Bib Public 78
Bib Public 78
Penanggung Jawab
Dr. Asep Ahmad Saefuloh, S.E., M.Si.
Pemimpin Redaksi
Slamet Widodo
Redaktur
Marihot Nasution * Martha Carolina
Savitri Wulandari * Mutiara Shinta Andini
Editor
Marihot Nasution
Sekretariat
Husnul Latifah * Musbiyatun
Memed Sobari * Hilda Piska Randini
Budget Issue Brief Kesejahteraan Rakyat ini diterbitkan oleh Pusat Kajian Anggaran, Badan
Keahlian, Sekretariat Jenderal DPR RI. Isi dan hasil penelitian dalam tulisan-tulisan di
terbitan ini sepenuhnya tanggung jawab para penulis dan bukan merupakan pandangan
resmi Badan Keahlian DPR RI.
Kesejahteraan Rakyat Budget Issue Brief Vol 01, Ed 20, November 2021 ISSN 2775-7994 1
HIGHLIGHTS
Pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden Nomor 82
• Munculnya Perpres Nomor 82/2021
Tahun 2021 tentang Pendanaan Penyelenggaraan Pesantren
yang mencantumkan Dana Abadi (Perpres 82/2021) sebagai salah satu bentuk komitmen kuat
Pesantren sebagai salah satu sumber pemerintah dalam rangka menunjang fungsi pendidikan dan
pendanaan bertujuan untuk mendukung pemberdayaan pesantren di Indonesia, Perpres
menjamin keberlangsungan program tersebut merupakan aturan lanjutan dari UU Nomor 18 Tahun 2019
pendidikan pesantren bagi generasi tentang Pesantren yaitu pasal 49 ayat 2 yang juga telah
berikutnya sebagai bentuk mendapatkan dukungan terbuka dari PB Nahdlatul Ulama, Partai
pertanggungjawaban antargenerasi. Kebangkitan Bangsa, PPP dan Partai Solidaritas Indonesia.
• Dana Abadi Pesantren merupakan Munculnya Perpres Nomor 82/2021 yang mencantumkan
salah satu dari 5 sumber pendanaan
Dana Abadi Pesantren sebagai salah satu sumber pendanaan
penyelenggaraan pesantren (Pasal 4
bertujuan untuk menjamin keberlangsungan program pendidikan
Perpres 82/2021). Sumber lain dari
pendanaan tersebut antara lain dana
pesantren bagi generasi berikutnya sebagai bentuk
dari masyarakat, Pemerintah Pusat, pertanggungjawaban antargenerasi. Pemanfaatan Dana Abadi
Pemerintah Daerah dan sumber lain Pesantren dialokasikan berdasarkan prioritas dari hasil
yang sah dan tidak mengikat. pengembangan dana abadi pendidikan, dimana pemanfaatan dana
abadi pesantren dimaksudkan untuk penyelenggaraan fungsi
• Pemanfaatan Dana Abadi Pesantren
pendidikan yang dijalankan pesantren. Hal ini diinisiasi pemerintah
dialokasikan berdasarkan prioritas
sebagai salah satu bentuk perluasan manfaat dari hasil kelolaan
dari hasil pengembangan dana abadi
pendidikan, utamanya digunakan Dana Abadi Pendidikan yang saat ini telah mencapai sekitar Rp90,69
untuk penyelenggaraan fungsi triliun. Selain itu, dengan adanya perpres ini dapat dimaksimalkan
pendidikan pesantren. untuk memajukan dakwah yang moderat di kalangan pesantren
seluruh Indonesia.
pesantren dapat berupa tiga hal, yaitu uang, barang dan jasa sebagaimana diatur dalam pasal 5 Perpres
82/2021.
Meskipun Perpres 82/2021 sampai saat ini sudah disahkan namun pihak Kementerian Agama
selaku pengelola dana abadi pensantren perlu melakukan koordinasi bersama Kementerian Keuangan
(Kemenkeu) baik yang terkait mekanisme alokasi anggaran maupun prioritas program yang dapat
didanai oleh dana abadi pesantren ini. Rabithah Ma'ahid Islamiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama
(RMI PBNU) mengusulkan agar alokasi untuk pesantren setidaknya 20 persen dari dana abadi
pendidikan. Hal ini tentunya merupakan hal yang perlu dikoordinasikan dengan Kemenkeu dengan
didukung kajian yang relavan terkait urgensi alokasi dana tersebut.
