga dapat
dinyatakan bahwa Islam adalah agama yang elastis, fleksibel dalam menghadapi
perkembangan masyarakat.

Pendahuluan
Hukum merupakan bagian yang tidak terpisahkan bagi kehidupan manusia secara
keseluruhan, baik itu berbentuk nilai- nilai luhur yang tumbuh dalam masyarakat kolektif
maupun seperangkat aturan tertulis berupa produk hukum. Tanpa menafikan kalau memang
kepentingan manusia hidup di dunia dengan orientasi yang berbeda- beda, maka hukum
hadir untuk mengintegrasikan kehidupan manusia supaya lebih sistematis dan tidak
mengganggu bahkan merugikan pihak lainnya atau sering disebut dengan tool of social
control. Awal terbentuknya hukum disadari sebagai fase transidental menuju tahap analitis
dogmatis manusia. Atas dasar kesadaran kolektif itu menjadikan hukum sebagai tool of
engineering atau bentuk dari rekayasa sosial dan pembaharuan dalam masyarakat.
Selanjutnya yang paling penting dan mendasar adalah adanya hukum sebagai sarana untuk
meraih kesejahteraan serta keadilan sosial.
Agama islam dengan seperangkat aturan yang diambil dari sumber hukum seperti Al-
Qur’an dan hadis, ternyata banyak sekali pendapat dari kalangan akademisi dan masyarakat
di seluruh dunia bahwa Syari’ah Islam itu keja, kaku, dan melanggar hak asasi manusia.
Hal ini sangat kontradiktif dengan semangat islam yang rahmatan lil’alamin atau rahmat
bagi seluruh alam tanpa terkecuali. Argumentasi ini diperkuat dengan Yusuf Al-Qardhawi
Madkhal Li Dirasah Asy-Syari’ah Al-Islamiyah bahwa ada lima faktor yang menjadikan
syari’ah Islam itu luwes, yaitu faktor luasnya peluang ijtihad, nas-nas hukum yang global,
ke-mungkinan pemahaman teks yang berbeda, mempertimbangkan situasi darurat, dan
fleksibilitas fatwa. Melihat contoh di atas dan faktor-faktor yang dinyatakan oleh Yusuf al-
Qardhawi dapat tergambar bahwa Islam adalah agama yang sangat memahami bagaimana
keadaan penganutnya sehingga dapat dinyatakan bahwa Islam adalah agama yang elastis,
fleksibel dalam menghadapi perkembangan masyarakat.
Pada pembahasan kali ini penulis akan coba untuk menganalisa sejauh mana
keweangan atau kompetensi Makamah Syar’iyah untuk memutus dan mengadili baik
secara relatif maupun absolut. Relatif dalam hal ini diartikan sebagai kewenangan yang
timbul karena ada keterikatan tempat kejadian dengan cakupan wilayah pengadilan tersebut
berasal, dalam konteks pembahasan ini adalah makamah syar’iyah Lhoksukon. Hal ini
didasari pada tempat terjadinya putusan jarimah pelecehan seksual Nomor
12/JN/2023/MS.Lsk yang secara teritorial bertempat di Desa Paloh Gadeng Kecamatan
Dewantara Kabupaten Aceh Utara. Sedangkan kompetensi absolut merupakan kewenangan
untuk mengadili suatu perkara berdasarkan objek sengketa, dalam hal ini memang ,
dikategorikan dalam jarimah pelecehan seksual. Selanjutnya yang berhak mengadili secara
mutlak sesuai dengan kasus tertentu dengan substansi dan wewenang mengadilinya
masing- masing.
Metode penelitian

