Anda di halaman 1dari 10

Krisis Krimea : Ketika Rusia Mengadopsi Kembali Tanah Yang Bebas

Ayunda Rachmah Salsabila - 1403618015


Prodi Pendidikan Sejarah, Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
Email : rachmahayunda@gmail.com

ABSTRAK
Krimea merupakan dataran semenanjung yang letaknya sangat strategis di
perbatasan lintas Eurasia. Posisinya yang di tengah-tengah, memberikan
kemudahan bagi bangsa Barat untuk melancarkan pengaruhnya di negara-negara
blok timur. Namun Rusia yang menangkap esensi tersebut lantas secara cepat
kembali menganeksasi Krimea yang dahulu masih merupakan bagian kontituen dari
Soviet. Penulis berusaha untuk menguraikan masalah yang terjadi pada krisis
Krimea, sebab yang melatar belakanginya serta kebijakan apa yang diambil oleh
pemimpin Rusia saat itu dalam menganeksasi Krimea. Dengan menggunakan
metode historis studi kepustakaan melalui jurnal ilmiah.

PENDAHULUAN

Krimea sebagaimana yang telah kita ketahui bersama merupakan wilayah di


kawasan Eropa Timur yang secara geografis berbatasan dengan Laut Hitam di
selatan dan Rusia di bagian timur. Karena berbatasan langsung dengan Laut Hitam
dan bentuk permukaan Krimea yang merupakan dataran besar tersendiri yang
menjuru, Krimea juga disebut sebagai semenanjung Krimea. Memiliki luas sekitar
27000 km2, semenanjung Krimea pun terhubung dengan dataran Ukraina di bagian
barat laut oleh Tanah Genting Perekop dan Syvash ("Laut Busuk") di bagian utara1.
Dengan kondisi geografis tersebut, membuat Krimea memiliki iklim yang hangat
sepanjang tahun dengan sumber daya alam yang kaya akan gas dan biji-bijian.

1Dilansir melalui laman https://www.britannica.com/place/Crimea#ref314880 pada Rabu, 6


Januari 2021
Menjadi suatu kewajaran bila Krimea diperebutkan oleh dua negara sekaligus,
Ukraina dan Rusia, disamping faktor historis yang dimilikinya.

Secara resmi Krimea diakuisisi menjadi bagian dari administrasi Ukrainian


SSR pada tahun 1954, pasca ditanda tanganinya resolusi pada tanggal 19 Februari.
Namun sejak runtuhnya Uni Soviet dan merdekanya Ukraina, banyak warga
Krimea yang lebih mengidentifikasikan dirinya sebagai warga negara Rusia,
bahkan bukan hanya di Krimea saja tetapi banyak warga etnis Rusia di Ukraina
Timur yang memiliki perasaan yang sama dan terjadilah referendum pada tahun
2014 untuk memisahkan diri dari Ukraina, serta bergabung kembali dengan Rusia.
Disusul dengan politik luar negeri yang dilancarkan oleh Rusia itu sendiri,
terkhusus Putin mengenai ambisinya dalam rangka mengembalikan status Rusia
sebagai negara besar di dunia dan sphere of influence pada blok timur melalui
kebijakan near aboard.

Untuk menguraikan fenomena tersebut, diperlukan kajian teoritis lebih


lanjut mengenai latar belakang mengapa Rusia mengadopsi/menganeksasi kembali
tanah yang dilepasnya kepada Ukraina, kebijakan yang diambil oleh Putin dalam
rangka aneksasi tersebut serta bagaimana dampak yang terjadi pada kestabilan
negara Rusia dan Ukraina, dan tanggapan dari negara-negara Barat khususnya yang
terafiliasi dalam NATO. Penulis membatasi masalah pada resolusi Krimea tahun
1954 hingga pada saat anekasasi berlangsung, walaupun nantinya akan sedikit
dibahas mengenai aneksasi Krimea pada tahun 1783 ketika Rusia berhadapan
dengan Kekaisaran Turki Ottoman. Menjadi latar belakang mengapa artikel ini
dibuat, besar harapan selain untuk menambah literatur, dapat menjadi suatu
pembelajaran dan kritik untuk negara-negara yang memiliki kecenderungan
geopolitik yang sama. Metode yang penulis gunakan adalah metode historis dengan
studi kepustakaan melalui jurnal ilmiah.
PEMBAHASAN

