PENDIDIKAN PANCASILA
Disusun Oleh:
Fachrian Bachri (170384204039)
TANJUNGPINANG
2019
1
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah wa syukurilah. Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas
nikmat, rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Radikalisme dan Terorisme Dalam Pelanggaran Nilai Etis Pancasila” yang
merupakan tugas pada mata kuliah Pendidikan Pancasila.
Tak lupa pula, shalawat beriring salam selalu tercurah pada junjungan alam,
Rasulullah SAW.
Makalah ini dapat terselesaikan atas bantuan dan bimbingan dari semua pihak.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut membantu
dalam penyelesaian makalah ini, terutama kepada:
1. Bapak Marsudi, S.Sos., M.Si, selaku Dosen Pembimbing mata kuliah
Pendidikan Pancasila.
2. Rekan-rekan mahasiswa yang telah banyak memberi masukan dalam
pembuatan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata baik. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi membuat
makalah yang baik dan dapat dipahami oleh pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi para pembaca terutama Mahasiswa Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji.
Penulis
i
DAFTAR ISI
ii
DAFTAR TABEL
iii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Indonesia harus bisa menjadikan pancasila sebagai pedoman hidup dan jalan keluar
dalam suatu permasalahan yang terjadi pada kita sebagai warga negara Indonesia. Dalam
banyak kasus pelanggaran terhadap nilai-nilai pancasila, terorisme menjadi kejahatan
yang paling menyita perhatian bangsa. Permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam
suatu kasus terorisme selalu mengatasnamakan suatu agama. Hal ini tentu saja bukan
merupakan hal sepele dan secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak besar
pada keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara dan tentunya bertentangan dengan
ideologi bangsa Indonesia, yakni nilai-nilai luhur pancasila. Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai radikalisme dan terorisme dalam pelanggaran nilai etis pancasila yang
dapat menjadi referensi ataupun pengetahuan bagi mahasiswa mengenai salah satu
ancaman yang dihadapi Indonesia sebagai sebuah negara yang besar.
3
BAB II
PEMBAHASAN
4
pancasila yang memuat nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara dijelaskan sebagai
berikut:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa: Sila Ketuhanan Yang Maha Esai ini nilai-
nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila ini terkandung
nilai bahwa negara yang didirikan adalah sebagai perantaraan tujuan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa.
2. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab: Dalam sila ini terkandung nilai-nilai
bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk yang beradab dan bermoral.
3. Sila Persatuan Indonesia: Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara adalah
sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia yaitu sebagai makhluk individu dan
sosial. Negara merupakan suatu persekutuan hidup bersama di antara elemen-
elemen yang membentuk negara yang berupa suku, ras, kelompok, golongan,
maupun kelompok agama.
4. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan Perwakilan: Nilai yang terkandung di dalamnya adalah
bahwa hakikat negara bertujuan mewujudkan harkat dan martabat bahwa
manusia dalam suatu wilayah. Rakyat adalah subjek pendukung pokok negara.
Negara adalah dari, oleh, dan untuk rakyat, sehingga rakyat adalah asal mula
kekuasaan negara. Dalam sila ini terkandung nilai demokratis yang secara
mutlak harus dilaksanakan.
5. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia: Dalam sila ini terkandung
nilai-nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan dalam hidup bersama.
Oleh karena itu, terkandung nilai keadilan yang harus terwujud dalam
kehidupan bersama.
5
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata teror adalah kegiatan yang
menciptakan ketakutan, kengerian, atau kekejaman oleh seseorang atau golongan. Teroris
adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya
untuk tujuan politik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995:1048). Terorisme adalah
penggunaan kekerasan terhadap sasaran sipil untuk menimbulkan ketakutan sebagai
usaha untuk mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).
Menurut Hukum Positif Indonesia: UU Nomor 15 Tahun 2003, Bab III pasal 6,
dikemukakan “bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan
hidup atau fasilitas publik atau internasional” diancam dengan pidana hukuman mati,
penjara seumur hidup, atau penjara 4 tahun hingga 20 tahun.
8
negara nasional, yang berupa pemberontakan bersenjata, pengacauan stabilitas nasional,
dan gangguan keamanan nasional.