Penelitian ini mengunakan pendekatan kuantitatif. Metode ini menekankan pada


pendekatan alisis secara yuridis normatife, dengan meneliti sumber peraturan tertulis
yang telah di tetapkan oleh peraturan perundang-undangan yaitu qonun aceh nomer
12/JN/2023/MS.Lsk. Selanjutnya di perlukan dokumen serta literatur sebagai data primer
seperti peranturan perundang-undangan yang di gunakan sebagai alat mengadili pekara
pada putusan nomer 12/JN/2023/MS.Lsk dan juga data sekunder dari buku, journal, dan
kitab-kitab lainya. Di perlukan data teresier dari majalah, internet juga koran. Kemudian
data tersebut di kumpukan dan di analisi denagan pendekatan yang di gunakan. Semua
data tersebut kemudian di kelasifikasikan sesuai dengan topik yang akan di bahas.
Dalam penelitian ini pendekatan konseptual dan perundang-undanagan yang telah di
sebut di atas sangat di perlukan. Pendekatan konseptual di gunakan sebagai pisau analisi
dalam mengaji teori-teori, dokrin dan juga yusriprudensi, sedangkan perundang-
undanagan di gunakan sebagai pisau analisi untuk mengakaji tentang kewenangan
memeriksa dan megadili perkara dalam suatu pengadilan.

Pembahasan
Berdasarkan hasil putusan Nomor 12/JN/2023/MS.Lsk yang penulis juga lampirkan
beberapa hasil Salinan putusan dalam jarimah “ pemerkosaan” .Diketahui bahwa terdakwa
bernama xxxxx atau sebut saja Tovan yang lahir pada tanggal 29 Oktober 2001 di Paloh
Gadeng Kecamatan Dewantara Aceh Utara dan masuk dalam kewenangan Makamah Syari’ah
Lhoksukon untuk mengadili serta melaksanakan putusan dalam persidangan. Saat melakukan
tindakan tersebut ia masih berstatus sebagai pelajar atau mahasiswa. Locus atau waktu yang
tertera dalam surat dakwaan memang tidak dijelaskan secara rinci, namun jarimah tersebut
terjadi pada tahun 2020 sekitar pukul 20:30 WIB yang bertempat di toilet balai pengajian Darul
Mua’atalimin Desa Paloh Gadeng Kec. Dewantara Kab. Aceh Utara.
Peristiwa ini bermula saat saksi korban atau sebut saja Rini yang menginginkan untuk
buang air kecil menuju toilet dengan jarak 20 meter dari tempat berlangsungnya majlis
pengajian Darul Mua’atalimin. Setelah beberapa saat kemudian terdengar bunyi ketukan pintu
sembari mengatakan kepada Rini yang masih ada di dalam dengan kalimat “tolong buka pintu”.
Secara spontan korban lalu menjawab “tunggu sebentar” karena merasa ada seseorang yang
sedang mengantri untuk juga menggunakan toilet tersebut. Secara tiba- tiba terdakwa langsung
mendorong dan mendobrak pintu toilet yang sedang terkunci itu kemudian ia langsung masuk
kedalamnya. Saat fase tersebut, korban dalam posisi belum menaikkan celana dalamnya dan