Berdasarkan hemat penulis, sebelum terjadinya perpindah tanganan Krimea dari


Rusia ke Ukraina lalu dianeksasi kembali oleh Rusia hingga terjadi krisis pada
tahun 2014, dahulunya Krimea merupakan satu bagian yang diakui oleh dua
kekaisaran, Tsar Rusia dan Ottoman Turki karena letaknya yang strategis hingga
pada akhirnya dapat dipukul mundur oleh Catherine the Great pada tahun 1783.
Sebagai bukti keberadaan Ottoman yang pernah menetap di dataran Krimea,
terdapat kelompok etnis yang berasal dari anggota Golden Horde Turki yang
didirikan oleh Batu Khan di awal abad ke-13 yakni Tatar Krimea. Meski pada
akhirnya nanti kelompok etnis ini dideportasi oleh pemerintahan Soviet karena
dianggap berkolaborasi dengan Jerman selama okupasi pada tahun 1944. Sejumlah
40% dari mereka meninggal, baik pada saat dideportasi maupun selama tahun
pertama dari dua tahun penempatan di “zona khusus” di Uzbekistan dan berakhir
dengan dipulangkan kembali ke tanah kelahirannya Krimea sepuluh tahun
kemudian. Namun setelah kembali, kelompok etnis Tatar tidak mendapatkan hak
yang sama dengan etnis lainnya bahkan tidak mendapatkan legitimasi
kewarganegaraannya. Hal itu menyebabkan munculnya ketegangan diantara etnis
Slavia/Rusia Krimea dengan Tatar Krimea (terlebih saat itu populasi Krimea -
sekitar 1,1 juta - kira-kira 75 persen etnis Rusia dan 25 persen Ukraina, dan Tatar
menempati posisi minoritas).

Pada tahun 1954 wilayah Krimea ditransfer oleh Rusia ke Ukraina dalam
rangka merayakan ulang tahun ke-300 Perjanjian Perevaslav yang ditandatangani
antara Hetman Bohdan Khmelnytsky dari Ukraina dan Tsar Rusia Aleksei
Mikhailovich dengan dikeluarkannya resolusi/petisi yang telah ditandatangani
sejumlah pihak yang berkepentingan, dari pemerintahan Rusia, Ukraina, dan tentu
rakyat Krimea itu sendiri. Dikutip berdasarkan tulisan Mark Krammer dalam
CWIHP e-Dossier No. 47, motif lain selain dalam rangka merayakan 300 tahun
Perjanjian Perevaslav, juga merupakan hasil alami dari "kedekatan wilayah Krimea
dengan Ukraina, kesamaan ekonomi mereka, dan hubungan pertanian dan budaya
yang erat antara Oblast Krimea dan Ukraina SSR". Meski hal ini dianggap kurang
kredibel mengingat sebagaimana yang telah penulis sematkan di awal, secara
demografis lebih besar populasi etnis Slavia/Russia Krimea. Menurut Krammer
yang menjadikannya masuk akal mengapa Krimea dilebur ke dalam administrasi
Ukraina adalah latar belakang dari Nikita Khrushchev yang dulunya pernah
menjabat sebagai kepala Partai Komunis Ukraina dari akhir tahun 1930-an hingga
akhir tahun 1949 (selain dari satu setengah tahun selama Perang Dunia II ketika dia
ditugaskan sebagai komisaris politik ke depan).

Pengalihan Krimea ke Ukraina SSR juga secara politik berguna bagi


Khrushchev saat ia berusaha untuk memperkuat dukungan yang ia butuhkan dalam
perebutan kekuasaan yang sedang berlangsung dengan Perdana Menteri Soviet
Georgii Malenkov, yang awalnya muncul sebagai pemimpin terkemuka di Uni
Soviet pada tahun 1953 setelah kematian Joseph Stalin. Setelah berada dalam posisi
yang tidak menguntungkan setelah kematian Stalin, Khrushchev terus merosot di
posisi Malenkov dan mendapatkan keunggulan besar dengan pengangkatannya ke
jabatan Sekretaris Pertama CPSU pada bulan September 1953. Namun demikian,
perebutan kekuasaan pasca-Stalin sama sekali tidak berarti berakhir pada awal
1954, dan Khrushchev berusaha untuk memberikan dukungan sebanyak yang dia
bisa pada Presidium CPSU untuk sebuah tawaran untuk menyingkirkan Malenkov
dari posisi perdana menteri (sebuah prestasi yang dia capai pada Januari 1955).Di
antara mereka yang dukungannya diharapkan Khrushchev untuk mendaftar adalah
Oleksiy Kyrychenko, yang telah menjadi sekretaris pertama Partai Komunis
Ukraina pada awal Juni 1953 (menggantikan Leonid Mel'nykov, yang
menggantikan Khrushchev di pos itu pada Desember 1949) dan tidak lama
kemudian telah diangkat menjadi anggota penuh Presidium CPSU.