Ditinjau dari perspektif kewarganegaraan unsur civil knowledge, maka
pengetahuan mengenai kewarganegaraan masih lemah, tentu ini berkaitan dengan
pendidikan khususnya dalam kaitannya dengan hubungan antara negara dan warga
negara misalnya demokrasi, negara hukum, penegakan hak asasi manusia. Penghayatan
dalam kehidupan bernegara, penerimaan antara golongan yang satu terhadap golongan
yang lain atau masalah rasa kebangsaan juga belum didukung dengan civil skills yang
memadai (seperti kemampuan berfikir kritis, kecakapan dalam berdemokrasi, dan
kecakapan dalam mewujudkan rasa nasionalisme).
Kehidupan berbangsa pada periode ini juga masih diwarnai dengan kuatnya
etnonasionalisme, ekslusivisme, sehingga gerakan-gerakan yang terjadi pada masa itu
bernuansa ideologis-keagamaan dan kedaerahan. Dilihat dari civil virtue, yang
seharusnya semangat toleransi, nasionalisme/persatuan, keberadaban, dan keadilan
mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara, namun pada kenyataannya kehidupan
berbangsa memperlihatkan kuatnya semangat kelompok baik dari sisi etnis, agama,
maupun politik golongan. Dalam semangat yang demikian itu intoleransi dan timbulnya
distrust bisa terjadi. Kalau hal ini tejadi, maka merupakan hal yang signifikan
mempengaruhi seseorang bersikap curiga, bertindak radikal yang memicu tindakan-
tindakan terorisme.
Politik aliran pada periode ini cukup menonjol tetapi belum disertai dengan
semangat berdemokrasi dan budaya demokrasi yang baik. Akibatnya yang menonjol
adalah semangat egosentris yang menegasi kelompok lain. Civil knowledge, civil skills,
dan civil virtue juga masih rendah. Hal tersebut juga disebabkan oleh pemahaman
mengenai ideologi (Pancasila), demokrasi, negara hukum, pengahayatan kehidupan
bersama yang masih kurang memadai. Dilihat dari civil skills, memperlihatkan kecakapan
dalam berdemokrasi kurang didukung oleh kesediaan untuk menghormati dan toleransi
serta penerimaan dalam kehidupan bersama. Semangat untuk menang sendiri dalam
berdemokrasi terlihat cukup kuat dalam kelompok (politik aliran). Civil virue yang
mengedepankan nilai-nilai yang membentuk karakter baik (good character) pada periode
ini juga kurang mendapat iklim yang baik karena semangat egosentris dalam kehidupan
politik sangat kuat. Hal tersebut ditandai dengan konfik-konflik ideologis yang
memuncak pada pemberontakan G/30/S/PKI.
9
2.4.2 Periode 1966-1998 (Masa Orde Baru)
Periode ini pemberontakan bersumber pada ideologi masih terasa tetapi tidak
mendapat tempat karena negara cukup kuat menghadapi pemberontkan-pemberontakan
itu, seiring dengan menguatnya Pancasila sebagai dasar negara karena didukung oleh
sistem ketatanegaraan yang lebih menempatkan stabilitas keamanan dan politik.
Sentimen kedaerahan dan kecemburuan terhadap daerah lain terjadi sehingga menjadi
benih-benih terjadinya gerakan untuk memisahkan diri dari negara kesatuan. Teror yang
terjadi pada masa ini berupa gangguan-gangguan keamanan dan teritorial sehingga
menuntut penguatan pada aspek keamanan dilakukan melalui penerapan Dwi Fungsi
ABRI. Istilah terorisme lebih merujuk pada gerakan pengacau keamanan bersenjata.
Obsesi untuk menciptakan terutama stabilitas keamanan dan stabilitas di berbagai bidang
terjadi pada masa Orde Baru sebagai reaksi dari kondisi sebelum Orde Baru di mana
Indonesia tercatat sebagai negara yang tidak stabil di dunia. Stabilitas keamanan dan
sosial politik dapat mendorong terwujudnya pembangunan di bidang ekonomi. Berikut
adalah tabel kondisi di Zaman Orde Baru.