disusul dengan gerakan tangan kiri terdakwa yang meraba- raba area payudara dari posisi
belakang. Bersamaan dengan itu, gerakan tangan kanan terdakwa juga menyasar kemaluan
korban sambil menekan keluar masuk di area lubang vaginanya.
Selanjutnya terdakwa mencoba untuk memaksa Rini untuk berposisi saling berhadapan
satu sama lain. Kemudian Tovan mencoba mengangkangi kedua kaki korban sambil berdiri.
Jelasnya kaki kanan korban diangkat dan memasukan batang penisnya ke dalam kemaluannya
sambil menekan keluar masuk. Setelah beberapa menit kemudian setelah melakukan tindakan
tersebutkorban mulai merasakan bagian kemaluannya basah dan lengket. Akhirnya setelah
semua itu terjadi, terdakwa lantas menaikan celananya dan beranjak keluar dari toilet tersebut.
Tak berselang lama, korban juga langsung membersihkan kemaluannya dan berjalan keluar
toilet menuju kembali ke balai pengajian. Akhirnya, setelah keduanya kembali bertemu dalam
majlis pengajian tersebut, lantas terdakwa mengucapkan kalimat “jangan bilang sama mamak
ya kejadian tadi, malu kita” dan spontan dijawab oleh korban “ya”.
Hampir sekitar 3 tahun kejadian di majlis pengajian di atas terjadi, barulah korban
berani untuk bercerita kepada keluarganya pada hari Kamis, 28 Januari 2023 pukul 22:30 WIB.
Kemudian keesokan harinya pukul 15:00 WIB keluarga korban berinisiatif pergi ke balai
pengajian Darul Mua’atalimin untuk melakukan musyawarah atas tindakan Tovan terhadap
Rini. Dalam forum musyawarah tersebut terdakwa mengakui apa yang ia perbuat, dengan itu
keluarga terdakwa juga meminta maaf dan menghendaki untuk memilih jalan damai bukan di
selesaikan secara hukum. Namun, ternyata keluarga korban merasa kecewa dan enggan untuk
memberikan jawaban dalam forum tersebut. Diketahui bahwa terdapat beberapa barang bukti
yang memperkuat adanya peristiwa tersebut berupa:
1. Satu helai rok bermotif garis- garis berwarna coklat
2. Satu helai baju kaos berwarna hijau muda
3. Satu helai kain sarung bermotif kotak- kotak berwarna hijau muda
4. Satu helai hijab berwarna coklat susu.
Akibat perbuatan yang dilakukan terdakwa, korban mengalami rasa sakit dan perih saat
buang air kecil, hal ini diperkuat berdasarkan hasil Visum Et Revertum Nomor: 10/10/2023
tertanggal 3 Februari 2023 yang dikeluarkan oleh dokter dari Rumah Sakit Umum Daerah Cut
Meutia Kabupaten Aceh Utara. Dari hasil pemeriksaan khusus terdapat:
1. Vulva : Dalam batas normal
2. Hymen : Robek di arah jam 3, 6, 11, luka lama.
Dengan kesimpulan selaput dara tidak utuh
Kesimpulannya Tovan di dakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 48
Qanun Aceh Nomor 6 Tahun 2014 tentang Hukum Jinayat, dengan sengaja melakukan jarimah
pelecehan.

