Anda di halaman 1dari 7

Teori Pembentukan Tata Surya

Tata Surya adalah sebuah sistem tata surya yang terdiri dari sebuah bintang, yaitu Matahari, serta
delapan planet yang mengelilinginya: Merkurius, Venus, Bumi, Mars, Yupiter, Saturnus, Uranus,
dan Neptunus.

Selain planet-planet ini, terdapat juga beberapa benda kecil lainnya seperti komet, asteroid, dan
satelit yang mengorbit planet-planet tersebut. Namun, bagaimana tata surya ini bisa terbentuk?
Berikut ini adalah teori-teori tentang pembentukan tata surya

Pembentukan tata surya telah menjadi misteri yang menarik bagi ilmuwan sepanjang sejarah
manusia. Hingga saat ini, ada lima teori pembentukan tata surya yang dikenal, masing-masing
memiliki keunikan dan asumsi yang berbeda.

1. Teori Kabut (Nebula) Kant-Laplace


Teori ini dikemukakan oleh Immanuel Kant pada tahun 1755 dan Pierre de Laplace pada
tahun 1796, teori ini menjelaskan bahwa awal mula pembentukan tata surya adalah ketika
kabut (nebula) gas di jagat raya mulai berkumpul.

a) Immanuel Kant (1755)


Immanuel Kant berpendapat bahwa tata surya terbentuk dari kabut gas panas yang
berputar perlahan. Saat kabut berputar perlahan, kepadatan gas semakin meningkat dan
membentuk inti di berbagai tempat.

Inti yang terletak di tengah kabut dan memiliki suhu paling panas, akhirnya menjadi
matahari yang berpijar, sementara inti yang terletak di pinggiran kabut mendingin dan
menjadi planet.

b) Pierre De Laplace (1796)


Menurut Pierre Simon de Laplace, tata surya terbentuk dari kabut gas yang sangat panas
dan berotasi dengan cepat. Kemudian, sebagian dari gas tersebut terlempar dan
mendingin menjadi planet sementara yang lainnya terus berpijar dan membentuk
matahari.

Teori pembentukan tata surya menurut Laplace dapat dijelaskan dengan analogi seorang
ice skater yang menarik tangannya saat berputar dengan kecepatan tinggi. Seiring
berputarnya ice skater, ia membentuk sebuah piringan. Hal yang serupa terjadi dengan
kabut gas yang berotasi cepat dan membentuk tata surya.

2. Teori Planetesimal
Pada sekitar tahun 1900, Forest Ray Moulton, seorang ahli astronomi, dan T.C. Chamberlin,
seorang ahli geologi, mengusulkan teori terbentuknya tata surya yang disebut sebagai Hipotesis
Planetesimal. Teori ini menjelaskan tentang proses pembentukan tata surya dimana planetesimal,
yaitu benda padat kecil, mengelilingi suatu inti gas.

Inti dari teori ini adalah ketika sebuah bintang yang berada dekat dengan Matahari dan
menembus ruang angkasa dengan cepat, daya tarik gravitasi antara keduanya semakin tinggi dan
menyebabkan pasang naik massa gas yang dikandung oleh kedua bintang.
Saat pasang naik, gas dalam tubuh Matahari mencapai puncaknya dan beberapa bagian kecil
massa Matahari terlepas atau terlempar dan mulai mengorbit di sekitar Matahari. Setelah bintang
tersebut menjauh dari Matahari, pasang Matahari kembali menurun ke arah normal.

Massa gas yang terlempar dan mengorbit di sekitar Matahari ini lama kelamaan mendingin dan
membeku (memadat) membentuk planetesimal atau benda-benda padat, yang pada akhirnya
membentuk planet.

3. Teori Pasang Surut (Tidal)


Pada tahun 1918, Sir James Jeans dan Sir Harold Jeffreys mengemukakan teori Pasang Surut
dalam pembentukan tata surya. Teori ini menyatakan bahwa planet tidak terbentuk dari pecahan
kecil gas yang membentuk planetesimal akibat pasang naik Matahari, tetapi langsung terbentuk
dari massa asli yang ditarik oleh bintang lain yang melewati Matahari.

Teori ini juga dikenal sebagai Teori Pasang Surut Gas. Menurut teori ini, suatu bintang yang
mendekati Matahari akan menghasilkan gaya gravitasi yang cukup kuat untuk mengisap filamen
gas yang berbentuk cerutu dari tubuh Matahari.

Filamen ini kemudian membesar pada bagian tengahnya dan mengecil di kedua bagian ujungnya,
membentuk planet. Planet-planet yang terletak di bagian tengah seperti Yupiter, Saturnus, dan
Uranus memiliki ukuran lebih besar daripada planet yang terletak di bagian tepi.

