Anda di halaman 1dari 24

MAKALAH

PENDIDIKAN PANCASILA

RADIKALISME DAN TERORISME DALAM PELANGGARAN


NILAI ETIS PANCASILA

Dosen Pembimbing: Marsudi, S.Sos., M..Si

Disusun Oleh:
Fachrian Bachri (170384204039)

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI

TANJUNGPINANG

2019

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah wa syukurilah. Puji syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT atas
nikmat, rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah dengan
judul “Radikalisme dan Terorisme Dalam Pelanggaran Nilai Etis Pancasila” yang
merupakan tugas pada mata kuliah Pendidikan Pancasila.
Tak lupa pula, shalawat beriring salam selalu tercurah pada junjungan alam,
Rasulullah SAW.
Makalah ini dapat terselesaikan atas bantuan dan bimbingan dari semua pihak.
Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang ikut membantu
dalam penyelesaian makalah ini, terutama kepada:
1. Bapak Marsudi, S.Sos., M.Si, selaku Dosen Pembimbing mata kuliah
Pendidikan Pancasila.
2. Rekan-rekan mahasiswa yang telah banyak memberi masukan dalam
pembuatan makalah ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari kata baik. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang sifatnya membangun demi membuat
makalah yang baik dan dapat dipahami oleh pembaca. Semoga makalah ini bermanfaat
bagi para pembaca terutama Mahasiswa Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu
Pendidikan Universitas Maritim Raja Ali Haji.

Tanjungpinang, 3 Maret 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ i


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
DAFTAR TABEL................................................................................................. iii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 2
1.3 Tujuan Penulisan Makalah ....................................................................... 2
1.4 Metode Penulisan ..................................................................................... 3
1.5 Manfaat Penulisan .................................................................................... 3
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................... 4
2.1 Pancasila Sebagai Nilai Etis ..................................................................... 4
2.2 Pengertian Radikalisme dan Terorisme ................................................... 5
2.3 Dari Radikalisme ke Terorisme ............................................................... 6
2.4 Terorisme di Indonesia dari Masa ke Masa ............................................. 7
2.4.1 Periode 1945-1965 .......................................................................... 7
2.4.2 Periode 1966-1998 (Masa Orde Baru) .......................................... 10
2.4.3 Periode 1999-2004 ........................................................................ 12
2.4.4 Periode 2005-2015 ........................................................................ 14
2.4.5 Periode 2015-2018 ........................................................................ 15
2.5 Pandangan Pancasila: Radikalisme dan Terorisme Sebagai Masalah bagi
Negara Demokrasi dan Negara Hukum ......................................................... 15
2.6 Kerentanan dan Penangkalan Pemuda Terhadap Radikal Terorisme .... 17
BAB III PENUTUP ............................................................................................. 19
3.1 Kesimpulan ............................................................................................ 19
3.2 Saran ....................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 20

ii
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Kondisi di Awal Sejarah Ketatanegaraan RI 1945-1965................. 8


Tabel 2.2 Kondisi di Zaman Orde Baru ........................................................ 10
Tabel 2.3 Teror Bom di Masa Pemerintahan Transisi ................................... 13
Tabel 2.4 Teror 2005-2015 ............................................................................ 14
Tabel 2.5 Teror 2016-2018 ............................................................................ 15

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Tindak pidana terorisme di samping sebagai bentuk radikalisme lainnya merupakan
kejahatan yang tergolong pemberantasannya dilakukan secara luar biasa (extra ordinary
crime). Disamping itu tindak pidana di atas merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan
(crimes against humanity) yang mendapat kutukan keras dari setiap bangsa-bangsa di
dunia. Teorisme dengan segala manifestasinya merupakan kejahatan yang serius dan
mengancam nilai-nilai kemanusiaan, menggangu keselamatan umum bagi orang dan
barang bahkan sering ditujukan kepada instalasi negara atau militer/pertahanan
keamanan, maupun kepada personifikasi yang menjalankan institusi negara seperti
ditujukan kepada kepala negara, pemerintahan pada umumnya, objek-objek vital dan
strategis maupun pusat-pusat keramaian umum lainnya.
Orang-orang dari komunitas tertentu, sering menjadi korban-korban yang tidak
berdosa karena menjadi sasaran kelompok teroris sebagaimana pernah dilakukan oleh
Amrozi dan kawan-kawan ketika melakukan peledakan di Legian Bali pada tahun 2002.
Para pelaku ketika itu menyatakan bahwa perbuatan yang mereka lakukan didasarkan
kepada kebencian mereka kepada Amerika Serikat. Hal ini dapat diruntut kronologisnya
sebab pengeboman di Bali tidak lama setelah terjadinya serangan terhadap menara
kembar World Trade Center (WTC) dan Penthagon pada 11 September 2012 silam.
Semenjak peristiwa pengeboman di Bali itu, berturut-turut terjadi serangan di tempat-
tempat vital seperti kedutaan besar AS di Jakarta, maupun bom bunuh diri yang terjadi di
Hotel JW Marriot pada 5 Agustus 2003 silam yang menewaskan pelaku bom bunuh diri
dan 12 orang lainnya, sedangkan 150 orang mengalami luka-luka. Kedua peristiwa di
atas merupakan contoh beberapa kasus terorisme yang pernah terjadi dan ditujukan
kepada simbol-simbol negara asing seperti AS.
Pancasila merupakan ideologi bangsa Indonesia yang memiliki beberapa fungsi dan
kedudukan diantaranya sebagai ideologi negara, pandangan hidup, dasar untuk bertindak,
pola pikir masyarakat Indonesia, jiwa dan kepribadian bangsa, dasar pembuatan hukum,
dan lainnya. Pancasila juga memiliki nilai-nilai yang penting disetiap butir sila yang
dapat diartikan secara singkat yaitu ketuhanan, kemanusiaan, kesatuan, kerakyatan, dan
keadilan. Dari arti sila-sila pancasila dan fungsi pancasila, kita sebagai warga negara

