Anda di halaman 1dari 7

Hafalan, Penulisan dan Penyusunan Al-Quran Dihubungkan

dengan Budaya dan Teknologi Bangsa Arab

Afif Fachrur Rozi


NIM. 301200025

Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir


Fakultas Ushuluddin, Adab dan Dakwah
Institut Agama Islam Negeri Ponorogo

Abstrak

Proses pewahyuan al-Qur’an yang tersembunyi dan hanya Nabi Muhammad-lah


satu-satunya orang yang mengetahuinya semakin meyakinkan bahwa ini adalah
kalam Allah dengan segala mu’jizat dan kehebatan bahasanya. Pelafalannya
hingga tulisannya sangat dijaga betul oleh Nabi dan para sahabat terlebih lagi
ketika penulisan dan penyusunan al-Qur’an yang melibatkan banyak orang dari
ahli Qur’an dan saksi-saksi yang menjadi penguat agar tetap murni hingga Allah
memusnahkan seluruh lafal al-Qur’an ketika hari kiamat akan tiba.

PEMBAHASAN

A. Pendahuluan

Al-quran merupakan kalam Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad


dengan perantara malaikat Jibril. Al-qur’an sebagai dasar rujukan umat islam
haruslah dijaga dan diperhatikan betul pemeliharaannya. Dalam menjaga kesucian
al-Qur’an para sahabat meyusun dan membukukan al-Qur’an sebagaimana yang
kita ketahui sekarang ini berbentuk sebuah kitab. Yang dimana pada zaman dulu
masih tertulis di lembaran-lembaran dan berupa hafalan.

B. Hafalan al Qur’an

Dalam pewahyuan al-Qur’an, Nabi Muhammad menerima wahyu dari Allah


lewat perantara malaikat Jibril dengan hafalan, yaitu malaikat Jibril melafalkan

19 Oktober 2021
bacaan al-Qur’an kemudian Nabi Muhammad menghafalkannya. Lalu kemudian
Nabi melafalkannya kembali kepada para sahabat laki-laki dan perempuan. Agar
mudah dalam menghafalkannya, maka Nabi membacakannya dengan pelan
(tartil).1 Para sahabat sangat teliti dan hati-hati dalam pelafalan dan hafalan al-
Qur’an ini karena mereka tahu akan kesucian dan kekeramatan kalimat-kalimat
ini. Dari Ibnu Mas’ud. Suatu ketika ada kelompok sahabat yang bertanya tentang
QS. al-Syu‘ara’, Ibnu Mas‘ud menjawab: “Surat itu tidak bersama saya (tidak
menghafalnya), akan tetapi kalian harus membelajarinya dari orang yang
mengambilnya dari Rasulullah, yaitu Abi ‘Abd Allah Khabbab bin al- Ar”.2
Melalui riwayat ini bisa digambarkan bahwa Nabi dan para sahabat yang
mendengar bacaan al-Qur’an dari Nabi langsung dijadikan sebagai sumber
rujukan yang paling utama.

Ketika Nabi sibuk dengan urusan lain, Nabi memerintahkan para sahabat
yang sudah diajari untuk mengajari orang-orang yang ingin menghafalkan al-
Qur’an. Para sahabat juga dikirimkan ke tempat-tempat yang meminta bantuan
untuk diajari seperti Yaman.

Metode yang dilakukan Nabi dan para sahabat untuk menyebarkan hafalan
al-Qur’an adalah dengan metode oral (musyafahah) karena mayoritas masyarakat
Arab waktu itu masih belum bisa membaca dan menulis.

Dalam penghafalan al-Qur’an, ada beberapa hal yang diperhatikan, yaitu


cara menerima, menyampaikan dan menjaga hafalan

1. Menerima

Waktu pertama kali al-Qur’an disebarkan ada dua cara dalam menerima
hafalan al-Qur’an, yaitu:

a. Al-sama’ min qira’ah al-syaikh (mendengar bacaan guru). Ini adalah cara
pertama dalam sejarah belajar al-Qur’an. Cara ini juga dilakukan Nabi

1
Abdul Jalil, Studi Historis Kompatif Tentang Metode Tahfiz Al-Qur’an, PP. al-Munawwir, Krapyak,
Yogyakarta, 2013, hal. 2

