Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Wawasan kebangsaan lahir ketika bangsa Indonesia berjuang membebaskan diri
dari segala bentuk penjajahan. Kendati demikian, catatan sejarah perlawanan para
pahlawan itu telah membuktikan kepada kita tentang semangat perjuangan bangsa
Indonesia yang tidak pernah padam dalam usaha mengusir penjajah dari Nusantara.
Dalam perkembangan berikutnya, muncul kesadaran bahwa perjuangan yang bersifat
nasional, yakni perjuangan yang berlandaskan persatuan dan kesatuan dari seluruh
bangsa Indonesia akan mempunyai kekuatan yang nyata.
Istilah Wawasan Kebangsaan terdiri dari dua suku kata yaitu “Wawasan” dan
“Kebangsaan”. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002) dinyatakan bahwa secara
etimologis istilah “wawasan” berarti: (1) hasil mewawas, tinjauan, pandangan dan dapat
juga berarti (2) konsepsi cara pandang. Wawasan Kebangsaan sangat identik dengan
Wawasan Nusantara yaitu cara pandang bangsa Indonesia dalam mencapai tujuan
nasional yang mencakup perwujudan Kepulauan Nusantara sebagai kesatuan politik,
sosial budaya, ekonomi dan pertahanan keamanan (Suhady dan Sinaga, 2006).
“Kebangsaan” berasal dari kata “bangsa” yang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2002) berarti kelompok masyarakat yang bersamaan asal keturunan, adat, bahasa, dan
sejarahnya, serta berpemerintahan sendiri. Sedangkan “kebangsaan” mengandung arti (1)
ciri-ciri yang menandai golongan bangsa, (2) perihal bangsa; mengenai (yang bertalian
dengan) bangsa, (3) kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara. Dengan demikian
wawasan kebangsaan dapat diartikan sebagai konsepsi cara pandang yang dilandasi akan
kesadaran diri sebagai warga dari suatu negara akan diri dan lingkungannya di dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara yang mengutamakan kesatuan dan persatuan wilayah
dalam penyelenggaraan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kesatuan atau integrasi nasional bersifat kultural dan tidak hanya bernuansa
struktural mengandung satu kesatuan ideologi, kesatuan politik, kesatuan sosial budaya,
kesatuan ekonomi, dan kesatuan pertahanan dan keamanan. Wawasan kebangsaan
berkaitan erat dengan Nasionalisme Indonesia. Nasionalisme adalah satu paham yang
menciptakan dan mempertahankan kedaulatan sebuah negara (dalam bahasa Inggris
"nation") dengan mewujudkan satu konsep identitas bersama untuk sekelompok manusia
yang dapat menonjolkan dirinya sebagai sebagian paham negara atau gerakan (bukan
negara) yang populer berdasarkan pendapat warganegara, etnis, budaya, keagamaan dan
ideologi. Kategori tersebut lazimnya berkaitan dan kebanyakan teori nasionalisme
mencampuradukkan sebahagian atau semua elemen tersebut.
Pada masa sekarang ini satu hal yang perlu dibenahi oleh bangsa Indonesia adalah
mentalitas warga masyarakatnya. Sikap mental yang kuat dan konsisten serta mampu
mengeksplorasi diri adalah salah satu bentuk konkrit yang dibutuhkan bangsa Indonesia
pada saat ini. Saat ini memang bangsa Indonesia sedang mengalami massa-masa
keterpurukanya dalam dunia intetrnasional. Krisis multidimensi yang di barengi dengan
krisis ekonomi yang berkepanjanganlah yang menyebabkan kegoncangan dan
keterpurukan mental Indonesia.
B. Rumusan Masalah

1. Apakah yang dimaksud dengan “Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat Pluralistis”?


2. Apa yang membedakan wawasan lokal dengan wawasan nusantara?
3. Bagaimana Pemahaman Kritis SARA dalam Pluralitas Bangsa?
4. Apa hubungan antara Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional?
5. Bagaimana Nasionalisme dalam Perspektif Indonesia ?
6. Bagaimana cara Membina Rasa Nasionalisme dalam Ekspresi Kenegaraan Kesatuan Republik
Indonesia serta Mengembangkan Perilaku Nasionalisme dalam Konteks Indonesia ?