Dalam hal pemantauan dan evaluasi, Kementerian Agama merupakan kementerian teknis yang
melakukan pemantauan dan evaluasi terhadap sumber dan pemanfaatan pendanaan penyelenggaraan
pesantren, termasuk dana abadi pesantren. Pemantauan dan evaluasi tersebut dilakukan secara
berkala dan sewaktu-waktu dapat dilakukan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait dan
pemerintah daerah (Pasal 25 ayat 1 Perpres 82/2021).
Tantangan ke depan yang dihadapi pihak pesantren dalam hal adanya dana abadi pesantren
adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban dana abadi pesantren yang akuntabel. Hal ini mengingat
keberpihakan anggaran negara bagi pesantren masih minim maka dengan hadirnya dana abadi
pesantren dan juga dana APBN dan APBD yang menjadi sumber pendanaan penyelenggaraan pesantren
diharapkan pihak pesantren mampu menggunakan dana tersebut secara akuntabel dan transparan
(News.detik.com, 2021). Beberapa pihak juga menyampaikan di media perihal kehawatirannya atas
alokasi dana abadi pesantren jika dibagikan ke pesantren terutama begi pesantren yang berpaham anti-
NKRI. Dari kekhawatiran tersebut muncul himbauan agar dana abadi pesantren tidak disalurkan pada
pesantren yang terindikasi berpaham anti-NKRI, melainkan dana abadi tersebut harus disalurkan
kepada pesantren yang memang membutuhkan. Selain itu, diharapkan agar tidak terdapat motif politik
dari pengucuran dana abadi pesantren dikarenakan dampak kultural dan tradisi baru dalam sistem
pesantren yaitu mekanisme berpayung hukum yang menghubungkan antara pesantren dengan negara.
Penyaluran dana abadi pesantren ini juga diharapkan agar bebas dari praktik pungutan liar/pungli dan
harus bersih dari unsur suap atau risywah (Timesindonesia.co.id, 2021).
stunting di daerah tidak akan bisa mencapai maksimal, karena pelaksanaannya tidak fokus dan tidak
tepat sasaran (Karnavian, Kemendagri, 2021).
Tantangan penurunan stunting saat ini menjadi lebih besar lagi akibat adanya pandemi Covid-19
yang sedang terjadi saat ini. Pertama, pandemi Covid-19 dikhawatirkan akan meningkatkan angka
stunting, sebagai dampak dari meningkatnya angka pengangguran dan angka kemiskinan selama
pandemi Covid-19. Kondisi ini dikhawatirkan akan menurunkan konsumsi nutrisi pada kelompok ibu
hamil, anak-anak, dan bayi yang secara tidak langsung akan menimbulkan risiko kejadian berat badan
bayi rendah disertai juga tanda-tanda pertumbuhan secara fisik organnya juga rendah (Suprapto,
Kemenko PMK, 2021). Kedua, adanya pandemi Covid-19 mengakibatkan banyaknya perubahan
perilaku di masyarakat, salah satunya perubahan perilaku hidup bersih dan sehat, baik dalam langkah
promotif maupun preventif. Dalam perubahan perilaku di masyarakat ini tidaklah mudah, yang mana
diperlukan edukasi dan penyesuaian serta dalam pelaksanannya pun dibutuhkan waktu, kontinuitas,
dan konsisten (Sadikin, Kemenkes, 2021). Perubahan perilaku yang dapat memengaruhi stunting ini,
diperkuat dengan adanya 29 persen anak-anak dari kelompok menengah ke atas mengalami stunting
(Mursalin, TP2AK, 2021). Ketiga, kegiatan program pencegahan stunting di masyarakat sempat
terhenti karena petugas menerapkan pembatasan jarak dan aktivitas (Mursalin, TP2AK, 2021).
