Anda di halaman 1dari 25

Relevansi Kisah Dzu Al-Qarnain: Urgensi dan Manfaatnya Bagi Dakwah

Nabi Muhammad SAW

Artikel ini disusun untuk memenuhi tugas laporan magang merdeka terintegrasi 2

Disusun oleh:
Afif Fachrur Rozi (30120025)

JURUSAN ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR


FAKULTAS USHULUDDI ADAB DAN DAKWAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI PONOROGO
2023
Relevansi Kisah Dzu Al-Qarnain: Urgensi dan Manfaatnya Bagi Dakwah
Nabi Muhammad SAW
Afif Fachrur Rozi
Jurusan Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah IAIN Ponorogo
Email: fachrurrozi2002@gmail.com

ABSTRAK
Kisah Dzu Al-Qarnain disebutkan dalam rangkaian ayat dalam Surat Al-Kahfi,
khususnya ayat 83 hingga 98. Kisah ini memiliki keunikan jika dibandingkan
dengan kisah-kisah lain dalam Surat Al-Kahfi dan lainnya. Kisah tersebut juga
tidak memberikan keterangan secara gamblang dan jelas tentang hakikat Dzu Al-
Qarnain yang sebenarnya, asal usulnya, silsilahnya, dan letak tempat tinggalnya,
Turunnya ayat-ayat terkait kisah Dzu Al-Qarnain tidak lepas dari fungsinya dalam
konteks kegiatan dakwah dan tujuan cerita untuk dakwah Nabi Muhammad SAW.
Penting untuk diketahui bahwa Al-Quran diturunkan bukan kepada masyarakat
yang belum mengetahui segalanya, melainkan kepada masyarakat yang sudah
mempunyai kebudayaan sendiri bahkan agama lain. Kondisi sosial budaya
masyarakat Arab pada saat diturunkannya Al-Quran berperan penting dalam
membentuk pesan dalam kisah Dzu Al-Qarnain.
Kata kunci: Al-Qur’an, Dzu Al-Qarnain, Dakwah

LATAR BELAKANG
Al-Qur’an merupakan kitab suci yang Allah turunkan kepada umat manusia
sebagai petunjuk. Dengan berbagai keindahan dan kebaikan kandungan-
kandungan yang ada di dalamnya. Keindahan yang tampak dan yang tak tampak
ini saling berkesinambungan menjadikan Al-Qur’an sebagai mukjizat terbaik yang
Allah berikan kepada manusia dan juga sebagai petunjuk bagi manusia.
Oleh karena kemukjizatan Al-Qur’an ini tak dapat dipungkiri jika di
dalamnya terdapat teguran dan nasehat bagi manusia. Nasehat-nasehat tidak hanya
diungkapkan dengan kata pembenaran atau koreksian untuk perbuatan manusia,

1|Artikel Magang Merdeka Terintegrasi 2


namun Al-Qur’an mengangkat kisah-kisah dari orang-orang terdahulu yang
kisahnya bisa menggambarkan syariat Islam.
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an jika dicermati dari keberadaannya dan sebab
turunnya maka pasti ditemukan bahwa kisah-kisah tersebut memiliki tujuan yang
berbeda-beda menurut sebab turunnya.
Salah satu kisah yang yang terdapat dalam al-Qur’an adalah kisah Dzu Al-
Qarnain. Kisah ini masih menyisakan banyak pertanyaan. Bahkan, menurut
sebagian ahli tafsir di dalam kisah ini banyak terdapat al-ghaibiyyat (masalah-
masalah misterius) yang tidak dapat ditangkap akal pikiran manusia. 1 Fakta ini
secara tidak langsung memunculkan beragam pendapat terkait siapa sosok Dzu
Al-Qarnain yang dimaksud. Versi Melayu, melihat Dzu Al-Qarnain sebagai
sesosok Iskandar yang agung, perkasa, pemberani, berjiwa besar dan cerdas. 2
Adapun dalam sejarah Barat, mencuatlah nama Alexander the Great untuk
menjelaskan siapa Dzu Al-Qarnain.3 Selain itu, ada pula yang menyatakan bahwa
Dzu Al-Qarnain adalah Akhnaton.4 Seiring berjalannya waktu, ragam pendapat
ini terus dikemukakan. Akan tetapi, belum ada satupun pendapat yang bisa
dipastikan kebenarannya. Oleh karena itu, pembahasan terkait kisah Dzu Al-
Qarnain ini dalam versi Al-Qur’an adalah hal yang menarik untuk diangkat.
kisah tentang dzu al-qornain ini diceritakan dalam suatu rangkaian ayat
dalam surat Al-Kahfi dari ayat 83 hingga 98. 5 Terhitung sedang dibandingkan
dengan kisah lain di dalam surat Al-Kahfi maupun di luar surat Al-Kahfi.
Jika dicermati, struktur kisah Dzu Al-Qarnain berbeda dengan kisah-kisah
lainnya yang termuat dalam Q.S. al-Kahfi (18): 83 seperti kisah Ashab al-Kahfi,
kisah Musa dan Khidir, dan kisah dua pemilik kebun. Kisah ini dimulai dengan
kalimat pertanyaan yang diajukan kepada Nabi Muhammad. Ungkapannya berupa
“wa yas’alunaka ‘an dzil qarnain” (dan mereka bertanya kepadamu (Muhammad)

1
Hamdi bin Hamzah Abu Zaid, Munculnya Ya’juj dan Ma’juj di Asia; Mengungkap Misteri
Perjalanan Zulkarnain ke Cina (Jakarta: Almahira, 2010), hlm. 1
2
Siti Chamamah Soeratno, Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi (Jakarta: Balai
Pustaka, 1991), hlm.1
3
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam II (Jakarta: CV Andi Utama, 1993), hlm. 475
4
Hamdi bin Hamzah Abu Zaid, Munculnya Ya’juj dan Ma’juj di Asia, hlm. 23
5
Rukimin, Kisah Żū al-Qarnain dalam al-Qur’an Surat al-Kahfi: 83-101 (Pendekatan
Hermeneutik), hlm. 138-159

2|Artikel Magang Merdeka Terintegrasi 2


tentang Dzu Al-Qarnain) dan “qul” (katakanlah (Muhammad)). Penyampaian
kisah semacam ini memberikan kesan bahwa kisah ini adalah kisah yang sangat
khusus dan sangat intim hingga dalam ayatnya dikisahkan seperti dialog antara
Tuhan dengan Nabi Muhammad yang didasari pertanyaan bangsa Arab pada kala
itu. Selain itu, hal ini juga memberi kesan seolah yang menjadi titik tekan bukan
pada materi kisah meski tidak menafikan signifikansinya, melainkan pada alasan
atau latar belakang apa yang menyebabkan munculnya kisah tersebut.
Selain strukturnya yang diawali dengan pola pertanyaan, kisah ini tidak
menyebutkan nama spesifik tentang tokoh utamanya. Berbeda dengan kisah Musa
yang secara eksplisit menyebut nama terang tokoh utamanya. Mayoritas pakar
tafsir dan sejarah berpendapat bahwa Dzu Al-Qarnain bukanlah nama terang,
melainkan nama sifat yang dilekatkan pada tokoh dalam kisah.
Dalam ceritanya juga tidak menyebutkan secara eksplisit dan jelas mengenai
hakikat sosok Dzu Al-Qarnain, asal-usulnya, keturunannya dan keberadaan tempat
tinggalnya, termasuk pembangunan benteng (sadd) yang dibuatnya dan tempat
benteng itu berada. Kisahnya yang tidak lengkap tidak dapat disalahkan juga
karena Al-Qur’an bukanlah kitab sejarah, melainkan kitab yang berisikan ajaran-
ajarn fundamental mengenai tauhid, syari’ah dan akhlak. Dalam kaitan ini patut
untuk dikemukakan pendapat Muhammad Ahmad Khalafullah, bahwa seluruh
cerita yang disebut dalam Al-Qur’an merujuk dan bermuara pada Wahdah al-
Qashsh (kesepaduan cerita-cerita dalam Al-Qur’an) dalam konteks ajaran
mengenai tauhid.
Hal ini menyiratkan suatu informasi bahwa tujuan utama penyajian kisah ini
dalam Al-Qur’an bukan serta merta untuk menyorot pada satu sosok semata,
melainkan lebih bertujuan pada maksud dan perannya. Hal ini sejalan dengan
pendapat M. Quraish Shihab yang berpendapat bahwa struktur semacam ini selain
karena kebiasaan Al-Qur’an yang tidak menjelaskan nama, juga disebabkan
pertanyaan ‘si penanya’ tidak dimaksudkan secara khusus pada persoalan nama
sosok Dzu Al-Qarnain, melainkan pada maksudnya secara umum.6