A. Tujuan

1. Memahami akan pemahamankritis SARA dalam pluralitas bangsa


2. Menambah wawasan akan arti daripada hakikat ‘wawasan kebangsaan’
3. Guna untuk meningkatkan jiwa nasionalisme bangsa Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN

1. Masyarakat Indonesia adalah Masyarakat Pluralistis


Kondisi geografis dan sosial budaya nusantara lebih banyak mewarnai corak
kehidupan bangsa Indonesia. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang majemuk
(pluralistis). Kemajemukan masyarakat Indonesia itu ditandai oleh beberapa faktor, yang
antara lain oleh perbedaan suku, agama, ras/etnis dan antar golongan serta kebudayaan
lokal yang beraneka ragam. Sebagai konsekuensi masyarakat yang pluralistis, masyarakat
Indonesia secara kultural memiliki kebudayaan yang bersifat majemuk (kebhinekaan)
pula. Jika dikaji secara mendalam, kemajemukan budaya tidak saja memiliki makna
sosial, akan tetapi juga bisa bermakna politis. Hal ini disebabkan bukan saja karena setiap
etnik mempunyai daerah asal yang jelas otonomi dan batas-batasnya, melainkan juga
memiliki kultur politik (political culture) yang beragam. Dalam kondisi variasi kultur ini,
kultur politik yang berkembang pada masyarakat lokal bisa sama dan bisa berbeda
dengan kultur politik negara. Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa persoalan
kebudayaan tidak saja penting menjadi agenda masyarakat lokal akan tetapi juga penting
menjadi tanggungjawab pemerintah (negara). Dan ini terkadang bisa menyebabkan
hubungan antara masyarakat lokal dan negara menjadi tidak seimbang, lantaran
terdapatnya benturan nilai-nilai kultural rakyat dan nilai yang dikembangkan sebagai
kultur negara.
Masyarakat Indonesia yang majemuk, yang ditandai oleh beragamnya
kebudayaan daerah, pada dasarnya merupakan masyarakat yang rentan akan konflik. Hal
ini disebabkan karena masing-masing kebudayaan daerah secara ideasional dan fisik,
memiliki karakteristik yang berbeda yang sulit untuk berintegrasi. Masing-masing
pendukung kebudayaan daerah (baca: suku-suku bangsa) saling berupaya agar
kebudayaan yang dihasilkan mampu bertahan sebagaimana kebudayaan-kebudayaan
daerah yang lain. Nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh suatu masyarakat terkadang justru
berbeda dengan nilai-nilai budaya yang telah disepakati oleh masyarakat di tempat dan
lingkungan geografis lain. Kendatipun disadari adanya pepatah Jawa; “desa mawa cara”
dan “kutha mawa tata” (desa dan kota yang memiliki cara dan aturan sendiri-sendiri), hal
demikian bisa jadi akan berpengaruh bagi wawasan mereka, ketika pola pikir lokal
ditempatkan dalam kerangka pikir kehidupan berbangsa dan bernegara (nasional). Dalam
kaitan itu, ketika persoalan kebudayaan dipandang penting sebagai agenda pemerintah
dan demikian seringnya persoalan kebudayaan dimasukkan dalam konteks kehidupan
berbangsa, berakibat penanganan masalah kebudayaan berubah menjadi argumen politik
pemerintah.
Dalam kasus negara kita, kebudayaan politik (political culture) sebagian besar
ditandai oleh usaha pemerintah untuk mencapai politik kebudayan (political culture).
Berkaitan dengan dua konsep itu, Emersen (dalam Egnas Kleden, 1987), menegaskan
bahwa kebudayaan politik adalah orientasi budaya kelompok elite politik yang sangat
menentukan orientasi politik mereka sendiri; sedangkan politik kebudayaan menunjukkan
kepada kenyataan dimana perbedaan-perbedaan kebudayaan diperpolitikkan dan
perbedaan politik diungkapkan dalam idiom-idiom kebudayaan. Dalam hal ini, negara
tidak perlu merumuskan kebijakan nasional seperti apa, melainkan cukup memberikan
kelonggaran bagi budaya lokal (daerah) agar mampu berekspresi dan menghormati
aspirasi dan keunggulan masing-masing. Perlu disadari, bahwa dalam konteks bangsa dan
negara Indonesia, aspirasi budaya lokal merupakan sebuah potensi bangsa yang sangat
bermakna bagi pembangunan nasional, terutama bagi nation and character building
Indonesia. Oleh karena itu, lembaga-lembaga kenegaraan seyogyanya berkonsentrasi
penuh dalam memahami hal ini, dan secara politik berperan sebagai culture broker
(pialang budaya) antara negara dengan entitas budaya masyarakat lokal yang beragam.
Pentingnya posisi ‘penghubung’ dalam menjembatani antara dua kubu negara dan
masyarakat, elite dengan massa, logika nasional dan logika lokal (daerah) menjadi
keharusan yang dilakukan bagi para pengambil keputusan dan penentu arah
pembangunan. Selain faktor politik, budaya juga sangat berpengaruh terhadap kehidupan
suatu masyarakat, khususnya bagi pengembangan manusia itu sendiri. Clifford Geertz
(dalam Ali, 1997), mengatakan bahwa budaya merupakan way of life, suatu petunjuk
bagi tindakan dan tingkah laku manusia, yaitu ekspresi nilai-nilai dan cita-citanya. E. B
Tylor, mengartikan budaya sebagai keseluruhan kompleks yang meliputi pengetahuan,
kepercayaan, seni, moral, kesusilaan, hukum, adat-istiadat, serta kemampuan-
kemampuan dan kebiasaan lainnya yang dipelajari oleh manusia sebagai anggota
masyarakat (Keontjaraningrat, 1982). Oleh karena itu, budaya memberi identitas kepeda
sekelompok orang. Dia memiliki karateristik yang terjabar dalam aspek-aspek
budayanya, misalnya bahasa, pakaian, penampilan, kebiasaan makan, nilai dan norma,
kepercayaan dan sebagainya. Budaya memang sangat erat dengan kehidupan manusia,
mulai dari gagasan pola aktivitas tingkah laku sampai dengan produk benda-benda
budaya. Demikian halnya dengan kehidupan politik. Tingkah laku manusia dan pilihan-
pilihan politiknya, banyak ditentukan oleh latar belakang budaya; atau bahkan orientasi
politik pun sangat ditentukan oleh budaya. Karakteristik budaya menunjukkan aspirasi
lokal yang tumbuh dan berkembang pada daerah-daerah di mana bangsa Indonesia
berada. Pemahaman dan pengkajian secara cermat, kritis dan penuh kehati-hatian
terhadap aspirasi budaya itu, akan menentukan proses interaksi sosial bagi masyarakat
Indonesia yang beraneka ragam. Karena itu aspirasi lokal akan menentukan bagi
berkembangnya wawasan lokal, yang sama pentingnya dengan wawasan nasional.

