Anda di halaman 1dari 17

KISAH-KISAH DALAM AL-QURAN

Pendahuluan
Al-Qur’an, melalui kisah-kisah para nabi dan para wali,
mengetengahkan kepada kita sejumlah kisah yang memainkan peran
penting di dalam sejarah. Sebagai kitab petunjuk, Al-Qur’an tidak
hanya berisi tentang ajaran yang berkaitan dengan akidah, halal-
haram dan lainya, melainkan juga berisi Kisah. Sebuah pemahaman
yang harus dipegang oleh orang yang meragukan kebenaran kisah
dalam Al-Qur’an adalah pemahaman tentangnya: bahwa kisah nyata
itu adalah satu hal. Sedangkan perinciannya adalah hal lain. Jadi,
peristiwannya telah terjadi di masa lampau dan dunia ini menjadi
saksi dan bukti akan lahirnya peristiwa tersebut. Itulah sebabnya, kita
dituntut untuk menyampaikan perincian-perincian kisah tersebut.
Caranya, dengan melakukan sebuah penelitian dari sumber-sumber
yang diyakini, yang benar dan lurus, yaitu Al-Qur’an dan Hadits-
hadits yang shahih serta Ilmu-ilmu bantu lainya dalam
memahamisejarah atau kisah.1
Kisah juga memiliki fungsi edukatif yang sangat berharga dalam
suatu proses penanaman nilai-nilai ajaran Islam. Oleh karena itu,
Islam menjadikan kisah sebagai salah satu metode dalam
pembelajaran.2
Kisah-kisah dalam Al-Qur’an memiliki keunikan atau
keistimewaan dalam dua hal pokok. Pertama, memperhatikan aspek
kebenaran dan faktualitas bukan imajinasi. Kedua memperhatikan
sasaran dan tujuan dari pemaparan kisah tersebut.`Al-Qur’an tidak
menarasikan kisah dalam konteks sebagai karya sastra, tidak pula
untuk menjelaskan cerita orang-orang terdahulu, atau sebagai hiasan
dan ornamen yang dilakukan oleh para sejarawan. Akan tetapi tujuan
1
Shalah A. Fattah, Kisah-kisah Al-Qur’an; Pelajaran dari Orang-
orang Terdahulu Jilid 2, Terj. Setiawan Budi Utomo, (Jakarta gema Insani
Press, 2000), h. 112.
2
AbudinNata, Filsafat Pendidikan Islam(Jakarta: Logos, 1997), h. 97.
dari kisah-kisah dalam Al-Qur’an adalah keikutsertaan dengan gaya
atau metode lain yang dimanfaatkan Al-Qur’an untuk mewujudkan
target dan tujuan religius dan edukatif, yang mana kisah Qur’ani ini
termasuk di antara gaya atau metode penyampaian terpentingnya
sehingga kisah memiliki pengaruh langsung dalam jiwa manusia.3
Dalam hal ini, al-Jabiri berpendapat bahwa a Al-Qur’an
bukanlah “ buku kisah” dalam pengertian sebagai karya sastra,
sebagaimana bukan “ buku sejarah” dalam pengertian ilmiah-
kontemporer terhadap sejarah. Al-Qur’an adalah kitab dakwah
keagamaan. Baginya, materi kisah dalam Al-Qur’an bukanlah kreasi
fiksi, melainkan sebuah kisah yang mempresentasikan kejadian-
kejadian yang bersifat historis. Tujuan dari narasi kisah dalam Al-
Qur’an menurut al-Jabir adalah menyuguhkan metafora, yang dibalik
itu tujuan fundamentalnya adalah menyampaikan pesan,
pembelajaran (Ibrah) dan didikan.4
Berdasarkan kisah-kisah yang telah terekam dalam Al-Qur’an,
dirasa lebih membuat senang reader karena penyampaian pesan di
sini dibungkus dalam bentuk kisah sehingga juga lebih memudahkan
untuk memahami dan menangkap apa yang diinginkan oleh Al-
Qur’an. Disamping itu, penyampaian melalui kisah dirasa memiliki
pengaruh langsung dalam jiwa sehingga sangat efisien untuk
dijadikan sebagai sarana pendidikan dan pengajaran tanpa adanya
indoktrinisasi. Kebanyakan penyajian dalam bentuk kisah itu
menampilkan aktor-aktor yang menjadi sorotan yang pada akhirnya
menjadi charismatic figure, sehingga bisa dikatan bahwa dalam Al-
Qur’an, tokoh menempati posisi strategis sebagai pembawa pesan,
amanat, moral, atau hal lain yang sengaja ingin disampaikan Allah
kepada Nabi Muhammad sebagai penerima wahyu dan bagi umat
muslim umumnya. Kisah-kisah dalamAl-Qur’an menjadi bagian tak
terpisahkan dari isi Al-Qur’an yang menjadi referensi utama bagi
3
3Muhammad Hadi Ma’riꜚfat, Kisah-kisah Al-Qur’an: Antara Fakt a Dan Metafora, Terj. Azam Bahtiar hal. 28-
33
4
Ibid., h. 14
umat manusia. Kisah-kisah Al-Qur’an bermanfaat dalam rangka
pembentukan karakter manusia yang berbudi luhur dan memiliki
aqidah dan tauhid.5