2
Abi Na‘im Ahmad bin ‘Abd Allah al-Asfahani, Hilyah al-Awliya’ wa Tabaqat al-Asfiya’, (Bairut: Dar
al-Kutub al-‘ilmiyyah, Ttp), vol. 1, hal. 143

19 Oktober 2021
Muhammad kepada malaikat Jibril. Yaitu dengan mendengarkan bacaan
guru. Metode ini disahkan hanya untuk Nabi dan kalangan para sahabat saja
karena masih al-Qur’an turun dengan bahasa mereka dan mereka masih
merupakan orang Arab murni yang mempunyai bahasa yang fasih.

b. Al-qira’ah ‘ala al-syaikh (murid membaca dan guru mendengar). Metode ini
adalah metode yang diakui para quro. Dengan mendengarkan bacaan murid
maka guru bisa mengetahui kesalahan dan kekurangan bacaan muridnya
dengan jelas dan membenarkannya

2. Menyampaikan

Setelah Nabi menerima wahyu al-Qur’an lalu disampaikanlah kepada


para sahabat laki-laki dan perempuan dengan pelan, berhenti di setiap ayat
dan dilafalkan dengan jelas hingga jenggotnya bergerak.1 Nabi dalam
penyampaian wahyu kepada para sahabat selain membacakannya dengan
jelas dan pelan, juga melafalkannya dengan merdu. Nabi sendiri memiliki
suara yang merdu. Bahkan dalam sebuah riwayat: al-Bara’ dalam sebuah
hadis berkata bahwa beliau pernah mendengar Nabi membaca surat al-Tin
dalam shalat Isya, kemudian dia berkomentar :”Sungguh tidak ada orang yang
suara atau bacaanya lebih bagus dari Nabi”.2

3. Menjaga hafalan

Seorang manusia tidak lepas dari yang namanya lupa. Khususnya pada
pembahasan kali ini adalah orang yang menghafal al-Qur’an. Nabi
Muhammad sendiri sudah dijamin terjaga hafalannya. Namun beliau tetap
berusaha menjaga hafalannya dengan membaca ketika di masjid, di rumah
dan dalam keadaan safar yang jauh. Selain itu beliau juga menjadikan ayat-
ayat al-Qur’an sebagai wirid-an dalam salat-nya. Beliau mengingatkan para
sahabat bahwa hafalan al-Qur’an lebih mudah lepas dari seekor unta yang

1
Muhammad bin Sa‘d al-Zuhri, al-Tabaqat al-Kabir, edit. Ali Muhammad Umar, cetakan 1 (Kairo:
Maktabah al-Khanji, 2001), vol. 1, hal. 323.

2
Al-Bukhari, Sahih al-Bukhari, kitab al-tauhid, bab qaul al-Nabi: al-mahir bi al-Qur’an, vol. 4, No.
Hadis 7546

19 Oktober 2021
diikat kakinya.1 Pada zaman sebelum dituliskannya al-Qur’an ke dalam
mushaf para sahabat dan Nabi saling bersautan membaca al-Qur’an dalam
rangka menjaga hafalan mereka.

Malaikat Jibril pun rutin mendatangi Nabi setiap setahun sekali untuk
memverifikasi bacaan Nabi beserta susunan ayat yang diturunkan kepada
beliau. Kegiatan ini disebut mu’aradhah dan biasanya dilakukan ketika
malam-malam bulan ramadan. Menjelang wafatnya Nabi Muhammad,
mu’aradhah dilakukan hingga dua kali, dikenal sebagai penyampaian
terakhir. Dengan demikian versi lengkap dari al-Qur’an telah ditetapkan dan
dipastikan keaslian dan keutuhannya.2

C. Penulisan al-Qur’an

Al-Qur’an mulanya diturunkan kepada Nabi dengan hafalan, lalu Nabi


memerintahkan para sahabat yang bisa menulis untuk menuliskan al-Qur’an pada
pelepah kurma, kepingan batu, kulit atau daun kayu dan kulit binatang secara
berangsur-angsur sesuai ayat yang turun dari Jibril alaihi salam. Saat itu belum
ada kertas dan alat cetak seperti sekarang. Jadi, media-media tersebut dirasa yang
paling efektif masa itu. Cara ini dilakukan agar kesucian dan kemurnian lafal al-
Qur’an tetap terjaga dan tidak berubah satu huruf pun.