1
Indonesia harus bisa menjadikan pancasila sebagai pedoman hidup dan jalan keluar
dalam suatu permasalahan yang terjadi pada kita sebagai warga negara Indonesia. Dalam
banyak kasus pelanggaran terhadap nilai-nilai pancasila, terorisme menjadi kejahatan
yang paling menyita perhatian bangsa. Permasalahan-permasalahan yang diangkat dalam
suatu kasus terorisme selalu mengatasnamakan suatu agama. Hal ini tentu saja bukan
merupakan hal sepele dan secara langsung maupun tidak langsung akan berdampak besar
pada keutuhan Indonesia sebagai sebuah negara dan tentunya bertentangan dengan
ideologi bangsa Indonesia, yakni nilai-nilai luhur pancasila. Dalam makalah ini akan
dibahas mengenai radikalisme dan terorisme dalam pelanggaran nilai etis pancasila yang
dapat menjadi referensi ataupun pengetahuan bagi mahasiswa mengenai salah satu
ancaman yang dihadapi Indonesia sebagai sebuah negara yang besar.

1.2 Rumusan Masalah


Adapun masalah yang akan diajukan penulis dalam pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Pancasila sebagai nilai etis.
2. Pengertian radikalisme dan terorisme.
3. Dari radikalisme ke terorisme.
4. Terorisme di Indonesia dari masa ke masa.
5. Pandangan pancasila: Radikalisme dan terorisme sebagai masalah bagi negara
demokrasi dan negara hukum.
6. Kerentanan dan penangkalan pemuda terhadap radikal terorisme.

1.3 Tujuan Penulisan


Adapun tujuan-tujuan yang ingin dicapai dalam pembuatan makalah ini adalah
sebagai berikut:
1. Mahasiswa dapat memahami pancasila sebagai nilai etis.
2. Mahasiswa dapat memahami pengertian radikalisme dan terorisme.
3. Mahasiswa dapat memahami proses dari radikalisme ke terorisme.
4. Mahasiswa dapat memahami kasus terorisme di Indonesia dari masa ke masa.
5. Mahasiswa dapat memahami pandangan pancasila terhadap radikalisme dan
terorisme sebagai masalah bagi negara demokrasi dan negara hukum.
6. Mahasiswa dapat memahami dan mewujudkan kerentanan dan penangkalan
pemuda terhadap radikal terorisme.
2
1.4 Metode Penulisan
Dalam pembuatan makalah ini, kami menggunakan metode pengumpulan data,
yaitu metode dengan mengumpulkan data dan mencari data tersebut di buku-buku, artikel
maupun jurnal. Kemudian memahami data-data yang telah didapatkan dan menyusunnya
menjadi sebuah makalah.

1.5 Manfaat Penulisan


Hasil pembuatan makalah ini diharapkan dapat memberi manfaat baik secara
teoritis maupun praktis sebagai berikut:
1. Secara teoritis
Hasil makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca khususnya mahasiswa
dalam hal yang berkaitan Radikalisme dan Terorisme Dalam Pelanggaran Nilai
Etis Pancasila.
2. Secara praktis
Melalui pembuatan makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan berfikir
dan kemampuan menganalisis suatu hal yang terkait dan juga sebagai salah satu
syarat penilaian pada mata kuliah Pendidikan Pancasila.

3
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Pancasila Sebagai Nilai Etis


Nilai (value) adalah kualitas yang melekat pada sesuatu atau keberhagaan dari
sesuatu. Sifat dari suatu benda yang menyebabkan menarik minat seseorang atau
kelompok dapat dikatakan suatu nilai. Nilai bersumber pada budi pekerti yang berfungsi
mendorong dan mengarahkan (motivator) sikap dan perilaku manusia. Nilai sebagai
suatu sistem merupakan salah satu wujud kebudayaan di samping sistem sosial dan
karya. Etika adalah kelompok filsafat praktis (filsafat yang membahas bagaimana
manusia bersikap terhadap apa yang ada) dan dibagi menjadi dua kelompok. Etika
merupakan suatu pemikiran kritis dan mendasar tentang ajaran-ajaran dan pandangan-
pandangan moral. Etika adalah ilmu yang membahas tentang bagaimana dan mengapa
kita mengikuti suatu ajaran tertentu atau bagaimana kita bersikap dan bertanggungjawab
dengan berbagai ajaran moral. Berikut adalah dua kelompok etika yakni:
1. Etika umum, mempertanyakan prinsip-prinsip yang berlaku bagi setiap tindakan
manusia. Pemikiran etika beragam, tetapi pada prinsipnya membicarakan asas-
asas dari tindakan dan perbuatan manusia, serta sistem nilai apa yang
terkandung di dalamnya.
2. Etika khusus, membahas prinsip-prinisp tersebut di atas dalam hubungannya
dengan berbagai aspek kehidupan manusia, baik sebagai individu (etika
individual) maupun makhluk sosial (etika sosial). Etika khusus dibagi menjadi 2
macam, yakni etika individual dan etika sosial:
a. Etika individual, membahas kewajiban manusia terhadap dirinya sendiri dan
dengan kepercayaan agama yang dianutnya serta kewajiban dan
tanggungjawabnya terhadap Tuhan.
b. Etika sosial, membahas norma-norma sosial yang harus dipatuhi dalam
hubungannya dengan manusia, masyarakat, bangsa, dan negara.
Pancasila merupakan suatu sistem nilai kebaikan yang di dalamnya terkandung nilai
kebenaran dan nilai keindahan, yang terdiri dari nilai dasar ketuhanan, kemanusiaan,
persatuan, kerakyatan, dan keadilan. Sementara itu, penjabarannya ada dalam norma-
norma kehidupan, yaitu dalam adat kebiasaan, sopan santun, dan hukum. Kelima sila dari