Pengertian Kisah (Qasas) Dalam Al-Qur’an


Kisah adalah salah satu cara Al-Qur’an mengantarkan manusia
menuju arah yang dikehendaki-Nya. Kata Kisah terambil dari bahasa
Arab Qisah ( ‫)قصة‬. Kata ini seakar dengan kata Qasa ( ‫) قص‬yang
berarti menelusuri jejak. Sementara ulama mendefinisikan Kisah
sebagai menelusuri peristiwa/ kejadian dengan jalan menyampaikan/
menceritakannya tahap demi tahap sesuai dengan kronologi
kejadiannya. Dapat ditambahkan bahwa penyampain itu dapat
terjadi dengan menguraikannya dari awal hingga akhir, bisa juga
dalam bentuk bagian/episode-episode tertentu.6
Ditemukan dari penggunaan kata qisah dalam Al-Qur’an,
bahwa objek yang dikisahkan dapat berkaitan dengan:
1. Sesuatu yang benar-benar telah terjadi di alam nyata, seperti
peristiwa Nabi Musa kepada Nabi Syuaib (QS. Al-Qashash:25,
Ghafir:78, An-Nisa:164).
2. Sesuatu yang terjadi di alam nyata (empiris), tetapi dalam
benak melalui mimpi, seperti pesan Nabi Yaqub kepada putra
beliau, Nabi Yusuf
3. Sesuatu yang bukan peristiwa, tetapi ajaran dan tuntunan (QS.
Al-An’am :57)7
Al-Qur'an telah menamakan berita-berita umat terdahulu
yang disampaikan kepada kita dengan sebutan kisah. Firman
Allah, "Demikianlah Kami kisahkan kepadamu sebagian kisah
5
Syeikh Muhammad al-Ghazali, Tafsir Tematik Dalam Al-Qur’an,Jakarta, 2005. h. 279
6
M. Quraish shihab, Kaidah Tafsir, (Tanggerang:lentera Hati, 2013). h. 319
7
Ibid., h. 320
umat yang telah lalu." (QS. Thaha: 99) "Itu adalah sebagian dari
berita-berita negeri (yang telah dibinasakan) yang kami
ceritakan kepadamu (Muhammad), di antara negeri-negeri itu
ada yang masih kedapatan bekas-bekasnya dan ada (pula) yang
telah musnah." (QS. Huud: 100) "Dan semua kisah dari Rasul-
Rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang
dengannya Kami teguhkan hatimu." (QS. Huud: 120) "Kami
menceritakan kepadamu kisah yang paling baik." (QS. Yusuf: 3)
Dan Allah menamakan pemberitahuan Musa tentang peristiwa-
peristiwa dirinya kepada bapak dua orang wanita yang telah
dibantunya memberi minum ternak dengan sebutan kisah,
"Maka tatkala Musa mendatangi bapaknya dan menceritakan
kepadanya cerita darinya." (QS. Al-Qashash: 25)
Asal kisah menurut orang Arab adalah penelusuran jejak.
Orang yang ahli dalam urusan jejak berjalan di belakang orang
yang hendak diungkap beritanya, maka dia menelusuri jejaknya
sampai dia berhenti di tempat dia tinggal. Dan mengutarakan
berita-berita disebut kisah karena pembawanya menelusuri
peristiwa-peristiwa kisah seperti apa yang terjadi. Dia menelaah
lafazhlafazh dan makna-maknanya. Oleh karena itu, seseorang
bukanlah pembawa kisah yang sebenarnya kecuali jika dia
membawa peristiwa-peristiwa yang diceritakannya sesuai
dengan kejadian sebenarnya. Al-Qur'an menamakan
penelusuran jejak dengan qashash (kisahkisah) dalam firman-
Nya, "Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula."
(QS. Al-Kahfi: 64). Yang dibicarakan dalam ayat ini adalah Musa
dan temannya, ketika keduanya mengetahui bahwa tempat
yang ditentukan oleh Allah bagi keduanya untuk menemui
seorang hamba yang shalih telah terlewati, maka keduanya
kembali menelusuri jejak mereka sendiri agar bisa kembali
dengan jalan sama yang telah mereka lalui agar bisa sampai
kepada hamba shalih tersebut. Termasuk dalam hal ini adalah
firman Allah Taala, "Dan berkatalah ibu Musa kepada saudara
perempuan Musa, 'Ikutilah dia'." (QS. Al-Qashash: 7). Si
pemberi perintah di sini adalah ibu Musa, kepada saudara
perempuan Musa agar menelusuri jejak saudaranya, Musa. Dia
ditaruh di peti lalu dihanyutkan di sungai. Demikian juga
mengeksekusi pembunuh, yang disebut dengan qishash. Karena
keluarga korban mengikuti perbuatan pembunuh, maka
mereka memperlakukan pelaku seperti dia memperlakukan
korban.8
Al-Qur’an bertujuan dengan memaparkan kisah-kisahnya agar
manusia dapat mengambil pelajaran dari pengalaman dankesudahan
tokoh/masyarakat yang dikisa hkannya, kalau baik agarditeladani dan
kalau buruk agar dihindari. Kisah-kisah dalam Al-Qur’an ada yang
mengibaratkannya dengan kayu gaharu, dalam arti kayu tersebut
secara berdiri sendiri tidak ubahnya dengan kayu-kayu yang lain,
tetapi begitu ia dibakar, ia mempersembahkan aroma yang sangat
harum yang tidak dipersembahkan oleh jenis-jenis kayu yang lain.
Dari kisah-kisah Al-Qur’an dapat ditarik kesimpulan antara lain:
Pertama, kalau kisah itu berkaitan dengan tokoh tertentu/sosok
manusia, Al-Qur’an menampilkan sisinya yang perlu diteladani, dan
kalau menampilkan kelemahannya, maka yang ditonjolkan pada
akhir kisah/episode adalah kesadaran yang bersangkutan atau
dampak buruk yang dialaminya. Misalnya,kisah Zulkarnain dalam
surah al-Kahfi [18]: 83 dst. Dan
Perhatikanlah bagaimana Zulkarnain berjuang mengikuti hukum-
hukum sebab dan akibat [ayat 84-85] dan bagaimana ia membantu
masyarakat lemah dan menolak imbalan yang mereka tawarkan
[ayat 93-95] bahkan memberi yang lebih baik daripada yang
diusulkan oleh masyarakat sambil memohon partisipasi mereka [93-
98].9

