Anda di halaman 1dari 41

“Analisa Drug Related Problem (DRP) Pada Pasien

Anak dengan Penyakit Bronkopneumonia”

MAKALAH

Diajukan Sebagai Pengembangan Profesi Pada Butir Kegiatan Dalam


Pengusulan Angka Kredit Jabatan Fungsional Tenaga Teknis Kefarmasian

Oleh :

NAMA : YESI RAHMA SARI DEWI, Amd. Far


NIP : 19870702 201001 2 010

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH KOTA PADANG PANJANG

2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin, puji dan syukur penulis ucapkan

kehadirat Allah SWT yang selalu melimpahkan rahmat serta karunia-Nya

sehingga penulis dapat menyelesaikan Case Report Study ini. Shalawat

beserta salam semoga senantiasa terlimpah curahkan kepada Nabi

Muhammad SAW.

Makalah ini adalah salah satu syarat untuk pengusulan angka kredit

jabatan fungsional kesehatan. Kegiatan ini dapat terlaksana dengan baik

berkat bantuan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak.

Terima kasih atas semua bantuan yang telah diberikan kepada

penulis, semoga Allah SWT selalu membalas segala kebaikan dan

melimpahkan rahmat serta karunia-Nya kepada semua pihak yang telah

membantu penulis, Aamiin.

Dalam penulisan tugas khusus ini, penulis menyadari masih banyak

terdapat kekurangan dan kelemahan. Maka dengan segala kerendahan

hati, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca agar tugas

khusus ini menjadi lebih baik lagi. Semoga tugas khusus ini dapat

bermanfaat.

Padang Panjang, 2023

Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
1.4 Manfaat
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Bakteri
2.2 Antibiotik
2.3 Bronkopneumonia
BAB III TINJAUAN KASUS
3.1 Identitas Pasien
3.2 Riwayat Penyakit
3.3 Pemeriksaan Fisik
3.4 Pemeriksaan Penunjang
3.5 Diagnosis
3.6 Penatalaksanaan
3.7 Follow Up
3.8 Analisa Drug Releted Problem (DRP)
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
DAFTAR PUSTAKA
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pneumonia adalah inflamasi yang mengenai parenkim paru.

Sebagian besar disebabkan oleh mikroorganisme (virus atau bakteri) dan

sebagian kecil disebabkan oleh hal lain seperti aspirasi, radiasi dan

lainnya (Ashraf, 2010). Bronkopneumonia disebut juga pneumonia

lobularis yaitu suatu peradangan akut yang disebabkan oleh

mikroorganisme pada parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya

mengenai bronkiolus dan juga mengenai alveolus di sekitarnya, yang

sering menimpa balita dan anak-anak. Bronkopneumonia merupakan

salah satu penyakit pernapasan pada balita, bronkopneumonia

merupakan penyakit terbesar penyebab kematian tertinggi dikalangan

anak-anak (Fajri & Purnamawati, 2020).

Menurut World Health Organization (WHO), sekitar 800.000 hingga 2

juta anak meninggal dunia tiap tahun akibat bronkopneumonia. Bahkan

United Nations Children’s Fund (UNICEF) dan WHO menyebutkan

bronkopneumonia sebagai kematian tertinggi anak balita, melebihi

penyakit-penyakit lain seperti campak, malaria serta Acquired

Immunodeficiency 3 Syndrome (AIDS). Pada tahun 2017

bronkopneumonia setidaknya membunuh 808.694 anak di bawah usia 5

tahun (WHO, 2019).


Seseorang yang mengalami jenis bronkopneumonia dapat merasa

sulit bernapas lega atau sesak napas karena paru-paru mereka tidak

mendapatkan suplai udara yang cukup. Bronkopneumonia adalah jenis

pneumonia yang paling umum terjadi pada anak-anak. Kondisi ini dapat

menimbulkan gejala ringan hingga berat dan berisiko menyebabkan

komplikasi yang membahayakan jiwa (WHO, 2019). Pada anak-anak

pneumonia lebih banyak diderita oleh laki-laki dibandingkan dengan

perempuan. Hal ini dipengaruhi oleh adanya perbedaan fisik anatomi

saluran pernapasan pada anak laki – laki dan perempuan. Secara umum

dalam ukuran tertentu saluran pernapasan anak laki – laki lebih kecil

dibandingkan dengan anak perempuan. Hal ini dapat meningkatkan

frekuensi penyakit saluran pernapasan. Selain itu Depkes RI (2004)

menyatakan anak-anak yang berusia 0-24 bulan lebih rentan terhadap

pneumonia dibanding anak-anak yang berusia di atas 2 tahun dan hal ini

mempengaruhi kekebalan (imunitas) bayi.

Pemilihan dan penggunaan terapi antibiotika yang tepat dan rasional

akan menentukan keberhasilan pengobatan untuk menghindari terjadinya

resistensi bakteri. Hal yang perlu diperhatikan untuk mengetahui

rasionalitas pengobatan meliputi tepat dosis, tepat obat dan tepat lama

pemberian serta efektivitas terapi antibiotik yang ditinjau berdasarkan

(hilangnya demam, hilangya batuk dan hilangnya sesak napas).


1.2 Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan bronkopneumonia serta

penatalaksanaannya?

2. Apakah ada kemungkinan terjadi Drug Related Problem (DRP)

dari obat-obatan yang diberikan kepada pasien?

1.3 Tujuan

1. Untuk mengetahui apa yang dimaksud dengan bronkopneumonia

dan bagaimana penatalaksanaannya.

2. Untuk mengetahui apakah ada kemungkinan Drug Related

Problem (DRP) dari obat-obatan yang diberikan kepada pasien.

1.4 Manfaat

1. Sebagai media meningkatkan kemampuan dan pengetahuan

penyusun sendiri.

2. Sebagai bahan bacaan dan penambah wawasan bagi

masyarakat, khususnya bagi sesama tenaga kesehatan.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Bakteri

2.1.1 Definisi Bakteri

Koes (2006) menyebutkan ada beberapa faktor yang dapat

mempengaruhi pertumbuhan bakteri antara lain adalah :

a. Sumber energi.

b. Sumber karbon.

c. Sumber nitrogen.

d. Sumber garam-garam anorganik.

e. Bakteri-bakteri tertentu membutuhkan faktor-faktor tumbuh

tambahan.

Menurut (Fardiaz, 1989) Pertumbuhan bakteri memiliki beberapa

fase, beberapa fase pertumbuhan bakteri yaitu :

a. Fase adaptasi.

b. Fase pertumbuhan.

c. Fase logaritmik.

d. Fase pertumbuhan lambat.

e. Fase pertumbuhan tetap (statis) dan Fase menuju kematian dan

fase kematian

2.1.2 Klasifikasi Bakteri

A. Jenis-jenis bakteri berdasarkan karakterisitik dinding sel :

1. Bakteri Gram Positif


Mampu mempertahankan zat warna utama dalam pewarnaan

Gram, yaitu Gentian Violet (ungu kristal iodium), sehingga nampak

berwarna ungu saat pengamatan dikarenakan dinding sel kelompok

bakteri ini tersusun oleh sebagian besar Peptidoglikan, yang mampu

mengikat zat warna dan tidak rusak saat dicuci dengan alcohol.