Pasca pengakuisisian Ukraina atas Krimea, bukan berarti konflik internal


yang terjadi di Krimea pun turut padam. Masalah mengenai separatisme terus
bergulir sejak tahun 1989 hingga sepanjang periode 90-an. Rakyat Krimea
menginginkan pendirian negara yang otonom terlepas dari Rusia maupun Ukraina
dengan langkah yang diambil yaitu mengajukan petisi dan referendum yang
ditandatangi sebanyak 180.000 orang. Namun petisi ini dianulir oleh presiden
Ukraina saat itu, Leonid Kravchuk. Tak berhenti sampai disitu, sejumlah tokoh
seperti Nikolai Bargov yang menentang Paerlemen Krimea akibat adanya
pengajuan uu konstitusi baru yang dianggap ambigu serta pengusulan adanya
referendum yang tak sesuai dengan harapan rakyat Krimea. Nikolai Bargov
menginginkan Kiev untuk membuat konsesi dan bernegosiasi dengan tawaran yang
lebih baik. Menanggapi hal ini, parlemen Ukraina melakukan intervensi. Pada 13
Mei 1992, Parlemen Ukraina menolak UU Kemerdekaan Krimea dan menyatakan
sebagai inkonstitusional dan memerintahkan Parlemen Krimea membatalkannya
dalam waktu dua minggu. Presiden Kravchuk dan pemimpin Krimea, Barghov,
melakukan kompromi yang menyangkut tuntutan bahwa parlemen Krimea
membatalkan referendum. Kedua pihak kemudian menyetujui status Krimea
sebagai bagian konstituen dari Ukraina yang kemudian dideklarasikan oleh
Parlemen Krimea setelah Juni 1992. Setting politik di semenanjung ini kemudian
menjadi penyebab munculnya gerakan yang lebih radikal.

Jauh sebelum Putin melakukan aneksasi kembali pada Krimea di tahun


2014, pada periode yang sama dengan sepanjang konflik apakah Krimea
mendirikan negara sendiri atau masuk sebagai bagian dari Ukraina, Federasi Rusia
bergerak melakukan penentangan keras terutama atas kemerdekaan Ukraina yang
masih sangat sulit untuk diterima dan terus mengupayakan adanya reunifikasi
antara Ukraina dan Rusia. Hal ini sebagaimana diuraikan oleh Yuri Nikiforenko
pada bulan Maret 1998 mengenai ratifikasi Perjanjian Persahabatan Rusia-Ukraina.
Nikiforenko menegaskan bahwa Rusia tidak menginginkan separuh Ukraina,
melainkan seluruh Ukraina termasuk rakyatnya agar mendukung reunifikasi
tersebut. Hal yang sama juga disetujui oleh sebagian rakyat Ukraina yang lebih
memilih adanya reunifikasi diketimbang pemisahan kekuasaan negara, berdasarkan
survei yang diadakan. Sementara bergabungnya Krimea ke dalam konstituen
Ukraina dan pemberkasan resolusi pada tahun 1954 mengenai pemindah tanganan
Krimea ke Ukraina, dianggap tidak valid dan tidak memiliki dasar kekuatan hukum.

Sebagai konsekuensinya, parlemen Rusia melakukan pemungutan suara


untuk mengadopsi resolusi yang menginstruksikan dua komitenya meninjau
kembali konstitusionalitas dari keputusan 1954. Selama kurun waktu 1992- 1993,
parlemen Rusia meningkatkan tuntutannya atas Krimea dan Sevastopol. Akhirnya
pada 23 Januari 1992, Duma dan Kementerian Luar Negeri menentang transfer
Krimea ke Ukraina, yang menimbulkan protes keras dari Ukraina. Hubungan
Rusia-Ukraina memburuk setelah deklarasi ini. Wakil Presiden Rusia Alexander
Rutskoi mengunjungi Krimea pada 1992 dan menyerukan pemisahan wilayah dari
Ukraina dan sebulan kemudian parlemen Rusia mengeluarkan resolusi
mendeklarasikan bahwa transfer Krimea ke Ukraina pada 1954 adalah ilegal.