8
Makna kata ‘Qashash’ secara bahasa bisa dilihat di Al-Mufradat Fi Gharibil Qur'an, hlm. 404. An-Nihayah Ibnul
Atsir, 4/70, Lisanul Arab, 3/106, AlKulliyat, hlm. 734.
9
Ibid., h. 321
Kedua, kalau yang dikisahkan keadaan masyarakat, maka yang
ditonjolkan adalah sebab jatuh bangunnya masyarakat sehingga
pada akhirnya dapat disimpulkan apa yang dinamai oleh Al-Qur’an
Sunnatullah, yakni hukum-hukum kemasyarakatan yang berlaku bagi
seluruh masyarakat manusia kapan dan di manapun. Memang, ada
hukum-hukum yang berlaku untuk bangkit dan runtuhnya
masyarakat, hukum-hukum yang tak ubahnya dengan hukum-hukum
alam. Al-Qur’an adalah kitab pertama yang memperkenalkan hukum-
hukum tersebut. Menurut Muhammad Ahmad Khalafullah kisah
adalah karya sastra yang merupakan hasil imajinasi pembuat kisah,
bagi peristiwa yang telah terjadi dari tokoh yang tidak ada, atau
peristiwanya ada tapi tokohnya imajinatif, atau tokohnya ada tapi
peristiwanya imajinatif, atau peristiwanya ada, tokohnya ada, tapi
dalam tuturan kisah didasarkan pada seni sastra, atau memasukkan
hal realistis dalam hal yang imajinatif. Kemudia ia membagi kisah
dalam Al-Qur’an dalam tiga kriteria, yaitu : tarikhiyyah (sejarah,
tokohnya memang benar ada), tamsiliyyah (perumpamaan), usturah
(legenda, tidak nyata).10
Pendapat Ahmad Khalafullah tersebut menimbulkan banyak
kritikan karena dinilai sangat kontroversial oleh kalangan para ulama’
bahkan mungkin sampai sekarang. Namun sebagai pegangngan kita
agar menambah keyakinan yaitu kembali kepada QS. Yusuf ayat 111
bahwa kisah dalam Al-Qur‟an bukanlah kisah yang dibuat-buat. Ini
menunjukkan bahwa kisah yang ada adalah benar adanya. Qasas
berarti berita yang berurutan. Sedang al-qissah berarti urusan,
berita, perkara dan keadaan. Qasas Al-Quran adalah pemberitaan
Quran tentang hal ihwal umat yang telah lalu, nubuwat (kanabian)
yang terdahulu dan peristiwa-peristiwa yang telah terjadi. Quran
banyak mengandung keterangan tentang kejadian pada masa lalu,
sejarah bangsa-bangsa, keadaan negeri-negeri dang peninggalan