2. Wawasan Lokal dan Wawasan Nasional


Wawasan Nasional cara pandang suatu bangsa yang didalamnya menampakkan
bagaimana suatu bangsa itu melakukan dialogis dengan kondisi geografis dan sosial
budayanya. Wawasan nasional, juga diartikan sebagai cara pandang nasional yang
merupakan salah satu gagasan falsafah hidup bangsa yang berisikan dorongan-dorongan
(motives) dan rangsangan (drives) di dalam merealisasikan dan mencapai aspirasi serta
tujuan nasionalnya. Bangsa Indonesia telah memiliki wawasan nasional ini, yaitu
‘wawasan nusantara’. Wawasan ini, tidak saja berlatar filosofis dan normatif, akan tetapi
juga sekaligus sebagai analisis kajian empirik terhadap segala sesuatu yang menjadi
realitas bangsa Indonesia. Oleh karena itu, wawasan nusantara (sebagai wawasan
nasional) hendaknya diposisikan dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara
Indonesia, yaitu sebagai cara pandang bangsa, aspek kewilayahan dan wawasan
pembangunan nasional. Implementasinya tidak saja sebagai pola pikir yang didasarkan
pada tata budaya dan tata krama nasional, akan tetapi juga dalam tata hukum nasional
yang mencakup ke seluruh aspek kehidupan bangsa (ipoleksosbudhankam).
Namun demikian, dalam tataran lokal (daerah) bangsa Indonesia memiliki apa
yang disebut dengan ‘wawasan lokal. Hal ini disebabkan karena bangsa Indonesia yang
terdiri dari berbagai suku bangsa, yang memeluk agama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa yang berbeda-beda, berbicara dalam bahasa daerah yang berbeda-beda,
memiliki adat – kebiasaan (budaya daerah) yang berbeda-beda pula. Wawasan lokal
dirasakan sangat perlu bagi kehidupan masyarakat di daerah, karena dapat digunakan
dalam mengembangkan potensi dan kelebihan setiap daerah. Selain itu, dengan ‘wawasan
lokal’ dapat digunakan sebagai cara pandang setiap daerah untuk mengetahui dan
memperbaiki berbagai kekurangan yang dimiliki. Hubungan wawasan nasional (wawasan
nusantara) dengan wawasan lokal, hendaknya tidak kita maknai sebagai sesuatu yang
kontradiktif. Sebab, antara keduanya selalu memiliki hubungan yang erat dan tidak
terpisahkan. Munculnya keanekaragaman wawasan lokal jangan sampai sebagai sebab
timbulnya perpecahan (disintegrasi) bangsa. Persoalannya sekarang, bagaimanakah
eksistensi ‘wawasan nasional’ itu, jika dikaitkan dengan keberadaan ‘wawasan
lokal’yang melekat dalam kehidupan bangsa Indonesia, padahal dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara, keberadaan wawasan nasional, pada dasarnya digunakan
sebagai ‘jembatan’ penghubung dan pemersatu bagi wawasan lokal yang terdapat di
setiap atau geografis nusantara. Jadi, wawasan lokal pada dasarnya boleh berbeda dengan
wawasan nasional, namun ada jembatan yang menghubungkan kedua wawasan tersebut.
Selanjutnya, wawasan lokal tidak boleh bertentangan dengan wawasan nasional,
dalam arti tidak boleh keluar dati konteks wawasan nasional. Keperbedaan wawasan
lokal dengan wawasan nasional, harus diartikan sebagai variasi dan kekayaan yang
dimiliki oleh bangsa Indonesia yang diangkat dari keanekaragaman budaya yang ada.
Secara demikian, munculnya wawasan nasional merupakan hasil interaksi dari wawasan
lokal yang beranekaragam. Agar eksistensi wawasan nasional dan wawasan lokal tersebut
dapat dikembangkan dan dilestarikan, maka kebijakan nasional yang dikeluarkan oleh
pemerintah pusat dan kebijakan daerah yang dikeluarkan oleh pemerintah daerah (dalam
konsep otonomi daerah) harus terjadi saling mendukung dan juga harus bisa
menjembatani antara dua wawasan tadi. Kalau tidak, maka konflik bisa dipastikan akan
selalu muncul dalam daerah-daerah di seluruh nusantara. Perumusan kebijakan nasional
harus selalu memperhatikan aspirasi yang berkembang dalam kehidupan masyarakat
lokal. Ragam kehidupan yang terjadi dalam sifat kemajemukan bangsa Indonesia,
hendaknya patut ditangkap dan dimaknai secara kritis, bahwa mereka saling memiliki
‘keunggulan’ diantara yang lain. keunggunlan inilah yang harus dijadikan sebagai
wacana negara (pemerintah) atau juga suku-suku bangsa di lingkungan wilayah negara
itu, agar negara atau suku bangsa tersebut sama-sama merasa memiliki nilai lebih dalam
suasana kehidupan kebersamaan dan kekeluargaan. Secara demikian, pendekatan
etnosentris, tidak akan berlaku untuk melihat atau bahkan tidak mungkin untuk menilai
kebudayaan atau aspirasi masyarakat atau orang lain yang hidup dalam alam
kemajemukan di nusantara ini.