Landasan teori

Menurut konsep dasar syari’at islam memang sangat menjunjung tinggi keadilan,
kemanusiaan, dan bertujuan untuk kebaikan umat manusia itu sendiri. Namun, beberapa aspek
yang harus dipenuhi dalam usaha untuk mengklasifikasikan suatu delik pidana terhadap ruang
lingkup jarimah ta’zir ini memang menjadi suatu hal problematis. Pandangan dari An- Na’im
menjelaskan hanya dengan prinsip kekuasaan hukum atau rule of law secara mutlak
kewenangan penguasa berjalan sesuai dengan ada yang telah disepakati dalam undang- undang
atau qanun. Jika memilih pandangan yang demikian, berarti asas legalitas sangat erat dengan
pelaksanaannya dan tidak dapat ditawar lagi.
Secara jenis, jarimah ta’zir diklasifikasikan dalam tiga bentuk menurut Audah :
1. Ta’zir disebabkan mengerjakan kemaksiatan
2. Ta’zir disebabkan kepentingan umum
3. Ta’zir disebabkan pelanggaran.
Menurut pengelompokan dari Audah di atas, secara jelas para ahli fiqih bersepakat
bahwa ta’zir merupakan perbuatan maksiat yang belum ditentukan hadd maupun kifarat. Hal
ini berlaku tidak hanya maksiat dengan Allah maupun melanggar dan merugikan hak manusia
lainnya. Selain itu ketika adanya hak orang lain dilanggar baik personal maupun kolektif, maka
sangat jelas adanya kemadlaratan didalamnya. Jarimah ta'zir adalah salah satu jenis hukuman
yang diberikan dalam sistem hukum Islam untuk tindakan-tindakan yang dianggap melanggar
nilai-nilai atau ketertiban masyarakat, namun tidak secara spesifik diatur dalam syariat Islam.
Panjangnya hukuman ta'zir bisa bervariasi tergantung pada keputusan hakim atau pihak yang
berwenang yang mempertimbangkan berbagai faktor, seperti beratnya pelanggaran,
dampaknya pada masyarakat, serta keadaan dan niat pelaku. Hukuman ta'zir tidak memiliki
ketetapan yang pasti dalam syariat, sehingga panjangnya hukuman bisa disesuaikan dengan
kasus yang bersangkutan.
Secara etimologis ta’zir berati menolak dan mencegah. jarimah ta'zir merujuk pada
hukuman yang diberikan oleh pengadilan syariah atas tindakan yang dianggap melanggar
norma atau hukum Islam, meskipun tindakan tersebut tidak secara spesifik diatur dalam hukum
Islam. Secara epistemologi, konsep ini melibatkan analisis mendalam terhadap sumber-sumber
hukum Islam, termasuk Al-Quran, Hadis, ijma' (kesepakatan umat Islam), qiyas (analogi), serta
prinsip-prinsip maqasid al-shariah (maksud atau tujuan syariah). Dalam konteks ini, ta'zir
melibatkan kebijaksanaan hakim untuk memberikan hukuman yang sesuai dengan kebutuhan
sosial, tanpa batasan tertentu dari sumber hukum yang spesifik. Jadi, jarimah ta'zir merupakan
hasil dari proses pemikirandan kajian mendalam tentang konsep humum islam dalam bidang
sosial yang memadai.
Jarimah ta’zir bersifat universal artinya berlaku bagi siapa saja, muslim maupun
nonmuslim; akan tetap dihukum takzir sebagai Pelajaran baginya. Setiap umat islam taupun
nonmuslim yang mengganggu pihak lain dengan cara apapun bisa dengan berbuatan, ucapan
yang tujuanya adalah untuk agar pelaku tidak mengulanginya lagi.

Tujuan adanya jarimah ta’zir :


1. Preventif; memberikan pelajaran bagi orang lain agar tidak melakukan
jarimah
2. Represif; memberikan efek jerah terhadap pelaku jarimah
3. Kuratif; memberikan pelajaran terhadap pelaku jarimah
4. Edukatif; memberikan hikmah dan Pelajaran terhadap pelaku agar ia
memperbaiki diri

Jika di tinjau dari hak yang di langar, ada dua macam jarimah takzir sebagai berikut :
1. Jarimah Ta’zir yang berorientasi terhadap pelangaran hak Allah; maksudnya
adalah segala sesuatu yang berkaitan dengan kemaslahatan umum
2. Jarimah Ta’zir yang berorientasi terhadap pelangaran hak individu;
maksudnya segala sesuatu perbuatan yang merugikan orang lain dan bukan
orang banyak

Kemudian ada pendapat lain dari sudut pandang sebab musebab bahwa jarimah takzir di bagi
menjadi 3 bagian :
1. Takzir dikarenakan melakukan maksiat
2. Takzir dikarenakan melakukan Tindakan yang membahayakan
kemaslahatan umum
3. Takzir dikarenakan melanggar larangan agama

Jarimah takzir di bagi menjadi 6 antara lain:


• Jarimah Ta'zir yang usnurnya seputarn penghilangan nyawa

Jarimah takzir yang berkaitan dengan pembunuhaan maka sanksi pidananya adalah di bunuh
atau di hukum mati (qisas) dan apabila di beri keringanan oleh pihak keluarga maka hanya
membayar diyat (ganti rugi). Dalam konsep ini atau hukuman yang di maafkan maka sansi
pidanya selanjutnya di serahkan kepada hakim (ulil-alamri).
• Jarimah Ta'zir yang unsurnya berupa penyerangan ffisik