Mengenai masalah valid tidaknya Krimea untuk bergabung dalam


kekuasaan Ukraina di Rusia sendiri terbagi menjadi dua suara. Yeltsin dan sebagian
kelompok tidak terlalu peduli apakah Krimea akan ikut dengan Ukraina atau dengan
Federasi Rusia, tetapi yang diperhatikan adalah bagaimana nasib Armada Angkatan
Laut yang Rusia yang bermarkas di Sevastopol. Melalui dubes Rusia untuk
Ukraina, stasiun angkatan laut Sevastopol harus disewakan kepada Rusia. Sebagian
lain (yang terhitung hampir seluruhnya) mencemooh sikap Yeltsin dan tetap
mengklaim bahwa Krimea adalah milik Rusia, bukan Ukraina. Didukung oleh
sentimen elit politik Rusia ingin memberikan tekanan pada Ukraina melalui
ancaman konflik sosial di Krimea (dan keterlibatan militer Rusia di dalamnya)
dalam rangka mengamankan aksesnya ke Sevastopol dengan dasar persepsi patriot
Rusia bahwa Armada Laut Hitam dan persoalan Krimea saling berkaitan, menguat,
dan dipengaruhi oleh publikasi kutipan surat yang dikirim oleh Lukin kepada
Ruslan Khasbulatov, ketua Parlemen Tertinggi Soviet Rusia yang
merekomendasikan Krimea sebagai kartu tawar dalam perselisihan mengenai
armada.

Hal lain yang menjadi dasar mengapa Rusia sangat berambisi untuk
mengadopsi kembali anaknya yang hilang (Krimea), dikarenakan sumber daya
yang berada di wilayah tersebut. Wilayah di selatan dan timur Ukraina ini memiliki
kepentingan strategis bagi Rusia selama bertahun-tahun. Aneksasi Rusia atas
Krimea sangat didorong oleh keinginan Rusia untuk mengurangi strategi
diversifikasi energi dan gas yang dilakukan Ukraina. Agar strategi tersebut berhasil,
semenanjung Krimea memiliki kepentingan strategis. Krimea memiliki sumber
daya minyak dan gas di daerah lepas pantai yang luas di Laut Hitam, yang
jumlahnya diperkirakan antara 4-13 triliun cm gas alam.

Sebagai bukti sebelum aneksasi dan konrfrontasi secara eksplisit terjadi,


pada April 2010, dilakukan perjanjian antara pemerintah Ukraina dengan Rusia
yang dikenal dengan nama “Fleet for gas” sebagai barter untuk perpanjangan masa
penyewaan Armada Laut Hitam Rusia di Sevastopol dimana Ukraina memperoleh
diskon harga 30% untuk impor gas dari Rusia. Perjanjian yang ditandatangani pada
21 April 2010 antara Presiden Yanukovych dengan Presiden Medvedev
memutuskan bahwa Rusia mendapat konsesi perpanjangan masa sewa hingga 25
tahun setelah 2017 dengan tambahan 5 tahun masa sewa (dari 2042-2047).
Perjanjian ini dianggap kontroversial di Ukraina.

Disinilah kemudian Putin berperan. Dengan latar belakang historis


mengenai permasalahan etnis dan masalah mengenai pangkalan armada laut, ia
menggunakan kebijakan near aboard (legalitas akses Rusia terhadap Eropa Tengah
dan Eropa Timur dalam hal pemberian bantuan guna memperluas pengaruhnya) dan
menciptakan apa yang disebut “frozen conflict”2. Setelah mendapatkan konsesi
perpanjangan masa sewa, Putin melalui Yanukovych berusaha untuk memberikan
pengaruhnya dengan pemberian bantuan ekonomi dan perdagangan bebas serta
perjanjian bilateral. Sebagai gantinya Ukraina, mendukung segala bentuk kebijakan
Rusia. Ukraina juga mulai menjaga jarak dengan NATO sebagai garda kerjasama
keamanan dan mendekatkan diri pada Rusia untuk membentuk konsepsi keamanan
baru. Namun tak bertahan lama hingga akhirnya Yanukovych diturunkan dari kursi
kekuasaan setelah adanya aksi demosntrasi besar-besaran di Ukraina hingga
menyebabkan jatuhnya korban jiwa. Sementara di beberapa negara blok timur,
tekanan dan konfrontasi Rusia atas Ukraina justru menurunkan pengaruh yang
selama ini Rusia bangun dan mendekatkan negara-negara seperti Azerbaijan,

2Indriana Kartini, “Aneksasi Rusia di Krimea dan Konsekuensi Bagi Ukraina”, Jurnal Penelitian
Politik, Volume 11 No. 2 Desember 2014 : 27–41
Georgia, dan Moldova, menghentikan ketergantungan mereka terhadap Rusia dan
memulai kerja sama dengan Barat.