D. Penyusunan al-Qur’an

Ketika Nabi Muhammad wafat, keseluruhan al-Qur’an telah sempurna


diwahyukan kepada beliau dan telah dihafal dan ditulis seluruh ayat-ayatnya oleh
ribuan orang. Setelah wafatnya beliau, banyak dari para sahabat mengumpulkan
ayat-ayat al-Qur’an namun pengumpulan al-Qur’an yang dianggap sah pertama
kali muncul pada zaman khalifah Abu Bakar al-Siddiq atas usulan ‘Umar bin
Khattab karena banyaknya dari para penghafal al-Qur’an gugur dalam medan
pertempuran. Khalifah Abu Bakar menunjuk Zayd bin Tsabit untuk menjadi

1
Muslim, Sahih Muslim, kitab shalah al-musafirin wa qasriha, bab al-amr bi ta‘ahhud al-Qur’an,
vol. 1, No. hadis 791

2
Syamsuddin Arif, Tekstualisasi al-Qur’an: Antara Kenyataan dan Kesalahpahaman, Tsaqafah:
Jurnal Peradaban Islam Universitas Darussalam Gontor, 2016, vol. 12, no. 2, hal. 8

19 Oktober 2021
pelaksana kompilasi tersebut. Khalifah Abu Bakar telah menetapkan syarat yang
cukup ketat: “Duduklah kalian berdua (Zayd dan ‘Umar) di pintu masjid. Siapa
saja yang datang kepada kalian membawa sesuatu dari al-Qur’an dengan disertai
dua saksi, maka catatlah!” Demikianlah instruksi Khalifah Abu Bakar.1

Berdasarkan instruksi tersebut, prosedur yang ditempuh oleh Zayd bin


Tsabit terdiri dari beberapa langkah. Pertama, melacak dan menghimpun ayat-ayat
dalam surat-surat al-Qur’an dari berbagai sumber lisan maupun tulisan sebagai
bahan bukti. Kedua, membandingkan dan menentukan nilai kebenaran dan
keaslian data-data tersebut. Ketiga, melibatkan sebanyak mungkin para penghafal,
pencatat dan ahli al-Qur’an dari kalangan sahabat.2

Lalu kemudian dibentuklah sebuah tim yang beranggotakan 12 orang


pakar al-Qur’an dari kalangan sahabat. Apa yang dikerjakan oleh tim ini tidak
hanya sebatas koleksi, kolasi dan kompilasi saja, tetapi juga kodifikasi dan
membuat stardarisasi bacaan daltulisan al-Qur’an. ping) dan membuat
standardisasi bacaan dan tulisan al-Qur’an. Dalam instruksinya, Khalifah Utsman
berkata kepada tim kodifikasi dan standardisasi itu: “Jika terdapat perbedaan di
antara kalian mengenai suatu bacaan, maka tulislah menurut dialek Quraisy,
karena al-Qur’an diturunkan dengan dialek Quraisy.” Jadi, meskipun pada
prinsipnya al-Qur’an mencakup dan boleh dibaca dengan salah satu dari tujuh
“huruf”, namun bacaan yang dijadikan standard adalah bacaan menurut dialek
suku Arab Quraisy.3

Setelah itu, tim tersebut menyerahkan dan membacakan mushaf standar itu
di hadapan sejumlah Sahabat Nabi SAW, termasuk Khalifah Utsman. 39 Laporan
umum dan terbuka ini sangat penting, untuk menjamin kesahihan dan ke-
mutawâtir-an al-Qur’an. Setelah semua ahli al-Qur’an dari kalangan Sahabat itu
setuju dan sepakat, maka ditulislah beberapa naskah acuan untuk dikirim ke kota-
kota Kufah, Basrah, Damaskus, Mekkah, Mesir, Yaman, Bahrain, dan al-Jazirah.
1
Al-Suyuthi, al-Itqân, Jil. 1, hal. 182

2
Syamsuddin Arif, Tekstualisasi al-Qur’an: Antara Kenyataan dan Kesalahpahaman, Tsaqafah:
Jurnal Peradaban Islam Universitas Darussalam Gontor, 2016, vol. 12, no. 2, hal. 10