4
pancasila yang memuat nilai-nilai kehidupan berbangsa dan bernegara dijelaskan sebagai
berikut:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa: Sila Ketuhanan Yang Maha Esai ini nilai-
nilainya meliputi dan menjiwai keempat sila lainnya. Dalam sila ini terkandung
nilai bahwa negara yang didirikan adalah sebagai perantaraan tujuan manusia
sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa.
2. Sila Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab: Dalam sila ini terkandung nilai-nilai
bahwa negara harus menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sebagai
makhluk yang beradab dan bermoral.
3. Sila Persatuan Indonesia: Dalam sila ini terkandung nilai bahwa negara adalah
sebagai penjelmaan sifat kodrat manusia yaitu sebagai makhluk individu dan
sosial. Negara merupakan suatu persekutuan hidup bersama di antara elemen-
elemen yang membentuk negara yang berupa suku, ras, kelompok, golongan,
maupun kelompok agama.
4. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam
Permusyawaratan Perwakilan: Nilai yang terkandung di dalamnya adalah
bahwa hakikat negara bertujuan mewujudkan harkat dan martabat bahwa
manusia dalam suatu wilayah. Rakyat adalah subjek pendukung pokok negara.
Negara adalah dari, oleh, dan untuk rakyat, sehingga rakyat adalah asal mula
kekuasaan negara. Dalam sila ini terkandung nilai demokratis yang secara
mutlak harus dilaksanakan.
5. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia: Dalam sila ini terkandung
nilai-nilai yang merupakan tujuan negara sebagai tujuan dalam hidup bersama.
Oleh karena itu, terkandung nilai keadilan yang harus terwujud dalam
kehidupan bersama.

2.2 Pengertian Radikalisme dan Terorisme


Apa sesungguhnya radikalisme? Kalidjernih, (2010:140) menyatakan bahwa
radikalisme adalah suatu komitmen kepada perubahan keseluruhan yakni yang
menantang struktur dasar atau fundamental, tidak hanya pada lapisan-lapisan superfisial.
Secara etimologis radikalisme berasal dari kata radix (latin) yang berarti akar yang
kemudian menjadi inti dari makna radicalism yang secara politik kemudian diarahkan
kepada setiap gerakan yang ingin merubah sistem dari akarnya.

5
Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata teror adalah kegiatan yang
menciptakan ketakutan, kengerian, atau kekejaman oleh seseorang atau golongan. Teroris
adalah orang yang menggunakan kekerasan untuk menimbulkan rasa takut, biasanya
untuk tujuan politik (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1995:1048). Terorisme adalah
penggunaan kekerasan terhadap sasaran sipil untuk menimbulkan ketakutan sebagai
usaha untuk mencapai suatu tujuan (terutama tujuan politik).
Menurut Hukum Positif Indonesia: UU Nomor 15 Tahun 2003, Bab III pasal 6,
dikemukakan “bahwa setiap orang yang dengan sengaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap orang secara
meluas atau menimbulkan korban yang bersifat masal dengan cara merampas
kemerdekaan atau hilangnya nyawa dan harta benda orang lain atau mengakibatkan
kerusakan atau kehancuran terhadap objek-objek vital yang strategis atau lingkungan
hidup atau fasilitas publik atau internasional” diancam dengan pidana hukuman mati,
penjara seumur hidup, atau penjara 4 tahun hingga 20 tahun.

2.3 Dari Radikalisme ke Terorisme


Terorisme bukan hanya persoalan siapa pelaku, kelompok, dan jaringannya.
Namun, lebih dari itu terorisme merupakan tindakan yang memiliki akar keyakinan,
doktrin, dan ideologi yang dapat menyerang kesadaran masyarakat. Tumbuh suburnya
terorisme tergantung di lahan mana ia tumbuh dan berkembang. Jika ia hidup di tanah
gersang, maka terorisme sulit menemukan tempat, sebaliknya jika ia hidup di lahan yang
subur maka ia akan cepat berkembang. Ladang subur tersebut menurut Hendropriyono
adalah masyarakat yang dicemari oleh paham fundamentalisme ekstrim atau radikalisme
keagamaan.
Radikalisme merupakan embrio lahirnya terorisme. Radikalisme merupakan suatu
sikap mendambakan perubahan secara total dan bersifat revolusioner dengan
menjungkirbalikkan nilai-nilai yang ada secara drastis lewat kekerasan (violence) dan
aksi-aksi yang ekstrem. Ada beberapa ciri yang bisa dikenali dari sikap dan paham
radikal, yakni intoleran (tidak mau menghargai pendapat dan keyakinan orang lain),
fanatik (selalu merasa benar sendiri dan menganggap orang lain salah), eksklusif
(membedakan diri dari umat Islam pada umumnya), dan revolusioner (cenderung
menggunakan cara-cara kekerasan untuk mencapai tujuan).
Memiliki sikap dan pemahaman radikal saja tidak mesti menjadikan seseorang
terjerumus dalam paham dan aksi terorisme. Ada faktor lain yang memotivasi seseorang
6
bergabung dalam jaringan terorisme. Motivasi tersebut disebabkan oleh beberapa faktor.
Pertama, faktor domestik yakni kondisi dalam negeri yang semisalnya kemiskinan,
ketidakadilan, atau merasa kecewa dengan pemerintah yang berdaulat. Kedua, faktor
internasional, yakni pengaruh lingkungan luar negeri yang memberikan daya dorong
tumbuhnya sentimen keagamaan seperti ketidakadilan global, politik luar negeri yang
arogan, dan imperialisme modern negara adidaya. Ketiga, faktor kultural yang sangat
terkait dengan pemahaman keagamaan yang dangkal dan penafsiran kitab suci yang
sempit dan leksikal (harafiyah). Sikap dan pemahaman yang radikal dan dimotivasi oleh
berbagai faktor di atas seringkali menjadikan seseorang memilih untuk bergabung dalam
aksi dan jaringan terorisme.
Lantas, apa itu terorisme? Banyak ragam pengertian yang mendefinisikan
terorisme. Dari beragam definisi baik oleh para pakar dan ilmuan maupun yang dijadikan
dasar oleh suatu negara, setidaknya memuat tiga hal: pertama, metode, yakni
menggunakan kekerasan; kedua, target, yakni korban warga sipil secara acak; dan ketiga,
tujuan yakni untuk menebar rasa takut dan untuk kepentingan perubahan sosial politik.
Karena itulah, definisi yang dijadikan dasar oleh negara Indonesia dalam melihat
terorisme pun tidak dilepaskan dari ketiga komponen tersebut.