Namun dari kerusuhan tersebut pula, di Krimea implikasi yang terjadi justru
sebaliknya. Semakin banyak dorongan dari masyarakat yang ingin melepaskan diri
dari Ukraina dan kembali melakukan referendum. Hasilnya dari 83,01% rakyat
Krimea yang hadir, sebanyak 96,77% memilih untuk ikut dalam Federasi Rusia.
Disusul dengan wilayah Donetsk dan Luhansk yang terpengaruh untuk ikut
memberontak.

Dengan keberhasilan Rusia merebut Krimea pada Maret 2014, Rusia tidak
hanya memperoleh daratan Krimea yang luas tetapi juga zona maritim yang lebih
dari tiga kali ukurannya dengan hak atas sumber daya bawah air yang berpotensi
bernilai triliunan dolar. Tindakan Rusia tersebut juga memperluas batas maritim
mereka, yang secara tidak langsung memberi Rusia dominasi atas cadangan minyak
dan gas yang sangat besar sambil menimbulkan kerugian besar terhadap Ukraina
yang selama bertahun-tahun telah mencoba untuk memanfaatkan sumber daya
tersebut. Diperkirakan ada sekitar 1,5 trilliun meter kubik gas alam dan 1 milliar
ton minyak. Eropa saat ini sangat bergantung terhadap Russia dalam sektor energi,
Ukraina yang sebelum terjadinya krisis sangat pro Eropa dengan adanya hal
tersebut Eropa mendapatkan kesempetan untuk mengurangi ketergantungannya
terhadap Russia. Tetapi dengan adanya krisis ini Ukraina bukan hanya menjauhkan
dirinya dari Eropa tetapi juga kehilangan sumber daya migasnya, hal ini membuat
Eropa terpaksa harus kembali bergantung ke Russia. Dengan ini Eropa sudah tidak
ada pilihan lain selain untuk bergantung terhadap Russia, karena produsen migas
lain yang terdekat adalah Azerbaijan dan Kazahkstan kedua negara tersebut
merupakan negara yang landlock sehingga untuk mengekspor migasnya mereka
harus melewati Russia
KESIMPULAN

Tindakan aneksasi Krimea yang dilakukan Rusia ini turut merubah lingkungan
strategis yang terjadi di wilayah tersebut. Tindakan Rusia ini selain memperkeruh
konflik dengan Ukraina juga mendapat kecaman berat dari Uni Eropa hingga dari
Amerika Serikat. Aneksasi Krimea ini dipercaya dapat mengganggu kepentingan
berbagai pihak terhadap wilayah tersebut. Dengan Krimea menjadi bagian dari
Rusia, tepatnya dari Sevastopol, Rusia dapat mengontrol secara penuh pasokan pipa
gas yang terhubung ke Eropa tanpa harus melibatkan Ukraina. Disisi lain, masalah
mengenai pangkalan Armada Laut Rusia yang begitu krusial juga ambisi Putin yang
ingin menegakkan kembali the great power Rusia pasca runtuhnya pemerintahan
Uni Soviet. Namun yang menjadikannya unik adalah lepasnya Krimea pada tahun
1954 ke tangan Ukraina, setelah sebelumnya Chatherine Yang Agung berusaha
memukul mundur Ottoman dari Krimea hanya dikarenakan nafsu politik seseorang
yang mirisnya setelah kenaikannya menjadi pemimpin Rusia, tanpa ia ketahui yang
memberikan dukungan kepada dia (dalam hal ini rakyat Ukraina) justru negara yang
akhirnya memisahkan diri dari kekusaan Soviet saat keruntuhannya.
DAFTAR PUSTAKA

1. Kartini, Indriana. 2014. Aneksasi Rusia di Krimea dan Konsekuensi Bagi


Ukraina. Jurnal Penelitian Politik, Volume 1 (2): 27–41
2. Herlambang, Erry Mega. Pengaruh Persepsi Vladimir Putin Terhadap
Kebijakan Limited Contingent Intervention Rusia ke Ukraina. Jurnal Analisis
Hubungan Internasional. Diakses melalui laman
http://repository.unair.ac.id/68293/3/Jurnal%20Erry%20Mega%20Herlamban
g.pdf
3. Jafar M. Sidik. Antara News, 2014. Diakses melalui laman
https://www.antaranews.com/berita/422113/lima-fakta-kunci-tentang-krimea
4. Mark Krammer. Wilson Center-. Diakses melalui laman
https://www.wilsoncenter.org/publication/why-did-russia-give-away-crimea-
sixty-years-ago
5. Michael Ray. Britannica-. Diakses melalui laman
https://www.britannica.com/place/Crimea/History#ref341463

Anda mungkin juga menyukai