10
Muhammad Ahmad Khalafullah, The Narrative Art in the Holy ur’ n ( l-Fann al-Qashashiy Fi al- ur’ n) hlm.
152. (file pdf diunduh dari www. Muhammadanasm.org)
atau jejak setiap umat. Ia menceritakan semua keadaan mereka
dengan cara yang menarik dan mempesona.11
Bertolak dari definisi diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa Al-
Quran ialah khabar-khabar, berita, atau kisah Al-Qur’an tentang
keadaan-keadaan atau peristiwa yang terjadi di masa lampau, yang
memuat sejarah bangsa-bangsa.12

Macam-Macam Kisah Dalam Al-Qur’an


Dimensi yang digambarkan Al-Qur’an ketika mengisahkan suatu
kejadian tidak monoton. Al-Qur’an sungguh menarik, unik, dan
mengagumkan. Betapa tidak. Makna yang dikandung Al-Qur’an tidak
hannya menyentuh dimensi dahulu, kala Al-Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhammad Saw., melainkan juga menyentuh dimensi
masa kini dan yang akan datang. Ditinjau dari segi waktu, kisah-kisah
dalam Al-Qur’an ada tiga, yaitu:
1. Kisah yang terjadi di masa lalu.
Kisah tentang dialog Malaikat dengan tuhannya mengenai
penciptaan khalifah bumi, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Qur’an
Surah al-Baqarah: 30-34, merupakan salah satu contohnya. Kisah
Ashab al-kahfi, kisah Nabi Musa dan Nabi Khidir, serta kisah
Zulkarnain dan Yajuj Majuj, yang tersurah dalam Surah al-Kahfi
merupakan contohnya. Selain contoh tersebut, Al-Qur’an masih
mempunyai kisah yang banyak dan penuh dengan hikmah di
dalamnya.
2. Kisah yang terjadi di masa kini.
Tentu sangat disayangkan sekali jika kitab suci yang dijadikan
pedoman seluruh umat manusia hanya berbicara masa lampau.

11
5 anna‟ a -Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’ n, terj. MudAS. (Bogor: Litera Antar Nusa, 2010), h. 436
12
Tengku Muhammad Hasb as-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al- Quran (Membahas Pokok-pokok dalam Menafsirkan al-
Quran, (Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2009), h. 179
Itulah sebab, sebagai kitab yang selalu relevan dengan
perkembangan zaman, Al-Qur’an mengisahkan suatu kejadian pada
di mensi saat ini. Kisah tentang turunnya malaikat-malaikat pada
malam Lailatul Qadar seperti diungkapkan dalam QS. Al-Qadar: 1-5
adalah salah satu bukti yang tidak bisa diganggu gugat lagi.
3. Kisah yang terjadi pada masa yang akan datang.
Dari sekian banyak kemukjizatan Al-Qur’an adalah mengisahkan
suatu kejadian yang akan terjadi pada masa akan datang seperti akan
datangnya hari kiamat, yang dijelaskan dalam QS. Al-Qariah, Al-
Zalzalah, dan lainya.13
Banyaknya kalangan terutama orang non islam terkagum-kagum
pada Al-Qur’an karena Al-Qur’an mampu memprediksikan sesuatu
yang belum terjadi. Salah satu contohnya adalah prediksi Al-Qur’an
yang menceritakan kemenangan bangsa Romawi atas persia seperti
diungkapkan Surah Ar-Rȗm: 1-5. Padahal kala itu, Romawi sudah
tidak ada harapan lagi untuk bangkit, bahkan mengalahkan persia
karena Bizantium telah mengalamikekalahan yang amat besar.
Terkait peristiwa itu, Al-Qur’an justru mengatakan bahwa Bangsa
Romawi akan mengalahksan Persia. Ahasil, isyarat Al-Qur‟an itu
benar- benar terjadi di tengah-tengah kondisi bangsa Romawi yang
mengalami kekalahan terlebih dahulu, sehingga fakta pun berbalik,
dan bangsa Romawi meraih kemenangan atas Persia.
Sementara itu, T.M Hasbi Ash-Shiddieqy membagikisah (qashas)
Al-Qur’an dalam tiga macam:
Pertama; kisah Nabi-nabi. Macam yang pertama ini mengisahkan
da’wah para Rasul, mu’jizat-mu’jizat mereka dan sikap serta akibat
dari umat yang menerima da’wah maupun yang menolaknya.
Kedua; kisah dari selain Nabi atau yang tidak dapat dipastikan
kenabiannya seperti kisah Thalut (si jangkung), Jalut, dua anak Adam,

