Anda di halaman 1dari 151

Sri Wintala Achmad

BABAD DIPONEGORO

1
BABAD DIPONEGORO
Sri Wintala Achmad

Editor
Ummi Azzura Wijana

2
PENGANTAR EDITOR

DIPONEGORO merupakan putra Sri Sultan Hamengkubuwana III, raja


Kesultanan Yogyakarta, yang namanya dicatat dalam sejarah sebagai pahlawan
nasional karena menentang politik busuk kolonial Belanda.
Munculnya perlawanan Diponegoro terhadap kolonial Belanda berawal
dari penobatan Sri Sultan Hamengkubuwana IV yang masih berusia tiga tahun itu
sebagai raja di Kesultanan Yogyakarta. Puncak perlawanan Diponegoro ditandai
dengan perang gerilya melawan Belanda yang tengah membuat jalan melintasi
tanah pemakaman leluhurnya.
Demikian tema utama dalam Babad Diponegoro karya Pangeran
Diponegoro yang digubah di Menado pada tahun 1832-1833. Dikatakan tema
utama, karena selain mengisahkan perang gerilya Diponegoro, Babad Diponegoro
yang mendapat pengakuan dunia melalui UNESCO pada tahun 2013 tersebut
menceritakan riwayat kehidupan para leluhurnya sejak Prabu Brawijaya, Bondan
Surati, Getas Pandhawa, Ki Ageng Sela, Ki Ageng Enis, Ki Ageng Mataram,
Panembahan Senapati, Sunan Prabu Hanyakrawati, Sultan Agung, Sunan
Amangkurat I, Sunan Pakubuwana I, Sunan Amangkurat IV, Sri Sultan
Hamengkubuwana I, Sri Sultan Hamengkubuwana II, hingga Sri Sultan
Hamengkubuwana III ayahnya.
Hal menarik lain dalam Babad Diponegoro yakni selain dibumbui mitos,
pula menyinggung sufistik Jawa-Islam yang disampaikan melalui wejangan Ki
Ageng Tarub II pada Bondan Surati, wejangan Getas Pandhawa pada Selarasa (Ki
Ageng Sela), dan wejangan Ki Ageng Sela pada Pemanahan yang dikenal dengan
Pepali Ki Ageng Sela.
Dengan menguak sejarah, mitos, ajaran sufistik, serta sejarah perjuangan
Diponegoro; Babad Diponegoro sangat menarik untuk dibaca. Disimak kisahnya
sejak ambang sandyakala Majapahit hingga pembuangan Diponegoro ke Menado.
Dengan membaca buku ini, Anda akan menjadi orang pertama yang mengetahui
riwayat kehidupan Diponegoro lebih lengkap dan terpercaya.

Ummi Azzura Wijana

3
DAFTAR ISI
PENGANTAR EDITOR – 3
DAFTAR ISI – 4
KISAH SYARIF RAHMAT DAN SYARIF RAHMAN – 7
RADEN SAHID BEGAL - 8
KELAHIRAN KIDANG TLANGKAS – 9
KIDANG TLANGKAS SANG PENCURI – 11
MEMBONGKAR KUBURAN RADEN SAHID – 12
BONDAN SURATI DITITIPKAN PADA KI AGENG TARUB – 13
BONDAN SURATI WUYUNG – 15
BONDAN SURATI, PENURUN RAJA-RAJA MATARAM – 17
RADEN PATAH DAN RADEN KUSEN – 19
RADEN PATAH MENDIRIKAN KERAJAAN – 21
SUNAN NGUDUNG GUGUR – 23
WEJANGAN GETAS PANDAWA PADA SELARASA – 24
SUNAN KUDUS MEMBUNUH KI AGENG PENGGING – 26
KI AGENG SELA MENANGKAP PETIR – 27
PEPALI KI AGENG SELA - 28
JAKA TINGKIR MENGABDI KE DEMAK – 29
RENCANA PEMBUNUHAN PRAWATA DAN HADIWIJAYA – 30
RATU KALINYAMAT BERTAPA – 33
ARYA PENANGSANG GUGUR – 34
HADIWIJAYA AKAN INGKAR JANJI – 37
SUTAWIJAYA MERUSAK TAMANSARI – 38
SENAPATI MENIKAHI PUTRI KI AGENG GIRING – 40
SENAPATI MEMBANGUN KOTA MATARAM – 42
SENAPATI BERTEMU RATU KIDUL – 43
RADEN RANGGA MEMBUNUH DELAPAN PERJINEMAN PAJANG – 46
RADEN RANGGA BERTARUNG MELAWAN NAGA – 48
TUMENGGUNG MAYANG AKAN DIBUANG KE JEPARA - 49
PAJANG MENYERANG MATARAM – 50
PERANG PAJANG VERSUS JIPANG – 51
MATARAM MENYERANG MADIUN – 52
MINYAK JAYENGKATON DAN ANCARAM JURU TAMAN – 53
PANGERAN RANGSANG MENJADI RAJA MATARAM – 54
KUMPENI MEMBANGUN BENTENG PERTAHANAN DI BETAWI – 55
PANGERAN PURBAYA DATANG KE BETAWI – 56
TRUNAJAYA MAKAR – 57
PANGERAN PUGER MEREBUT MATARAM – 58
SUNAN AMANGKURAT MANGKAT – 59
PERANG TEGAL VERSUS KEDIRI – 60
PERANG MATARAM VERSUS KARTASURA – 61
MATARAM TUNDUK PADA KARTASURA – 62
PELARIAN UNTUNG SURAPATI – 63
PANGERAN PUGER BERLARI KE SEMARANG – 64

4
PANGERAN PUGER MENJADI RAJA DI SEMARANG – 65
SEMARANG MENYERANG KARTASURA – 66
GEGER PECINAN – 67
PANGERAN MANGKUBUMI MEREBUT TANAH SUKAWATI – 68
SEJARAH BERDIRINYA KESULTANAN YOGYAKARTA – 69
KELAHIRAN PANGERAN DIPONEGORO – 70
DIPONEGORO BERTEMU SUNAN KALI – 71
SYEKH ABDUL RAKHIM BERTEMU RATU KIDUL – 72
HAMENGKUBUWANA II DITURUNKAN PAKSA OLEH DAENDELS – 73
INGGRIS DATANG, DANUREJA DITANGKAP DAN DIBUNUH – 74
PERTEMUAN HEMANGKUBUWANA II DAN SRI NARENDRA – 75
PERTEMUAN DIPONEGORO DENGAN HAMENGKUBUWANA III – 76
HAMENGKUBUWA II KEMBALI MENJADI RAJA - 77
DIPONEGORO PERGI KE GUA SERANG – 78
HAMENGKUBUWAN II MENJEMPUT RAFFLES – 79
PERTEMUAN CRAWFURD DENGAN JAYASENTIKA – 80
PUTRA MAHKOTA BERSEDIA DIANGKAT SEBAGAI RAJA – 82
PERTEMUAN JAYASENTIKA, CRAWFURD, DAN TAN JIN SING – 83
DIPONEGORO TIDAK INGIN MENJADI RAJA – 84
RAFFLES DATANG DI YOGYAKARTA – 85
GEGER SEPEHI – 86
PUTRA MAHKOTA MENJADI RAJA DI YOGYAKARTA – 89
PERSUAAN DIPONEGORO DAN MADURETNA DI TAMANSARI - 90
DIPONEGORO KRAMA – 92
KEHIDUPAN AWAL RUMAH TANGGA DIPONEGORO – 93
HAMENGKUBUWANA III GERING – 95
BELANDA BERKUASA KEMBALI DI YOGYAKARTA – 97
PERTEMUAN DIPONEGORO DAN HAMENGKUBUWAN IV – 98
PEMBERONTAKAN SINDURATMAJA DAN PANGERAN DIPASANA – 100
HAMENGKBUWANA IV MANGKAT – 102
KEKECEWAAN PANGERAN DIPONEGORO – 103
GUNUNG MERAPI MELETUS DAN RATU ADIL – 104
SUARA TIGA KALI DALAM MIMPI RATU AGENG – 106
DIPONEGORO MENDAPAT GELAR SULTAN NGABDULKAMID – 107
PATOK-PATOK DI NEGERI TEGALREJA – 109
WIRYADIKRAMA MENCARI DUKUNGAN PASUKAN SELAREJA – 112
PERANG TEGALREJA – 113
DIPONEGORO MENGUNGSI KE SELARONG – 114
SELARONG DISERANG BELANDA DAN YOGYAKARTA – 115
SELARONG MENDAPAT BANTUAN SURAKARTA – 116
PERANG DIMAYA – 118
DIPONEGORO MENGUNGSI KE SUNGAI SOKA – 119
DIPONEGORO MENYERANG MANGIR – 121
DIPONEGORO DI JUMENENG – 123
PASUKAN BULKIYAH MENYERBU IMOGIRI – 124
PASUKAN JEKSA MENGALAMI KEKALAHAN – 126

5
DIPONEGORO DIDATANGI RATU KIDUL – 128
DIPONEGORO BERPERANG MELAWAN SAUDARA SENDIRI – 129
PASUKAN DIPONEGORO MENDAPAT KEJAYAAN – 130
PASUKAN DIPONEGORO MENYERANG DELANGGU – 131
PENDHEREK DIPONEGORO BERKEPALA BOTAK – 132
DIPONEGORO MENDAPAT BANTUAN PANGERAN WIJIL – 133
DIPONEGORO TERKENA PELURU DI DADANYA – 134
DE KOCK MENGIRIM SURAT PERDAMAIAN – 135
DE KOCK DAN DE BOSCH – 136
DIPONEGORO MENYATUKAN TIGA PUSAKA – 138
PERSELISIHAN DIPONEGORO DAN KIAI MAJA – 139
ABDUL KAMIL GUGUR DI MEDAN PERANG – 140
DIPONEGORO MENDAPAT SURAT DARI DE KOCK – 141
DIPONEGORO MENERIMA SURAT DARI BETAWI – 142
KEDUKAAN DEMI KEDUKAAN DIPONEGORO – 143
DIPONEGORO SAKIT DI LOBANG ANDHONG – 145
ABDUL RAKHIM MENINGGAL DI SIRNABAYA – 146
DIPONEGORO DIPERDAYAI BELANDA – 147
DAFTAR PUSTAKA – 148
TENTANG PENULIS – 149

6
KISAH SYARIF RAHMAT DAN SYARIF RAHMAN
BERAWAL dari kisah Prabu Brawijaya IV, raja Majapahit. Dikisahkan bahwa
sewaktu Prabu Brawijaya berkuasa, tanah Jawa mengalami kemakmuran. Tidak
ada musuh bernyali menyerang raja yang tersohor berkat kebijakan serta
keadilannya. Sementara, Prabu Brawijaya masih memeluk agama Buddha.
Istri Prabu Brawijaya sangat cantik rupawan. Ia bernama Ratu Darawati
yang berasal negeri Cempa. Dari benih Prabu Brawijaya, Darawati memiliki
seorang putra bernama Raden Jaran Penoleh. Oleh raja, putranya itu diwismakan
di Madura. Sementara, putranya yang lahir dari Larasati bernama Arya Dilah atau
Arya Damar. Ia ditempatkan di Palembang.
Jalinan kekerabatan Majapahit dan Cempa semakin erat, sewaktu adik
Prabu Brawijaya bernama Dyah Sujinah menikah dengan Syarif Ibrahim dari
Cempa. Perkawinannya dengan Dyah Sujinah, Syarif Ibrahim memiliki dua orang
putra yakni Syarif Rahmat dan Syarif Rahman.
Semula Syarif Ibrahim datang di Majapahit untuk melakukan syiar Islam.
Sekian lama kembali ke Cempa, ia memerintahkan kepada Syarif Rahmat dan
Syarif Rahman untuk datang ke Majapahit. Mereka diminta oleh ayahnya untuk
melanjutkan tugasnya sebagai dai Islam.
Sesudah diterima pengabdiannya oleh Prabu Brawijaya, Syarif Rahmat
dan Syarif Rahman mendapatkan anugerah nama. Syarif Rahmat mendapat
anugerah nama Sunan Makdum. Karena tinggal di Ampel, Sunan Makdum
dikenal dengan nama Sunan Ampel.
Sementara Syarif Ratman yang mendapat anugerah nama Sunan Iskak dari
Prabu Brawijaya itu tinggal di Giri. Kelak, Sunan Iskak dikenal dengan nama
Sunan Giri I. Selama tinggal di Majapahit, keduanya berhasil meng-Islam-kan
Ratu Darawati. Sementara, Prabu Brawijaya tetap memeluk agama Buddha.
Oleh Prabu Brawijaya, Sunan Ampel dinikahkan dengan putrinya. Dari
perkawinannya dengan putri Brawijaya, Sunan Ampel memiliki tiga orang putra
yakni Sunan Ngudung, Sunang Bonang, dan Sunan Gunungjati. Sunan Gunungjati
inilah yang diminta oleh Sunan Ampel untuk pergi ke Cempa. Tak ada tugas yang
akan diemban oleh Sunan Gunungjati selain memersiapkan pusaka negara.
Selain memiliki tiga putra, Sunan Ampel memungut putra Sunan Iskak
yang telah yatim piatu. Karena Sunan Iskak meninggal sewaktu istrinya tengah
mengandung. Istri Sunan Iskak pun meninggal sesudah melahirkan bayinya yang
diberi pusaka nama Raden Satmata. Kelak Raden Satmata yang dikenal dengan
Sunan Giri II itu dinikahkan dengan putri Sunan Ampel bernama Nyai Gung
Grisik. [ ]

7
RADEN SAHID BEGAL
PRABU Brawijaya mengangkat Arya Teja sebagai adipati di Tuban. Dari Arya
Teja, lahirlah Raden Sahid (kelak dikenal dengan Sunan Kalijaga) dan Dewi
Rasawulan. Berbeda dengan adiknya, Raden Sahid sangat dikenal sebagai anak
nakal dan bengal.
Agar tidak diketahui oleh setiap orang, Raden Sahid yang tinggal di dalam
hutan itu melakukan tapa ngidang. Tidak ada pekerjaan yang dilakukan oleh
Raden Sahid, selain menjadi begal. Ia mencelakai dan membunuh setiap orang
yang berani melewati hutan itu sesudah merampas harta bendanya.
Suatu waktu, Sunan Bonang yang dikawal dua pengiringnya melewati
hutan di mana Raden Sahid berada. Sunan Bonang dihadangnya. Ketika melihat
Raden Sahid, Sunan Bonang yang mengenakan baju dan sorban, serta membawa
sisir dan cundrik emas itu hanya tersenyum ramah.
Raden Sahid yang berdalih ingin menjadi santri Sunan Bonang meminta
baju, sorban, sisir, dan cundriknya. “Hei, orang tua. Aku bersedia menjadi
santrimu, asalkan kau memberikan cis, pakaian, dan serbanmu itu.”
“Kalau kau hanya menginginkan segala apa yang bersifat duniawi, jangan
meminta apa yang aku miliki. Di belakangmu itu, ada pohon aren berbuah kolang-
kaling berwujud butiran emas, merah delima, intan, dan zamrud,” ujar Sunan
Bonang dengan tenang. “Lihatlah! Ambillah semua bila kau mau!”
Raden Sahid membalikkan badannya. Ketika menatap pohon aren itu,
rontoklah seluruh buah kolang-kaling yang berupa butiran emas, merah delima,
intan, dan zamrud. Ia takjub dan tak mampu mengeluarkan sepatah kata dari
mulutnya. Dengan serta merta, ia bersimpuh di hadapan Sunan Bonang. Mencium
lututnya. Menyatakan dengan setulus hati untuk menjadi santrinya.
Sunan Bonang bersedia menjadi guru Raden Sahid. Tidak ada syarat
apapun untuk menjadi muridnya, selain Raden Sahid harus melaksanakan laku
batin. Dikubur hidup-hidup di bawah pohon beringin di hutan itu.
Karena tekatnya sudah bulat untuk menjadi murid Sunan Bonang, Raden
Sahid bersedia dikubur hidup-hidup. Sesudah mengubur Raden Sahid dengan
dibantu dua pengiringnya, Sunan Bonang melanjutkan perjalanan. Meninggalkan
kuburan Raden Sahid di hutan itu. [ ]

8
KELAHIRAN KIDANG TLANGKAS
SUDAH sekian lama Dyah Rarasasi (putri Sunan Ampel) bertapa telanjang di
tengah hutan. Selama bertapa, ia tak pernah membasuh sekujur tubuhnya. Sesudah
bertapa, ia turun ke sendang yang terletak di bawah pohon asam. Berendam.
Membersihkan tubuhnya yang dekil berlapiskan debu.
Menyaksikan Dyah Rarasasi mandi telanjang di sendang, Syarif Maulana
Maghribi meneteslah air kelakiannya, merasuk ke dalam guwa garba Dyah
Rarasasi. Hingga suatu saat, Dyah Rarasasi merasa seperti telah mati. Perutnya
semakin lama semakin mengembang. Dalam rasa ngungun, Dyah Rarasasi berkata
dalam hati, “Ada apa dengan diriku ini? Kenapa aku seperti ini? Apakah ada
seseorang yang bisa aku tanyai? Betapa aku tak tahu apa yang terjadi dengan
diriku ini.”
Ketika menengadahkan wajahnya ke langit, Dyah Rarasasi melihat
seorang lelaki tua berjenggot putih yang berdiri di atas pohon asam. Dyah
Rarasasi sangat malu ketika lelaki tua itu menyaksikan tubuhnya yang tak
terlindungi seutas benang. Dengan penuh rasa malu berbaur rasa marah, Dyah
Rarasasi bertanya dengan lantang, “Hei, kau itu orang apa? Kenapa kau
bertengger di pohon asam? Bukankah kau yang mencelakaiku hingga aku
mengandung? Tak terima aku. Tak ada lelaki lain yang mencelakaiku selain
dirimu. Turunlah kau dari pohon asam!”
Syarif Maulana Maghribi turun dari pohon. Mendekati Dyah Rarasasi dan
berkata, “Benar, Dyah Ayu. Bisa jadi kau mengandung karena benihku. Namun
aku tak melakukan saresmi dengan dirimu. Memang. Aku tak kuasa
mengendalikan berahiku saat melihatmu mandi tak terlindung seutas benang. Air
kelakianku menetes ke sendang.”
“Dasar orang tua tak tahu diri. Jenggotmu sudah memutih semua. Tak
terima aku atas perbuatan bejatmu itu. Aku meminta pertanggungjawabanmu.
Hilangkan janin dalam rahimku! Pulihkan diriku seperti sedia kala! Segera!”
“Sabar, Dyah Ayu!” Syarif Maulana Maghribi meredam amarah Dyah
Rarasasi. “Ketahulah! Kelakianku ini sudah tak mampu setegak dan seperkasa
lingga. Hingga aku tak bisa dikatakan lelaki atau perempuan. Bagaimana aku
sengaja membuatmu mengandung seperti sekarang ini?”
Mendengar penuturan Syarif Maulana Maghribi, Dyah Rarasari menyesal
atas kemarahannya. Ia duduk bersimpuh di hadapan lelaki tua itu. “Ampunilah
atas kemarahanku kepadamu!”
“Aku sudah memaafkanku sebelum kau meminta maaf, Dyah Ayu.” Syarif
Maulana Maghribi menjawab tenang penuh wibawa. “Sekarang bangkitlah!”
Dengan dibimbing Syarif Maulana Maghribi, Dyah Rarasasi berdiri pelan-
pelan. “Lantas bagaimana dengan bayi yang aku kandung ini? Betapa malu bila
banyak orang tahu, aku mengandung tanpa suami. Aku mohon dengan sangat
kepadamu! Pulihkan aku seperti sedia kala!”
“Aku tak bisa, Dyah Ayu. Itu sudah kehendak Allah,” tegas Syarif
Maulana Maghribi. “Namun bila Allah mengizinkan, aku bisa membantumu
untuk melahirkan bayi itu dari dalam guwa garba-mu.”
“Baiklah! Lakukan segera!”

9
“Balikkan badanmu! Pejamkan kedua matamu rapat-rapat!”
Dyah Rarasasi melaksanakan perintah Syarif Maulana Maghribi.
Usai melafalkan doa, Maulana Maghgribi mengusap punggung sampai ke
pinggang Dyah Rarasasi. Berkat kuasa Allah, sang pencipta seluruh makhluk di di
semesta raya, lahirlah si jabang bayi dari dalam guwa garba Rarasasi. Tangis bayi
itu sontak memecah kesenyapan di tengah hutan.
“Bagaimana dengan bayi ini?” tanya Dyah Rarasasi kepada Syarif
Maulana Maghribi. “Tak mungkin aku membawa dan merawatnya. Bagaimana
kata orang nanti, bila aku merawat bayi tanpa seorang suami.”
“Jangan khawatir, Dyah Ayu! Datanglah ke desa Tarub. Di sana ada
sepasang suami-istri yang sekian tahun belum memiliki putra. Titipkan bayimu itu
kepada Ki Ageng Tarub (Ki Ageng Tarub I) dan istrinya! Mereka akan senang
menerima dan merawat bayimu.”
Tanpa menunggu bergantinya waktu, Dyah Rarasasi meninggalkan hutan
itu. Pergi ke desa Tarub. Setiba di tujuan, ia menyerahkan bayinya kepada Ki
Ageng Tarub yang belum dikaruniai putra.
Menerima bayi dari Dyah Rarasasi, Ki Ageng Tarub sangat berbahagia
hatinya. Oleh Ki Ageng Tarub, bayi itu diberi pusaka nama Raden Kidang
Tlangkas. Karena tinggal di desa Tarub, kelak Kidang Tlangkas dikenal dengan
nama Jaka Tarub. [ ]

10
KIDANG TLANGKAS SANG PENCURI
SEIRAMA perjalanan waktu, Raden Kidang Tlangkas yang tumbuh dan
berkembang dalam perawatan Ki Ageng Tarub dan Nyi Ageng Tarub itu menjadi
pemuda tampan. Berbeda saat masih kanak. Ketika berusia muda, Jaka Tarub
jarang tinggal di rumah. Ia sering pergi ke hutan untuk berburu. Bila lelah
berburu, ia tak pernah pulang. Lebih memilih tidur di tengah hutan.
Suatu hari, Kidang Tlangkas menyaksikan para bidadari tengah mandi di
sendang. Ia mencuri pakaian dari salah satu bidadari yang dianggapnya paling
sempurna kecantikan paras dan bentuk tubuhnya. Pulang ke rumah untuk
menyimpan pakaian itu di lumbung padi. Tak lama kemudian, ia kembali ke
tepian sendang dengan membawa pakaian Jawa.
Bidadari-bidadari telah selesai mandi. Selain Nawangwulan, para bidadari
yang telah mengenakan pakaiannya pulang ke kahyangan. Sementara,
Nawangwulan yang kehilangan pakaiannya kembali merendam tubuhnya di
sendang. Dalam kebingungannya, ia bersumpah, “Barangsiapa memberi pakaian
untukku, apabila perempuan akan aku anggap sebagai saudara sekandungku. Bila
laki-laki, akan aku jadikan sebagai suami.”
Mendengar sumpah Dewi Nawangwulan, Kidang Tlangkas muncul dari
balik rerimbun semak-semak. Sesudah meletakkan pakaian Jawa di balik
rerimbun semak-semak itu, ia berjalan dengan penuh kemenangan menuju tepian
sendang. “Hei, Sang Dewi. Kenapa kau begitu lama berendam di sendang?”
“Ketauilah, Kisanak! Pakaianku hilang. Aku bersumpah. Bila Kisanak
bersedia menolongku untuk memberikan pakaian, aku akan mengabdi kepada
Kisanak.”
Kidang Tlangkas yang bersedia menolong Dewi Nawangwulan untuk
memberikan pakaian itu meninggalkan tepian sendang. Mengambil pakaian Jawa
yang disimpan di balik rerimbun semak-semak untuk diberikan kepada bidadari.
“Terimalah pakaian ala kadarnya ini, Sang Dewi!”
“Terima kasih, Kisanak.” Dewi Nawangwulan sejenak terdiam seusai
menerima pakaian Jawa dari Kidang Tlangkas. “Pergilah kau dari tepian sendang!
Bersembunyilah di balik pohon yang besar! Aku akan mengenakan pakaian ini.”
Bergegas Kidang Tlangkas meninggalkan tepian sendang.
Ketika Kidang Tlangkas bersembunyi di balik pohon besar, Dewi
Nawangwulan bergerak menuju tepian sendang. Mengenakan pakain Jawa itu.
Kiranya sudah kehendak Tuhan, Nawangwulan menjadi istri Kidang Tlangkas.
Perkawinannya dengan Kidang Tlangkas, Nawangwulan memiliki seorang putri
bernama Nawangsih.
Sudah menjadi suratan takdir. Seusai kelahiran Nawangsih, Dewi
Nawangwulan yang menemukan pakaiannya di lumbung padi itu kembali ke
kahyangan. Sejak itu, Kidang Tlangkas hanya tinggal bersama putrinya di desa
Tarub. Oleh orang-orang sekitar, Kidang Tlangkas yang menggantikan kedudukan
ayah angkatnya sebagai pengageng desa Tarub dikenal Ki Ageng Tarub II. [ ]

11
MEMBONGKAR KUBURAN RADEN SAHID
SUNAN Bonang teringat dengan Raden Sahid yang dikubur hidup-hidup di
tengah hutan. Dengan serta-merta, ia bersama sahabatnya pergi ke hutan itu.
Sesampai tujuan, Sunan Bonang menggali kubur Raden Sahid yang tinggal tulang
berbalut kulit. Jantung Raden Sahid tak lagi berdetak. Tak ada napas yang
mengalir lewat lubang hidung dan mulut dengan paru sebagai pusatnya.
Sesudah jasad Raden Sahid diangkat dari dalam kubur, Sunan Bonang
beserta sahabatnya bergegas membawa jasad itu ke Ampel Gading (Ampel
Denta). Dengan dibantu oleh para sunan, Sunan Ampel yang menjadi guru agama
di Ampel Gadhing itu segera mencuci jasad Raden Sahid. Dengan mendapat
pertolongan Allah, jantung Raden Sahid mulai berdetak. Parunya mulai bergerak
untuk menghirup udara dari hidung dan menghembuskannya lewat mulut.
Disaksikan oleh para sunan, Arya Teja, Rasa Wulan, dan seluruh siswa
Ampel Gandhing yang berkerumun di tempat itu; Raden Sahid perlahan-lahan
membuka kedua tingkap matanya. Sesudah kesadarannya kembali pulih seperti
sedia kala, ia merasa dilahirkan kembali dari rahim ibunya. Bukan sebagai
pemuda yang bengal, nakal, dan ugal-ugalan; namun sebagai bayi suci yang
belum berlepotan lumpur dosa.
“Putraku, Raden Sahid.” Sunan Ampel memecah keheningan suasana yang
menyelimuti ruangan di mana Raden Sahid semula dibaringkan. “Karena kau
telah hidup dan lahir kembali, aku namai kau Syekh Melaya. Seorang Syekh yang
kelak suka mengembara dari satu tempat ke tempat lain untuk menyebarkan ajaran
Islam sebagaimana yang diajarkan Rasulullah.”
“Terima kasih atas pusaka nama untuk putramu ini, Bapa Sunan.”
“Selain pemberian pusaka nama dariku, kau juga akan aku nikahkan
dengan putriku, Rarasasi. Terimalah putriku sebagai istrimu! Lindungilah dia
sebagaimana warangka pada curiga-nya.”
Sesudah menikah dengan Rarasasi, Syekh Melaya berpamitan kepada
Sunan Ampel dan seluruh sesepuh yang berkumpul di Ampel Gading. Sesudah
mendapatkan restu, Syekh Melaya meninggalkan Ampel Gading. Mengembara
dari tempat satu ke tempat lainnya.
Setiba di tepian sungai, Syekh Melaya melakukan tapa brata. Duduk
bersila. Sepasang tingkap mata dikatupkan. Mengatur masuk-keluarnya napas
yang dihirup dari lubang hidung dan dihembuskan lewat lubang mulut. Detak
jantungnya yang berdegup keras perlahan-lahan terdengar lembut. Sang “aku”
menyatu dengan “Ingsun” yang bertahta di istana awang-uwung.
Sekian lamanya bertapa brata, Syekh Melaya didatangi oleh Sunan
Bonang. Oleh putra Sunan Amepel itu, Syekh Melaya yang telah menuntaskaan
tapa bratanya itu diangkat sebagai penggenap sunan (penggenap anggota Majelis
Dakwah Walisanga). Sejak itu, Syekh Melaya yang bertapa brata di tepi sungai itu
dikenal dengan Sunan Kalijaga. Seorang sunan yang menjaga sungai. [ ]

12
BONDAN SURATI DITITIPKAN
PADA KI AGENG TARUB
PRABU Brawijaya memiliki selir seorang putri wandhan. Dari sang putri, raja
Majapahit itu memiliki putra bernama Bondhan Surati (Bondhan Kejawan).
Menyadari Bondhan Surati kelak menurunkan raja-raja di tanah Jawa, sang raja
berkehendak menitipkan putranya pada Ki Ageng Tarub II.
Melalui seorang abdi, Prabu Brawijaya memanggil Ki Ageng Tarub untuk
datang ke istana Majapahit. Sebelum hari berganti, menghadaplah Ki Ageng
Tarub kepada raja Majapahit itu.
“Ketahuilah, Ki Ageng Tarub!” Prabu Brawijaya membuka pembicaraan
dengan nada rendah penuh wibawa. “Aku mengundangmu untuk datang ke istana
Majapahit, ada hal penting yang ingin aku sampaikan kepadamu.”
“Ampun, Gusti Prabu!” Ki Ageng Tarub menghaturkan sembah dengan
wajah agak tertunduk ke lantai penangkilan. “Sampaikanlah kepada hamba! Bila
yang disampaikan Gusti Prabu berupa titah, hamba senangtiasa siap untuk
melaksanakannya.”
“Menurut bisikan gaib yang aku terima, kelak putraku Bondan Surati
menurunkan raja-raja di tanah Jawa. Bisikan gaib itu juga menyarankan agar aku
menitipkan Bondan Surati kepadamu, Ki Ageng. Dengan maksud, agar putraku
nanti dapat belajar ilmu pengetahuan kepadamu.”
“Sungguh anugerah yang sangat besar bagi hamba, bila Gusti Prabu
menitipkan Pangeran Bondan Surati di pedukuhan Tarub. Karenanya apa yang
menjadi titah Gusti Prabu, hamba akan melaksanakan dengan senang hati.”
“Terima kasih banyak, Ki Ageng Tarub. Kau telah berkenan mengasuh
putraku.” Prabu Brawijaya tersenyum. Ia tampak lega. “Segera bawa putraku ke
pedukuhan Tarub. Hanya keris Kiai Gunung Geni ini yang akan aku bekalkan
kepada putraku. Semoga putraku senantiasa di dalam lindungan Sang Penguasa
Jagad Raya.”
Ki Ageng Tarub menghaturkan sembah bakti kepada Prabu Brawijaya.
Disertai Bondan Surati, Ki Ageng Tarub pulang ke pedukuhan Tarub. Setiba di
halaman padepokan, Ki Ageng Tarub disambut oleh Nawangsih putrinya yang
lahir dari rahim Nawangwulan.”
Di ndalem padepokan, Nawangsih yang tiduran manja di pangkuhan Ki
Ageng Tarub itu melontarkan pertanyaan, “Ayah. Siapakah anak lelaki itu?
Wajahnya sangat tampan. Seperti bukan anak orang desa.”
“Ketahuilah, putriku. Dia, kakakmu sendiri. Sekian lama, ia tingggal di
dalam istana Majapahit. Karena sudah waktunya pulang, aku menjemputnya. Agar
ia dapat menemanimu. Agar kau tak merasa sendirian. Agar kau memiliki kawan
berbincang dan bermain.”
Mengetahui kalau Bondan Surati tak lain kakaknya sendiri, Nawangsih
segera merangkulnya tanpa ragu. Melihat pemandangan itu, Ki Ageng Tarub
merasa sangat senang. Di dalam hatinya, ia merasakan kebahagiaan menyembul di
dalam sanubarinya. Suasana senyap.

13
Sontak suasana senyap dipecahkan dengan pertanyaan Nawangsih yang
kemudian duduk di pangkuan Bondan Surati, “Kenapa Kakang lama tinggal di
istana Majapahit?”
“Ketahuilah, Adhi Nawangsih! Di Majapahit, aku mengabdi kepada Gusti
Prabu Brawijaya.”
“Oh, begitu.” Nawangsih mendongakkan wajah hingga melihat sepasang
mata Bondan Surati yang menyerupai bintang kembar. “Jangan kembali ke istana
Majapahit, ya Kakang! Kalau Kakang kembali, siapa yang akan menemaniku?
Aku menghendaki Kakang tetap tinggal di desa Tarub.”
“Aku berjanji kepada Adhi Nawangsih. Aku tak akan kembali lagi ke
istana Majapahit. Aku akan menemani Adhi untuk selama-lamanya. Sejak
sekarang hingga akhir hayatku.”
Mendengar jawaban Bondhan Surati, Nawangsih girang bukang kepalang.
Sebagaimana putrinya, Ki Ageng Tarub yang menyaksikan perbincangan kedua
anak itu merasa menerima longsoran gunung kencana, guyuran hujan madu.
Kebahagiaan yang tak dapat dilukiskan dengan tepat oleh para penggubah
kakawin. Kebahagiaan yang hanya bisa dirasakan dengan hati paling dalam. [ ]

14
BONDAN SURATI WUYUNG
HARI berganti hari. Bulan berganti bulan. Tahun berganti tahun. Bondan Surati
telah memasuki usia perjaka. Bergantian dengan Nawangsih, Bondan Surati selalu
mengirim nasi, sayur, lengkap dengan lauk-pauknya pada Ki Ageng Tarub di
pagagan. Sebagai orang tua, Ki Ageng Tarub tampak bahagia melihat bukti
kebaktian dari kedua putranya itu.
Karena telah tumbuh dewasa, Bondan Surati mulai tinggal di pagagan.
Sementara, Ki Ageng Tarub mulai tinggal di rumah bersama Nawangsih. Gadis
yang selalu mengirim makanan pada Bondan Surati.
***

Suatu malam, Nawangsih diminta oleh Bondan Surati untuk tinggal di


pagagan. Menemaninya sampai matahari terbit di ufuk timur.
“Aku mau menemani Kakang Bondan Surati, asal mendapat izin dari ayah.
Karenanya, Kakang. Aku ingin pulang ke rumah dulu. Meminta izin kepada ayah.
Bila ayah mengizinkan, aku akan tinggal semalam bersama Kakang Bondan di
pagagan.”
“Tak perlu pulang. Tak perlu meminta izin pada ayah, Adhi Nawangsih.
Aku percaya, ayah pasti mengizinkan. Tak perlu takut tinggal bersamaku, Adhi.
Aku bukan orang lain. Aku saudaramu sendiri.”
“Baiklah! Aku akan menemani Kakang di pagagan malam ini. Asal
Kakang Bondan bertanggung jawab kalau ayah marah kepadaku.”
“Jangan khawatir, Adhi! Aku akan bertanggung jawab bila ayah marah.”
“Sungguh, Kakang?”
Bondan Surati terdiam. Sepasang bola matanya menatap tajam pada
keelokan paras Nawangsih. Kemolekan tubuh Nawangsih sungguh membuatnya
jatuh cinta. Entah godaan setan dari mana? Ia memeluk, mencium kening
Nawangsih dengan penuh kasih.
Betapa Bondan Surati dimabuk cinta. Sebelum ia terperosok jauh ke dasar
lembah dosa, pagi datang.
Nawangsih yang merasa malu dengan peristiwa semalam tanpa meminta
izin pada Bondan Surati, pulang ke rumah. Sesampai rumah, ia tampak murung di
dalam biliknya. Sebelum merebahkan tubuhnya di amben untuk tidur lantaran
semalam tak sempat memejamkan mata, pintu biliknya diketuk dari luar oleh Ki
Ageng Tarub. “Kenapa pintu bilikmu ditutup rapat, Nawangsih? Ini aku.
Ayahmu.”
Nawangsih bangkit dari amben. Berjalan ke arah pintu. Membukanya.
“Masuklah, Ayah!”
Ki Ageng Tarub memasuki bilik Nawangsih. Duduk di bibir amben, di
samping putri tercintanya. “Kenapa wajahmu menggambarkan kau sedang marah?
Kau marah dengan siapa?”
“Jawab, Ayah! Sebenarnya Kakang Bondan Surati itu siapa? Benarkah ia
putra Ayah? Kakak kandungku sendiri?”
“Maafkan ayahmu ini, anakku! Aku telah berbohong kepadamu.” Ki
Ageng Tarub tertunduk dengan wajah sendu. “Sesungguhnya Bondan Surati

15
bukan kakak kandungmu. Ia putra raja Majapahit, Prabu Brawijaya. Oleh Gusti
Prabu, ia dititipkan kepadaku. Aku bersedia memenuhi titah Gusti Prabu. Agar ia
menjadi teman hidupmu. Putraku si ontang-anting.”
“Tetapi, Ayah.” Nawangsih sejenak terdiam. Teringat peristiwa semalam
sewaktu Bondan Surati akan berlaku tidak senonoh kepadanya. “Sebagai putra
raja, seharusnya Kakang Bondan Surati tidak berlaku kurang ajar kepadaku.”
“Apakah dia menggodamu?”
“Bukan sekadar menggoda, Ayah. Kakang Bondan Surati ingin
memerlakukanku sebagai istri yang wajib mendapatkan nafkah batin dari guru
laki-nya. Suaminya.”
“Kau mau?”
“Tidak, Ayah.”
“Tapi, kau sesungguhnya mencintainya kan?”
Nawangsih menundukkan wajah. Menyembunyikan perasaan hatinya
dalam-dalam. Perasaan cinta kepada Bondan Surati yang telah berkembang sejak
memasuki usia akil balik.
“Anakku. Aku tahu kalau kau sesungguhnya mencintai kakakmu si
Bondan Surati.” Ki Ageng Tarub mengusap-usap ramput Nawangsih yang
bergerai sampai ke pinggang. “Sudah menjadi kehendak Tuhan. Bila Surati telah
menjadi jodohmu. Tak salah, bila aku menikahkanmu dengan Surati.”
***

Hati Nawangsih berlumuran kebahagiaan. Karena cintanya pada Bondan


Surati akan segera diprasastikan dalam pernikahan. Hingga hari pernikahannya
tiba, bukan hanya disaksikan oleh Ki Ageng Tarub ayahnya, namun pula
Nawangwulan ibunya.
Kepada Bondan Surati dan Nawangsih yang segera membangun rumah
tangga dengan kobaran api cinta dalam jiwa mereka, Nawangwulan memberikan
restu. Sesudah pernikahan putrinya dengan putra Prabu Brawijaya itu,
Nawangwulan kembali ke kahyangan. [ ]

16
BONDAN SURATI,
PENURUN RAJA-RAJA MATARAM
BONDAN Surati telah menikah dengan Nawangsih. Sesudah sekian hari
mengarungi samudra madu bersama istrnya, Bondan Surati menghadap Ki Ageng
Tarub. Membaca gelagat Ki Ageng Tarub, Bondan Surati menangkap bahwa ayah
mertuanya itu akan menyampaikan petuah penting yang sebelumnya tak pernah
didengar. “Maaf, Ayah. Anakmu menangkap kalau Ayah ingin menyampaikan
sesuatu yang amat berguna bagi ananda.”
“Benar, anakku.”
“Sampaikan saja, Ayah!”
“Ketahuilah, anakku!” Ki Ageng Tarub merangsek duduknya ke arah
Bondan Surati. “Ramandamu, Gusti Prabu Brawijaya, pernah menyampaikan
kepadaku kalau kau kelak menurunkan raja-raja di tanah Jawa. Raja-raja yang
berkuasa sesudah surutnya Kesultanan Demak dan Kesulanan Pajang.”
“Artinya anakmu ini tak bakal menjadi raja Majapahit kan, Ayah?”
“Benar! Itu sudah menjadi suratan takdir. Sudah menjadi kehendak Gusti
Kang Murbeng Dumadi.” Ki Ageng Tarub sejenak terdiam. “Menurut petunjuk
yang aku terima. Saudaramu dari Palembang yang akan menjadi raja penerus
ramandamu. Tetapi, ia tak berkuasa di Majapahit, melainkan di Demak Bintara.
Sesudah Demak surut, Kesultanan Pajang timbul. Raja yang berkuasa adalah
keturunan Pengging. Keturunanmu akan menjadi raja di Mataram sesudah Pajang
mengalami sandyakala. Karenanya, anakku. Banyaklah melakukan prihatin!
Rajinlah melakukan tapa brata, lelana brata, dan mesu brata! Agar keturunanmu
kelak dapat menjadi raja-raja di tanah Jawa.”
“Akan ananda laksanakan pesan Ayah. Tapi apa makna dari bertapa brata
yang sesungguhnya? Bukankah sia-sia Ananda bertapa brata bila tak tahu
maknanya sama sekali?”
“Tepat.” Ki Ageng Tarub menghirup napas dan menghembuskannya.
“Ketahuilah, anakku! Bertapa brata itu tidak memandang orang lain, tapi hanya
diri sendiri yang menjadi pusat perhatian. Tinggalkan seluruh yang bersifat
duniawi! Termasuk kau harus meninggalkan syahwat dengan istrimu.”
Apakah hanya itu, makna tapa brata? Bila ada makna lain. Sampaikanlah,
Ayah!”
“Tidak. Bertapa brata bisa juga dimaknai dengan aksara alif. Alif tak bisa
bercampur dengan aksara lain. Artinya kau harus memiliki pengelihatan satu.
Seperti ruangan, kau harus kosong. Tak terdapat apa-apa di dalamnya. Sementara,
lam mengandung makna bahwa kau sejatinya tak memiliki suatu apa, selain
dirimu sendiri. Tak ada laku yang tak sepi dari dzat Ilahi. Segalanya harus sirna
dari penglihatanmu, selain wujud Tuhan itu sendiri. Kalau laku ini tak kau capai,
batallah tapa bratamu.”
“Ya, Ayah. Ananda paham dengan apa yang Ayah sampaikan.”
“Ketahuilah pula, anakku! Bila kau telah dapat melihat wujud Illahi, kau
akan mendapat anugerah-Nya. Apa yang kau kehendaki akan mendapat izin dari-
Nya. Tetapi, kau harus waspada! Bila tidak. Wujud syetan yang akan kau lihat.