Dari Kementerian Kesehatan sendiri menyampaikan dalam laporan kinerja tahun 2020-nya
mengakui beberapa tantangan yang dihadapi dalam penanganan stunting di masa pandemi
diantaranya: 1) terjadinya gangguan layanan gizi terutama di fasilitas pelayanan kesehatan dan
posyandu karena adanya pembatasan mobilitas masyarakat untuk mencegah penularan virus Covid-
19; 2) dalam menjalankan layanan kesehatan di masa pandemi diketahui bahwa hanya 19,2 persen
puskesmas yang tetap melaksanakan Posyandu, sementara pelaksanaan pemantauan pertumbuhan
bayi dan balita dilakukan di Posyandu tersebut.
Upaya Percepatan Penurunan Stunting
Upaya pemerintah dalam percepatan penurunan stunting dengan melaksanakan 8 aksi
konvergensi yang terdiri dari a) analisis situasi; b) rembug stunting; c) peran walikota/bupati, d) peran
desa/kelurahan; e) pembinaan kader pembangunan manusia; f) sistem manajemen data; g)
pengukuran dan publikasi data stunting; dan h) reviu kinerja tahunan. Aksi konvergensi ini dimulai dari
tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pemantauan dan evaluasi program/kegiatan. Selain dari 8 aksi
konvergensi di atas, upaya yang sudah dilakukan pemerintah antara lain: melakukan intervensi spesifik
terdiri dari pemberian makanan pendamping ASI; makanan tambahan ibu hamil dan balita kurus;
imunisasi; konseling dan pendidikan gizi, dan intervensi sensitif terdiri dari: penyediaan air bersih;
sanitasi; perlindungan sosial; stimulasi dini; PAUD; dan bantuan pangan.
Upaya lain yang dilakukan dalam menurunkan angka prevalensi stunting yang disebabkan adanya
pembatasan jarak dan aktivitas, tenaga kesehatan dari Posyandu masing-masing daerah melakukan
pemantauan ibu hamil dan anak balita. Upaya ini dilakukan di lingkungan RT dengan melakukan
pemantauan melalui grup WhatsApp dengan sasaran bayi, balita dan ibu hamil, serta melakukan
Posyandu keliling (Posling) langsung ke rumah sasaran secara door to door untuk menyambangi setiap
rumah bayi, balita, dan ibu hamil. Kegiatan ini menjadi rutinitas para kader-kader Posyandu selama
pandemi Covid-19, para kader tersebut mendatangi rumah-rumah sasaran didampingi tim dari
Puskesmas dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat.
Melihat adanya tantangan dan kendala yang dihadapi, serta upaya yang dilakukan pemerintah
dalam menurunkan prevalensi stunting, pemerintah perlu melakukan upaya-upaya yang lebih
komprehensif dalam menurunkan prevalensi stunting seperti: ketersediaan tenaga kesehatan dan tim
penyuluh untuk menyosialisasikan dan mengedukasi langkah-langkah yang harus dilakukan dalam
percepatan penurunan stunting. Dibutuhkan pula kerja keras dari pemerintah pusat, pemerintah
daerah, dan pemerintah desa serta peran dan dukungan masyarakat untuk ikut dalam program
penurunan stunting, mengingat hingga saat ini pandemi Covid-19 masih berlangsung, dan pandemi
Covid-19 ini merupakan bagian yang menghambat survei prevalensi stunting.
KESEJAHTERAAN RAKYAT
Komisi X *Edisi Khusus: Hasil Karya Magang di Rumah Rakyat*
17.927.308 siswa dengan total anggaran mencapai Rp9,6 triliun. Namun, hingga saat ini anggaran yang
direalisasikan baru sebesar Rp5,5 triliun dan dana yang baru dicairkan ke dalam rekening peserta
sebesar Rp5,3 triliun atau 97.01 persen. Meskipun program ini bermanfaat bagi keluarga tidak mampu,
tetapi dalam pengelolaannya masih dijumpai beberapa hambatan/kekurangan. Beberapa masalah
tersebut antara lain terkait buruknya pendataan penerima bantuan, ketidakjelasan koordinasi
antar lembaga, dan kurangnya sosialisasi serta edukasi tentang mekanisme pencairan bantuan
dari program.