Menurut pendapat Imam Malik, hukuman atas pelukaan adalah dengan mengkumulasikan
hukuman qisas dalam jarimah pelukaan di tambah takzir sebagai imbalan atas tercerabutnya
hak masyarakat, keluarga dari yang bersangkutan memafakan makan hanya di hukum takzir
saja.
• Jarimah Ta'zir yang unsurnya seputar Tindakan tidak menyenangkan

pidana ini berkaitan dengan perzinahan, menuduh berzina (Al-qadzfu) dan mneyrang
kehormatan orang lain . adalah jarimah zinah yang tidak memenuhi syarat atas terlaksananya
hukuman zina, maka hukuman atas Tindakan ini adalah seperti jarimah menuduh berzinah pada
umumnya.
• .Jarimah Ta'zir yang unsurnya harta benda

Pidana pencurian dan perampasan merupakan tindak pidana yang membahas seputar menjaga
harta benda ( hibzu mal) Maka ketika tidak memenuhi syarat seperti percobaan pencurian, atau
perambokan maka bisa di kenakan hukuman takzir.
• Jarimah Ta'zir yang unsurnya seputar kepentingan individu

Perbuatan yang merugikan orang lain seperti contohnya adalah memberikan kesaksian palsu
atau bersuta di hadapan persidangan, meyakiti hewan dan orang lain
• Jarimah Ta'zir yang unsurnya berupa kepentingan umum

Jarimah ini seperti menganggu keamanan masyarakkat, perilau tidak baik terhadap
pemerintahan, korupsi, memebrikan pelayanan yang kurang maksimal terhadap masyrakat,
melawan hukum, melawan petuas, memalsukan identitas, tanda tangan dan setempel
Lembaga lain
Auda’ menyebutkan ada beberapa hukuman takzir sebagai beriku:
1) Hukuman Mati
Hukuman Mati (‫ ) القتل عقوبة‬Para fuqahā’ secara bersamamemperbolehkan memberikan
hukuman mati terhadap pelaku tindak pidana apabila berbuatan tersebut di lakukan
secara berulang, serta melakukan hubungan seks sesame jenis. Di dasarkan kepada
hadis Ḥadīṡ riwayat Abu Dāwud:
‫من وجدتموه يعمل عمل قوم لوط فاقتلوا الفاعل والمفعول به‬: ‫قال رسول هللاا صلى هللاا عليه وسلم‬: ‫عن ابن عباس قال‬
2) Hukuman Cambuk
Hukuman Cambuk (‫ ) الجلد عقوبة‬Hukuman cambuk dari kalangan ulama berbeda pendapat
atas hal ini contohnya Abu Hanifa yang mengusulkan bahwa hukuman cambuk
maksimal 39 kali
3) Penjara (‫) الحبس‬
Hukuman penjara batas terendahnya adalah satu hari dan tidak boleh melebihi satu tahun
menurut pendapat Imam Syafii, ini di qiasakan terhadap pengasingan had zina.
4) (‫ )الصلب‬Salib)
adalah hukuman bagi jarimah perampokan adalah di bunuh, menurut imam syafi’I dan
maliki salib atau hukuman Salib adalah bagian dari ta’zir yang memberikan pengajaran
terhadap kesalahan terbuka secara bersama.