17
Selanjutnya aksara mim. Aksara ini mengandung arti tak ada yang kau tuju, selain
kembali ke asal mula. Di dunia, kau hanya tinggal sejenak. Bila kau telah singgah
di alam langgeng, tak akan kau rasakan sakit dan mati. Kau akan hidup dalam
kesempurnaan. Tak lagi melihat surga dan neraka. Aksara kha artinya hak dari
Hyang Sukma. Penglihatan, penciumaan, dan pendengaran tak lain sukma itu
sendiri. Ketiganya harus mendapat perlindungan Tuhan. Aksara wal artinya raga
dan jiwa hendaklah kau pasrahkan kepada yang memberi. Tuhan yang pencipta
seluruh manusia dan makhluk di muka bumi. Apabila kau sampai pada tataran ini,
maka kau telah sampai pada tapa brata yang sejati.”
Usai menyimak petuah dari Ki Ageng Tarub, Bondan Surati yang kelak
dikenal Ki Ageng Tarub III itu merasa mendapatkan pencerahan batin yang sangat
terang benderang.
Sebelum fajar menyingsing, Bondan Surati yang disertai Nawang Sih
meninggalkan padepokan. Pulang ke rumah. Berkasih-kasihan dengan istrinya.
Hingga kelak ia memiliki putra bernama Getas Pendawa. Dari Getas Pandawa,
lahirlah Ki Ageng Sela. Dari Ki Ageng Sela, lahirlah Ki Ageng Nis. Dari Ki
Ageng Enis lahirlah Pemanahan, Ki Ageng Sela II, atau Ki Ageng Mataram. Dari
Ki Ageng Mataram lahirlah raja-raja Mataram yang dimulai dari Panembahan
Senapati.
Sesudah pemerintahan Panembahan Senapati, tahta pemerintahan
Mataram diduduki oleh Raden Mas Jolang, Tumenggung Martapura, Sultan
Agung, dan Sunan Amangkurat I. Sunan Amangkurat I melahirkan raja-raja
Kasunanan Kartasura, yakni: Sunan Amangkurat II, Sunan Amangkurat III, Sunan
Pakubuwana I, Sunan Amangkurat IV.
Dari Sunan Amangkurat IV, lahirlah raja Kasunanan Kartasura dan
sekaligus raja Kasunanan Surakarta yakni Sunan Pakubuwana II, raja Kesultanan
Yogyakarta yakni Sri Sultan Hamengkubuwana I, dan raja Praja Mangkunegaran
yakni KGPAA Mangkunegara I – putra Pangeran Mangkunegara atau cucu Sunan
Amangkurat IV. Sementara Sri Sultan Hamengkubuwana I, selain melahirkan
raja-raja Kesultanan Yogyakarta, pula melahirkan raja-raja di Pakualaman.[ ]

18
RADEN PATAH
DAN RADEN KUSEN
ARYA Dilah, sang raja Palembang, datang ke Majapahit. Diantar oleh Patih
Gajah Premada, ia menghadap Raja Brawijaya ayahandanya. Setiba di hadapan
raja Majapahit, ia menghaturkan sembah bakti. Duduk bersila dengan wajah
tertunduk tajam ke lantai balairung.
“Arya Dilah putraku, tak ada hukuman yang akan aku timpakan
kepadamu, selain anugerah dariku.”
“Sebelumnya ananda mengucapkan terima kasih atas anugerah ayahanda
Prabu.” Wajah Arya Dilah tampak berbinar serupa matahari fajar. “Kalau boleh
tahu, anugerah apa yang akan ayahanda limpahkan pada ananda?”
“Tidak lain ibundamu sendiri, sang putri Cina. Nikahilah ia, Arya Dilah!
Tapi jangan kau sentuh sebelum ia melahirkan bayi dari benihku! Sesudah ia
melahirkan adikmu, sikapilah ibundamu sebagai istrimu! Karenanya, bawalah ia
ke Palembang! Doaku menyertaimu.”
Seusai menghaturkan sembah, Arya Dilah undur diri dari hadapan Raja
Brawijaya. Dikawal para prajurit Majapahit, ia yang membawa putri Cina itu
menuju pantai. Dengan menaiki kapal, ia berlajar menuju Palembang. Setiba di
tujuan, ia mengistirahatkan tubuhnya di ranjang tanpa menyentuh tubuh istrinya.
Beberapa bulan kemudian, putri Cina itu melahirkan bayinya. Oleh Arya
Dilah, bayi itu diberi nama Raden Patah. Sesudah kelahiran Patah, Arya Dilah
menjadikan putri Cina itu sebagai istri yang sesungguhnya. Selain memberi
nafkah lahir, ia pula memberikan nafkah batin. Hingga sang putri mengandung.
Melahirkan bayi laki-laki yang diberi nama Raden Kusen.
Seiring perjalanan waktu, Raden Patah dan Raden Kusen memasuki masa
muda. Oleh Arya Dilah, kedua putranya itu diminta untuk datang ke Majapahit.
Mengadi pada Raja Brawijaya. Dengan senang hati, mereka yang disertai
empatpuluh prajurit itu datang ke Jawa. Berlajar menuju pantai Jepara.
Mendarat sudah Raden Patah dan Raden Kusen di pelabuhan Jepara.
Sewaktu keduanya duduk untuk beristirahat, Raden Patah membuka pembicaraan,
“Dhimas Kusen. Sebaiknya Dhimas mengabdi pada Raja Brawijaya di Majapahit.
Sementara aku ingin belajar ilmu agama di Ampel Denta. Tigapuluh delapan
prajurit, bawalah ke Majapahit! Aku hanya meminta Wanasalam dan Wanapala
untuk menyertaiku ke Ampel Denta.”
“Tujuan kita dari Palembang bukan untuk belajar ilmu agama di Ampel
Denta, tapi mengabdi pada Raja Brawijaya di Majapahit. Bagaimana kalau
ayahanda nanti murka?”
“Aku siap menerima murka dari ayahanda, Dhimas!” Wajah Raden Patah
tampak tenang dan dingin. “Sudahlah, Dhimas. Pergilah ke Majaphit! Bawalah
surat dari ayahanda yang menyatakan bahwa kau putra Ramanda Arya Dilah, cucu
Baginda Brawijaya! Pengabdianmu akan diterimanya. Sudahlah! Bawalah surat
ini. Haturkanlah pada Baginda di Wilwatikta!”
Raden Kusen menerima surat yang ditulis di atas lontar dari Raden Patah.
Disertai tigapuluh delapan prajurit, Raden Kusen datang ke Majapahit. Sementara,

19
Raden Patah yang disertai Wanasalam dan Wanapala datang ke Ampel Denta. Tak
ada tujuan, selain ingin berguru pada Sunan Ampel.
Perjalanan Raden Kusen telah sampai di tlatah kotapraja Majapahit.
Diantar Patih Gajah Premada, Raden Kusen menghadap Raja Brawijaya.
Menghaturkan surat dari Arya Dilah. Sesudah surat itu dibaca oleh Brawijaya,
pengabdian Raden Kusen yang tak lain cucunya sendiri itu diterima. Bukan hanya
itu, Raden Kusen mendapatkan anugerah kedudukan sebagai penguasa di wilayah
Terung. Sejak itu, Raden Kusen yang mendapat gelar Adipati Pecatondha dari
Brawijaya pula dikenal dengan Adipati Terung.
Dikisahkan kemudian bahwa perjalanan Raden Patah yang disertai
Wanasalam dan Wanapala telah sampai di Ampel Denta. Raden Patah yang
berguru di Ampel Denta itu dinikahkan oleh Sunan Ampel dengan putrinya.
Karena Raden Patah diramalkan akan menggantikan raja Buddha dengan
raja Islam di tanah Jawa, Sunan Ampel memerintahkan putra menantunya itu
untuk pergi ke Glagah Wangi di hutan Bintara. Di wilayah dengan tanah berbau
harum itu, Raden Patah diminta untuk membangun pedukuhan yang kelak
menjadi kerajaan besar paska Majapahit.
Kerajaan besar yang diramalkan oleh Ki Ageng Tarub II, sebagaimana
diramalkan oleh Sunan Ampel itu bernama Kesultanan Demak Bintara. Disebut
Demak Bintara, karena pusat pemerintahan sejak Raden Patah, Patiunus, hingga
Sultan Trenggana berada di Demak Bintara.
Semasa pemerintahan Sunan Prawata, pusat pemerintahan Kesultanan
Demak dipindahkan ke Gunung Prawata. Ketika Demak berada di kekuasaan
Arya Penangsang sesudah berhasil membunuh Sunan Prawata, pusat
pemerintahan dipindahkan dari Gunung Prawata ke Jipang. [ ]

20
RADEN PATAH
MENDIRIKAN KERAJAAN
BERSAMA Wanasalam dan Wanapala, Raden Patah menemukan wilayah dengan
tanah berbau harum. Di wilayah yang dikenal dengan Glagah Wangi itu, Raden
Patah membangun pedukuhan. Lambat laun, pedukuhan Glagah Wangi menjadi
ramai. Hingga banyak orang Majapahit berpindah tempat di Glagah Wangi.
Raden Patah mengutus Wanasalam untuk menyampaikan kabar tentang
perkembangan Glagah Wangi kepada Sunan Ampel di Ampel Gading. Sesudah
mendengar kabar itu, Sunan Ampel beserta para pendereknya datang ke Glagah
Wangi. Kepada Raden Patah, Sunan Ampel mengusulkan agar Glagah Wangi
dijadikan kerajaan. Raden Patah menyepakati usulan Sunan Ampel.
Dengan penyaksian Raden Patah, para wali, beserta orang-orang dari
Ampel Denta dan Glagah Wangi; Sunan Ampel memberkan nama Demak pada
kerajaan itu. Nama Raden Patah sendiri, oleh Sunan Ampel, diubah menjadi
Pangeran Bintara. Atas keputusan Sunan Ampel, semua wali mendukungnya.
Berdirinya kerajaan Demak dengan raja Pangeran Bintara terdengar
sampai telinga Raja Brawijaya. Karenanya, ia segera mengundang Patih Gajah
Premada dan Adipati Pecatondha dari Terung. Kepada Adipati Pecatondha,
Brawijaya menjatuhkan titah, “Hei, Adipati Terung. Bawalah pasukan Majapahit
dan orang-orang Palembang menuju Demak! Rangket Pangeran Bintara yang
telah berani mendirikan kerajaan tanpa seizinku!”
“Titah Gusti Prabu Brawijaya, hamba laksanakan.”
Seusai menghaturkan sembah kepada Raja Brawijaya, Adipati Pecatonda
undur diri dari balairung Majapahit. Bersama pasukannya, ia pergi ke Demak. Tak
ada yang akan dilakukan selain merangket Pangeran Bintara serta
meluluhlantakkan kerajaan Demak.
Setiba di Demak, Adipati Pecatonda terkejut saat ditemui oleh Pangeran
Bintara di serambi langgar. Mengingat Pangeran Bintara tak lain adalah Raden
Patah, kakaknya sendiri. “Tidak aku duga, Kangmas Patah. Bila Pangeran Bintara
yang mendirikan kerajaan Demak adalah kau sendiri, Kangmas.”
“Aku akui, Dhimas Kusen.” Raden Patah melontarkan jawaban dengan
tenang. “Lantas apa tujuanmu datang ke Demak untuk membuat huru-hara?”
“Sebagai seorang abdi di Majapahit, aku tunduk pada titah Gusti Prabu
Brawijaya. Kedatanganku di sini untuk meluluhlantakan kerajaan Demak dan
merangketmu untuk aku hadapkan pada Gusti Prabu. Kau telah bersalah besar,
Kangmas. Glagah Wangi adalah wilayah Majapahit. Kau telah mendirikan
kerajaan tanpa sepengetahuan Gusti Prabu.”
“Seorang yang bersalah itu aku, Dhimas. Bukan kerajaanku. Sebab itu,
jangan kau luluhlantakkan kerajaanku! Rangketlah aku! Aku siap
memertanggungjawabkan kesalahanku kepada raja Majapahit.”
Dengan perasaan yang sangat pedih, Adipati Pecatonda merangket
Pangeran Bintara. Membawanya ke Majapahit. Menghadapkannya kepada Raja
Brawijaya yang tengah bertahta di balairung. Di hadapan raja, Pangeran Bintara

21
tak menundukkan wajah. Tenang dan tanpa merasa takut akan sanksi apa yang
akan dijatuhkan oleh raja Majapahit itu.
“Benarkah namamu Bintara?” Pertanyaan Raja Brawijaya memecah
suasana balairung yang senyap. “Benarkah kau yang mendirikan kerajaan
Demak?”
“Tak hamba pungkiri, Gusti Prabu. Hambalah yang mendirikan kerajaan
di Demak Bintara.”
“Kalau begitu, kau telah melakukan makar pada Majapahit.” Wajah Raja
Brawijaya tampak seperti piringan tembaga yang terbakar. “Tak ada hukuman
yang pantas aku jatuhkan kepadamu, selain hukuman….”
“Ampun, Gusti Prabu.” Adipati Pecatondha menyela sabda Raja
Brawijaya. “Hamba mohon, hendaklah Gusti Prabu tidak cepat menjatuhkan
hukuman pada Pangeran Bintara. Nanti, Gusti Prabu akan merasa menyesal
sesudah mengetahui tentang siapakah sebenarnya Pangeran Bintara.”
“Katakan, Adipati Pecatonda! Siapakah sebenarnya Pangeran Bintara?”
“Hendaklah Gusti Parbu ketahui bahwa Pangeran Bintara adalah kakak
hamba sendiri. Nama, aslinya adalah Raden Patah. Menurut cerita dari ayahanda
Arya Dilah kalau Kangmas Patah dilahirkan di muka bumi oleh ibunda bukan dari
benih ayahanda, tapi dari benih Gusti Prabu sendiri.”
Sontak Raja Brawijaya terdiam tanpa mampu melontarkan sepatah kata.
Tubuhnya mematung. Wajahnya dingin. Sepasang matanya berkaca-kaca.
Teringat pada sikap kejamnya pada Raden Patah. Sewaktu masih bayi di dalam
kandungan putri Cina harus disingkirkan dari Majapahit ke Palembang. Hanya
karena kecemburuan Ratu Darawati kepada selirnya.
“Ampun, Gusti Prabu.” Patih Gajah Premada mencairkan suasana tegang
di dalam balairung Majapahit. “Hendaklah Gusti Prabu tidak cukup terdiam seribu
bahasa. Masalah tidak cukup dihadapi dengan diam. Tapi, kebijakan Gusti Prabu
yang akan menyelesaikan masalah ini.”
“Baiklah, Kakang Premada!” Raja Brawijaya tampak menenangkan
pikirannya yang tengah bergejolak di dalam benaknya. “Sesudah aku tahu kalau
Pangeran Bintara darah dagingku sendiri. Maka ia tak akan aku berikan sanksi
apapun atas kelancangannya telah berani membangun kerajaan di Demak tanpa
sepengetahuan dan seizinku. Sebaliknya, aku merestuinya sebagai sultan di
Demak.”
“Apapun yang menjadi kebijakan Gusti Prabu, hamba menyetujuinya.”
“Terima kasih, Kakang Premada.” Raja Brawijaya mengalihkan
pandangnya pada Raden Patah. “Patah, putraku. Kau telah mendengar sendiri
bukan, kalau aku telah menyetujuimu untuk menjadi sultan di Demak. Sekarang,
pulanglah! Kelolalah dengan baik kerajaanmu.”
Seusai menghaturkan sembah bakti kepada Raja Brawijaya, Pangeran
Bintara undur diri dari balairung Majapahit. Pulang ke Demak. Beberapa hari
kemudian, Pangeran Bintrara datang ke Ampel Denta untuk menyampaikan berita
kepada Sunan Ampel dan para wali yang tergabung dalam Majelis Dakwah
Walisanga bahwa Raja Brawijaya telah menyetujui atas berdirinya Kesultanan
Demak. Pangeran Bintara pula mengabarkan bahwa Raja Brawijaya telah
menyepakati bahwa dirinya sebagai sultan Demak. [ ]

22
SUNAN NGUDUNG GUGUR
SELURUH para wali bersyukur atas karunia Allah atas berdirinya Kesultanan
Demak di bawah pemerintahan Sultan Bintara. Untuk menyempurnakan Demak
sebagai kerajaan Islam, mereka berencana untuk membangun masjid. Singkat
cerita, masjid bertingkat tiga yang tampak indah itu berhasil mereka bangun.
Sesudah masjid terbangun, maka para wali yang tergabung dalam Majelis
Dakwah Wali Sanga melakukan rapat. Hasil rapat memutuskan bahwa Sunan
Bonang ditunjuk sebagai imam. Sementara, wali yang bertugas untuk melakukan
kotbah adalah Sunan Giri. Sejak itu, masjid Demak digunakan untuk melakukan
salat berjamaan oleh para wali dan orang-orang Demak yang telah menganut
ajaran Islam.
Pada kesempatan lain, Sunan Bonang memberikan pakaian antakusuma
lungsuran Kangjeng Nabi Muhammad yang bernama Kiai Gondil kepada Sunan
Kalijaga. Sungguh bahagia Sunan Kalijaga saat menerima pakaian yang tak
ternilai harganya itu.
Dengan berdirinya masjid Demak, lambat laun Kesultanan Demak
semakin berkembang hingga membuat Raja Brawijaya merasa terancam
kedudukannya sebagai raja di tanah Jawa. Maka sewaktu mengadakan pertemuan
di balairung, Brawijaya memerintahan pada Patih Gajah Premada dan Adipati
Pecatondha untuk meluluhlantakkan Kesultanan Demak.
Berangkatlah Patih Gajah Premada beserta Adipati Pecatondha yang
diikuti oleh pasukan Majapahit dan Palembang itu menuju Kesultanan Demak.
Sementara, Sultan Bintara yang mendengar bahwa Majapahit tengah dalam
perjalanan untuk menyerang Demak, segera bertindak. Memerintahkan
pasukannya di bawah panglima perang Sunan Ngudung untuk menghadang
pasukan Majapahit.
Pecahlah perang sudarma-wisuta antara Raja Brawijaya dan Raden Patah.
Dalam perang itu, Sunang Ngudung berhadapan dengan Adipati Pecatondha.
Keduanya sama-sama saktinya. Tapi sudah kehendak Allah, Sunan Ngudung
tewas saat berperang melawan Adipati Pecatondha.
Usai membunuh Sunan Ngudung, Adipati Pecatondha ngungun dalam
hati. Seperti dihadapkan pilihan simalakama, ia dalam kebingungan. Terus
bereprang melawan Demak yang artinya memenuhi perintah Raja Brawijaya atau
menghentikan berperang karena melawan Sultan Bintara, kakaknya sendiri.
Hingga muncullah suatu keputusan, ia yang tak lagi berpihak pada Majapahit atau
Demak itu kembali ke Palembang beserta pasukannya.
Bukan hanya Adipati Pecatondha yang ngungun hatinya, Sultan Bintara
pun demikian. Ia sangat berduka atas gugurnya Sunan Ngudung. Namun sesudah
Sunan Ngudung dimakamkan, ia mengambil keputusan untuk menyerang
Majapahit dengan jumlah pasukan labih besar lagi.
Mencium warta kalau Demak akan menyerang Majapahit; Patih Gajah
Premada, pasukan, beserta istana Majapahit musnah bersama Raja Brawijaya.
Maka ketika pasukan Demak telah sampai di tlatah kotapraja Majapahit hanya
menemukan Ratu Darawati yang telah menganut ajaran Islam. Oleh Sultan
Bintara, istri Brawijaya itu dibawa ke Demak. [ ]

23
WEJANGAN GETAS PANDAWA
PADA SELARASA
KI AGENG TARUB III (Bondan Surati) dan Nawangsih telah berputra bernama
Getas Pandawa. Sesudah Ki Ageng Tarub meninggal, maka Getas Pandawa yang
tinggal di pedukuhan Tarub itu dikenal dengan Ki Ageng Tarub IV. Dari Getas
Pandawa, lahirlah putra Selarasa yang kelak dikenal dengan Ki Ageng Sela.
Sesudah menginjak usia dewasa, Selarasa menikah dengan putri seorang pendeta
dari Selabentar.
Suatu hari, Getas Pandawa yang sudah memasuki usia senja itu menemui
putranya. Kepada Selarasa, Getas Pandawa memberikan wejangan, “Anakku,
Sela. Hendaklah kau harus berhati-hati di dalam menjalani hidup di dunia ini. Kau
harus waspada pada godaan iblis. Kau pula harus suka bertapa.”
“Nasihat ayahanda akan selalu aku ingat.”
“Ingatlah pula sastra tigapuluh. Alif maknanya menghadap kepada Hyang
Widi. Merasalah bahwa hidupmu hanya titipan. Hebe bermakna bahwa kebenaran
anggapan dan tindakan manusia bila bergerak dalam hening. Ke mana setiap
tujuan, hendaklah waspada. Bila diam, ada di mana manusia bergerak? Bila
terusik hatinya, heningnya di mana? Bertapanya hati bila menghadap Hyang
Sukma. Jangan mengikuti hawa! Selalulah waspada! Bila manusia ada, beradalah
dalam karya. Jangan sekadar ada! Sudah jelas manusia dijelmai rasa dan nyawa.
Sebab itu, jangan menyerupai sampah yang mengikuti arus air! Jangan seperti
sampah yang terombang-ambing di lautan lepas! Ikuti perintah-Nya.”
“Selain Alif dan Hebe, aksara apa lagi yang mengandung ajaran mulia
bagi dan berguna dalam hidup ananda, Ayah?”
“Aksara Jim.” Getas Pandawa sejenak terdiam untuk mengambil napas
dan mengembuskannya dengan lembut. “Mengandung ajaran bahwa manusia
dikarunia panca indera. Panca indera harus dikembalikan pada Yang Tunggal.
Bila tak demikian, manusia akan mendapat malapetaka. Selanjutnya ananda,
aksara….”
“Aksara apa, ayahanda?”
“Kha, Dal, Re, dan Ze. Kha bermakna bahwa di dalam khak, sesuatu yang
baru tidaklah tampak. Kha besar, tak lagi menengok khalal dan kharam.
Semuanya sudah lebur. Dal, derajat semua orang adalah sama. Dal besar, jalan
untuk selalu ingat. Sementera, ingat dibagi dua. Ingat pada jalan kehidupan. Ingat
pada jalan kematian. Re artinya rahmat. Sejatinya manusia buta, tuli, bisu, dan
kosong. Bila manusia dapat melihat dzat Illahi, maka ia mendapatkan rahmat.
Sedangkan Ze, artinya jangan melihat wujud yang lain, kecuali kepada yang
sejati….”
“Kenapa terdiam ayahanda?” tanya Selarasa. “Lanjutkan petuahnya!
Ananda sangat suka menyimaknya.”
“Ketahuilah makna dari aksara-aksara selanjutnya, Ananda! Aksara Sa
artinya syarat untuk mengetahui diri sendiri. Sat, segala rupa tak bisa diceritakan
dan tak perlu dipedulikan. Lat, sesuatu yang sudah hanyut di dasar samudra tak
bisa diduga. Te, tabah atas cobaan Tuhan hingga manusia merasa tak punya suatu

24
apa. Le, menjalankan perintah Tuhan agar manusia memiliki kelebihan. Ngain,
berkarya tak perlu dipamerkan. Tenang dalam laku dan pembawaan. Ain,
memegang khadist dan dalil. Tak bisa dipisahkan keduanya. Efe, benar setiap laku
bila manusia tak bersekutu dengan iblis, melainkan taat pada Tuhan. Ka kecil,
mengetahui kehendak Tuhan. Kap besar, menerima kasih Tuhan. Lam, waspada
atas segala isi jagad raya. Mim, yakin dan tidak merasa mati. Tak melihat ke
mana-mana. Tak menengok surga dan neraka. Tak melihat segala keindahan.
Hanya Tuhan yang menjadi tujuan pengelihatan. Nun, menerawang yang sejati.
Berlanjut pada bumi dan langit tujuh lapis. Kembali pada cahaya. Wawu,
mengetahui banyak manusia. Mengenal satu per satu. Ehe, selalu bersatu dan tak
pernah terpisahkan. Diibaratkan tembaga dan emas. Bila keduanya sirna
warnanya, berubahlah namanya. Lam Alif, berlindung dan beriman pada Tuhan
sebagai jalan utama untuk menuju Hyang Sukma. Ambyah, telah berkumpulnya
nabi, wali, dan mukmin. Ya, mapan (menetap dan sumarah) adalah kenyataan.
Tidak ada yang lain lagi. Karenanya, ananda. Amalkan apa yang telah aku
wejangkan kepadamu!”
“Pesan ayahanda akan aku amalkan.”
Sepulang Selarasa ke Sela, Getas Pandawa kembali ke ruang panepen.
Beberapa tahun kemudian, Getas Pandawa meninggal. Sejak itu, tak ada lagi
kelanjutan gelar Ki Ageng Tarub. Mengingat Selarasa yang tidak tinggal di desa
Tarub, melainkan di desa Sela, dikenal dengan nama Ki Ageng Sela.
Sementara Pangeran Bintara yang berkuasa di Kesultanan Demak itu telah
mangkat. Sebagai penggantinya adalah putranya yakni Pangeran Trenggana.
Wanasalam sebagai patihnya. Sementara yang menjabat sebagai penasihat raja
adalah Sunan Kudus. [ ]

25
SUNAN KUDUS
MEMBUNUH KI AGENG PENGGING
DIKISAHKAN tentang keturunan Raja Brawijaya yakni Kebo Kanigara dan
Kebo Kenanga. Karena tinggal di Tingkir, Kebo Kanigara dikenal dengan Ki
Ageng Tingkir. Sementara, Kebo Kenanga yang tinggal di Pengging dikenal
dengan Ki Ageng Pengging. Hubungan keduanya, Kebo Kanigara merupakan
kakak kandung dari Kebo Kanigara.
Kebo Kenanga memiliki seorang putra laki-laki. Oleh Kebo Kanigara,
putra adiknya itu diberi nama Mas Karebet. Beberapa tahun kemudian, Kebo
Kanigara meninggal. Sewaktu meninggal, Kebo Kanigara tidak meninggalkan
putra. Sesudah Kebo Kenanga dan istrinya meninggal, Mas Karebet diasuh oleh
istri Kebo Kanigara. Kelak Mas Karebet dikenal dengan nama Jaka Tingkir
(seorang pemuda dari desa Tingkir).
Meninggalnya Kebo Kenanga bukan karena mati sewajarnya, tapi dibunuh
oleh Sunan Kudus. Kisah pembunuhan tersebut berawal dari tuduhan Sultan
Demak bahwa Kebo Kenanga akan melakukan pemberontakan. Maka diutuslah
Sunan Kudus yang disertai oleh empat pengiringnya ke Pengging.
Setiba di Pengging, Sunan Kudus menemui Kebo Kenanga. “Hei, Kebo
Kenanga. Kenapa kau tak mau menghadap Sultan Demak. Kan akan melakukan
pemberontakan terhadap Kangjeng Sultan?”
“Bagaimana hamba akan melakukan pemberontakan terhadap Demak,
Kangjeng Sunan?” Kebo Kenanga menjawab tenang. “Pengging bukan bawahan
Demak. Pengging, daerah perdikan Majapahit.”
“Tidak perlu berdalih macam-macam, Kebo Kenanga!” Wajah Sunan
Kudus menyemburat merah tembaga. “Sekarang kau mau aku hadapkan pada
Kangjeng Sultan Demak atau tidak?”
“Ti….”
Sunan Kudus menghunus belati dari sarungnya. Menikamkan belati itu ke
dada Kebo Kenanga. Dengan bibir menyunggingkan senyum, Kebo Kenanga
menjawab ucapan selamat jalan dari Sunan Kudus. Kebo Kenanga terkapar di
tanah di lantai ruang tamu. Sukma melayang kembali pada Sang Pencipta.
Tanpa meminta pamit pada istri Kebo Kenanga, Sunan Kudus
meninggalkan Pengging. Menghadap Sultan Patah. Menyampaikan kabar bahwa
musuh Demak telah tewas di tangannya. Mendengar kabar gembira dari Sunan
Kudus, Sultan Patah tampak berbinar wajahnya.
Sepeninggal Kebo Kenanga, istrinya melahirkan bayi bernama Mas
Karebet. Sesudah menginjak usia muda, Mas Karebet yang diasuh oleh Nyi
Ageng Tingkir itu pergi ke desa Sela. Tidak ada tujuan dari Mas Karebet selain
berguru kepada Selarasa, putra Getas Pandawa yang dikenal dengan Ki Ageng
Sela. Melalui Ki Ageng Sela, Mas Karebet menjadi seorang pemuda yang sakti
mandraguna pilih tanding. [ ]

26
KI AGENG SELA
DAN KISAH TERJADINYA PETIR
KI AGENG Sela yang bernama asli Selarasa memiliki putra Ki Ageng Enis.
Sesudah dewasa Ki Ageng Enis yang menikah dengan putri Buyut Laweyan itu
memiliki putra bernama Raden Pemanahan. Sejak kecil, Pemanahan tinggal
bersama Ki Ageng Sela kakeknya. Tinggal di desa Sela.
Bersama cucunya, Ki Ageng Sela bekerja di sawah. Sebelum datang
tengah siang, hujan turun sangat lebat. Ketika para petani pulang ke rumah, Ki
Ageng Sela masih mencangkul di sawah. Sementara, Pemanahan yang masih
berteduh di gubuk saat hujan menyisakan gerimis itu menyaksikan Ki Ageng Sela
tengah berkelahi dengan seorang lelaki tua.
Kasihan dengan Ki Ageng Sela, Pemanahan pergi ke kampung terdekat.
Meminta bantuan pada orang-orang agar membantu kakeknya yang tengah
berkelahi dengan lelaki tua di sawah. Dipimpin Ragajaya dan Ragamulya, orang-
orang yang bersenjata cangkul, sabit, dan parang itu berlari ke sawah.
Oleh Ki Ageng Sela yang berhasil merangket lelaki tua musuhnya, orang-
orang kampung itu diminta pulang ke rumah masing-masing. “Selain Ragajaya
dan Ragamulya, kalian pulanglah! Begitu juga kamu, Pemanahan. Pulanglah! Aku
akan membawa orang tua yang sangat berbahaya ini ke Kesultanan Demak.”
Bersamaan pulangnya Pemanahan dan orang-orang ke rumah, Ki Ageng
Sela beserta Ragajaya dan Ragamulya membawa lelaki tua itu ke Kesultanan
Demak. Sesudah dihadapkan pada Sultan Demak, lelaki tua yang sangat
berbahaya itu dimasukkan di dalam penjara. Sementara, Ki Ageng Sela beserta
Ragajaya dan Ragamulya pulang ke Sela.
Sehari kemudian, datanglah seorang perempuan tua ke penjara Demak, di
mana lelaki tua itu ditahan di dalam terali besi. Kepada para prajurit, perempuan
tua yang membawa satu gayung air meminta izin untuk mengirim minum pada si
lelaki tua. Perempuan tua itu melangkah menuju penjara di mana si lelaki tua
ditahan sesudah para prajurit mengizinkannya.
Di depan pintu ruang penjara si lelaki tua, perempuan tua itu menyiramkan
segayung air. Sontak muncul ledakan yang sangat dahsyat. Hingga hancur penjara
Demak. Para prajurit yang sedang jaga itu tewas dengan tubuh hancur terbakar.
Sementara, perempuan dan lelaki tua itu musnah dari pandangan.
Sejak peristiwa hancurnya penjara Demak itu, orang-orang mengatakan
bila petir yang meledak ketika hujan merupakan jelmaan lelaki tua itu. Makhluk
gaib yang semula berkelahi dengan Ki Ageng Sela hingga berhasil ditangkap dan
diserahkan kepada Sultan Demak. [ ]

27
PEPALI KI AGENG SELA
SEKEMBALI di desa Sela, Ki Ageng Sela merasa bersalah atas tindakannya telah
menangkap kakek tua dan menyerahkannya ke Kesultanan Demak. Karenanya, ia
bertobat kepada Tuhan dengan melakukan tapa brata di ruang panepen. Sewaktu
bertapa brata itulah, Ki Ageng Sela selalu dilayani oleh Pemanahan cucunya.
Seusai melakukan tapa brata, Ki Ageng Sela memberikan pepali pada
seluruh anak cucunya. Kepada anak cucunya, Ki Ageng Sela berkata, “Kelak anak
turunmu akan menjadi raja di tanah Jawa. Tapi, ingat! Untuk menjadi orang yang
dimuliakan Tuhan, hendaklah manusia tidak kusud, dengki, riya, dan kibir.”
“Sampaikan pada cucumu, Kek!” pinta Pemanahan. “Cucumu dan kami
semua ingin meyimak dan mengamalkan.”
“Pemanahan dan kalian semua, dengarkan pepaliku!” Ki Ageng Sela
sejenak terdiam. “Sungguhpun kalian beramal saleh kepada setiap manusia,
namun apabila kalian masih dirasuki empat perkara – kusud, dengkir, riya, dan
kibir – akan sirna amal saleh kalian. Sebab itu, kalian harap berhati-hati di dalam
menjalankan laku kehidupan di dunia ini!”
“Petuah Kakek akan kami laksanakan!”
“Anak-anak dan cucu-cucuku!” Ki Ageng Sela melanjutkan pepalinya.
“Bila kalian ingin terberkati, selamat, dan sehat; jangan angkuh, jahil, serakah,
sok-sokan, hati tidak jujur, sok berani, sombong, jangan berguru pada nafsu. Bila
kalian melakukan itu semua, kalian akan cepat mati.”
Pemanahan dan seluruh anak cucu Ki Ageng Sela hanya mengangguk-
anggukkan kepala saat mendengar sesepuh-nya menyampaikan wejangan.
Sungguhpun demikian, mereka tetap mencerna makna di balik pepali Ki Ageng
Sela yang sangat dalam itu.
“Jangan kalian menyombongkan wajah yang tampan atau cantik, mas dan
harta benda! Tetapi hendaklah kalian mengasihi dan ramah kepada sesama!
Hendaklah kalian malu berbuat dosa pada Tuhan dan melakukan kesalahan salah
pada sesama. Jangan kalian menginginkan istana dan kekuasaan! Jangan berwatak
seperti dukun! Jangan suka mencari kesalahan orang lain! Kenapa? Bila kalian
berbuat salah, kau akan merasa malu sendiri.”
Suasana di ndalem Ki Ageng Sela hening. Tak ada anak cucu Ki Ageng
Sela yeng tampak kian khyusuk menyimak pepali yang belum usai dibabar.
“Orang hidup hendaklah selalu berhati-hati. Agar kalian dapat
mengentarai sesuatu yang semu, mengetahui tingkah polah, hatinya orang yang
baik dan buruk, dan orang jujur yang bercahaya tubuhnya. Selain itu, anak
cucuku! Hendaklah kalian tidak memertuhankan mas intan berlian, pakaian, ilmu,
japa mantra, dan jangan menuruti sastra kalian. Itu semua marahabaya. Sebab itu,
hendaklah kalian waspada pada segala sesuatu di dunia. Waspadalah pula pada
dirimu sendiri! Agar hidup kalian selamat selama hidup di dunia sampai di alam
kematian!”
Usai sudah pepali Ki Ageng Sela. Seluruh anak dan cucu Ki Ageng Sela,
terutama Pemanahan, merasa mendapatkan terang batin. Selain Pemanahan,
mereka pulang ke rumah masing-masing. Sementara Ki Ageng Sela kembali
memasuki ruang panepen. Kembali melaksanakan tapa brata. [ ]

28
JAKA TINGKIR MENGABDI KE DEMAK
MAS Karebet yang dikenal Jaka Tingkir telah memasuki usia dewasa. Sewaktu
merawat padi gaga milik Nyi Ageng Tingkir di ladang, Jaka Tingkir ditemui oleh
Sunan Hadi. Kepada Jaka Tingkir, Sunan Hadi memerintahkannya untuk
mengabdi ke Demak. Sebelum Jaka Tingkir melontarkan jawaban, Sunan Hadi
telah lenyap dari pandangan mata.
Seizin Nyi Ageng Tingkir, Jaka Tingkir pergi ke Demak. Melalui
perantara Ki Ganjur, saudara Nyi Ageng Tingkir, pengabdian Jaka Tingkir
diterima oleh Sultan Trenggana. Sekian lama mengabdi di Demak, Jaka Tingkir
dinobatkan oleh Sultan Trenggana sebagai lurah tamtama.
Karena membunuh Dhadhungawuk yang baru saja terpilih sebagai
tamtama di Demak, Jaka Tingkir mendapat amarah Sultan Trenggana. Jaka
Tingkir diberhentikan sebagai lurah tamtama, diusir dari Demak. Pulanglah Jaka
Tingkir ke Pengging. Sewaktu berziarah di makam Kebo Kenanga ayahnya, Jaka
Tingkir mendapat petunjuk agar datang ke Banyubiru. Oleh Ki Ageng Banyu
Biru, Jaka Tingkir disarankan untuk kembali ke Demak.
“Maaf, Ki Ageng. Bagaimana ananda berani kembali ke Demak? Ananda
sudah diusir oleh Kangjeng Sultan Trenggana.”
“Kangjeng Sultan tak akan marah padamu. Bahkan kau akan
dibutuhkannya, asalkan kau ikuti saranku.”
“Tentu, Ki Ageng.” Jaka Tingkir tampak bersemangat saat menjawab
pernyataan Ki Ageng Banyu Biru. “Apa saran Ki Ageng? Akan Ananda
laksanakan dengan baik.”
“Bawalah segenggam tanah liat yang telah aku beri mantra ini. Suapkan
tanah lihat ini pada seekor kerbau yang akan kau temui di hutan!” Ki Ageng
Banyu Biru memberikan segenggap tanah liat pada Jaka Tingkir. “Selain itu,
bawalah putraku Mas Monca sebagai kawan perjalananmu ke Demak!”
Disertai Mas Monca, Jaka Tingkir pergi ke Demak. Setiba di hutan, Jaka
Tingkir melihat seekor kerbau. Tanpa berpikir panjang, Jaka Tingkir menyuapkan
segenggam tanah liat dari Ki Ageng Banyu Biru ke mulut kerbau. Sontak kerbau
itu mengamuk ke pesanggrahan Prawata, di mana Sultan Trenggagna tengah
berwisata bersama keluarganya.
Kepada beberapa prajurit, Sultan Trenggana memerintahkan agar mencari
Jaka Tingkir untuk menyelamatan dirinya dan keluarganya dari amukan kerbau
itu. Berangkatlah prajurit-prajurit itu. Mereka keluar masuk hutan, hingga
menemukan Jaka Tingkir beserta Mas Monca.
Sesudah mendapat perintah dari pimpinan prajurit yang merupakan
kepercayaan Sultan Trenggana untuk meredam amukan seekor kerbau, Jaka
Tingkir segera bertindak. Sesudah menemukan kerbau itu, Jaka Tingkir berhasil
membunuhnya dengan hanya satu pukulan.
Sultan Trenggana memanggil Jaka Tingkir. Karena keberhasilannya
membunuh kerbau itu, Jaka Tingkir dinikahkan dengan putrinya. Kelak Jaka
Tingkir dinobatkan sebagai sebagai adipati di Pajang. Sesudah kemangkatan
Sultan Trenggana, Sunan Prawata, dan Arya Penangsang, Jaka Tingkir menjadi
Sultan di Pajang bergelar Sultan Hadiwijaya. [ ]

29
RENCANA PEMBUNUHAN
PRAWATA DAN HADIWIJAYA
SEMASA pemerintahan Sultan Trenggana di Demak Bintara, Jaka Tingkir atau
Mas Karebet diangkat sebagai adipati di Pajang bergelar Adipati Hadiwijaya.
Semasa awal berkuasa di Pajang, Hadiwijaya belum memiliki seorang
putra. Karenanya, Hadiwijaya memungut salah satu putra Pamanahan dan Nyai
Ageng Saba bernama Raden Bagus. Oleh Hadiwijaya, Raden Bagus diberi nama
Sutawijaya (putra Hadiwijaya). Karena tinggal di sebelah utara pasar Pajang,
Sutawijaya dikenal dengan Raden Ngabehi Loring Pasar. Sesudah memiliki putra
angkat, Hadiwijaya berputra Pangeran Banawa.
Diangkatnya Hadiwijaya sebagai adipati di Pajang membuat iri hati
Adipati Arya Penangsang dari Jipang. Dengan dukungan Sunan Kudus, Arya
Penangsang ingin menyingkirkan Adipati Hadiwijaya dan Sunan Prawata (putra
Sultan Trenggana) dengan cara tidak langsung.
Melaui dua perjineman-nya – Dhadhang Wiring dan Rangkut – Arya
Penangsang berhasrat membunuh Hadiwijaya dan Prawata. Dhadang Wiring
dipercaya untuk membunuh Hadiwijaya. Sementara, Rangkut dipercaya untuk
membunuh Prawata yang tinggal di gunung Prawata.
Sesudah masing-masing menerima sebilah keris pusaka yang sakti dari
Arya Penangsang, Dhadhang Wirang dan Rangkut meninggalkan Kadipaten
Jipang. Dhadhang Wirang pergi ke Kadipaten Pajang. Sementara, Rangkut pergi
ke Gunung Prawata. Di persimpangan jalan, keduanya berpisah untuk
melaksanakan tugas di tempat yang berbeda.
***

Suatu hari, Pemanahan pergi ke Kadipaten Pajang untuk menjenguk


Sutawijaya putranya. Sewaktu akan pulang ke Sela, Pemanahan tak
diperkenankan oleh Adipati Hadiwijaya. Penguasa Pajang itu meminta agar
Pemanahan menginap di ndalem kadipaten. Sebagai abdi, Pemanahan tak bisa
menolak permintaan sang adipati.
Tengah malam, Pemanahan terbangun dari tidur. Suara hatinya
membisikkan bahwa akan muncul petaka di ndalem Kadipaten Pajang. Bergegas
Pemanahan keluar dari salah satu kamar yang ada di ndalem kadipaten. Ia berjalan
ke halaman belakang. Di tempat itulah, Pemanahan memohon perlindungan
kepada Tuhan atas keselamatan Adipati Hadiwijaya.
Dari halaman belakang ndalem kadipaten, Dhandhang Wiring yang telah
berhasil melompati benteng kadipaten Pajang itu memasuki ruang peraduan
Hadiwijaya. Mengetahui Hadiwijaya tertidur pulas di antara istri-istrinya,
Dhandhang Wiring menikamkan keris pusaka dari Arya Penangsang ke dada
Hadiwijaya berkali-kali. Berkat doa Pemanahan, ujung keris yang dibawa
Dhandhang Wirang itu tidak berhasil melukai kulit Hadiwijaya.
Menjelang matahari terbit di ufuk timur, Adipati Hadiwijaya belum
terbangun dari tidur. Hadiwijaya baru terbangun sesudah mendengar teriakan

30
salah satu istrinya, “Pencuri! Pencuri! Pencuri!” Dengan serta merta, raja
Hadiwijaya bertanya kepada istrinya, “Adakah pencuri? Apa yang dicuri?”
“Ada, Kangmas Adipati. Dia sudah keluar dari tempat peraduan sesudah
gagal membunuh Kangmas dengan kerisnya.”
Bergegas Adipati Hadiwijaya bangkit dari ranjang. Keluar dari ruang
peraduannya. Berlari menuju halaman belakang istana untuk menangkap sang
pencuri. Setiba di tujuan, Hadiwijaya melihat Pemanahan menangkap seorang
lelaki yang membawa keris ligan. “Kakang Pemanahan, siapakah lelaki yang kau
tangkap itu? Apakah ia pencuri yang akan membunuhku?”
“Ampun, Kangjeng Adipati. Hamba belum sempat menanyainya”
Pemanahan mengalihkan pandangnya dari Adipati Hadiwijaya ke Dhandhang
Wiring. “Benarkah kau yang akan membunuh Kangjeng Adipati?”
“Benar, Ki Ageng.”
“Kenapa kau ingin membunuh Kangjeng Adipati?”
“Hamba disuruh oleh Gusti Arya Penangsang dari Jipang.”
“Oh?” Pemanahan hanya mengangguk-anggukkan kepala. “Kangjeng
Adipati telah mendengar pengakuan Dhandhang Wiring bukan? Sekarang tinggal
bagaimana kebijakan Kangjeng Adipati terhadap orang Jipang ini. Keputusan
Kangjeng Adipati, baik adanya.”
“Baiklah, Kakang Pemanahan.” Adipati Hadiwijaya menatap tajam kepada
Dhandhang Wiring. “Sebagai penguasa Pajang yang bijaksana dan suka berderma
kepada siapapun, aku tak akan menghukummu. Justu aku ingin memberimu
anugerah berupa pakaian dan uang. Terimalah semua ini! Segera pulanglah ke
Jipang! Laporkan kegagalanmu untuk membunuhku kepada sesembahan-mu!”
Dhandhang Wiring menyanggupi perintah Adipati Hadiwijaya. Sesudah
menerima pakaian dan harta benda dari Hadiwijaya, Dhandhang Wiring pulang ke
Jipang. Menghadap Arya Penangsang untuk melaporkan kegagalannya
membunuh Hadiwijaya. Dhandang Wiring yang gagal membunuh Hadiwijaya itu
tewas ditikam dengan keris Kiai Setan Kober oleh Arya Penangsang.
Selepas kepergian Dhandhang Wiring dari halaman belakang ndalem
Kadipaten Pajang, Pemanahan meminta pamit kepada Hadiwijaya. Tak lama
kemudian, Hadiwijaya yang mengucapkan terima kasih dan selamat jalan pada
Pemanahan itu kembali memasuki ndalem kadipaten bersama istri-istrinya.
***

Sunan Prawata sedang sakit. Saudara-saudara Sunan Prawata berkumpul


di Gunung Prawata untuk menjenguk dan menungguinya. Salah seorang dari
mereka adalah adik kandung Sunan Prawata yang tinggal di Kalinyamat. Ia
dikenal dengan nama Ratu Kalinyamat.
Rangkut yang disuruh oleh Arya Penangsang telah sampai di pekarangan
tempat hunian Sunan Prawata. Dengan keris Kiai Betok, ia memasuki ruang
peraduan Sunan Prawata. Sial bagi Rangkut. Sunan Prawata yang tubuhnya sangat
lemah itu belum tertidur.
“Kau siapa memasuki ruang peraduanku tanpa seizinku?”
“Nama hamba Rangkut.”
“Apa tujuanmu memasuki ruang peraduanku?”