Berdasarkan hasil audit tahun anggaran 2018 hingga semester I 2020 oleh Badan Pemeriksa
Keuangan/BPK ditemukan bahwa perencanaan PIP belum dilaksanakan secara memadai yang
mengakibatkan pendataan PIP yang berdasarkan Nomor Induk Siswa Nasional dan Nomor Induk
Kependudukan belum dapat digunakan sebagai acuan untuk pemberian bantuan karena tidak dapat
menerangkan status ekonominya sehingga PIP seringkali tidak tepat sasaran karena diberikan
kepada siswa yang tidak layak/tidak diusulkan menerima. Pendataan yang dilakukan secara tidak
transparan merupakan salah satu permasalahan utama PIP. Dalam mengalokasikan dana bantuan
pendidikan nasional, pemerintah selalu mengacu pada Dapodik. Namun, data tersebut mengandung
banyak permasalahan. Menurut Koordinator Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia, salah satu
permasalahan adalah adanya pendataan yang tidak dilakukan secara partisipatif. Kemendikbud
memperoleh data dari Dapodik langsung melalui Dinas Pendidikan dan sekolah. Akan tetapi, data
tersebut tidak dapat menjamin kebenaran status ekonomi siswa saat ini. Misalnya, siswa yang
seharusnya tergolong tidak mampu tergolong kelompok yang mampu di sekolah sehingga
pendampingan PIP tidak mengarah pada personil terkait. Di sisi lain, pihak sekolah juga tidak
melakukan pemutakhiran data dan tidak langsung meninjau status ekonomi masing-masing siswa.
Kerjasama antar lembaga pelaksana PIP yang juga belum terintegrasi dengan baik sehingga
menyebabkan setiap lembaga memiliki data status ekonomi warga yang berbeda-beda yang
mengakibatkan masih terdapat banyak keluhan terhadap ketidak tepat sasaran penerima PIP. Salah
satu penyebab lain masih
dijumpainya ketidaktepatan
sasaran penerima KIP adalah
kurangnya sosialisasi dari
pemangku kepentingan terkait
dengan siapa yang seharusnya
berhak mendapatkan KIP dan
persyaratan yang harus
dipenuhi dalam prosedur
pengajuannya. Kurangnya
Sumber: pip.kemdikbud.go.id/nominasi/nasional edukasi dan sosialisasi yang
dilakukan oleh pemangku
kepentingan terkait, menyebabkan masih adanya calon penerima PIP yang seharusnya mendapatkan
haknya, tidak mendapatkan haknya dikarenakan masih belum adanya panduan, maupun
sosialisasi terkait aktivasi tata cara pendanaan dari program tersebut, yang menyebabkan dana yang
seharusnya sudah dicairkan guna kepentingan program ini, kembali kepada kas negara kembali.
Pemerintah perlu mengatasi berbagai permasalahan dalam hal pengelolaan program ini di masa
mendatang. Oleh karenanya, diperlukan sistem yang dapat mengakomodir alur koordinasi untuk
setiap lembaga pelaksana, terutama untuk kerjasama antara Kemendikbud, Kementerian Sosial, Tim
Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan, dan Badan Pusat Statistik, serta memadukan PIP
dengan Program Keluarga Harapan (PKH) agar data yang digunakan relevan dengan kondisi
ekonomi penerima PIP. Menyatukan sistem PIP dengan PKH tidak hanya membantu pemerintah dalam
permasalahan pendataan tetapi juga dapat memangkas anggaran pemerintah terhadap sistem kedua
program tersebut dan mengalihkannya untuk menambah besaran jumlah yang diterima peserta
program. Pemerintah juga perlu meningkatkan kerjasama dengan dinas terkait pada level
provinsi, kabupaten, kota, dan tiap-tiap sekolah agar kegiatan sosialisasi PIP dapat terlaksana
secara merata sehingga masyarakat memahami prosedur pengajuan maupun pencairan dana PIP.