2.4 Terorisme di Indonesia dari Masa ke Masa


Menurut teori sejarah dalam waktu terdapat 4 hal, yaitu perkembangan,
kesinambungan, pengulangan, dan perubahan. Berkaitan dengan itu, teori sejarah
mencakup teori spiral, teori kemajuan, dan teori siklus. Maka, yang terjadi di Indonesia,
terorisme menunjukkan adanya perputaran (pengulangan) dan kadang-kadang ada
perubahan dan variasi dalam penampilannya walaupun semuanya sebenarnya dari sisi
definisi ada unsur yang tetap yang memberi ciri sama dari masa ke masa. Berikut adalah
peristiwa terorisme di Indonesia dari masa ke masa:
2.4.1 Periode 1945-1965
Pada periode ini ditandai dengan berlakunya UUD 1945 tahap I yaitu 18 Agustus
1945 s/d 27 Desember 1949, diteruskan dengan masa berlakunya Konstitusi RIS (27
Desember 1949-17 Agustus 1950) dan masa berlakunya UUDS 1950 (17 Agustus 1950-5
Juli 1959). Pada periode ini ditandai dengan gerakan-gerakan DI/TII yang mencakup
Jawa Barat (1949-1962), DI/TII Ibu Hadjar di Kalimantan (1950-1959), DI/TII Batalyon
426 dan gerombolan lain di Jawa Tengah (1951-1954), DI/TII Kahar Muzakar di
Sulawesi Selatan (1951-1965), DI/TII Daud Beureuh di Aceh (1953-1962) (Bambang S.
7
Sulasmono:2002). Berikut adalah tabel yang menjelaskan kondisi di berbagai bidang
pada masa awal sejarah ketatanegaraan.
No Bidang Fenomena Disintergrasi Pancasila dan Sistem
Ketatanegaraan
1 Ideologi Menguatnya paham komunisme,  Pancasila belum
agama, separatisme, dan mantap sebagai dasar
primodialisme negara dan wawasan
2 Sosial Politik Konfilik antar golongan, SARA kebangsaan
meningkat, serta munculnya  Perubahan bentuk
organisasi dan gerakan-gerakan negara (negara kesatuan
yang mendasarkan promodialisme, → negara serikat →
dan timbul berbagai pemberontakan negara kesatuan)
DI TII, APRA, Pemberontakan  Adanya perubahan
Andi Azis, RMS, UUD 1945 →
PRRI/PERMESTA, G 30 S/PKI, Konsitusi RIS →
menjamurnya partai politik dengan UUDS 1950 → UUD
ormas-ormasnya dan timbul politik 1945
aliran (nasionalisme, sosial  Sistim pemerintahan
demokrat dan komunisme) (Presidensil →
3 Militer ABRI terpecah berdasarkan Parlementer →
matranya masing-masing Presidensil)
4 Kewilayahan Timbulnya gerakan separatis
(pemisahan)
Tabel 2.1 Kondisi di Awal Sejarah Ketatanegaraan RI 1945-1965

Istilah yang menonjol di periode ini bukan terorisme melainkan gerakan


bersenjata dan pengacau keamanan. Permasalahan yang dihadapi adalah bersifat
ideologis dan separatis dengan motivasi dasar yang menjadi penggeraknya adalah bersifat
ideologis-politis juga. Selain gerakan-gerakan politik yang bernuansa ideologis, juga
ditandai oleh gerakan-gerakan yang bernuansa kedaerahan yaitu pemberontakan PRRI
dan Permesta sebagai gerakan separatis yang menghendaki pemisahan wilayah. Dilihat
dari skala sasaran gerakannya, pada periode ini termasuk dalam kategori nasional, yaitu
gerakan yang ditujukan kepada pihak-pihak yang ada pada suatu wilayah dan kekuasaan