31
“Hamba disuruh oleh Kangjeng Adipati Arya Penangsang untuk
membunuh Kangjeng Sunan Prawata.”
Sunan Prawata hanya tersenyum saat mendengar pengakuan lugas dari
Rangkut. “Silakan membunuhku! Aku ikhlas dengan nyawaku. Tetapi, bunuhlah
aku sesudah aku benar-benar tertidur pulas!”
“Baiklah, Kangjeng Sunan. Hamba akan melaksanakan dengan baik.”
Mendengar jawaban Rangkut, Sunan Prawata segera memejamkan
sepasang matanya. Namun sebelum Sunan Prawata benar-benar tertidur, Rangkut
menikamkan keris Kiai Betok ke dada sang sunan. Dengan amarah berkobar-
kobar, Sunan Prawata menarik keris Kiai Betok dari dadanya. Sunan Prawata
melemparkan keris itu tepat ke uluh hati Rangkut. Sunan Prawata dan Rangkut
menghembuskan napas terakhir hampir bersamaan.
Peristiwa pembunuhan Sunan Prawata di tangan Rangkut diconangi oleh
Ratu Kalinyamat. Melihat keris Kiai Betok, Ratu Kalinyamat memiliki dugaan
sangat kuat bahwa pesuruh Rangkut untuk membunuh Sunan Prawata kakaknya
tak lain Adipati Jipang si Arya Penangsang.
Tidak terima Sunan Prawata dibunuh oleh Rangkut, utusan Arya
Penangsang, Ratu Kalinyamat yang melakukan tapa asinjang rikma di sendang
itu bersumpah, “Aku tak akan mengenakan jarit sepanjang hidup, bila Arya
Penangsang belum tewas. Bagi siapa saja yang berhasil membunuh Arya
Penangsang, aku akan mengabdinya.”
Seusai sumpah Ratu Kalinyamat, langit menggelegarkan guntur yang
sangat keras. Sumpah itu bukan hanya terdengar sampai Kadipaten Jipang, namun
pula sampai di telinga Adipati Hadiwijaya di Pajang. Dari peristiwa inilah kelak
menimbulkan perang antara Jipang dan Pajang yang didukung penuh oleh orang-
orang Sela di Sungai Bengawan Sore. Sungai yang sekarang dikenal dengan nama
Bengawan Solo. [ ]

32
RATU KALINYAMAT BERTAPA
MENDENGAR Ratu Kalinyamat bertapa telanjang di sendang di bawah pohon
kemuning di tlatah Prawata, Adipati Hadiwijaya bergegas meninggalkan Pajang.
Tak ada tujuan, selain ingin bertemu dengan kakak iparnya yang tengah dalam
keprihatian sepeninggal Sunan Prawata.
Sesampai tujuan, Adipati Hadiwijaya bersua dengan Ratu Kalinyamat.
Akan tetapi, Hadiwijaya tak dapat berhadap-hadapan dengan saudara iparnya.
Mengingat Ratu Kalinyamat yang bertapa tanpa menutup auratnya dengan seutas
benang itu tak dapat dilihat oleh seorang lelaki.
“Kangmbok Ratu, berlindunglah dari balik rerimbun semak-semak!”
Adipati Hadiwijaya membuka pembicaraan. “Aku ingin berbicara penting
denganmu.”
Di balik rerimbun semak-semak, Ratu Kalinyamat menemui Adipati
Hadiwijaya. “Mau bicara apa, Dhimas Hadiwijaya?”
“Apakah Kangmbok Ratu bertapa karena meninggalnya Kangmas Sunan
Prawata di tangan Rangkut, utusan Kakang Adipati Arya Penangsang?”
“Benar, Dhimas.” Ratu Kalinyamat menjawab dengan nada suara yang
berat. “Karenanya, aku belum akan menyelesaikan tapa brataku sebelum Arya
Penangsang tewas. Bila Dhimas bersedia membunuh Arya Penangsang, aku akan
mengabdi padamu sepanjang hayatku.”
“Bukan pengadian Kangmbok Ratu yang aku inginkan sebagai hadiah.
Tetapi….” Adipati Hadiwijaya mengerling seorang anak perempuan berusia
sembilan bulan. “Gadis kecil itu yang aku inginkan sebagai hadiah. Bila sudah
akil balik, aku ingin menikahinya.”
“Bila gadis itu yang kau minta, aku akan menyerahkannya dengan ikhlas.
Asalkan kau berhasil membunuh satruku si Arya Penangsang.”
Adipati Hadiwijaya berbinar wajahnya. Sesudah menganggap cukup
pembicaraan dengan Ratu Kalinyamat, Hadiwijaya pulang ke Pajang. Memberi
mandat kepada para bawahannya untuk menyampaikan pengumuman kepada para
punggawa dan kawula bahwa barang siapa dapat membunuh Arya Penangsang
akan mendapat hadiah tanah Mataram dan Pati.
Akan tetapi, tak seorang di antara para punggawa dan kawula yang berani
melawan Arya Penangsang. Berdukalah Adipati Hadiwijaya ketika tak seorang
pun yang bernyali melawan Arya Penangsang. Hadiwijaya pun merasa malu bila
tak sanggup memenuhi janjinya kepada Ratu Kalinyamat untuk membunuh
Adipati Arya Penangsang. Sungguh! Di mata Hadiwijaya, langit yang
membentang biru siang itu tampak berselimutkan awan pekat. [ ]

33
ARYA PENANGSANG GUGUR
PENGUMUMAN dari Adipati Hadiwijaya tentang sayembara pembunuhan Arya
Penangsang berhadiah bumi Mataram dan Pati telah sampai di telinga Pemanahan.
Karenanya Pemanahan segera mengundang kedua adiknya, Ki Penjawi dan Ki
Juru. Selagi ketiganya berembuk perihal sayembara Hadiwijaya, Sunan Hadi yang
tengah mengembara itu mengampiri mereka.
“Pemanahan, Penjawi, dan kamu Juru….” Sunan Hadi membuka
pembicaraan. “Apakah kalian sudah mendengar pengumuman sayembara dari
Hadiwijaya Pajang bahwa barang siapa dapat membunuh Arya Penangsang akan
mendapatkan hadian bumi Mataram dan Pati?”
“Ya, Kangjeng Sunan. Kami telah mendengarnya.”
“Apakah kalian bertiga mampu menandingi Arya Penangsang?”
“Kami mampu asal mendapat restu dari Kangjeng Sunan Hadi.”
“Aku akan merestui.” Sunan Hadi tersenyum. “Kalian akan berhasil
membunuh Arya Penangsang, asal kalian disertai oleh Jebeng Sutawijaya. Hanya
Sutawijaya yang bisa menandingi adipati Jipang.”
“Adakah syarat yang lain, Kangjeng Sunan?”
“Hendaklah Ki Juru sebagai botoh dalam upaya menaklukkan Arya
Penangsang. Kalian pula tak boleh berpisah antara satu dengan lainnya.”
Sebelum Pemanahan menyampaikan ucapan terima kasih, Sunan Hadi
telah lenyap dari pandangan. Selepas Sunan Hadi, Pemanahan beserta Ki Penjawi
dan Ki Juru menghadap Adipati Hadiwijaya yang tengah dihadap para punggawa,
kerabat, dan keluarga di penangkilan. Mereka bersedia mengikuti sayembara
untuk membunuh Arya Penangsang.
“Sungguh bahagia hatiku, Kakang Pemanahan.” Adipati Hadiwijaya
menyemburatkan senyum seperti matahari pagi. “Berkat kesediaan Kakang, aku
akan memberikan bantuan padamu berupa separuh prajurit Pajang. Bawalah untuk
menjadi kekuatanmu!”
“Terima kasih, Kangjeng Adipati.” Pemanahan melirik Ki Penjawi dan Ki
Juru. “Bolehkah hamba menyampaikan permohonan?”
“Apa yang kau minta, Kakang? Sebutkan!”
“Ampun, Kangjeng Adiapti. Bukan apa, tapi siapa?”
“Siapa yang akan kau minta?”
“Tak lain, putra hamba Sutawijaya.”
“Apa?” Adipati Hadiwijaya terdiam seribu bahasa. “Ingat, Kakang!
Putraku Sutawijaya masih anak-anak. Sangat bahaya bila diajukan di medan
laga.”
“Hanya melalui Jebeng Sutawija, menurut Kangjeng Sunan Hadi, Arya
Penangsang akan berhasil ditundukkan.”
“Baiklah, Kakang. Bawalah Jebeng Sutawijaya di medan laga! Tapi,
pesanku….” Adipati Hadiwijaya terdiam sesaat. “Jagalah dia! Bila sampai terluka
hingga sampai gugur di medan laga, kepala Kakang yang akan menjadi
penggantinya.”
“Hamba bersedia menyerahkan kepala hamba, bila Jebeng Sutawijaya
sampai terluka. Ia pasti selamat. Jaya di medan laga.”

34
“Kalau begitu….” Adipati Hadiwijaya mengerling Sutawijaya. “Aku
izinkan putraku menyertaimu di medan laga.”
Seusai mendengar perkataan Adipati Hadiwijaya, Pemanahan beserta Ki
Penjawi, Ki Juru, pasukan Pajang, Sela, Laweyan, Kembang Lampir, Tarub, Saba,
dan Sutawijaya sendiri meninggalkan kotapraja. Menuju sebelah barat sungai
Bengawan Sore.
Beserta Ki Juru dan Ki Penjawi, Pemanahan menyeberangi Bengawan
Sore. Mencari seorang gamel yang akan dijadikan sarana untuk menantang perang
pada Arya Penangsang. Sesudah menemukan seorang tukang rumput untuk kuda
Kiai Gagak Rimang, mereka mengiris salah satu telinganya dan membelinya
seharga duapuluh reyal. Sesudah mengiris telinga itu, mereka menyematkan
secarik surat tantangan perang kepada Arya Penangsang.
Karena tidak terima atas perlakuan orang-orang Sela, tukang rumput
menghadap Arya Penangsang. Melaporkan bahwa orang-orang Sela telah
menganiaya dirinya. Mengirim surat tantangan kepada adipati Jipang yang tengah
berbuka sesudah menjalankan puasa.
Disaksikan oleh Tumenggung Metahun, tukang rumput, dan Dyah Retna
Larasati istrinya; Arya Penangsang membaca surat dari orang-orang Sela, “Hei,
Arya Penangsang. Bila kau lelaki sejati, hadapi kami. Orang-orang Sela tak sabar
menunggumu di sebelah barat Sungai Bengawan Sore. Bila kau tak bernyali,
sebaiknya kau kenakan saja jarit layaknya perempuan.”
Usai membaca surat tantangan, Arya Penangsang mengepal nasi di piring.
Membanting nasi itu ke lantai sebelum memukul piring hingga pecah berpuingan.
Serupa api berkobar-kobar, amarah Arya Penangsang membakar akal sehatnya
sendiri. Tanpa memedulikan nasihat Dyah Retna Larasati dan Tumenggung
Metahun, Arya Penangsang berlari menuju kandang kuda. Dengan menunggang
Kiai Gagak Rimang, Arya Penangsang bergerak menuju sebelah timur Sungai
Bengawan Sore.
Mengetahui Arya Penangsang memacu Gagak Rimang menuju sebelah
timur Sungai Bengawan Sore, Tumenggung Metahun bertindak cepat.
Mengumpulkan pasukan Jipang. Mengikuti sesembahannya. Menuju sebelah
timur bengawan. Menghadapi pasukan orang-orang Sela.
Arya Penangsang yang diikuti pasukan Jipang di bawah komendo
Tumenggung Metahun telah sampai di sebelah timur Sungai Bengawan Sore.
Telinga Arya Penangsang serasa tersengat ribuan lebah saat mendengar tantangan
Ki Juru yang tengah siaga berperang bersama pasukannya di sebelah barat
bengawan. Tanpa berpikir panjang, Arya Penangsang melecut Gagak Rimang.
Terjun ke bengawan dan menyeberanginya.
Dengan serempak, pasukan orang-orang Sela menyambut krida Arya
Penangsang. Berkat kesaktian Arya Penangsang dan amuk Gagak Rimang,
banyak orang Sela tewas berkaparan dengan bersimbahkan darah. Melihat
pasukannya mulai berjatuhan, Juru Mrentani melepaskan kuda betina bernama
Sungkali di medan perang.
Sontak Gagak Rimang yang melihat Sungkali melonjak-lonjak hingga
menyebabkan Arya Penangsang terjatuh dari gigir kuda. Tanpa berpikir panjang,
Sutawijaya yang membawa tombak Kiai Pleret itu menikamkan ujungnya ke perut

35
Arya Penangsang. Gugurlah adipati Jipang dengan usus menjurai dari
lambungnya.
Menyaksikan dengan mata telanjang, Tumenggung Metahun dan Dyah
Retna Larasati serempak terjun ke bengawan dan menyeberanginya. Sial bagi
Metahun. Di tangan Ki Penjawi, Metahun tewas. Sementara Larasati bunuh diri
dengan menikamkan patrem di hadapan Sutawijaya.
Orang-orang Jipang yang berkerumun di sebelah timur Sungai Bengawan
Sore merasa ciut nyalinya sesudah menyaksikan ketiga sesembahannya tewas di
tangan orang-orang Sela. Ketika orang-orang Jipang mundur sesudah Tohbahu
menyerah; Ki Juru beserta Ki Penjawi, Ki Pemanahan, dan Sutawijaya segera
menghadap Adipati Hadiwijaya di Pajang. Melaporkan bahwa Arya Penangsang
telah gugur di medan laga. [ ]

36
HADIWIJAYA
AKAN INGKAR JANJI
KI PEMANAHAN, Ki Penjawi, Ki Juru, dan Sutawiya yang hendak menghadap
Adipati Hadiwijaya telah sampai di alun-alun Pajang. Namun sebelum menghadap
raja, mereka ditemui oleh Mas Monca. Melalui Mas Monca, pesan Hadiwijaya
disampaikan kepada Pemanahan dan Penjawi.
Mendengar penuturan Mas Monca bahwa Mataram dan Pati belum bisa
diberikan, Ki Penjawi berhasrat melakukan pemberontakan terhadap Hadiwijaya.
Namun, niat Penjawi itu diurungkan oleh Ki Juru. Akibatnya, Penjawi ingin
menyusul Pemanahan yang pergi untuk bertapa brata. Karena tak tahu kemana
perginya, Penjawi pergi ke Sela. Bertapa dengan berdiri serupa patung.
Sudah sekian tahun, Ki Pemanahan bertapa dengan mengambang di atas
air di tlatah Kembang Lampir. Tak diduga muncullah Sunan Hadi di samping
Pemanahan yang membujur kaku seperti mayat. “Bangunlah, Pemanahan! Jangan
kau menyiksa diri dengan bertapa! Tak perlu khawatir atas hadiah bumi Mataram.
Sudah menjadi kehendak Tuhan, Mataram akan jatuh di tanganmu. Bagunlah!
Aku akan membantumu untuk mendapatkan hakmu.”
Sesudah menggugurkan tapa bratanya, Ki Pemanahan mengikuti langkah
Sunan Hadi menuju Sela. Di desa Sela itulah, Sunan Hadi menggugurkan tapa
brata Ki Penjawai. Dengan membawa serta Pemanahan dan Penjawi, Sunan Hadi
menemui Hadiwijaya di Pajang.
“Sabda pandhita ratu tan kena wola-wali.” Sunan Hadi membuka
pembicaraan di hadapan Adipati Hadiwijaya. “Bila ananda ingin disebut penguasa
sejati, hendaklah apa yang menjadi keputusanmu, jangan kau cabut kembali!
Berikan bumi Pati pada Penjawi. Bumi Mataram kepada Pemanahan.”
“Sungguh ananda bersalah besar pada Kakang Pemanahan dan Penjawi,
Kangjeng Sunan.” Wajah Adipati Hadiwijaya tampak muram. “Kiranya sudah
menjadi kehendak Hyang Sukma. Bumi Pati aku hadiahkan kepada Kakang
Penjawi. Sementara bumi Mataram, aku hadiahkan pada Kakang Pemanahan.”
Mendengar perkataan Adipati Hadiwijaya, Sunan Hadi yang merasa lega
sesudah mengetahui tali persaudaraan Hadiwijaya, Pemanahan, dan Penjawi
kembali terjalin erat itu sontak musnah seperti asap tersapu angin. Selepas Sunan
Hadi, Pemanahan pergi ke Pati. Sementar, Pemanahan pergi ke Mataram. Sejak
itu, Pemanahan dikenal dengan nama Ki Ageng Mataram.
Selepas Ki Pemanahan, Ki Penjawi, dan Ki Juru; Adipati Hadiwijaya
menghadap Sunan Giri untuk mendapatkan restu sebagai raja di Pajang. Berkat
restu Sunan Giri, Hadiwijaya dinobatkan sebagai raja di Pajang bergelar Sultan
Hadiwijaya. Sejak itu, status Pajang yang semula menjadi bawahan Demak
berubah status sebagai kerajaan. Sementara, Demak berubah status sebagai
kadipaten bawahan Kesultanan Pajang. [ ]

37
SUTAWIJAYA MERUSAK TAMANSARI
SEWAKTU mendapatkan hadiah bumi Mataram, Ki Pemanahan dititipi cucu
Ratu Kalinyamat – Retna Dumilah atau Ratu Prawata, putri Sunan Prawata
(Semangkin putri Sunan Prawata, versi Babad Tanah Jawa) – oleh Sultan
Hadiwijaya. Kelak Retna Dumilah yang belum akil balik itu akan dinikahi sendiri
oleh Sultan Hadiwijaya sebagaimana perjanjiannya dengan Ratu Kalinyamat.
Lambat laun, Retna Dumilah menginjak usia dewasa. Melihat ketampanan
Sutawijaya, sang putri jatuh cinta. Sebagai pria dewasa, Sutawijaya pun sangat
tertarik dengan Retna Dumilah. Keduanya yang saling mencintai itu seperti tidak
bisa dipisahkan lagi. Serupa lampu dan cahayanya, api dan panasnya, keris dan
warangka-nya, antan dan lesungnya, atau lingga dan yoninya.
Hubungan Retna Dumilah dan Sutawijaya tidak mendapatkan persetujuan
dari Ki Pemanahan, abdi Pajang yang sangat patuh kepada Sultan Hadiwijaya.
Karenanya, Pemanahan berusaha keras untuk memisahkannya. Takut akan
hukuman yang akan menimpa dirinya.
Berbeda dengan Ki Pemanahan, Nyi Pemanahan sangat mendukung
hubungan cinta Sutawijaya dan Retna Dumilah. Sebagai wanita yang banyak akal,
Nyi Pemanahan memerintahkan Sutawijaya dan Retna Dumilah untuk
mengenakan pakaian serba putih. Sesudah keduanya mengenakan pakaian itu, Nyi
Pemanahan membawa mereka ke alun-alun Pajang. Kepada Sultan Hadiwijaya,
mereka meminta kematian.
Di bawah pohon beringin, Nyi Pemanahan yang pula mengenakan pakaian
putih itu berdiri dengan diapit oleh Sutawijaya dan Retna Dumilah. Menyaksikan
Nyi Pemanahan beserta Sutawijaya dan Retna Dumilah melakukan pepe, Adipati
Moncanagara menghadapkan mereka kepada Sultan Hadiwijaya yang tengah
bersinggasana di penangkilan.
“Apa tujuan Nyi Pemanahan beserta Jebeng Sutawijaya dan Ni Retna
Dumilah menghadapku dengan mengenakan pakain serba putih?” tanya Sultan
Hadiwijaya dengan nada lantang. “Apakah Nyi Pemanahan akan meminta
keadilan kepadaku. Raja Pajang yang harus memberikan keadilan dengan seadil-
adilnya? Tan ban cindhe ban siladan.”
“Ampun Kangjeng Sultan….” Nyi Pemanahan menghaturkan sembah
kepada Sultan Hadiwijaya. “Bukan keadilan yang kami pinta, tetapi hukuman
kematian. Kami telah bersalah. Hamba bersalah karena mendukung hubungan
cinta antara anak hamba si Sutawijaya dengan Ni Retna Dumilah. Anak hamba
bersalah besar karena telah merusak tamansari yang telah Kangjeng Sultan
bangun selama bertahun-tahun. Ni Retna Dumilah tak juga benar karena memilih
anak hamba sebagai calon suaminya. Bukan sebagai istri Kangjeng Sultan. Sebab
itu, bunuhlah kami! Kami merelakan nyawa kami.”
“Semula aku akan menjatuhkan hukuman seberat-beratnya kepada putraku
Sutawijaya karena telah berani merusak tamansari yang sekian lama aku bangun.
Tetapi, sesudah aku mendengar penuturanmu, Nyi Pemanahan, luluh sudah
amarahku. Ibarat api yang berkobar-kobar, amarahku telah padam karena siraman
air ibamu.”

38
Sultan Hadiwijaya menghela napas panjang. Tak lama kemudian, Sultan
Hadiwijaya memanggil Adipagti Moncanegara. Sesudah Moncanegara
menghadapnya, Sultan Hadiwijaya berkata, “Panggilkan penghulu kesultanan,
Mocanagara! Aku merestui putraku Sutawijaya untuk menikah dengan Ni Retna
Dumilah.”
Adipati Moncanegara undur diri dari hadapan Sultan Hadiwijaya. Hanya
dalam beberapa saat, Moncanegara kembali menghadap raja Pajang itu dengan
membawa seorang penghulu kesultanan. Melalui penghulu itu, Sutawijaya dan
Retna Dumilah diresmikan sebagai suami-istri yang sah menurut hukum agama
dan hukum negara.
Menyaksikan pernikahan Sutawijaya dan Retna Dumilah, Nyi Pemanahan
menangkap langit Pajang menyibak awan hingga tampak secercah sinar matahari.
Berbahagialah Nyi Pemanahan. Demikian pula, Sutawijaya dan Retna Dumilah
yang telah direstui oleh Sultan Hadiwijaya. Keduanya berbahagia seluas langit
yang tidak berbatas kaki cakrawala.
Sesudah pernikahan Sutawijaya dan Retna Dumilah, Nyi Pemanahan
pulang ke desa Sela. Sepanjang perjalanan pulang, Nyi Pemanahan menggandeng
Sutawijaya dengan tangan kanan, Retna Dumilah dengan tangan kiri. Setiba di
rumah, mereka mendapatkan sambutan hangat dari Juru Mrentani dan Ki Ageng
Mataram yang mulai sakit-sakitan. [ ]

39
SENAPATI MENIKAHI PUTRI KI AGENG GIRING
JALINAN cinta antara Sutawijaya dan Retna Dumilah telah membuahkan janin
dalam kandungan. Sesudah upacara tingkepan pada bulan ketujuh kehamilan
Retna Dumilah, Ki Ageng Mataram meninggal. Ki Ageng Pati (Ki Penjawi) yang
memiliki putra Adipati Pragola dan Ratu Pati itu pun meninggal. Sungguhpun Ki
Ageng Mataram dan Ki Ageng Pati telah meninggal, namun hubungan keduanya
tetap terjalin erat melalui perkawinan Sutawijaya dengan Ratu Pati.
Sesudah meninggalnya Ki Ageng Mataram, Sutawijaya yang
menyematkan gelar Panembahan Senapati itu menjadi penguasa di Mataram. Pada
awal kekuasaannya di Mataram, Senapati berencana membelot dari pemerintahan
Sultan Hadiwijaya di Pajang. Mengingat Senapati sendiri memiliki tujuan untuk
menjadi raja di tanah Jawa yang terbebas dari bayang-bayang Pajang.
“Pupus tujuanmu untuk membelot dari Pajang, Angger Senapati!” pinta Ki
Juru Mrentani. “Kalau kau lakukan itu, dunia akan bersorak. Bagaimana tidak?
Ada seorang anak berani kepada orang tuanya. Ada seorang bawahan membelot
kepada rajanya. Kangjeng Sultan, guru Angger sendiri. Beliau memiliki banyak
kerabat, pasukan, dan harta benda. Beliau juga suka bertapa brata, beribadah, dan
dikasihi Tuhannya. Kalau Angger Senapati membelot, apa senjata yang bisa
diandalkan? Tak ada. Sama sekali tak ada. Maka pupuslah tujuan itu, Ngger!”
“Tapi, Paman Juru. Ananda ingin menjadi raja di tanah Jawa. Menguasai
tanah Jawa yang terbebas dari bayang-bayang kekuasaan Kangjeng Rama Sultan
Hadiwijaya di Pajang.”
“Angger Senapati berhak menjadi raja di tanah Jawa, namun jangan
nggege mangsa! Kekuasaan Kangjeng Sultan Hadiwijaya masih perkasa seperti
karang yang tak akan mampu dihahancurkan oleh gelombang paling besar dan
dahsyat.” Ki Juru Mrentani sontak teringat dengan nama Ki Ageng Giring,
sahabat Ki Ageng Pemanahan yang tinggal di Gunung Kidul. “Sebaiknya
perhatian Angger Senapati bukan tertuju pada keinginan untuk membelot dari
Kesultanan Pajang, tapi hendaklah waspada pada ancaman Ki Ageng Giring pada
Mataram yang sewaktu-waktu bisa datang. Ki Ageng Giring sendiri yang
merupakan satru di dalam daging Angger Senapati sendiri.”
“Siapakah Ki Ageng Giring itu, Paman Juru?”
“Ki Ageng Giring, sahabat ayahandamu dari Gunungkidul. Semula wahyu
keprabon di tangah Jawa yang terdapat di dalam degan emprit atau degan kambil
ijo dimiliki oleh Ki Ageng Giring. Karena kehendak Hyang Sukma, wahyu
keprabon itu berpindah pada ayahandamu. Karenanya, Ki Ageng Giring dan
ayahandamu melakukan perjanjian. Hasil perjanjian yang dilaksanakan di hutan
Mentaok itu menyatakan bahwa keturunan Ki Ageng Giring kelak berhak menjadi
raja di Mataram.”
Mendengar penuturan Ki Juru Mrentani, Senapati tampak murung.
Waswas bila Mataram kelak tidak dikuasai oleh keturunannya, melainkan
keturunan Ki Ageng Giring. “Paman Juru, ananda tak menghendaki Mataram
jatuh di tangan keturunan Giring. Sedumuk bathuk senyari bumi, Mataram akan
aku lindungi dari Ki Ageng Giring sampai mati.”
“Benar, Angger. Sangat benar pendirianmu.”

40
Apakah Paman memiliki jalan keluarnya agar Mataram tidak jatuh pada Ki
Ageng Giring? Apakah Giring harus kita serang?”
“Tak perlu perang yang mengorbankan banyak korban jiwa, harta, dan
benda. Bukan okol yang kita gunakan untuk melindungi Mataram dari keturunan
Ki Ageng Giring. Tetapi dengan akal. Mataram tak jatuh di tangan keturunan Ki
Ageng Giring, asalkan Angger Senapati bersedia menikahi putrinya.”
“Ehm….” Panembahan tampak tengah berpikir keras untuk mengambil
keputusan yang paling bijak. “Baiklah, Paman. Ananda bersedia menikahi putri
Ki Ageng Giring.”
Juru Mrentani sangat berbahagia ketika Senapati bersedia menikahi putri
Ki Ageng Giring. Tanpa menunggu hari berganti hari, Juru Mrentani beserta
Senapati pergi ke Gunungkidul untuk melamar putri Ki Ageng Giring. Ketika Ki
Ageng Giring merestui putrinya menikah dengan Senapati, Juru Mrentani
menangkap Mataram tak akan jatuh di tangan keturunan Ki Ageng Giring
selamanya.
Sesudah Senapati melamar putri Ki Ageng Giring, Ratu Prawata (Retna
Dumilah) melahirkan seorang putra bernama Raden Rangga. Seorang anak
berwajah tampan, kuat, dan sakti mandraguna. Ia pula dikenal sebagai anak yang
bengal. Sebagai bukti, ia suka mengganggu Juru Mrentani dengan memindahkan
padasan yang akan digunakannya untuk wudlu. [ ]

41
SENAPATI MEMBANGUN KOTA MATARAM
SUNAN Hadi yang berkelana mengelilingi tanah Jawa singgah sejenak di
Mataram. Menemui Senapati yang tengah membangun kota. Disarankan oleh
Sunan Hadi, hendaklah Senapati membangun rumah berpagar dan kandang. Agar
Senapati dapat tinggal dan beristirahat di dalam rumah. Seluruh binatang piaraan
agar dapat dikandangkan di tempat yang layak. Karenanya beserta rakyat
Mataram, Senapati membangun tempat tinggalnya.
Berita tentang Senapati yang sedang membangun terdengar sampai telinga
Sultan Hadiwijaya di Pajang. Karenanya ketika dihadap oleh para adipati
Moncanegara, Hadiwijaya yang akan menikahkan Pangeran Banawa putranya itu
memerintahkan Ki Pulungjiwa dan Ki Jiwaraga untuk datang ke Mataram.
Mereka mendapat perintah dari Hadiwijaya untuk membuktikan kabar tersiar
tentang Senapati yang tengah membangun di Mataram.
Sesampai di Mataram, Pulungjiwa dan Jiwaraga menyaksikan Senapati
benar-benar tengah membangun bersama rakyatnya. Bertanyalah Pulungjawa
kepada Senapati yang duduk di atas kudanya, “Hamba berdua mendapat mandat
dari Kangjeng Sultan Hadiwijaya untuk membuktikan tentang Denmas Senapati
yang tengah mendirikan bangunan. Bangunan ini untuk apa?”
“Aku tengah membangun rumah dan pagarnya. Sampaikan apa yang aku
katakan ini kepada ayahanda Sultan!” pinta Senapati pada Pulungjiwa. “Apa
setiap orang yang membangun rumah pribadi harus memberitahukan, terlebih
meminta izin kepada raja?”
Tanpa memberikan jawaban, Pulungjiwa dan Jiwa Raga pulang ke Pajang.
Menghadap Sultan Hadiwijaya yang tengah bersinggasana di penangkilan
bersama Adipati Moncanagara dan para punggawa lainnya. “Ampun, Kangjeng
Sultan. Hamba melaporkan bahwa Denmas Senapati memang tengah membangun,
namun bukan istana, melainkan rumah berpagar. Denmas Senapati sengaja tidak
memberikan laporan kepada Kangjeng Sultan. Katanya, tidak lumrah membangun
rumah pribadi harus melapor dan meminta izin kepada raja.”
“Ampun, Kangjeng Sultan,” sela Adipati Moncanegara. “Perintahkan
hamba untuk datang ke Mataram! Biar hamba sendiri yang akan menemui
Nakmas Senapati. Memertanyakan apakah ia membangun rumah atau istana?”
“Baiklah, Adipati Moncanegara.” Sultan Hadiwijaya menghela napas.
“Perjalananmu ke Mataram hendaklah jangan sendiri! Putraku Banawa biarlah
menjadi kawan perjalananmu.”
Seusai sabda Sultan Hadiwijaya, Adipati Moncanegara dan Pangeran
Banawa meninggalkan penangkilan. Mereka berangkat menuju Mataram. Setiba
di gredegan; mereka dijemput oleh Senapati, Juru Mrentani, dan Raden Rangga
yang baru saja datang dari Mataram dengan berkuda.
Menyaksikan Raden Rangga yang tidak mau turun dari kudanya, Adipati
Moncanegara bertanya pada Ki Juru Mrentani, “Maaf, Ki Juru. Siapakah bocah
yang tidak mau turun dari kudanya itu?”
“He…, he…, he….” Ki Juru Mrentani tertawa kecil. “Dia putra Angger
Senapati yang lahir dari putri Prawata.”
“Aku baru tahu, kalau Nakmas Senapati sudah punya putra sebesar itu.”

42
“Maafkan putraku bila kurang sopan, Wa Moncanegara!” Senapati berkata
dengan nada rendah. “Aku ucapkan selamat datang kepada Wa Moncanegara dan
Dhimas Banawa. Mari kita segera ke Mataram! Sambutan dan hidangan sudah
menunggu Wa Moncanegara dan Dhimas Banawa.”
Sebelum matahari bersinggasana di pusar langit, kedua duta Pajang beserta
ketiga orang penting Mataram itu memacu kudanya. Menuju kota Mataram yang
mulai tampak tertata dan asri. Tidak sebagaimana beberapa tahun silam yang
masih berupa hutan belantara.
Sesampai di kota Mataram, Adipati Moncanengara dan Pangeran Banawa
mendapatkan sambutan hangat. Mereka mendapat aneka hidangan lezat. Sesudah
makan dan minum, Moncanegara bertanya kepada Senapati, “Nakmas Senapati,
kenapa kau membangun kota? Kenapa pula Nakmas membuat batas antara
Mataram dan Pajang?”
“Ampun, Wa Adipati. Ananda tidak membangun kota. Apalagi membuat
batas antara Mataram dan Pajang. Ananda hanya memenuhi permintaan Kangjeng
Sunan Hadi. Beliau memerintahkan kepada ananda untuk membuat rumah sebagai
tempat tinggal. Karenanya, ananda tidak melapor dan meminta izin kepada
ayahanda Sultan.”
“Baiklah, Nakmas Senapati.” Adipati Moncanegara tampak lega sesudah
mendapat jawaban Senapati. “Hanya pesanku, hendaklah Nakmas tidak sesekali
berani kepada ayah sendiri. Menurut ajaran agama, berani pada ayah sendiri
merupakan dosa besar.”
“Pesan Wa Adipati akan ananda ingat selalu.”
“Bagus, Nakmas Senapati.”
Tujuh hari kemudian, Adipati Moncanegara dan Pangeran Banawa pulang
ke Pajang. Sepulah kedua duta Pajang itu, Senapati beserta para punggawa dan
rakyat Mataram kembali membangun kota. Tanpa memedulikan teguran Sultan
Hadiwijaya melalui duta-dutanya. [ ]

43
SENAPATI BERTEMU RATU KIDUL
KI JURU Mrentani tidak berkenan ketika Senapati membelokkan para mantri
pemajekan yang akan menyetor pajak pada Kesultanan Pajang itu ke Mataram.
Terlebih ketika pajak yang diberikan oleh para mantri pajak pada Senapati itu
untuk beaya pembangunan Kota Mataram.
“Angger Senapati, hendaklah caramu untuk membangun kota Mataram
tidak menggunakan cara tak terpuji dengan merampas pajak yang akan disetor
para mantri pemajekan ke Pajang!” pinta Ki Juru Mrentani tegas. “Jika Angger
Senapati ingin menjadi raja di tanah Jawa hendaklah pula tidak ditempuh dengan
jalan yang tak diridlai Tuhan. Gunakan jalan dengan cara bertapa brata, Ngger!”
Mendengar nasihat Ki Juru Mrentani, Senapati tersadarkan atas caranya
untuk menjadi raja dengan cara tidak terpuji. Tanpa sepengetahuan Ki Juru
Mrentani, Senapati meninggalkan kota Mataram. Bertapa brata di Lipura dengan
duduk bersila di atas sebongkah batu gilang.
Ki Juru Mrentani mencari-cari ke mana perginya Senapati. Atas petunjuk
Tuhan, Juru Mrentani berjalan ke arah barat daya. Sesampai di Lipura, Juru
Mrentani menyaksikan seorang lelaki tengah duduk di atas batu gilang. Dialah
Senapati yang baru saja menerima petunjuk Illahi.
“Bertepatan Paman Juru datang ke mari, ananda mendapat petunjuk
Illahi.”
“Petunjuk apa, Ngger?”
“Ananda bermimpi didatangi dua bintang yang turun dari angkasa. Apa
maknanya, Paman?”
“Dua bintang itu maknanya dua penguasa gaib di tanah Jawa. Mereka
adalah penguasa Gunung Merapi dan penguasa Laut Kidul.” Ki Juru Mrentani
sejenak hening untuk menguak petunjuk Illahi yang diterima Senapati. “Sebab itu,
Angger. Bila cita-cita Angger untuk menjadi raja di tanah Jawa, berjalanlah ke
selatan! Mencerburlah ke Laut Selatan! Semoga Angger mendapat petunjuk dan
anugerah Illahi melalui makhluknya.”
“Lantas…. Bagaimana dengan Paman Juru?”
“Biarlah aku yang naik ke gunung Merapi,” jawab Ki Juru Mrentani.
“Sekarang segeralah lanjutkan tapa bratamu!”
Seusai Juru Mrentani meninggalkan Lipura, Senapati berjalan arah Laut
Kidul. Mencebur ke samudra. Pasrah mengikuti arus gelombang yang ganas.
Terombang-ambing di lautan seperti sampah. Hingga tersangkut di rawa-rawa
yang tumbuh merimbun di pantai.
Mengetahui Senapati yang tampak pingsan ketika tersangkut di rawa-rawa
itu, Tunggulwulung menyadarkannya. Sesudah tersadar, Tunggulwulung
menghadapkan Senapati pada Ratu Kidul. Penguasa laut selatan yang memiliki
istana sangat indah seperti Kahyangan Jong Giri Saloka.
“Hei, Senapati!” Ratu Kidul memandang haru pada Senapati. “Apa
tujuanmu melakukan tapa brata hingga kau relakan kematianmu?”
“Meminta bantuan Ratu Kidul untuk kejayaan Mataram.”
“Aku akan memenuhi permintaanmu, asal kau mau memenuhi
permintaanku. Bagaimana, Senapati?”

44
“Aku sanggup. Apa permintaan Ratu Kidul?”
“Jadikan aku istrimu. Bagaimana? Kau sanggup?”
“Ya. Aku sanggup, Ratu Kidul.”
Ratu Kidul merasa lega saat mendengar jawaban Senapati. Tak lama
kemudian, keduanya memasuki ruang peraduan. Mereka hanyut dalam gelombang
asmara hingga pagi menjelang. Sesudah terbangun, Senapati meminta pamit pada
Ratu Kidul. Dengan disertai Tunggul Wulung, Senapati pulang ke Mataram.
Setiba di Mataram, Senapati bertemu dengan Ki Juru Mrentani yang baru
saja pulang dari Gunung Merapi. Keduanya merasa lega karena tujuan mereka
untuk meminta bantuan dari dua penguasa gaib di tanah Jawa telah diridlai oleh
Tuhan, sang penguasa jagad raya. [ ]

45
RADEN RANGGA MEMBUNUH
DELAPAN PERJINEMAN PAJANG
KESULTANAN Demak. Sultan Hadiwijaya dihadap oleh Adipati Moncanengara,
Adipati Demak, Adipati Tuban, Pangeran Banawa. Dalam pertemuan itu, Sultan
Hadiwijaya membahas tentang Panembahan Senapati yang sekian lama tidak
menghadap raja. Hasil dari bahasan diputuskan oleh Sultan Hadiwijaya bahwa
Senapati akan membelot dengan Pajang.
Sebelum pertemuan di balairung Pajang itu dibubarkan, Sultan Hadiwijaya
memerintahan Pangeran Banawa dan Adipati Tuban untuk datang ke Mataram.
Menanyakan kepada Panembahan Senapati kenapa sekian tahun tidak menghadap
raja Pajang. Berangkatlah kedua duta Pajang itu ke Mataram dengan disertai
delapan perjineman dan pasukan secukupnya.
Setiba di alun-alun Mataram, Pangeran Banawa dan Adipati Pajang
disambut oleh Panembahan Senapati, Ki Juru Mrentani, dan Raden Rangga.
Kepada Senapati, Adipati Tuban bertanya, “Kedatanganku ke Mataram sebagai
duta Kangjeng Sultan Hadiwijaya untuk menanyakan kepada Nakmas Senapati
kenapa sudah sekian tahun tidak datang ke Pajang?”
“Ampun Wa Adipati!” Panembahan Senapati menjawab dengan wajah
tampak tenang dan berwibawa. “Ananda tidak datang menghadap ayahanda
Sultan karena masih disibukkan dengan pekerjaan di Mataram.”
“Apa Nakmas tidak sedang merencanakan makar kepada Kangjeng
Sultan?”
“Sungguh aneh pertanyaan Wa Adipati.” Senapati Ngalaga tertawa lepas.
“Bagaimana mungkin ananda berani melakukan makar kepada ayahanda Sultan?
Beliau sudah ananda anggap ayahandaku sendiri. Selain itu, Wa Adipati tahu.
Kalau Mataram tidak memiliki pasukan perang. Ketika Wa Adipati datang di
Mataram, apakah melihat seorang prajurit? Tidak bukan?”
“Masuk akal, kalau Nakmas Senapati Ngalaga tidak akan melakukan
makar terhadap Pajang.” Adipati Tuban tersenyum sambil mengerling delapan
perjineman yang dibawanya. “Sebagai wujud keleggaanku karena Nakmas
Senapati tetap setia pada Pajang, izinkan delapan perjineman-ku melakukan
aksinya untuk memeragakan tarian perang.”
“Dengan senang hati, ananda menerima persembahan Wa Adipati.”
Iringan tarian perang yang ditabuh oleh orang-orang Mataram bergema di
angkasa hingga gaungnya sampai ke seluruh penjuru mata angin. Empat
perjineman yang membawa pedang dan perisai. Empat perjineman lainnya yang
membawa tombak segera menari di arena.
Menyaksikan kepongahan delapan perjineman ketika menari itu, hati
Raden Rangga terbakar. Sesudah mendapat izin dari Penembahan Senapati,
Pangeran Banawa, dan Adipati Tuban; Rangga turun di arena tanpa senjata.
Menari bersama delapan perjineman itu.
Baru beberapa gerakan tarian, Raden Rangga yang tak menyukai
kesombongan delapan perjineman Tuban itu menunjukkan kesaktiannya.
Sebatang tombak yang direbut dari seorang perjineman dilentingkan ke angkasa.