No Bidang Fenomena Keadaan Implikasi
Terhadap Teroris
1 Ideologi Penghayatan dan Pancasila Tidak terlalu
kesatuan ideologi semakin kuat banyak bom
berjalan meletus
2 Politik Penyederhanaan dan Stabilitas politik Pemberontakan
fungsi partai politik terwujud dan gejolak
(Golkar, PDI, PPP) dapat ditekan
3 Sosial Integrasi sosial/nasional Negara relatif
berjalan, berkurangnya stabil/negara
konflik kesukuan, dan lebih dominan
pendidikan semakin (kebebasan
meluas dibatasi)
4 Budaya Berkembangnya Pembangunan
Bahasa Indonesia berjalan lebih
sebagai bahasa bersifat top
nasional (sebagai down
alat komunikasi)
10
Berkembangnya
kebudayaan nasional
dan keterbukaan
masyarakat, serta
surutnya
etnosentrisme dan
primodialisme
5 Ekonomi Pembangunan
ekonomi berjalan
dan semakin luas
jangkauannya
Terbukanya
kesempatan berusaha
dan adanya peluang
bagi rakyat untuk
berpartisipasi
Adanya program
kemitraan dan Inpres
Desa Tertinggal
6 Hankam Dimilikinya
wawasan dan doktrin
yang sama pada
semua angkatan
(AU, AD, AL, dan
Kepolisian) dan
Peran ABRI dengan
Dwi Fungsinya
7 Kewilayahan Berkembangnya
hukum laut yang
menjamin kesatuan
wilayah (ZEE, laut
teritorial, dll)
Tabel 2.2 Kondisi di Zaman Orde Baru
11
Ditinjau dari perspektif kewarganegaraan khususnya pada unsur civil knowledge,
pada masa Orde Baru, negara berusaha untuk mengembangkan pendidikan Pancasila dan
kewarganegaraan sehingga warga negara akan lebih memahami falsafah bangsa, ideologi
nasional, dan hak serta kewajiban sebagai warga negara. Pemahaman (civil knowledge)
sangat diperlukan bagi warga negara agar menjadi warga negara yang baik (good citizen).
Di samping itu, civil skill juga memperlihatkan peningkatan terutama pada dekade tahun
1990-an yang ditandai dengan keinginan warga masyarakat untuk ikut menentukan
jalannya pemerintahan melalui menguatnya kebebasan berpendapat dan organisasi
masyarakat (LSM). Sedangkan jika dilihat dari civil virtue menunjukkan keinginan untuk
menegakkan prinsip-prinsip HAM maupun demokrasi seperti kebebasan, intoleransi,
penegakan hukum, dan keadilan yang puncaknya pada keinginan untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean goverments).
2.4.3 Periode 1999-2004
Periode ini merupakan masa transisi sehingga situasi kehidupan berbangsa dan
bernegara belum mantap di berbagai bidang. Teror dan gangguan keamanan, konflik
melanda kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada nuansa politik, ekonomi, keamanan
dalam konflik sebagaimana terjadi di Jawa, Ambon, Poso, Bali, Kalimantan (Sampit),
dan daerah lain. Teror dalam periode ini lebih terwujud pada gerakan mengacau
keamanan dan ketentraman masyarakat, walaupun intoleransi ke arah politik juga pasti
ada. Era refomrasi ditandai oleh kebebasan dan otonomi memunculkan organisasi
kemasyarakatan dan LSM. Namun organisasi dan LSM yang berkembang tidak serta
merta terhitung sebagai bagian dari civil society karena kebebasan di era reformasi
kadang-kadang ada yang menghayatinya secara salah. Masyarakat baru yang diharapkan
adalah sebagai masyarakat yang menghormati ketertiban, penegakan hukum, penegakan
hukum Hak Asasi Manusia, masyarakat yang beradab, menegakkan keadilan, persatuan,
dan religius, namun kenyataannya masih ada anarkisme, kekerasan, pemaksaan
kehendak, dan main hakin sendiri. Berikut adalah tabel yang menunjukkan teror bom di
masa pemerintahan transisi dalam Haryono, Endi. 2010. Kebijakan Anti Terorisme
Indonesia: Dilema Demokrasi dan Represi, JSP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol
14 Nomor 2, November ISSN 1410-4696.
12
No Tahun Bentuk Teror
1 1999 Pemboman Toserba Ramayan Jakarta, Pemboman Mall Kelapa
Gading, Pemboman Hayam Wuruk Plaza
2 2000 Bom Kedubes Filipina (1 Agustus 2000), Bom Kedubes Malaysia (27
Agustus 2000), dan Bom Malam Natal (24 Desember 2000)
3 2001 Bom Gereja Santa Anna dan HKBP (22 Juli 2001), Bom Plaza
Atrium Senen Jakarta (23 September 2000), Bom Restoran KFC
Makasar (12 Oktober 2001), dan Bom Sekolah Australia (AIS)
Pejaten Jakarta
4 2002 Bom Tahun Baru (1 Januari 2002), Bom Bali (12 Oktober 2002), dan
Bom Restoran McDonald’s (5 Desember 2002)
5 2003 Bom Kompleks Mabes Polri Jakarta (3 Februari 2003), Bom Bandara
Soekarno-Hatta Jakarta (27 April 2003), dan Bom JW Mariott (5
Agustus 2003)
6 2004 Bom Palopo (10 Januari 2004), Bom Kedubes Australia, dan ledakan
Bom di Gereja Immanuel Palu, Sulawesi Tengah (12 Desember
2004)
Tabel 2.3 Teror Bom di Masa Pemerintahan Transisi
Pada periode ini karena masih dalam periode transisi maka keadaan yang belum
menentu atau belum stabil ikut mempengaruhi kehidupan warga negara. Kelemahan yang
tampak terjadi pada civil skills yang belum mantap. Demo anarkis, provokasi, dan
penggunaan kelompok tertentu untuk kepentingan politik menunjukkan bahwa
keterampilan demokrasi masih kurang didukung dengan sikap yang cerdas. Berfikir kritis
sering ditinggalkan sehingga perasaan dan emosi lebih dominan dan menguat dalam
interaksi sosial. Civil society juga belum meluas walaupun LSM tumbuh bak jamur di
musim hujan, namun kualitas LSM belum semua mencerminkan karakter civil society
yang baik.
Dilihat dari civil virtue terkadang kecenderungan gaya dan sikap pragmatis, bebas
yang disertai dengan menguatnya kesadaran individu dalam interaksi kehidupan
bermasyarakat kadang-kadang menenggelamkan sikap mental yang ideal seperti
kejujuran, keadilan, toleransi, dan kebenaran. Akibatnya, efektivitas dalam menegakkan
nilai-nilai kearifan dan keutamaan yang disuarakan dalam reformasi melemah karena
13
persaingan yang tidak sehat. Mengendornya sikap gotong royong, dan rasa penerimaan
terhadap pihak lain dalam kehidupan bersama.
2.4.4 Periode 2005-2015
Sesuai dengan era globalisasi, maka terorisme dalam periode ini memperlihatkan
corak global juga yaitu memanfaatkan jaringan internasional sehingga terorisme tidak
hanya berasal dari warga negara/bangsa sendiri melainkan juga dari warga negara dan
bangsa asing. Pada periode ini cara-cara yang digunakan untuk melakukan teror juga
semakin canggih seiring dengan kemajuan teknologi modern. Berikut disediakan tabel
yang menunjukkan peristiwa teror pada periode 2005-2015.
No Tahun Bentuk Terorisme
1 2005 Bom meledak di Ambon (21 Maret 2005), Bom Tentena (28 Mei
2005), Bom Pamulang (8 Juni 2005), Bom Bali (1 Oktober 2005),
Bom Bali II (1 Oktober 2005), Bom Pasar Palu (31 Desember 2005)
2 2009 Bom Jakarta (17 Juli 2009)
3 2015 Teror lewat SMS dan isu tentang ISIS. Teror yang berkedok
penipuan jarigan internasional Islamic State Irak and Suriah dan
juga terjadi penolakan terhadap ISIS di berbagai daerah melalui
poster-poster
Tabel 2.4 Teror 2005-2015
Peristiwa penyerangan World Trade Center (WTC) yaitu gedung menara kembar
di AS, misalnya merupakan bukti bahwa begitu canggih peralatan yang digunakan teroris
sehingga semua pihak tidak dapat mencegahnya. Kemudahan menciptakan ketakutan
dengan teknologi tinggi dan liputan media yang luas membuat jaringan dan tindakan
teror semakin mudah mencapai tujuan, yang tentunya bukan hanya yang diarahkan pada
pemerintah, tetapi juga tempat-tempat vital dan juga kepada masyarakat dengan modus
dan motivasi yang beragam pula. Motif penipuan seperti teror melalui SMS dari yang
berkedok transfer uang sebagai syarat memperoleh undian bohong-bohongan sampai
kepada teror SMS untuk meminta pulsa.
14
2.4.5 Periode 2016-2018
Berikut disajikan tabel yang menunjukkan aksi dan rencana teror pada periode
2016-2018.