13
Ahmad Syadali dan Ahmad Rofi’I, Ulumul Quran II, (Bandung: pustaka Setia), h. 27-28
Ashabul a u arna n, Qarun, Ashabus Sabti, Ashabul Uhdud, Ashabul
Fil, Maryam, Haman dan lain-lain.
Ketiga; kisah tentang peristiwa di zaman Rasulullah Saw. Seperti
perang Badar Uhud, Hunain, Bai’atur Ridwan dan lain sebagainya. 14

Faedah-Faedah Kisah Dalam Al-Qur’an


Kisah merupakan sebuah warna adab (sastra). Manusia
memberinya perhatian tidak seperti kepada bidang yang lainnya.
Kisah disukai oleh jiwa manusia, memiliki nilai pengaruh yang tinggi.
Jiwa menggemarinya, hati menyukainya, serta telinga membuka
pintunya lebarlebar. Karena posisinya yang penting, maka pada masa
kini model-modelnya semakin beragam. Ada yang disebut riwayat,
yaitu kisah yang panjang (bersambung), pemerannya banyak, dan
terdapat jaringan peristiwaperistiwa dan kejadian-kejadian. Ada
kisah pendek yang sering disebut cerpen. Ada pula kisah fiksi, kisah
nyata, kisah perlambang. Termasuk kisah fiksi adalah kisahkisah
tentang hewan (fabel) di mana penulis menjadikan pahlawannya
adalah hewan-hewan yang bisa berbicara, berpikir, mengatur dan
melontarkan kata-kata mutiara. Dewasa ini banyak sekali penulisan
kisah. Sebagian besar dirubah menjadi sandiwara-sandiwara dan
film-film, yang memerankan peristiwa seperti kejadiannya atau
seperti yang dibayangkan oleh pemiliknya. Ditampilkan di gedung-
gedung bioskop dan layar TV. Dan kisah-kisah yang ditampilkan ini
membawa akidah, pemikiran, akhlak dan nilai-nilai para penulisnya.
Banyak negara mulai menyebarkan pengetahuan dan nilai-nilainya
melalui kisah-kisah yang difilmkan, melalui buku-buku dan majalah-
majalah, untuk mengikat hati dan akal orang-orang agar menjadi
pengikutnya yang mengalir di orbitnya.
14
T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Ilmu-ilmu Al- quran : Medi -media Pokok dalam Menafsirkan Al- quran, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1972), h. 176.
Menurut Manna Khalil Qathan, sebagaimana dikutip Muhammad
Chirzin, dari keseluruhan Kisah-kisah dalam Al-Qur’an, secara
terperinci memiliki beberapa tujuan, yaitu :

a. Membuktikan kewahyuan al-Quran dan kebenaran misi Nabi


SAW; semua yang diembannya adalah wahyu yang turun dari Allah
demi membimbing umat manusia ke jalan yang lurus. Dengan
memperhatikan kecermatan dan kejujuran al-Quran dalam menukil
kisah-kisah itu, kewahyuannya akan dapat dibuktikan. Al-Quran
sendiri telah mengisyaratkan hal ini ketika ia menukil kisah-kisah
para nabi, baik di permulaan maupun di akhir kisah.

Ia berfirman,

َ‫ص بِ َما َأوْ َح ْينَا ِإلَ ْيكَ هَ َذا ْالقُرْ آنَ َو ِإ ْن ُك ْنتَ ِم ْن قَ ْبلِ ِه لَ ِمن‬ َ َ‫نَحْ ُن نَقُصُّ َعلَ ْيكَ َأحْ َسنَ ْالق‬
ِ ‫ص‬
َ‫ْالغَافِلِ ْين‬

“Kami akan menceritakan kepadamu cerita terbaik dengan apa


yang telah Kami wahyukan al-Quran ini kepadamu meskipun
sebelumnya engkau termasuk di antara orang-orang yang lupa
(baca : tidak mengenal kisah itu)”. (Q.S. Yusuf [12] : 3)

Setelah menukil kisah Nabi Hud as, Ia berfirman,

َ ‫ك َما ُك ْنتَ تَ ْعلَ ُمهَا َأ ْنتَ َو الَ قَوْ ُم‬


‫ك ِم ْن قَ ْب ِل هَ َذا فَاصْ بِرْ ِإ َّن‬ ِ ‫ك ِم ْن َأ ْنبَا ِء ْال َغ ْي‬
َ ‫ب نُوْ ِح ْيهَا ِإلَ ْي‬ َ ‫تِ ْل‬
َ‫ْال َعاقِبَةَ لِ ْل ُمتَّقِ ْين‬

“Itu semua termasuk dari berita-berita ghaib (yang) Kami


wahyukan kepadamu. Sebelum ini, engkau dan kaummu tidak
mengetahuinya. Maka, bersabarlah! Karena masa depan berada di
tangan orang-orang yang bertakwa”. (Q.S. Hûd [11] : 49)

b. Membuktikan kesatuan agama dan akidah seluruh nabi as.