6
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an (Jakarta:
Lentera Hati, 2006), jilid 7, hlm. 361

3|Artikel Magang Merdeka Terintegrasi 2


Walau bagaimanapun, Al-Qur’an dalam ayat terakhir Surah al-Kahfi yang
menuturkan cerita mengenai Dzu al-qarnain, tidak menyebutkan secara eksplisit
dan jelas mengenai hakikat (siapa sebenarnya) sosok Dzu al-qarnain, asal-usulnya,
keturunannya dan keberadaan tempat tinggalnya, termasuk pembangunan benteng
(sadd) yang dibuatnya dan tempat benteng itu berada. Tidak adanya penjelasan al-
Qur’an secara terperinci mengenai Dzu al-qarnain tersebut, bahkan hanya
disebutkan sebagiannya saja seperti dinyatakan dalam Surah al-Kahfi, dapat
dipahami karena Al-Qur’an bukanlah kitab sejarah, melainkan kitab yang
berisikan ajaran-ajarn fundamental mengenai tawhid (teologi), ilmu tentang
keesaan Tuhan, syari’ah (hukum/fiqh Islam) dan akhlaq, perilaku mengenai baik
dan buruk, berdasarkan nilai-nilai universal tawhid dan kemanusiaan. Dalam
kaitan ini patut untuk dikemukakan pendapat Muhammad Ahmad Khalafullah,
bahwa seluruh cerita (qisah) yang disebut dalam Al-Qur’an merujuk dan bermuara
pada Wahdah al-Qashsh (kesepaduan cerita-cerita dalam Al-Qur’an) dalam
konteks ajaran mengenai tawhid. Di sisi lain, hal tersebut juga menunjukkan
bahwa ayat-ayat Al-Qur’an, dalam konteks sosio-humaniora, memiliki kaitan
dengan fakta-fakta empirik yang secara substansi sudah jelas dan masih misteri, di
samping ada fakta-fakta empirik yang bersifat fisik dan metafisik. Fakta mengenai
Dzu al-qarnain dalam konteks ini termasuk dalam kategori fakta yang masih
misteri.
Akan tetapi dari sisi sains atau keilmuan (ilmiah), fakta misterinya sosok
Dzu al-qarnain, benteng yang dibangunnya dan masyarakat yang meminta
bantuan pembangunan “teknologinya” serta fenomena Ya’juj dan Ma’juj yang
ditengarai sebagai pembuat kerusakan, menjadi suatu “pekerjaan rumah” untuk
menelusuri, meneliti dan mengkajinya secara lebih seksama, baik melalui
pendekatan historis, antropologis maupun arkeologis, sehingga ditemukan titik
terang mengenai kemisterian fakta-fakta di atas. Menariknya lagi, bahwa dalam
Surah al-Kahfi, yang mana cerita mengenai sosok Dzu Al-Qarnain disebutkan di
akhir-akhir ayatnya, kemisterian terjadi hampir dalam setiap fakta-fakta yang
diceritakan; baik berupa sosok manusia, seperti Dzu al-qarnain (mantifact),
bangunan dan peninggalan berupa benteng yang kokoh (artifact), maupun Ya’juj

4|Artikel Magang Merdeka Terintegrasi 2


dan Ma’juj (socio-fact). Cerita mengenai ashab al-Kahf, para penghuni gua plus
seekor anjing yang terditur di dalamnya selama lebih kurang 309 tahun, nama
tempat dan geografi gua, serta raja yang berkuasa pada masanya juga bersifat
misterius. Demikian juga ashab al-Jannah, para pemilik kebun, sosok Khidir yang
berdialog dengan Nabi Musa a.s. juga masih misterius, meskipun beberapa fakta
di antaranya sudah dapat ditengarai dan ditemukan.
Penurunan ayat-ayat terkait kisah Dzu Al-Qarnain ini tidak terlepas dari
fungsinya dalam rangka misi dakwah serta tujuan dari kisah Dzu Al-Qarnain
dalam Al-Qur’an bagi dakwah Kanjeng Nabi Muhammmad. Mengnigat Al-
Qur’an tidak turun dalam kondisi masyarakat yang tidak tahu apa-apa, tetapi turun
pada masyarakat yang sudah memiliki budaya bahkan agama lain. faktor kondisi
sosial budaya masyarakat Arab masa itu ketika Al-Qur’an diturunkan atau
khususnya ketika kisah ini diwahyukan kepada Nabi Muhammad menjadi hal
yang menarik untuk dibedah yang mendorong penulis untuk mengambil judul
pada artikel ini “Kisah Dzu Al-Qarnain dan Perannya Bagi Dakwah Nabi
Muhammad SAW.”

METODE
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif
dengan pendekatan kajian pustaka, dimana dengan metode ini penulis dapat
menggali informasi sebanyak mungkin dengan didasari suatu fenomena kisah
dalam Al-Qur’an. Penelitian kualitatif yang memperhatikan humanisme atau
individu manusia dan perilaku manusia merupakan jawaban atas kesadaran bahwa
semua akibat dari perbuatan manusia terpengaruh pada aspek-aspek internal
individu,7 dimana sangat pas untuk digunakan dalam penelitian ini.
Penelitian kualitatif memiliki objek kajian berupa seluruh aspek dalam
kehidupan manusia, yakni manusia dan segala hal yang dapat dipengaruhi oleh
manusia. Untuk itulah maka penelitian kualitatif menjadi sangat dekat dengan
bidang ilmu-ilmu kemanusiaan, seperti yang telah disampaikan sebelumnya.

7
Yoni Ardianto, Memahami Metode Penelitian Kualitatif (Kemenkeu, 2019), hlm. 1

5|Artikel Magang Merdeka Terintegrasi 2


Penelitian kualitatif menghimpun data berbagai aspek dalam kehidupan manusia,
baik sejarah, hukum, agama, ekonomi, dan lain sebagainya, digambarkan dalam
bentuk kalimat, yang diolah melalui proses logika kritik-analitik-sintetik hingga
tuntas. Penelitian kualitatif mengungkap kondisi alamiah sebagaimana adanya
melalui pola berpikir yang runut, teratur, tertib, dan cermat, serta menghubungkan
berbagai data satu dengan lainnya dan konteks dalam problematika yang akan
diungkap. Penyusunan aturan berpikir serta menyusun asumsi dasar menjadi tahap
awal untuk memulai proses penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif, jika
dipahami secara ringkas, akan berangkat dari sebuah data, yang kemudian akan
dianalisis menggunakan sebuah teori dan akan menghasilkan kembali sebuah
teori.8
Dalam penelitian ini digunakan beberapa sumber. Dasar dari pembahasan ini
adalah Al-Qur’an surat Al-Kahfi (18) ayat 83 sampai 98 dengan referensi dari
kitab tafsir, jurnal, pendapat tokoh sejarah dan ahli tafsir sebagai sumber utama
pembahasan serta beberapa situs internet terpercaya sebagai acuan tambahan.