No Tahun Bentuk Terorisme
1 2016 Bom Thamrin (14 Januari), Penggagalan Rencana Teror Surabaya (8
Juni), Bom Mapolresta Surakarta (5 Juli), Rencana Aksi Teror
Batam (5 Agustus), Aksi Teror Gereja Medan (28 Agustus), Aksi
Teror Gereja Samrinda (13 November), Rencana Bom Istana (10
Desember), Aksi Teror Solo (15 Desember), Rencana Peledakan di
Bali (18 Desember)
2 2017 Bom Cicendo Bandung (Akhir Februari), Bom Kampung Melayu
(Akhir Mei), Penyerangan Polda Sumut, Pembakaran Polres
Dharmasraya Sumbar (12 November), Pengakuan Simpatisan ISIS
3 2018 Bom 3 Gereja di Surabaya (Akhir Mei), Teror di Mako Brimob
(Mei), Teror di Mapolda Riau (Mei), Bom Bunuh Diri di Polrestabes
Surabaya dan Rusunawa Wonocolo Sidoardjo (Mei), Pembunuhan
pekerja jembatan di Papua (Desember)
Tabel 2.5 Teror 2016-2018
15
2. Mendahulukan kepentingan bersama tanpa mengabaikan kepentingan pribadi
dan golongan.
3. Menghargai pendapat orang lain dan tidak memaksakan pendapat kepada pihak
atau orang lain.
4. Menyelesaikan masalah secara musyawarah untuk mencapai kata mufakat yang
diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5. Menjunjung tinggi supremasi hukum dengan cara menaati norma-norma hukum
dan norma lainnya secara bertanggungjawab.
6. Melaksanakan prinsip kebebasan disertai dengan tanggungjawab sosial
kemasyarakatan.
7. Mengutamakan persatuan dan kesatuan atau integrasi nasional.
8. Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang diskrimintif atas dasar agama, ras,
keturunan, jenis kelamin, status sosial, dan golongan politik.
9. Melaksanakan fungsi peran kontrol sosial terhadap jalannya pemerintahan
secara kritis dan objektif.
Berhubung terorisme sangat berkaitan dengan pola pikir bertindak, maka
bagaimana seharusnya berpikir yang berorientasi Pancasila dan bagaimana seharusnya
hidup bersama sebagai masyarakat yang menunjung tinggi nilai religiusitas,
kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan dipahami dan dihayati. Tanpa hal
tersebut maka keterampilan dalam hidup berbangsa dan bernegara akan jatuh pada
semangat yang bertentangan dengan pola berpikir dan nilai-nilai Pancasila, seperti pola
pikir yang sempit, picik, negatif, kurang menerima keberadaan pihak lain, egosentris,
eksklusif, memaksakan kehendak, dan main hakim sendiri.
Romo Frans Magnis-Suseno (2015) pernah mengatakan bahwa rasa kebangsaan
hanya akan dapat dipertahankan kalau satu syarat dipenuhi yaitu kesediaan saling
menerima dan saling mengakui dalam keikhlasan masing-masing. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa kesediaan untuk saling menerima dalam perbedaan itulah
merupakan komitmen inti bangsa Indonesia dalam Pancasila. Mengingat teori sejarah di
atas, maka terorisme dapat terulang kembali sebagaimana teori perputaran, tetapi juga
mengalami perubahan dan variasi dalam tampilannya sesuai dengan kondisi dan situasi
sebagaimana teori spiral. Atas dalil apapun, terorisme jelas bertentangan dengan ideologi
negara (Pancasila). Motivasi dan sasaran terkadang tetapi tapi juga berubah. Hal tersebut
juga sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal.
16
2.6 Kerentanan dan Penangkalan Pemuda terhadap Radikal Terorisme
Masa transisi krisis identitas di kalangan pemuda berkemungkinan untuk
mengalami apa yang disebut Quintan Wiktorowicz (2005) sebagai cognitive opening
(pembukaan kognitif), sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada
penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal. Alasan-alasan seperti itulah yang
menyebabkan mereka sangat rentan terhadap pengaruh dan ajakan kelompok kekerasan
dan terorisme. Sementara itu, kelompok teroris menyadari masalah psikologis generasi
muda. Kelompok teroris memang mengincar mereka yang selalu merasa tidak puas,
mudah marah, dan frustasi baik terhadap kondisi sosial maupun pemerintahan. Mereka
juga telah menyediakan apa yang mereka butuhkan terkait ajaran pembenaran, sosial, dan
strategi meraih perubahan, serta rasa kepemilikan. Kelompok teroris juga menyediakan
lingkungan, fasilitas, dan perlengkapan bagi remaja yang menginginkan kegagahan dan
melancarkan agenda kekerasannya.