4. Teori Bintang Kembar


Ahli astronomi Inggris, Fred Hoyle Lyttleton, mengemukakan teori bintang kembar pada tahun
1956, seperti yang dipetik dari buku Geografi: Jelajah Bumi dan Alam Semesta oleh Hartono.
Teori ini menyatakan bahwa tata surya kita berasal dari gabungan bintang kembar, di mana
Matahari pada awalnya merupakan bintang kembar yang saling mengelilingi satu sama lain.

Namun suatu saat, tiba-tiba bintang lain melintas dan menabrak salah satu bintang kembar
tersebut, yang menyebabkannya hancur menjadi pecahan kecil yang terus berputar dan kemudian
mendingin menjadi planet-planet dan benda-benda lain yang mengelilingi bintang tetap yang
bertahan, yaitu Matahari.

5. Teori Big Bang


Abbe Lemaitre, seorang kosmolog, pertama kali mengemukakan teori pembentukan tata surya
ini pada tahun 1920-an. Teori Big Bang menyatakan bahwa alam semesta berasal dari gumpalan
superatom raksasa yang berisi materi yang tidak dapat dibayangkan, namun dapat dikira-kira
sebagai bola api raksasa dengan suhu antara 10 miliar hingga 1 triliun derajat Celsius.

Gumpalan super atom raksasa tersebut meledak sekitar 15 miliar tahun yang lalu, dan ledakan
dahsyat tersebut menyebar membentuk awan dan hidrogen. Setelah berusia ratusan tahun, debu
dan hidrogen tersebut kemudian membentuk bintang-bintang dengan ukuran yang bervariasi.

6. Teori Orbit Planet


Johannes Kepler merupakan seorang ahli astronomi dan matematikawan terkenal pada abad ke-
17. Salah satu kontribusinya yang paling signifikan adalah teori tentang gerakan planet di tata
surya. Dalam karyanya “Astronomia nova” yang diterbitkan pada tahun 1609, Kepler
memaparkan tiga hukum gerak planet yang kemudian dikenal sebagai Hukum Kepler.

Hukum pertama menjelaskan bahwa setiap planet bergerak mengelilingi Matahari dengan
lintasan elips dan Matahari berada pada salah satu fokus elips tersebut. Hukum kedua
menyatakan bahwa garis yang menghubungkan planet dan Matahari melintasi area yang sama
dalam waktu yang sama.

Artinya, planet akan bergerak lebih cepat saat berada lebih dekat dengan Matahari dan lebih
lambat saat berada lebih jauh. Hukum ketiga menjelaskan bahwa waktu yang dibutuhkan oleh
sebuah planet untuk menyelesaikan satu putaran sebanding dengan jarak rata-rata planet tersebut
dari Matahari.

Kepler juga menemukan bahwa orbit planet di tata surya tidaklah bulat sempurna, melainkan
elips, sebuah penemuan yang sangat penting dalam astronomi modern. Selain itu, teorinya
memberikan dasar bagi Isaac Newton untuk mengembangkan Hukum Gravitasi Newton yang
menjelaskan tentang gaya tarik-menarik antara benda-benda di tata surya.

Dengan teorinya tentang gerakan planet dan bentuk orbit, Kepler telah memberikan sumbangsih
yang sangat besar dalam memahami bagaimana tata surya kita terbentuk dan bergerak.

7. Hipotesis Peledakan Bintang (Bintang Kembar)


Pada tahun 1956, ahli astronomi asal Inggris bernama Fred Hoyle mengajukan suatu teori
pembentukan tata surya yang dikenal dengan sebutan “teori bintang ganda”. Menurut teori ini,
Matahari dulunya memiliki pasangan bintang, yang pada awalnya saling berinteraksi dan
berevolusi.

Selama evolusinya, salah satu dari bintang tersebut kemungkinan besar mengalami
penggumpalan dan terjebak di sekitar Matahari sebagai satelit alami, kemudian meledak dan
melepaskan diri ke ruang angkasa. Teori ini didukung oleh banyak ahli astronomi karena
ditemukan banyak bintang ganda atau kembar dalam pengamatan astronomi modern.

Kesimpulan
Setiap teori pembentukan tata surya memiliki pendapat dan bukti yang berbeda-beda, namun
semuanya mengajukan ide bahwa tata surya terbentuk dari benda-benda yang terlempar dan
bergabung bersama membentuk bintang dan planet.