FAEDAH DAN FUNGSI KISAH-KISAH DALAM AL-QUR’AN


Sebelum berlanjut ke kisah Dzu Al-Qarnain, maka kita harus mengetahui
terlebih dahulu tujuan adanya kisah di dalam Al-Qur’an. Tidak dapat dipungkiri
memang banyak yang mempertanyakan untuk apa harus ada kisah-kisah tersebut
di kitab suci dan mengapa tidak semua kisah di cantumkan dan mengapa kisah-
kisah yang ada sekaranglah yang dipilih untuk ada di dalam kitab suci umat Islam.
Kisah sendiri merupakan sebuah warna di dalam sastra. Seperti yang kita
tahu bahwa Al-Qur’an jika ditinjau dari segi kesastraan adalah kitab suci yang
memiliki nilai sastra yang sangat tinggi. Untuk itu kisah dalam Al-Qur’an ini juga
menjadi sebuah hiasan dan motif dalam segi kesastraan Al-Qur’an.9
Kisah akan lebih menyentuh kepada hati manusia. Kisah akan lebih
memiliki pengaruh kepada jiwa-jiwa manusia. Hati akan terbuka lebih lebar,
8
Rahmat, Puput Saeful, Penelitian Kualitatif (Jurnal Equilibrium, 2009) vol. 5, no. 9, hlm. 5
9
Faikar Faaris, Pesan Moral Kisah Zulqarnain (Jakarta: Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, 2021),
hlm. 16

6|Artikel Magang Merdeka Terintegrasi 2


pikiran akan lebih gampang menerimanya dan telinga akan membuka lebar-lebar
pintunya.10
Dari segi kesastraannya, maka faedah dari adanya kisah-kisah dalam Al-
Qur’an ini adalah bahwa kisah bisa lebih merangsang pembacanya untuk terus
mengikuti alur ceritanya hingga selesai termasuk juga mengingat perilaku setiap
tokohnya tanpa terputus. Pengaruh kisah-kisah ini bisa menembus hati dan pikiran
lebih banyak orang bahkan bisa menembus hari orang-orang yang memang
terpelajar dengan pikirannya yang sudah tidak polos lagi. Bagi sastrawan, kisah
merupakan alat yang sangat bagus untuk menggugah hati orang-orang dengan
pembawaannya yang sangat indah dan terstruktur.11
Dari segi manfaat secara religi, kisah-kisah dalam Al-Qur’an memang
dikhususkan untuk memberikan pelajaran-pelajaran bagi umat tempat
diturunkannya ayat tersebut atau orang-orang yang diberi tahu oleh Rasulullah
tentang kisah tersebut dan juga kepada umat-umat setelahnya. Al-Qur’an surat
Yusuf ayat 111 berbunyi:
‫ِد ِذ‬ ‫ِك‬ ‫ِد‬ ‫ِص ِع‬
‫َلَقْد َك اَن ْيِف َقَص ِه ْم ْبَرٌة ُاِّلوىِل اَاْلْلَباِۗب َم ا َك اَن َح ْيًثا ُّيْف َتٰرى َو ٰل ْن َتْص ْيَق اَّل ْي َبَنْي‬
)111 :‫َيَد ْيِه َو َتْف ِص ْيَل ُك ِّل َش ْي ٍء َّوُه ًد ى َّوَرَمْحًة ِّلَق ْو ٍم ُّيْؤ ِم ُنْو َن (سورة يوسف‬
Sungguh, pada kisah mereka benar-benar terdapat pelajaran bagi orang-orang
yang berakal sehat. (Al-Qur’an) bukanlah cerita yang dibuat-buat, melainkan
merupakan pembenar (kitab-kitab) yang sebelumnya, memerinci segala sesuatu,
sebagai petunjuk, dan rahmat bagi kaum yang beriman.
Sesuai dengan ayat diatas, Allah memberikan kisah-kisah yang ada di dalam
Al-Qur’an sebagai pelajaran. Juga ditegaskan bahwa kisah-kisah tersebut
bukanlah kisah yang dibuat-buat, tapi adalah suatu pembenaran bagi kitab-kitab
sebelumnya. Sesuai dengan kisah dimana ahli kitablah yang menyuruh kaum
musyrik untuk menanyakan hal tersebut kepada Nabi Muhammad dengan tujuan
mengetes kebenaran wahyunya karena para ahli kitab memiliki kitab yang turun
dari Tuhan juga.

10
Umar Sulaiman Al-Asyqor, Kisah-Kisah Shohih dalam Al-Qur’an dan Sunnah Terj. Tim
Pustaka ELBA, (Pustaka ELBA), hlm. 14
11
Faikar Faaris, hlm. 17

7|Artikel Magang Merdeka Terintegrasi 2


Kisah dalam al-Qur’an terbagi atas tiga klasifikasi, yakni kisah, kisah
perumpamaan, dan kisah mitos. Kisah sejarah meliputi cerita terkait tokoh sejarah
tertentu seperti para Nabi dan Rasul serta orang-orang terdahulu yang
keberadaannya diakui dalam sejarah sebagai sebuah realitas. Kisah dengan model
seperti ini mendominasi kandungan kisah-kisah al-Qur’an. Kisah perumpamaan
(tamsili), yakni kisah-kisah yang tidak mengharuskan adanya suatu realitas dan
boleh berupa cerita fiktif. Keberadaan kisah model ini bertujuan untuk
menerangkan suatu hal atau nilainilai. Adapun kisah mitos merupakan kisah yang
diambil dari mitos-mitos yang dikenal dan berlaku dalam sebuah komunitas
sosial.12

ASAL MULA KISAH DZU AL-QARNAIN


Kisah Dzu Al-Qarnain diawali dengan sebuah pertanyaan dan jawaban dari
Allah untuk Nabi Muhammad untuk disampaikan kepada penanya. Pertanyaan
diungkapkan dengan kalimat “wa yas’aluunaka ‘an dzi al-qarnain” (dan mereka
bertanya tentang Dzu Al-Qarnain).13 Mereka yang dimaksud disini masih menjadi
perdebatan di kalangan para ahli. Ada dua pendapat terkenal. Pertama adalah
pendapat yang menyebutkan bahwa yang dimaksud “mereka” disini adalah kaum
musyrik Makkah yang bertanya kepada Nabi Muhammad. Dan pendapat kedua
adalah ahli kitab.14 Namun dalam kitab Tafsir Al-Maraghi disebutkan bahwa
“mereka” disini adalah utusan orang musyrik Makkah kepada ahli kitab untuk
menanyakan ide pertanyaan bagi Nabi Muhammad untuk mengujinya. Dalam
kitab tersebut disebutkan bahwa ahli kitab menjawab: “Tanyakan kepadanya
tentang seorang petualang yang mengelilingi bumi, tentang para pemuda yang
tidak diketahui apa yang mereka kerjakan, dan tentang ruh.”15 Maka dengannya
turunlah ayat ini sebagai jawaban atas mereka.

12
Ahmad Khalafullah, Al-Fann Al-Qashash Fi Al-Qur’an Al-Karim (Beirut: Muassasah al-Intisyar
al-‘Arabi, 1999), hlm. 152-153
13
Nor Faridatunnisa, Kisah Dzu al-Qarnain dalam Al-Qur’an: Fungsi dan Urgensinya bagi
Dakwah Nabi Muhammad (IAIN Palangkaraya: El-Afkar, 2022), hlm. 266
14
Ibid, hlm. 267
15
Syekh Mustofa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, Jilid XVI, terj. Bahrun Abu Bakar dkk.,
(Semarang: Toha Putra, 1987), hlm. 19

8|Artikel Magang Merdeka Terintegrasi 2


Dasar dari pendapat yang menyatakan bahwa ahli kitablah yang memiliki
ide untuk menanyakan tentang Dzu Al-Qarnain tak lain adalah kisah tentang Dzu
Al-Qarnain yang ada di dalam kitab mereka (ahli kitab) dari wahyu Tuhan. Dan
tentunya jika memang Nabi Muhammad benar-benar utusan Tuhan maka pasti
mengetahui tentang Dzu Al-Qarnain.16