Bakteri gram positif hanya memiliki membran plasma yang tunggal

dengan dikelilingi oleh dinding sel yang tebal dari peptidoglikan.

Hampir 90% dinding sel bakteri gram positif ini tersusun dari

peptidoglikan. Contoh dari bakteri gram positif ialah Clostridium

perfringens, Staphylococcus aureas, Neisseria gonnorrhoaeae,

Treponema pallidum, Vibrio cholerae dan Bacillus subtili,

Streptococcus pneumoniae.

2. Bakteri Gram Negatif

memiliki komposisi dinding sel yang sebagian besar tersusun

dari lapisan lipid, sehingga pada saat pewarnaan kurang dapat

mempertahankan zat warna utama terutama saat dicuci dengan

alkohol (lipid rusak saat dicuci dengan alkohol), akibatnya kelompok

bakteri ini memberikan kenampakan warna merah (warna dari zat

warna ke dua: safranin atau air fuchsin) di akhir kegiatan pewarnaan

Gram. Bakteri Gram Negatif mempunyai sistem membran yang

ganda dengan membran plasma bakteri dilindungi membran luar

permeabel, bakteri negatif juga memiliki dinding sel peptidoglikan di

antara membran luar dan membran dalam. Contoh dari bakteri gram

negative ialah Hemophilus influenza, klebsiella pneumonia,


pseudomonas aureginosa, Streptococcus mutans, Staphylococcus

aureus, Eschericia coli.

2..1.3 Jenis-jenis bakteri berdasarkan sumber oksigen yang

diperlukan dalam proses respires :

1. Bakteri Aerob

Bakteri aerob merupakan bakteri yang membutuhkan O2

untuk pertumbuhannya. Sistem enzimnya membutuhkan O 2 sebagai

elektron aseptor pada proses fosforilasi oksidatifnya. Contoh bakteri

areob adalah Bacillus sp., Escherichia coli, dan Streptococcus.

2. Bakteri Anaerob

Bakteri anaerob adalah bakteri yang tumbuh dalam suasana kurang

atau tidak ada oksigen (O2). Keberadaan oksigen justru menyebab

bakteri mati atau terhambat pertumbuhannya. Hal ini dikarenakan

dalam suasana ini akan terbentuk H2O2 yang bersifat toksik terhadap

bakteri. Bakteri anaerob dibedakan menjadi 2 yaitu anaerob obligat

yaitu bakteri yang sama sekali tidak dapat tumbuh pada kondisi ada

oksigen dan anaerob fakultatif, yaitu bakteri yang masih dapat hidup

pada kondisi ada sedikit oksigen. Contoh bakteri anaerob yang

memiliki arti klinis penting adalah bakteri Clostridium tetani yang

merupakan bakteri penyebab tetanus.

2.2 Antibiotik

Antibiotik adalah zat-zat kimia yang dihasilkan oleh fungi (jamur) dan

bakteri, memiliki khasiat untuk mematikan atau menghambat pertumbuhan

kuman, serta sifat toksik (racun) yang ditimbulkan bagi manusia relatif
lebih kecil. Cara kerja antibiotik yang terpenting adalah perintangan

sintesa protein, dengan sintesa protein ini kuman menjadi musnah atau

tidak berkembang (Tjay dan Rahardja, 2007).

2.3 Bronkopneumonia

2.3.1Definisi

Pneumonia adalah penyakit akut pada jaringan paru-paru meliputi

alveolus dengan gejala batuk pilek disertai sesak nafas atau nafas cepat

(Simanjuntak et al. 2017). Pneumonia merupakan peradangan pada

parenkim paru mulai dari bagian alveoli sampai ke bronkus atau

bronkiolus yang dapat menular dan ditandai dengan konsolidasi (proses

patologis). Bronkopneumonia merupakan salah satu pneumonia dengan

pola penyebaran berbercak secara teratur pada satu atau lebih area

dalam bronki dan menyebar ke parenkim paru yang berada di sekitarnya.

(Smeltzer et al. 2002). Bronkopneumonia atau pneumonia lobaris adalah

peradangan paru yang yang mengakibatkan infeksi pada saluran napas

bagian bawah dari parenkim paru yang melibatkan bronkus atau

bronkiolus yang ditandai dengan distribusi bercak yang dapat disebabkan

oleh virus, jamus, bakteri, maupun benda asing (Samuel 2014).

Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme

sehingga diperlukan penerapan beberapa jenis klasifikasi sampai etiologi

pada kasus tertentu ditentukan (Walker et al. 2012). World Health

Organization (2014) mengatakan bahwa pneumonia menyebabkan

keterbatasan dalam mengambil oksigen dan membuat nyeri saat bernafas

(Farida et al. 2017). Pneumonia juga dapat ditularkan dengan berbagai


cara antara lain pada saat batuk dan bersin. Pneumonia dapat

menyebabkan kematian bila tidak segera diobati, maka pengobatan awal

pada pneumonia dapat diberikan antibiotik (Alsagaff 2004).

2.3.2 Klasifikasi Bronkopneumonia

Menurut PDPI Jawa Timur (2017), bronkopneumonia merupakan

salah satu klasifikasi pneumonia secara anatomis. Sejauh ini, belum

ditemukan sistem yang memuaskan dalam pembagian pneumonia.

Namun, pada umumnya klasifikasi pneumonia dibuat berdasarkan lokasi

yang terinfeksi dan penyebabnya. Beberapa ahli telah menyatakan

bahwasanya penggolongan pneumonia berdasarkan penyebab terbukti

secara klinis mampu digunakan sebagai landasan untuk pemberian terapi

yang lebih tepat dan relevan dibandingkan pembagian pneumonia secara

anatomis.

2.3.3 Etiologi

Etiologi pneumonia berdasarkan mikroorganisme dan keadaannya

yaitu sebagai berikut :

a. Bakteri

Etiologi pneumonia yang paling sering adalah bakteri. Jalur

penularannya bisa bermacam-macam, misalnya melalui selang infus

(Staphylococcus aureus), melalui droplet (Streptococus pneumonia),

ataupun saat pasien menggunakan ventilator (P. aeruginosa dan

Enterobacter). Namun, seiring berjalannya waktu, muncul perubahan

karakteristik kuman akibat pengaruh dari perubahan keadaan pasien,


seperti adanya penyakit kronik, terganggunya kekebalan tubuh,

tercemarnya lingkungan, dan tidak tepatnya penggunaan antibiotik.