3. Pemahaman Kritis SARA dalam Pluralitas Bangsa


SARA merupakan akronim dari Suku, Agama, Ras, dan Antar Golongan, adalah
sebuah fenomena kemasyarakatan yang tumbuh dan berkembang dalam kehidupan
masyarakat Indonesia. Dengan kata lain, SARA adalah gejala inhern (menyerta dan
bersamaan) dengan kondisi masyarakat Indonesia yang bersifat pluralistis. Lebih dari itu,
SARA nampak menjadi kekayaan bangsa dan masyarakat Indonesia, karena dengan itu
masyarakat menjadilebih variatif dan dinamis. Namun demikian, tidak jarang muncul
persepsi negatif berkaitan dengan SARA ini. Berbagai konflik, kerusuhan dan gejolak
sosial yang timbul di dalam masyarakat kita, hampir semua dikaitkan dan bahkan
dituduhka kepada persoalan SARA. Masyarakat cenderung tidak pernah bergeming dari
perspektif yang diyakininya dalam memahami penyebab kerusuhan, kecuali SARA selalu
dijadikan tersangka utamanya dan causa prima dari gejolak sosial masyarakat. SARA
selalu dipandang sebagai potensi konflik daripada energi politis yang mewujudkan
demokrasi dan kemajemukan sosial. Sekarang, pemahaman realitas SARA hendaknya
harus dirajutkembali. Ideologi dan perspektif terhadap SARA, perlu penataan ulang
dalam dimensi pikir, dari ideologi awalnya bahwa SARA sebagai sumber pemicu
perpecahan sosial, menjadi SARA sebagai kekuatan untuk pemberdayaan dan demokrasi
masyarakat. Langkah ini, kiranya tidak bisa dilakukan secara ‘gegabah’, dan karena itu
memerlukan pemikiran yang serius dan penuh kehati-hatian. Sebab realitas SARA
memang rentan dengan konflik yang kadang penuh dengan kerawanan untuk saling
bertubrukan. Agar hal itu tidak muncul dalam praktik kehidupan, salah satu caranya
adalah dengan meletakkan peran negara sebagai fasilitator, dinamisator, dan stabilisator
kekuatan-kekuatan yang ada dalam komponen SARA. Negara juga harus mampu
menjembatani atau mengakomodasi setiap benturan kepentingan. Sebagai contoh, agama
tidak boleh digunakan sebagai sarana berpolitik, akan tetapi kenyataannya oleh penguasa,
agama justru digunakan sebagai alat bermobilisasi rakyat demi kepentingan rezim.
Contoh lain, kebudayaan sering diperpolitikkan oleh penguas sehingga aspirasi pemilik
dan pendukungbudaya itu tidak nampak, dan celakanya ekspresi budaya selalu berada
dalam hegemoni negara demi suksesnya ideologi penguasa.