TENTANG SOSOK DZU AL-QARNAIN


Kata Dzu Al-Qarnain secara bahasa berarti (orang) yang memiliki dua
tanduk, atau orang yang rambutnya berkepang dua; kiri-kanan, barat-timur. Istilah
ini merujuk kepada beberapa makna baik secara konotatif, denotatif maupun
simbolik. Sebagian mengatakan bahwa sebutan istilah Dzu Al-Qarnain itu
merujuk kepada fakta bahwa dia mamakai mahkota kepala yang bertanduk dua,
sedangkan sebagian yang lainnya menyebutkan bahwa istilah itu disebutkan bagai
kiasan bahwa dia adalah orang yang menguasai ujung barat dan ujung timur.17
Ada yang berkata bahwa dia mencetak uang logam dengan gambar
berbentuk dua tanduk yang melambangkan dirinya serupa dengan Dewa Amoun. 18
Menurut sebagian ulama Dzulqarnain adalah Alexander The Great dari
Macedonia. Ada juga yang berpendapat dia adalah salah seorang penguasa
Himyar (Yaman). Hal ini dengan alasan bahwa penguasa-penguasa Yaman
menggunakan kata Dzu pada awal namanya seperti Dzu Nuwas dan Dzu Yazin.
Riwayat lain juga menyatakan dia adalah Koresy (539-560 SM) pendiri Imperium
Persia. Sementara menurut Thahir Ibn ‘Asyur bahwa dia adalah seorang penguasa
dari Cina dengan alasan yang kuat pula.19
Ibnu Ishak menyatakan: “Diceritakan kepadaku oleh Tsaur bin Yazid, dari
Khalid bin Ma’ dan Al-Kala’i (Khalid adalah orang yang pernah berjumpa dengan
banyak sekali manusia) bahwa Rasulullah saw ditanya tentang Dzu Al-Qarnain,
maka beliaupun menjawab:
16
Ibn Kaṡir, Tafsir Ibn Kaṡir jilid 5, terj. Abdullah bin Muhammad (Bogor: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i, 2003), hlm. 290
17
Nurul Haq, Zul Qarnain, Dakwah dan Peradaban: Kajian Dakwah Sejarah Perspektif Tekstual
dan Kontekstual (Yogyakarta: Jurnal Dakwah, 2012), vol. 13, no. 2, hlm. 142
18
Rukimin, Kisah Dzulqarnain dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi: 83-101 (Pendekatan
Hermeneutika) (Profetika: Jurnal Studi Islam, 2014), vol. 15, no. 2, hlm. 146
19
Ibid

9|Artikel Magang Merdeka Terintegrasi 2


‫اَأل َض ِم ْحَتِت ا ِباَأل اِب‬ ‫ِل‬
‫َم ٌك َم َس َح ْر ْن َه ْسَب‬
Ia adalah seorang raja yang menyambangi bumi dari bawahnya dengan
berbagai jalan.20
Dalam surat al-kahfi, kata Dzu Al-Qarnain disebut sebanyak tiga kali.
Sementara untuk kata ganti yang merujuk kepadanya disebutkan sebanyak 25
kali.21 Dalam ayat-ayat yang menyebutkan kata tersebut tidak menjelaskan secara
jelas siapakah sosok Dzu Al-Qarnain. Bahkan asal-usulnya, dimana ia berada dan
ciri-ciri khususnya yang masih belum jelas. Ada beberapa keterangan yang masih
misterius tentang ciri-cirinya. Antara lain; dia diberi kedudukan di bumi, dimana
bumi sendiri sangat luas dan tidak diketahui dimana ia berada; ia adalah sosok
yang menguasai banyak teknologi terapan, sehingga dengan teknologi tersebut ia
dapat membuat pekerjaan dan karya hebat dengannya seperti pembuatan benteng
yang terkisahkan juga dalam Al-Qur’an tentangnya.
Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi dan Mahmud Hamid Utsman menyatakan
bahwa Ibnu Kawa’ pernah bertanya kepada Ali r.a. tentang Dzu Al-Qarnain,
apakah ia seorang nabi ataukah malaikat? Ali menjawab “Bukan ini (nabi) dan
bukan itu (malaikat), ia adalah seorang hamba yang shalih, yang menyeru
kaumnya kepada Allah ta’ala, lalu mereka melukai kepalanya (sebelah), kemudian
ia menyeru mereka lagi, namun mereka malah melukai lagi kepalanya
(sebelahnya lagi). Karena itu dia dijuluki Dzu Al-Qarnain.22
Menurut Quraish Shihab, dalam ayat ke 84 surat al-Kahfi yang berbunyi:

ۙ‫ِاَّنا َم َّك َّنا َلُه ىِف اَاْلْر ِض َوٰاَتْيٰن ُه ِم ْن ُك ِّل َش ْي ٍء َس َبًبا‬


Sesungguhnya Kami telah memberi kedudukan kepadanya di bumi dan
Kami telah memberikan jalan kepadanya (untuk mencapai) segala sesuatu
Kata (makkanna) terambil dari kata (tamkin), yakni memungkinkan dan
menjadikan bisa dan mampu. Kemampuan dimaksud adalah kemantapan dalam
hal kekuasaan dan pengaruh. Allah memantapkan bagi Dzulqarnain kekuasaan
20
Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi, Mahmud Hamid Utsman, Tafsir Al-Qurthubi (Syaikh Imam
Al-Qurthubi) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008), hlm. 121
21
Ibid, hlm. 143
22
Ibid, hlm. 126

10 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2
dengan menganugerahkan kepadanya pengetahuan tentang tata cara
mengendalikan wilayah, serta mempermudah baginya perolehan saranan dan
prasarana guna mencapai maksudnya. Sementara kata (sababan) pada mulanya
berarti tali, kemudian makna ini berkembang sehingga mencakup segala sesuatu
yang dapat mengantar guna meraih apa yang dikehendaki. Dengan menggunakan
tali, timba dapat diturunkan ke sumur untuk memperoleh air. Dengan tali juga
seseorang dapat memanjat ke atas.23
Kemudian tentang sambungan ayat selanjutnya, Ibnu Abbas mengatakan,
“Ilmu tentang segala sesuatu untuk mencapai apa yang dikehendaki”. Al-Hasan
mengatakan, “Untuk mencapai apa yang dikehendakinya”. Ada juga yang
mengatakan, “Segala sesuatu yang dibutuhkan segala makhluk”. Ada juga yang
mengatakan, “Segala sesuatu yang diperlukan oleh para raja untuk menaklukkan
kota-kota dan menundukkan para musuh”.24

INTI DAN PESAN MORAL KISAH DZU AL-QARNAIN


Dari pemaparan penulis tentang sosok Dzu Al-Qarnain serta pendapat para
ulama tentangnya, dapat diambil inti dari kisah Dzu Al-Qarnain. Kisah Dzu Al-
Qarnain adalah cerita tentang seorang pemimpin yang berhasil menaklukkan
setiap wilayah yang didatanginya. Akan tetapi sifat-sifat terpuji yang ada melekat
dalam dirinya juga sangat bagus untuk ditiru oleh seluruh insan yang membaca
kisahnya. Oleh karena itu, bila membahas pesan moral yang terkandung di dalam
kisahnya, maka pesan yang dapat diambil itu akan relevan baik oleh seorang
pemimpin ataupun bukan.25
Sosok Dzu Al-Qarnain adalah pemimpin yang dianugerahi ilmu serta
kekuasaan oleh Allah untuk menjalankan misi dakwahnya. Selain itu, Dzu Al-
Qarnain juga ditafsirkan sebagai sosok yang yang memiliki sifat adil dan bijak.
Adil adalah sifat terpuji yang harus dimiliki oleh setiap insan terutama seorang
pemimpin. Pengertian adil dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sama
23
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2005), vol. 8, hlm. 116
24
Rukimin, Kisah Dzulqarnain dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi: 83-101 (Pendekatan
Hermeneutika) (Profetika: Jurnal Studi Islam, 2014), vol. 15, no. 2, hlm. 147
25
Faikar Faaris, Pesan Moral Kisah Zulqarnain (Jakarta: Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, 2021),
hlm. 39