Karena mereka semua datang dari Allah, pondasi dakwah mereka
adalah satu dan mereka mengajak umat manusia kepada satu tujuan.
Dengan mengingatkan kembali tujuan yang satu ini, di samping ingin
menegaskan kesatuan akar dakwah seluruh agama dan umat
manusia, al-Quran juga ingin menekankan bahwa pondasi dakwah
para nabi as tidak berbeda antara satu dengan lainnya.

Tujuan ini telah sering diisyaratkan dalam beberapa ayat al-


Quran. Realita ini dapat kita telaah dalam surah al-A’râf [7] : 59, 65,
73, dan 85.

Sebagai contoh, Allah berfirman,

ُ َ‫لَقَ ْد َأرْ َس ْلنَا نُوْ حًا ِإلَى قَوْ ِم ِه فَقَا َل يَا قَوْ ِم ا ْعبُ ُدوا هللاَ َما لَ ُك ْم ِم ْن ِإلَ ٍه َغ ْي ُرهُ ِإنِّ ْي َأخ‬
‫اف َعلَ ْي ُك ْم‬
‫َظي ٍْم‬
ِ ‫اب يَوْ ٍم ع‬ َ ‫َع َذ‬

“Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya. Lalu, ia berkata,


‘Wahai kaumku, sembahlah Allah, tiada Tuhan bagi kalian selain-Nya.
Sesungguhnya aku takut azab yang besar terhadap kalian”. (Q.S. Al-
A’râf [7] : 59)

Menyembah Allah adalah satu tujuan yang diproklamirkan oleh


seluruh nabi dan rasul as.

c. Menjelaskan kesatuan metode dan sarana para nabi as dalam


berdakwah, kesatuan sikap mereka dalam menghadapi masyarakat,
bagaimana sikap masyarakat dalam menanggapi ajakan mereka, dan
kesamaan adat-istiadat yang berlaku di dalam masyarakat ketika
mereka mulai berdakwah.

Realita ini dapat kita telaah bersama dalam surah Hûd [11] : 25,
27, 50, dan 61.

d. Menceritakan pertolongan-pertolongan Ilahi terhadap para


nabi as dan menekankan realita bahwa peperangan ideologi itu pasti
berakhir dengan kemenangan di pihak para penolong Allah. Dengan
demikian, para nabi as akan semakin tegar dalam menjalankan missi
mereka, dan para pengikut mereka akan lebih bersemangat untuk
mengemban missi tersebut.

Realita ini dapat kita renungkan bersama dalam surah al-‘Ankabût


[29] : 14-16, 28, 34, 37, 38, 39, dan 40.
e. Membenarkan kabar-kabar gembira dan peringatan-peringatan
Ilahi secara nyata dengan memberikan contoh-contoh nyata tentang
hal itu. Semua itu adalah suatu implementasi dari rahmat Ilahi bagi
orang-orang yang taat dan azab Ilahi bagi para pembangkang.

f. Menjelaskan rahmat dan nikmat Ilahi yang telah dicurahkan


atas para nabi as sebagai hasil kedekatan hubungan mereka dengan
Allah. Sebagai contoh, hal ini dapat kita temukan dalam kisah Nabi
Sulaiman, Daud, Ibrahim, Isa, Zakaria, dan lain-lain.

g. Mengemukakan permusuhan kuno setan terhadap umat


manusia di mana ia selalu menanti kesempatan untuk
menyesatkannya. Kisah Nabi Adam as adalah sebuah contoh riil
untuk hal ini.

h. Menetapkan adanya wahyu dan kerasulan. Kisah para nabi


terdahulu dilukiskan dengan indah dalam Al-Qur’an dalam Al-Qur’an
terutama ketika para nabi sedang berdakwah menyebarkan agama
allah Yang Maha Esa. Dalam Al-Qur’an hal ini diterangkan dengan
jelas dalam Surah Yusuf: 2-3, dan al-Qashahs: 3
i. Menunjukkan kehebatan Al-Qur’an.
j. Mengandung kisah-kisah besar terhadap kisah-kisah tersebut
agar pesan-pesannya lebih mantab dan melekat dalam jiwa.15Kisah
semacam ini bisa diamati dalam kisah Nabi Musa dan Fir’aun, yang
begitu sengit pertaruhan antara yang hak dan batil. Menurut as-
Suyuthi, kisah dalam Al-Qur’an sama sekali tidak dimasksudkan
untuk mengingkari sejarah, melainkan petikan dari sejarah yang
memiliki fungsi dan tujuan mulia, yakni sebagai pelajaran bagi
manusia dan bagaimana mestinya mereka menarik pelajaran bagi
manusia dan bagaimana mestinya mereka menarik pelajaran dari
sejarah tersebut.16
15
Muhammad Chirzin, Permata Al- Quran, terj. Abdul Syukur Abdurrazaq, (Jakarta: Cendekia Sentra Muslim,
2005), h. 38-39
16
Yayasan Penyelenggara Penterjemah/Penafsir al-Quran, Al-Quran dan Terjemehannya, (Jakarta: Departemen
Agama RI, 1971), h.345.
Masih menurut T.M Hasbi as-Shiddieqy, diantara faedah-faedah
itu adalah untuk mengabadikan usaha-usaha para Nabi-nabi dan
pernyataan bahwa Nabi-nabi dahulu adalah benar.17