Sebagai contoh Wildan merupakan santri di Pondok Al Islam di Tenggulun-
Lamongan yang dikelaola oleh keluarga Amrozi terpidana Bom Bali 2002. Dalam
usianya yang masih belia, pemuda asal Lamongan ini memilih mengakhiri hidpnya di
tanah yang penuh konflik. Fakta-fakta tersebut memperlihatkan bagaimana kerentanan
kalangan generasi muda dari keterpengaruhan ajaran sekaligus ajakan yang disebarkan
oleh kelompok radikal baik secara langsung ataupun tidak langsung melalui media online
yang menjadi sangat populer akhir-akhir pekan ini. Karena itulah, diperlukan upaya
untuk membentengi generasi muda dari keterpengaruhan ajaran dan ajakan kekerasan
merupakan tujuan bersama. Ada tiga institusi sosial yang sangat penting untuk
memerankan diri dalam melindungi generasi muda. Pertama, pendidikan melalui peran
lembaga pendidikan, guru, dan kurikulum dalam memperkuat wawasan kebangsaan,
sikap moderat, dan toleran pada generasi muda. Kedua, keluarga melalui peran orang tua
dalam menanamkan cinta dan kasih sayang kepada generasi muda, dan menjadikan
keluarga sebagai unit konsultasi dan diskusi. Ketiga, komunitas melalaui peran tokoh
masyarakat di lingkungan masyarakat dalam menciptakan ruang kondusif bagi
terciptanya budaya perdamaian di kalangan generasi muda.
Selain peran yang dilakukan secara institusional melalui kelembagaan pendidikan,
keluarga, dan lingkungan masyarkat, generasi muda juga dituntut mempunyai imunitas
dan daya tangkal yang kuat dalam menghadapi pengaruh dan ajakan radikal terorisme.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan generasi muda dalam rangka menangkal pengaruh
paham dan ajakan radikal, yakni:
17
1. Menanamkan jiwa nasionalisme dan kecintaan terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Perkaya wawasan keagamaan yang moderat, terbuka, dan toleran.
3. Bentengi diri dari keyakinan diri dengan selalu waspada terhadap provokasi,
hasutan, dan pola rekruitmen teroris baik di lingkungan masyarakat maupun
dunia maya.
4. Membangun jejaring dengan komunitas damai baik offline maupun online untuk
menambah wawasan dan pengetahuan.
5. Bergabunglah dengan berbagai komunitas, sebagai media komunikasi dalam
rangka membanjiri dunia maya dengan pesan-pesan perdamaian dan cinta
NKRI.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Terorisme digolongan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) karena
mempunyai akar dan jaringan kompleks yang tidak hanya bisa didekati dengan
pendekatan kelembagaan melalui penegakan hukum semata. Terorisme, dengan segala
dalil yang dibawanya jelas bertentangan dengan nilai-nilai luhur pancasila. Keterlibatan
komunitas masyarakat terutama lingkungan, lembaga pendidikan, keluarga, dan
lingkungan masyarakat, serta generasi muda itu sendiri dalam mencegah terorisme
menjadi sangat penting. Karena itulah dibutuhkan keterlibatan seluruh komponen
masyarakat dalam memerangi terorisme demi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan
bernegara tercinta yang damai, adil, dan sejahtera.
3.2 Saran
Makalah ini sifatnya hanya membantu memudahkan mahasiswa untuk memahami
radikalisme dan terorisme dalam pelanggaran nilai etis pancasila yang tentunya sangat
terbatas baik contoh maupun penjelasannya. Oleh karenanya penulis berharap bagi para
pembaca bisa menambah referensi lain. Karena jika hanya menggunakan makalah ini,
akan sangat sedikit yang akan di dapat. Penulis berharap agar para pembaca dapat
memberi kritik dan masukan yang sifatnya membangun demi menciptakan makalah yang
baik dan dapat dipahami oleh pembaca.
19
DAFTAR PUSTAKA
20