11 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2
berat, tidak berat sebelah, tidak memihak dan tidak sewenang-wenang. Adil
adalah meletakkan sesuatu pada tempat yang benar dan tepat. Keadilan adalah
salah satu tujuan setiap agama yang ada di dunia ini, termasuk Islam yang
menempatkan keadilan di tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia.26

ۙ‫َقاَل َم ا َم َّك ْيِّن ِفْيِه َرْيِّب َخ ْيٌر َفَاِعْيُنْو ْيِن ِبُقَّوٍة َاْجَعْل َبْيَنُك ْم َو َبْيَنُه ْم َرْد ًم ا‬
Dia (Dzu Al-Qarnain) berkata, “Apa yang telah dikuasakan kepadaku oleh
Tuhanku lebih baik (daripada apa yang kamu tawarkan). Maka, bantulah aku
dengan kekuatan agar aku dapat membuatkan tembok penghalang antara kamu
dan mereka.(QS. Al-Kahfi (18):95)
Ayat ini menerangkan tentang penerimaan bantuan yang dikaruniai Allah
kepadanya dengan penegasan “Apa yang telah dikuasakan kepadaku oleh
Tuhanku lebih baik (daripada apa yang kamu tawarkan)” sebagai bukti
kebijaksanaan Dzu Al-Qarnain. teridentifikasi dua masalah, yakni perihal
dukungan Allah dan dalil bagi pemimpin.27
Meski mereka menawarkan harta sebagai bayaran atas bantuan yang akan
dilakukan Dzu Al-Qarnain perihal membangun penghalang tersebut, akan tetapi
Dzu Al-Qarnain menjawab dengan “aku tidak membutuhkannya”, melainkan dia
membutuhkan bantuan orang-orang tersebut “fa‟inūnī biquwwah,” menurut al-
Qurṭubi, maknanya “tolonglah aku dengan (kekuatan) manusia dan alat-alat,
yakni mengerahkan seluruh tenaga bersamanya (Dzu Al-Qarnain)”, karena biaya
ada pada Dzu Al-Qarnain sedang tenaga ada pada mereka. Maksudnya bahwa
pandangan Dzu Al-Qarnain perihal harta yang akan diberikan sebagai upah adalah
lebih mereka butuh kan, maka ia mengembalikan kebutuhan itu untuk
kepentingan mereka, sehingga yang lebih utama adalah dukungan atau bantuan
fisik dari manusia.28
Imam al-Qurthubi memulai penafsiran Qs. al-Kahf/ 18: 86 dengan
mengutarakan pendapat siapa sebenarnya Dzu Al-Qarnain melalui penggalan ayat
26
Nuraila Harun, Makna Keadilan Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Perundang-undangan.
(Jurnal Ilmiah Al-Syir‟ah, 2013), vol.11, no.1, hlm. 43
27
Faikar Faaris, Pesan Moral Kisah Zulqarnain (Jakarta: Skripsi UIN Syarif Hidayatullah, 2021),
hlm. 52
28
Al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurṭubi, hlm. 160

12 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2
‫ُقْلَنا ٰيَذ ا الَق ْرَنِنْي‬

Kami berkata, Hai Dzu Al-Qarnain!.” Sebagaimana Al-Qusyairi Abu Nashr


berkata. “Bila ia (Dzu Al-Qarnain) seorang Nabi, maka itu adalah wahyu, bila
bukan maka itu adalah ilham dari Allah. Akan tetapi Abu Ja‟far al-Nuhas
menyangkal pernyataan tersebut, bahwa Dzu Al-Qarnain bukan seorang Nabi.
Sebagaimana yang dikatakan oleh seorang sahabat bernama Abu Al-Hasan. “Allah
bisa saja berbicara kepada Dzu Al-Qarnain melalui lisan seorang nabi waktu itu,
dan mungkin Allah mengatakan hal tersebut kepadanya sebagaimana Allah
mengatakan kepada Nabi-Nya” Hal tersebut berlandaskan dalil QS. Muhammad/
47: 4.
Menurut Quraish Shihab, firman Allah (lam naj’al lahum min duniha sitran)
Kami tidak menjadikan bagi mereka sesuatu yang melindungi mereka darinya), di
samping makna yang dikemukakan di atas ada juga yang memahaminya dalam
arti “suatu kaum yang hidup dengan fitrah asli mereka, tidak ada penutup yang
mengalangi mereka dari sengatan panas matahari, tidak pakain, tidak ada juga
bangunan”. Kemudian firman Allah (ahathna bima ladaihi khubran/Kami
meliputi segala apa yang ada padanya), bukan saja penegasan bahwa Allah Yang
Maka Mengetahui, tetapi agaknya Dia juga bermakna Allah mengawasi dan
membimbing Dzulqarnain dalam langkah-langkahnya. Atau dapat juga berarti
bahwa apa yang diceritakan itu adalah sebagian kisah perjalanannya dan Allah
Maha Mengetahui segala sesuatu yang terjadi dalam perjalanannya itu, termasuk
suka duka dan perjuangan Dzulqarnain. Karena itu jangan herjan jika informasi
ini sangat teliti, jangan juga duga sekian apa yang tidak diuraikan adalah karena
tidak diketahui-Nya.29
Rangkaian gramatikal dari ayat-ayat di atas sangatlah indah gaya bahasanya
disertai dengan gaya bahasa majaz, di mana Dzulqarnain telah menempuh dua
perjalanan panjang yaitu perjalanan ke Barat dan ke Timur serta mendapatkan
pada dua perjalanan tersebut segolongan kaum/umat. Pada perjalanan ke Barat

Rukimin, Kisah Dzulqarnain dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi: 83-101 (Pendekatan


29

Hermeneutika) (Profetika: Jurnal Studi Islam, 2014), vol. 15, no. 2, hlm. 150

13 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2
(maghrib asy-syams), Dzu Al-Qarnain menemukan suatu kaum yang ingkar dan
Dzu Al-Qarnain pun berdakwah mengajak kepada kebaikan dan keimanan,
sedangkan pada perjalan ke Timur (masyriq asy-syams), ia menemukan suatu
kaum yang sepertinya masih primitif jika dilihat dari tafsiran ayatnya. Secara
psikologis dapatlah dipahami bahwasanya Allah hendak menginformasikan
kepada kita bahwsanya secara garis besar, suatu umat digolongkan menjadi dua;
yaitu umat yang ingkar dan umat yang beriman. Sebelum suatu umat itu beriman
tentu saja mereka dikatakan sebagai umat yang primitif atau belum mendapatkan
ajakan dakwah untuk beriman kepada Allah.
Lebih lanjut jika ditilik dari pembacaan secara historis-humanistik
bahwasanya rangkaian ayat-ayat di atas menunjukkan Islam sebagai rahmatan lil
‘alamin. Hal ini dapat dibuktikan dari sikap bijak yang penuh kebaikan dan tanpa
kekerasan yang ditonjolkan oleh Dzulqarnain, bahwasanya kepada umat yang
ingkar hendaknya diajak bertobat dan kembali kepada keimanan dengan
diperingatkan akan kekufurannya bahwa Allah akan mengazab orang-orang yang
ingkar. Kepada orang-orang yang ingkar sekalipun Dzulqarnain dapat bersikap
dan berbuat bijak, apalagi kepada orang-orang yang masih primitif dan belum
mendapatkan ajakan kepada agama yang hak. Tentu saja Dzulqarnain akan lebih
menonjolkan sikap rahmatan.30

‫َح ّٰت ِاَذا َبَلَغ َبَنْي الَّس َّد ْيِن َوَج َد ِم ْن ُدْو ِهِنَم ا َقْوًم ۙا اَّل َيَك اُدْو َن َيْف َق ُه ْو َن َقْواًل‬