16 Karakteristik kuman yang mengalami perubahan mengakibatkan

terjadinya peningkatan patogenitas pada kuman, terutama

Staphylococcus aureus, Haemophilus influenzae, Branhamella

catharralis, serta Enterobacter. Mikroorganisme yang paling sering

mengakibatkan pneumonia bakteri adalah pneumokokus, baik

pneumonia yang berasal dari masyarakat/Community Acquired

Pneumonia (sekitar 75% dari seluruh kasus) maupun pneumonia

yang berasal dari rumah sakit/Hospital Acquired Pneumonia

(Perdana, 2016). Mycoplasma pneumoniae dan Chlamydia

pneumoniae lebih sering ditemukan pada usia anak dan merupakan

penyebab tersering pada anak usia >10 tahun, sedangkan

Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus epidermidis

merupakan bakteri yang paling sering ditemukan pada apusan

tenggorok pasien pneumonia umur 25–9 bulan (IDAI, 2009).

b. Virus

Virus lebih sering ditemukan menjadi penyebab pada anak usia <5

tahun. Salah satu jenis virus, yaitu Respiratory syncytial virus (RSV)

merupakan virus penyebab pneumonia yang paling banyak

menginfeksi anak usia <3 tahun. Selain itu, pada usia yang lebih

muda, ditemukan virus lainnya yang sering menjadi penyebab


pneumonia, antara lain adenovirus, parainfluenza virus, dan influenza

virus (IDAI, 2009).

c. Jamur

Pneumonia juga dapat diakibatkan oleh infeksi jamur, seperti

Histoplasma Capsulatum, Blastomycetes dermatitis, Candida

albicans, Aspergilosis, Koksidiomikosis, dan Aktinomikosis (Perdana,

2016)

d. Aspirasi

Pneumonia aspirasi dapat terjadi apabila terdapat benda asing yang

masuk melewati saluran pernapasan dan mengakibatkan terjadinya

reaksi inflamasi di dalam paru-paru. Benda asing yang dimaksud

dapat berasal dari luar maupun dari dalam tubuh, seperti misalnya

minyak tanah, bensin, makanan, cairan amnion, ataupun benda

asing yang lainnya (Perdana, 2016).

e. Pneumonia Hipostatik

Ketika seseorang tidur dalam posisi telentang yang terlalu lama,

seperti misalnya pada anak yang mengalami penurunan kesadaran

karena sakit ataupun pada kondisi penyakit lainnya yang

membutuhkan istirahat dalam waktu lama di tempat tidur, kongesti

pada paru dapat terjadi. Pada kondisi ini, kuman yang awalnya

bersifat komensal akan berubah menjadi bersifat patogen dan

menimbulkan radang. Maka dari itu, anak yang sedang sakit


(misalnya terkena demam tifoid) dan memerlukan istirahat panjang,

posisi tidurnya harus diubah secara berkala (Perdana, 2016)

f. Pneumonia oleh radiasi

Disebabkan karena terus-menerus terpapar oleh radiasi sehingga

terjadi infeksi pada paru yang dapat menyebabkan kerusakan paru.

g. Pneumonia Hipersensitivitas

Keadaan sensitifitas yang berlebihan mengakibatkan paru sangat

rentan terhadap benda asing yang masuk, reaksi sensitifitas tersebut

dapat mengakibatkan infeksi pada paru sehingga terjadi kerusakan

pada paru.

2.3.4 Faktor Resiko

Faktor risiko adalah faktor atau keadaan yang mengakibatkan

seorang anak rentan menjadi sakit atau sakitnya menjadi berat

(Kartasasmita, 2010).

a. Faktor Lingkungan

1) Kualitas udara dalam rumah

Asap rokok dan asap hasil pembakaran bahan bakar untuk

memasak dan untuk pemanasan dengan konsentrasi tinggi dapat

merusak mekanisme pertahanan paru sehingga akan

memudahkan balita terkena infeksi bakteri pneumokokus ataupun

Haemophilus influenzae.

2) Ventilasi udara dalam rumah


Rumah yang tidak dilengkapi sarana ventilasi akan menyebabkan

suplai udara segar didalam rumah menjadi sangan minimal.

Kecukupan udara segar didalam rumah sangat di butuhkan oleh

penghuni didalam rumah, karena ketidakcukupan suplai udara

segar didalam rumah dapat mempengaruhi fungsi sistem

pernafasan bagi penghuni rumah, terutama bagi bayi dan balita.

Ketika fungsi pernafasan bayi atau balita terpengaruh, maka

kekebalan tubuh balita akan menurun dan menyebabkan balita

mudah terkena infeksi dari bakteri penyebab pneumonia.

3) Jenis lantai rumah

Balita yang tinggal di rumah dengan jenis lantai tidak memenuhi

syarat memiliki risiko terkena pneumonia sebesar 3,9 kali lebih

besar dibandingkan anak balita yang tinggal di rumah dengan

jenis lantai memenuhi syarat. Lantai rumah yang tidak memenuhi

syarat tidak terbuat dari semen atau lantai rumah belum berubin.

Rumah yang belum berubin juga lebih lembab dibandingkan

rumah yang lantainya sudah berubin. Risiko terjadinya pneumonia

akan lebih tinggi jika balita sering bermain di lantai yang tidak

memenuhi syarat.

4) Kepadatan hunian rumah

Balita yang tinggal di kepadatan hunian tinggi mempunyai peluang

mengalami pneumonia sebanyak 2,20 kali dibandingkan dengan

balita yang tidak tinggal di kepadatan hunian tinggi.

5) Kebiasaan merokok didalam rumah


Asap rokok yang mencemari di dalam rumah secara terus-

menerus akan dapat melemahkan daya tahan tubuh terutama bayi

dan balita sehingga mudah untuk terserang penyakit infeksi, yaitu

pneumonia.

b. Faktor Individu Anak

1) Berat badan lahir

Pada bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR), pembentukan

zat anti kekebalan kurang sempurna, berisiko terkena penyakit

infeksi terutama pneumonia sehingga risiko kematian menjadi

lebih besar dibanding dengan berat badan lahir normal.

2) Status gizi

Pemberian Nutrisi yang sesuai dengan pertumbuhan dan

perkembangan anak dapat mencegah balita terhindar dari

penyakit infeksi sehingga pertumbuhan dan perkembangan anak

menjadi optimal (Hartati et al., 2012). Status gizi pada anak

berkontribusi lebih dari separuh dari semua kematian anak di

negara berkembang, dan kekurangan gizi pada anak usia 0-4

tahun 34 memberikan kontribusi lebih dari 1 juta kematian

pneumonia setiap tahunnya.