Kewenangan pemerintah atau ulil amri mengadili dan melaksanakan suatu keputusan
dalam hal jarimah ta’zir juga diperkuat dengan pendapat Wahbah Al-Zuhayli yang
mendefinisikan ta’zir sebagai al-man’u berarti melarang atau mencegah, juga dapat bermakna
al-nasrah atau pertolongan. Selain itu juga mengandung maksud al-ta’dib berarti pendidikan
atau pengajaran, jelasnya ta’zir mencoba untuk memberikan gambaran bahwa perbuatan
maksiat itu harus dihindari. Dengan adanya hukuman yang ditetapkan atas jarimah ta’zir ini
akan membuat manusia berfikir dua kali untuk melakukannya, terlebih bentuk hukumannya
yang nantinya akan memberikan efek jera bagi pelanggar atau edukasi terhadap pelanggaran
supaya tidak kembali terulang. Kondisi semacam ini yang diharapkan, terwujudnya keadilan,
ketertiban, dan kenyamanan dalam kaitannya dengan interaksi yang tidak merugikan, baik
secara personal maupun masyarakat secara umum.
Penjelasan yang cukup luas juga diberikan oleh Fathi menyatakan bahwa ta‘zir adalah
hukuman yang diserahkan kepada penguasa untuk menentukan bentuk dan kadarnya sesuai
dengan kemaslahatan yang menghendaki tujuan syari’at dalam menetapkan hukum, ditetapkan
pada seluruh bentuk maksiat, berupa meninggalkan perbuatan wajib atau mengerjakan
perbuatan yang dilarang, yang semuanya itu tidak termasuk ke dalam kategori hudud dan
kafarah, baik yang berhubungan dengan hak Allah berupa gangguan terhadap masyarakat
umum, keamanan mereka, serta perundang-undangan yang berlaku, maupun yang terkait
dengan hak-hak pribadi.

Analisis
Putusan mahkamah adalah pernyataan yang diucapkan oleh hakim dalam sidang
pengadilan, yang dapat berupa putusan pemidanaan, bebas atau lepas dari segala tuntutan
hukum dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang dan Qanun. Dalam
memberikan putusan dan penjatuhan sanksi pidana terhadap terdakwa, maka hakim harus
mempunyai pertimbangan yuridis dan non-yuridis. Yang dimaksud Pertimbangan yuridis
seperti, pasal-pasal yang dilanggar dakwaan Jaksa Penuntut Umum,keterangan saksi-saksi,
keterangan terdakwa, dan alat bukti. Hakim dituntut untuk mempunyai keyakinan dengan
mengaitkan keyakinan itu dengan cara dan alat-alat bukti yang sah sehingga dapat menciptakan
hukum yang berdasarkan keadilan yang tentunya tidak bertentangan dengan sumber dari segala
hukum yakni pancasila.
Merujuk kepada Putusan No 12/JN/2023/MS.Lsk yang telah di jelaskan di awal dan
berdasarkan fakta-fakta yang terungkap di persidangan di sertai denagan alat bukti yang sah
serta keterangan para saksi dan terdakwa, penulis memutusan bahwa terdakwa terbukti secara
sah dan bersalah melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap korban. Menurut penulis,
berbagai pertimbangan hukum Hakim Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh yang memeriksa dan
mengadili perkara ini, harusnya dilakukan secermat mungkin sesuai dengan perundang-
undangan dan Qanun yang terkait dan harus berdasarkan alat bukti, pertimbangan yuridis,
maupun fakta persidangan yang mendukung dalam persidangan tersebut, dan jelas mengacu
pada surat dakwaan jaksa penuntut umum. Meskipun demikian belum tentu pihak-pihak yang
berperkara merasa puas atas amar putusan yang dijatuhkan kepada terdakwa.
Sebelum membahas lebih jauh tentang Putusan No 12/JN/2023/MS.Lsk terlebih dahulu
memahami tentang pasal apa yang digunakan jaksa penuntut umum untuk menjerat terdakwa
pemerkosaan. Diantaranya Pasal 48 Qanun Aceh Nomor 6 tahun 2014 tentang Hukum Jinayat
yang unsur- unsurnya termuat sebagai berikut:
1. Setiap Orang
2. Dengan Sengaja
3. Melakukan Jarimah Pelecehan Seksual