‫ِض‬ ‫َاْل‬ ‫ا‬ ‫ْف ِس ُد ْو َن ىِف‬ ‫ْأ‬ ‫ْأ‬ ‫َّن‬‫) َق اُل ا ٰيَذ ا اْل ِنْي ِا‬93(
‫ْل‬ ‫َه‬
‫َف‬ ‫ْر‬ ‫ُم‬ ‫ُج‬ ‫َم‬
‫ْوَج َو ْوَج‬ ‫ُج‬ ‫َي‬ ‫َق ْرَن‬ ‫ْو‬
)94( ‫ْجَنَعُل َلَك َخ ْرًج ا َعٰٓلى َاْن ْجَتَعَل َبْيَنَنا َو َبْيَنُه ْم َس ًّدا‬
Hingga ketika sampai di antara dua gunung, dia mendapati di balik
keduanya (kedua gunung itu) suatu kaum yang hampir tidak memahami
pembicaraan. Mereka berkata, “Wahai Zulqarnain, sesungguhnya Ya’juj dan

Rukimin, Kisah Dzulqarnain dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi: 83-101 (Pendekatan


30

Hermeneutika) (Profetika: Jurnal Studi Islam, 2014), vol. 15, no. 2, hlm. 151

14 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2
Ma’juj) adalah (bangsa) pembuat kerusakan di bumi, bolehkah kami memberimu
imbalan agar engkau membuatkan tembok penghalang antara kami dan
mereka?” (QS. Al-Kahfi/18: 93-94)
Selanjutnya Dzulqarnain melanjutkan perjalanannya, hingga apabila dia
telah sampai dalam perjalanan ketiga ini di antara dua buah gunung yang sangat
tinggi yang menyulitkan orang yang di belakangnya dapat melampauinya, dia
yakni Dzulqarnain mendapati di keduanya, yakni di belakang atau di dekat kedua
gunung itu dari arah kedatangan Dzulqarnain – dia mendapati – suatu kaum yang
hampir tidak mengerti pembicaraan kecuali dengan susah payah karena bahasanya
asing, atau dan kecerdasannya rendah. Mereka berkata melalui penerjemah atau
dengan bahasa isyarat, “Hai Dzulqarnain, kami sedang terancam dan menderita
oleh sekolompok orang yang bernama Ya’juj dan Ma’juj. Sesungguhnya Ya’juj
dan Ma’juj itu adalah perusak-perusakdi muka bumi dengan aneka macam
perusakan, maka dapatkah kami memberikan suatu pembayaran kepadamu,
supaya engkau membuat suatu dinding antara kami dan mereka sehingga
menghalangi mereka menyerang kami?”
Farid Wajdi dalam karyanya Dairah al-Ma’arif berpendapat Dzu Al-
Qarnain, yang disebutkan dalam Al-Qur’an Surah al-Kahfi, adalah Iskandar
Agung (Alexander The Great). Sementara secara kontras Sayid Qutub dalam
tafsirnya Fi Zilal al-Qur’an menyatakan bahwa Dzu Al-Qarnain yang disebutkan
dalam al-Qur’an Surah al-Kahfi bukanlah Iskandar Dzu Al-Qarnain atau
Alexander Agung (The Great) yang berasal dari Macedonia, Yunani, salah-
seorang murid Filosof Aristoteles. Alasannya Alexander/Iskandar The Great
adalah seorang penyembah berhala, sedangkan Dzu Al-Qarnain yang disebut
dalam Al-Qur’an seorang mu’min (yang beriman), bertauhid dan meyakini adanya
kebangkitan dan kehidupan akhirat. Pendapat yang lain, seperti dikutip oleh al-
Maraghi, menyebutkan bahwa Dzu Al-Qarnain adalah seorang raja Himyar (Arab)
bernama Abu Bakar Bin Ifriqash, yang pernah pergi bersama tentaranya ke Laut
Tengah, lalu ke Afrika dan membangun kota di sana dengan namanya.31
Kisah Ya’yuj dan Ma’juj

31
Muhammad Farid Wajdi, Dairah al-Ma’arif al-Qarn al-‘Ishrin (juz 1), hlm. 312-318

15 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2
Kisah lanjutan yang terdapat di kisah Dzu Al-Qarnain ini adalah kisah
tentang tembok Ya’juj dan Ma’juj yang digambarkan sebagai tembok besar
penghalang agar Ya’juj dan Ma’juj tidak keluar dari tempatnya dan
menghancurkan isi bumi. Ya’juj dan Ma’juj ini dikaitkan dengan kisah Dzu Al-
Qarnain karena sifatnya yang ingin menghancurkan bumi. Dzu Al-Qarnain
menemukannya ketika sedang dalam pengembaraan.32
Sejarah Ya’juj dan Ma’juj ini tidak hanya ada di kisah Islam saja, tetapi juga
ada dalam sejarah Nashara dan Kristen. Al-Qur’an tidak hanya menyebutkan
Ya’juj dan Ma’juj saja, tapi juga menyebut kisah Dzu Al-Qarnain secara
berkesinambungan. Perjalanan Dzu Al-Qarnain dalam menempuh perjalanan ke
barat tempat matahari terbenam, dan ke timur tempat matahari terbit.
Pengembaraan yang dilakukan Dzu Al-Qarnain yang ketiga menghantarkannya ke
Ya’juj dan Ma’juj.
Ya’juj dan Ma’juj terkenal sebagai bangsa yang senantiasa membuat
kerusakan di bumi. Secara etimologi, Ya’juj dan Ma’juj berasal dari kata ‘aja atau
‘ajij dengan wazan yaf’ul berarti penduduk atau bangsa yang mendiami Asia.
Kata Ya’juj dan Ma’juj sendiri merupakan kata serapan dari bahasa Cina, dalam
bahasa Cina, “Ya” (berarti Asia) dan “Jou” (berarti bangsa), sedangkan Ma’juj,
kata “Ma” (berarti kuda) dan “Jou” (berarti bangsa) yang dapat disimpulkan
sebagai bangsa (benua) kuda. Jika digabungkan Ya’juj dan Ma’juj adalha
penduduk yang mendiami wilayah yang sebagian besar dihuni oleh kaum
berkuda.33
Penggambaran kisah Ya’juj dan Ma’juj sebagai kaum perusah, penghabis
segala sesuatu dan makhluk yang bengis di muka bumi, bertubuh pendek,
bertelinga lebar dan berparas buruk, begitulah mereka digambarkan oleh sejarah
Bani Israil.34

32
Fildzah Nida, Kisah Zulqarnain dan Ya’juj wa Ma’juj dalam Kajian Tafsir Al-Qur’an (Menurut
Quraish Shihab, al-Maraghi dan Buya Hamka) (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Skripsi, 2019),
hlm. 2
33
Taufik, Zulqarnain dalam Al-Qur’an (Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas Ushuluddin, UIN
Sunan Kalijaga, Yogyakarta: Skripsi, 2007), hlm. 16-17
34
Syaikh Utsmani, Tafsir Al-Kahfi (Jakarta Timur: Pustaka as-Sunnah, 2005), hlm. 94

16 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2
Pesan yang disampiakan oleh Allah kepada umat Nabi Muhammad atau
bahkan orang-orang yang secara khusus memang diberi kisah tersebut sebagai
bukti kenabian Nabi Muhammad dan sebagai pencerah hati mereka agar bertauhid
kepada Allah swt. serta mengakui Nabi Muhammad sebagai utusan Allah swt.
Memang dengan keadaan masyarakat di saat itu dimana keadaan budaya
masyarakatnya sangat bertolak belakang dengan ajaran Islam yang diturunkan
Allah sebagai penyempurna agama samawi sebelumnya akan sangat
menimbulkan banyak penolakan. Namun dengan kemukjizatan Al-Qur’an dan
Nabi Muhammad, serta kehendak Allah swt. menjadikan peristiwa semacam ini
tidak sulit untuk terjadi. Wallahu a’lam bisshowwaab.