46
Ketika tombak itu terjatuh, dada Rangga digunakan untuk sasarannya. Para
penonton yang berkerumun di luar arena bersorak sorai.
Delapan perjineman yang merasa dilecehkan oleh Raden Rangga, hati
mereka terbakar api amarah. Mereka menerjang Rangga dengan senjata yang siap
mencabut nyawa. Tanpa berkelit, Rangga membiarkan tubuhnya yang kebal
menjadi sasaran pedang dan ujung tombak. Saat mencapai puncak kemarahannya,
Rangga membunuh delapan perjineman itu dengan mengadunya satu lawan satu.
Mereka tewas dengan kepala hancur. Darah yang muncrat dari dua kepala yang
berbenturan itu membasahi rumput alun-alun Mataram.
Mengetahui delapan perjineman-nya tewas di tangan Raden Rangga,
Adipati Tuban meninggalkan alun-alun Mataram tanpa pamit. Pulang ke Pajang
bersama sisa pasukannya. Tak ada tujuan, selain melaporkan bahwa Panembahan
Senapati membiarkan Raden Rangga membunuh delapan perjineman-nya.
Pembiaran yang menyiratkan tanda bahwa Senapati ingin makar terhadap Pajang.
Selepas Adipati Tuban, Pangeran Banawa meminta pamit pada
Panembahan Senapati sesudah menyampaikan pesan, “Hendaklah Kangmas
Senapati berhati-hati. Siapa tahu Adipati Tuban nanti melaporkan peristiwa
pembunuhan delapan perjineman oleh Angger Rangga sanggup membakar
amarah ayahanda Sultan.”
Disertai Ki Juru Mrentani dan Raden Rangga, Panembahan Senapati yang
melepas kepergian Pangeran Banawa itu meninggalkan alun-alun Mataram.
Memasuki ruang peristirahatannya. Bukannya untuk tidur, melainkan memikirkan
langkah-langkah apa untuk menanggulangi serangan dari Kesultanan Pajang yang
bisa datang sewaktu-waktu. [ ]

47
RADEN RANGGA
BERTARUNG MELAWAN NAGA
IBARAT hujan di bulan Januari, kenakalan Raden Rangga tak pernah reda.
Bahkan kenakalannya semakin menjadi-jadi.
Suatu hari, Raden Rangga melubangi lempengan batu yang dijadikan oleh
Ki Juru Mrentani sebagai dasaran kaki untuk berwudlu itu dengan ujung jari
telunjuknya. Saat dikerjai oleh Raden Rangga, Ki Juru Mrentani yang telah
mengendap jiwanya itu tak marah, melainkan menyadarkannya dengan cara halus.
“Cucuku Rangga. Sudah dikodratkan bila batu lebih keras dari jari telunjukmu.”
Raden Rangga terbengong-bengong ketika menyaksikan lempengan batu
yang berlubang-lubang itu kembali utuh seperti semula. Rangga pun mengaduh
ketika telunjuknya terasa sakit. Sejak itu, Rangga tak lagi menggangu Ki Juru
Mrentani. Rangga sangat menghormati sesepuh Mataram itu.
Di bawah pohon beringin, Raden Rangga merenungi sifat sok saktinya.
Ketika dalam permenungannya, Rangga dipanggil Panembahan Senapati yang
tengah duduk bersila di atas sebongkah batu gilang. “Bila kau benar-benar sakti,
Rangga. Patahkan jariku ini!”
Takut menolak perintah ayahandanya, Raden Rangga mendekati
Panembahan Senapati. Karena merasa sakit saat Rangga ingin mematahkan
jarinya, Senapati melemparkan putranya itu sampai keluar banteng. Karena
terhantam tubuh rangga, banteng itu sampai berlubang.
Merasa dimarahi oleh Panembahan Senapati, Raden Rangga beserta
abdinya meninggalkan kota Mataram. Memasuki hutan belantara yang penuh
binatang buas. Di tengah perjalanan, Rangga bertemu seekor naga sebesar dan
sepanjang pohon kelapa. Kepalanya bermahkota. Berkaki dengan kuku-kuku
runcing beracun. Lidahnya yang bercabang menjulur-julur. Kedua matanya
menyala merah. Sisik-sisiknya menyala keemasan.
Lantaran naga itu akan menyerang abdinya, Raden Rangga bertindak
cepat. Melentingkan tubuhnya yang seringan kapas. Menerkam naga itu seperti
rajawali menangkap mangsanya. Mencekik leher dan memukul kepala naga itu
hingga hancur. Darah muncrat. Bersimbah di tanah.
Seusai membunuh naga, Raden Rangga dan abdinya pulang ke Mataram.
Sesampai di pantinya, Rangga dipeluk erat-erat oleh Ratu Prawata ibunya. Entah
saat memeluk Rangga, Ratu Prawata merasa akan kehilangan putranya itu untuk
selama-lamanya.
Benar apa yang dirasakan Ratu Prawata. Beberapa hari sesudah bertarung
dengan naga bermahkota di tengah hutan itu, Raden Rangga sakit. Semakin lama,
sakit Rangga semakin parah. Tak ada tabib yang bisa mengobatinya. Tak ada
orang pintar sanggup menolongnya.
Hingga suatu hari, suratan takdir Raden Rangga telah tiba. Menjelang
langit memuntahkan hujan, Raden Rangga menghembuskan napas terakhirnya.
Sukma meninggalkan raga. Sebagian orang bilang, “Rangga telah tinggal damai di
alam keabadian.” Sebagian orang lainnya bilang, “Rangga telah damai dalam
asuhan Ratu Kidul. [ ]

48
TUMENGGUNG MAYANG
AKAN DIBUANG KE JEPARA
DIKISAHKAN tentang Tumenggung Mayang yang merupakan saudara ipar dari
Senapati Ngalaga di Mataram. Ia memiliki seorang putra berwajah tampan
bernama Raden Pabelan. Karena ketampanannya, putri Sultan Hadiwijaya di
Pajang yang bernama Dyah Ayu Retna Kemuning jatuh cinta.
Cinta tak bertepuk sebelah tangan. Kepada Retna Kemuning, Raden
Pabelan pun sangat mencintainya. Siang dan malam tak ada yang dipikirkan
Pabelan, selain putri Sultan Pajang itu. Karena takut tidak mendapatkan restu dari
Sultan Pajang, Pabelan sering menemui Retna Kemuning dengan cara memasuki
tamansari pada waktu malam hari.
Apes bagi Raden Pabelan. Sewaktu berkasih-kasihan dengan Retna
Kemuning, Pabelan diconangi oleh para prajurit yang tengah berjaga malam.
Pabelan ditangkap. Dihadapkan pada Sultan Hadiwijaya. Oleh raja Pajang itu,
Pabelan dihukum mati.
Kesalahan Pabelan terhadap Sultan Hadiwijaya dianggap sebagai
kesalahan Tumenggung Mayang dan istrinya. Karenanya, raja Pajang itu
memutuskan untuk membuang kedua orang tua Pabelan ke Jepara. Berita tentang
pembuangan mereka yang dikawal seribu prajurit itu sampai di telinga
Panembahan Senapati sesudah membaca surat dari ibu Pabelan.
Murkalah Panembahan Senapati atas tindakan Sultan Hadiwijaya yang
membuang saudara kandung dan saudara iparnya ke Jepara. Tanpa berpikir jauh,
Senapati memerintahan kepada empatpuluh mantri pemajegan untuk merebut
kedua orang yang masih sanak saudaranya itu.
Berangkatlah para mantri pemajegan. Mereka meninggalkan Mataram dan
melewati Bayalali. Sesampai Salatiga, mereka bertemu dengan para prajurit
Pajang yang membawa Tumenggung Mayang dan istrinya untuk dibuang ke
Jepara. Terjadilah perang yang amat dahsyat.
Karena para mantri pemajegan bukan orang-orang sembarangan, banyak
prajurit Pajang yang menjadi tumbal perang. Para mantri pemajegan itu berhasil
merebut Tumenggung Mayang dan istrinya. Keduanya diserahkan oleh mereka
kepada Panembahan Senapati.
Sementara para prajurit Pajang yang selamat dari perang melawan
empatpuluh mantri pemajegan berlari ke Pajang. Melaporkan kepada Sultan
Hadiwijaya bahwa Tumenggung Mayang dan istrinya berhasil direbut oleh
Panembahan Senapati melalui para mantri pemajegan. Sontak murkalah
Hadiwijaya. Akibat peristiwa inilah, Hadiwijaya bertekat menyerang Mataram. [ ]

49
PAJANG MENYERANG MATARAM
SELURUH pasukan Pajang yang mendapat dukungan Tuban, Demak, Palembang,
Betawi, Madura, Cirebon, Sumedang, Kerawang, Surabaya, Blambangan, Kediri,
Jipang, Madiun, Banten, dan Panaraga berkumpul di alun-alun. Ambang matahari
terbit dari ufuk timur, pasukan yang dipimpin langsung oleh Sultan Hadiwijaya itu
bergerak ke Mataram.
Mendengar pasukan Pajang bergerak ke Mataram, Senapati Ngalaga yang
dihadap oleh Ki Juru Mrentani, Tumenggung Mayang, dan empatpuluh mantri
pemajegan segera memersiapkan pasukannya. Semasa pasukan Pajang berkemah
di Prambanan dan Sultan Hadiwijaya ber-pesanggrahan di Borongan, pasukan
Mataram mendirikan perkemahan di Randugunting.
Dari laporan Adipati Moncanagara bahwa pasukan Mataram siap
menghadapi pasukan Pajang di Randugunting, Sultan Hadiwijaya marah besar.
Karenanya, Sultan Pajang itu segera memerintahkan kepada seluruh pasukannya
untuk menyerbu Randugunting.
Menangkap isyarat bahwa pasukan Mataram dalam ancaram serangan
pasukan Pajang, Ratu Kidul segera bertindak, Mengumpulkan pasukan jin dari
Laut Kidul di bawah panglima perang Ratu Retna Kencana dan pasukan Gunung
Merapi di bawah panglima perang Sunan Lawu. Mereka bergerak untuk
membantu Panembahan Senapati atas serangan Pajang.
Perang Pajang versus Mataram hampir terjadi. Namun sebelum perang itu
pecah, Gunung Merapi meletus. Langit gelap berselimutkan abu Merapi
bercampur awan. Hujan angin bercampur guntur yang digerakkan oleh para
pasukan jin Laut Kidul dan Gunung Merapi itu sontak menghunjam pasukan
Pajang. Dengan serta merta, Sultan Hadiwijaya mengundurkan pasukannya.
Melihat Sultan Hadiwijaya mundur dari medan perang, Sunan Lawu
mengejarnya. Karena gajah tunggangannya tersandung batu besar, Sultan Pajang
terjatuh di samping pohon beringin yang roboh. Adipati Moncanegara dan
Pangeran Banawa turun dari kuda. Menghamipiri Sultan Pajang. Mereka duduk
bersimpuh di hadapan raja. Ngungun dalam hati.
Datanglah Panembahan Senapati dan Ki Juru Mrentani. Beserta pasukan
Mataram, Panembahan Senapati turut mengiringi perjalanan pulang Sultan
Hadiwijaya ke Pajang. Setiba Sultan Hadiwijaya di Pajang, sebagian rakyatnya
bersedih hati saat sang raja pulang membawa kekalahan. Sebagian rakyat lainnya
merasa haru kepada Panembahan Senapati. Sungguhpun sebagai musuh, namun
mengantarkan pulang Sultan Pajang yang merupakan ayah angkatnya sendiri.
Selang sehari, Sultan Hadiwijaya menderita sakit. Ketika sakit mulai
parah, Sultan Pajang yang ditunggu oleh Sunan Kudus dan para punggawanya
menyampaikan pesan kepada Panembahan Senapati, “Bila napasku telah sampai
pada hembusan terakhir, bawalah jasadku ke Mataram. Semayamkan aku di
samping Kakang Pemanahan!”
Seusai menyampaikan pesan pada Panembahan Senapati, Sultan
Hadiwijaya menghembuskan napas terakhir. Menyaksikan Sultan Pajang
mangkat; Sunan Kudus, Adipati Moncanegara, Adipati Demak, Ki Juru Mrentani,
Senapati Ngalaga, dan Pangeran Banawa dalam duka cita yang teramat dalam. [ ]

50
PERANG PAJANG VERSUS JIPANG
ARWAH Sultah Hadiwijaya telah dibawa Senapati Ngalaga menuju Mataram
untuk disemayamkan di samping makam Pemanahan. Sepeninggal Sultan Pajang,
Sunan Kudus mengambil kebijakan bahwa raja pengganti Sultan Pajang adalah
Arya Pangiri, putra Sunan Prawata atau menantu Sultan Hadiwijaya yang
menjabat sebagai adipati di Demak. Sementara, Pangeran Banawa diangkat
sebagai adipati di Jipang. Suatu wilayah bekas kekuasaan Arya Penangsang.
Akibat kebijakan Arya Pangiri yang mengutamakan orang-orang Demak
sebagai punggawa Pajang, banyak punggawa semasa pemerintahan Sultan
Hadiwijaya dilengserkan dari jabatan mereka. Kebijakan Arya Pangiri pula
menimbulkan banyak kekacauan yang mengancam keamanan Pajang. Di Pajang,
banyak kasus kejahatan semisal pencurian, perampokan, dan pemerkosaan yang
ditimbulkan oleh orang-orang Demak.
Kekacauan di Pajang telah didengar oleh Adipati Benawa di Jipang.
Karenanya, Banawa mengutus duta ke Mataram agar Panembahan Senapati
bersedia menjadi sultan di Pajang untuk menggantikan kedudukan Arya Pangiri.
Sesudah memohon pamit, duta itu berangkat ke Mataram.
Di hadapan Panembahan Senapati, duta Jipang itu menyampaikan pesan
dari Adipati Banawa. Namun Senapati menolak untuk dijadikan sultan di Pajang.
Sebaliknya, Senapati justru menyampaikan pesan kepada duta itu, “Hendaklah
Dhimas Banawa bersedia menjadi sultan di Pajang. Aku berharap pula agar
Dhimas pergi ke Mataram bersama pasukan Jipang dengan melalui Gunungkidul.”
Duta Jipang meninggalkan Mataram. Menghadap Adipati Banawa dan
menyampaikan pesan dari Panembahan Senapati.
Sesudah dapat menangkap maksud tersirat dari Panembahan Senapati,
Adipati Banawa berserta pasukannya berangkat ke Mataram melalui
Gunungkidul. Setiba di Weru, Banawa disambut oleh Senapati, pasukan Mataram,
Pasukan Pati, dan orang-orang Pajang yang tidak sepakat atas pemerintahan Arya
Pangiri di Pajang. Tidak ketinggalan pula, beberapa saudara Senapati – Raden
Tompe, Raden Santri, dan Raden Jambu turut menjemput Banawa beserta
pasukannya dari Jipang.
Hasil dari perbincangan antara Panembahan Senapati dan Adipati Banawa
tak lain adalah menyerbu Kesultanan Pajang untuk menurunkan Arya Pangiri dari
tahta kekuasaaannya. Dari Weru, berangkatlah pasukan gabungan Jipang,
Mataram, Pati, dan orang-orang Pajang itu menuju kotapraja Pajang. Pertemuan
pasukan Arya Pangiri yang terdiri dari orang-orang Demak dan Kudus dengan
pasukan gabungan yang dipimpin Banawa dan Senapati tidak dapat dihindari lagi.
Dengan kuda Kiai Bratayuda, Panembahan Senapati mengamuk. Hingga
banyak prajurit Demak dan Kudus mundur dengan berlari tunggang-langgang.
Tidak lama sesudah Pajang dapat ditaklukkan, Arya Pangiri yang diturunkan dari
tahta kekuasaannya itu dipulangkan oleh Panembahan Senapati ke negeri asalnya.
Oleh Senapati, Adipati Banawa dinobatkan sebagai raja Pajang. [ ]

51
MATARAM
MENYERANG MADIUN
DIKISAHKAN bahwa sejak kemangkatan Sultan Hadiwijaya hingga Kesultanan
Pajang dikuasai oleh Arya Pangiri, Panembahan Senapati yang mendapatkan restu
dari Sunan Giri itu menobatkan diri sebagai raja di Mataram. Sementara, Ki Juru
Mrentani diangkat oleh Senapati sebagai patih Mataram. Karena tinggal di
Mandaraka, Juru Mrentani dikenal dengan Patih Mandaraka.
Disikahkan pula bahwa Panembahan Senapati memiliki empat putra dari
ketiga istrinya. Dari Ratu Prawata, Senapati memiliki putra Pangeran Juminah dan
Pangeran Rangga yang telah meninggal sewatu pembangunan kota Mataram. Dari
Retna Dumilah, putri Ki Ageng Pengging, Senapati memiliki putra bernama
Pangeran Purbaya yang kelak menjadi adipati di Demak. Dari Ratu Pati, Senapati
memiliki putra Pangeran Adipati Anom atau Raden Mas Jolang yang kelak
menjadi raja Mataram.
Semasa mengenang ketiga istri dan anak-anaknya, Panembahan Senapati
menerima duta dari Kesultanan Pajang yang menyatakan bahwa Sultan Banawa
telah mangkat. Sepeninggal raja Pajang itu, Senapati mengangkat adik
kandungnya yang bernama Pangeran Tompe sebagai adipati di Pajang. Semasa
menjabat sebagai adipati, Tompe menyematkan gelar Tumenggung Gagakbani.
Sementara Panembahan Senapati yang telah menjabat sebagai raja di
Mataram itu berhasil menundukkan Kadipaten Madiun. Keberhasilan Senapati
dalam menundukkan Madiun itu tidak bisa dilepaskan dengan dukungan Adipati
Pragola dari Kadipaten Pati.
Dengan bedahnya Kadipaten Madiun yang dikuasai oleh Adipati Rangga
Jumena (putra Sunan Prawata), Senapati menyunting putri sang adipati.
Perkawinannya dengan putri Madiun itu, Senapati memiliki seorang putra
bernama Pangeran Pringgalaya.
Telah menjadi takdir Illahi, Panembahan Senapati mangkat sesudah
menundukkan Kadipaten Madiun dan beberapa wilayah di bang wetan. Sebagai
pengganti kedudukannya sebagai raja Mataram adalah Pangeran Adipati Anom.
Putra Senapati yang lahir dari Ratu Pati. Istri kedua yang merupakan putra Ki
Ageng Penjawi dan bersaudara kandung dengan Adipati Pragola. [ ]

52
MINYAK JAJENG KATON
DAN ACANAMAN JURU TAMAN
PANGERAN Adipati Anom (Raden Mas Jolang) menjadi raja bergelar
Susuhunan Adi Prabu Hanyakrawati menggantikan kedudukan Panembahan
Senapati sebagai raja Mataram. Di awal pemerintahan Sunan Hanyakrawati, istana
Mataram kehilangan pusakanya, minyak Jayeng Katon. Maka sang raja Mataram
memerintahkan Pangeran Purbaya untuk mencari pusaka itu.
Sekian lama melakukan penyelidikan, Pangeran Purbaya mengetahui
bahwa yang mencuri pusaka minyak Jayeng Katon adalah Juru Taman. Dicarilah
Juru taman hingga berhasil ditemukannya. “Hei, Juru Taman. Kembalikan minyak
Jayeng Katon! Itu pusaka Mataram yang tidak bisa musnah dari istana. Bila
musnah, maka akan hancurlah Mataram.”
“Mohon ampun, Kangjeng Pangeran. Hamba mohon, Kangjeng Pangeran
jangan asal menuduh!” Juru Taman mengelak. “Hamba tak mencuri minyak
Jayeng Katon. Kalau tak percaya, silakah periksa hamba!”
Pangeran Purbaya memeriksa Juru Taman. Mencari minyak Jayeng Katon
di balik udheng, saku celana, dan kantong kain milik Juru Taman itu. Tetapi, nihil.
Karena marah besar, Pangeran Purbaya mencekik Juru Taman itu hingga
mulutnya terbuka. Saat itu, Pangeran Purbaya melihat minyak Jayeng Katon yang
disembunyikan di taring Juru Taman. Sesudah mengambil paksa minyak Jayeng
Katon, Pangeran Purbaya menikamkan gunting ke ulu hati Juru Taman.
Sebelum menghembuskan napas terakhir, Juru Taman mengancam kepada
Pangeran Purbaya, “Sebentar lagi hamba akan mati, Kangjeng Pangeran. Tapi,
harap Kangjeng Pangeran ingat! Hamba akan menuntut balas bila tanah Jawa
kedatangan orang-orang berkulit bule, bermata biru dan sipit.”
“Aku tak akan gentar dengan ancamanmu, Juru Taman!”
Juru Taman menghembuskan napas terakhir. Tewas dengan tubuh
mengucurkan dari dari ulu hatinya. Sesudah memerintahkan kepada abdi Mataram
untuk mengubur mayat Juru Taman, Pangeran Purbaya pulang ke istana.
Menyerahkan minyak Jayeng Katon kepada Sunan Hanyakrawati. Sesudah
kembali di istana Mataram, raja Mataram itu sangat girang hatinya. Bersyukur
kepada Allah Tangala bahwa Mataram akan jauh dari marabahaya. [ ]

53
PANGERAN RANGSANG
MENJADI RAJA MATARAM
DIKISAHKAN bahwa Sri Susuhunan Prabu Hanyakrawati memiliki tiga orang
putra, dua laki-laki dan satu perempuan. Dua laki-laki putra Sunan Hanyakrawati
adalah Pangeran Natapura dan Pangeran Rangsang. Sementara putra raja Mataram
yang lahir perempuan bernama Ratu Wandan.
Sesudah ketiga putranya dewasa, Sunan Hanyakrawati yang menjadi raja
Mataram paska pemerintahan Panembahan Senapati itu naik haji ke Makkah.
Sepulang dari Makkah, Sunan Hanyakrawati suka berburu di hutan Krapyak. Di
hutan itulah, Sunan Hanyakrawati mangkat. Karena meninggal ketika berburu di
hutan Krapyak, Sunan Hanyakrawati kelak dikenal dengan nama Pangeran Seda
ing Krapyak.
Sebagai pengganti Sunan Hanyakrawati sebagai raja Mataram adalah
Pangeran Natapura. Karena terus sakit-sakitan, Natapura hanya dijadikan sebagai
raja sehari. Pengangaktan Natapura sebagai raja hanya untuk memenuhi sumpah
pada istrinya. Di mana bila kelak istrinya itu melahirkan bayi laki-laki akan
dinobatkan oleh Sunan Hanyakrawati sebagai raja Mataram.
Sesudah Pangeran Natapura turun tahta, Sunan Hanyakrawati mengangkat
Raden Mas Rangsang putranya sebagai raja di Mataram. Semasa awal
pemerintahannya, Raden Mas Rangsang yang disertai Pangeran Juminah dan
Patih Singaranu itu pergi ke Makkah. Tidak ada satu tujuan yang ingin dicapai
oleh Raden Mas Rangsang selain ingin mendapatkan gelar Sultan dari Sarif
Makkah. Oleh Syarif Makkah, gelar Sultan diberikan kepada Raden Mas
Rangsang. Sejak itu, Radeng Mas Rangsang dikenal dengan Sultan Agung.
Pulanglah Raden Mas Rangsang yang mendapat gelar Sultan dari Syarif
Makkah ke Mataram dengan mengendarai kapal. Sesampai di tanah Jawa, Sultan
Agung kelak membangun istana Pleret. Sultan Agung pula membangun
Segarayasa (samudra buatan) yang digunakan untuk berlatih perang di laut oleh
prajurit Mataram. Sebelum kemangkatannya, Sultan Agung pula membangun
makam raja-raja Mataram di Imogiri.
Selain memerhatikan sektor pembangunan, Sultan Agung pula
memerhatikan perkembangan sastra dan budaya. Semasa pemerintahan Sultan
Agung, Serat Sastra Gendhing tercipta. Bahasa Bagongan dan Kalender Jawa pula
mulai membudaya di kalangan masyarakat Mataram sejak pemerintahan Sultan
Agung. Raja terbesar Mataram.
Terakhir yang bisa dikisahkan bahwa sebagai raja yang sempurna, Sultan
Agung harus memiliki permaisuri. Menikahlah Sultan Agung dengan putri dari
Batang. Dari putri Batang, Sultan Agung memiliki dua orang putra dan seorang
putri yakni Pangeran Adipati Anom, Pangeran Alit, dan Ratu Pandan.
Oleh Sultan Agung, Pangeran Adipati Anom kelak dinobatkan sebagai raja
Mataram. Sementara, Ratu Pandan dinikahkan dengan Pangeran Pekik dari
Kadipaten Surabaya. Pernikahan keduanya sesudah Mataram berhasil
menaklukkan Surabaya. [ ]

54
KUMPENI MEMBANGUN
BENTENG PERTAHANAN DI BETAWI
DATANGLAH Kumpeni dengan kapal-kapal dagang ke Betawi. Sekian lama
tinggal di Betawi, Kumpeni membeli tanah pada Pangeran Jakarta. Tanah itu
digunakan untuk membangun banteng pertahahan yang dilengkapi dengan
meriam. Lambat laut, Kumpeni pun berhasil menguasai bandar Jakarta.
Betapa menyesal Pangeran Jakarta atas keputusannya untuk menjual tanah
kepada Kumpeni. Karena Kumpeni ingin menguasai Betawi, Pangeran Jakarta
mengerahkan seluruh pasukan untuk melawannya. Akan tetapi, naas bagi
Pangeran Jakarta. Banyak anggota pasukannya tewas saat terjadi perang melawan
pasukan Kumpeni. Dengan kekalahan Pangeran Jakarta itu, Kumpeni berhasil
menguasai seluruh wilayah Betawi.
Dalam perang melawan Kumpeni, Pangeran Jakarta yang selamat itu
datang ke Mataram untuk meminta perlindungan pada Sultan Agung. Sebagai raja
yang harus memberikan perlindungan pada siapapun, Sultan Agung
memerintahkan pada Adipati Mandurareja, Bupati Wangkit, dan Pangeran
Sumedang untuk menyerang Kumpeni di Betawi. Sesudah membagi dua pasukan
– pasukan darat dan pasukan laut – pasukan Mataram itu bergerak menuju Betawi.
Di mana Kumpeni telah mencengkeramkan kekuasaannya.
Sesampai Betawi, serangan pasukan Mataram mendapat sambutan dari
Kumpeni. Karena serangan pasukan dilancarkan dari atas banteng, banyak prajurit
Mataram yang gugur berkaparan di tanah. Bila digambarkan bumi Betawi saat itu
seperti tengah dilanda banjir darah dengan mayat-mayat dengan tatu arang
kranjang mengapung di permukaan.
Lambat laut pasukan Mataram yang semula berhasil merusak kota namun
tidak sanggup menghancarkan banteng pertahana Kumpeni itu semakin lemah.
Sungguhpun demikian, pasukan Mataram yang tidak kurang akal itu menyerang
Kumpeni dengan menggunakan peluru tinja.
Meskipun berhasil mengurangi gencarnya serangan tantara-tentara
Kumpeni, namun serangan pasukan Mataram semakin melemah. Hingga akhirnya
ribuan prajurit Mataram menjadi tumbal perang di bumi Betawi. Sementara, para
prajurit Mataram yang selamat meninggalkan medan laga. Mereka serempak
mundur ke pesanggrahan. [ ]

55
PANGERAN PURBAYA
DATANG KE BETAWI
SULTAN AGUNG belum mendapat kabar tentang pasukan Mataram yang
ditugaskan untuk menyerang Kumpeni di Betawi. Karenanya Sultan Agung
memerintahkan Pangeran Purbaya untuk datang ke Betawi. Tak ada tugas yang
dibebankan di pundak Pangeran Purbaya selain mengetahui keadaan pasukan
Mataram sesudah sekian lama berperang melawan pasukan Kumpeni.
Hanya dengan dua abdinya, Pangeran Purbaya datang ke Betawi dengan
menaiki kapal. Sesampai di Betawi, Pangeran Purbaya mendatangi pesanggrahan
pasukan Mataram. Menemui Adipati Mandurareja. Dari laporan Mandurareja,
pasukan Mataram hanya berhasil merusak kota Betawi. Belum mampu
meruntuhkan banteng Kumpeni.
“Laporanmu telah aku terima. Sepulangku ke Mataram, berita ini akan aku
haturkan pada Angger Sultan.” Pangeran Purbaya terdiam sesaat. “Hanya
pesanku. Pasukan Mataram sudah ringkih. Jangan menyerang! Bertahanlah untuk
sementara waktu! Tunggu titah raja!”
Usai menyampaikan pesan pada Adipati Mandurareja, Pangeran Purbaya
pulang ke Mataram keesokan harinya. Sesampai Mataram, Pangeran Purbaya
menyampaikan keadaan pasukan Mataram di Betawi yang belum mampu
meruntuhkan banteng Kumpeni pada Sultan Agung.
Mendengar laporan Pangeran Purbaya, Sultan Agung sejenak merenung.
“Kiranya sudah menjadi takdir sang kuasa, Paman Purbaya. Orang-orang Belanda
berhasil menguasai Betawi. Bahkan kelak, orang-orang Belanda akan dapat
mencengkeram kuku-kuku kekluasaannya di bumi Jawa dan nusantara.”
“Lantas…. Apa tindakan Angger Sultan sekarang?”
“Ananda akan memerintahkan pada Tumenggung Wiraguna untuk datang
ke Betawi!” Sultan Agung mengalihkan pandang dari Pangeran Purbaya ke
Tumenggung Wiraguna. “Wiraguna! Sampaikan surat ini kepada Gubernur
Jenderal. Dalam isi surat, aku mengizinkan Kumpeni untuk tinggal di Betawi.
Asal Kumpeni bersedia memberikan upeti setiap tahun kepada Mataram.”
Tanpa menunggu hari berganti minggu, Tumenggung Wiraguna datang ke
Betawi. Sesampai Betawi, Wiraguna menghadap Gubernur Jenderal Kumpeni di
dalam loji. Sesudah sekian lama berbincang dengan Wiraguna, Gubernur Jenderal
menyepakati permintaan Sultan Agung. Melalui Kapten Temas, Gubernur Jendral
menyampaikan persetujuan atas permintaan Sultan Agung itu melalui surat.
Berangkalah kemudian Kapten Temas yang disertai Tumenggung Wiraguna
menuju Mataram dengan menaiki kapal.
Sesampai Mataram, Kapten Temas menghadap Sultan Agung.
Menyampaikan surat dari Gubernur Jenderal Kumpeni. Ketika membaca surat itu,
Sultan Agung merasa lega karena Kumpeni telah menyepakati permintaannya.
Maka sejak itu, hubungan antara Mataram dan Kumpeni berangsur-angsur
berubah membaik. [ ]

56
TRUNAJAYA MAKAR
LANGIT Mataram diselimuti awan pekat. Gerimis yang turun di bumi serupa air
mata orang-orang Mataram yang tengah melepaskan arwah Sultan Agung menuju
pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri. Tiga hari kemudian, permaisuri Sultan
Agung pun menyusul sang raja menuju istana keabadian. Pada waktu yang tak
berselisih jauh, Pangeran Alit dan Pangeran Pekik meninggal.
Seusai Sultan Agung Surut, Pangeran Adipati menjadi raja Mataram. Di
masa pemerintahannya, Sunan Amangkurat I terancam dengan makar Trunajaya
dari Kediri. Dalam makar itu, Trunajaya mendapat dukungan Pangeran Kajoran
atau Panembahan Rama, Pangeran Adipati Anom, orang-orang Madura, dan
orang-orang Makassar di bawah komando Kraeng Galengsong.
Menangkap persiapan makar Trunajaya, Sunan Amangkurat mengerahkan
pasukan Mataram di bawah komando Pangeran Purbaya. Setiba di Kediri,
serangan pasukan Mataram disambut perlawanan pasukan Trunajaya. Naas, bagi
Pangeran Purbaya. Dalam perang itu, sang pangeran gugur di medan laga. Jasad
sang pangeran berhasil direbut dan dibawa pulang ke Mataram untuk
disemayamkan dengan tata cara keagamaan.
Gugurnya Pangeran Purbaya membuat pasukan Mataram mundur dari
medan laga. Menyaksikan mundurnya pasukan Mataram, Trunajaya menarik
pasukannya ke pesanggrahan. Mengingat matahari telah telah bersarang di langit
malam. Mereka berpesta atas kemenangannya di medan laga.
Keesokan paginya, pasukan Kediri dikerahkan oleh Trunajaya untuk
menyerang Mataram yang telah kehilangan panglima perangnya. Serangan
pasukan Trunajaya tidak berhasil dibendung oleh para parajurit Mataram.
Karenanya, Trunajaya beserta pasukannya berhasil memasuki istana untuk
menangkap Sunan Amangkurat. Menyaksikan ayahnya dalam bahaya, Pangeran
Puger mengambil tindakan. Menyelamatakan sang ayah. Membawanya keluar
dari istana Mataram. Melarikan diri ke arah barat.
Mengetahui Sunan Amangkurat telah meninggalkan istana bersama
Pangeran Puger, Pangeran Adipati Anom yang semula mendukung makar
Trunajaya itu berubah berpihak pada ayahnya. Berlari ke arah barat. Menyusul
ayahnya yang tengah dalam pelarian.
Istana Mataram telah kosong dari penghuninya. Trunajaya beserta
pasukannya bergegas memasuki istana. Mereka menjarah rayah harta benda yang
dimiliki oleh Sunan Amangkurat. Mereka berpesta pora di dalam istana. Pesta
pora sambil mengungapkan kebahagiaan atas keberhasilan dalam melengserkan
Sunan Amangkurat dari tahta kekuasaannya. [ ]

57
PANGERAN PUGER
MEREBUT MATARAM
PELARIAN Sunan Amangkurat yang disertai Pangeran Puger dan keluarganya
telah sampai di Banyumas. Di wilayah itu, Sunan Amangkurat beristirahat di
pesanggrahan. Sebelum waktu siang bergeser ke senja, datanglah Pangeran
Adipati Anom. Kepada ayahnya yang tengah menderita sakit itu, Pangeran
Adipati Anom menghaturkan sembah bakti dengan berkaca-kaca.
“Sudahlah, ananda! Janganlah menangis!” pinta Sunan Amangkurat. “Nasi
sudah menjadi bubur. Apa yang kita lakukan sekarang bukanlah menangis,
melainkan bagaimana cara merebut Mataram dari si keparat Trunajaya.”
“Ampun, ayahanda.” Pangeran Adipati Anom kembali menghaturkan
sembah pada Sunan Amangkurat. “Apa yang menjadi kebijakan ayahanda, akan
ananda laksanakan.”
Sunan Amangkurat mengalihkan pandang dari Pangeran Adipati Anom ke
Pangeran Puger. “Ananda Puger!”
“Ya, ayahanda.”
“Terimalah dua pusaka dari Tarub ini!”
Dengan tangan bergetar, Pangeran Puger menerima pusaka berupa keris
Kiai Sengkelat dan tombak Kiai Plered dari Sunan Amangkurat.
“Pulanglah ananda ke Mataram! Bawalah dua pusaka ini beserta
Mondalika dan Gajah Premada! Rebutlah Mataram dari cengkeraman Trunajaya
beserta begundal-begundalnya!”
Usai menghaturkan sembah pada Sunan Amangkurat, Pangeran Puger
yang disertai dua abdi Mataram itu meninggalkan Banyumas. Setiba di Pagelen,
Pangeran Puger menggalang pasukan. Kalapaking dari Panjer, Wirakarti dari
Kaleng, Tambakbaya dari Grendetan, dan Surajaya dari Wingka bergabung dalam
pasukan bentukan Pangeran Puger.
Dengan panglima perang Tambakbaya dan Surajaya yang didampingi
Mondalika dan Gajah Peramada, pasukan Pagelen bergerak menuju Mataram.
Melalui telik sandi, Trunajaya mengetahui bahwa pasukan Pangeran Puger mulai
memasuki kotapraja Mataram.
Perang antara pasukan Pangeran Puger dan pasukan Trunajaya di
perbatasan kotapraja Mataram tak bisa dihindari lagi. Karena kalah tangguh,
pasukan Trunajaya berhasil diporakporandakan oleh pasukan Pangeran Puger.
Melihat kenyataan buruk itu, Pangeran Kajoran menyarankan agar Trunajaya
menarik pasukkannya. Mundur ke Kediri.
Sesudah Mataram terbebas dari orang-orang Trunajaya, Pangeran Puger
menobatkan diri sebagai raja Mataram bergelar Kangjeng Sinuhun Sunan Prabu
ing Ngalaga. Sementara yang mendampingi pemerintahan Pangeran Puger adalah
Mondalika dan Gajah Premada. [ ]

58
SUNAN AMANGKURAT
MANGKAT

PELARIAN Sunan Amangkurat sampai ke Tegal. Di wilayah itu, sakit Sunan


Amangkurat semakin parah. Sebelum menghembuskan napas penghabisan, Sunan
Amangkurat berpesan kepada Pangeran Adipati Anom, “Bila aku telah tiada.
Kuburkan arwahku di tanah yang harum.”
Sebagai putra yang berbakti, Pangeran Adipati Anom melaksanakan
wasiat Sunan Amangkurat ayahnya. Ketika Sunan Amangkurat mencapai garis
akhir hidupnya, Pangeran Adipati Anom memakamkan arwahnya di tanah yang
harum. Kelak tempat pemakaman Sunan Amangkurat itu dikenal dengan Tegal
Arum.
Sepeninggal Sunan Amangkurat, Pangeran Adipati Anom memanggil
Mertalaya. Kepada Mertalaya, Adipati Anom menyampaikan keinginannya. “Aku
ingin naik haji ke Makkah.”
“Mohon ampun, Kangjeng Pangeran.” Mertalaya menyampaikan sembah.
“Bila saran hamba, sebaiknya Kangjeng Pangeran menjadi raja Mataram.”
“Tidak, Mertalaya. Biarlah yang menjadi raja Mataram Dhimas Pangeran
Puger. Dia yang mendapat pusaka Mataram.”
Ketika Mertalaya tengah mencarikan kapal untuk dilayarkan ke Makkah,
Pangeran Adipati Anom tidur di dalam masjid. Saat antara tidur dan jaga,
Pangeran Adipati Anom menangkap sinar terang yang menimpa tubuhnya.
Sesudah terbangun dari tidur, Pangeran Adipati Anom memanggil Mertalaya.
“Aku tak jadi ke Makkah. Aku ingin menjadi raja di Mataram.”
Mendengar penuturan Pangeran Adipati Anom, Mertalaya tampak girang.
“Keinginan Kangjeng Pangeran, hamba mendukung.”
“Terima kasih, Mertalaya.” Pangeran Adipati Anom sejenak terdiam.
“Sekarang panggilkan Mandaraka!”
Mertalaya undur diri dari hadapan Pangeran Adipati Anom untuk
memanggil Mandaraka. Oleh Pangeran Adipati Anom, Mandaraka dinobatkan
sebagai patih. Kebijakan Pangeran Adipati Anom yang kemudian menjadi raja
bergelar Sunan Amangkurat II itu mendapat dukungan Mertalaya, Mangun
Oneng, Martapura, Suranata, dan Hurawan. [ ]

59
PERANG
TEGAL VERSUS KEDIRI
PANGERAN Adipati Anom telah menobatkan diri sebagai raja di Tegal bergelar
Sunan Amangkurat II. Pada awal pemerintahannya, Sunan Amangkurat
memerintahkan kepada Patih Arya Sindureja untuk menghadap Gubernur Jenderal
Kumpeni di Betawi. Tak ada tujuan yang ingin dicapai oleh Sunan Amangkurat,
selain meminta bantuan untuk menyerang Trunajaya di Kediri.
Permintaan bantuan dari Sunan Amangkurat yang berupa pasukan
Kumpeni itu disetujui oleh Gubernur Jenderal. Maka diberangkatkan pasukan
Kumpeni yang terdiri duapuluh opsir dan limaratus tantara bersenjata Belanda di
bawah komando Amral Al Dewelbih itu menuju Kediri.
Setiba di sebelah barat bengawan, pasukan Kumpeni melancarkan
tembakan-tembakan senapan pada pasukan Kediri yang melawannya di sebelah
timur bengawan. Karena kalah persenjataan, pasukan Kediri yang dipimpin oleh
Kraeng Galengsong mundur dari medang laga. Menghadap Trunajaya.
Mendapat laporan kalau pasukannya berhasil ditaklukkan oleh pasukan
Kumpeni, Trunajaya berang bukan kepalang. Kepada pasukannya, Trunajaya yang
akan menobatkan diri sebagai pimpinan perang itu mengerahkan pasukannya
untuk melawan serangan Kumpeni.
Bersamaan datangnya pasukan Kediri di sebelah timur bengawan, Sunan
Amangkurat bersama pasukannya telah tiba dan bergabung dengan pasukan
Kumpeni di sebelah barat bengawan. Kedua pasukan saling serang, manakala
bengawan sedang banjir bandang. Kedua pasukan sama-sama kuatnya, sehingga
perang berlangsung sangat lama.
Pasukan gabungan Tegal dan Kumpeni yang mulai lebih unggul dalam
persenjataan itu menyeberangi bengawan yang mulai surut airnya. Perang
semakin tidak seimbang. Banyak prajurit Kediri dan Makassar yang tewas.
Kraeng Galengsong yang menjadi pimpinan pasukan Makassar pun tewas.
Menyaksikan kenyataan pahit itu, Trunajaya melarikan diri dari medan laga.
Mengungsi ke Gunung Sempora.
Seusai pasukan gabungan Tegal dan Kumpeni berhasil menumpas pasukan
Trunajaya, Sunan Amangkurat memasuki istana Kediri. Di dalam istana itu,
Sunan Amangkurat yang kehilangan Patih Mandaraka karena meninggal sewaktu
dalam perjalanan dari Tegal ke Kediri itu kemudian menunjuk Nerangkusuma
sebagai patihnya. [ ]