4. Hubungan Wawasan Kebangsaan dan Integrasi Nasional


Secara sederhana, ‘wawasan kebangsaan’ Indonesia dapat didefisinikan sebagai
cara pandang kesatuan kebangsaan Indonesia. Jika dikaitkan dengan sifat pluralitas
masyarakat Indonesia, maka substansi wawasan kebangsaan adalah ‘integrasi nasional’,
atau setidaknya integrasi nasional ini merupakan unsur atau aspek terpenting dalam
wawasan kebangsaan. Wawasan kebangsaan dan integrasi nasional merupakan dua hal
yang tidak bisa dipisahkan. Dia ibarat ‘kepingan mata uang’, yang selalu menyatu dan
saling menentukan kadar atau nilainya dalam pasar. Karena itu, terbentuknya integrasi
nasional yang kokoh, akan banyak ditentukan oleh pengetahuan dan wawasan
kebangsaan. Secara demikian, wawasan kebangsaan dan integrasi nasional adalah ‘kata
kunci’ untuk membina dan mempertahankan persatuan dan kesatuan bangsa. Dalam
kaitan itu,ada beberapa faktor yang perlu diperhatikan untuk membangun wawasan
kebangsaan Indonesia yang ‘solid’ dan integrasi nasional yang mantap serta kokoh.
Pertama, kemampuan dan kesadaran bangsa dalam mengelola perbedaan-perbedaan
suku,agama,ras dan antara golongan serta keanekaragaman budaya dan adat istiadat yang
tumbuh dan berkembang di wilayah nusantara.Perbedaan-perbedaan itu bukanlah sebagai
suatu hal yang harus dipertentangkan,akan tetapi harus diartikan sebagai kekayaan dan
potensi bangsa. Kedua, kemampuan mereaksi penyebaran ideologi asing,dominasi
ekonomi asing serta penyebaran globalisasi dalam berbagai aspeknya. Dunia memang
selalu berubah seirama dengan perubahan masyarakat dunia.
Namun bersamaan dengan itu,ideologi dunia juga merambah dikawasan global
yang siap menyebarkan ‘virus’ perubahannya keseluruh penjuru dunia yang meliputi
seluruh aspek kehidupan. Dalam kaitan ini, perwujudan wawasan kebangsaan dan
integrasi nasional,terkadang sering goyah akibat tuntutan dunia yang tidak kenal batas
itu. Persoalan yang perlu dicermati, bagaimana suatu bangsa mampu membangun
wawasan nasional dan integrasi nasional dengan mantap dan kokoh, sebagai modal dalam
membangun sebuah ‘pendirian’ketika isu-isu global itu mulai ditawarkan.Sebagai warga
dunia , setiap warga negara dan bangsa hendaknya mampu berpikir kritis terhadap
kemajuaan dunia, agar mereka selalu memiliki world view (pandangan dunia) secara
mantap dan tidak ketinggalan oleh kemajuan bangsa-bangsa lain. Namun demikian,
perspektif global juga tidak lepas dengan sebuah paradox,yang kadang bisa
membingungkan masyarakat dunia.Dalam rangka ini, kematangan pendirian sebuah
bangsa menjadi penting, karena dengan itu, suatu bangsa akan mampu melakukan
pilihan-pilihan secara rasional (rational choices) terhadap apa yang sedang muncul
sebagai ‘gebyar jaman’ (dunia). Posisi lokal hendaknya juga perlu diperhatikan dalam
menentukan pendirian bangsa Indonesia atas semangat kebangsaannya. Abad ke-21,
milenium baru yang bercirikan liberalisasi dan perdagangan serta mendewa-dewakan
budaya global itu,bisa melanda bangsa-bangsa yang melewah wawasan kebangsaannya.
Persoalan sekarang , integrasi nasional yang seperti apa yang hendak kita
kembangkan di Indonesia, yang masyarakatnya bersifat majemuk (pluralistis) itu?
Beranalog dengan konsep wawasan kebangsaan tadi, maka integrasi nasional hendaknya
juga diartikan bukan sebagai benda akan tetapi harus diartikan sebagai “semangat” untuk
melakukan penyatuan terhadap unsur-unsur dan potensi masyarakat Indonesia yang
beranekaragam. Secara demikian, integrasi nasional di Indonesia, bukanlah sebuah
‘peleburan’ yang sifatnya ‘unifikatif’,akan tetapi lebih tepat disebut integrasi nasional
yang bersifat ‘difersifikasi’ (pembedaan). Dengan cara ini perbedaan tetap diakui, karena
dengan ini masyarakat akan bebas berekspresi selaras dengan aspirasi dan way of life
yang diangkat dengan nilai-nilai moral yang bersumber dari budaya daerah setempat
(local).
Disamping itu, integrasi nasional yang defersifikatif lebih nampak
demokratis,ketimbang integrasi nasional yang unifikatif yang justru mengarah pada
perkosaan HAM dan memungkiri realitas perbedaan. Integrasi nasional yang
defersifikatif, lebih sesuai dengan semboyan yaitu “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya
berbeda-beda itu pada hakekatnya adalah satu. Karena perbedaan masyarakat merupakan
realitas sosial, maka keberadaannya tidak bisa dilenyapkan. Bahkan setiap upaya untuk
melenyapkan dengan dalih apa pun, termasuk menuju ‘unifikasi’ masyarakat, cenderung
akan menimbulkan keresahan, gejolak sosial, kerusuhan massa dan pasti berakhir dengan
disintegrasi bangsa.