URGENSI DAN MANFAAT KISAH DZU AL-QARNAIN BAGI DAKWAH


NABI MUHAMMAD SAW
Kondisi masyarakat Makkah yang masih memegang budaya materialistis
dan kental akan sebutan jahiliyyah, Islam datang dengan membawa konsep-
konsep berbentuk cerita tokoh seperti Dzu Al-Qarnain dengan tujuan memberi
contoh dan peringatan. Terkait dengan hal ini, Nashr Hamid mencoba membuat
kesimpulan bahwa pada fase Mekkah berfungsi sebagai inzhar, yakni suatu fungsi
untuk menggerakkan kesadaran akan adanya kerusakan dalam realitas saat itu,
sehingga harus ada perubahan.35
Urgensi dari diturunkannya wahyu tentang kisah Dzu Al-Qarnain ini dapat
dikelompokkan secara umum dan juga secara khusus.36
1. Aspek Umum
Secara umum dan juga sesuai dengan pesan moral kisah Dzu Al-Qarnain,
maka tujuan dari diturunkannya kisah ini tidak lain dan tidak bukan adalah bahwa
agar masyarakat Makkah dapat mengambil pelajaran dan pesan moral dari kisah
ini. Seperti yang dipaparkan penulis diatas tentang pesan moral sosok Dzu Al-

35
Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut: Al-Markaz Al-
Saqafi Al-Arabi, 2000), jilid IV, hlm. 369
36
Nor Faridatunnisa, Kisah Dzu al-Qarnain dalam Al-Qur’an: Fungsi dan Urgensinya bagi
Dakwah Nabi Muhammad (IAIN Palangkaraya: El-Afkar, 2022), hlm. 281

17 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2
Qarnain yang merupakan sosok pemimpin yang sangat baik, bijaksana, qana’ah
dan adil sangat berkebalikan dengan kondisi masyarakat Makkah saat itu.
Perlu diketahui bahwa kondisi masyarakat pada saat diturunkan ayat ini
adalah masyarakat yang masih memegang prinsip yang kita kenal saat ini dengan
istilah jahiliyyah. Budaya-budaya yang masih materialistis, perundungan anak dan
perempuan yang masih merajalela dan banyak kejahatan yang menyebar
diberbagai wilayah. Ini sesuai dengan salah satu tujuan diturukannya kisah-kisah
dalam Al-Qur’an yaitu sebagai peringatan dan pembelajaran bagi umat manusia.
Selain sebagai peringatan, dengan kemukjizatan Al-Qur’an tentang
kebenaran seluruh isinya dan kerelevanannya dengan berbagai zaman, maka kisah
Dzu Al-Qarnain ini adalah sebagai pendukung dari keindahan sastra Al-Qur’an.
Sastra sendiri bukan hanya tentang teknik penyusunan bahasa yang indah tapi juga
tentang bagaimana bahasa-bahasa yang disusun tersebut dapat bermakna dan bisa
menyentuh hati pembacanya. Bahkan kisah Dzu Al-Qarnain ini membuat
banyaknya perbedaan pendapat para ulama tentang kisah ini baik tentang sosok
Dzu Al-Qarnain maupun tentang sebab turunnya kisah ini. Bahkan tentang sifat
dan kedudukan kisahnya saja banyak perbedaan diantara para ulama.
2. Aspek Khusus
Secara khusus, kisah ini jika dikaitkan dengan sebab turunnya bahwa cerita
ini muncul untuk menjawab pertanyaan. Maka dapat dipahami bahwa fungsi
diturunkannya ayat terkait cerita ini ialah untuk membuktikan kompetensi Nabi
Muhammad bahwa dia benar-benar utusan Allah yang memahami pengetahuan
luas, tidak hanya pengetahuan yang ada pada masanya, tetapi juga yang berkaitan
dengan sejarah pada masa lampau.37 Seperti yang penulis kisahkan bahwa ada
pendapat bahwa mengapa muncul pertanyaan tersebut adalah karena kamu
musyrik meminta saran pertanyaan untuk menguji Nabi Muhammad di kala itu
dengan tujuan mempermalukan Nabi Muhammad dan membuktikan bahwa Nabi
Muhammad bukan utusan Tuhan. Namun pada akhirnya tetaplah terbukti bahwa
Nabi Muhammad adalah benar-benar utusan Allah karena pertanyaan dari kaum

37
Nor Faridatunnisa, Kisah Dzu al-Qarnain dalam Al-Qur’an: Fungsi dan Urgensinya bagi
Dakwah Nabi Muhammad (IAIN Palangkaraya: El-Afkar, 2022), hlm. 282

18 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2
musyrik yang didapat dari ahli kitab dapat dijawab oleh Nabi Muhammad dengan
diturunkannya wahyu kisah ini.
Sehingga, secara garis besar dapat dinyatakan bahwa kisah Dzu Al-Qarnain
mengandung pesan-pesan dakwah yang penting bagi Nabi Muhammad selaku
tokoh utama dakwah pada masa itu.
Selain itu, jika dilihat dari aspek sasarannya, metode dakwah dengan kisah
Dzu Al-Qarnain ini mempunyai multiefek. Bagi Nabi Muhammad dan para
sahabat, berfungsi sebagai sarana pengajaran dan penyampaian contoh sikap yang
baik untuk kepemimpinan. Sementara itu, bagi orang-orang Yahudi dan Nasrani
yang sudah terbiasa dengan kisah-kisah, kisah yang dituturkan Muhammad
menjadi bukti kenabian beliau. Adapun efek bagi orang-orang kafir Mekkah
adalah keterpukauan mereka dengan sastra yang bernilai tinggi yang dikandung
oleh kisah tersebut. Dengan kebenaran jawaban Nabi Muhammad terhadap
pertanyaan yang diajukan kaum kafir Makkah yang didapat dari ahli kitab
terdahulu tentang kisah tersebut. Kemudian Nabi Muhammad menjawab dengan
kisah yang turun langsung dari Allah swt. membuat kebenaran kerasulan Nabi
meningkat di kalangan bangsa Arab terutama kepada kaum kafir Makkah.
Selain tentang kebenaran kisah tersebut. Isi kisah tersebut sudah tercantum
dalam kitab-kitab samawi sebelumnya yang dibawa oleh ahli kitab dan para
pendeta. Seperti penjabaran diatas bahwa ide untuk menanyakan kisah ini didasari
oleh para ahli kitab, dan kebenaran bahwa kisah Dzu Al-Qarnain ini serta kisah
Ya’juj dan Ma’juj ini yang telah tertuang dalam kitab samawi sebelumnya,
mengindikasikan kebenaran bahwa agama Islam memang merupakan agama
penyempurna bagi agama-agama samawi sebelum Islam. Dan turunnya Nabi
Muhammad adalah sebagia penyempurna sekaligus penutup dari para nabi.
Ajaran Islam yang ada juga telah bertahan sekian lama dan tetap terjaga
tanpa adanya kehilangan dari sifat asli agama Islam yang rahmatan li al-‘alamin.
Nilai-nilai etika profetik, kemanusiaan universal dan eksistensi peradaban
nya menjadi salah-satu ciri khas orientasi dakwah Dzu Al-Qarnain. Di dalam Al-
Qur’an disebutkan bahwa misi utama Dzu Al-Qarnain membuat benteng bagi
komunitas suku-suku di Wilayah China adalah mencegah serangan Ya’juj dan

19 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2
Ma’juj yang dapat menghancurkan suku-suku tersebut dan memusnahkan
kebudayaannya, karena serangannya yang brutal dan tidak memperhatikan aspek
kemanusiaan. Untuk menyelamatkan komunitas sukunya dan eksistensi
peradabannya, mereka berani membayar Dzu Al-Qarnain untuk membuat benteng
besar sebagai pelindung dengan sistem barter. Dengan dibangunnya benteng besar
yang sangat kokoh selama ribuan tahun dan masih eksis hingga kini, suku-suku
China tersebut dapat melindungi diri dan jiwa mereka, karena Ya’juj dan Ma’juj
konon disebutkan tidak mampu menembusnya.38

38
Nurul Haq, Zul Qarnain, Dakwah dan Peradaban: Kajian Dakwah Sejarah Perspektif Tekstual
dan Kontekstual (Yogyakarta: Jurnal Dakwah, 2012), vol. 13, no. 2, hlm. 158

20 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2
KESIMPULAN

Kata Dzu Al-Qarnain adalah bahasa berarti (orang) yang memiliki dua
tanduk, orang yang rambutnya berkepang dua; kiri-kanan, barat-timur. Istilah ini
merujuk kepada beberapa makna baik secara konotatif, denotatif maupun
simbolik. Sebagian mengatakan bahwa sebutan istilah Dzu Al-Qarnain itu
merujuk kepada fakta bahwa dia mamakai mahkota kepala yang bertanduk dua,
sedangkan sebagian yang lainnya menyebutkan bahwa istilah itu disebutkan bagai
kiasan bahwa dia adalah orang yang menguasai ujung barat dan ujung timur.