Metode Kisah Dalam Al-Qur’an


Para pengkaji di dalam bidang kisah merangkum metode yang
menjadi ciri pembeda antara kisah dengan bidangbidang adab
lainnya. Sebagian pengkaji telah menuangkan ciri-ciri tersebut
sebagai berikut:
1. Ciri umum bagi metode periwayatan, yaitu mengalir dan berantai
di mana pembaca merasa digiring ke muara; dia menunggu dan
menanti akhirnya.
2. Kisah tersusun secara terangkai dan bersifat simpel, membuang
perincian-perincian yang tidak perlu.
3. Kisah mempunyai target sasaran utama yang bisa diraba secara
tidak langsung dari konteks pemaparan.
4. Ungkapan-ungkapannya mesti jelas dan mudah, karena pembaca
lebih fokus kepada alur peristiwa kisah.
5. Keragaman ungkapan antara lembut dan keras sesuai dengan
kondisi dan kepribadian.
6. Metode pemaparan beragam, antara dialog dan pemaparan.
7. Di antara metode kisah adalah metode berlebihlebihan yang
terkadang dipakai untuk menarik perhatian terhadap sisi-sisi penting,
begitu pulametode keterkejutan dan isyarat yang membuka ruang
bayangan.

17
Tengku Muhammad Hasbi as-Shiddieqy, Ilmu-ilmu al- quran (Membahas Pokok-pokok dalam Menafsirkan al-
Quran), (Semarang: Pustaka Rizqi Putra, 2009), h. 180.
8. Cinta terkadang masuk ke dalam kisah karena kekuatannya
sebagai faktor penunjang. Cinta merupakan perasaan humanis yang
universal.18

Faktor Pengulangan Kisah Dalam Al-Qur’an


Dewasa ini, banyak ilmuan (orientalis) yang berusaha
meragukan ontentitas Al-Qur‟an. Salah satu upaya yang dilakukan
para orientalis kaitanya dengan ini adalah mengatakan bahwa Al-
Qur’an itu membosankan karena banyak kandungan yang diulang-
ulang, termasuk ketika berbicara tentang sebuah kisah.
Adalah benar bahwa tuduhan yang mengalamatkan bahwa
kandungan Al-Qur‟an ada yang disebut berulang-ulang. Akan tetapi,
anggapan tersebut adalah karya Nabi Muhammad. Sebab, sebuah
kisah disebut berulang kali dalam bentuk berbeda-beda,kadang-
kadang pendek, kadang-kadang panjang, memiliki hikmah tertentu.
19
Diantaranya :
1. Menandaskan aspek Kebalaghahan al-Quran dalam bentuk
yang paling tinggi. Inilah keistimewaan Al-Qur’an yang sejak dahulu
kala diakui oleh masyarakat Arab pagan. Susunan gaya bahasa Al-
Qur’an tidak bisa disamai oleh apapun. Al-Qur’an bukan susunan
syair bukan pula seperti prosa. Hal ini telah dibuktikan oleh tokoh-
tokoh sastra dan ahli pidato, seperti Walid bin Mughirah, Utbah bin
Rabi’ah, dan sastrawan lain yang terkanal.20 Letak kebalaghahan-Nya
ditunjukkan, yakni dengan menerangkan sebuah makna dalam
berbagai macam susunan. Tak hanya itu, di tiap-tiap tempat tersebut
dengan susunan kalimat yang berbeda dari yang telah disebutkan.
Alhasil, seorang yang mendengar dan membacanya akan selalu
merasa nikmat karena nilai sastranya tinggi.