5. Nasionalisme dalam Perspektif Indonesia


Nasionalisme dan Negara bangsa (nation state) sebagai wadah organisasi sosial
yang membungkusnya yang merupakan dua kekuatan terbesar di dunia.Keduannya
mampu mendominasi wacana politik dunia selama abad 20 secara bertahap tetapi pasti,
sekarang mulai berhadapan dengan sejumlah tantangan yang menempatkan keduannya
dalam posisi yang cukup sulit. Kajian atas nasionalisme dan bangsa, dan juga negara
bangsa,hingga kini masih tetap menjadi perdebatan oleh para ahli. Bagi sejumlah ahli,
bangsa dan kesadaran berbangsa diyakini merupakan representasi atau perwakilan dari
negara masa lalu yang terkait dalam upaya-upaya realisasi diri. Tetapi jika diperhatikan
arena persemaian awal, konsepsi tentang nasionalisme dan negara bangsa dan diikuti
logika dibalik kehadiran nasionalisme dan negara bangsa yang tumbuh di negara-negara
bekas jajahan, dimana kita akan menemukan bahwa keduannya pada dasarnya adalah
fakta perjanjian antara warga negara yang berdaulat dengan negara. Nasionalisme dan
negara bangsa secara radikal telah merombak struktur kesetiaan politik rakyat dari
kesetiaan kepada dinasti menjadi prinsip kedaulatan rakyat. Ia juga telah merombak
secara radikal struktur kesetiaan pada tuan penjajah untuk digantikan dengan gagasan
tentang kewarganegaraan. Karena itu, nasionalisme telah mentransformasikan
masyarakat dan individu dari posisi sebagai subyek pasif dalam politik menjadi warga
negara aktif yang mampu mengatur diri sendiri. Secara demikian, nasionalisme dan
negara bangsa bukan saja memperhatikan kesejajaran antara massa rakyat dengan
penguasa, tapi sekaligus didalamnya melekat impian-impian (harapan dan inspirasi)
massa rakyat yang harus diwujudkan. Subtansi nasionalisme dan negara bangsa
mencakup antara lain mengenai demokrasi, keadilan sosial,kesejahteraan dan HAM. Oleh
karena itu, mustahil berbicara nasionalisme dan negara bangsa tanpa mengkaitkan dengan
isu-isu di atas. Jika gagasan nasionalisme dan negara bangsa diatas dicermati, logikanya
sangat sedikit orang tidak sepakat dengan keduanya. Di dalam konsep nasionalisme dan
negara bangsa melekat semua nilai-nilai kemanusiaan tertinggi yang ingin dicapai oleh
setiap peradapan manusia. Tetapi seperti terungkap pada tingkat praktis dalam
masyarakat politik Indonesia, nasionalisme bisa dengan mudah melahirkan penolakan
atau sinisme dikalangan masyarakat.
Nasionalisme secara politik agar ‘menjauhi’ atau ‘menerima’ sesuatu yang
bertentangan dengan hati nurani dan aspirasinya. Dalam konteks ‘menjauhi’ atau
‘menerima’ tersebut, nasionalisme Indonesia, sering mengalami hambatan di hadapan
massa rakyat dan pemerintahannya sendiri. Nasionalisme bukan semata-mata berfungsi
sebagai ideologi. Sekalipun ia merupakan gejala yang mudah ditemui disembarang
belahan dunia, dan sekalipun ia menduduki dasar moral dan emosi seperti halnya dengan
ideologi, ia tidak memiliki prinsip-prinsip universilitas seperti sosialisme atau kapitalisme
misalnya yang memungkinkannya untuk diklaim semata-mata sebagai ideologi. Banyak
contoh kasus disekitar kita, dimana nasionalisme secara gegabah telah digunakan untuk
melegalisasi hal-hal yang sebenarnya tidak punya kaitan dengan kepentingan Negara dan
bangsa.