3) Pemberian ASI eksklusif

Hal ini secara luas diakui bahwa anak-anak yang mendapatkan

ASI eksklusif mengalami infeksi lebih sedikit dan memiliki penyakit

yang lebih ringan daripada mereka yang tidak mendapat ASI

eksklusif. ASI mengandung nutrisi, antioksidan, hormon dan


antibodi yang dibutuhkan oleh anak untuk bertahan dan

berkembang, dan membantu sistem kekebalan tubuh agar

berfungsi dengan baik. Kekebalan tubuh atau daya tahan tubuh

yang tidak berfungsi dengan baik akan menyebabkan abak mudah

terkena infeksi. Namun hanya sekitar sepertiga dari bayi di negara

berkembang yang diberikan ASI eksklusif selama enam bulan

pertama kehidupannya. Bayi di bawah enam bulan yang tidak

diberi ASI ekslusif berisiko 5 kali lebih tinggi mengalami

pneumonia, bahkan sampai terjadi kematian. Selain itu, bayi 6 - 11

bulan yang tidak diberi ASI juga meningkatkan risiko kematian

akibat pneumonia dibandingkan dengan mereka yang diberi ASI.

2.3.5 Manifestasi Klinis

Bronkopneumonia pada anak biasanya didahului oleh infeksi traktus

respiratorius bagian atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik

sangat mendadak sampai 39-40ᵒC dan kadang disertai kejang karena

demam yang sangat tinggi. Anak akan gelisah, dispnea, pernapasan cepat

dan dangkal, pernapasan cuping hidung serta sianosis sekitar hidung dan

mulut. Kadang disertai muntah dan diare. Batuk tidak ditemukan pada

permulaan penyakit, tetapi akan timbul setelah beberapa hari. Hasil

pemeriksaan fisik tergantung pada luas daerah auskultasi yang terkena.

Pada perkusi sering tidak ditemukan kelainan, dan pada auskultasi

terdengar ronkhi basah nyaring halus atau sedang. Bila sarang

bronkopneumonia menjadi satu mungkin pada perkusi terdengar


keredupan dan suara pernafasan pada auskultasi terdengar mengeras.

Gejala Bronkopneumonia yaitu demam, sakit kepala, gelisah, malaise,

penurunan nafsu makan, keluhan gastrointestinal berupa muntah atau

diare, keluhan respiratori yang nampak yaitu batuk, sesak nafas, retraksi

dada, takipnea, nafas cuping hidung, air hunger, merintih dan sianosis

(Fadhila, 2013).

2.3.6 Komplikasi

Komplikasi dari bronkopneumonia adalah (Said, 2014):

1) Efusi pleural (pada pneumokokus atau streptokokus Grup A)

Penumpukan cairan di antara jaringan yang melapisi paru-paru dan

dada. Cairan dapat menumpuk di sekitar paru-paru karena

pemompaan jantung yang kurang baik atau karena peradangan.

Gejalanya meliputi batuk, nyeri dada yang tajam, atau sesak napas.

Perawatannya antara lain pemberian antibiotik, pil air (diuretik), dan

pengeluaran cairan.

2) Otitis media (radang telinga tengah)

Infeksi ruang berisi udara di belakang gendang telinga (telinga

tengah). Infeksi telinga biasanya disebabkan oleh virus atau bakteri.

Nyeri telinga dan demam adalah gejala umum. Keluar cairan dari

telinga atau gangguan pendengaran adalah gejala yang jarang terjadi.

Kebanyakan infeksi telinga menghilang dengan sendirinya. Beberapa

memerlukan antibiotik.

3) Meningitis (radang selaput otak)

Radang selaput otak dan sumsum tulang belakang, biasanya


disebabkan oleh infeksi. Meningitis biasanya disebabkan oleh infeksi

virus, tetapi juga bias bakteri atau jamur. Vaksin dapat mencegah

sebagian bentuk meningitis. Gejala termasuk sakit kepala, demam,

dan leher kaku. Tergantung pada penyebabnya, meningitis mungkin

dapat pulih sendiri, atau dapat mengancam jiwa sehingga

membutuhkan penanganan antibiotik yang mendesak.

4) Perikarditis

Suatu pembengkakan dan iritasi pada membrane seperti kantung tipis

yang membungkus jantung (pericardium). Perikarditis dapat

disebabkan oleh infeksi virus atau serangan jantung. Pada banyak

kasus, penyebabnya tidak diketahui. Gejala yang paling umum adalah

nyeri dada tajam dan menusuk yang mungkin menjalar ke bahu kiri

dan leher. Perikarditis biasanyadi mulai tiba-tiba namun tidak

berlangsung lama.

5) Septikemia

Septikemia adalah infeksi aliran darah yang serius yang juga dikenal

sebagai keracunan darah, hal ini terjadi ketika ada infeksi bakteri di

tempat lain di dalam tubuh, seperti paru-paru atau kulit yang kemudian

memasuki aliran darah.

6) Henti nafas

Apnea atau henti napas merupakan suatu kondisi berhentinya proses

pernapasan dalam waktu singkat (beberapa detik hingga satu atau

dua menit) tetapi dapat juga terjadi dalam jangka Panjang.


2.3.7 Penatalaksanaan

a. Tatalaksana umum

 Pasien dengan SpO2 ≤92% saat bernafas dengan udara

kamar perlu segera diberikan terapi suportif berupa oksigen

dengan nasal kanul, sungkup, atau head box agar dapat

mempertahankan kondisi SpO2 >92%.

 Pada pneumonia berat atau pada pasien yang kurang

mendapatkan asupan per oral maka perlu diberi terapi

berupa cairan intravena dan dilakukan penyeimbangan

cairan yang ketat.

 Pada pasien pneumonia usia anak tidak direkomendasikan

untuk dilakukan fisioterapi dada.

 Untuk menjaga kenyamanan pasien dan mengontrol batuk,

perlu diberikan terapi antipiretik dan analgetic.

 Untuk memperbaiki mucociliary clearance, perlu diberikan

nebulisasi dengan beta-2 agonis dan/atau NaCl.

 Harus selalu dilakukan pemantauan serta observasi pada

pasien yang mendapatkan terapi oksigen, minimalnya

setiap 4 jam sekali, termasuk pengecekan SpO.

b. Pemberian Antibiotik

 Jika S. pneumonia diperkirakan memiliki kemungkinan yang

tinggi untuk menjadi penyebab pada suatu kasus

pneumonia, pilihan terapi pertamanya adalah amoksisilin.


 Pilihan pertama antibiotik oral untuk anak usia <5 tahun

adalah amoksisilin dikarenakan efektif melawan mayoritas

patogen penyebab pneumonia pada anak, selain itu

harganya juga terjangkau serta dapat ditoleransi dengan

baik. Alternatif lainnya bisa menggunakan co-amoxiclav,

ceflacor, eritromisin, claritromisin, dan azitromisin.