3
Ibid, hal. 12

19 Oktober 2021
Kemudian sebuah naskah disimpan oleh Khalifah Utsman di Madinah.40 Perlu
diketahui bahwa setiap mushaf acuan telah mewakili dan menampung berbagai
qiraah al-Qur’an yang sahih dan mutawâtir dari Nabi SAW. Mushaf-mushaf
acuan itu dikirim ke wilayah-wilayah di mana terdapat Sahabat yang dapat
dijadikan rujukan dan ahli al-Qur’an.41 Untuk memastikan agar tujuan proyek
kodifikasi dan standarisasi itu betul-betul tercapai, maka Khalifah Utsman
mengeluarkan instruksi resmi sebagai berikut. Pertama, semua catatan-catatan,
naskahnaskah pribadi, mushaf-mushaf lain yang masih ada pada saat itu, yang
memuat sebagian atau seluruh al-Qur’an, lengkap ataupun tidak lengkap, yang
masih dimiliki atau disimpan oleh siapapun, jika berbeda dengan mushaf acuan
yang telah disepakati oleh tim ahli, harus dihapus ataupun dibakar dan
dimusnahkan. Kedua, semua bacaan al-Qur’an harus sesuai dengan dan menurut
mushaf acuan masing-masing. Untuk itu, selain mengirimkan mushaf, Khalifah
Utsman juga mengirim seorang juru baca (qâri’) yang ditugaskan khusus untuk
mengajarkan al-Qur’an berdasarkan riwayat sahih yang tertuang dalam mushaf
acuan masing-masing. Mereka itu adalah Abu ‘Abdirrahman al-Sulami ke Kufah,
‘Amir bin ‘Abdi Qays ke Basrah, al-Mughirah bin Abi Syihab ke Damaskus,
‘Abdullah bin alSa’ib ke Mekkah, dan Zayd bin Tsabit di Madinah. Ketiga,
masyarakat Muslim dihimbau supaya membuat salinan untuk pribadi masing-
masing berdasarkan salah satu dari mushaf-mushaf acuan tersebut.

E. Kesimpulan

Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad merupakan dasar dari


hukum dan syari’at umat islam seluruh dunia. Dengan keadaan budaya arab pada
masa itu yang mayoritas masyarakatnya belum bisa baca-tulis, maka
diperintahkanlah untuk mengajarkan baca-tulis agar semakin banyak orang yang
menghafal al-Qur’an dan semakin banyak para ahli Qur’an nantinya. Sementara
mereka yang sudah ahli di bidang al-Qur’an dan juga para sahabat, mereka
mengumpulkan seluruh ayat-ayat al-Qur’an dan menyusunnya sebagai sebuah
kitab utuh agar nantinya mudah untuk dipelajari dan al-Qur’an tidak memiliki
versi-versi yang berbeda dari segi isi dan urutannya.

19 Oktober 2021
Daftar Pustaka

Abdul Jalil, Studi Historis Komparatif Tentang Metode Tahfiz al-Qur’an, PP. al-
Munawwir Krapyak Yogyakarta, 2017, vol. 18, no. 1

Farid Wajdi, Tahfiz al-Qur’an dalam Kajian ‘Ulum al-Qur’an (Studi atas
Berbagai Metode Tahfiz), 2008, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Ilhamni, Pembukuan al-Qur’an pada Masa Usman bin Affann, Jurnal Ulunnuha
UIN Imam Bonjol Padang, 2017, vol. 6, no. 2, hal. 130-142

Kalimatul ‘Ulya dan Saidah, Rijalul Qur’an: Membincang Sejarah Para Penulis
Wahyu, QOF STAIN Kediri, 2017, vol. 1, no. 1

Muslimin, Pembukuan dan Pemeliharaan al-Qur’an, Jurnal IAI Tribakti Kediri,


2014, vol. 25, no, 2

Syamsuddin Arif, Tekstualisasi al-Qur’an: Antara Kenyataan dan


Kesalahpahaman, Tsaqafah: Jurnal Peradaban Islam Universitas Darussalam
Gontor, 2016, vol. 12, no. 2

19 Oktober 2021

Anda mungkin juga menyukai