Unsur Setiap Orang


Setiap orang yang dimaksud di sini adalah manusia sebagai recht person yang
merupakan subjek hukum. Di dalamnya tentu terdapat konsepsi pemenuhan hak dan kewajiban
secara beriringan. Terdakwa juga berada pada posisi cakap bertindak, tidak di bawah tekanan
atau intervensi dari pihak manapun, melakukan perbuatan tersebut dalam keadaan sehat
jasmani, dan tentu saja dapat dimintai pertanggungjawaban pidananya. Dengan beberapa
indikator yang mencakup kualifikasi unsur “setiap orang” maka, dapat dikatakan terdakwa
secara sah menurut hukum.
Unsur Dengan Sengaja
Berdasarkan fakta hukum yang sudah dipaparkan dalam deskripsi kasus, terdakwa
dengan sengaja mengetuk pintu toilet yang jelas masih di gunakan orang lain. Adanya kata
“siapa di dalam” dan korban menjawab “aku” yang tentunya suara itu dikenali sebagai bentuk
relasi antara terdakwa dan korban terdapat hubungan pertemanan. Setelah melalui beberapa
pertannyaan oleh hakim kepada terdakwa, ternyata ada kata “yok kita melakukan kayak- kayak
orang pacarana” sebelum akhirnya terdakwa melakukan jarimah pemerkosaan. Artinya dengan
fakta hukum yang ada, telah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum akan adanya
unsur kesengajaan didalamnya.
Unsur Melakukan Pelecehan Seksual
Definisi tentang pelecehan seksual atau jarimah di dalam Qanun Aceh nomor 6 Tahun
2014 Tentang Hukum Jinayat, lebih tepatnya penjelasan Pasal 1 angka 27 mengartikan bahwa
perbuatan asusila atau perbuatan pelecehan seksual yang disengaja dilakukan oleh seseorang
di depan umum atau terhadap orang lain sebagai korban baik laki- laki maupun Perempuan
tanpa kerelaan korban. Memperkuat fakta hukum yang ada, menurut keterangan saksi ahli yang
memeriksa korban. Ternyata korban memiliki gangguan retardasi mental yang termasuk
kedalam golongan intelektual terbawah, sehingga korban tidak dapat memahami norma sosial
dan agama yang berlaku secara jernih. Akibatnya korban pada posisi tersebut korban tidak
mampu dan tidak akan mengatakan tidak mau jika terdakwa melecehkan dirinya dalam posisi
diam atau mengikuti kemauan terdakwa.

Unsur melakukan pemerkosaan


Definisi tentang pemerkosaan dalam qonun Aceh Nomer 6 tahun 2014 pasal 1 angka 30 di
jelakan bahwa pemerkosaan adalah hubungan seksual terhadap faraj atau dubur oranag lain
sebagai korban dengan zakar pelaku atau benda lainya yang di gunakan pelaku atau terhadap
faraj atau zakar korban dengan mulut pelaku atau mulut korban dengan zakar pelaku, dengan
kekerasan atau paksaan atau ancaman terhardap korban. Mengunakan pedoman definisi ini
penulis berpendapat bahwa dalam kasus tersebut telah memenuhi unsur jarimah pemerkosaan
yaitu unsur memaksa, seperti apa yang telah di terangkan korban bahwa pelaku masuk dengan
mendorong pintu kamar mandi dan langsung melakukan pemerkosaan. Memperkuat argument
ini menurut keterangan saksi ahli ketika di lakukan visum di temukan luka robek pada dinding
vagina korban. Atas dasar ini harusnya penuntut umum juga mmpertimbangkan adanya delik
pemerkosaan yang telah di atur dalam pasal 48 qonun Aceh dengan uqubat ta’zir cambuk
sedikit 124 dan paling banyak 175 kali. Dalam kasus ini dapat dipahami bahwa kewenangan
mengadili dan melaksanakan putusan pada jarimah hudud, qisash- diyat, dan ta’zir ini memang
berlaku, sebagaimana dijelakan dalam Pasal 3 Qanun Jinayah tentang ruang lingkup jarimah
yang didalamnya terdapat pemerkosaan ayat 2. Tentunyah hal ini disadari sebagai bentuk
legitimasi dan kepastian hukum.
Namun, penulis memiliki beberapa pandangan tentang kasus ini, kejadian ini sejatinya
bukan merupakan pelecehan seksual, akan tetapi atas dasar suka sama suka. Hal ini dapat
dibuktikan dengan temuan psikologis bahwa korban sejatinya memiliki hubungan pertemanan,
ditambah dengan adanya ajakan dari terdakwa untuk berbuat zina dan korban pun diam saja.
Hal ini diperkuat dengan beberapa ancaman pelaku yang dilayangkan kepada korban semakin
kuat tendensi untuk mengindikasikan bahwa potensi jarimah zina itu ada. Secara normatif
dalam beberapa kasus yang bersinggungan antara zina dengan pemerkosaan, hakim sangat sulit
untuk menjatuhkan hukuman zina terhadap kasus yang identik. Selanjutnya zina juga di
tetapkan dengan unsur kehati- hatian yang tinggi, namun beberapa kasus juga dengan putusan
zina didasarkan pada pengakuan dari kedua belah pihak yang telah disumpah. Maka,
seharusnya juga mungkin adanya delik zina yang terdapat pada Pasal 33 diancam dengan
Uqubat Cambuk 100 kali. Dalam kasus ini dapat dipahami bahwa kewenangan mengadili dan
melaksanakan putusan pada jarimah hudud, qisash- diyat, dan ta’zir ini memang berlaku,
sebagaimana dijelakan dalam Pasal 3 Qanun Jinayah tentang ruang lingkup jarimah yang
didalamnya terdapat pelecehan seksual ayat 2.