Johannes Kepler juga memberikan kontribusinya dengan menjelaskan tiga hukum gerak planet
yang memberikan dasar-dasar gerakan planet mengitari matahari. Dengan mempelajari sejarah
teori-teori ini, kita dapat memahami lebih lanjut tentang asal mula tata surya dan alam semesta
secara umum.
Macam Teori Permukaan Bumi

1. Teori Kontraksi (Contraction Theory)


Teori yang dikemukakan oleh Descartes (1596-1650), yang mengatakan bahwa bumi
semakin lama akan menyusut dan mengerut dari adanya pendinginan sehingga permukaan
terdapat relief yang beragam seperti gunung, dataran, dan lembah.
Teori ini mendapat dukungan dari James Dana (1847- Elie de Baumant (1852), yang
keduanya berpendapat bahwa bumi mengalami pengerutan karena terjadi proses pendinginan
pada bagian dalam bumi yang mengakibatkan bagian permukaan bumi mengerut dan
terbentuk pegunungan dan lembah-lembah.
2. Teori Dua Benua (Laurasia-Gondwana Theory)
Awalnya bumi terdiri atas dua benua yaitu Laurasia yang berada di sekitar kutub utara dan
Gondwana di sekitar kutub selatan bumi. Kedua benua tersebut bergerak perlahan ke arah
equator bumi yang pada akhirnya terpecah membentuk benua-benua kecil.
Laurasia terpecah menjadi Amerika utara, Asia, Eropa. Sedangkan Gondwana terpecah
menjadi Amerika selatan, Australia, dan Afrika. Teori Laurasia-Gondwana pertama kali
ditemukan pada tahun 1884 oleh Edward Zeuss.

3. Teori Pengapungan Benua (Continental Drift Theory)


Teori Apungan Benua (Continental Drift Theory) Teori apungan benua dikemukakan oleh
Alfred Lothar Wegener tahun 1912 dalam bukunya The Origin of the Continents and Oceans.
Wegener mengemukakan teori tentang perkembangan bentuk permukaan bumi berhubungan
dengan pergeseran benua. Menurut Wegener, di permukaan bumi pada awalnya hanya
terdapat sebuah benua besar yang disebut Pangea (dalam bahasa Yunani berarti keseluruhan
bumi), serta sebuah samudra bernama Panthalasa.
Benua tersebut kemudian bergeser secara perlahan ke arah ekuator dan barat mencapai posisi
seperti sekarang. Teori apungan benua diperkuat dengan adanya kesamaan garis pantai antara
Amerika Selatan dan Afrika, serta kesamaan lapisan batuan dan fosil-fosil pada lapisan di
kedua daerah tersebut.
Gerakan tersebut menurut Wegener disebabkan oleh adanya rotasi bumi yang menghasilkan
gaya sentrifugal sehingga gerakan cenderung ke arah ekuator, sedangkan adanya gaya tarik-
menarik antara bumi dan bulan menghasilkan gerak ke arah barat. Gerakan ke arah barat
tersebut terjadi seperti halnya pada saat terjadinya gelombang pasang, yaitu akibat revolusi
bulan yang bergerak dari arah barat ke timur.
Akan tetapi, sekitar tahun 1960-an muncul kritik terhadap teori itu yang mempertanyakan
kemungkinan massa benua yang sangat besar dan berat dapat bergeser di atas lautan yang
keras.
4. Teori Konveksi (Convection Theory)
Teori konveksi ini pertama kali dicetuskan oleh Arthur Holmes sekitar tahun 1927 dan
kemudian dikembangkan oleh Harry H. Hess dan Robert Diesz. Teori ini menyebutkan
bahwa terdapat arus konveksi dari dalam mantel bumi yang terdiri dari massa berupa lava.
Ketika arus konveksi ini membawa lava sampai ke permukaan bumi di bagian punggung
tengah samudra (mid oceanic ridge), akan menyebabkan lava tersebut membeku dan
membentuk lapisan kulit bumi yang baru sehingga menggeser dan menggantikan kulit bumi
yang lama.
Teori ini didukung dengan adanya bukti bahwa terdapatnya bagian mid oceanic ridge itu
sendiri, seperti mid Atlantic Ridge dan Pasific Atlantic Ridge. Selain itu berdasarkan sebuah
penelitian mengenai umur laut juga dibuktikan bahwa semakin jauh dari punggung tengah
samudra, umur batuan-batuannya semakin tua.
5. Teori Lempeng Tektonik (Tectonic Plate Theory)
Teori yang dikemukakan oleh Tozo Wilson sekitar tahun 1965 ini menyebutkan bahwa kulit
bumi terdiri atas beberapa lempeng tektonik yang berada di atas lapisan astenosfer, dan
lempeng-lempeng pembentuk kulit bumi ini selalu bergerak karena adanya pengaruh arus
konveksi dari lapisan astenosfer.
Pergerakan lempeng tektonik ini dapat dibedakan menjadi tiga jenis berdasarkan arahnya,
yaitu Konvergensi berupa gerakan saling bertumbukan antar lempeng tektonik, baik lempeng
benua maupun lempeng samudra. Beberapa pegunungan seperti Himalaya muda, Alpen,
Rocky dan Andes disebut merupakan relief yang terbentuk akibat proses konvergensi ini.
Divergensi, yaitu gerakan saling menjauh antar lempeng tektonik dan Sesar Mendatar yaitu
gerakan berlawanan arah yang menyebabkan terjadinya pergesekan antar lempeng tektonik.
Sesar San Andreas yang terbentang sepanjang 1.200 km merupakan salah satu relief yang
terbnetuk akibat adanya proses transform ini. Berikut ini penjelasan lebih lengkapnya:
 Pergerakan lempeng saling mendekati (Konvergen) akan menyebabkan tumbukan dimana
salah satu dari lempeng akan menunjam ke bawah yang lain. Daerah penunjaman
membentuk suatu palung yang dalam, yang biasanya merupakan jalur gempa bumi yang
kuat. Dibelakang jalur penunjaman akan terbentuk rangkaian kegiatan Magmatik dan
Gunung Api serta berbagai cekungan pengendapan. Salah satu contohnya terjadi di
Indonesia, pertemuan antara lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia menghasilkan
jalur penunjaman di selatan pulau Jawa dan jalur Gunung Api Sumatera
 Pergerakan lempeng saling menjauh (Divergen) akan menyebabkan penipisan dan
peregangan kerak Bumi dan akhirnya terjadi pengeluaran material baru dari mantel
membentuk jalur Magmatik atau Gunungapi. Contoh pembentukan gunung api di
Pematang Tengah Samudera di Lautan Pasific dan Benua Afrika.
 Pergerakan saling berpapasan (Transform) dicirikan oleh adanya sesar mendatar yang
besar seperti misalnya sesar besar San Andreas di Amerika
Teori perkembangan bumi dua benua dikenalkan pada tahun 1884.Teori ini
menganggap awal pembentukan bumi berasal dari dua benua raksasa.
Dua benua raksasa tersebut adalah Laurasia di utara dan Gondwana di selatan. Benua
tersebut kemudian bergerak menuju ekuator.
Rotasi bumi memengaruhi sebagian benua terpisah di daerah ekuator dan belahan
bumi barat.