18
Mu'jamul Ulumil Lughah, Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqar, hlm. 320.
19
Ibid. h. 181.
20
Muhammad Ali ash-Shabuniy, Studi Ilmu Al- quran , terj.Aminuddin, (Bandung: Pustaka Setia, 1998), h. 138.
2. Memberikan perhatian penuh terhadap kisah itu, Al-Qur’an
memang tak pernah kering dan garing. Hal ini dibuktikan, ketika
mengulang-ulang kisah, Al-Qur’an ingin menunjukkan bahwa betapa
pentingnya kisah tersebut. Inilah, sekali lagi, merupakan salah satu
cara ta’kid dan salah satu tanda-tanda besarnya perhatian terhadap
kisah bersangkutan, misalnya, seperti keadaan kisah Ashab al-Kahfi.
3. Menampakkan kekuatan i’jaz. Para sastrawan kenamaan
Arab pernah menantang sekaligus mencoba menandingi Al-Qur’an
itu sendiri. Akan tetapi, usaha yang dilakukan oleh sastrawan itu sia-
sia. Contohnya adalah Musailamah al-Kadzab, yang berusaha
membuat Al-Qur’an tandingan. Dalam posisi seperti inilah, Al-Quran
melemahkan orang yang berusaha membuktikan bahwa Al-Qur’an
adalah karya Nabi Muhammad Saw belaka. Hemat kata, Al-Qur’an
ketika mengulang-ulang sebuah kisah itu menunjukkan kemukjizatan
Al-Qur’an dan secara bersamaan juga menjelaskan bahwa Al-Qur’an
itu benar-benar dari Allah.
4. Karena berbeda tujuan dan konteksnya, disebutlah kisah itu
lagi. Meskipun masih dalam satu-kesatuan rangkaian sebuah kisah,
terkadang Al-Qur‟an menerangkan kisah secara terpisah. Di suatu
tempat diterangkan sebagainya, karena itu saja yang diperlukan dan
di tempat-tempat yang lain disebut lebih sempurna, karena yang
demikianlah yang dikehendaki keadaannya.

5. Tujuan yang berbeda menuntut pengulangan kisah. Setiap


kisah yang disebutkan dalam sebuah surah al-Quran tentunya demi
menggapai sebuah tujuan tertentu. Karena terdapat tujuan lain yang
berbeda dengan tujuan tersebut, hal itu menuntut supaya kisah itu
diulangi lagi di surah lain demi menggapai tujuan yang lain pula. Oleh
karena itu, jika satu tujuan telah menjadi faktor untuk sebuah kisah
supaya disebutkan pada sebuah surah, faktor lain yang berbeda
dapat menjadi faktor tersendiri untuk kisah itu supaya disebutkan
lagi di surah yang lain.
6. Karena dakwah Islam melalui periode yang berjenjang dan
berbeda-beda, dan al-Quran juga turun sesuai dengan tuntutan
setiap periode dakwah itu, secara logis kisah yang terdapat di
dalamnya sesuai dengan tujuan yang ingin digapai dalam setiap
periode dakwah itu akan mengalami pengulangan dalam beberapa
surah.

Perbedaan antara Kisah-kisah Al-Quran dan


Kisah-kisah Lain
Secara mendasar, kisah-kisah al-Quran sangat berbeda dengan
kisah-kisah lainnya dari berbagai segi dan sisi. Akan tetapi, dapat
dikatakan bahwa titik pembeda paling urgen antara kedua jenis kisah
itu adalah tujuan yang hendak digapainya. Pada hakikatnya, tujuan
itulah yang menjadi pembeda utama antara kedua jenis kisah itu.

Setiap orang yang ingin menceritakan atau menulis sebuah cerita,


ia pasti memiliki sebuah tujuan yang ingin dicapainya. Sebagian
orang sangat meminati seni cerita karena unsur seninya belaka.
Dengan kata lain, ia menekuni bidang seni ini supaya bakat seninya
bertambah maju dan berkembang pesat. Sebagian yang lain
menekuni bidang seni ini dengan tujuan hanya ingin mengisi
kekosongan waktunya. Dan kelompok ketiga menelusuri kehidupan
seni hanya ingin mengetahui dan menukil biografi dan sejarah
generasi yang telah lalu.

Ringkasnya, setiap orang menekuni seni cerita ini atas dasar


faktor dan dorongan tertentu, serta ingin menggapai tujuan yang
diinginkannya. Hal itu dikarenakan seni cerita memiliki daya tarik
khusus yang tidak dimiliki oleh seni-seni lainnya.

Al-Quran pun tidak luput dari kaidah di atas. Ia pun memiliki


tujuan tertentu dalam kisah-kisah yang dipaparkannya. Yang pasti,
tujuannya di balik pemaparan kisah-kisah itu tidak terlepas dari
tujuan universalnya. Yaitu, hidayah dan memberikan petunjuk
kepada umat manusia, mendidik mereka secara benar dalam setiap
sisi kehidupan, mengadakan reformasi sosial secara mendasar, dan
akhirnya menciptakan individu dan masyarakat yang saleh,
berkepribadian Ilahi, dan beriman.

Anda mungkin juga menyukai