 Jika dicurigai penyebab pneumonianya adalah M.

pneumonia atau C. pneumonia maka perlu diberikan

makrolid.

 Antibiotik pilihan pertama secara empiris yang dapat

diberikan untuk anak usia ≥5 tahun adalah antibiotik

golongan makrolid karena pada anak yang berusia lebih tua

biasanya lebih sering terserang oleh M. pneumonia.

 Jika dicurigai penyebab pneumonianya adalah S. aureus,

bisa diberi terapi berupa makrolid atau kombinasi

flucloxacillin dengan amoksisilin.

 Bagi pasien pneumonia yang tidak bisa menerima terapi per

oral atau termasuk dalam derajat pneumonia berat, bisa

diberikan terapi berupa antibiotik intravena

 Jika terdapat perbaikan setelah mendapatkan antibiotik

intravena, harus dipertimbangkan untuk diberikan antibiotik

oral.
 Pilihan Antibiotika Pneumonia Pada Anak

No Diagnosis Bakteri Antibiotik Keterangan

Klinis penyebab

tersering

1 Pneumonia Streptococcus Amoksisilin oral 40

(rawat jalan) pneumonia, – 50 mg/kgBB

Klebsiella setiap 12 jam.

pneumonia, Bila dicurigai

Mycoplasma pneumonia atipikal

pneumonia, (usia <5 tahun),

Chlamydophila pilihannya :

pneumonia Eritromisin oral 10

mg/kgBB setiap 6

jam atau

Klaritromisin oral

7.5 mg/kgBB setiap

12 jam

2 Pneumonia Streptococcus Ampisillin i.v 50 Dosis awal

(Rawat inap pneumonia, mg/kgBB setiap 6 gentamisin 8

non ICU) Klebsiella jam kombinasi mg/kgBB

pneumonia, dengan Gentamisin dilanjutkan


Mycoplasma i.v 6 – 8 mg/kgBB dengan 6

pneumonia, atau i.m setiap 24 mg/kgBB

Chlamydophila jam

pneumonia

2.3.8 Kegagalan Terapi

Kepekaan kuman terhadap antibiotika tertentu tidak dapat menjamin

efektivitas klinis. Faktor berikut dapat menjadi penyebab kegagalan terapi :

a. Dosis kurang

Dosis suatu antibiotika seringkali bergantung dari tempat infeksi,

walaupun kuman penyebanya sama. Sebagai contoh dosis penisilin G

yang diperlukan untuk mengobati meningitis oleh Pneumococcus jauh

lebih tinggi daripada dosis yang diperlukan untuk bawah yang

disebabkan oleh kuman yang sama.

b. Masa terapi yang kurang

Konsep lama yang menyatakan bahwa untuk setiap jenis infeksi perlu

diberikan antimikroba tertentu selama jangka waktu tertentu kini telah

ditinggalkan. Pada umunya para ahli cenderung melakukan

individualisasi masa terapi, yang sesuai dengan tercapai respon klinik

yang memuaskan. Namun untuk penyakit tertentu seperti tuberkulosis

paru tetap perbaikan klinis cepat terlihat.

c. Kesalahan dalam menetapkan etiologi

Demam tidak selalu disebabkan oleh kuman, virus, jamur, parasit,

reaksi obat, dan lain-lain dapat meningkatkan suhu badan. Pemberian


antibiotika yang lazim diberikan dalam keadaan ini tidak bermanfaat.

d. Pilihan antibotika yang kurang tepat

Suatu daftar antibiotika yang dinyatakan efektif dalam uji sensitivitas

tidak dengan sendirinya menyatakan bahwa setiap antibiotika akan

memberikan aktivitas klinik yang sama. Disini dokter harus dapat

mengenali dan memilih antibiotika yang secara klinis merupakan obat

terpilih untuk suatu kuman tertentu. Sebagai contoh obat terpilih untuk

infeksi S. faecalis adalah ampisilin, walaupun secara in vitro kuman

tersebut juga dinyatakan sensitif terhadap sefamandol atau gentamisin.

e. Faktor pasien

Keadaan umum yang buruk dan gangguan mekanisme pertahanan

tubuh (selular dan humoral) merupakan faktor penting yang

menyebabkan gagalnya terapi antibotika. Sebagai contoh obat

imunosupresan, AIDS.

2.3.9 Pencegahan

Menurut Kemenkes (2010) pencegahan pneumonia selain dengan

menghindarkan atau mengurangi faktor risiko dapat dilakukan dengan

beberapa pendekatan, yaitu dengan pendidikan kesehatan di komunitas,

perbaikan gizi, pelatihan petugas kesehatan dalam hal memanfaatkan

pedoman diagnosis dan pengobatan pneumonia, penggunaan antibiotika

yang benar dan efektif, dan waktu untuk merujuk yang tepat dan segera

bagi kasus yang pneumonia berat. Peningkatan gizi termasuk pemberian

ASI eksklusif dan asupan zinc, peningkatan cakupan imunisasi, dan

pengurangan polusi udara didalam ruangan dapat pula mengurangi faktor


risiko. Penelitian terkini juga menyimpulkan bahwa mencuci tangan dapat

mengurangi kejadian pneumonia. (Kementerian Kesehatan RI, 2010).

Usaha untuk mencegah pneumonia ada 2 menurut Kementerian

Kesehatan RI, 2010 yaitu:

a. Pencegahan Non spesifik, yaitu :

1) Meningkatkan derajat sosio-ekonomi

2) Lingkungan yang bersih dan bebas polusi

b. Pencegahan Spesifik

1) Cegah BBLR

2) Pemberian makanan yang baik/gizi seimbang

3) Berikan imunisasi
BAB III

TINJAUAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

No RM 27XXXX

Nama Pasien An. R

Jenis Kelamin Laki-laki

Umur 2 Tahun 5 Bulan

Agama Islam

Alamat Kapalo hilalang / Tarok bawah

Pekerjaan -

Ruangan Bangsal Anak

Dokter yang merawat dr. Yunira Yunirman, Sp. A

Farmasis apt. Mutia Permata Sari, S.Farm

Mulai Perawatan 29 Mei 2023

Keluar RS 2 Juni 2023

3.2 Riwayat Penyakit

3.2.1 Keluhan Utama

Sesak nafas sejak 2 hari yang lalu.