60
PERANG
MATARAM VERSUS KARTASURA
SUNAN Amangkurat II, seorang raja yang belum memiliki istana. Semula Sunan
Amangkurat ingin membangun istana di Surabaya. Selain itu, Sunan Amangkurat
ingin membangun istana di Mataram. Karena Pangeran Puger sudah berkuasa di
Mataram, Sunan Amangkurat membatalkan niatnya.
Teringatlah Sunan Amangkurat pada pesan Sunan Giri yang menyatakan
agar anak turunnya mendirikan istana di hutan Wanakarta. Karenanya, Sunan
Amangkurat memerintahkan kepada Patih Nerangkusuma untuk membuka hutan
Wanakarta serta membangun istana yang dijadikan sebagai pusat
pemerintahannya.
Dengan dipimpin oleh Patih Nerangkusuma, para pengikut Sunan
Amangkurat membangun istana di hutan Wanakarta. Seusai istana dibangun,
Sunan Amangkurat menamainya Kartasura. Maka, kerajaan yang didirikan oleh
Sunan Amangkurat dikenal dengan Kesultanan Kartasura.
Sewaktu dihadap oleh para punggawa dan kerabat, Sunan Amangkurat
memerintahkan kepada Mangunjaya untuk menyampaikan surat pada Pangeran
Puger di Mataram. Membaca surat yang menyatakan bahwa Sunan Amangkurat
telah menobatkan diri sebagai raja Kartasura, Pangeran Puger sangat murka.
Mengingat selain mengkhianati janjinya di mana semula tak ingin menjadi raja
melainkan lebih memilih naik haji ke Makkah, penobatan Sunan Amangkurat
sebagai raja didukung oleh Kumpeni. Sebab itu, Pangeran Puger mengerahkan
pasukannya untuk menyerang Kartasura.
Mendengar warta kalau pasukan Mataram hendak menyerang Kartasura,
Sunan Amangkurat segera mengerahkan pasukannya. Perang antara Mataram dan
Kartasura yang mendapatkan dukungan pasukan Kumpeni pun pecah. Para
prajurit dari kedua belah pihak pun berjatuhan sebagai korban perang saudara dari
dua putra Sunan Amangkurat I.
Karena waktu senja telah tiba, pasukan Kartasura ditarik mundur oleh
Sunan Amangkurat. Demikian pula dengan pasukan Mataram. Mengetahui Gajah
Premada gugur di medan laga, Pangeran Puger menarik pasukannya. Pulang ke
Mataram dengan membawa duka cita yang sangat dalam. [ ]

61
MATARAM TUNDUK
PADA KARTASURA
SUNAN Amangkurat dihadap oleh Patih Nerangkusuma dan para punggawa
lainnya di penangkilan. Kepada Nerangkusuma, Sunan Amangkurat
memerintahkan untuk mengerahkan pasukan menuju Mataram. Belum lega Sunan
Amangkurat bila Mataram belum tunduk pada Kartasura.
Di alun-alun, Patih Nerangkusuma mengumpulkan pasukan Kartasura dan
Kumpeni. Sebelum matahari setinggi tombak, pasukan gabungan Kartasura dan
Kumpeni itu berangkat menuju Mataram. Sepanjang perjalanan, ratusan kuda
pasukan dari Kartasura itu mengepulkan debu di musim kemarau.
Sementara, Pangeran Puger yang telah mendengar kabar dari telik sandi-
nya bahwa pasukan Kartasura tengah dalam perjalanan menuju Mataram itu
segera memersiapkan pasukannya. Di bawah komando Mondalika dan Penghulu,
pasukan Mataram yang mengenakan pakaian serba putih itu menyongsong
pasukan Kartasura. Di perbatasan wilayah Mataram, pasukan Pangeran Puger dan
pasukan Sunan Amangkurat terlibat dalam perang yang sengit.
Arena perang penuh dengan debu, asap mesiu, patahan tombak, patahan
panah, perisai, pedang, dan mayat-mayat prajurit Kartasura, Mataram, dan
Kumpeni. Hingga menjelang sore, hampir dua pertiga pasukan Mataram menjadi
tumbal perang. Menyadari semakin menipisnya pasukan Mataram, Pangeran
Puger bersedia takluk kepada Sunan Amangkurat.
Hubungan kedua putra Sunan Amangkurat I itu kembali terjalin erat
sesudah mereka menikahkan putranya. Pangeran Adipati Anom yang merupakan
putra Sunan Amangkurat itu dinikahkan oleh Pangeran Puger dengan putrinya
yang bernama Raden Ayu Lembah. [ ]

62
PELARIAN
UNTUNG SURAPATI
DIKISAHKAN kemudian tentang seorang budak kecil yang dibeli oleh seorang
kapten Kumpeni. Oleh Sang Kapten, bocah yang membawa keberuntungan dalam
berdagang itu dikasih nama Untung (Huntung). Karena terconangi bermain
asmara dengan putri Sang Kapten, Untung dipenjara.
Bersama para budak di dalam penjara, Untung berencana melakukan
perlawanan pada Sang Kapten. Hingga suatu hari, pecah perang antara komplotan
budak yang dipimpin Untung melawan tantara-tentara Kumpeni. Karena kalah
persenjataan, Untung beserta pengikutnya yang selamat dari perang itu
menyelamatkan diri hutan ilalang.
Menangkap tanda-tanda bahwa persembunyiannya diconangi oleh para
tantara Kumpeni, Untung pergi ke Cirebon untuk meminta perlindungan Sultan.
Oleh Sultan Cirebon, Untung yang mendapat nama Raden Surapati itu disarankan
untuk berlindung kepada Sunan Amangkurat di Kartasura.
Berangkatlah Untung Surapati beserta pengikutinya menuju wilayah
Kartasura. Sesampai di Kartasura, Untung menghadap Patih Nerangkusuma.
Melalui usulan Nerangkusuma, pengabdian Untung di Kartasura itu diterima oleh
Sunan Amangkurat.
Keberadaan Untung di Kartasura diketahui oleh Kumpeni. Sebab itu,
tantara-tentara Kumpeni meminta izin pada Sunan Amangkurat untuk menangkap
Untung. Raja Kartasura itu mengizinkan permintaan Kumpeni, namun tidak
bersedia membantu dalam upaya penangkapan Untung.
Dengan didukung Pangeran Puger dan pasukan Kapugeran, Untung
beserta seluruh pengikutnya berhasil melumpuhkan pasukan Kumpeni. Bahkan
komando pasukan Kumpeni bernama Kapten Tak dan Kapten Brisman tewas
dalam perang yang berlangsung di alun-alun Kartasura itu.
Sadar bahwa keberadaan Untung Surapati di Kartasura akan membuat
Sunan Amangkurat dicurigai oleh Kumpeni, maka raja Kartasura itu
menyingkirkan Untung dengan cara halus. Mengangkat Untung sebagai adipati di
Pasuruhan bergelar Tumenggung Wiranagara.
Di Pasuruhan, Untung Surapati memerintah dengan didampingi oleh
Nerangkusuma. Dalam memerintah, Wiranagara menjadi raja bawahan Sunan
Amangkurat di Kartasura itu menguasai empat daerah yang meliputi Gembong,
Bangil, Pemalang, dan Pasuruhan sendiri. Karena Nerangkusuma menjadi patih di
Kadipaten Pasuruhan, Sunan Amangkurat mengangkat patih baru yakni Patih
Harya Sindureja. [ ]

63
PANGERAN PUGER
BERLARI KE SEMARANG
SESUDAH sekian lama menobatkan Wiranagara sebagai adipati di Pasuruhan,
Sunan Amangkurat II gering. Sebelum kemangkatannya, Sunan Amangkurat
memanggil Pangeran Adipati Anom. Mengangkat putranya itu sebagai raja di
Kasunanan Kartasura bergelar Sunan Amangkurat III.
Kepada putranya yang baru saja dinobatkan sebagai raja Kartasura, Sunan
Amangkurat II memberikan wasiat, “Hei, putraku. Hendaklah selama menjadi
raja, janganlah kau menyakit hati Wak-mu Dhimas Pangeran Puger, Adipati
Cakraningrat dari Madura, dan Adipati Jangrana dari Surabaya. Bila kau
menyakiti ketiganya, kau tak akan dapat menguasai tanah Jawa.”
“Wasiat Kangjeng Rama Sunan Amangkurat, akan ananda simpan di
ubun-ubun kepala. Ananda akan melaksanakannya.”
Seusai menyampaikan wasiat kepada Sunan Amangkurat III, Sunan
Amangkurat II menghembuskan napas terakhir. Kemangkatan Raja Kartasura
pertama itu membuat langit dengan arakan awan pekat yang menyerupai barisan
keranda hitam. Seluruh punggawa, keluarga, kerabat, dan rakyat dalam duka cita.
Belum lama kemangkatan Sunan Amangkurat II, putranya melupakan
wasiat sang ayah. Sunan Amangkurat III menyakiti Pangeran Puger dengan
menceraikan putrinya Raden Ayu Lembah dan Raden Ayu Himpun. Ia pula
menyakiti Adipati Cakraningrat dengan membunuh istrinya. Tak lama kemudian,
ia menyakiti hati Adipati Jangrana dari Surabaya.
Akibat tindakan buruk Sunan Amangkurat III; Adipati Cakraningrat,
Adipati Jangrana, dan Patih Arya Sindureja menyelamatkan Pangeran Puger dari
ancaman Sunan Amangkurat untuk melarikan diri ke Semarang. Mengetahui
Pangeran Puger lolos dari Kapugeran, Sunan Amangkurat memerintahkan
Suryamentaram dan Harya Panular untuk mengejar dan menangkapnya.
Suryamentaram dan Harya Panular memenuhi perintah Sunan
Amangkurat. Karena Pangeran Puger dilindungi oleh beberapa tokoh sakti,
Suryamentaram dan Harya Panular mengurungkan niatnya. Mereka tidak jadi
mengejar Pangeran Puger, melainkan kembali ke Kartasura. [ ]

64
PANGERAN PUGER
MENJADI RAJA DI SEMARANG
PANGERAN Puger dihadap Adipati Cakraningrat, Adipati Jangrana,
Suradimenggala, Cakrajaya, dan lainnya. Para adipati yang kecewa dengan
kebijakan Sunan Amangkurat III itu menyarankan agar Pangeran Puger menjadi
raja di tanah Jawa.
Pangeran Puger sejenak memertimbangkan usulan dari para adipati. Seusai
teringat pada mendiang ayahnya, Sunan Amangkurat I, yang memberikan pusaka
Mataram kepadanya, Pangeran Puger memenuhi usulan dari para adipati untuk
menjadi raja di tanah Jawa. “Apa yang bisa aku andalkan untuk menjadi raja di
tanah Jawa? Bukankah untuk menjadi raja di tanah Jawa harus menyingkirkan
keponakanku sendiri, Sunan Amangkurat?”
“Benar, Kangjeng Pangeran.” Adipati Cakraningrat menjawab tegas.
“Tetapi, jangan Kangjeng Pangeran khawatir. Hamba dan seluruh adipati akan
mendukung Pangeran. Hamba siap diajukan di medan laga.”
“Terima kasih, Adipati Cakraningrat.”
“Ampun, Kangjeng Pangeran.” Cakrajaya menyela pembicaran. “Kalau
boleh hamba usul, hendaklah Pangeran meminta bantuan pasukan Kumpeni di
Batavia. Mengingat hubungan Kumpeni dengan Kangjeng Sunan Amangkurat
mulai retak. Kini, Kangjeng Sunan lebih condong pada Untung Surapati
ketimbang Kumpeni.”
“Tidak, Cakrajaya.” Pangeran Puger menjawab keras. “Aku tak mau
bekerjasama dengan orang-orang kafir.”
“Ampun, Pangeran.” Cakrajaya sejenak menata hati. “Kalau boleh hamba
bertanya. Pangeran lebih berat mana, membiarkan Kangjeng Sunan Amangkurat
sebagai raja Kartasura yang memerintah tanpa menggunakan kebijakan hingga
tanah Jawa mengalami kemunduran atau bekerjasama dengan Kumpeni untuk
menyelamatkan tanah Jawa?”
“Pertanyaanmu membuatkanku berpikir, Cakrajaya.” Pangeran Puger
menghela napas panjang. “Karenanya, aku perintahkan pada dirimu untuk datang
ke Betawi. Nyatakan pada Gubernur Jenderal bila Pangeran Puger dari Semarang
meminta bantuan pasukan Kumpeni untuk menyerang Kartasura.”
Cakrajaja undur diri dari hadapan Pangeran Puger. Disertai
Suradimenggala, Cakrajaya pergi ke Betawi. Menghadap Gubernur Jenderal
Kumpeni. Sesudah Kumpeni bersedia memberikan bantuan pasukan kepada
Pangeran Puger, Cakrajaya pulang ke Semarang.
Tidak menunggu bulan berganti, pasukan Kumpeni telah datang di
Semarang. Disaksikan Opsir Edrel, Adipati Cakraningrat, Adipati Jangrana,
Cakrajaya, Suradimenggala, dan pendherek lain; Pangeran Puger dinobatkan
sebagai raja bergelar Sri Susuhunan Pakubuwana I.
Sehari sesudah penobatan Pangeran Puger sebagai raja, pasukan Kumpeni,
Madura, dan Surabaya berangkat ke Kartasura. Tak ada tujuan yang akan dicapai
oleh pasukan perang di bawah kepemimpinan Sunan Pakubuwana itu selain
melengserkan Sunan Amangkurat dari tahta kekuasaannya. [ ]

65
SEMARANG
MENYERANG KARTASURA
BARISAN pasukan Semarang telah sampai di tlatah Banyudana. Di wilayah
itulah, pasukan Semarang berhadapan dengan pasukan Kartasura di bawah
komando Suryabrangta. Karena kalah jumlah pasukan dan persenjataan, pasukan
Kartasura berhasil diporakporandakan oleh pasukan Semarang. Mengetahui
prajuritnya banyak yang menjadi tumbal perang, Suryabrangta melarikan diri
sampai Panaraga.
Pasukan Semarang bersorak sorai ketika mengalami kejayaan saat
melawan pasukan Kartasura. Tanpa beristirahat, pasukan Semarang bergerak
menuju istana Kartasura. Sesampai di tujuan, istana sudah sepi dari penghuninya.
Sunan Amangkurat beserta pendherek-nya telah melarikan diri dari istana dengan
membawa sejumlah pusaka Mataram.
Karena Sunan Amangkurat telah meminggalkan istana, Sunan
Pakubuwana yang telah membawa keluarganya dari Semarang ke Kartasura itu
menobatkan diri sebagai raja Kartasura. Kepada Sunan Pakubuwana, Opsir Hedler
dan pasukan Kumpeni meminta izin untuk memburu Sunan Amangkurat. Sesudah
tertangkap, Sunan Amangkurat dibawa oleh pasukan Kumpeni menuju penjara di
Betawi. Dari Betawi, Sunan Amangkurat dipindahkan ke negeri seberang
(Kamboja). Di sanalah, Sunan Amangkurat mangkat.
Negeri Kasunanan Kartasura kembali mengalami kedamaian. Dengan
demikian, Sunan Pakubuwana yang didampingi Patih Cakrajaya itu dapat
melakukan pemerintahan di Kartasura dengan relatif aman hingga masa
kemangkatannya. Sepeninggal Sunan Pakubuwana, Kartasura berada di bawah
pemerintahan putranya yang dikenal dengan Sri Susuhunan Amangkurat Mas atau
Sunan Amangkurat IV.
Dari Sunan Amangkurat IV, lahirlah Sunan Pakubuwana II, Pangeran
Sujayana atau Pangeran Mangkubumi, Pangeran Mangkuneraga. Kelak Sunan
Pakubuwana menjadi raja di Kasunanan Surakarta paska pemerintahan Sunan
Amangkurat IV. Pangeran Sujayana menjadi raja di Kesultanan Yogayakarta
dengan gelar Sri Sultan Hamengkubuwana I, dan Pangeran Mangkunegara
dibuang ke negeri seberang. Sungguhpun begitu, putranya yang bernama Raden
Mas Said, Pangeran Samber Nyawa, atau KGPAA Mangkunegara menjadi
penguasa di Praja Mangkunegaran paska Perjanjian Salatiga.
Dari uraian di muka bisa disebutkan bahwa Sunan Amangkurat IV
merupakan bapak raja-raja Surakarta, Yogyakarta, dan Mangkunegaran. Sekaligus
Sunan Amangkurat IV sebagai pembuka jalan munculnya kerajaan-kerajaan
pecahan Mataram yang didirikan oleh Panembahan Senapati. [ ]

66
GEGER PECINAN
SEPENINGGAL Sunan Pakubuwana I, Kasunanan Kartasura diperintah oleh
putranya yang bernama Sunan Amangkurat Mas. Diketahui bahwa Sunan Sunan
Amangkurat IV memiliki banyak putra baik laki-laki maupun perempuan, di
antaranya: Pangeran Riya (Pangeran Mangkunegara), Pangeran Behi, Pangeran
Adipati Anom, Pangeran Mangkubumi, Pangeran Bintara, Pangeran Sumayuda,
dan Pangeran Kusuma.
Akhir pemerintahan Sunan Amangkurat, seharusnya Kasunanan Kartasura
diperintah oleh Pangeran Riya. Karena Pangeran Riya dibuang oleh Kumpeni ke
pulau seberang karena finah, Kasunanan Kartasura di bawah kendali Pangeran
Adipati Anom yang dinobatkan sebagai raja bergelar Sunan Pakubuwana II.
Semasa pemerintahan Sunan Pakubuwana II, Patih Danureja yang anti
Kumpeni pula dibuang ke pulau seberang. Seorang punggawa Kartasura yang
menggantikan posisi Danureja adalah Natakusuma. Sesudah Natakusuma dibuang
ke pulau seberang, Mangunoneng dan Martapura menjadi patih Kartasura.
Oleh Sunan Pakubuwana II, Mangononeng dan Martapura dilengserkan
kedudukannya sebagai patih. Pengganti patih Kasunanan Kartasura ialah
Pringgalaya dan Sastrawiguna. Karena kecewa dengan kebijakan Sunan
Pakubuwana, Mangononeng dan Martapura mengangkat Mas Garendi sang
pemimpin Cina itu menjadi raja. Karena sebagai pimpinan orang-orang Cina yang
berkulit kuning itu, Mas Garendi dikenal dengan Sunan Kuning.
Karena ingin menjadi raja tanpa pesaing, Sunan Kuning yang mendapat
dukungan Mangononeng, Martapura, Pangeran Suryakusuma, dan orang-orang
Cina menyerang Kasunanan Kartasura. Pasukan Kartasura yang mendapatkan
serangan dari orang-orang Cina itu tak lama bertahan. Akibat kekalahan pasukan
Sunan Pakubuwana, banteng istanya Kartasura dibakar oleh orang-orang Cina.
Akibat kalah perang melawan pasukan Sunan Kuning itu, Sunan
Pakubuwana melarikan diri ke Panaraga. Pangeran Bei mengungsi ke Semarang.
Sementara, Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Sumayuda mengungsi ke
Surabaya. Sesudah kosong dari orang-orang Sunan Pakubuwana, Sunan Kuning
memasuki istana Kasunanan Kartasura. Bersinggasana di tahta Sunan
Pakubuwana. Menjadi raja Kartasura. [ ]

67
PANGERAN MANGKUBUMI
MEREBUT TANAH SUKAWATI
MENDENGAR kabar Kasunanan Kartasura dikuasai oleh Sunan Kuning dan
orang-orang Cina, Gubernur Jenderal Kumpeni di Betawi mengerahkan
pasukannya untuk menyerang Kartasura. Akibat serangan yang sangat dahsyat
dari pasukan Kumpeni itu, pasukan Sunan Kuning berhasil ditaklukkan. Sunan
Kuning yang berhasil ditangkap itu dibuang oleh Kumpeni ke pulau seberang.
Sesudah Kasunanan berhasil direbut oleh Kumpeni, Sunan Pakubuwana
beserta Pangeran Bei, Pangeran Mangkubumi, dan Pangeran Sumayuda yang
semula mengungsi diminta pulang. Setiba di istana Kartasura yang sudah tidak
layak sebagai pusat pemerintahan, Sunan Pakubuwana berniat memindahkan
istananya ke Surakarta. Karena pusat pemerintahan berada di Surakarta, maka
kerajaan yang dikuasai oleh Sunan Pakubuwana itu kelak dikenal dengan
Kasunanan Surakarta.
Pada awal pemerintahannya di Surakarta, Sunan Pakubuwana dihadapkan
persoalan tanah Sukawati yang dikuasai oleh Martapura. Atas kebijakannya,
Sunan Pakubuwana memercayakan pada Pangeran Mangkubumi untuk merebut
tanah Sukawati.
Tanpa berpikir dua kali, Pangeran Mangkubumi menyanggupi perintah
Sunan Pakubuwana. Pada waktu itu pula, Pangeran Mangkumi berangkat ke
Sukawati. Tak ada tujuan yang ingin diwujudkan, selain merebut tanah Sukawati
dari Martapura yang semula sebagai pengikut Sunan Kuning.
Perang antara pasukan Pangeran Mangkubumi dan pasukan Martapura
pecah. Pada akhir perang, Mangkubumi berhasil menumpas pasukan Martapura
hingga tanah Sukawati berhasil direbutnya. Pulanglah Mangkubumi ke Surakarta
dengan membawa kemenangan.
Sunan Pakubuwana bergembira mendapat laporan dari Pangeran
Mangkubumi atas direbutnya tanah Sukawati dari Martapura. Namun berbeda
dengan Sunan Pakubuwana, Mangkubumi sangat sedih. Kesedian Mangkubumi
karena tanah Sukawati tidak jadi diberikan padanya, melainkan disewakan pada
orang Kumpeni bernama Hedler. Bersama keluarga, saudara, dan pengikutnya,
Mangkubumi sontak meninggalkan Surakarta. [ ]

68
SEJARAH BERDIRINYA
KESULTANAN YOGYAKARTA
KEPERGIAN Pangeran Mangkubumi dari Kasunanan Surakarta tidak hanya
sendirian. Pangeran Suryakusuma yang dikenal dengan Raden Mas Said, atau
Pangeran Sambernyawa meninggalkan Surakarta. Kepergian mereka karena akan
dibuang oleh Kumpeni ke pulau seberang.
Akibat kekecewaan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Suryakusuma,
menjadikan tanah Jawa dalam kemelut perang saudara. Perang antara Pangeran
Mangkubumi yang mendapat dukungan Pangeran Suryakusuma melawan Sunan
Pakubuwana II dan berlanjut Sunan Pakubuwana III yang mendapat dukungan
penuh dari Kumpeni.
Akibat perang yang berlarut-larut itu menimbulkan kerugian Kumpeni
sendiri. Mengingat sudah sekian lama perang saudara trah Sunan Amangkurat IV
dengan beaya yang sangat besar itu sudah sekian lama tidak pernah kunjung
padam. Melihat kenyataan itu, Gubernur Jenderal Kumpeni dari Betawi
melakukan perundingan dengan Pangeran Mangkubumi. Hasil perundingan itu
melahirkan Perjanjian Giyanti.
Dari Perjanjian Giyanti, Pangeran Mangkubumi mendapat separuh tanah
Surakarta yang kemudian dikenal sebagai wilayah Yogyakarta. Selain itu,
Pangeran Mangkubumi mendapat izin dari Kumpeni untuk menjadi raja di
Kesultanan Yogyakarta bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana I.
Perjanjian Giyanti disusul dengan Perjanjian Salatiga. Hasil dari perjanjian
Salatiga, Pangeran Suryakusuma yang merupakan cucu dari Sunan Amangkurat
IV atau putra Pangeran Riya itu mendapat tanah Mangkunegaran. Pangeran
Suryakusuma sendiri kemudian dinobatkan sebagai Kangjeng Gusti Pangeran
Adipati Arya Mangkunegara I. [ ]

69
KELAHIRAN DIPONEGORO
KESULTANAN Yogyakarta di bawah pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwana I. Ketika memerintah di Kesultanan Yogyakarta, Sultan
didampingi oleh Patih Njero Sindureja dan Patih Njaba Danureja (Raden
Yudanegara) yang tingal di Banyumas. Penghulu keraton adalah Pekih Ibrahim.
Sementara, yang menjabat sebagai Wedana Mancangera adalah Raden
Prawiradirja.
Sri Sultan Hamengkubuwana I memiliki banyak putra, di antaranya:
Kangjeng Pangeran Ngabehi, Pangeran Demang, Pangeran Dipasanta, Pangeran
Natakusuma, Pangeran Sumayuda, Pangeran Hadiwijaya, Pangeran Harya
Panular, Pangeran Mangkukusuma, Pangeran Kusuma, Pangeran Dipasana,
Pangeran Danupaya, Pangeran Balitar, Pangeran Sontakusuma, dan Pangeran
Adipati Jaya.
Sesudah Sri Sultan Hamengkubuwana I mangkat, Kesultanan Yogyakarta
diperintah oleh Sri Sultan Hamengkubuwana II dan berlanjut Sri Sultan
Hamengkubuwana III. Dari Sri Sultan Hamengkubuwana III dan selirnya yang
bernama Raden Ajeng Mangkarawati, Raden Mustahar atau Bendara Raden Mas
Antawirya yang pula dikenal dengan Pangeran Diponegoro dilahirkan.
Karena gemar memelajari ilmu agama dan kemasyarakatan, Pangeran
Dipanegera memilih tinggal di wilayah Tegalreja. Di ndalem milik Kangjeng
Gusti Putri Tegalreja, permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwana I, ketimbang di
dalam istana Kesultanan Yogyakarta. Dengan demikian, Pangeran Diponegoro
merupakan buyut dari Sri Sultan Hemengkubuwana I.
Semasa pemerintahan Sri Sultan Hemengkubuwana IV, Pangeran
Diponegoro dan Pangeran Natakusuma menjadi wali raja. Mengingat waktu itu,
Sultan masih berusia kanak-kanak. Namun sewaktu tanah pemakaman leluhurnya
ditanami patok-patok untuk dijadikan jalan oleh Belanda, Pangeran Dipanegera
mengundurkan diri sebagai wali raja.
Bukan sekadar mundur sebagai wali raja, Pangeran Diponegoro yang
merasa sakit hati pada Belanda itu kemudian mengangkat senjata untuk
melakukan perlawananan. Namun berkat pengkhianatan dan perselisihan dari para
pendherek-nya, perjuangan Diponegoro kandas di tengah jalan. Karena sesudah
ditipu oleh Belanda, Diponegoro yang diasingkan ke Menado itu tidak bisa
menggalang kekuatan lagi.
Dari Menado, Pangeran Diponegoro diasingkan ke Makassar. Di tempat
pengasingan terakhir ini, Diponegoro menghembuskan napasnya yang terakhir.
Sungguhpun Diponegoro telah tinggal di alam keabadiannya, namun namanya
layak dicatat dalam sejarah perjuangan Indonesia. Selain naskah Babad
Diponegoro yang merupakan warisannya dapat dijadikan sebagai media untuk
mengenang spirit perjuangan dan buah pemikirannya. [ ]

70
DIPONEGORO
BERTEMU SUNAN KALI
SEJAK kecil, Pangeran Dipangera tinggal di ndalem nenek buyutnya, permaisuri
Sri Sultan Hamengkubuwana I, di Tegalreja. Di ndalem Tegalreja, Pangeran
Diponegoro tinggal bersama Pangeran Hadinegara, dan Pangeran Suryabrangta.
Sejak kecil, pertahatian Pangeran Dipanegera pada ilmu agama Islam
sangat besar. Sebab itu, Diponegoro suka berkelana. Mendatangi masjid-masjid.
Berkumpul dengan para ulama dan santri. Mengembara di tempat-tempat sepi
yang jauh dari istana, seperti gua.
Pada usia duapuluh tahun, Pangeran Diponegoro yang bila bepergian
selalu menyamar sebagai rakyat biasa itu tetap memerhatikan ilmu agama. Tetapi
kesenangannya terhadap dunia, Pangeran Diponegoro yang merupakan lelaki
normal itu masih sering tergoda dengan wanita. Tak heran bila Pangeran
Diponegoro kelak memiliki banyak istri.
Karena menguasai ilmu agama, Pangeran Diponegoro yang menggunakan
nama Syekh Abdul Rakhim itu memiliki banyak santri. Namun sebagai guru
agama, Abdul Rakhim tidak hanya melulu tinggal di pondok. Bila bosan tinggal di
pondok, Abdul Rakhim berkelana di dalam hutan.
Sewaktu lelah berkelana di dalam hutan, Syekh Abdul Rakhim memasuki
gua. Di dalam gua itulah, Abdul Rakhim didatangi oleh seorang lelaki bercahaya
yang tak lain Kangjeng Sunan Kalijaga. Kepada Abdul Rakhim, Sunan Kali
menyampaikan pesan, “Kelak kau menjadi raja!”
Dengan secepat kilat, lelaki bercahaya itu musnah dari pandangan Syekh
Abdul Rakhim. Karenanya, Abdul Rakhim sangat menyesal dalam hati.
Bagaimana tidak? Sebelum sosok gaib Sunan Kali itu musnah, Abdhul Rakhim
tak sempat menghaturkan sembah bakti.
Sesudah pertemuannya dengan Sunan Kalijaga, Syekh Abdul Rakhim
menyelasak rerimbun semak-semak, menuruni lembah, dan mendaki gunung
dengan hati limbung. Ketika merasa lelah, Abdul Rakhim beristirahat dan tidur
tanpa memilih-milih tempat. Di tempat yang tidak dikenalnya itu, Abdul Rakhim
tinggal selama tujuh hari. [ ]

71
SYEKH ABDUL RAKHIM
BERTEMU KANGJENG RATU KIDUL
PENGEMBARAAN Syekh Abdul Rakhim hampir mendekati masjid yang berada
di tlatah Imogiri. Bertepatan dengan hari Jumat, Abdul Rakhim mendatangi
masjid itu untuk melakukan salat Jumat. Mengetahui tuannya datang, juru kunci
masjid dan umat Islam yang akan melaksanakan salat Jumat menyapa,
bersalaman, dan memberikan penghormatan kepada Abdul Rakhim.
Di masjid Imogiri itu, Syekh Abdul Rakhim beristirahat semalam.
Keesokan paginya, Abdul Rakhim melanjutkan pengembaraannya. Menyusuri
sungai dan mendaki gunung. Memasuki gua Siluman. Sesudah semalaman tinggal
di gua itu, Abdul Rakhim berjalan ke arah gua Sigalagala. Dua hari dua malam,
Abdul Rakhim tinggal di dalam gua itu.
Dari gua Sigalagala, Syekh Abdul Rakhim berjalan menuju gua Langse.
Di dalam gua itu, Abdul Rakhim bertapa mati raga. Pada malam kelimabelas,
Abdul Rakhim didatangi oleh Kangjeng Ratu Kidul, seorang penguasa keraton
Laut Selatan. Tujuan Ratu Kidul untuk menggoda Abdul Rakhim. Namun sebagai
insan Tuhan pilihan, Abdul Rakhim sama sekali tak terpikat oleh godaan Ratu
Kidul.
Sesudah limabelas hari bertapa mati raga di gua Langse, Syekh Abdul
Rakhim berjalan ke Parangtritis. Dari Parangtritis, Abdul Rakhim melanjutkan
pengembaraannya ke Parangkusuma. Di tempat itulah, Abdul Rakhim duduk
bersila dalam samadi di atas batu gilang.
Sewaktu di puncak keheningan, Syekh Abdul Rakhim mendengar suara
tanpa wujud, “Hei, Abdul Rakhim. Bergantilah nama Abdul Khamit. Ketahuilah,
Abdul Kamit! Dalam waktu tiga tahun lagi, akan terjadi perang yang akan
membuat kekacauan di Kesultanan Yogyakarta. Karenanya bawalah panah
Sarotama ini sebagai pusakamu! Jagalah pula keselamatan ayahmu! Itu saja
pesanku. Sekarang pulanglah! Jangan belama-lama tinggal di sini!”
Sebelum terbit matahari, Abdul Khamit melihat sebatang cahaya dari
langit yang menancap tepat ke batu gilang. Oleh Abdul Khamit, cahaya yang
berubah menjadi sebatang cundrik itu dicabutnya dari batu gilang. Cundrik
Sarotama itu diselipkan pada ikat pinggangnya.
Tanpa menunggu matahari setinggi tombak, Abdul Khamit meninggalkan
Parangkusuma. Berjalan dengan menyusuri pantai. Berhenti sejenak di Sawangan
dan berlanjut ke Nglipura. Di Nglipura, Abdul Khamit bermalam di samping batu
gilang, tempat Panembahan Senapati bertapa dua ratusan silam. Pagi harinya,
Abdul Khamit menuju gua Secang sebelum pulang ke Tegalreja. [ ]

72
HAMENGKUBUWANA II
DITURUNKAN PAKSA OLEH DAENDELS
DI PENANGKILAN, Sri Sultan Hamengkubuwana II duduk berjajar dengan
Minister Hegler dan dihadap Patih Sindureja beserta Raden Rangga Prawiradirja
dari Madiun. Sewaktu mereka berembuk, datanglah Jenderal Jawa dari negeri
Belanda bernama Daendels. Daendels datang di Yogyakarta sesudah berkunjung
di Kasunanan Surakarta.
Dari hasil rapat para pejabat Kesultanan Yogyakarta itu, Sri Sultan
Hamengkubuwana II menyepakatinya. Tetapi, Daendels yang baru saja datang di
penangkilan itu tidak menyepakatinya. Akibatnya, Raden Rangga Prawiradirja
meninggalkan penangkilan sesudah memohon izin pada Sultan.
Datangnya Daendels di Yogyakarta membuat Raden Rangga Prawiradirja
berduka, karena kebijakan di kesultanan akan berubah. Duka Raden Rangga pun
semakin memberat ketika mendengar kabar Kangjeng Ratu Maduretna meninggal
sesudah melahirkan putranya. Di samping makam Kangjeng Ratu Maduretna itu,
Raden Rangga menitikkan air mata.
Pada hari berikutnya, Raden Rangga Prawiradirja yang menentang
kebijakan Daendels itu dipanggil oleh Belanda ke Semarang sesudah meminta izin
pada Sri Sultan Hamengkubuwana II. Bersama pasukannya, Raden Rangga datang
ke Semarang. Sesampai tujuan, Raden Rangga sudah ditunggu pasukan Belanda.
Perang pun terjadi, hingga Raden Rangga berhasil ditangkap dan dibawa ke
Betawi.
Mendengar kabar Raden Rangga Prawiradirja dibawa ke Betawi, Sultan
Hamengkubuwana II memerintahkan pada Raden Purwadipura, Pangeran
Dipakusuma, dan Pangeran Martalaya beserta pasukannya. Oleh Sultan, mereka
ditugaskan untuk merebut Rangga Prawiradirja dari tangan Belanda. Namun
dalam peperangan, mereka beserta pasukannya berhasil ditaklukkan oleh pasukan
Belanda.
Dengan dipenjarakannya Raden Rangga Prawiradirja ke Betawi
merupakan awal rusaknya Kesultanan Yogyakarta. Sebagai raja di Yogyakarta,
Sri Sultan Hamengkubuwana II sendiri pula dipanggil oleh Jenderal Daendels di
loji Semarang. Setiba di loji, Daendels menurunkan secara paksa kepada Sultan
dari tahta kekuasaannya. Sebagai pengganti raja di Kesultanan Yogyakarta adalah
putranya yakni Sri Narendra (Sri Sultan Hamengkubuwana III).
Sesudah menurunkan Sri Sultan Hamengkubuwana II dari tahta
kekuasaannya dan mengangkat Sri Narendra putranya sebagai sultan di
Yogyakarya, Daendels pulang ke Betawi. Tak lama kemudian, Daendels yang
menjabat sebagai gubernur jenderal di Betawi itu dicopot kedudukannya.
Digantikan oleh Jenderal Yansen. [ ]

73
INGGRIS DATANG, DANUREJA
DITANGKAP DAN DIBUNUH
DI MASA kekuasaan Jenderal Yansen di Betawi, datanglah pasukan Inggris di
bawah komando Jenderal Thomas Raffles. Menyadari akan muncul ancaman
Inggris terhadap kekuasaan Belanda di Betawi, Jenderal Yansen meminta bantuan
kepada Sri Narendra (Sri Sultan Hamengkubuwana III) di Yogyakarta.
Merasa berhutang budi pada Belanda yang telah mengangkatnya sebagai
sultan di Yogyakarta, Sri Narendra mengirim bantuan pasukan ke Betawi.
Dikirimlah pasukan Yogyakarta yang berjumlah seribu prajurit. Pasukan ini
dipimpin oleh lima komando, yakni: Pangeran Danukusuma, Pangeran
Danunagara, Tumenggung Wiryasuma, Raden Arya Sindureja, serta Raden
Ranawijaya.
Selagi perjalanan pasukan Yogyakarta sampai wilayah Gombel
(Surakarta), pasukan Inggris sudah berhasil merebut Betawi dari cengkeraman
Belanda. Gubernur Jenderal Yansen yang berhasil ditangkap oleh Inggris pun
sudah dibuang ke pulau seberang.
Mendengar Inggris berhasil menaklukkan Belanda di Betawi, Sri Sultan
Hamengkubuwana II mengumpulkan ketiga putra, putra menantu, dan saudara
iparnya. Hasil pembicaraan mereka memutuskan untuk mengambil tahtanya yang
diduduki oleh Sri Narendra. Selain itu, Sultan pula menangkap dan membunuh
Patih Danureja I.
Sementara Sri Narendra yang diangkat Belanda, menjadi gelisah ketika
Inggris berhasil menguasai Betawi. Di dalam ruang dengan pintu dan jendela
terkunci serta dijaga oleh sejumlah pengawal di luar, Sri Narendra tampak sangat
cemas.
Kepada beberapa pengawalnya, Sri Narendra yang berada di Banjar
Adhem itu memerintahkan untuk memanggil Pangeran Diponegoro di Tegalreja.
Berangkatlah mereka menuju Tegalreja, di mana Diponegoro yang mendengar
kabar tentang tunduknya Belanda pada Inggris itu mencemaskan nasib ayahnya.
Di tengah perjalanan, utusan Sri Narendra itu bertemu Pangeran
Diponegoro. Kepada Diponegoro yang masih duduk di gigir kuda, salah seorang
pengawal raja menyampaikan pesan, “Ayahanda Pangeran Diponegoro meminta
pada Tuan untuk datang ke Banjar Adhem.”
Tanpa melontarkan jawaban kepada pengawal itu, Pangeran Diponegoro
melecut kudanya dengan tali kendali. Kuda itu sontak berlari kencang menuju
Banjar Adhem. Setiba di tujuan, Diponegoro turun dari kuda. Berkumpul dengan
para bawahan ayahnya.
Di hadapan Sri Narendra, Pangeran Diponegoro duduk bersimpuh dan
menghaturkan sembah bakti. Dengan melelehkan air mata di pipi, Sri Narendra
merangkul putranya. Sungguh! Pertemuan ayah dan putranya itu membuat haru
bagi seluruh orang yang menyaksikannya. [ ]

74
PERTEMUAN HEMENGKUBUWANA II
DAN SRI NARENDRA
Di DALAM suatu ruang, Sri Narendra dan Pangeran Diponegoro saling
berbincang mengenai surutnya Belanda dan timbulnya Inggris di tanah Jawa.
Perbincangan melebar mengenai dibunuhnya Patih Danureja oleh Sri Sultan
Hamengkubuwana II.
Pada awalnya, Sri Narendra ingin melakukan perlawan terhadap Sri Sultan
Hamengkubuwana II yang telah mengambil tahtanya kembali. Namun tujuan Sri
Narendra itu tidak disepakati oleh Pangeran Diponegoro. Karena saran putranya,
Sri Narendra ingin menempuh jalur kekeluargaan dengan Hamengkubuwana II.
Di hadapan Hamengkubuwana II, Sri Narendra yang didampingi Pangeran
Dipanegera putranya itu membuka pembicaraan, “Kenapa ayahanda meminta
tahta Kesultanan Yogyakarta dan menangkap Patih Danureja dan
membunuhnya?”
“Sebenarnya kau mendengar berita yang salah, ananda. Aku tidak
menangkap Danureja. Apa lagi membunuhnya. Aku hanya membuangnya. Karena
besok Danureja akan merepotkan pemerintahanmu di Kesultanan Yogyakarta.”
Sri Sultan tampak mengernyitkan dahinya. “Aku membuang Danureja karena ia
yang menyebabkan kekacauan pemerintahan di Kesultanan Yogyakarta. Kepada
Jenderal Daendels, Danureja menyampaikan kabar bohong bahwa aku telah
menyerahkan tahta kepadamu. Danureja pula berencana menobatkanmu sebagai
raja dan melengserkanku dari tahta. Dengan harapan, bila kau menjadi raja akan
mudah dijadikan boneka oleh Belanda.”
“Sebentar, ayahanda!” Sri Narendra meredakan amarah Sri Sultan
Hamengkubuwana II. “Apakah ayahanda ingin kembali menjadi sultan di
Yogyakarta?”
“Bukan itu maksudku.” Sri Sultan Hamengkubuwana II menjawab tegas.
“Keinginanku hanya untuk menjadikan Kesultanan Yogyakarta kembali membaik.
Aku mengetahui kalau kau belum sanggup mengemudikan bahtera Kesultanan
Yogyakarta dengan baik. Kau harus belajar lagi untuk menjadi seorang pemimpin
negara.”
Mendengar pernyataan Sri Sultan Hamengkubuwana II, Sri Narendra
terdiam serupa patung. Beserta Pangeran Diponegoro, Raja Yogyakarta itu keluar
dari ruangan. Meninggalkan Hamengkubuwana II. Kembali ke Banjar Adhem.
Sementara, Pangeran Dipanegera kembali ke Tegalreja. [ ]