6. Membina Rasa Nasionalisme dalam Ekspresi Kenegaraan Kesatuan Republik


Indonesia
Bentuk Negara Indonesia adalah “negara kesatuan”, artinya, di seluruh Negara Indonesia
hanya ada satu negara yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia”. Dalam Negara
kesatuan tidak dibenarkan adanya daerah yang berbentuk Negara. Negara kesatuan
Indonesia didirikan dari perasaan bersatu seluruh masyarakat dan daerah-daerah yang
berada di seluruh wilayah Negara Indonesia (nusantara). NKRI memiliki struktur
pemerintah pusan dan pemerintahan daerah. Masing-masing pemerintah daerah diberi
hak otonomi, yaitu hak untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Antara daerah yang
satu dengan daerah yang lain, boleh’saling berbeda’, namun tidak boleh bertentangan
dengan cita-cita nasional atau cita-cita Bangsa Indonesia (tujuan negaranya). Strategi
pembinaan persatuan bangsa Indonesia dalam konteks NKRI, dapat dilaksanakan dengan
beberapa program, antara lain sebagai berikut.
1. Mempersatukan Potensi Perbedaan Bangsa Indonesia
Bangsa Indonesia memang memiliki kekayaan yang beranekaragam, namun jika
keragaman itu tidak dibina dengan baik, bisa melahirkan konflik antar suku, ras/etnis
dan antara golongan (SARA) yang terjadi di Indonesia, bisa berdampak merugikan
dan mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Agar bangsa Indonesia terhindar dari
perpecahan, maka seluruh potensi bangsa harus diperdayakan.
2. Menghormati Bendera Kebangsaan
Sang Merah Putih, mengajarkan kepada bangsa Indonesia agar keberanian yang kita
kembangkan selama ini selalu berlandaskan pada kesucian. Ingat, “Merah” berarti
‘berani’ dan “putih” artinya ‘suci’.Bendera Merah putih, adalah bendera pusaka.
Sebagai bendera pusaka, “Merah Putih” tidak sekedar warna,akan tetapi harus
diartikan sebagai lambang identitas persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia. Sebagai
pusaka, Merah Putih harus disimpan, ditempatkan dan digunakan sebagaimana
mestinya. Bendera Merah Putih bukanlah suatu “hiasan”, akan tetapi merupakan
‘senjata’ perjuangan bangsa Indonesia dalam mengejar cita-cita nasionalnya. Setiap
warga Negara Indonesi harus mampu mengibarkan bendera Merah Putih dengan
benar dan penuh rasa hormat.
3. Menghormati dan Menghayati Isi dan Makna Lagu Kebangsaan
Sungguh besar jasa W.R.Soepratman (pahlawan nasional) dalam mempersembahkan
syair dan lagu gubahannya kepada Ibu Pertiwi, Indonesia tercinta. Sebuah lagu
INDONESIA RAYA kemudian dikukuhkan sebagai lagu kebangsaan Indonesia.
Marilah kita melakukan refleksi dan penghayatan kembali serta membangun
komitmen nilai-nilai dalam lagu kebangsaan kita. Dengan kemerdekaannlah,
kehidupan bangsa Indonesia bisa jaya (tertib), aman, adil makmur dan sejahtera.
Karena itulah harus dipertahankan agar tetap hidup, hiduplah Indonesia raya!
Menyanyikan lagu kebangsaan tidak sama dengan lagu hiburan. Lagu kebangsaan
bersifat resmi, begitu juga dalam membawakannya. Dan karena itu harus
didengungkan di seluruh wilayah, daerah-daerah yang termasuk sebagai bagian
negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) tanpa terkecuali.
4. Menghormati makna Lambang Negara Republik Indonesia
GARUDA PANCASILA merupakan Lambang Negara Indonesia. Pada saat
proklamasi kemerdekaan kita belum mempunyai lambang negara. Baru pada tahun
1950, panitia tim perumus lambang negara berhasil merumuskan lambang negara
kita. Lambang negara itu berbentuk gambar burung Garuda. Dalam lakon (ceritera)
pewayangan burung Garuda (jatayu) dikenal cinta akan kebenaran dan anti terhadap
kejahatan (keangkaramurkaan). Lambang negara Garuda Pancasila yang disahkan
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 66 Tahun 1951, pada tanggal 17 Oktober 1951
itu,seperti yang kita kenal dan miliki sampai sekarang.