3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang

 Demam

 Batuk Berdahak sejak 2 hari yang lalu

 Sesak nafas sejak 2 hari yang lalu


3.2.3 Riwayat Penyakit Terdahulu

 Tidak ada

3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga

 Tidak ada

3.2.5 Riwayat alergi

 Tidak ada

3.3 Pemeriksaan Fisik

3.3.1 Tanda Vital

Tanda vital pasien


Keadaan umum Sedang
Kesadaran Compos Mentis
Tekanan darah -
Nadi 130x/menit
Pernafasan 50x/menit
Suhu 39,1oC
Status Nyeri -
Glasgowe Coma Scale 15

3.3.2 Status Generalis


Status generalis pasien
No Pemeriksaan Normal Tidak Normal Keterangan

1 Kepala - √ NCH(+)

2 Mata √

3 THT √

4 Leher √
No Pemeriksaan Normal Tidak Normal Keterangan
Retraksi (+),
5 Dada - √ ronchi (+),
wheezing (-)

6. Punggung √

7. Abdomen √

8. Urogenital √

9. Eksterimtas Atas √

Ekstremkitas
10. √
Bawah

11. Status Neurologi √

12. Kulit √

3.4 Pemeriksaan Penunjang

3.4.1 Pemeriksaan Hematologi

Pemeriksaan Hematologi

Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Keterangan

Hemoglobin 11,8 g/dL 10,5-13,5 g/dL Normal

5000-
Leukosit 14030/uL Tinggi
10.000/uL

29/5/2023 Basofil - 0-1% Normal

IGD Eosinofil - 1-3% Rendah

Limfosit - 20-40% Normal

Monosit - 2-8% Tinggi

NCR - ≤ 3-13 Normal


Tanggal Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan Keterangan

LA - >1500 Tinggi

Hematokrit 34% 30-40% Normal

Trombosit 341000/uL 150-400 103 Normal

3.4.2 Pemeriksaan Kimia Klinik

Pemeriksaan Kimia Klinik

PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKAN KETERANGAN


Tanggal 29 Mei 2023 Lk Pr

Gula darah sewaktu 80 <200 mg/dL Normal


(P) mg/dL

3.5 Diagnosis

Diagnosis utama : Bronkopneumonia

Diagnosis sekunder : -

3.6 Penatalaksanaan

Penatalaksanaan

Jenis
No Nama Obat Signa Mulai Terapi Stop Terapi
Sediaan

1 IVFD KAEN 1B 14 tpm makro Infus 29 Mei 2023 31 Mei 2023

2 Ampicillin 4 x 250 mg Injeksi 29 Mei 2023 2 Juni 2023

3 Gentamicin 2 x 26 mg Injeksi 29 Mei 2023 2 Juni 2023

4 Bromhexin 3 x 2 mg Pulveres 29 Mei 2023 2 Juni 2023

5 Paracetamol 3 x 1 cth Suspensi 29 Mei 2023 2 Juni 2023


3.7 Follow Up

Nama: An. R Diagnosa: Dokter: dr. Yunira Yunirman, Sp.


Bronkopneumonia A

Umur: 2 tahun Ruangan: Bangsal Apoteker: apt. Mutia Permata


5 bulan Anak Sari,S.Farm

3.8 Analisa Drug Releted Problem (DRP)

Analisa Drug Releted Problem (DRP)

No Drug Releted Chec


Rekomendasi
. Problem k List
1. Terapi obat yang tidak diperlukan
Terdapat terapi tanpa - Pasien telah mendapatkan terapi
indikasi medis sesuai dengan indikasi medis
- IVFD KAEN 1B :Membantu
menyalurkan atau mengganti cairan
dan elektrolit pada kondisi seperti
dehidrasi pada pasien yang
kekurangan karbohidrat, penyakit
yang belum diketahui penyebabnya,
sebelum dan sesudah operasi.
- Inj Ampisilin :infeksi saluran kemih,
otitis media, sinusitis, infeksi pada
mulut, bronchitis, pneumonia, infeksi
haemophillus influenza.
- Inj Gentamicin : Pneumonia,
kolesistisis, peritonitis, septikemia,
pyelonefritis,infeksi kulit, inflamasi
pada tulang panggul,
endokarditis,meningitis,
listeriosis,tularaemia, brucellosis,
pes, pencegahan infeksi setelah
pembedahan.
- Bromhexin : Oral: mukolitik untuk
meredakan batuk berdahak.
- Paracetamol :Meringankan rasa
sakit pada keadaan sakit kepala,
sakit gigi dan menurunkan demam
Pasien mendapatkan - Pasien tidak mendapatkan terapi
terapi tambahan yang tambahan yang digunakan. Semua
tidak diperlukan obat yang digunakan diindikasikan
untuk kondisi medis pasien
Pasien masih - Mengkonsumsi makanan yang
memungkinkan bernutrisi dan memperbanyak minum
menjalani terapi non air putih
farmakologi
Terdapat duplikasi - Tidak terdapat duplikasi terapi
terapi
Pasien mendapatkan - Tidak ditemukannya Efek samping
penanganan dari pengobatan
terhadap efek
samping yang
seharusnya dapat
dicegah
2. Kesalahan obat
Bentuk sediaan tidak - Bentuk sediaan obat sudah tepat
tepat a. IVFD KAEN 1B :Infus
b. Inj Ampicilin : Injeksi
c. Inj Gentamicin :Injeksi
d. Bromhexin : pulveres
e. Paracetamol : Suspensi
Terdapat obat lain - Tidak ada
yang lebih efektif
3 Dosis tidak tepat
Dosis terlalu rendah - Dosis yang diberikan sudah tepat.
dan dosis terlalu
1. IVFD KAEN 1 B
tinggi

( )

( )

W ( )

Waktu = 11,90 jam


Kebutuhan cairan 1 hari
pasien :
1000 ml + ( 50 ml/kgBB/jam x
(BB – 10)
1000 ml + 50 x 1 = 1050 / 24
jam = 43,75 ml/jam
43,75 ml / 60 menit = 0,73 ml /
menit
0,73 ml x 20 tetes = 14,58
tetes / menit
2. Ampicilin injeksi (IAI, 2019)
Dosis : 50 - 100 mg/kgBB/hari x
11 kg
Dosis berdasarkan berat badan
: 5500mg- 1100 mg
Dosis yang diberikan 4 x 250
mg (Tepat dosis)
- Pengambilan Inj Ampisilin
dalam Vial

Pengenceran
x 10 ml

3. Gentamicin injeksi (WHO, 2003)


Dosis : 3-7,5 mg/kgBB/hari x 11
kg
Dosis berdasarkan berat badan
: 33 mg – 82,5 mg
Dosis yang diberikan 2 x 26
mg= 52 mg (Tepat dosis)
4. Bromhexine (Mims, 2010)
Dosis anak 2 – 5 tahun = 2 mg
3 kali sehari atau 4 mg 2 kali
sehari (Maks 8 mg sehari)
Dosis yang diberikan : 2 mg x 3
= 6 mg (Tepat dosis)
5. Paracetamol (Lexicomp, Inc,
2007)
Dosis paracetamol = 10 – 15
mg/kgBB 1 kali pemakaian