8
negara nasional, yang berupa pemberontakan bersenjata, pengacauan stabilitas nasional,
dan gangguan keamanan nasional.
Ditinjau dari perspektif kewarganegaraan unsur civil knowledge, maka
pengetahuan mengenai kewarganegaraan masih lemah, tentu ini berkaitan dengan
pendidikan khususnya dalam kaitannya dengan hubungan antara negara dan warga
negara misalnya demokrasi, negara hukum, penegakan hak asasi manusia. Penghayatan
dalam kehidupan bernegara, penerimaan antara golongan yang satu terhadap golongan
yang lain atau masalah rasa kebangsaan juga belum didukung dengan civil skills yang
memadai (seperti kemampuan berfikir kritis, kecakapan dalam berdemokrasi, dan
kecakapan dalam mewujudkan rasa nasionalisme).
Kehidupan berbangsa pada periode ini juga masih diwarnai dengan kuatnya
etnonasionalisme, ekslusivisme, sehingga gerakan-gerakan yang terjadi pada masa itu
bernuansa ideologis-keagamaan dan kedaerahan. Dilihat dari civil virtue, yang
seharusnya semangat toleransi, nasionalisme/persatuan, keberadaban, dan keadilan
mewarnai kehidupan berbangsa dan bernegara, namun pada kenyataannya kehidupan
berbangsa memperlihatkan kuatnya semangat kelompok baik dari sisi etnis, agama,
maupun politik golongan. Dalam semangat yang demikian itu intoleransi dan timbulnya
distrust bisa terjadi. Kalau hal ini tejadi, maka merupakan hal yang signifikan
mempengaruhi seseorang bersikap curiga, bertindak radikal yang memicu tindakan-
tindakan terorisme.
Politik aliran pada periode ini cukup menonjol tetapi belum disertai dengan
semangat berdemokrasi dan budaya demokrasi yang baik. Akibatnya yang menonjol
adalah semangat egosentris yang menegasi kelompok lain. Civil knowledge, civil skills,
dan civil virtue juga masih rendah. Hal tersebut juga disebabkan oleh pemahaman
mengenai ideologi (Pancasila), demokrasi, negara hukum, pengahayatan kehidupan
bersama yang masih kurang memadai. Dilihat dari civil skills, memperlihatkan kecakapan
dalam berdemokrasi kurang didukung oleh kesediaan untuk menghormati dan toleransi
serta penerimaan dalam kehidupan bersama. Semangat untuk menang sendiri dalam
berdemokrasi terlihat cukup kuat dalam kelompok (politik aliran). Civil virue yang
mengedepankan nilai-nilai yang membentuk karakter baik (good character) pada periode
ini juga kurang mendapat iklim yang baik karena semangat egosentris dalam kehidupan
politik sangat kuat. Hal tersebut ditandai dengan konfik-konflik ideologis yang
memuncak pada pemberontakan G/30/S/PKI.

9
2.4.2 Periode 1966-1998 (Masa Orde Baru)
Periode ini pemberontakan bersumber pada ideologi masih terasa tetapi tidak
mendapat tempat karena negara cukup kuat menghadapi pemberontkan-pemberontakan
itu, seiring dengan menguatnya Pancasila sebagai dasar negara karena didukung oleh
sistem ketatanegaraan yang lebih menempatkan stabilitas keamanan dan politik.
Sentimen kedaerahan dan kecemburuan terhadap daerah lain terjadi sehingga menjadi
benih-benih terjadinya gerakan untuk memisahkan diri dari negara kesatuan. Teror yang
terjadi pada masa ini berupa gangguan-gangguan keamanan dan teritorial sehingga
menuntut penguatan pada aspek keamanan dilakukan melalui penerapan Dwi Fungsi
ABRI. Istilah terorisme lebih merujuk pada gerakan pengacau keamanan bersenjata.
Obsesi untuk menciptakan terutama stabilitas keamanan dan stabilitas di berbagai bidang
terjadi pada masa Orde Baru sebagai reaksi dari kondisi sebelum Orde Baru di mana
Indonesia tercatat sebagai negara yang tidak stabil di dunia. Stabilitas keamanan dan
sosial politik dapat mendorong terwujudnya pembangunan di bidang ekonomi. Berikut
adalah tabel kondisi di Zaman Orde Baru.
No Bidang Fenomena Keadaan Implikasi
Terhadap Teroris
1 Ideologi Penghayatan dan Pancasila  Tidak terlalu
kesatuan ideologi semakin kuat banyak bom
berjalan meletus
2 Politik Penyederhanaan dan Stabilitas politik  Pemberontakan
fungsi partai politik terwujud dan gejolak
(Golkar, PDI, PPP) dapat ditekan
3 Sosial Integrasi sosial/nasional  Negara relatif
berjalan, berkurangnya stabil/negara
konflik kesukuan, dan lebih dominan
pendidikan semakin (kebebasan
meluas dibatasi)
4 Budaya  Berkembangnya  Pembangunan
Bahasa Indonesia berjalan lebih
sebagai bahasa bersifat top
nasional (sebagai down
alat komunikasi)

10
 Berkembangnya
kebudayaan nasional
dan keterbukaan
masyarakat, serta
surutnya
etnosentrisme dan
primodialisme
5 Ekonomi  Pembangunan
ekonomi berjalan
dan semakin luas
jangkauannya
 Terbukanya
kesempatan berusaha
dan adanya peluang
bagi rakyat untuk
berpartisipasi
 Adanya program
kemitraan dan Inpres
Desa Tertinggal
6 Hankam  Dimilikinya
wawasan dan doktrin
yang sama pada
semua angkatan
(AU, AD, AL, dan
Kepolisian) dan
Peran ABRI dengan
Dwi Fungsinya
7 Kewilayahan  Berkembangnya
hukum laut yang
menjamin kesatuan
wilayah (ZEE, laut
teritorial, dll)
Tabel 2.2 Kondisi di Zaman Orde Baru