Dari pemaparan penulis tentang sosok Dzu Al-Qarnain dan pendapat para
ulama tentangnya, dapat diambil inti dari kisah Dzu Al-Qarnain. Kisah Dzu Al-
Qarnain adalah cerita tentang seorang pemimpin yang berhasil menaklukkan
setiap wilayah yang didatanginya. Adil adalah sifat terpuji yang harus dimiliki
oleh seluruh insan yang membaca kisahnya. Oleh karena itu, bila membahas pesan
moral yang terkandung di dalam kisahnya, maka pesan yang dapat diambil itu
akan relevan baik oleh seorang pemimpin ataupun bukan.

Sosok Dzu Al-Qarnain adalah pemimpin yang dianugerahi ilmu serta


kekuasaan oleh Allah untuk menjalankan misi dakwahnya. Selain itu, Dzu Al-
Qarnain juga ditafsirkan sebagai sosok yang memiliki sifat adil dan bijak. Adil
adalah sifat terpuji yang harus dimiliki oleh setiap insan terutama seorang
pemimpin. Pengertian adil dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sama
berat, tidak berat sebelah, tidak memihak dan tidak sewenang-wenang. Adil
adalah meletakkan sesuatu pada tempat yang benar dan tepat. Keadilan adalah
salah satu tujuan setiap agama yang ada di dunia ini, termasuk Islam yang
menempatkan keadilan di tempat yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

Sejarah Ya'juj dan Ma'juj ini tidak hanya ada di kisah Islam saja, tidak ada
dalam sejarah Nashara dan Kristen. Al-Qur’an tidak hanya menyebutkan Ya'juj
dan Ma'juj saja, tapi juga menyebut kisah Dzu Al-Qarnain secara
berkesinambungan. Perjalanan Dzu Al-Qarnain dalam menempuh perjalanan ke
barat tempat matahari terbenam, dan ke timur tempat matahari terbit.

21 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2
Pengembaraan yang dilakukan Dzu Al-Qarnain ketiga menghantarkannya ke
Ya'juj dan Ma'juj.

Isi kisah tersebut sudah tercantum dalam kitab-kitab samawi sebelumnya


yang dibawa oleh ahli kitab dan para pendeta. Seperti penjabaran diatas bahwa ide
untuk menanyakan kisah ini didasari oleh para ahli kitab, dan kebenaran bahwa
kisah Dzu Al-Qarnain ini serta kisah Ya’juj dan Ma’juj ini yang telah tertuang
dalam kitab samawi sebelumnya, mengindikasikan kebenaran bahwa agama Islam
memang merupakan agama penyempurna bagi agama-agama samawi sebelum
Islam. Dan turunnya Nabi Muhammad adalah sebagia penyempurna sekaligus
penutup dari para nabi. Ajaran Islam yang ada juga telah bertahan sekian lama dan
tetap terjaga tanpa adanya kehilangan dari sifat asli agama Islam yang rahmatan li
al-‘alamin.

22 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Khalafullah, Al-Fann Al-Qashash Fi Al-Qur’an Al-Karim (Beirut:
Muassasah al-Intisyar al-‘Arabi, 1999)
Al-Qurṭubi, Tafsir al-Qurṭubi
Departemen Agama RI, Ensiklopedi Islam II (Jakarta: CV Andi Utama, 1993)
Faikar Faaris, Pesan Moral Kisah Zulqarnain (Jakarta: Skripsi UIN Syarif
Hidayatullah, 2021)
Fildzah Nida, Kisah Zulqarnain dan Ya’juj wa Ma’juj dalam Kajian Tafsir Al-
Qur’an (Menurut Quraish Shihab, al-Maraghi dan Buya Hamka) (UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta: Skripsi, 2019)
Hamdi bin Hamzah Abu Zaid, Munculnya Ya’juj dan Ma’juj di Asia;
Mengungkap Misteri Perjalanan Zulkarnain ke Cina (Jakarta: Almahira,
2010)
Ibn Kaṡir, Tafsir Ibn Kaṡir jilid 5, terj. Abdullah bin Muhammad (Bogor: Pustaka
Imam Asy-Syafi’i, 2003)
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah (Jakarta: Lentera Hati, 2005), vol. 8
M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan, dan Keserasian Al-Qur’an
(Jakarta: Lentera Hati, 2006), jilid 7
Muhammad Farid Wajdi, Dairah al-Ma’arif al-Qarn al-‘Ishrin (juz 1)
Muhammad Ibrahim Al-Hifnawi, Mahmud Hamid Utsman, Tafsir Al-Qurthubi
(Syaikh Imam Al-Qurthubi) (Jakarta: Pustaka Azzam, 2008)
Nashr Hamid Abu Zayd, Mafhum al-Nash: Dirasat fi ‘Ulum al-Qur’an (Beirut:
Al-Markaz Al-Saqafi Al-Arabi, 2000), jilid IV
Nor Faridatunnisa, Kisah Dzu al-Qarnain dalam Al-Qur’an: Fungsi dan
Urgensinya bagi Dakwah Nabi Muhammad (IAIN Palangkaraya: El-
Afkar, 2022)
Nuraila Harun, Makna Keadilan Dalam Perspektif Hukum Islam Dan Perundang-
undangan. (Jurnal Ilmiah Al-Syir‟ah, 2013), vol.11, no.1, hlm. 43
Nurul Haq, Zul Qarnain, Dakwah dan Peradaban: Kajian Dakwah Sejarah
Perspektif Tekstual dan Kontekstual (Yogyakarta: Jurnal Dakwah, 2012),
vol. 13, no. 2

23 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2
Rahmat, Puput Saeful, Penelitian Kualitatif (Jurnal Equilibrium, 2009) vol. 5,
no. 9
Rukimin, Kisah Dzulqarnain dalam Al-Qur’an Surat Al-Kahfi: 83-101
(Pendekatan Hermeneutika) (Profetika: Jurnal Studi Islam, 2014), vol. 15,
no. 2
Rukimin, Kisah Żū al-Qarnain dalam al-Qur’an Surat al-Kahfi: 83-101
(Pendekatan Hermeneutik)
Siti Chamamah Soeratno, Hikayat Iskandar Zulkarnain: Analisis Resepsi
(Jakarta: Balai Pustaka, 1991)
Syaikh Utsmani, Tafsir Al-Kahfi (Jakarta Timur: Pustaka as-Sunnah, 2005)
Syekh Mustofa al-Maraghi, Terjemah Tafsir al-Maraghi, Jilid XVI, terj. Bahrun
Abu Bakar dkk., (Semarang: Toha Putra, 1987)
Taufik, Zulqarnain dalam Al-Qur’an (Jurusan Perbandingan Agama, Fakultas
Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta: Skripsi, 2007)
Umar Sulaiman Al-Asyqor, Kisah-Kisah Shohih dalam Al-Qur’an dan Sunnah
Terj. Tim Pustaka ELBA, (Pustaka ELBA)
Yoni Ardianto, Memahami Metode Penelitian Kualitatif (Kemenkeu, 2019)

24 | A r t i k e l M a g a n g M e r d e k a T e r i n t e g r a s i 2

Anda mungkin juga menyukai