Dosis yang diberikan = 3 x cth1


(Tepat dosis)
Dosis : 10 – 15 mg/kgBB x 11
kg = 110 – 165 mg/kgBB
Dosis paracetamol : ( Tiap 5ml
mengandung 120 mg
paracetamol )
Jadi dosis yang diberikan kepada
pasien tepat dosis karena 1 kali pakai
120 mg dan 1 hari pakai 3 x 120 mg =
360 mg
Frekuensi - Frekuensi pemberian sudah tepat
penggunaan tidak
tepat
Penyimpanan tidak Penyimpanan sudah tepat karena
tepat disimpan pada suhu ruangan dan
- sudah diberikan informasi pada saat
penyerahan obat kepada Perawat dan
pasien.
Durasi penggunan - Durasi penggunaan obat tepat
tidak tepat
Terdapat interaksi - Tidak terdapat interaksi obat
obat

4. Reaksi yang tidak diinginkan


Obat tidak aman - Obat sudah aman untuk pasien,
untuk pasien sehingga pasien tidak ada
mengeluhkan reaksi alergi terhadap
obat.
Terjadi reaksi alergi - Tidak terdapat reaksi alergi yang
ditunjukkan oleh tubuh pasien
Terjadi interaksi obat - Tidak ada interaksi obat
Dosis obat dinaikkan - Tidak ada dosis obat dinaikkan atau
atau diturunkan terlalu cepat.
diturunkan terlalu
cepat
Muncul efek yang - Tidak ditemukannya efek yang tidak
tidak diinginkan diinginkan
Administrasi obat - Administrasi obat sudah tepat
yang tidak tepat
5. Ketidaksesuaian kepatuhan pasien
Obat tidak tersedia - Obat tersedia semuanya
Pasien tidak mampu - Pasien dibantu keluarga untuk
menyediakan obat menyediakan semua obat
Pasien tidak bisa - Pasien bisa meminum obat karena
menelan atau obat yang diberikan dalam bentuk
menggunakan obat Infus, sirup dan suspensi.
Pasien tidak mengerti - Pasien dibantu oleh keluarga dalam
intruksi penggunaan meminum obat dan keluarga sudah
obat mengerti dengan cara penggunaan
obat untuk pasien
Pasien tidak patuh - Pasien patuh dalam menggunakan
atau memilih untuk obat setiap diberikan obat
tidak menggunakan
obat
6. Pasien membutuhkan terapi tambahan
Terdapat kondisi yang - Semua kondisi pasien telah diberikan
tidak diterapi terapi obat
Pasien membutuhkan - Pasien sudah mendapatkan terapi
obat lain yang sinergis yang sinergis
Pasien membutuhkan - Pasien tidak membutuhkan terapi
terapi profilaksis profilaksis
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang pasien anak Laki-Laki An. R berumur 2 tahun 5 bulan

masuk ke IGD RSUD Padang Panjang pada sore hari jam 17.40 WIB,

Tanggal 29 Mei 2023 dengan keluhan batuk berdahak sejak 2 hari yang

lalu, sesak nafas sejak 2 hari yang lalu, dan demam. Pada saat

melakukan pemeriksaan fisik didapatkan keadaan umum pasien sedang,

kesadaran compos mentis, dengan suhu tubuh 39,8℃, nadi 130 x/menit,

pernafasan 50/menit, glassgow coma scale 15, nafas cuping hidung (+)

dan ronkhi (+). Ronkhi terdengar karena adanya udara yang melewati

saluran nafas yang mengalami penyumbatan atau obstruksi (Rahajoe,

2010). Dari pemeriksaan fisik dan anamnesa dokter pasien diharuskan

untuk dirawat dirumah sakit.

Hasil pemeriksaan penunjang laboratorium hematologi pada

tanggal 29 Mei 2023 dengan Hb 11,8 g/dL(normal), Leukosit 14.030 /uL

(Tinggi), hematokrit 34% (Normal), Trombosit 341.000/Ul (Normal) dan

dari pemeriksaan kimia klinis gula darah sewaktu (P) 80 mg/dL. Pada

pemeriksaan leukosit ditemukan nilai yang tinggi, hal ini menunjukkan

adanya infeksi akut pada pasien (Hegar, 2010). Kemudian dilakukan

pemeriksaan radiografi Toraks proyeksi AP didapatkan gambaran infiltrate

di paracardial kanan dan kiri. Gambaran infiltrate merupakan gambaran

terperangkapnya udara pada bronkus karena tidak adanya pertukaran

pada bronkus (Rahajoe, 2010). Gambaran infiltrate ini merupakan

gambaran khas pada bronkopneumonia.


Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik di IGD Pada tanggal

29 Mei 2023, pasien di diagnosa Bronkopneumonia. Terapi yang

didapatkan di IGD yaitu IVFD KA-EN 1B Mengandung elektrolit dan

dekstrosa, sebagian besar pasien anak-anak pada saat demam kurang

mendapatkan asupan dari luar dikarenakan nafsu makan menurun

sehingga menyebabkan dehidrasi untuk mengembalikan elektrolit didalam

tubuh maka diberikan IVFD KA-EN 1B (Syamsul, 2015).

Kemudian pasien mendapatkan perawatan lanjutkan di ruang

bangsal anak. Terapi obat yang didapatkan pasien pada saat pindah jam

19.35 WIB adalah injeksi ampicilin 4 x 250 mg, injeksi gentamicin 2 x 26

mg, pemberian kombinasi antibiotic ampisilin + gentamisin didasari pada

etiologi dari bronkopneumonia dimana ampisilin digunakan untuk

mengatasi bakteri gram positif sedangkan gentamisin digunakan untuk

mengatasi bakteri gram negative (Rahajoe, 2010).

Kemudian diberikan juga bromhexin 2 mg dengan frekuensi

pemberian 3 kali sehari, pemberian bromhexine digunakan sebagai

mukolitik yang bekerja untuk mengencerkan dahak atau secret pada

saluran pernafasan dan dengan reflek batuk, diharapkan mucus atau

sekret dapat dikeluarkan (Katzung, 2002). Dosis bromhexsin yang

digunkan sudah tepat, dosis pemberian bromhexine pada anak usia Agen

antipiretik yang diberikan kepada pasien ini adalah paracetamol dengan

dosis frekuensi 3 x 1cth.

Pada tanggal 30 Mei 2023 pasien masih mengalami demam turun

naik, batuk berdahak, dan sesak nafasnya masih ada dan terapi rawat
inap masih dilanjutkan dengan obat yang sama. Pada tanggal 31 Mei

2023 Pasien mengalami demam naik, masih batuk berdahak, dan sesak

nafasnya masih ada dan terapi rawat inap pasien masih melanjutkan

terapi yang digunakan sebelumnya. Pada Tanggal 1 Mei 2023 demam

sudah mulai turun, batuk berdahak dan sesak nafas sudah mulai membaik

dan terapi rawat inap pasien masih melanjutkan terapi yang digunakan

sebelumnya.