11
Ditinjau dari perspektif kewarganegaraan khususnya pada unsur civil knowledge,
pada masa Orde Baru, negara berusaha untuk mengembangkan pendidikan Pancasila dan
kewarganegaraan sehingga warga negara akan lebih memahami falsafah bangsa, ideologi
nasional, dan hak serta kewajiban sebagai warga negara. Pemahaman (civil knowledge)
sangat diperlukan bagi warga negara agar menjadi warga negara yang baik (good citizen).
Di samping itu, civil skill juga memperlihatkan peningkatan terutama pada dekade tahun
1990-an yang ditandai dengan keinginan warga masyarakat untuk ikut menentukan
jalannya pemerintahan melalui menguatnya kebebasan berpendapat dan organisasi
masyarakat (LSM). Sedangkan jika dilihat dari civil virtue menunjukkan keinginan untuk
menegakkan prinsip-prinsip HAM maupun demokrasi seperti kebebasan, intoleransi,
penegakan hukum, dan keadilan yang puncaknya pada keinginan untuk mewujudkan
pemerintahan yang baik dan bersih (good and clean goverments).
2.4.3 Periode 1999-2004
Periode ini merupakan masa transisi sehingga situasi kehidupan berbangsa dan
bernegara belum mantap di berbagai bidang. Teror dan gangguan keamanan, konflik
melanda kehidupan berbangsa dan bernegara. Ada nuansa politik, ekonomi, keamanan
dalam konflik sebagaimana terjadi di Jawa, Ambon, Poso, Bali, Kalimantan (Sampit),
dan daerah lain. Teror dalam periode ini lebih terwujud pada gerakan mengacau
keamanan dan ketentraman masyarakat, walaupun intoleransi ke arah politik juga pasti
ada. Era refomrasi ditandai oleh kebebasan dan otonomi memunculkan organisasi
kemasyarakatan dan LSM. Namun organisasi dan LSM yang berkembang tidak serta
merta terhitung sebagai bagian dari civil society karena kebebasan di era reformasi
kadang-kadang ada yang menghayatinya secara salah. Masyarakat baru yang diharapkan
adalah sebagai masyarakat yang menghormati ketertiban, penegakan hukum, penegakan
hukum Hak Asasi Manusia, masyarakat yang beradab, menegakkan keadilan, persatuan,
dan religius, namun kenyataannya masih ada anarkisme, kekerasan, pemaksaan
kehendak, dan main hakin sendiri. Berikut adalah tabel yang menunjukkan teror bom di
masa pemerintahan transisi dalam Haryono, Endi. 2010. Kebijakan Anti Terorisme
Indonesia: Dilema Demokrasi dan Represi, JSP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol
14 Nomor 2, November ISSN 1410-4696.

12
No Tahun Bentuk Teror
1 1999 Pemboman Toserba Ramayan Jakarta, Pemboman Mall Kelapa
Gading, Pemboman Hayam Wuruk Plaza
2 2000 Bom Kedubes Filipina (1 Agustus 2000), Bom Kedubes Malaysia (27
Agustus 2000), dan Bom Malam Natal (24 Desember 2000)
3 2001 Bom Gereja Santa Anna dan HKBP (22 Juli 2001), Bom Plaza
Atrium Senen Jakarta (23 September 2000), Bom Restoran KFC
Makasar (12 Oktober 2001), dan Bom Sekolah Australia (AIS)
Pejaten Jakarta
4 2002 Bom Tahun Baru (1 Januari 2002), Bom Bali (12 Oktober 2002), dan
Bom Restoran McDonald’s (5 Desember 2002)
5 2003 Bom Kompleks Mabes Polri Jakarta (3 Februari 2003), Bom Bandara
Soekarno-Hatta Jakarta (27 April 2003), dan Bom JW Mariott (5
Agustus 2003)
6 2004 Bom Palopo (10 Januari 2004), Bom Kedubes Australia, dan ledakan
Bom di Gereja Immanuel Palu, Sulawesi Tengah (12 Desember
2004)
Tabel 2.3 Teror Bom di Masa Pemerintahan Transisi

Pada periode ini karena masih dalam periode transisi maka keadaan yang belum
menentu atau belum stabil ikut mempengaruhi kehidupan warga negara. Kelemahan yang
tampak terjadi pada civil skills yang belum mantap. Demo anarkis, provokasi, dan
penggunaan kelompok tertentu untuk kepentingan politik menunjukkan bahwa
keterampilan demokrasi masih kurang didukung dengan sikap yang cerdas. Berfikir kritis
sering ditinggalkan sehingga perasaan dan emosi lebih dominan dan menguat dalam
interaksi sosial. Civil society juga belum meluas walaupun LSM tumbuh bak jamur di
musim hujan, namun kualitas LSM belum semua mencerminkan karakter civil society
yang baik.
Dilihat dari civil virtue terkadang kecenderungan gaya dan sikap pragmatis, bebas
yang disertai dengan menguatnya kesadaran individu dalam interaksi kehidupan
bermasyarakat kadang-kadang menenggelamkan sikap mental yang ideal seperti
kejujuran, keadilan, toleransi, dan kebenaran. Akibatnya, efektivitas dalam menegakkan
nilai-nilai kearifan dan keutamaan yang disuarakan dalam reformasi melemah karena

13
persaingan yang tidak sehat. Mengendornya sikap gotong royong, dan rasa penerimaan
terhadap pihak lain dalam kehidupan bersama.
2.4.4 Periode 2005-2015
Sesuai dengan era globalisasi, maka terorisme dalam periode ini memperlihatkan
corak global juga yaitu memanfaatkan jaringan internasional sehingga terorisme tidak
hanya berasal dari warga negara/bangsa sendiri melainkan juga dari warga negara dan
bangsa asing. Pada periode ini cara-cara yang digunakan untuk melakukan teror juga
semakin canggih seiring dengan kemajuan teknologi modern. Berikut disediakan tabel
yang menunjukkan peristiwa teror pada periode 2005-2015.
No Tahun Bentuk Terorisme
1 2005 Bom meledak di Ambon (21 Maret 2005), Bom Tentena (28 Mei
2005), Bom Pamulang (8 Juni 2005), Bom Bali (1 Oktober 2005),
Bom Bali II (1 Oktober 2005), Bom Pasar Palu (31 Desember 2005)
2 2009 Bom Jakarta (17 Juli 2009)
3 2015 Teror lewat SMS dan isu tentang ISIS. Teror yang berkedok
penipuan jarigan internasional Islamic State Irak and Suriah dan
juga terjadi penolakan terhadap ISIS di berbagai daerah melalui
poster-poster
Tabel 2.4 Teror 2005-2015

Peristiwa penyerangan World Trade Center (WTC) yaitu gedung menara kembar
di AS, misalnya merupakan bukti bahwa begitu canggih peralatan yang digunakan teroris
sehingga semua pihak tidak dapat mencegahnya. Kemudahan menciptakan ketakutan
dengan teknologi tinggi dan liputan media yang luas membuat jaringan dan tindakan
teror semakin mudah mencapai tujuan, yang tentunya bukan hanya yang diarahkan pada
pemerintah, tetapi juga tempat-tempat vital dan juga kepada masyarakat dengan modus
dan motivasi yang beragam pula. Motif penipuan seperti teror melalui SMS dari yang
berkedok transfer uang sebagai syarat memperoleh undian bohong-bohongan sampai
kepada teror SMS untuk meminta pulsa.