Kesimpulan
Kajian di atas menunjukkan bahwa kewenangan mengadili jarimah hudud, qisash-
diyat, dan ta’zir adalah sarana hukum yang sangat efektif untuk mencegah merebaknya
kemaksiatan di tengah-tengah masyarakat. Di samping itu feleksibilitas ta‘zir dapat terjawab
degan adanya qanun atau produk hukum di suatu negara, karena tidak diatur secara jelas di
dalam Alquran dan Sunah. Sangat memungkinkan konsep ini mengakomodasi bentuk-bentuk
kejahatan kontemporer yang semakin berkembang akhir-akhir ini tanpa mengenal tempat dan
waktu. Selanjutnya peran pemerintah yang mutlak dalam memutuskan apakah sebuah
perbuatan itu masuk dalam kategori kemaksiatan ataupun kejahatan, juga dalam rangka
menentukan jenis hukumannya menjadi keniscayaan. Adanya uqubah juga pada dasarnya
dimaksudkan menjadikan seseorang yang melakukan menjadi jera untuk melakukannya
kembali, dilain sisi memberi tadib atau pendidikan dan pemahaman tentang uqubah yang
diperoleh, sehingga diharapkan masyarakat berfikir berkali- kali untuk melakukan pelanggaran
tersebut. Dalam hal ini analisis dalam putusan di atas menunjukan bahwa kewenangan untuk
memutus dan mengadili merupakan salah satu variabel kompetensi absolut maupun relatif yang
dimiliki oleh makamah syar’iyah. Terbukti kalau adanya putusan tersebut menunjukan adanya
eksistensi dan kekuatan hukum mengikat di dalam kondisi yg mutlak.
DAFTAR PUSAKA

Audah, Abdul Kadir, Al-Tashrī’ Al-Jana`i Al-Islāmī, Beirut: Muassasah Al-Risalah,1992.

Sunarso, Siswanto, Filsafat Hukum Pidana: Konsep , Dimensi dan Aplikasi, Jakarta:
Rajawali Pers, 2015
.
An-Naim, Abdullah Ahmed, 1997, Dekonstruksi Syariah: Wacana Kebebasan Sipil, Hak
Asasi Manusia dan Hubungan Internasional dalam Islam, Yogyakarta: LkiS Yogyakarta.

Al-Zuhaili, Wahbah, 2002, Al-Fiqh al-Islami wa Adilatuhu, Juz VII, Damaskus: Dar al-Fikr

Dr. Rokhmadi, M.Ag, 2021, Hukum Acara Pidana Islam, Semarang: Lawwana Semarang

Qanun Aeh Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat.

Anda mungkin juga menyukai