Pada tanggal 2 Mei 2023 pasien diperbolehkan pulang karena

gejala dan tanda bronkopneumonia telah menghilang, Terapi rawat inap

tidak dilanjutkan pasien dibolehkan pulang pada siang hari. Dan diberikan

obat untuk penggunaan 4 hari . Dan diberikan secara oral Amoksisilin

sirup 3 x 1 cth, bromhexine sirup 3 x ½ cth dan Paracetamol sirup 3 x 1

cth. dimana pasien masih mengalami demam dan mengalami batuk

berdahak. Berdasarkan literature regimen terapi sudah tepat dan tidak ada

interaksi obat yang terjadi.

Penatalaksaan penyakit bronkopneumonia di Rumah Sakit Umum

Daerah Kota Padang Panjang telah sesuai yaitu pemberian obat Injeki

gentamicin untuk infeksi saluran pernafasan seperti Pneumonia, Ampisilin

diindikasikan untuk mengatasi pneumonia dan demam. Bromhexine

digunakan untuk mengatasi batuk berdahak, dan paracetamol untuk

menurunkan demam.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Dari kasus ini dapat disimpullkan bahwa :

1. Hasil diagnose dokter, pasien mengalami bronkopneumonia.

Penerapan enam tepat yaitu tepat pasien, tepat obat, tepat dosis,

tepat waku, tepat cara pemberian dan tepat dokumentasi sangat

mempengaruhi terkait keberhasilan terapi dan pada kasus ini

semua penerapan enam tepat sudah terlaksana.

2. Dari pengobatan yang diterima oleh pasien tidak terdapat Drug

Related Problem (DRPs) pada pemeberian terapi karena tidak

adanya efek samping interaksi, kontra indikasi, dan dosis yang

tepat pada pemberian terapi.

5.2 Saran

1. Pemantauan terapi obat, efek samping obat, interaksi obat dan

waktu pemberian obat sebaiknya dilakukan secara rutin.

2. Pemberian informasi kepada pasien terkait penggunaan obat

dan efek samping obat untuk memaksimalkan efek terapi dan

menghindari interaksi obat.

3. Pasien diberikan edukasi terhadap efek samping obat yang

dikonsumsi.
DAFTAR PUSTAKA

Alsagaff H, dan Mukty H.A. 2010. Dasar-dasar Ilmu Penyakit Paru.


Surabaya: Airlangga University Press.

Anonim . 2010. MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, Edisi 9, 2009/2010.

Jakarta: Penerbit Asli (MIMS Pharmacy Guide

Ashraf H, Chisti MJ, Alam NH. 2010. Treatment of childhood pneumonia in


developing countries. Dalam: Smigorski K, editor. Health
management. Croatia: Sciyo; hlm. 60-88.

Bare & Smeltzer.2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner &.
Suddart (Alih bahasa Agung Waluyo) Edisi 8 vol.3. Jakarta : EGC.

Bradley JS, Byington CL, Shah SS, Alverson B, Carter ER, Harrison C.
2011. Executive summary: The management of community-acquired.

Dipiro, J. T.; Talbert, R. L.; Yee, G. C.; Matzke, G. R.; Wells, B. G.; Posey
LM. 2011. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach. Mc Graq
Hill Companie

Dwidjoseputro, 1985. Dasar-Dasar Mikrobiologi, Djambatan, Malang. Kim


H. Tan. Dasar-Dasar Kimia Tanah, Gajah Mada University Press,.
Yogyakarta.

Fadhila, A. 2013. Penegakan Diagnosis dan Penatalaksanaan


Bronkopneumonia. Pada Pasien Bayi Laki-laki Berusia 6 Bulan.

Fardiaz, S. 1989. Mikrobiologi Pengolahan Pangan. Bogor: PAU Pangan


dan. Gizi. Institut Pertanian Bogor.

Farida, Y., Trisna, A., & Nur, D. 2017. Study of Antibiotic Use on
Pneumonia. Patient in Surakarta Referral Hospital.

IDAI. 2009. Pedoman Pelayanan Medis Edisi II. Jakarta : Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Halaman 250–255.

IDI. 2014. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas Pelayanan


Kesehatan Primer. Edisi II. Ikatan Dokter Indonesia, Jakarta

Ikatan Apoteker Indonesia. 2016. ISO Informasi Spesialite Obat Indonesia,


Volume 50 2016. Jakarta : PT ISFI Penerbitan.

Irianto, koes. 2006. Mikrobiologi Menguak Dunia Mikroorganisme. Jakarta:


EGC.
Jawetz, Melnick, dan Adelberg's. 2004. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.

Kartasasmita, C. 2010. Pneumonia Pembunuh Balita. Kemenkes RI:


Buletin Jendela. Epidemiologi Volume 3, September 2010. ISSN
2087-1546.

Kementerian Kesehatan RI. 2018. Hasil Riset Kesehatan Dasar


(Riskesdas) 2018. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementerian RI.

Liwang, Ferry, dkk. 2020. Kapita Selekta Kedokteran. Edisi V. Jakarta :


Media Aesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, hal.
434– 439

Medscape. 2011. Drug Interaction Checker, (online).


(http://www.reference.medscape.com/ drug-interactionchecker)

PDPI.2003. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) Pedoman Diagnosis


&. Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru
Indonesia.

PDPI Jawa Timur. 2017. Bronkopneumonia, Klasifikasi dan Proses


Perjalanan Penyakit

Purnamawati, I. G. A. D., & Fajri, I. R. 2020. Asuhan Keperawatan Pada


Anak. Dengan Bronkopneumonia: Suatu Studi Kasus. Buletin
Kesehatan: Publikasi.

Riyadi, Sujono & Sukarmin. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Anak,


Yogyakarta-. Graha Ilmu.

Said M. Pneumonia. Buku Ajar Respiratori Anak. Edisi II. Ikatan Dokter
Anaka Indonesia. Jakarta: 2008.h.350-64.

Samuel, A 2014, Bronkopneumonia on Pediatric Patient, J Agromed Unila,


vol. 1, no. 2, hlm. 185-189.

Setiati, Siti, dkk. 2017. Ilmu Penyakit Dalam. Edisi VI. Jakarta: Interna
Publishing Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam, halaman: 1610–
1614.

Suartawan, I Putu. 2019. Bronkopneumonia pada Anak Usia 20 Bulan.


Fakultas Kedokteran Universitas Al-Azhar. Jurnal Kedokteran.
Volume 5 Nomor 1, Desember 2019.

Syamsul Hilal Salam. 2015. Dasar-Dasar Terapi Cairan dan Elektrolit.


Forum. Penelitian. 2-21.

Anda mungkin juga menyukai