14
2.4.5 Periode 2016-2018
Berikut disajikan tabel yang menunjukkan aksi dan rencana teror pada periode
2016-2018.
No Tahun Bentuk Terorisme
1 2016 Bom Thamrin (14 Januari), Penggagalan Rencana Teror Surabaya (8
Juni), Bom Mapolresta Surakarta (5 Juli), Rencana Aksi Teror
Batam (5 Agustus), Aksi Teror Gereja Medan (28 Agustus), Aksi
Teror Gereja Samrinda (13 November), Rencana Bom Istana (10
Desember), Aksi Teror Solo (15 Desember), Rencana Peledakan di
Bali (18 Desember)
2 2017 Bom Cicendo Bandung (Akhir Februari), Bom Kampung Melayu
(Akhir Mei), Penyerangan Polda Sumut, Pembakaran Polres
Dharmasraya Sumbar (12 November), Pengakuan Simpatisan ISIS
3 2018 Bom 3 Gereja di Surabaya (Akhir Mei), Teror di Mako Brimob
(Mei), Teror di Mapolda Riau (Mei), Bom Bunuh Diri di Polrestabes
Surabaya dan Rusunawa Wonocolo Sidoardjo (Mei), Pembunuhan
pekerja jembatan di Papua (Desember)
Tabel 2.5 Teror 2016-2018

2.5 Pandangan Pancasila: Radikalisme dan Teorisme Sebagai Masalah bagi


Negara Demokrasi dan Negara Hukum
Dari sudut pandang perspektif kewarganegaraan, maka radikalisme merupakan
masalah bagi demokrasi karena radikalisme bertolak belakang dengan nilai-nilai
pancasila dan nilai-nilai demokratis. Setiap negara demokratis dapat dipastikan adalah
negara hukum sehingga radikalisme dan terorisme sebenarnya juga merupakan masalah
serius dalam negara hukum. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai demokrasi sangat besar
peranannya dalam membentuk karakter masyarakat baru yang diharapkan setelah
reformasi. Masyarakat baru itu terbentuk melalui proses perubahan sikap individu warga
negara yang mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan rasa hormat serta tanggung jawab
yang juga ditandai oleh hal-hal sebagai berikut: (Sri Wuryan dan Syaifullah: 2009)
1. Menunjung tinggi harkat, derajat, dan martabat manusia sebagai sesama
makhluk Tuhan Yang Maha Kuasa.

15
2. Mendahulukan kepentingan bersama tanpa mengabaikan kepentingan pribadi
dan golongan.
3. Menghargai pendapat orang lain dan tidak memaksakan pendapat kepada pihak
atau orang lain.
4. Menyelesaikan masalah secara musyawarah untuk mencapai kata mufakat yang
diliputi oleh semangat kekeluargaan.
5. Menjunjung tinggi supremasi hukum dengan cara menaati norma-norma hukum
dan norma lainnya secara bertanggungjawab.
6. Melaksanakan prinsip kebebasan disertai dengan tanggungjawab sosial
kemasyarakatan.
7. Mengutamakan persatuan dan kesatuan atau integrasi nasional.
8. Tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang diskrimintif atas dasar agama, ras,
keturunan, jenis kelamin, status sosial, dan golongan politik.
9. Melaksanakan fungsi peran kontrol sosial terhadap jalannya pemerintahan
secara kritis dan objektif.
Berhubung terorisme sangat berkaitan dengan pola pikir bertindak, maka
bagaimana seharusnya berpikir yang berorientasi Pancasila dan bagaimana seharusnya
hidup bersama sebagai masyarakat yang menunjung tinggi nilai religiusitas,
kemanusiaan, persatuan, demokrasi, dan keadilan dipahami dan dihayati. Tanpa hal
tersebut maka keterampilan dalam hidup berbangsa dan bernegara akan jatuh pada
semangat yang bertentangan dengan pola berpikir dan nilai-nilai Pancasila, seperti pola
pikir yang sempit, picik, negatif, kurang menerima keberadaan pihak lain, egosentris,
eksklusif, memaksakan kehendak, dan main hakim sendiri.
Romo Frans Magnis-Suseno (2015) pernah mengatakan bahwa rasa kebangsaan
hanya akan dapat dipertahankan kalau satu syarat dipenuhi yaitu kesediaan saling
menerima dan saling mengakui dalam keikhlasan masing-masing. Lebih lanjut
dikemukakan bahwa kesediaan untuk saling menerima dalam perbedaan itulah
merupakan komitmen inti bangsa Indonesia dalam Pancasila. Mengingat teori sejarah di
atas, maka terorisme dapat terulang kembali sebagaimana teori perputaran, tetapi juga
mengalami perubahan dan variasi dalam tampilannya sesuai dengan kondisi dan situasi
sebagaimana teori spiral. Atas dalil apapun, terorisme jelas bertentangan dengan ideologi
negara (Pancasila). Motivasi dan sasaran terkadang tetapi tapi juga berubah. Hal tersebut
juga sangat ditentukan oleh faktor internal dan eksternal.