75
PERTEMUAN DIPONEGORO
DENGAN HAMENGKUBUWANA III
TEPAT hari Jumat, Pangeran Diponegoro melaksanakan jamaah salat Jumat.
Demikian pula dengan Sri Sultan Hamengkubuwana II, Sri Narendra, Pangeran
Mangkudiningrat, dan seluruh putra dan cucu Pangeran Mangkubumi, sang
pendiri Kesultanan Yogyakarta.
Sesudah melaksanakan jamaah salat Jumat, Pangeran Diponegoro dan
Pangeran Mangkudiningrat berkumpul dengan Sri Narendra di serambi masjid.
Kepada putra dan adiknya, Sri Narendra meminta pertimbangan atas hubungannya
dengan Sri Sultan Hamengkubuwana II yang mulai retak. “Bagaimana pendapat
Dhimas Mangkudiningrat mengenai sikap yang harus aku ambil terhadap Rama
Sultan? Apakah aku harus melawan Rama Sultan melalui jalur perang?”
“Serupa dihadapakan pilihan simalakama, Kangmas Sultan.” Pangeran
Mangkudiningrat sejenak terdiam. Tak tahu jawaban yang sangat arif untuk
disampaikan. “Betapa susah aku menyampaikan jawaban, Kangmas Sultan. Bila
mendukung Kangmas Sultan, artinya aku turut berani kepada ayahanda. Bila tidak
mendukung, aku berani kepada saudara tua.”
“Apakah ananda diperbolehkan untuk menyampaikan pendapat, ayahanda
Sultan?” tanya Pangeran Diponegoro yang sejak tadi menyimak pembicaraan
ayah dan pamannya. “Bila ayahanda mengizinkan, ananda akan menyampaikan
pendapat. Demi kebaikan keluarga istana Kesultanan Yogyakarta.”
“Aku izinkan.”
“Beberapa hari lalu, ananda mendengar pembicaraan antara ayahanda
dengan Eyang Sultan. Dari pembicaraan, Eyang Sultan tetap mendambakan
ayahhanda menjadi Sultan. Tetapi, bukan sekarang. Ayahanda dipersiapkan untuk
menjadi sultan yang tangguh sesudah surutnya Eyang.” Pangeran Diponegoro
menarik napas dalam-dalam. Menghembuskannya dengan lembut. “Karenanya,
ayahanda tak perlu melawan Eyang Sultan. Bila melawannya, ayahanda justru
akan memecah belah Kesultanan Yogyakarta menjadi dua. Dengan melawan
Eyang Sultan, ayahanda akan dianggap banyak orang sebagai putra tak berbakti.
Keberadaan ayahanda di muka bumi karena benih dari Eyang Sultan.”
“Baiklah, ananda. Pendapatmu akan aku pertimbangkan.” Wajah Raja
Yogyakarta tampak semuram awan yang menggantung di angkasa. “Sekarang
pulanglah kau ke Tegalreja! Pulanglah kau ke ndalem Mangkudiningratan,
Dhimas! Aku juga mau pulang ke istana. Beristirahat.”
Sebagaimana Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkudiningrat, Sri
Narendra meninggalkan serambi masjid. Betapa pada hari itu, Sri Narendra seperti
menangkap bayang-bayang hitam yang menyertai perjalanannya pulang ke istana
Kesultanan Yogyakarta. [ ]

76
HAMENGKUBUWA II
KEMBALI MENJADI RAJA
SRI Narendra menerima surat dari Sri Sultan Hemengkubuwana II melalui Nyai
Riya Swadasaganda. Sesudah membaca surat yang berisikan agar menghadap
ayahandanya, Sri Narendra yang diangkat sebagai sultan di Yogyakarta oleh
Belanda itu bergegas meninggalkan istana. Tanpa seorang pengawal, Sri Narendra
menghadap Hamengkubuwana II.
“Kenapa kau sekarang mengharapkanku kembali menjadi raja seperti sedia
kala, ananda?” tanya Sri Sultan Hamengkubuwana II.
“Mohon maaf, ayahanda.” Sri Narendra menghaturkan sembah bakti pada
sang ayah. “Semula ananda menjadi korban rencana Patih Danureja yang
menghendaki ananda menjadi raja dan ayahanda turun dari tahta. Ananda pun
malu ketika Kesultanan Yogyakarta terkesan memiliki dua raja.”
Sebagaimana kedua istrinya, Sri Sultan Hamengkubuwana II tampak haru
ketika mendengar pernyataan dari putranya. “Aku sangat bahagia, ananda. Kau
telah menyadari kesalahanmu.”
“Ya, ayahanda Sultan.”
Sri Sultan Hamengkubuwana II memerintahkan kepada salah seorang abdi
kerajaan untuk memanggil Raden Prawiranata, Raden Brangtakusuma, dan
seorang carik. Oleh Hamengkubuwana II, carik itu diminta untuk menulisakan
surat yang berisikan bahwa Sri Narendra telah menyerahkan tahta Kesultanan
Yogyakarta kepadanya. Surat telah selesai ditulis. Hamengkubuwa II pun
bergegas memerintahkan Sindunagara dan Danunagara untuk menyerahkan surat
itu kepada Minister Ingglar di loji. Karena kekuasaan tanah Jawa sudah di tangan
Inggris, surat Hamengkubuwana II tidak mendapat tanggapan.
Sungguhpun tidak mendapat tanggapan dari Belanda, Sri Sultan
Hamengkubuwana II menobatkan diri sebagai raja di Kesultanan Yogyakarta.
Sementara Sindunagara diangkat oleh Hamengkubawa II sebagai patih.
Menggantikan kedudukan patih Danureja.
Sesudah penobatan kembali Sri Sultan Hemengkubuwana II sebagai raja
dan pengangkatan Sindunagara sebagai patih, penangkilan dibuarkan. Sultan
beserta istri dan keluarga kembali ke istana. Sementaa, para punggawa Kesultanan
Yogyakarta kembali ke wismanya masing-masing. [ ]

77
DIPONEGORO
PERGI KE GUA SERANG
LOJI-LOJI Belanda sudah kosong. Para jenderal dan pasukannya sudah banyak
yang meninggalkan Semarang dan Betawi. Sejak itu, Inggris yang mendapat
dukungan pasukan kaum Sepehi mulai mencengkeramkan kuku-kuku
kekuasaannya di tanah Jawa. Bukan hanya Kasunanan Surakarta dan Praja
Mangkunegara, tidak ketinggalan pula Kesultanan Yogyakarta.
Semakin kuatnya pengaruh Inggris menjadikan Kesultanan Yogyakarta
semakin muram. Para punggawa dan para pangeran terpecah belah. Sebagian dari
mereka yang berpihak pada Sri Sultan Hemengkubuwana II mulai berpaling pada
Inggris. Sebagian mereka yang berpihak Raja Yogyakarta tampak anti Inggris.
Inggris mengetahui bahwa Sri Narendra yang telah mengembalikan tahta
kekuasaannya pada Sri Sultan Hamengkubuwana II. Inggris pula mendengar
kabar bahwa Sri Narendra akan dibuang Sultan.
Mendengar kabar tentang rencana pembuangan Sri Narendra oleh Sri
Sultan Hamengkubuwana II, Pangeran Diponegoro putranya merasa prihatin.
Dalam batin yang pedih, Pangeran Diponegoro berkata, “Semoga ayahanda selalu
tabah dalam menghadapi cobaan hidup ini.”
Tanpa sepengetahuan seorang pun, Pangeran Diponegoro diam-diam
meninggalkan wismanya. Dengan kuda tunggangannya, Pangeran Dipanegera
pergi ke gua Serang. Memohon kepada Allah tangala agar Kesultanan Yogyakarta
kembali dijauhkan dari perseteruan keluarga. Agar kondisi di Kesultanan
Yogyakartra kembali pulih seperti sedia kala.
Kepergian Pangeran Diponegoro kiranya membuat resah ibu Sri Sultan
Hamengkubuwana II (permaisuri Sri Sultan Hamengkubuwana I). Karena tidak
tega melihat kesedihan ibunya, Hamengkubuwana II memerintahkan Patih
Sindunagara untuk mencari Pangeran Diponegoro.
Dengan membawa prajurit secukupnya, Patih Sindunagara meninggalkan
Kesultanan Yogyakarta. Mencari Pangeran Diponegoro yang meninggalkan
Tegalreja tanpa pamit. Sudah menjadi kehendak Illahi, Sindunagara berhasil
menemukan keberadaan Pangeran Dipanengara di gua Serang.”
“Duh, Pangeran Diponegoro!” Patih Sindunagara membuka pembicaraan.
“Kenapa Pangeran meninggalkan Tegalreja tanpa pamit.”
“Aku menyingkir ke tempat sepi ini hanya untuk mendoakan agar
ayahanda selalu dalam lindungan Illahi.”
“Tapi kepergian Pangeran membuat sedih Ratu Ageng.” Wajah Patih
Sindunagara tampak muram. “Karenanya, Pangeran. Hendaklah Pangeran pulang
ke Tegalreja. Kasian Kangjeng Ratu Ageng.”
Teringat pada Ratu Ageng, eyang buyutnya sangat dicintainya, Pangeran
Diponegoro bersedia pulang ke Tegalreja. Setiba di ndalem Tegalreja, Pangeran
Diponegoro menemui Ratu Ageng sebelum memasuki senthong tengah.
Menenteramkan hati yang dilanda gundah gulana. [ ]

78
HAMENGKUBUWANA II MENJEMPUT RAFFLES
SRI Sultan Hamengkubuwana II mendapatkan laporan dari Patih Sindunagara
bahwa Jenderal Thomas Raffles dari Inggris akan datang di Kesultanan
Yogyakarta. Karenanya bersama Sindunagara, Sultan memerintahkannya untuk
menjemput Jenderal Raffles di Kalasan, tepatnya di Gowok.
Sesudah bertemu dengan Raffles, Sri Sultan Hamengkubuwana dan Patih
Sindunagara memersilahkan sang jendral untuk masuk di dalam kereta. Namun
Raffles menolaknya. Ia memilih menunggang kuda yang berjalan di depan kereta,
di mana Sultan berada di dalamnya.
Sesampai halamah loji, Sultan Hamengkubuwana turun dari kereta.
Jenderal Raffles dan Patih Sindunagara turun dari gigir kuda. Ketiganya
memasuki loji yang dihias dengan sangat indah. Sultan duduk di dampar. Raffles
duduk di kursi yang telah disediakan.
Merasa sebagai penguasa tertinggi di Kesultanan Yogyakarta, Sultan
Hamengkubuwa ingin menduduki damparnya di depan kursi Raffles. Sebagai
orang Inggris yang berkuasa di tanah Jawa, Raffles tersinggung. Ia tidak
menyepakati keinginan Sultan itu.
Akibat perselisihan itu, Jenderal Raffles menghunus pedang dari
warangka-nya. Sultan Hamengkubuwana pula menarik keris dari warangka-nya.
Menyaksikan Raffles dan Sultan akan berperang, seluruh putra dan adipati dari
Kesultanan Yogyakarta sontak beranjak dari kursi. Pasukan Inggris yang berbaris
di luar serempak memasuki loji. Hingga di dalam loji, penuh orang-orang yang
mulai terbakar amarahnya.
Menyaksikan akan timbulnya perang dari dua kelompok, Patih
Sindunagara melerai perselisihan Sultan Hamengkubuwana versus Jenderal
Raffles. Perlahan-lahan murka keduanya padam. Sultan kembali duduk di
damparnya, sedang Raffles duduk di kursinya. Demikian pula para pangeran dan
adipati kembali duduk di kursi. Pasukan Inggris yang tidak berkepentingan di
dalam loji serempak keluar.
Sesudah suasana kembali tenang, Jenderal Raffles meminta tanda tangan
persetujuan pada Sultan Hamengkubuwana atas tanah Jipang dan Prayayangan.
Namun Sultan belum memberikan tanda tangan. Karena waktu sudah larut malam,
Sultan yang berjanji akan memberikan tanda tangan di keesokan harinya itu
meminta izin kepada Raffles untuk pulang ke istana.
Jenderal Raffles mengizinkan Sultan Hamengkubuwa untuk pulang ke
istana. Sepeninggal Sultan, Rafles berserta pasukannya berkumpul di dalam loji.
Raffles pun segera berisirahat di loji sesudah sesiang menghabiskan waktunya
untuk melakukan perundingan dengan Sultan.
Keesokan paginya, Sultan Hamengkubuwana mengutus Adipati Sindureja
ke loji. Sesudah bertemu dengan Jendral Raffles, Sindureja menyampaikan
amanat dari Sultan. Amanat Sultan agar Raffles bersedia datang di istana
Kesultanan Yogyakarta. Namun permintaan Sultan itu ditolak oleh Raffles.
Keputusan Raffles yang tidak mau datang ke istana Kesultanan Yogyakarta itu
disampaikan oleh Sindureja kepada Sultan. [ ]

79
PERTEMUAN CRAWFURD
DAN JAYASENTIKA
SEMAKIN kuatnya cengkeraman kekuasaan Inggris terhadap Kesultanan
Yogyakarta di bawah kepemimpinan residen John Crawfurd membuat Sri Sultan
Hamengkubuwana II merasa semakin terancam kekuasaannya. Karenanya, Sultan
melakukan antisipasi dengan membujuk Inggris untuk menggantikan putra
mahkota (mantan Sultan Yogyakarta III) dengan Pangeran Mangkudiningrat.
Selain strategi itu, Hamengkubuwana II mengadakan perjanjian rahasia dengan
Kasunanan Surakarta untuk melawan Inggris.
Sementara di loji Inggris, Residen Crawfurd yang baru saja mengadakan
pertemuan dengan Pangeran Natakusuma untuk membahas mengenai rencana
penggantian raja di Kesultanan Yogyakarta dari Sri Sultan Hamengkubuwana II
dengan putra mahkota. Hasil bahasan itu, Crawfurd meminta Pangeran
Natakusuma untuk meminta kesepakatan dari Sultan agar bersedia turun tahta dan
digantikan oleh putra mahkota.
Pangeran Natakusuma bersedia melaksanakan perintah John Crawfurd,
namun tidak berjanji bahwa Sri Sultan Hamengkubuwana bersedia digantikan
kedudukannya sebagai raja oleh putra mahkotanya. Mengingat Sultan dikenal
sebagai raja yang sangat keras dan tidak mau tunduk kepada Inggris.
Karena Pangeran Natakusuma tidak bisa diharapkan mampu membantu
Inggris untuk merealisasikan rencananya yakni menggantikan kedudukan Sultan
Hamengkubuwana II dengan putra mahkotanya, John Crawfurd mengundang
Raden Jayasentika.
Di dalam suatu ruang rahasia, John Crawfurd dan Raden Jayasentika
mengadakan pertemuan dan pembahasan mengenai rencana Inggris untuk
mengganti raja di Kesultanan Yogyakarta. “Apa pendapatmu bila Inggris
menggantikan kedudukan Sri Sultan Hemengkubuwana III sebagai raja di
Kesultanan Yogyakarta dengan putra mahkota, Jayasentika?”
“Tidak ada sepatah katapun dari saya, selain sepakat.” Raden Jayasentika
tampak sedang mengerahkan pikirannya. “Tapi, kalau boleh saya usul. Hendaklah
Mister Crawfurd tidak menempuh jalur fisik, melainkan jalur pendekatan terlebih
dahulu dengan putra mahkota.”
“Usulmu saya terima, Jayasentika.” John Crawfurd sejenak terdiam.
“Kalau begitu, saya akan menulis surat kepada putra mahkota agar bersedia
menjadi raja di Kesultanan Yogyakarta kembali.”
“Maaf, Mister!” Raden Jayasentika tertawa kecil. “Bila Mister meminta
secara langsung kepada putra mahkota untuk bersedia menjadi raja dengan
menggantikan kedudukan ayahnya, tidak akan bersedia. Mengingat sesudah
Kangjeng Sultan mangkat, putra mahkota otomatis menjadi raja. Kecuali, Mister
mendukung rencana baru Kangjeng Sultan. Menggantikan putra mahkotanya yang
sekarang dengan Pangeran Mangkudiningrat.”
“Tidak!” jawab John Crawfurd tegas. “Inggris tidak mau mendukung
rencana Sultan. Cukup! Bab yang kita bahas bukan persoalan penggantian putra
mahkota, melainkan pergantian raja di Yogyakarta.”

80
“Baik, Mister.” Wajah Raden Jayasentika tampak berbinar sesudah
mendapatkan gagasan cemerlang tiba-tiba. “Rencana Inggris untuk menggantikan
raja di Yogyakarta akan berhasil bila Mister melakukan pendekatan dengan
Pangeran Diponegoro. Putra mahkota dijamin bersedia menjadi raja di
Yogyakarta untuk menggantikan ayahnya bila dibujuk oleh Pangeran Diponegoro.
Kepada Pangeran Diponegoro, putra mahkota sangat percaya. Apa yang diminta
oleh Pangeran Diponegoro, putra mahkota akan mengikutinya.”
“Oh, begitu.” John Crawfurd mengangguk-anggukkan kepala seperti
burung punguk. “Diponegoro. Saya pernah mendengar namanya. Namun belum
ketemu orangnya. Kira-kira sama usiamu, dia lebih muda atau lebih tua?”
“Lebih muda, Mister. Usiaku tigapuluh tahun. Sementara usia Pangeran
Diponegoro berusia duapuluh lima tahun. Tetapi sungguhpun Pangeran
Diponegoro masih muda, namun dalam bekerja dapat diandalkan hingga
mendapat kepercayaan dari putra mahkota.”
“Kalau begitu, aku tak perlu menulis surat buat Pangeran Diponegoro.
Sebaiknya, aku meminta bantuanmu untuk mendekati Pangeran Diponegoro.
Mengenai caramu untuk membujuk agar Pangeran Diponegoro bersedia meminta
putra mahkota menjadi raja, aku serahkan kepadamu.”
Karena sudah dianggap cukup pertemuannya dengan John Crawfurd,
Raden Jayasentika meninggalkan loji Inggris. Dari loji, Raden Jayasentika pergi
ke Tegalreja untuk menemui Pangeran Diponegoro. Tak ada maksud yang ingin
dicapai selain meminta bantuan Pangeran Diponegoro untuk membujuk putra
mahkota agar bersedia menjadi raja di Kesultanan Yogyakarta. Menggantikan
kedudukan ayahnya yakni Sri Sultan Hamengkubuwana II. [ ]

81
PUTRA MAHKOTA BERSEDIA
DIANGKAT SEBAGAI RAJA
RADEN Jayasentika telah meninggalkan loji. Tanpa disertai pengawal,
Jayasentika pergi ke Tegalreja yang merupakan tempat tinggal Pangeran
Diponegoro selepas tengah malam. Betapa beruntung. Kedatangannya di
Tegalreja, Jayasentika mendapatkan sambutan hangat dari Pangeran Diponegoro.
Di hadapan Pangeran Diponegoro, Raden Jayasentika menyampaikan
maksud dan tujuan kedatangannya. Di mana Jayasentika yang merupakan orang
kepercayaan Residen John Crawfurd itu meminta bantuan kepada Diponegoro
untuk membujuk putra mahkota ayahnya agar bersedia menandatangani
persetujuan untuk diangkat sebagai raja Yogyakarta. Menggantikan ayahnya
yakni Sri Sultan Hamengkubuwana II.
Atas permintaan Raden Jayasentika, Pangeran Diponegoro
menyanggupinya. Namun untuk membujuk putra mahkota agar bersedia diangkat
oleh Inggris sebagai sultan di Yogyakarta tidak dilakukan pada hari itu. Sesudah
mendengar jawaban Diponegoro, Jayasentika meninggalkan Tegalreja. Pulang ke
ndalem Jayasentikan dengan hati berbunga-bunga.
Keesokan harinya, Pangeran Diponegoro yang disertai seorang gamel dan
beberapa pengiringnya pergi ke ndalem kadipaten untuk menemui putra mahkota.
Kepada ayahnya, Diponegoro menyampaikan maksud Raden Jayasentika yang
mendapat kepercayaan Residen John Crawfurd untuk meminta tanda tangan
persetujuan untuk diangkat sebagai raja di Kesultanan Yogyakarta.
“Sebentar, ananda Diponegoro!” Putra mahkota menghela napas.
Wajahnya tampak memikirkan sesuatu. “Jangan percaya dulu dengan Jayasentika!
Teliti dengan seksama! Benarkah yang akan mengangkatku kembali sebagai raja
di Yogyakarta itu Inggris atau Jayasentika?”
“Bukan Jayasentika, Kangjeng Rama. Jayasentika hanya sebagai tangan
panjang Inggris untuk memohon surat pernyataan dari Kangjeng Rama untuk
bersedia menjadi sultan di Yogyakarta.”
“Karena ananda sudah percaya bahwa Inggris yang akan mengangkatku
sebagai raja di Kesultanan Yogyakarta, aku pun turut percaya.” Putra mahkota
memerintahkan pada abdinya untuk mengambilkan selembar kertas dan pena.
Sesudah alat tulis itu tersedia di hadapannya, putra mahkota menuliskan
pernyataan kesediaannya menjadi raja di Yogyakarta dan menandatangani surat
itu. “Aku sudah menandatangani surat pernyataan kesediaanku untuk menjadi raja
di Yogyakarta pada Inggris. Sampaikan surat ini pada Jayasentika, ananda!”
Pangeran Diponegoro menerima surat pernyataan kesediaan lengkap
dengan tanda tangan dari putra mahkota. Tak lama kemudian, Diponegoro
meninggalkan ndalem kadipaten. Sesudah bertemu dengan Jayasentika,
Diponegoro menyerahkan surat dari putra mahkota. Oleh Jayasentika, surat itu
dibawa dan diserahkan kepada Residen John Crawfurd di loji. [ ]

82
PERTEMUAN JAYASENTIKA,
CRAWFURD, DAN TAN JIN SING
PANGERAN Diponegoro yang membawa surat pernyataan kesediaan putra
mahkota untuk diangkat sebagai sultan oleh Inggris menemui Raden Jayasentika.
Tengah malam, surat itu dibawa oleh Jayasentika ke loji untuk diserahkan pada
residen John Crawfurd. Sesampai di loji, Jayasentika mendapat sambutan hangat
dari Crawfurd dan Tan Jin Sing, sang kapten Cina. Mereka duduk bertiga dalam
satu ruang rahasia.
“Saudara Jayasentika….” John Crawfurd membuka pembicaraan.
“Sudahkah kau membawa surat pernyataan kesediaan untuk menjadi sultan di
Yogyakarta dari putra mahkota? Bila sudah, serahkan kepadaku!”
“Kalau saya belum membawa hasil tidak mungkin memasuki loji ini,
Mister. Tentu, aku sudah membawa surat pernyataan dari putra mahkota.”
“Bagus. Serahkan segera surat itu! Sudah tidak sabar aku ingin
membacanya.”
Jayasentika menyerahkan surat pernyataan dari putra mahkota kepada
John Crawfurd. Sesudah membaca surat itu, wajah Crawfurd tampak serupa langit
yang berhiaskan matahari pagi. “Sungguh kau dapat saya andalkan, Jayasentika.
Karenanya, aku akan segera membawa surat ini ke Betawi. Menyerahkannya pada
Jenderal Thomas Raffles. Pesanku. Sebelum aku kembali ke Yogyakarta, jangan
ada diskusi apapun dengan Diponegoro dan putra mahkota!”
Pagi harinya, John Crawfurd pergi ke Betawi. Sesudah mendapatkan
persetujuan dari Jenderal Thomas Raffles atas rencana pengangkatan putra
mahkota sebagai sultan Yogyakarta dan menurunkan Sri Sultan
Hamengkubuwana II dari tahta kekuasaanya, Crawfurd kembali ke Yogyakarta.
Sekembali di Yogyakarta, John Crawfurd mengadakan pertemuan dengan
Jayasentika dan Tan Jin Sing sang Kapten Cina. Kepada Jayasentika dan Tan Jin
Sing, Crawfurd memerintahkan untuk menyampaikan kabar perihal persetujuan
Jenderal Thomas Raffles atas pengangkatan putra mahkota sebagai raja di
Kesultanan Yogyakarta kepada Diponegoro.
Mendengar kabar dari Jayasentika dan Tan Jin Sing perihal persetujuan
Jenderal Thomas Raffles di Betawi atas pengangkatan putra mahkota sebagai raja
di Kesultanan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro tampak bahagia. Tetapi sesudah
tiga tahun berjalan, realisasi pengangkatan putra mahkota sebagai raja di
Kesultanan Yogyakarta belum terealisasi. Sontak Diponegoro merasa ngungun
dalam hati paling dasar. [ ]

83
DIPONEGORO BERSUMPAH
TIDAK INGIN MENJADI RAJA

SEPULANG dari Betawi, John Crawfurd kembali bertemu dengan Raden


Jayasentika dan Tan Jin Sing di dalam loji. Dalam pertemuan, residen Inggris di
Yogyakarta menyampaikan kabar dari Betawi. Di mana, Jenderal Thomas Raffles
telah menyepakati untuk mengangkat putra mahkota sebagai raja di Kesultanan
Yogyakarta dan menurunkan Sri Sultan Hamengkubuwana II dari tahta
kekuasaannya.
Bahasan antara John Crawfurd, Jayasentika, dan Tan Jin Sing melebar
pada pengganti putra mahkota sebagai raja di Kesultanan Yogyakarta sesudah
kemangkatannya. Dalam bahasan itu, Crawfurd berpendapat bahwa yang menjadi
raja paska kemangkatan putra mahkota adalah Pangeran Diponegoro.
Namun muncul pendapat dari Jayasentika bahwa Pangeran Diponegoro
tidak lahir dari istri utama putra mahkota. Sementara buah hati putra mahkota dari
istri utama adalah Raden Ambyah yang masih berusia tiga tahun. Karenanya bila
mengikuti tradisi Kesultanan Yogyakarta, raja sesudah putra mahkota adalah
Raden Ambyah. Tentu saja, bila putra mahkota sudah meninggal.
Sesudah pertemuannya dengan Raden Jayasentika dan Tan Jin Sing, John
Crawfurd menerima surat dari Betawi yang ditandatangani oleh Jenderal Thomas
Raffles. Isi surat itu menyatakan bahwa Raffles akan datang di Yogyakarta.
Kepada Crawfurd, Raffles memerintahkannya untuk memersiapkan pangan yang
cukup dan pasukan yang kuat untuk berperang. Sebagai residen bawahan
pemerintahan pusat di Betawi, Crawfurd melaksanakan amanat dari Raffles.
Memastikan bahwa Jenderal Thomas Raffles akan datang di Yogyakarta,
John Crawfurd mengadakan pertemuan rahasia dengan Raden Jayasentika dan
Tan Jin Sing. Kepada Jayasentika, Crawfurd menyatakan bahwa dirinya ingin
bertemu langsung dengan Pangeran Diponegoro.
Sepulang dari loji, Raden Jayasentika pergi ke Tegalreja. Di mana ketika
Jayasentika datang di Tegalreja, Pangeran Diponegoro tengah berbincang dengan
Ki Rahmanodin dan Amat Ngusman. Kepada Pangeran Diponegoro, Jayasentika
menyampaikan kabar bahwa sewaktu Jenderal Thomas Raffles datang di
Yogyakarta, John Crawfurd akan menemuinya.
Selain itu, Raden Jayasentika menyampaikan rencana Inggris bahwa
semasa putra mahkota yang akan diangkat sebagai raja di Yogyakarta itu
meninggal, maka yang menjadi pengantinya adalah Pangeran Diponegoro.
Mendengar rencana Inggris yang ingin mengangkatnya sebagai sultan di
Yogyakarta itu, Pangeran Diponegoro justru menjatuhkan sumpah bahwa dirinya
menolak untuk menjadi raja di Kesultanan Yogyakarta.
Mendengar sumpah dari Pangeran Diponegoro itu, Ki Rahmanodin dan
Amat Ngusman menjadi semakin kagum kepada junjungannya. Sementara Raden
Jayasentika hanya terdiam seribu bahasa. Dalam batin bicara bahwa sepeninggal
putra mahkota, maka yang menjadi raja di Kesultanan Yogyakarta adalah Raden
Mas Ambyah yang masih berusia kanak. [ ]

84
RAFFLES
DATANG DI YOGYAKARTA
JENDRAL Thomas Raffles yang berkuasa di Betawi telah datang di Yogyakarta.
Mendengar kedatangan Raffles, orang-orang Yogyakarta sudah siap berperang
melawan Inggris. Namun hanya Pangeran Sumadiningrat yang bersedia untuk
menggalang pasukan perang. Sementara, Sri Sultan Hamengkubuwana II masih
ragu untuk melawan Inggris.
Tidak sebagaimana Pangeran Sumadiningrat yang ingin melawan Raffles
dan pasukannya; Pangeran Mangkudiningrat, Pangeran Jayakusuma, dan
Pangeran Sontajaya tidak menghendaki terjadinya perang antara Kesultanan
Yogyakarta dengan Inggris. Mengingat sudah termakan oleh tipuan Pangeran
Natakusuma yang mengatakan bahwa kedatangan Raffles di Yogyakarta ingin
membuang putra mahkota, ayah Pangeran Dipanegera, ke pulau seberang.
Karena Jenderal Thomas Raffles sudah berada di Yogyakarta, Raden
Jayasentika memohon kepada Pangeran Dipanegera untuk membawa putra
mahkota memasuki loji, bertemu dengan Raffles dan John Crawfurd. Akan tetapi,
Pangeran Diponegoro menolaknya. Dengan alasan, Diponegoro khawatir bila
ayahnya akan ditangkap dan dibuang ke pulau seberang. Sebab itu, Diponegoro
meminta Raden Jayasentika berikut Pangeran Natakusuma agar lebih dahulu
memasuki loji. Pada jam lima petang, mereka memasuki loji Inggris.
Mendengar laporan dari telik sandi kalau Raden Jayasentika dan Pangeran
Natakusuma memasuki loji bersama istri dan anak-anaknya, Sri Sultan
Hamengkubuwana sangat murka. Mereka memerintahkan kepada para
bawahannya untuk menangkap orang-orang Natakusuma. Sesudah ditangkap,
mereka disiksa.
Sesudah memasuki loji, Raden Jayasentika menyatakan kepada Jenderal
Thomas Raffles bahwa Pangeran Dipanegera tidak bisa datang ke loji karena
banyaknya pekerjaan. Selain itu, Jayasentika mengatakan bahwa putra mahkota
telah menandatangani surat pernyataan kesediaannya kepada Inggris untuk
diangkat sebagai raja di Yogyakarta.
Untuk meyakinkan kepada Pangeran Dipanegera bahwa Inggris tidak
mengingkari janji untuk mengangkat putra mahkota sebagai raja di Yogyakarta,
maka Jenderal Raffles mengirim surat perjanjian yang ditandatanganinya sendiri
kepada sang pangeran melalui Raden Jayasentika.
Tanpa menunggu malam berganti siang, Raden Jayasentika meninggalkan
loji untuk datang ke Tegalreja. Kepada Pangeran Diponegoro, surat perjanjian dari
Jenderal Raffles itu disampaikan. Membaca surat perjanjian yang baru saja
diterima dari Jayasentika, Diponegoro sejenak terdiam. Entah apa yang mengeram
di dalam benaknya. [ ]

85
GEGER SEPEHI
BERMULA dari Tumenggung Jayaningrat yang tengah berjalan-jalan itu
berpapasan dengan orang Inggris. Lantaran sudah tidak saling memiliki rasa
senang, keduanya berkelahi. Orang Inggris itu tewas. Sementara, Jayaningrat
mengalami luka-luka.
Akibat insiden itu, Jenderal Thomas Raffles mengutus seorang juru bahasa
untuk bertemu Sri Sultan Hamengkubuwana II di Srimenganti. Waktu itu Sultan
tengah dihadap oleh para punggawa, keluarga, kerabat, para putra, dan beberapa
cucunya. Tidak ketinggalan pula, putra mahkota dan Pangeran Sumadiningrat.
Disaksikan oleh semua yang hadir di Srimenganti, juru bahasa dari loji
Inggris itu menyampaikan permintaan Jenderal Raffles agar Sri Sultan
Hamengkubuwana II untuk sementara turun tahta. Kalau kelak Sultan ingin
menjadi raja kembali, hendaklah bersedia memasuki loji untuk mendapatkan izin
dari Jenderal Thomas Raffles.
Karena tidak mendapatkan tanggapan selain amarah dari Sri Sultan
Hamengkubuwana II, juru bahasa kembali ke loji. Melaporkan kepada Jenderal
Thomas Raffles bahwa Sultan tidak bersedia turun tahta.
Mendengar laporan itu, Raffles marah. Karenanya pimpinan Inggris itu
memerintahkan pada pasukannya yang mendapatkan bantuan kaum Sepehi dari
India itu untuk meluncurkan meriam ke istana Kesultanan Yogyakarta. Sesudah
pasukan Inggris-Sepehi meluncurkan meriam, Tumenggung Kertawijaya dan
Tumenggung Menaksela membalasnya. Meluncurkan Meriam dari ndalem
kadipaten ke arah loji Inggris. Mengetahui Yogyakarta membalas, pasukan
Inggris bersorak. Demikian pula pasukan Yogyakarta.
Sesudah pasukan Yogyakartan dan pasukan Inggris-Sepehi saling berbalas
meluncurkan meriam, Sri Sultan Hamengkubuwana II mengangkat Tumenggung
Sumadiningngrat sebagai panglima perang untuk menandingi krida pasukan
Inggris. Kepada Raden Riya Sindureja dan Tumenggung Mertalaya, Sultan
memerintah untuk menghadang bantuan pasukan Inggris dari Yogyakarta.
Berbeda di istana, berbeda pula di ndalem kadipaten. Bila di ndalem
kadipaten yang diperintahkan untuk menjadi panglima perang oleh putra mahkota
adalah Pangeran Dipanegera. Karena pasukan dari ndalem kadipaten kurang kuat,
Diponegoro meminta pada Pangeran Mangkudiningrat untuk memberikan bantuan
pasukan.
Perang Yogyakarta versus Inggris melibatkan seluruh punggawa
kesultanan dan putra Sri Sultan Hamengkubuwana II. Pasukan Sumadiwirya
berbaris di pagelaran. Seluruh putra Sultan dan kerabatnya berbaris bersama
pasukannya di Brajanala dan Kamendungan.
Di Kamendungan, Pangeran Mangkudiningrat dan Pangeran Dipanegera
bertemu. Dalam pertemuan itu, Diponegoro meminta kesanggupan
Mangkudiningrat untuk memberikan bantuan pada pasukan ndalem kadipaten.
Awalnya, Mangkudiningrat tidak bersedia memberikan bantuan. Karena didesak
oleh Diponegoro, Mangkudiningrat memberikan bantuan. Anggota pasukan
Mangkudiningrat yang diperbantukan pada Diponegoro, di antaranya: Pangeran
Mangkubumi, Pangeran Arya Panengah, Pangeran Abu Bakar, dan Pangeran Arya

86
Panular. Sesudah mendapatkan bantuan pasukan, perang antara pasukan ndalem
kadipaten dan pasukan Inggris-Sepehi mulai seimbang dan ramai.
Lambat laun perang antara pasukan Inggris-Sepehi dan pasukan
Yogyakarta menjadi tidak seimbang. Pasukan Yogyakarta mulai lemah sesudah
Tumenggung Sumadiwirya dan Tumenggung Kartawijaya gugur karena terkena
pelor Inggris. Pasukan Yogyakarta semakin lemah, ketika pasukan Yogyakarta
yang berbaris di Sitihinggil banyak yang tewas. Pasukan Yogyakarta mulai
berkecil hati.
Perang hingga berlanjut sampai malam hari. Pasukan Yogyakarta semakin
tidak mampu menghadapi krida pasukan Inggris-Sepehi. Pasukan yang dipimpin
oleh Raden Jayasentika, Tumenggung Kartadirja, dan Sukawati berhasil
diprorakporandakan oleh pasukan Inggris-Sepehi. Mengetahui pasukan
Yogyakarta mulai lumpuh, pasukan Inggris-Sepehi yang mendapat dukungan
kaum Sepehi itu bergerak maju hingga mencapai Baluwarti.
Bukan hanya pasukan istana yang berhasil dirangsang oleh pasukan
Inggris-Sepehi, namun pula pasukan ndalem kadipaten. Pasukan yang dipimpin
oleh Pangeran Mangkubumi, Pangeran Arya Panengah, Pangeran Arya Panular,
Pangeran Abu Bakar, dan Pangeran Muhammad pula berhasil dirangsang oleh
pasukan Inggris-Sepehi.
Dalam perang yang terus berlangsung, banyak kaum Sepehi tewas di
tangan pasukan ndalem kadipaten. Namun sesudah pasukan Inggris-Sepehi
berhasil memasuki sudut tenggara Baluwerti, pasukan ndalem kadipaten mundur
sampai ndalem Tanjunganom. Mundurnya pasukan ndalem kadipaten itu
dilaporkan oleh Pangeran Arya Panular kepada putra mahkota.
Mendengar beritra kekalahan pasukan ndalem kadipaten oleh pasukan
Inggris-Sepehi, Putra Mahkota meminta pendapat kepada Pangeran Diponegoro.
“Apa tindakan ananda sekarang, ketika pasukan Inggris-Sepehi berhasil mendesak
pasukan ndalem kadipaten?”
“Tak ada tindakan apapun selain ananda harus menghadapi krida pasukan
Inggris-Sepehi, Ramanda. Ananda hanya meminta Dhimas Suryabrangta untuk
menyertai ananda.” Pangeran Diponegoro mengerling pada adiknya, Pangeran
Adinegara. “Dhimas, jaga ayahanda!”
“Tidak, ananda,” sela Putra Mahkota. “Aku tidak bisa tinggal di sini. Aku
harus mengikutimu untuk menghadapi pasukan Inggris-Sepehi.”
“Baiklah, ayahanda. Suka atau duka, kalah atau menang, hidup atau mati,
kita tertap bersama.”
Menjelang tengah malam, Pangeran Diponegoro beserta Putra Mahkota
dan Suryabrangta, pasukannya ingin bergerak ke Tamansari. Di Tamansari itulah,
Pangeran Diponegoro mendengar berita duka bahwa Pangeran Sumadiningrat dan
Ratu Kedaton telah gugur di tangan pasukan Inggris-Sepehi.
Sebelum sampai Tamansari, Pangeran Diponegoro yang mengetahui
bahwa sudah banyak pasukan Inggris-Sepehi yang berencana bergerak ke Gading.
Dari Gading, Diponegoro bermaksud menuju Alun-Alun Kidul. Dengan harapan
bila terjadi benturan dengan pasukan Inggris bisa dilakukan di medan yang cukup
lapang.