Sejarah Benua Laurasia


Laurasia adalah sebutan daratan luas di Belahan Bumi Utara yang mencakup Amerika
Utara, Eropa, dan Asia (kecuali semenanjung India).

Keberadaannya diusulkan oleh Alexander Du Toit, seorang ahli geologi Afrika


Selatan dalam sebuah tulisan Our Wandering Continents (1937). Buku ini adalah
reformulasi teori Continental Drift yang diusulkan oleh ahli meteorologi Jerman Alfred
Wegener.

Sedangkan Wegener telah mendalilkan satu benua super, Pangea, Du Toit berteori
bahwa ada dua daratan besar yaitu Laurasia di utara dan Gondwana di selatan,
dipisahkan oleh daerah samudera yang disebut Tethys.

Laurasia diperkirakan telah terfragmentasi ke benua Amerika Utara, Eropa dan Asia
saat ini sekitar 66 juta hingga 30 juta tahun yang lalu, interval yang mencakup akhir
Periode Kapur dan sebagian besar Periode Paleogen.

Sejarah Benua Gondwana


Gondwana, juga disebut Gondwanaland merupakan benua super kuno yang
menggabungkan Amerika Selatan saat ini, Afrika, Arab, Madagaskar, India, Australia,
dan Antartika.

Perkembangan benua Gondwana terjadi pada masa Precambrian Akhir, sekitar 600
juta tahun yang lalu, dan tahap pertama perpisahannya dimulai pada Periode Jurassic
Awal, sekitar 180 juta tahun yang lalu.

Nama Gondwanaland diciptakan oleh ahli geologi Austria Eduard Suess mengacu pada
formasi Paleozoidik dan Mesozoinia Atas di wilayah Gondwana, India tengah, yang
mirip dengan formasi dengan usia yang sama di benua Belahan Bumi Selatan.

Bentuk geomorfologi yang cocok dari garis pantai Afrika barat dan Amerika Selatan
timur pertama kali dilaporkan oleh Francis Bacon pada tahun 1620 sebagai peta Afrika
dan Dunia Baru pertama kali tersedia.

Konsep bahwa semua benua Belahan Bumi Selatan pernah bergabung bersama
diungkapkan oleh Alfred Wegener, seorang ahli meteorologi Jerman, pada tahun 1912.
Dia membayangkan satu daratan besar, Pangaea (atau Pangea). Gondwana terdiri dari
bagian selatan benua super ini.

Anda mungkin juga menyukai