16
2.6 Kerentanan dan Penangkalan Pemuda terhadap Radikal Terorisme
Masa transisi krisis identitas di kalangan pemuda berkemungkinan untuk
mengalami apa yang disebut Quintan Wiktorowicz (2005) sebagai cognitive opening
(pembukaan kognitif), sebuah proses mikro-sosiologis yang mendekatkan mereka pada
penerimaan terhadap gagasan baru yang lebih radikal. Alasan-alasan seperti itulah yang
menyebabkan mereka sangat rentan terhadap pengaruh dan ajakan kelompok kekerasan
dan terorisme. Sementara itu, kelompok teroris menyadari masalah psikologis generasi
muda. Kelompok teroris memang mengincar mereka yang selalu merasa tidak puas,
mudah marah, dan frustasi baik terhadap kondisi sosial maupun pemerintahan. Mereka
juga telah menyediakan apa yang mereka butuhkan terkait ajaran pembenaran, sosial, dan
strategi meraih perubahan, serta rasa kepemilikan. Kelompok teroris juga menyediakan
lingkungan, fasilitas, dan perlengkapan bagi remaja yang menginginkan kegagahan dan
melancarkan agenda kekerasannya.
Sebagai contoh Wildan merupakan santri di Pondok Al Islam di Tenggulun-
Lamongan yang dikelaola oleh keluarga Amrozi terpidana Bom Bali 2002. Dalam
usianya yang masih belia, pemuda asal Lamongan ini memilih mengakhiri hidpnya di
tanah yang penuh konflik. Fakta-fakta tersebut memperlihatkan bagaimana kerentanan
kalangan generasi muda dari keterpengaruhan ajaran sekaligus ajakan yang disebarkan
oleh kelompok radikal baik secara langsung ataupun tidak langsung melalui media online
yang menjadi sangat populer akhir-akhir pekan ini. Karena itulah, diperlukan upaya
untuk membentengi generasi muda dari keterpengaruhan ajaran dan ajakan kekerasan
merupakan tujuan bersama. Ada tiga institusi sosial yang sangat penting untuk
memerankan diri dalam melindungi generasi muda. Pertama, pendidikan melalui peran
lembaga pendidikan, guru, dan kurikulum dalam memperkuat wawasan kebangsaan,
sikap moderat, dan toleran pada generasi muda. Kedua, keluarga melalui peran orang tua
dalam menanamkan cinta dan kasih sayang kepada generasi muda, dan menjadikan
keluarga sebagai unit konsultasi dan diskusi. Ketiga, komunitas melalaui peran tokoh
masyarakat di lingkungan masyarakat dalam menciptakan ruang kondusif bagi
terciptanya budaya perdamaian di kalangan generasi muda.
Selain peran yang dilakukan secara institusional melalui kelembagaan pendidikan,
keluarga, dan lingkungan masyarkat, generasi muda juga dituntut mempunyai imunitas
dan daya tangkal yang kuat dalam menghadapi pengaruh dan ajakan radikal terorisme.
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan generasi muda dalam rangka menangkal pengaruh
paham dan ajakan radikal, yakni:
17
1. Menanamkan jiwa nasionalisme dan kecintaan terhadap Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
2. Perkaya wawasan keagamaan yang moderat, terbuka, dan toleran.
3. Bentengi diri dari keyakinan diri dengan selalu waspada terhadap provokasi,
hasutan, dan pola rekruitmen teroris baik di lingkungan masyarakat maupun
dunia maya.
4. Membangun jejaring dengan komunitas damai baik offline maupun online untuk
menambah wawasan dan pengetahuan.
5. Bergabunglah dengan berbagai komunitas, sebagai media komunikasi dalam
rangka membanjiri dunia maya dengan pesan-pesan perdamaian dan cinta
NKRI.

18
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Terorisme digolongan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime) karena
mempunyai akar dan jaringan kompleks yang tidak hanya bisa didekati dengan
pendekatan kelembagaan melalui penegakan hukum semata. Terorisme, dengan segala
dalil yang dibawanya jelas bertentangan dengan nilai-nilai luhur pancasila. Keterlibatan
komunitas masyarakat terutama lingkungan, lembaga pendidikan, keluarga, dan
lingkungan masyarakat, serta generasi muda itu sendiri dalam mencegah terorisme
menjadi sangat penting. Karena itulah dibutuhkan keterlibatan seluruh komponen
masyarakat dalam memerangi terorisme demi keberlangsungan kehidupan berbangsa dan
bernegara tercinta yang damai, adil, dan sejahtera.

3.2 Saran
Makalah ini sifatnya hanya membantu memudahkan mahasiswa untuk memahami
radikalisme dan terorisme dalam pelanggaran nilai etis pancasila yang tentunya sangat
terbatas baik contoh maupun penjelasannya. Oleh karenanya penulis berharap bagi para
pembaca bisa menambah referensi lain. Karena jika hanya menggunakan makalah ini,
akan sangat sedikit yang akan di dapat. Penulis berharap agar para pembaca dapat
memberi kritik dan masukan yang sifatnya membangun demi menciptakan makalah yang
baik dan dapat dipahami oleh pembaca.

19
DAFTAR PUSTAKA

Budimansyah, D. 2010. Penguatan Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun


Karakter Bangsa. Bandung: Widya Aksara Press.
Depdikbud. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hakam, K.A. 2000. Pendidikan Nilai. Bandung: MKDU Press.
Haryono, Endi. 2010. Kebijakan Anti Terorisme Indonesia: Dilema Demokrasi dan
Represi, JSP: Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol 14 Nomor 2, November ISSN
1410-4696.
Kalidjernih, F. K. 2010. Kamus Study Kewarganegaraan, Perspektif Sosiologikal, dan
Politikal. Bandung: Widya Aksara.
Sumarsono, dkk. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka
Utama.
Winataputra, U.S. dan Dasmin Budomansyah. 2007. Civic Education, Konteks,
Landasan, Bahan Ajar dan Kultur Kelas. Bandung: Universitas Pendidikan
Indonesia.
Wuryan, Sri. dan Syaifullah. 2008. Ilmu Kewarganegaraan. Bandung: Laboratorium
Pendidikan Kewarganegaraan.

20

Anda mungkin juga menyukai