87
Selagi sampai Tamansari, Pangeran Diponegoro sudah berhasil diburu
oleh pasukan Inggris-Sepehi. Karena malu saat diejek oleh pasukan musuh yang
berada di Baluwerti dan di Plengkung, Diponegoro kembali ke Tamansari tanpa
disertai oleh Putra Mahkota dan Pangeran Suryabrangta. Dengan gagah berani,
Diponegoro menghadapi serangan ribuan peluru yang dimuntahkan dari
moncong-mongcong senapan musuh.
Karena Pangeran Diponegoro mendapat perlidungan Tuhan, peluru-peluru
yang ditembakkan oleh pasukan Inggris-Sepehi tidak mengenai kulitnya.
Sungguhpun Diponegoro tidak mengalami luka, namun berhasil dikepung oleh
pasukan musuh di bawah komando Jenderal Glispi.
Melihat Pangeran Diponegoro dikepung pasukaan Inggris, Putra Mahkota
menduga kalau putranya itu telah mati sabil. Namun dugaan Putra Mahkota
meleset, sewaktu Diponegoro beserta Jenderal Glispi, Sekretaris Adim, dan
Mayor Daltun mengampirinya.
Dari Jenderal Glispi, Putra Mahkota mendengar pernyataan bahwa Inggris
memintanya untuk datang ke loji. Tidak ada maksud Inggris, selain akan
memenuhi janjinya semula untuk mengangkat Putra Mahkota menjadi sultan di
Yogyakarta. Menggantikan keudukan Sultan Hamengkubuwana II.
Sesudah mendapatkan kesepakatan dari Pangeran Diponegoro putranya,
Putra Mahkota bersedia dibawa masuk oleh Jenderal Glispi. Berangkatlah Putra
Mahkota menuju loji Inggris dengan melewati Alun-Alun Kidul. Di mana,
Jenderal Raffles telah menunggu sang Putra Mahkota di luar Plenggung Gading.
Berbeda dengan Putra Mahkota, berbeda pula dengan nasib Sri Sultan
Hamengkubuwana II. Putra Mahkota yang diantar Raffles untuk memasuki loji
dan dinobatkan sebagai Sri Sultan Hamengkubuwana III. Sementara, Sri Sultan
Hamengkubuwan II yang ditangkap oleh pasukan Inggris-Sepehi dan dibawa oleh
John Crawfurd untuk dibuang ke pulau Pinang.
Menyaksikan Sri Sultan Hamengkubuwana II kakekya yang dibuang
bersama ketiga putranya yakni Pangeran Mangkudiningrat, Pangeran Mertasana,
Pangran Dipajaya serta ketujuh punggawanya yakni Pangeran Demang, Pangeran
Mangku, Adipati Sumayuda, Tumenggung Sumadiwirya, Tumenggung
Mertanagara, Tumenggung Wiryatruna, dan Tumenggung Yudwijaya itu;
Pangeran Diponegoro meneteskan air mata di pipinya. [ ]

88
PUTRA MAHKOTA MENJADI
SULTAN DI YOGYAKARTA
SESUDAH bertemu dengan Jenderal Thomas Raffles, putra mahkota diangkat
resmi sebagai raja di Kesultanan Yogyakarta bergelar Sri Sultan
Hamengkubuwana III. Adapun Raden Jayasentika diangkat sebagai patih.
Sewaktu menjadi patih, Jayasentika menggunakan gelar Patih Danureja.
Sementara Kapten Tan Jin Sing diangkat sebagai tumenggung bergelar
Secadiningrat.
Dengan disaksikan Residen John Crawfurd, Tan Jin Sing, Pangeran
Diponegoro, dan masih banyak yang lain; Raden Mas Ambyah yang merupakan
adik dari Pangeran Dipanegera dan Pangeran Suryabrangta diangkat sebagai putra
mahkota.
Mengetahui putra mahkota jatuh di tangan Raden Mas Ambyah, Pangeran
Mangkudiningrat yang dicalonkan oleh Sultan Hamengkubuwana II sebagai putra
mahkota sangat marah. Sebab itu, Mangkudiningrat menyuruh Gandaduwirya
untuk membuat kekacauan. Namun naas bagi Gandaduwirya. Ia dibunuh beramai-
ramai oleh orang-orang Sepehi.
Sepeninggal Gandaduwirya, Sri Sultan Hamengkubuwana III yang tinggal
di dalam loji Kebon selama tujuh hari tujuh malam itu pulang ke ndalem
Kadipaten. Sesudah Sri Sultan Hamengkubuwana II dibuang ke Pulau Pinang oleh
Inggris, Sri Sultan Hamengkubuwana III tinggal di istana Kesultanan Yogyakarta.
Ketika Sri Sultan Hamengkubuwana III naik tahta sebagai raja di
Yogyakarta, Inggris mengangkat Pangeran Natakusuma sebagai raja di
Pakualaman. Sewaktu Sultan Hamengkubuwana III tinggal di dalam istana,
Pangeran Diponegoro tidak diperkenankan oleh ayahnya untuk tinggal Tegalreja.
Sang ayah meminta Diponegoro tinggal bersamanya di istana. Sementara, ndalem
Kadipaten yang semula sebagai tempat tinggal Sultan Hamengkubuwana III
ditempattinggali oleh Pangeran Adinegara.
Di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana III, tanah Jipang dan
Kedu yang merupakan wilayah kekuasaan Kesultanan Yogyakarta itu berhasil
diminta oleh Inggris. Oleh Inggris, Jipang yang dialiri oleh sungai Bengawan Solo
itu dijadikan sebagai bandar.
Sesudah dua setengah tahun masa pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwana III, Pangeran Diponegoro kembali tinggal di Tegalreja.
Sungguhpun tidak berkenan Diponegoro kembali ke Tegalreja, Sultan memupus
bahwa sudah kehendak Tuhan kalau Diponegoro tidak suka tinggal di istana.
Sultan pun mulai menyadari bahwa kehadiran Diponegoro ketika Kesultanan
Yogyakarta dilanda kekacauan politik, namun kembali ke ruang panepen sesudah
keadaan negara kembali tenteram.
Perkembangan selanjutnya di masa pemerintahan Sri Sultan
Hamengkubuwana III yakni dengan digantikannya Patih Danureja dengan Raden
Mas Tumenggung dari Japan. Sewaktu menjabat sebagai patih di Kesultanan
Yogyakarta, Mas Tumenggung Japan pula menggunakan gelar Patih Danureja.
Penggantian patih di tersebut telah disepakati oleh Residen John Clawfurd. [ ]

89
PERSUAAN DIPONEGORO
DAN MADURETNA DI TAMANSARI
SUDAH tiga bulan, Sri Sultan Hemengkubuwana III menjabat sebagai raja di
Kesultanan Yogyakarta. Pada saat itu, Sultan memikirkan tentang Pangeran
Diponegoro yang belum menikah. Karenanya, Sultan meminta Diponegoro untuk
menghadapnya di istana Kesultanan Yogyakarta.
Tidak seberapa lama, Pangeran Diponegoro menghadap Sultan
Hamengkubuwana. Kepada putranya, Sultan bertanya dengan nada rendah namun
penuh kewibawaan, “Ananda. Aku pandang kau sudah dewasa. Kau sudah
semustinya memiliki seorang istri. Apakah kau tak pernah memikirkan hal itu?
Bukankah manusia hidup perlu memiliki seorang istri yang membuatnya kelak
memiliki keturunan? Jawab, ananada!”
“Ampun, ayahanda.” Pangeran Diponegoro menghaturkan sembah bakti
dengan wajah sedikit tertunduk ke bumi. “Ananda belum memikirkan untuk hidup
berumah tangga. Satu yang ananda pikirkan untuk selalu mendekatkan diri kepada
Tuhan. Hanya kepada-Nya, hati ananda akan menjadi tenteram.”
“Tuhan adalah kekasih hati. Seorang istri yang kau kasihi dan mengasihi
ananda juga akan membuatmu tenteram. Karenanya menikahlah, ananda! Agar
kau memiliki keturunan yang akan menyambung sejarah hidupmu!”
“Baiklah, ayahanda. Ananda akan memenuhi permintaan ayahanda.
Sayangnya, belum ada wanita yang singgah di dalam hati ananda.”
Mendengar penuturan Pangeran Diponegoro, Sri Sultan Hemengkubuwana
III merasakan kelegaan di dalam dada. Dengan senyum yang tersungging pada
bibirnya, Sultan meminta kepada putranya untuk menikahi bibinya sendiri yang
tinggal di dalam keputren.
Pangeran Diponegoro memohon diri kepada Sri Sultan Hamengkubuwana
III untuk menemui bibinya. Sesudah mendapat restu dari Sultan, Diponegoro
pergi ke dalam keputren. Sesampai tujuan, Diponegoro menyaksikan seorang
wanita duduk membelakanginya di bangku tamansari. Rambutnya yang panjang
bergerai sampai ke pinggang tampak sangat indah di mata Dipanegera.
Jantung Pangeran Diponegoro berdegup saat wanita itu berpaling ke
arahnya. Menyaksikan wajah perempuan itu, Diponegoro hanya terperangah. Tak
mampu mengeluarkan sepatah kata. Betapa Diponegoro sangat mengagumi
kecantikan paras wanita itu. Kecantikan sempurna yang belum pernah dilihat oleh
Diponegoro sepanjang hidupnya.
Dalam diam, Pangeran Diponegoro merasakan gejolak cinta menyembul
di dalam jiwanya. Terlebih ketika Diponegoro menyaksikan gerak-gerik tubuh
wanita itu sangat luwes dan memesona. Karena masih malu untuk bertegus sapa
dengan wanita itu, Diponegoro bertanya kepada Nyai Lurah Keparakan, “Nyai,
siapakah wanita yang duduk sendirian di bangku taman keputren itu?”
“Mohon ampun, Gusti Pangeran!” Nyai Lurah Keparakan itu
menghaturkan sembah kepada Pangeran Diponegoro. “Beliau bibi Pangeran
sendiri. Adik ayahanda Pangeran sendiri. Putri dari eyang Pangeran sendiri. Nama
beliau, Kangjeng Ratu Maduretna.”

90
Seusai mendengar penjelasan dari Nyai Lurah Keparakan, Pangeran
Diponegoro memalingkan wajahnya ke arah Ratu Maduretna. Sebelum kedua kaki
Diponegoro melangkah untuk mendekati bunga keputren yang sangat indah itu,
sang putri datang menghampirinya. Dengan sikap serba salah yang bercampur
rasa malu, Diponegoro berucap terbata-bata, “Ehm…. Maaf, Bibi. Ananda
memasuki taman keputren tanpa seizin Bibi.”
“Tidak mengapa, ananda Pangeran.” Ratu Maduretna terdiam sembari
membaca sikap Diponegoro yang tampak serba salah. Dalam hati putri Sultan
Hamengkubuwana II itu tersenyum. “Kalau boleh tahu, apa tujuan Pangeran
datang ke tamansari tanpa memberi tahu terlebih dahulu?”
“Ananda datang ke tamansari diminta ayahanda Sultan untuk memetik
bunga di tamansari. Bila Bibi berkenan, bolehkah ananda memetik bunga yang
sangat indah dan memesona itu?”
Selagi Ratu Maduretna terdiam seribu bahasa seusai mendengar
pernyataan Pangeran Diponegoro, Ratu Ageng – istri Sri Sultan Hamengkubuwan
II – yang datang ke taman keputren itu melontarkan sebarisan kata yang
membahagiakan Diponegoro. “Boleh, cucuku. Semoga Tuhan merestui
kehendakmu.”
“Semoga, Eyang.” Pangeran Diponegoro sekilas mengerling wajah Ratu
Maduretna. “Ampun, Eyang. Kiranya cucunda mohon pamit dulu.”
“Hati-hati, cucunda. Sampaikan pesanku pada ananda Sultan bila aku
merestuimu untuk menikahi bibimu!”
“Tentu, Eyang.”
Selepas matahari dari pusar langit, Pangeran Diponegoro meninggalkan
taman keputren. Menghadap Sri Sultan Hamengkubuwana III. Melaporkan kepada
ayahnya bila dirinya telah menemui Ratu Maduretna. Menyampaikan pesan Ratu
Ageng tentang doa restunya atas pernikahan dirinya dengan bibinya. Menyatakan
kesanggupannya untuk menikah dengan Ratu Maduretna.
Mendengar penuturan Pangeran Diponegoro, Sri Sultan Hamengkubuwana
tampak senang. Harapan agar putranya itu segera memiliki istri dan keturunan
akan terwujud. Istri dan keturunan dari trah Pangeran Mangkubumi. Leluhur
Kesultanan Yogyakarta yang pantas dijunjung tinggi namanya. [ ]

91
DIPONEGORO KRAMA
DARI istana Kesultanan Yogyakarta, Pangeran Diponegoro pulang ke Tegalreja.
Baru beberapa tinggal di Tegalreja, Diponegoro diminta oleh Sri Sultan
Hamengkubuwana III untuk datang ke istana.
Sesudah mendapatkan keterangan dari Pangeran Diponegoro bahwa ia
telah sanggup untuk dinikahkan dengan Ratu Maduretna, Sultan beserta Pangeran
Diponegoro, Patih Danureja, Pangeran Mangkubumi, dan seluruh putranya –
Pangeran Suryabrangta, Pangeran Adinegara, dan Pangeran Adisurya –
menghadap Ratu Ageng. Tak ada tujuan utama, selain melamar Ratu Maduretna
untuk dinikahkan dengan putranya dari Tegalreja.
Di hadapan Ratu Ageng ibunya, Sri Sultan Hamengkubuwana III
menyampaikan maksud kedatangannya. Sesudah mendengar pernyataan lamaran
dari Sultan, Ratu Ageng menyerahkan Ratu Maduretna untuk dinikahkan dengan
Pangeran Diponegoro. Mengingat putrinya juga bersedia untuk menikah dengan
ksatria dari Tegalreja itu.
Pada waktu lamaran itu, Ratu Ageng dan Sri Sultan Hamengkubuwana III
memutuskan hari pernikahan antara Pangeran Diponegoro dan Ratu Maduretna.
Sesudah lamaran dianggap cukup, rombongan Sultan meminta pamit kepada Ratu
Ageng. Beserta para pengiring, Pangeran Diponegoro pun pulang ke Tegalreja.
Waktu pernikahan antara Pangeran Diponegoro dan Ratu Maduretna telah
tiba. Dengan diiringi para putri, rombongan pengantin wanita meninggalkan
keputren. Sesudah melintasi Gading, rombongan pengantin wanita memasuki
ruang resepsi pernikahan. Saat rakyat Kesultanan Yogyakarta menyaksikan
rombongan pengantin wanita itu serempak berkata dalam hati, “Kangjeng Ratu
Maduretna secantik paras Bathari Sri. Para putri pengiring seperti Bathari Ratih,
Bathari Supraba, Bathari Wilutama, dan para bidadari kahyangan lainnya.”
Sri Sultan Hamengkubuwa III tampak bahagia ketika menyaksikan
rombongan pengantin wanita telah datang. Kebahagian Sultan semakin sempurna
ketika rombongan pengantin laki-laki dari Tegalreja pun datang. Orang-orang
yang menyaksikan Pangeran Diponegoro saling berbisik bahwa putra Sultan itu
menyerupai Bathara Wisnumurti. Sementara Pangeran Mangkubumi, Pangeran
Suryabrangta, Pangeran Adinegara, dan Pangeran Adisurya yang mengiringi
pengantin laki-laki itu digambarkan seperti para dewa ngejawantah.
Sesudah Pangeran Diponegoro dan Ratu Maduretna dipertemukan di
pelaminan, seorang penghulu keraton mensyahkan keduanya sebagai suami-istri.
Menyaksikan putra dan adiknya telah resmi sebagai suami istri, Sri Sultan
Hamengkubuwana III merasa mendapat guguran gunung madu. Demikian pula
dengan Ratu Ageng. Ia mendapatkan kebahagiaan yang tidak dapat dilukiskan
dengan kata-kata.
Waktu pesta pernikahan antara Pangeran Dipanegarea dan Ratu Maduretna
pun tiba. Beserta Sri Sultan Hamengkubuwana III dan Ratu Ageng, para tamu
undangan resepsi pernikahan mendapat jamuan istimewa. Selain menu makanan
yang istimewa, mereka menyaksikan berbagai tarian keraton. Semua yang berada
di ruang resepsi pernikahan itu merasa bahagia tak terkira. [ ]

92
KEHIDUPAN AWAL
RUMAH TANGGA DIPONEGORO
PESTA perkawinan Pangeran Dipanegera dan Ratu Maduretna telah paripurna.
Sri Sultan Hamengkubuwana telah kembali ke Gedhong Jene. Ratu Ageng telah
kembali ke keputren. Para punggawa kesultanan Yogyakarta, para pengeran, para
putri, dan seluruh tamu undangan telah kembali ke tempat tinggalnya masing-
masing. Sementara, Diponegoro beserta Ratu Meduretna kembali ke Tegalreja.
Matahari telah bersarang di balik bukit barat. Malam telah tiba. Ratu
Maduretna sudah merasa kantuk, namun sepasang matanya belum mau
dikatupkan. Sebagai suami, Diponegoro yang tanggap pada bahasa isyarat yang
disampaikan lewat kedua mata Ratu Maduretna segera membopong istrinya itu ke
dalam ruang tidur. Namun sesudah di dalam ruang tidur, Maduretna belum mau
merebahkan tubuhnya di rangjang.
Melihat Ratu Maduretna belum mau tidur, Pangeran Diponegoro menjadi
iba. “Duh, istriku? Kenapa kau belum juga mau tidur? Sungguh aku prihatin.
Percayalah padaku. Aku akan tetap setia. Bila aku mengingkari janji atas
kesetianku, marahlah kepadaku!”
Mendengar pernyataan Pangeran Dipanegera, Ratu Maduretna hanya
terdiam. Tidak lama kemudian, ia merebahkan tubuhnya di ranjang. Namun dalam
hati, ia belum percaya sepenuhnya dengan kesetiaan Diponegoro. Karenanya, ia
membelakangi suaminya. Mendekap guling dari malam ke malam.
Perihal hubungan cinta antara Pangeran Diponegoro dan Ratu Maduretna
yang belum erat itu terdengar oleh Sri Sultan Hamengkubuwana III. Karenanya,
Sultan berkenan untuk datang ke Tegalreja. Memberikan nasihat kepada putranya
agar tetap bersabar. Menghibur putranya yang dalam kedukaan dengan nanggap
tayub. Sesudah dua hari tinggal di Tegalreja, Sultan pulang ke istana.
Keesokan harinya sesudah Sri Sultan Hamengkubuwana pulang ke istana,
Pangeran Diponegoro kembali berupaya meyakinkan kepada Ratu Maduretna
akan cinta dan kesetiaannya. Karenanya sewaktu Maduretna berdiri di bawah
pohon kemuning di samping kolam, Diponegoro mendekati istrinya dengan
langkah pelan-pelan. Mencolek Maduretna dari belakang hingga membuatnya
terkejut dan terjatuh terduduk di tanah. “Ampuni suamimu ini, kekasih hatiku!”
Ratu Maduretna tak melontarkan jawaban atas perkataan Pangeran
Dipanegera dari mulutnya. Kepada suaminya yang telah berdiri di depannya tanpa
diketahui kedatangannya itu, Maduretna hanya menatap. Air matanya mengembun
hingga meleleh di pipi yang ranum merah kejinggaan.
Tak tega menyaksikan Ratu Maduretna menangis, Pangeran Diponegoro
membawanya ke ruang tidur. Membujuk agar sang pujaan hati tak berduka.
“Dhuh, kekasih pujaan hati. Apa yang membuatmu bersedih. Aku tak merasa
berbuat salah kepadamu. Aku hanya sedikit membuatmu terkejut. Bila aku
bersalah kepadamu, maafkan aku!”
Ratu Maduretna hanya menghela napas panjang. Perlahan-lahan wajahnya
ditundukkan. Terdiam seribu bahasa.

93
“Bicaralah, pujaan hatiku!” Pangeran Diponegoro kembali menatap air
mata Ratu Maduretna yang menetes di sprei ranjang. “Jujur, aku bicara. Sesudah
kau tinggal di Tegalreja, aku merasa mendapat anugerah berupa intan berlian.
Namun kenapa kau belum merasa memiliki suami. Aku hanya kau anggap sebagai
abdi yang menghamba kepadamu.”
Mendengar penuturan Pangeran Diponegoro, Ratu Maduretna berkata,
“Semula, aku menduga bahwa menikah dengan seorang pria hanya bermodalkan
wajah. Tetapi, dugaanku itu salah. Mengingat seorang istri harus memberikan
keturunan kepada suaminya.”
Hati Pangeran Dipangera semakin berduka ketika menyaksikan air mata
Ratu Maduretna semakin mengalir deras di pipi. “Kau bilang begitu hanya sebagai
alasan kau kecewa menikah denganku? Lebih baik aku mati ketimbang
menanggung derita yang sangat dalam. Menderita karena bersanding hidup
dengan wanita yang kecewa dengan pernikahannya.”
Mendengar ucapan Pangeran Diponegoro, amarah Ratu Maduretna sontak
runtuh. Seusai melirik Diponegoro, Maduretna berkata, “Mana ada seorang istri
yang telah dimuliakan oleh suaminya lantas kecewa dengan pernikahannya. Kalau
toh ada, betapa hinanya wanita itu.”
Pangeran Diponegoro merasakan kebahagiaan mengalir bersama darah dan
napasnya sesudah mendengar penuturan Ratu Maduretna. Diponegoro tersenyum
sebelum mencium pipi istrinya. “Istriku! Jangan kau kecewa dengan pernikahan
kita. Bila kau tak dapat memberikan keturunan kepadaku, cintaku kepadamu itu
abadi. Sebab kita telah terikat dengan kehendak Tuhan sebagai jodoh. Tak akan
terpisahkan jarak, sungguhpun hanya sejari.”
Wajah Ratu Maduretna berbinar senampak purnama yang baru saja
menyembul dari balik bukit timur. Dengan suka cita, Maduretna berserah diri
ketika Pangeran Diponegoro merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Berpagutan
erat dengan suaminya itu dalam gemuruh asmaragama. [ ]

94
HAMENGKUBWANA III GERING
SELAGI matahari setinggi tombak, Pangeran Dipanegera meninggalkan Ratu
Maduretna istrinya di ndalem Tegalreja. Hasrat kepergian Diponegoro untuk
mengunjungi Ratu Ageng eyangnya di keputren. Sebelum sampai keputren,
Diponegoro membelokkan kudanya ke arah istana Kesultanan Yogyakarta.
Mengunjungi Sri Sultan Hamengkubuwana III ayahnya.
Setiba di pintu gerbang istana Kesultanan Yogyakarta, Pangeran
Dipanegera mendengar kabar dari seorang abdi dalem bahwa Sri Sultan
Hamengkubuwana III tengah gering. Bergegas Diponegoro turun dari gigir kuda.
Melangkah cepat menuju Gedhong Jene, di mana Sultan tengah tubuh lemas
duduk bersandar di kursi jati berukir. “Maaf, ayahanda. Ananda tak tahu bila
ayahanda tengah mendapat cobaan Allah. Sudah berapa hari, ayahanda sakit?”
“Hampir satu bulan, putraku.” Sri Sultan Hamengkubuwana memandang
sayu pada Pangeran Diponegoro sambil tersenyum kecil. “Aku bahagia kau
datang menjengukku, ananda. Aku pula senang saat mendengar kabar kalau
hubunganmu dengan Ratu Maduretna sudah layaknya sepasang suami istri.
Doaku, semoga rumah tanggamu lestari sampai hayat di kandung badan.”
“Terima kasih doanya, ayahanda.”
“Oh ya, ananda. Dari mana kau tahu kalau aku gering?”
“Dari abdi dalem kesultanan, ayahanda. Semula ananda ingin
mengunjunggi eyang putri di keputren. Namun sesudah memasuki banteng istana
sisi barat, ananda berubah pikiran untuk mengunjungi ayahanda terlebih dahulu.”
Mendengar penuturan Pangeran Diponegoro, Sri Sultan Hamengkubuwana
hanya tersenyum. “Sungguh batinmu sangat halus, ananda! Sehingga batinmu
dapat menangkap suara hatiku yang mengharapkan kedatanganmu di istana.”
“Ya, ayahanda.”
“Oh, ya. Bila ananda ingin menjenguk eyang putrimu, datanglah segera ke
keputren! Menginaplah di keputren semalam! Pagi harinya, datanglah kembali ke
Gedhong Jene. Aku masih ingin kau tunggui.”
Sesudah menghaturkan sembah bakti pada Sri Sultan Hamengkubuwana,
Pangeran Diponegoro meninggalkan Gedhong Jene. Selepas tengah siang,
Dipanegera pergi ke keputren, di mana Ratu Ageng tinggal. Bertemu dan
mengabarkan kepada eyang putrinya kalau hubungan cintanya dengan Ratu
Maduretna sudah membaik dan semakin erat.
“Syukurlah, cucunda. Eyang turut senang.” Wajah Ratu Ageng tampak
berbinar. “Semoga hubungan cintamu sama Maduretna sampai kaken-ninen.”
“Terima kasih atas doa restunya, Eyang.”
“Senja hampir datang. Pergilah ke ruang yang semula ditempati Ratu
Maduretna, cucunda! Istirahatlah di sana!”
Pangeran Diponegoro undur diri dari hadapan Ratu Ageng. Memasuki
ruangan yang semula ditempati istrinya. Seusai melakukan sembahyang isyak,
Diponegoro memejamkan sepasang tingkap matanya. Tertidur hingga pagi datang.
Baru melaras suasana pagi di taman keputren, Diponegoro dihadap oleh dua abdi
dalem kesultanan utusan Sri Sultan Hamengkubuwana.
“Kangjeng Pangeran sudah ditunggu oleh Kangjeng Sultan.”

95
Bergegas Pangeran Diponegoro meninggalkan taman keputren. Memasuki
ruangan untuk berganti pakaian. Bersama dengan dua abdi dalem kesultanan,
Diponegoro menghadap ayahnya, Sri Sultan Hamengkubuwana.
Pangeran Diponegoro tampak berduka sesampai di hadapan Sri Sultan
Hemengkubuwana yang telah menunggunya dengan duduk bersandarkan papan
pintu Gedhong Jene. Hatinya merasa ngungun ketika menyaksikan ayahnya tiba-
tiba meneteskan air mata. Tanpa disadari oleh Diponegoro, airmatanya pun
megembun di sudut mata. Mengalir ke bawah. Menyusuri di tepian hidungnya.
Dengan melangkah pelan, Pangeran Diponegoro mengikuti Sri Sultan
Hamengkubuwana untuk memasuki Gedhong Jene. Duduk di hadapan ayahnya
yang tengah sakit. Tampak di wajahnya, Diponegoro tampak merasakan duka
yang sangat dalam dari dasar hatinya.
“Ananda Diponegoro, yang aku sayangi….” Sri Sultan Hamengkubuwana
memecah suasana yang penuh duka. “Harap kau ketahui kenapa aku
mengundangmu untuk datang ke Gedhong Jene. Hendaklah kau ketahui pula,
ananda. Bahwa aku ini sedang menderita sakit. Bila sudah datang waktuku untuk
menghadap Gusti Kang Murbeng Dumadi, jadilah penggantiku sebagai orang tua
bagi adik-adikmu.”
“Ananda berjanji untuk melaksanakan wasiat dari ayahanda.”
“Sungguh kau, putraku yang bisa mikul dhuwur mendhem jero pada
ayahmu sendiri, ananda. Sungguh, kau putraku yang dapat aku banggakan.”
Wajah Sri Sultan Hamengkubuwana menyemburat merah jambu. “Baik, ananda.
Sekarang kembalilah ke keputren! Temuilah eyang putrimu kembali!”
Pangeran Dipanegera undur diri dari hadapan Sri Sultan
Hamengkubuwana untuk kembali menghadap Ratu Ageng di keputren. Selepas
Diponegoro, Sultan pun meninggalkan Gedhong Jene. Menemui para bupati yang
telah sekian lama berkumpul di halaman istana dan prabayeksa. Menunggu sabda
dari sang raja.
Di keputren, Pangeran Diponegoro kembali menghadap Ratu Ageng.
Kepada eyang putrinya, Diponegoro menyampaikan warta bahwa Sri Sultan
Hamengkubuwana tengah gering. Sesudah berpamitan kepada eyang putrinya,
Pangeran Diponegoro pulang ke Tegalreja. Menemui Ratu Maduretna yang telah
ditinggalkan sehari semalam di ndalem-nya. [ ]

96
BELANDA BERKUASA
KEMBALI DI YOGYAKATA
BARU dua hari tinggal di Tegalreja sepulang dari istana Kesultanan Yogyakarta,
Pangeran Diponegoro mendengar kabar duka bahwa Sri Sultan Hamengkubuwana
III telah mangkat. Mendengar berita itu, Diponegoro merasa tersayat-sayat
hatinya. Karenanya tanpa menunda-nunda waktu, Diponegoro beserta Ratu
Maduretna pergi ke istana untuk memersiapkan upacara pemakaman ayahnya.
Dengan dihadiri oleh Residen Garnam yang menggantikan Residen John
Crawfurd, para bupati, punggawa, kerabat, keluarga; pemakaman jenazah Sri
Sultan Hamengkubuwana dilaksanakan. Jenazah Sultan dimakamkan di
pemakaman raja-raja Mataram di Imogiri yang tidak jauh dengan makam Sri
Sultan Hamengkubuwana I, pendiri Kesultanan Yogyakarta.
Sesudah kemangkatan Sri Sultan Hamengkubuwana III, Raden Mas
Ambyah yang masih berusia kanak itu diangkat oleh Residen Garnam menjadi
raja di Yogyakarta bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana IV. Semasa menjabat
sebagai raja Kesultanan di Yogyakarta, Sultan didampingi oleh Patih Sindureja.
Karena Sultan masih berusia kanak, Pangeran Diponegoro dan Pakualam I
menjabat sebagai wali raja yang berurusan dengan tata pemerintahan di
Kesultanan Yogyakarta.
Semasa Sri Sultan Hamengkubuwana disunat, Residen Garnam yang
memangkunya. Tidak lama kemudian, Residen Garnam yang sangat dekat dengan
Sultan itu digantikan kembali oleh Residen John Crawfurd. Belum lama Crawfurd
menjadi residen di Yogyakarta, kekuasaan Inggris di Jawa berpindah kembali ke
tangan pemerintahan Belanda.
Ketika pemerintahan Belanda kembali mencengkeramkan kuku-kuku
kekuasaannya di Kesultanan Yogyakarta, banyak para pengeran mulai
terpengaruh dengan biasaan orang-orang Belanda. Makan, minum, dan suka
berpesta sampai mabuk pada malam hari. Hingga saat itu, tanda-tanda masa
kegelapan di Yogyakarta mulai tampak di mata Pangeran Diponegoro.
Bermulanya masa kegelapan di Kesultanan Yogyakarta tidak lepas dari
peran Patih Sindureja dan Wiranagara yang sangat dekat dengan pemerintah
Belanda. Dengan kekuasaannya yang menyamai kekuasaan raja, Patih Sindureja
membuat kebijakan-kebijak tanpa sepengetahuan Sri Sultan Hamengkubuwana.
Akibat yang ditimbulkan dari kebijakan-kebijakan itu lebih menguntungkan bagi
Sindureja, Wiranagara, dan pemerintahan Belanda; akan tetapi sangat merugikan
bagi Kesultanan Yogyakarta.
Perihal kekacauan politis yang menyebabkan Sri Sultan Hamengkubuwana
sekadar sebagai raja simbolik ini membuat Pangeran Diponegoro sangat terpukul
jiwanya. Terlebih ketika Diponegoro mulai merasakan bahwa tugasnya sebagai
wali raja mulai tidak berperan besar di dalam menjaga tata pemerintahan yang
baik di dalam Kesultanan Yogyakarta. [ ]

97
PERTEMUAN DIPONEGORO
DAN HAMENGKUBUWANA IV
DI NDALEM Tegalreja, Pangeran Diponegoro mulai merasakan ketidakberesan
pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana IV. Apa yang tengah dipertanyakan
Diponegoro siang dan malam perihal berita tentang penarikan kolektur dari rakyat
yang dilakukan oleh Sultan. Karena ingin mendapatkan jawaban yang gamblang,
Diponegoro pergi ke istana.
Setiba di istana, Pangeran Diponegoro bertemu dengan ibunya. Kepada
ibunya, Diponegoro menanyakan soal penarikan kolektur yang dilakukan oleh Sri
Sultan Hamengkubuwana IV. Karena sang ibu tidak tahu menahu soal kolektur,
Diponegoro menemui Sultan yang berada di sitihinggil. “Benarkah Dhimas Sultan
turut menggagas penarikan kolektur pada rakyat? Bila demikian, Dhimas Sultan
telah membuat rakyat semakin menderita hidupnya.”
“Bukan aku yang menggagas mengenai penarikan kolektur kepada rakyat,
tetapi gagasan berawal dari Patih Danureja dan Wiranagara, Kangmas
Diponegoro. Mereka pula mengatakan kepadaku bahwa penarikan kolektur
kepada rakyat itu sudah mendapat persetujuan dari Kangmas.”
“Mereka berbohong, Dhimas Sultan. Sama sekali, aku tidak pernah
memberikan persetujuan atas gagasan Sindureja dan Wiranagara mengenai
penarikan kolektur pada rakyat itu.” Pangeran Diponegoro menarik napas panjang
dan menghembuskannya untuk mengurangi beban di dada. “Bila Dhimas Sultan,
berapa orang yang terlibat dalam penarikan kolektur pada rakyat?”
“Dua lurah, Kangmas. Lurah pertama membawahi enampuluh orang.
Lurah kedua membawa empatpuluh orang. Setiap masa tertentu, mereka menarik
kolektur dari rakyat. Hasilnya mereka serahkan ke ndalem Sindurejan.”
“Saya tidak menduga, Dhimas Sultan. Semasa pemerintahan ayahanda,
tidak ada penarikan kolektur pada rakyat. Kenapa semasa pemerintahan Dhimas
Sultan, penarikan kolektur yang memberatkan beban hidup rakyat itu ada. Sebab
itu, cabutlah penarikan kolektur kepada rakyat!”
Sejenak Sri Sultan Hamengkubuwana IV terdiam untuk memertimbangkan
usulan Pangeran Diponegoro. Selang beberapa saat, Sultan memerintahkan abdi
dalem untuk memanggil Patih Sindureja dan Wiranagara. Selagi perbincangan
Sultan dan Diponegoro belum tuntas, menghadaplah dua punggawa itu.
“Hamba telah menghadap, Kangjeng Sultan.” Wiranagara mengerling
pada Pangeran Diponegoro yang tampak bersikap sinis kepadanya. “Kiranya ada
perintah apa pada hamba. Hamba siap melaksanakan.”
“Aku memerintahkanmu untuk mencabut kesepakatan mengenai penarikan
kolektur pada rakyat yang semula telah disepakai oleh pihak kesultanan dengan
residen Belanda.”
“Sudah tidak bisa, Kangjeng Sultan. Surat keputusan untuk penarikan
kolektur pada rakyat itu sudah ditandatangani bersama antara pihak kesultanan
dengan residen Belanda.”
Mendengar jawaban Wirangara, Sri Sultan Hamengkubuwana IV tampak
menyesali apa yang dilakukan. Membiarkan Patih Sindureja dan Wiranagara

98
membuat kesepakatan dengan residen Belanda mengenai penarikan kolektur
kepada rakyat. “Bagaimana, Kangmas? Kesepakatan soal penarikan kolektur pada
rakyat tidak bisa dicabut kembali.”
“Sekarang, tinggal pilihan Dhimas Sultan. Pilih aku atau kedua orang ini.
Bila pilih aku, cabut kesepakatan penarikan kolektur pada rakyat. Bila pilih
mereka, aku tak mau tahu lagi berurusan dengan itu.”
Merasa disudutkan pada pilihan dilematis oleh Pangeran Diponegoro, Sri
Sultan Hamengkubuwana IV berkata tegas pada Patih Sindureja dan Wiranagara,
“Dengan terpaksa, aku mencabut keputusanku untuk menyepakati soal penarikan
kolektur kepada rakyat.”
“Ampun, Kangjeng Sultan. Bila mencabut kesepakatan soal kolektur pada
rakyat, apakah Kangjeng Sultan berkenan bila dikatakan telah mengkhianti prinsip
raja. Di mana, sabda pendhita ratu tan bisa wola-wali?”
“Wiranagara dan kau Sindureja!” Pangeran Diponegoro berang. Kakinya
mendupak mulut Wiranagara dan Sindureja. “Kalian pasti tahu. Kalau Dhimas
Sultan bersedia menyepakati keputusan soal penarikan kolektur pada rakyat
karena kalian mengatakan kalau aku mendukung rencana busuk kalian itu.”
Menyadari telah terbongkar kebohongannya pada Pangeran Diponegoro di
hadadapan Sri Sultan Hamengkubuwana IV, Wiranagara dan Sindureja terdiam
seribu bahasa. Wajah mereka tertunduk untuk menyimpan rasa malu.
“Sudahlah, Wiranagara dan Sindureja!” Sri Sultan Hamengkubuwana IV
meredam suasana panas di sitihinggil. “Temui Residen Belanda. Cabut surat
kesepkatan soal penarikan kolektur pada rakyat!”
Seusai menghaturkan sembah pada Sri Sultan Hamengkubuwana IV,
Wiranagara dan Sindurreja undur diri. Selepas kedua punggawa kesultanan itu,
Sultan mengajak Pangeran Diponegoro untuk memasuki Gedhong Jene.
Berkumpul dan bersantap siang bersama Ratu Kencana ibunya.
Sesudah bersantap siang, Pangeran Diponegoro menyempatkan waktu
untuk berbincang dengan ibunya. Ambang sore, Diponegoro berpamitan pada Sri
Sultan Hamengkubuwana dan ibunya untuk pulang. Sesudah keluar dari Gedhong
Jene, Diponegoro berjalan ke arah alun-alun pungkuran. Sesudah melompat ke
gigir kuda, Diponegoro memacunya. Menuju ndalem Tegalreja. [ ]

99
PEMBERONTAKAN SINDURATMAJA
DAN PANGERAN DIPASANA
BERTEPATAN dengan bulan Ramadhan, Pangeran Diponegoro mendengar warta
bila Ratu Ageng sakit. Tanpa menunda waktu, Diponegoro pergi ke keputrern
bersama Ratu Maduretna istrinya untuk menjenguk eyangnya. Setiba di keputren,
Diponegoro menyaksikan Sri Sultan Hamengkubuwna IV, Ratu Kencana, dan
saudara-saudaranya tengah mengitari eyangnya itu dengan wajah seperti langit
berselimutkan awan.
Di tengah keluarganya yang sedang berkumpul di keputretn itu, Sri Sultan
Hamengkubuwana IV menanyakan kepada Pangeran Diponegoro, “Bagaimana
menurut pendapat Kangmas? Karena Eyang sedang sakit, apakah upacara gerebeg
pada Bada Syawal besok dilaksanakan?”
“Apapun yang terjadi, pelaksanaan upacara gerebeg Bada Syawal harus
dilaksanakan. Upacara itu sudah menjadi tradisi Kesultanan Yogyakarta yang
diwariskan oleh leluhur kita, Dhimas Sultan.”
Apa yang disarankan oleh Pangeran Diponegoro dilaksanakan oleh Sri
Sultan Hamengkubuwana IV. Seusai bulan Ramadhan, upacara Gerebeg Syawal
dilaksanakan di alun-alun utara Kesultanan Yogyakarta. Sesudah pelaksanaan
upacara itu, Ratu Ageng meninggal. Karenanya empat puluh hari kemudian, Ratu
Kencana yang merupakan istri mendiang Sri Sultan Hamengkubuwana III itu
menggantikan kedudukan Ratu Ageng. Tempat tinggal Ratu Kencana pun
berpindah di tempat tinggal mendiang Ratu Ageng.
Meninggalnya Ratu Ageng membuat matahari di langit Kesultanan
Yogyakarta tampak muram. Suasana makin muram ketika timbul pemberontakan
Sinduratmaja yang mendapat dukungan Pangeran Mertasana. Seorang pangeran
yang suka melakukan maksiyat.
Berita tentang pemberontakan Sinduratmaja itu disampaikan oleh Sri
Sultan Hamengkubuwan IV kepada Pangeran Diponegoro melaui kedua
utusannya, Sasrawiraga dan Sasrabahu. “Kedatangan kami di Tegalreja diutus
oleh rayi Pangeran Diponegoro untuk menyampaikan berita tentang
pemberontakan Sinduratmaja dan Pangeran Dipasana yang berbaris di dusun
Benda, Kedu.”
“Siapakah Sinduratmaja?”
“Hamba kurang tahu betul mengenai Sinduratmaja. Sejauh yang hamba
tahu, ia memiliki seorang istri dan berhasil membunuh serdadu Belanda.”
Pangeran Diponegoro tersenyum mendengar penuturan Sasragriwa.
“Apakah Dhimas Sultan sudah memberikan bantuan kepada Belanda?”
“Sudah, Kangjeng Pangeran. Bersama pasukannya, Raden Mayor dan
Raden Ritmister sudah berangkat ke Benda. Konon Residen Naus pula akan
berangkat ke Benda untuk menangkap Sinduratmaja dan Pangeran Dipasana.”
“Ya, sudah. Sekarang menghadaplah kembali pada Dhimas Sultan!
Laporkan bila kalian sudah menyampaikan berita tentang pemberontakan
Sinduratmaja kepadaku!”