Mengembangkan Perilaku Nasionalisme dalam Konteks Indonesia


Sebagai bangsa yang majemuk, bangsa indonesia harus mampu bergaul dalam
rangka persatuan dan kesatuan bangsa, yaitu “memajukan pergaulan demi persatuan dan
kesatuan bangsa yang ber BHINNEKA TUNGGAL IKA”. Wujud perilaku yang
mencerminkan persatuan dan kesatuan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Membina Keserasian, Keselarasan, dan Keseimbangan
Walaupun masyarakat kita berbeda-beda dalam keanekaragaman, jangan sampai
terjadi pertentangan sehingga menimbulkan perpecahan bangsa Indonesia. Oleh
karena itu marilah kita bina kehidupan yang serasi ,selaras dan seimbang diantara
kita.
2. Saling Mengasihi, Saling Membina dan Saling Memberi
Hidup saling mengasihi mengasih, membina, dan memberi antar sesama menjadi
panggilan kita bersama dan diwajibkan oleh Tuhan Yang Maha Esa. Terhadap siapa
saja, tanpa membedakan kedudukannya, kita harus saling asih (sayang), asuh
(membina) dan asah (berhubungan).
3. Tidak menonjolkan perbedaan, melaikan mencari kesamaan
Semua orang di dunia ini memang tidak satu pun yang memiliki kesamaan. Sekali
pun orang kembar, pasti terdapat perbedaannya. Demikian juga dengan suku-suku
bangsa Indonesia. Walaupun kita serba berbeda, jangan sampai kita menonjolkan
perbedaan kita. Misalnya, baju kita lebih baik dari pada baju teman-teman. Dalam hal
ini, kita harus pandai menempatka persamaan-persamaan, agaar kita tidak menjadi
“sombong dan suka pamer”. Antara suku bangsa yang satu dengan yang lain, sama-
sama memiliki kebudayaan. Walaupun kebudayaannya berbeda, kita harus tetap
memandang sama.
4. Meningkatkan Kecintaan Terhadap Lingkungan Hidup
Manusia merupakan bagian dari seluruh ciptaan tuhan, oleh karena itu manusia tidak
dapat hidup sendiri, manusia hanya dapat melangsungkan hidup dan kehidupannya
bila berhubungan dengan lingkungan hidupnya yakni masyarakat sekitarnya, juga
alam. Tindakan menjaga lingkungan hidup berarti telah bekerja sama pula dengan
pemerintah dalam progam pelerstarian lingkungan hidup, misalnya menanam sejuta
bunga. Menjaga seluruh isinya baik fauna maupun floranya. Oleh karena itu kita
harus mencintai seluruh lingkungannya hidup, dengan menjaga kelestariannya,
sehingga kebahagiaan hidup dapat terwujud.
5. Berkerjasama Sesama Warga, Lingkungan dan Pemerintahan
Disamping sebagai mahkluk sosial, manusia harus menjaga hubungan baik dengan
lingkungan hidupnya baik dengan tetangga, masyarakat, maupun alam sekitarnya.
6. Menjauhi Pertentangan dan perkelahian
Sering kita mendengar perkelahian pelajar, dibeberapa kota bahkan ada yang tewas
dalam peristiwa tersebut. Perbuatan tersebut akan mencederai rasa persatuan dan
kesatuan, untuk itu kita harus menghindari pertentangan bahkan perkelahian antar
siswa atau antar pelajar. Adapun kalau terjadi perselisihan alangkah lebih baik jika
diselesaikan dengan musyawarah.
7. Menggalang Persatuan dan kesatuan
Beberapa cara yang ditempuh untuk menggalang persatuan dan kesatuan dapat
dilakukan dengan berbagai kegiatan antara lain: (a) menggalakkan olah raga mellalui
POIN, PORSENI, pertandingan persahabatan lainnya; (b) kesenian melalui pekan
budaya, lomba tari daerah,kongres bahasa; dialog nasional; (c)keramukaan melalui
Jambore nasional, jambore daerah, lomba-lomba lainnya; (d) dialog organisasi; (e)
pembauran antar suku antar etnis; (g) menyiarkan melalui radio, TV dan media
elektronika mengenai keaneka ragaman suku bangsa untuk mengingatkan rasa
kebangsaan kita, misalnya acara : anak seribu pulau, aneka ria nusantara, bhinneka
tunggal ika. Dengan berbagai kegiatan tersebut kita dapat tersemangati untuk
“menematkan persatuan dan kesatuan, kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara diatas kepentingan pribadi dan golongan”.
BAB III
PENUTUP

Masyarakat indonesia yang besifat pluralistis ditandai oleh berbagai faktor, yang antara
lain oleh perbedaan suku bangsa, agama, ras/etnis dan antar golongan. Sebagai konsekuensi
masyarakat yang pluralistis, masyarakat Indonesia secara kultural memiliki kebudayaan lokal
yang beranekaragam. Kondisi demikian, boleh jadi melahirkan berbagai wawasan lokal yang
berkembang di berbagai daerah nusantara, yang digunakan dalam membangun wawasan
nasional, sebagaimanapun dikenal dengan wawasan nusantara. Persoalan yang berkaitan dengan
SARA (suku,agama,ras dan antar golongan),hendaknya dipandang secara positif, yaitu sebagai
energi demokrasi atau kemajemukan masyarakat Indonesia dan bukan dikatakan sebagai sumber
konflik. Manajemen konflik yang mungkin timbul dari perbedaan SARA, harus dipahami secara
kritis agar tidak menimbulkan disintegrasi bangsa. Oleh karena itu, bangunan wawasan
kebangsaan yang dipetakan dari keanekaragaman wawasan lokal dan SARA di Indonesia, akan
menentukan bagi keberhasilan upaya intergrasi nasional dan sekaligus juga pemaknaan bagi
paham kebangsaan (nasionalisme) Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA

Al-Hakim. 2014. Pendidikan Kewarganegaraan dalam Konteks Indonesia. Malang: PT. Madani

Anda mungkin juga menyukai