100
Selepas Sasragriwa dan Sasrabahu dari ndalem Tegalreja, Pangeran
Diponegoro pergi ke istana. Kepada Sri Sultan Hamengkubuwana IV, Diponegoro
menyarankan agar merelakan Pangeran Dipasana untuk ditangkap oleh Residen
Naus. Mengingat Dipasana yang telah membuat kekacauan di wilayah kesultanan
Yogyakarta. Sultan pun menerima permintaan Diponegoro.
Dari istana, Pangeran Diponegoro melanjutkan perjalanan menuju ndalem
Adinegaran. Kepada Pangeran Adinegara adiknya, Pangeran Diponegoro
menyarankan agar terus memersiapkan segala sesuatunya yang akan digunakan
untuk pesta pernikahan putranya.
Selang beberapa saat kemudian, Residen Naus melaporkan kepada Sri
Sultan Hamengkubuwan IV bahwa pemberontakan Sinduratmaja berhasil
ditumpas sampai ke akar-akarnya. Dalam penumpasan pemberontkan itu, tidak
diketahui apakah Sinduratmaja masih hidup atau sudah mati. Sementara, Pangeran
Dipasana yang berhasil ditangkap oleh Naus sudah dibuang ke pulau seberang.
Sebagaimana Sri Sultan Hamengkubuwana IV, Pangeran Diponegoro
merasa lega atas keberhasilan Residen Baron Seilus dalam menumpas
pemberontakan Sinduratmaja. Sejak berakhirnya pemberontakan Sinduratmaja,
Diponegoro tidak pulang ke Tegalreja, melainkan di Selaraja.
Berita tentang Pangeran Diponegoro yang mulai tinggal Selaraja sampai di
telinga saudar-saudaranya. Sebab itu, bila Sri Sultan Hamengkubuwana IV rindu
bertemu dengan Diponegoro selalu datang ke Selaraja bersama Pangeran
Suryabrangta dan Pangeran Suryawijaya.
Bila sedang mengunjungi Pangeran Diponegoro di Selaraja, Sri Sultan
Hamengkubuwana IV beserta Suryabrangta dan Suryawijaya sering menyaksikan
ikan wader bang yang berenangan di kolam di samping batu gilang. Tempat
samadi Pangeran Diponegoro.
Pada waktu yang tepat, Pangeran Diponegoro mengajak Sri Sultan
Hamengkubuwana IV beserta Suryabrangta dan Suryawijaya untuk memasuki
gedhong. Di dalam satu ruangan di dalam gedhong, Pangeran Diponegoro
menunjukkan surat perjanjian yang ditulis oleh Secadiningrat dan ditandatangi
oleh Jenderal Raffles di pihak Inggris dengan Sri Sultan Hamengkubuwana III di
pihak Yogyakarta kepada Sri Sultan Hamengkubuwana IV dan kedua saudaranya
itu. Pangeran Diponegoro khawatir bila sesudah meninggal, anak keturunan trah
Hamengkubuwana III akan hidup sengsara karena isi surat perjanjian menyatakan
tidak adanya pemasukan untuk kedhaton, selain pengeluaran negara.
Usai menerima surat perjanjian antara Inggris dan Kesultanan Yogyakarta
dari Pangeran Diponegoro, Sri Sultan Hamengkubuwana IV pulang ke istana.
Setiba di istana, Sultan mendapat bujukan dari Raden Mas Gatot putranya untuk
membakar surat perjanjian itu. Oleh Sultan, surat itu dibakar hingga hanya
meninggalkan abu yang kemudian lenyap tergerus waktu. [ ]

101
HAMENGKUBUWANA IV MANGKAT
SURAT perjanjian antara Jenderal Raffles dan Sri Sultan Hamengkubuwana III
yang ditulis oleh Tumengggung Secadiningrat telah dibaka oleh Sri Sultan
Hamengkubuwana IV. Sesudah membakar surat perjanjian itu, Sultan gering.
Sungguhpun gering, Sultan tak berhenti untuk selalu pesiyar (bertamasya).
Sewaktu bertamasya, Sri Sultan Hamengkubuwana IV nampak seperti
tercekik dan terjatuh di tanah sesudah memakan nasi sayur dan mereguk
minuman. Orang-orang yang menyaksikan terjatuhnya Sultan mengatakan bahwa
raja Yogyakarta itu telah mangkat dengan sekujur tubuhnya bengkak-bengkak.
Dari peristiwa inilah, Sultan kelak dikenal dengan Pangeran Seda ing Pesiyar.
Kemangkatan Sri Sultan Hamengkubuwana membuat keluarga istana
Kesultanan Yogyakarta sangat berduka. Ratu Kencana dan Pangeran Diponegoro
sangat terpukul hatinya ketika mendengar kemangkatan Sultan yang tengah
bertamasya itu terkesan sangat misterius.
Jenazah Sri Sultan Hamengkubuwana dimandikan. Bukan hanya Ratu
Kencana yang turut memandikannya, namun pula Pangeran Diponegoro. Saat
memandikan adiknya itu, air mata Diponegoro yang mengembun di sudut mata
meleleh di pipinya.
Sesudah dimandikan, jenazah Sri Sultan Hamengkubuwana yang
meninggalkan empat putra – Raden Mas Gatot, Raden Mas Mursada, Raden Mas
Mangun, dan Raden Mas Manol – itu disemayamkan di Prabasuyasa. Keesokan
paginya, jenazah Sultan yang sudah siap dimakamkan itu belum dibawa ke
pemakanan Imogiri. Mengingat Residen Baron Seilus baru berada di Solo.
Jenazah Sultan diberangkatan oleh Baron Seilus yang baru saja tiba di istana
Kesultanan Yogyakarta itu pada pukul sebelas siang.
Malam sesudah pemakaman jenazah Sri Sultan Hamengkubuwana,
keluarga keraton Yogyakarta melakukan tuguran hingga pagi tiba. Namun,
Pangeran Dipaneegara yang kecapekan itu tak tampak pada malam tuguran.
Diponegoro memilih pulang ke Tegalreja seusai upacara pemakaman.
Tujuh hari sesudah pemakaman Sri Sultan Hamengkubuwana, Raden Mas
Menol yang sebelumnya diangkat sebagai putra mahkota sejak berusia tiga tahun
itu dinobatkan sebagai sultan oleh Baron Seilus. Seorang residen pemerintahan
Hindia Belanda di Yogyakarta.
Penobatan Raden Mas Menol sebagai raja di Kesultanan Yogyakarta
berdasarkan surat perjanjian yang ditandatangani oleh Residen Baron Seilus dan
Pangeran Mangkubumi. Sesudah menjadi raja, Raden Mas Menol menggunakan
gelar Sri Sultan Hamengkubuwana V.
Karena Sri Sultan Hamengkubuwana masih berusia kanak, Pangeran
Mangkubumi, Pangeran Diponegoro, Ratu Kencana, serta Ratu Ageng menjadi
wali raja. Sementara, seorang yang menjabat sebagai patih di Kesultanan
Yogyakarta tetap dipegang oleh Danureja. [ ]

102
KEKECEWAAN DIPONEGORO
BERSAMA Pangeran Mangkubumi, Ratu Kencana, dan Ratu Ageng; Pangeran
Diponegoro turut hadir di loji untuk menyaksikan penandatanganan surat
perjanjian antara kesultanan Yogyakarta dengan Residen Baron Seilus ketika
penobatan Raden Mas Menol sebagai raja bergelar Sri Sultan Hamengkubuwana
V.
Sepulang dari loji, Pangeran Diponegoro yang telah berkumpul dengan
ketiga istrinya di Tegalreja merasa kecewa dan sangat berduka. Kekecewaan
Diponegoro disebabkan Residen Baron Seilus meresmikan Raden Mas Menol
yang masih anak-anak itu sebagai raja di Yogyakarta. Kekecewaan selanjutnya
dikarenakan Patih Danureja yang di mata Diponegoro sebagai orang jahat itu
ditetapkan sebagai patih di Kesultanan Yogyakarta.
Akibat dari rasa kecewanya itu, Pangeran Diponegoro menyesali
keputusannya di masa lalu. Di mana Diponegoro menolak untuk dinobatkan
sebagai raja oleh Inggris karena merasa bukan sebagai putra Sri Sultan
Hamengkubuwana III yang lahir dari permaisuri. Maka sesudah ayahnya
mangkat, Diponegoro merelakan tahta kekuasaannya jatuh di tangan Sri Sultan
Hamengkubuwana IV.
Mengetahui Pangeran Diponegoro dalam kekecewaan, kedukaan, dan
kemarahan; ketiga istrinya menghibur dan memberikan saran yang dapat
meneduhkan hati suaminya.
“Duh, Kangmas Pangeran.” Dengan santun, Ratu Maduretna menghibur
Pangeran Diponegoro yang tengah dirundung kekecewaan. “Buat apa Kangmas
Pangeran kecewa atas kenyataan getir yang tengah dihadapi. Semula Kangmas
Pangeran memberikan saran kepada kami bahwa tujuan orang hidup bukan semata
menjadi raja, namun lebih mendekati diri kepada Allah. Jabatan sebagai raja
hanya titipan Allah yang kelak akan diminta kembali. Sementara dekat dengan
Allah kelak menjadi bekal hidup bahagia di alam kelanggengan. Coba ingat-ingat
petuah Kangmas Pangeran yang aku haturkan ini?”
“Ya…. Aku telah ingat kalau apa yang kau katakan itu semula adalah
nasihatku kepada Diajeng.”
“Sebab itu, Kangmas Pangeran. Seyogianya Kangmas Pangeran selalu
sabar saat menghapi cobaan Allah. Dengan kesabaran, Kangmas Pangeran dapat
mengatasi cobaan Allah dengan baik. Dengan kesabaran, Kangmas Pangeran
tidak semakin memerkeruh suasana yang sudah keruh.”
Seusai mendengar penuturan Ratu Maduretna itu, Pangeran Diponegoro
mulai dapat mengatasi rasa kecewa, duka, dan amarahnya. Sehingga langit siang
yang terang benderang bermandikan cahaya matahari itu senampak di mata
Diponegoro tidak terselimuti awan gemawan. [ ]

103
GUNUNG MERAPI MELETUS
DAN RATU ADIL
SIANG hari. Pangeran Diponegoro yang tinggal di Tegalreja itu mendapatkan
tamu Pangeran Mangkubumi pamannya. Dalam pertemuan di bangsal kencur itu,
mereka membahas mengenai wali raja. Berbeda dengan Mangkubumi yang
menyoalkan bahwa wali raja tidak akan mendapatkan bagian penghasilan yang
diperolah dari pajak bandar. Sementara, Diponegoro justru menyoalkan mengenai
dirinya yang tidak bersedia menjadi wali raja, sunggiuhpun namanya tetap ditulis
dalam surat perjanjian.
Kepada Pangeran Mangkubumi, Pangeran Diponegoro pula menyoalkan
mengenai penobatan Sri Sultan Hamengkubuwana V yang dilakukan oleh Residen
Baron Seilus tanpa didahului musyawarah untuk mufakat. Soal lain yang tidak
bisa dipandang remeh oleh Diponegoro yakni diangkatkan Danureja sebagai patih.
Mengingat Danureja merupakan patih yang sering membuat kekacauan di
Kesultanan Yogyakarta.
Selepas Pangeran Mangkubumi dari Selareja, Pangeran Diponegoro pergi
ke ndalem Suryabrangtan. Kepada Pangeran Suryabrangta adiknya itu,
Diponegoro menitipkan putranya. Pagi harinya, Diponegoro yang semalam tidak
bisa tidur di ndalem Suryabrangtan itu pulang ke Tegalreja sesudah Suryabrangta
bersedia mengasuh putra kakaknya itu.
Setiba di ndalem Tegalreja, Pangeran Diponegoro disambut oleh Ratu
Maduretna dan kedua istri lainnya. Karena kantuk yang tak bisa ditahan lagi,
Diponegoro yang tidak mau sarapan pagi itu segera memasuki ruang tidurnya.
Memejamkan mata sambil mendekap gulingnya. Tidur sesiang sampai malam.
Manakala tengah malam, Ratu Maduretna yang tidak berani
membangunkan Pangeran Diponegoro dari tidurnya mendengar teriakan orang-
orang di luar. Ratu Maduretna dan dua istri Pangeran Diponegoro keluar dari
dalam ndalem ke halaman. Mereka memandang ke arah utara, di mana gunung
Merapi yang menyemburkan pijaran api ke angkasa itu serupa naga api menjilat
langit. Sungguh pemandangan yang sangat mengerikan.
Belum amuk Merapi mereda, ketiga istri Pangeran Diponegoro merasakan
akan terjatuh ke tanah saat bumi bergoyang-goyang. Selagi akan memasuki rumah
untuk membangunkan Diponegoro, mereka menyaksikan orang-orang berlarian
untuk mengungsi ke tempat yang aman.
Karena gempa masih bergoncang-goncang dan langit menampakkan
pemandangan jahanam itu, ketiga istri Pangeran Diponegoro yang khawatir akan
keselamatan saumi mereka yang masih tertidur pulas di ranjang hanya bisa
beteriak-teriak dengan lantang dari halaman, “Bangun, Kangmas Pangeran!
Keluar segera, Kangmas Pangeran!”
Mendengar teriakan ketiga istrinya, Pangeran Diponegoro terbangun dari
tidurnya. Menyadari ranjangnya masih bergoyang-goyang, Diponegoro beranjak
dari ranjang. Keluar ke halaman, di mana ketiga istrinya masih berdiri dengan
kaki serasa terpaku pada bumi yang masih bergoyang. “Ini ada apa, Diajeng.
Katakan!”

104
“Lihatlah ke utara, Kangmas Pangeran! Merapi tengah mengamuk.
Menyemburkan bunga api ke angkasa.”
“Jangan khawatir, Diajeng! Tidak akan terjadi apa-apa. Sekarang, kalian
masuklah ke ndalem!”
Ketiga istri Pangeran Diponegoro masuk ke ndalem. Sebelum ketiga
istrinya merebahkan tubuhnya di ranjang untuk tidur, Diponegoro berpamitan
kepada mereka untuk pergi ke Selareja. Setiba di tujuan, Diponegoro merasa tidak
suka lagi tinggal di dunia. Karenanya, Diponegoro yang ingin mengasingkan diri
dari dunia ramai itu pergi ke gua Secang. Kepergian Diponegoro ke gua Secang
itu bertepatan dengan tanggal duapuluh satu, bulan Ramadhan, tahun Dal.
Di dalam gua Secang, Pangeran Diponegoro duduk bersila untuk
bersamadi di atas batu gilang. Sewaktu berada di antara jaga dan tidur,
Diponegoro merasakan datangnya angin bersama munculnya sesosok lelaki yang
menyerupai haji. Melihat sosok lelaki itu, Diponegoro bertanya, “Aku belum
pernah bersua dan mengenalmu. Namamu siapa? Rumahmu di mana, Kisanak?”
“Hamba tidak punya nama. Hamba juga tidak punya rumah, Kangjeng
Pangeran Diponegoro.”
“Apa tujuanmu datang menemuiku di sini?”
“Hamba diutus oleh Ratu Adil. Melalui hamba, beliau mengundang
Kangjeng Pangeran Diponegoro untuk menghadapnya.”
“Tinggal di mana Ratu Adil?”
“Tinggal di pucuk gunung. Bila dari gua Secang ini, tempat tinggal beliau
ke arah tenggara.”
“Baiklah! Aku akan memenuhi undangan Ratu Adil. Sekarang, tunjukkan
padaku kemana beliau tinggal.”
“Ikuti langkah hamba, Kangjeng Pangeran!”
Pangeran Diponegoro mengikuti lelaki yang mengenakan pakaian seperti
haji itu. Sesampai di kaki gunung, sesokok lelaki itu musnah dari pandangan
mata. Tak lama kemudian, Diponegoro menangkap cahaya yang sangat
menyilaukan matanya dari puncak gunung. Seusai cahaya itu lenyap, Diponegoro
melihat seorang lelaki yang menghadap ke arah kiblat. Mengenakan sorban hijau,
jubah putih, celana hitam, dan memegang tasbih warna merah.
“Heh, Ngabdulkamit!” Lelaki yang disebut Ratu Adil itu berkata dengan
penuh wibawa. “Aku mengundangmu hanya ingin menyampaikan bahwa kau
telah menolak pasukanku. Bila di Jawa nanti, ada orang yang memusuhimu,
pusakamu tak lain al-Quran.”
“Hamba sudah tidak sanggup berperang dan tidak mau melihat kematian.
Hamba telah banyak melakukan dosa kepada sesame,” jawab Diponegoro. “Maka,
hamba tidak ingin menambah dosa lagi.”
“Jangan begitu! Sudah menjadi kehendak Tuhan. Selain kau, tidak ada
yang menjadi penggubah kisah di tanah Jawa ini.”
Sontak Pangeran Diponegoro menyerupai patung hidup sesudah Ratu Adil
lenyap dari pandangannya yang berkunang-kunang. Di antara jelas dan samar,
Diponegoro menyaksikan samudra yang seperti terbakar itu menggedeburkan
gelombang ke pantai. Menggemuruh seperti amuk Merapi. [ ]

105
SUARA TIGA KALI
DALAM MIMPI RATU AGENG
GUNUNG Merapi yang meletus dan gempa bumi merupakan tanda datangnya
kekacauan di Kesultanan Yogyakarta. Di mana, Kiai Penghulu Rahmanudin
berseteru dengan Patih Sindureja. Perseteruan keduanya terjadi semasa Baron
Seilus digantikan kedudukannya sebagai residen oleh Semitsar. Sekreatis
karesidenan pun telah digantikan oleh sekreatis yang baru.
Bertepatan pada bulan Ramadan, Kiai Rahmanudin yang kedudukannya
digantikan oleh Kiai Ketib itu kemudian tinggal di rumah Kertajaya di bilangan
Selareja, Tegalreja. Namun Pangeran Diponegoro tidak mengetahui kalau Kiai
Rahmanudin telah tinggal di Tegalreja. Karena sewaktu pencopotan Kiai
Rahmanudin sebagai pengulu, Diponegoro tengah berada di gua Secang.
Sementara di istana Kesultanan Yogyakarta, Ratu Ageng bermimpi.
Dalam mimpi, Ratu Ageng mendengar suara tiga kali. Sesudah bangun, Ratu
Ageng masih teringat dengan suara yang menyarankan, “Temukan wali. Ia tinggal
di barat laut. Bila tidak ditemukan, maka akan rusak tanah Jawa.”
Sesudah terbangun dari tidur, Ratu Ageng yang bertemu dengan Pangeran
Mangkubumi itu bertanya, “Dalam mimpiku, aku mendengar suara tiga kali agar
aku mencari wali yang tinggal di barat daya. Bila aku tak menemukannya, maka
akan rusaklah tanah Jawa. Apa makna itu, Dhimas.”
“Maknanya sudah jelas, Kangmbok Ratu.” Pangeran Mangkubumi
menjawab dengan tegas. “Suara itu memberi pesan kepada Kangmbok. Tanah
Jawa tidak akan rusak, bila Kangmbok dapat menemukan wali yang tinggal di
barat daya.”
“Bagaimana pendapatmu bila mimpiku itu akan menjadi kenyatan?”
“Maaf, Kangmbok Ratu! Aku tidak bisa menjawab pertanyaan itu.
Barangkali Angger Diponegoro dapat menjawabnya.”
“Kalau begitu, aku minta tolong pada Dhimas Mangkubumi untuk
memanggil ananda Diponegoro di Tegalreja.”
Pangeran Mangkubumi segera mengutus istri tertuanya yang suka
bergurau itu untuk memanggil Diponegoro di Tegalreja. Karena segan pada istri
tertua pamannya itu, Diponegoro bersedia memenuhi undangan Ratu Ageng untuk
datang di keputren.
Sesampai Pangeran Diponegoro di keputren, Ratu Ageng merasa
menemukan seorang wali yang disuarakan di dalam mimpinya. Wajah Ratu
Ageng berbinar karena sesudah pertemuannya dengan Diponegoro menjadikan
tanah Jawa tidak akan mengalami kerusakan.
Lantaran makna mimpinya sudah terjawab, Ratu Ageng memersilakan
kepada Pangeran Diponegoro untuk kembali ke Tegalreja. Selepas Diponegoro
yang diantar oleh Pangeran Mangkubumi dari keputret, Ratu Ageng kembali
memasuki ruang priabadinya. [ ]

106
DIPONEGORO MENDAPAT GELAR
SULTAN NGABDULKAMID
SEPULANG dari keputren, Pangeran Diponegoro yang singgah sejenak di ndalem
Tegalreja itu pergi ke Selareja. Di Selareja, Diponegoro memasuki gedhong. Tiga
hari tiga malam, Diponegoro tidak keluar ke serambi. Sewaktu keluar di serambi
semasih di bulan Ramadhan itu, Diponegoro mendarus al-Qur’an bersama Kiai
Penghulu Rahmanudin.
Karena ingin menghibur hati, Pangeran Diponegoro pergi ke gua Secang.
Sesudah jalan-jalan di kebun, Diponegoro duduk di depan pohon besar. Seusai
waktu ashar, Diponegoro mendengar suara samar-samar, “Heh… Abdulkamid.
Aku kasih nama kau Kangjeng Sultan Ngabdulkamid Herucakra Sayidin
Panatagama Kalifahtullah ing Jawa.”
Bersama angin bertiup, suara yang samar-samar didengar oleh Pangeran
Diponegoro itu lenyap tanpa meninggalkan jejak. Bersama datangnya waktu
maghrib, Diponegoro memasuki gua Secang. Selepas salat tarwih, Diponegoro
duduk bersila di atas batu gilang yang terletak di tengah-tengah pintu gua.
Sementara keempat abdinya – Puthut Lawa, Puthut Guritna, Suracona, Muhyidin
Wirya Sumita – berada di dapur gua.
Bertepatan pada malam tanggal duapuluh tahun Ehe, Pangeran
Diponegoro tertidur di atas batu gilang sesudah bersantap malam. Sewaktu tidur,
Diponegoro ditunggui oleh Puthut Lawa dan Puthut Guritna. Sementara, Suracona
dan Muhyidin Wirya Sumita sudah mendengkur.
Dalam tidur, Pangeran Diponegoro bermimpi. Serasa di Selareja,
Diponegoro yang tengah duduk di atas batu gilang itu didatangi oleh delapan
orang yang semuanya mengenakan destar. Seorang yang berada di depan
membawa surat dengan kedua tangannya.
Pangeran Diponegoro yang melihat kedelapan orang itu segera mendekati
mereka untuk memberikan penghormatan. Namun, mereka tampak ketakutan saat
Diponegoro bercahaya seperti purnama. Sewaktu seorang yang dihormati itu tak
memedulikannya, Diponegoro mengikuti langkahnya.
Kedelapan orang itu berdiri di tepi kolam. Lima berada di timur. Tiga
berada di selatan. Pangeran Diponegoro bergabung dengan ketiga orang yang
berada di selatan. Mereka yang berjumlah empat orang itu menghadap ke utara.
Sementara, mereka yang berada di timur menghadap ke barat.
Seorang pembawa surat tampak diapit oleh dua orang. Dengan diiringi
kicauan kepodang, orang yang berada di tengah itu membaca surat dengan
lantang, “Ingkang Sinuwun Kangjeng Sultan Ngabdulkamid Herucakra Sayidin
Panatagama Kalifahtullah ing Jawa.”
“Ngalaihiwassalam,” jawab serempak dari kedua orang yang mengapit si
pembawa surat dan kelima orang lainnya.
“Salah! Jawaban yang benar, balaisalam.” Pembawa surat itu menjawab
tegas. “Mari bertakbir!”
Ketujuh orang beserta Pangeran Diponegoro bertakbir bersama.

107
Seusai takbir, seorang yang berdiri paling depan itu membuang surat ke
kolam. Perlahan-lahan, surat itu hanyur ke dasar kolam. Musnah sebagaimana
delapan orang yang lenyap seperti asap tersapu angin. Musnah seusai Diponegoro
terbangun dari tidurnya.
Bersama Puthut Lawa dan Puthut Guritna, Pangeran Diponegoro bersantap
sahur dan salat subuh berjamaah. Hingga waktu bakda, Diponegoro yang disertai
oleh empat abdinya itu meninggalkan gua Langse. Dengan menunggang kuda,
Diponegoro pulang ke Tegalreja.
Sesampai Tegalreja, Pangeran Diponegoro menuju Selareja. Ketika duduk
di atas batu gilang, Diponegoro ditemui oleh Kiai Rahmanudin. Sesudah duduk di
hadapan Diponegoro, Kiai Rahmanudin melaporkan berita yang datang dari
Semarang, “Hamba mendengar berita kalau Belanda berencana menangkap
Kangjeng Pangeran Diponegoro. Konon sudah banyak serdadu yang telah
berkumpul di Semarang. Sekarang bagaimana sikap Kangjeng Pangeran atas
berita itu?”
“Tidak ada yang aku khawatirkan, Kiai. Bila aku yang tidak berdosa ini
tertangkap dan berhasil dibunuh oleh pasukan Belanda, surga yang akan menjadi
tempatku.”
“Bila Belanda benar-benar ingin mangkap Kangjeng Pangeran, seyogianya
Kangjeng Pangeran seperti Kangjeng Sultan Kaping Kalih. Tanpa melawan saat
ditangkap dan dibuang oleh Inggris di pulau seberang.”
“Tidak, Kiai. Bila Eyang Sultan tidak melawan Inggris karena sudah tua
dan tidak ingin membuat tanah Jawa semakin rusak. Sementara, aku masih muda.
Aku harus melawan. Bila aku kalah saat melawan Belanda hingga mati sabil di
medan perang, surga yang menjadi tempatku.”
“Kalau itu sudah kehendak Kangjeng Pangeran, lebih baik aku tidak ingin
menyaksikanya. Tak tega aku melihat Kangjeng Pangeran ditangkap oleh
Belanda. Lebih baik aku naik haji ke Makkah.”
“Bila itu kehendak Kiai, maka baik adanya. Seandainya meninggal di
Makkah, kematian Kiai akan sama dengan seseorang yang memerangi kaum kafir.
Sama-sama mati sabil. Mati di jalan Allah.”
Kiai Rahmanudin terdiam dengan wajah terpaku ke bumi. Tidak lama
kemudian, penghulu itu meminta pamit kepada Pangeran Diponegoro untuk naik
haji ke Makkah. Sebagai kerabat yang sangat dekat, Diponegoro memberikan doa
restu kepada si penghulu.
Selepas Kiai Rahmanudin, Diponegoro meninggalkan Selareja untuk
pulang ke ndalem Tegalreja. Sesampai di ndalem, Diponegoro disambut oleh istri-
istrinya. Tekat Diponegoro untuk melawan si kafir Belanda semakin bulat ketika
ketiga istrinya itu bersedia mati sabil di medan perang. [ ]

108
PATOK-PATOK
DI NEGERI TEGALREJA
PANGERAN Diponegoro yang telah berusia empatpuluh dua tahun itu banyak
berdiam diri di dalam gedhong di Selareja. Sesudah ashar, Diponegoro
menyempatkan waktu untuk keluar dari gedhong, pergi ke pesawahan. Duduk
berbincang dengan Kangjeng Soka dan Ki Soban di gubuk tepian sawah.
Di tengah perbincangan, Diponegoro yang menyaksikan orang-orang yang
tengah berkerumun itu bertanya, “Hei, Soban. Mengapa orang-orang itu
berkerumun? Apa yang mereka kerjakan?”
Ki Soban menghaturkan sembah pada Pangeran Diponegoro. “Orang-
orang itu tengah melaksanakan perintah Patih Sindureja untuk membangun jalan.
Mereka telah bekerja selama tiga hari. Kiranya wilayah Tegalreja yang rencana
akan dijadikan jalan sudah dipatok habis.”
Mendengar penuturan Ki Soban, Pangeran Diponegoro tampak marah.
Tanpa berpikir kedua kali, Diponegoro memerintahkan pada abdinya untuk
memanggil Mas Behi Mangunarja. Seusai Mangunarja menghadap, Diponegoro
memarahinya. “Seharusnya kau tahu kalau orang-orang Sindureja telah
membangun jalan di tlatah Tegalreja tanpa seizinku. Kenapa kau tidak
melaporkan masalah ini kepadaku?”
“Mohon seribu ampun, Kangjeng Pangeran.” Mas Bei Mangunarja
menghaturkan sembah pada Pangeran Diponegoro. “Bila melaporkan kalau orang-
orang Danurejan membangun jalan di tlatah Tegalreja, hamba takut bila Kangjeng
Pangeran memarahi hamba.”
“Ya, sudah! Sekarang cabut seluruh patok yang ditancapkan di bumi
Tegalreja, Mangunarja!”
Sesudah tegas menyatakan untuk melaksanakan perintah Pangeran
Diponegoro, Mas Bei Mangunarja meninggalkan gubuk itu. Menemui orang
kepercayaan Patih Danureja. “Semua patok yang kau tanam di bumi Tegalreja
harus kau cabut! Bila tak kau cabuti, akan aku cabuti sendiri.”
“Tidak. Aku takut pada Kangjeng Patih dan Tuan Residen.”
Tanpa menghiraukan perkataan orang kepercayaan Patih Danureja, Mas
Bei Mangunarja mencbuti semua patok yang ditanam di selatan, di timur, di utara,
dan di barat. Namun sesudah patok-patok itu dicabut oleh orang-orang Tegalreja,
orang-orang Sindurejan kembali menancapkannya.
Karena sudah terjadi tiga kali cabut-tanam patok dan tidak ada lagi jalan
keluar-masuk dari atau ke tlatah Tegalreja, kesabaran Pangeran Diponegoro tak
terbendung lagi. Melalui utusan Mas Bei Mangunarja, Diponegoro memanggil
semua mantri dan demang untuk datang di Selareja. Sesudah mereka yang
diundang berkumpul di halaman gedung, Diponegoro dihadap oleh Mangunarja.
“Apakah semua yang aku undang sudah datang?”
“Mereka semua sudah berkumpul di halaman gedhong, Kangjeng
Pangeran. Kretadiwirya, Singaarja, Martayuda, Wiryadikrama, Kiai Penghulu
Muhammad Bahwi sudah siap berperang sabil melawan si kafir Belanda.
Berperang sampati titik darah penghabisan.”

109
“Syukur, Mangunarja. Tetapi, pesanku. Jangan mendahului menyerang
mereka! Bila mereka menyerang dahulu, kita harus serempak melawannya.”
“Pesan Kangjeng Pangeran akan hamba ingat. Hamba patuhi.”
“Karena sudah cukup apa yang ingin aku sampaikan kepadamu, sekarang
keluarlah kau, Mangunarja! Atur mereka! Pimpin mereka dengan baik!”
Selepas Mas Bei Mangunarja dan orang-orang Tegalreja dari Selareja,
Pangeran Diponegoro yang tengah duduk sendirian di gedung itu dihadap oleh Ki
Soban, Kiai Muhammad Ngarip, dan Kiai Muhammad Musam. Mereka berdiskusi
hingga mencapai kesepakatan untuk menghadapi si kafir Belanda bila
menyerangnya terlebih dahulu.
Siang berganti petang. Sesudah makan malam dan melaksanakan salat,
Pangeran Diponegoro yang tanpa disertai Ki Soban, Kiai Muhammad Ngarip, dan
Kiai Muhammad Musam keluar dari gedhong. Duduk di atas batu gilang.
Menjelang dini hari, Diponegoro mendengar suara tanpa wujud, “Jangan takut
melawan si kafir Belanda! Gusti Allah akan menolongmu. Bila ada orang yang
tidak membantumu, maka iman sudah lepas dari jiwanya.”
Selagi matahari setinggi tombak, Pangeran Diponegoro mendapat
kunjungan Pangeran Mangkukusuma. Mereka duduk berbincang di Balai Wisma.
Di tengah perbincangan, Mangkukusuma bertanya pada Diponegoro, “Apakah
sewaktu upacara gerebeg besok, cucunda Pangeran tidak berangkat?”
“Bagaimana cucunda berangkat, Eyang. Seluruh jalan keluar dari
Tegalreja sudah ditutup semua dengan patok-patok. Bila patok-patok itu cucunda
cabut, ditanam lagi oleh orang-orang Danurejan.”
“Oh, begitu. Berarti Nak Danureja bohong padaku. Katanya, ia telah
meminta izin kepada cucunda.” Pangeran Mangkukusuma mengangguk-
anggukkan kepala. “Ya, sudah. Hendaklah kau tetap bersabar.”
“Semoga cucunda diberi kesabaran oleh Allah Tangala, Eyang.”
“Itu cara yang terbaik untuk meredam amarah. Oh ya, cucunda. Karena
banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan, aku mohon pamit.”
Pangeran Diponegoro mengantarkan Pangeran Mangkukusuma sampai ke
halaman Balai Sawo. Selepas kepergian Mangkukusuma dari Selareja,
Diponegoro kembali memasuki gedhong. Tak ada yang dilakukan di dalam
gedhong, selain meminta kekuatan pada Allah Tangala agar jiwanya seluas
samudra.
Tiga hari sesudah kunjungan Pangeran Mangkusuma di Selareja, seorang
demang beserta keluarganya yang datang lengkap dengan senjatanya itu
menyatakan pada Pangeran Diponegoro untuk ikut perang sabil. Demikian pula,
seorang tumenggung beserta pasukannya yang baru saja datang dari Wates itu
ingin membantu Diponegoro untuk melawan si kafir Belanda.
Tanpa diduga oleh Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi
pamannya juga datang di Selareja. Kepada keponakannya itu, Mangkubumi
bertanya, “Angger Pangeran akan punya gawe apa? Kenapa banyak orang yang
lengkap dengan senjatanya berkumpul di Selareja? Justru dengan kedatangan
mereka, aku mengkhawatirkan keselamatanmu.”

110
“Ananda tidak mengundang mereka, Paman Mangkubumi. Jauh-jauh
mereka berkuda ke Selareja atas keinginan mereka sendiri. Kalau tak percaya,
silakan Paman bertanya pada mereka sendiri!”
Pangeran Mangkubumi bertanya kepada orang-orang yang tengah
berkumpul di Selareja, “Kenapa kalian datang besenjata dan berkuda dari jauh
untuk berkumpul di sini?”
“Hamba mendengar berita bila Kangjeng Pangeran Diponegoro akan
ditangkap oleh Belanda dari Semarang. Kami semua tidak rela. Bila Kangjeng
Pangeran ditangkap, seluruh orang di tanah Jawa akan musnah dari muka bumi.
Karenanya kami datang di sini untuk membela gusti kami, Kangjeng Pangeran
Mangkubumi.”
“Apakah kalian yakin kalau Belanda dari Semarang akan menyerang
Selareja?”
“Maaf, Kangjeng Pangeran Mangkubumi. Apakah Kangjeng juga yakin
kalau Belanda dari Semarang tidak bakal menyerang Selareja?”
Seusai tidak bisa memastikan apakah berita bahwa Belanda dari Semarang
akan menyerang Selareja itu benar atau salah, Pangeran Mangkubumi meminta
izin kepada Pangeran Diponegoro untuk pulang ke ndalem Mangkubumen.
Diponegoro mengantarkan kepulangan pamannya itu sampai di depan gapura
Selareja. [ ]

111
WIRYADIKRAMA MENCARI DUKUNGAN
PASUKAN SELAREJA
DI SELAREJA, Pangeran Diponegoro tengah berbincang dengan Wiryadikrama
serta para pendherek dari Pajang dan Wates. Hasil dari perbincangan itu,
Diponegoro memercayakan kepada Wiryadikrama untuk mencari dukungan dan
sekaligus bantuan dari orang-orang pesisir mancanegara, Bagelen, dan Sukowati
untuk membentuk kesatuan pasukan Selareja.
Sebagai orang yang dipercaya oleh Pangeran Diponegoro, Wiryadikrama
segera menulis surat dukungan dan bantuan yang kemudian disampaikan oleh
beberapa gandhek kepada pihak-pihak yang dituju. Berkat dukungan dan bantuan
dari berbagai pihak, kesatuan pasukan Selareja terbentuk.
Mengetahui terbentuknya kesatuan pasukaan Selareja bekat peran dari arus
bawah, Pangeran Mangkubumi berkenan mendukung Pangeran Diponegoro.
Sehingga dalam tempo cepat, kesatuan pasukan Selareja mulai kokoh dan tangguh
di dalam memberikan perlawanan terhadap musuh.
Kiranya sudah menjadi kehendak Allah Tangala bahwa kesatuan pasukan
Selareja semakin lama semakin kokoh sesudah para brandal datang di Selareja.
Mereka menyatakan akan membantu Pangeran Diponegoro di dalam menghadapi
musuh si kafir Belanda.
Semakin kokohnya kesatuan pasukan Selareja pula didukung dengan
pengadaan persenjataan yang semakin komplit. Sehingga Residen Belanda yang
mulai mencium gerakan di Selareja itu pula memersiapkan persenjataan yang jauh
lebih komplit dan lebih canggih.
Ketika Pangeran Diponegoro tengah memeriksa persediaan persenjataan
itu, datanglah utusan dari Ratu Ageng yang bernama Nyai Soka. Tujuan Nyai
Soka ke Selareja untuk menyampaian pesan agar Dipanegera berkenan datang ke
keputren. Namun Diponegoro menolaknya secara halus.
Selepas Nyai Saka, Pangeran Mangkubumi datang ke Selareja.
Menyampaikan pesan Resisen Belanda kepada Pangeran Diponegoro untuk
datang ke loji. Dengan tegas, Diponegoro menolak untuk memenuhi undangan
Residen. Dengan dada telanjang, Diponegoro siap menghadapi krida Residen dan
kroni-kroninya yang telah mengusik bumi kelahiranya.
Tekat Pangeran Diponegoro untuk melawan si kafir Belanda telah
menyerupai karang di tepi samudra. Mengetahui tekat Diponegoro tidak dapat
tergoyahnya, Pangeran Mangkubumi memertegas dukungannya sampai titik darah
penghabisan. Terlebih sesudah mengetahui bahwa pembuatan jalan yang
dilakukan Residen Belanda dan Patih Danureja melintasi pemakaman leluhurnya.
Memastikan bahwa perang antara pasukan Selareja dengan pasukan
Belanda dan pasukan Sindurejan akan segera terjadi, Pangeran Diponegoro
bergegas menyelamatkan orang-orang tua dan ketiga istrinya yang tinggal di
ndalem Tegalreja untuk mengungsi ke Selarong. Kelak, Selarong akan menjadi
markas pertahanan Diponegoro sementara untuk melawan si kafir Belanda dan
Patih Sindureja beserta para begundalnya. [ ]

112
PERANG TEGALREJA
BALAI Sawo. Sewaktu Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, Pangeran
Rangga, dan Pangeran Yunudani tengah berbincang; datanglah utusan Residen
Belanda, Adipati Sindunagara dan Adipati Mandura. Sesudah basa-basi sejenak,
kedua utusan dari loji itu menyampaikan surat panggilan dari Residen Belanda
kepada Diponegoro. Berkat firasatnya yang tajam bahwa kehadirannya di loji
bukannya diajak berunding melainkan akan ditangkap, Diponegoro menolak
panggilan Residen.
Selagi melakukan negosiasi dengan Pangeran Diponegoro, Adipati
Sindunagara dan Adipati Mandura mendengar suara senapan dari luar tlatah
Tegalreja. Mendengar suara senapan yang bersumber dari pasukan Belanda, kedua
utusan Residen yang tidak mau terlibat dengan perseturuan antara pasukan
Selareja dan pasukan Belanda itu berpamitan pada Diponegoro.
Bersamaan Adipati Sindunagara dan Adipati Mandura ketika keluar dari
Balai Sawo, pasukan Selareja pun keluar dari sarangnya serupa pasukan lebah.
Dengan senjata di tangan, pasukan Selareja itu serempak bergerak. Dengan spirit
jihat, mereka menghadapi pasukan Belanda yang akan menyerang Selareja.
Sesampai pertigaan jalan, pasukan Selareja dibagi menjadi dua. Pasukan
yang melewati sebelah timur Tegalreja dipimpin oleh Demang Pajang. Karena
kalah persenjataan, pasukan Demang Pajang tidak mampu untuk menghadapi
serangan dari pasukan Belanda. Mengetahui pasukan Demang Pajang terdesak
pasukan Belanda; Raden Natadirja, Raden Nata Prawira, dan Raden Jayasentika
datang memberi bantuan.
Sementara pasukan yang dipimpin oleh Jayamenggala tak jauh nasibnya
dengan pasukan Demang Pajang. Sungguhpun sudah mendapatkan bantuan dari
Mas Mangunarja, Mas Brajadirja, Kiai Batuliman, Kiai Muhammad Mursam, dan
Kiai Murdiyah tidak kuasa menandingi amuk pasukan Belanda.
Terdesaknya pasukan Selareja oleh pasukan Belanda dilaporkan kepada
Kiai Dermajaya kepada Pangeran Diponegoro. Mendengar laporan Dermajaya,
Pangeran Mangkubumi bertanya kepada Diponegoro, “Apa yang harus ananda
lakukan sesudah mengetahui pasukan Selareja tak kuasa menghadapi pasukan
Belanda? Bertahan atau keluar dari Selareja?”
“Tinggal di Selaraja saja, Paman. Ananda percaya kalau Allah Tangala
akan menolong kita.”
“Perlu Kangjeng Pangeran Mangkubumi ketahui!” Dermajaya menyela
pembicaraan Mangkubumi dan Diponegoro. “Musuh yang datang dari Plengkung
sudah bergerak ke Selareja. Apa yang harus kita lakukan sekarang?”
Mendengar laporan terakhir dari Dermajaya, Pangeran Mangkubumi
segera memegang tangan Pangeran Diponegoro. Membawanya keluar lewat pintu
butulan. Bergerak menuju sebelah barat Tegalreja. Setiba di jalan yang membelah
pesawahan, keduanya segera melompat ke gigir kuda dan memacunya.
Sebagaimana Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Diponegoro, Pangeran
Rangga dan Pangeran Yunudani yang melompat ke gigir kuda itu mengikutinya.
Meninggalkan tlatah Tegalreja. [ ]

113
DIPONEGORO
MENGUNGSI KE SELARONG
PERJALANAN Pangeran Diponegoro, Pangeran Mangkubumi, Pangeran
Rangga, dan Pangeran Yunudani telah sampai di tengah pesawahan. Di tempat
itulah, mereka turun dari kuda untuk menunggu pasukan Selareja. Baru saja
mereka duduk dengan tubuh bersandar pada pohon, datanglah Raden Natadirja,
Raden Demang Pajang, Raden Nataprawira, lan Raden Jayasentana.
Sesudah mengatur napas dan menyeka keringat di wajahnya, Raden
Natadirja melaporkan bahwa perang yang terjadi di Tegalreja telah menewaskan
delapanpuluh serdadu Belanda. Sementrara dari pihak pasukan Selareja yang
gugur, di antaranya: Mas Bei Brojadirja, Lurah Birabraja, Kiai Murdiyah, Ulama
Muhammad Mursim, dan Bekel Saiman.
Wajah Pangeran Diponegoro tampak semuram matahari yang bercadar
awan tipis atas meninggalnya anggota pasukan Selareja. Karena musuh terus
memburunya, Diponegoro berencana untuk mengungsi ke Selarong. Mengingat
sudah tidak punya rumah lagi di Tegalreja. Harta benda yang tertinggal sudah
dijarahrayah oleh pasukan Belanda dan para begundal Patih Danureja.
Sebelum datangnya malam, Pangeran Diponegoro dan pasukannya
melanjutkan perjalanan ke arah Kalibayem. Sesudah melaksanakan salat maghrib
berjamaah, mereka bergerak dengan melintasi desa Semampir. Sesampai di tepi
pegunungan, mereka yang kelelahan dalam perjalanan itu beristirahat hingga fajar
kembali memuntahkan matahari dari rahim malam.
Selagi matahari setinggi pohon kelapa, Pangeran Diponegoro bergerak
dengan kudanya menuju Sungai Soka. Di sungai itulah, Ki Demang melaporkan
kepada Diponegoro bahwa seluruh pendherek-nya sudah berkumpul di Selarong.
Tanpa berpikir jauh, Diponegoro beserta pasukannya segera melanjutkan
perjalanan ke Selarong. Di tempat itu, Diponegoro tinggal beserta istri-istri,
keluarga, kerabat, dan seluruh pasukannya.
Baru beberapa hari tinggal di Selarong, Pangeran Diponegoro kedatangan
Pangeran Adinegara adiknya yang membawa duaratus prajurit dari Kemandungan
dan Patangpuluhan. Di hadapan Diponegoro, seluruh prajurit yang dibawa
Adinegara itu diserahkan tanpa sarat.
Berkat jasa Pangeran Adinegara yang sangat besar itu, Pangeran
Diponegoro kemudian mengangkatnya sebagai patih. Kepada Adinegara,
Diponegoro pula memberi nama baru yakni Patih Surya Manggala. Apa yang
telah menjadi kebijakan Diponegoro kepada adiknya itu mendapat kesepakatan
dari Pangeran Mangkubumi. [ ]

114
SELARONG DISERANG
BELANDA DAN YOGYAKARTA
PATIH Danureja dan Residen Belanda telah mencium keberadaan Pangeran
Diponegoro beserta keluarga, kerabat, dan pasukannya di Selarong. Dengan
bersenjata, pasukan Belanda-Yogyakarta itu berangkat ke Selarong. Sebelum
sampai tujuan, pasukan Belanda-Yogyakarta yang melibatkan Pangeran
Mangkualam itu dihadang oleh orang-orang desa yang mendukung perjuangan
Pangeran Diponegoro.
Dengan gagah berani, orang-orang desa di bawah komando Jayamenggala,
Onggawikrama, dan ki Bauyuda dengan bersenjatakan antan dan bandil itu
melayani krida pasukan Belanda-Yogyakarta yang bersenjatakan meriam dan
barung. Semangat perang orang-orang desa semakin berkobar-kobar ketika
mendapat bantuan orang-orang dari desa lain. Terlebih ketika Pangeran
Suryamanggala, Raden Antawirya, Raden Natadirja, Raden Nataprawira, Raden
Jayasantana, beserta prajurit patangpuluhan dan kamendungan datang untuk
memberikan bantuan.
Akibat semangat perang orang-orang desa dan pasukan Selarong yang
berkobar-kobar serupa api yang melanggar jerami kering di pesawahan, pasukan
Belanda-Yogyakarta mulai terdesak. Banyak orang Belanda dan begundal Patih
Danureja yang tewas sebagai tumbal perang. Sementara, meraka yang selamat
dari perang ditangkap dan ditelanjangi oleh orang-orang Selarong.
Menjelang sore, pasukan Belanda-Yogyakarta mundur dari medan perang.
Menyaksikan kekalahan pasukan musuh dan kejayaan pasukan Selarong,
Pangeran Diponegoro dan Pangeran Mangkubumi yang menontonnya dari puncak
bukit itu merasa bahagia dan bangga.
Sesudah turun dari puncak bukit bersama Pangeran Mangkubumi,
Pangeran Diponegoro dihadap oleh Patih Suryamanggala. Kepada Diponegoro,
Suryamanggala menyerahkan para bupati yang menjadi tawanan. Para tawanan
yang kemudian takluk di hadapan Diponegoro, di antaranya: Adipati Martalaya,
Adipati Danukusuma, Adipati Wiryakusuma, Adipati Natayuda, Adipati
Purbakusuma, Adipati Diparirja, Adipati Sumadirja, Raden Wiryataruna, dan
Raden Yudawijaya.
Mengetahui banyak bupati Yogyakarta tunduk dan bersatu dengan
Pangeran Diponegoro, Residen Belanda mengawatirkan bahwa orang-orang istana
akan mengikuti jejak para bupati. Karena kekhawatiran itu, Residen Belanda
memerintahkan pada pasukannya untuk menangkap orang-orang berpengaruh di
Yogyakarta, di antaranya: Pangeran Jayakusuma, Pangeran Balitar, Pangeran
Muhammad Abukabar, Pangeran Riya Manggala, Pangeran Adisurya, Pangeran
Adiwinata, Raden Mangkuwijaya, Raden Mangkudirja, Raden Dipayana, Raden
Dipataruna, Raden Singasari, beserta seluruh sarif, haji, dan ulama. Sesudah
ditangkap, mereka dimasukkan di dalam loji. [ ]

115
SELARONG
MENDAPAT BANTUAN SURAKARTA
SELARONG telah menjadi negeri di bawah pemerintahan Pangeran Dipangeraga.
Negeri yang mulai mengalami perkembangan ekonimi. Di mana, pasar yang
dibangun mulai menjadi tempat orang bertemu untuk melakukan jual-beli.
Sungguh, banyak orang di sekitar Selarong sangat girang hatinya seusai melihat
perkembangan di sekitarnya.
Sebagai pimpinan suatu negeri, Pangeran Diponegoro mengangkat para
pendherek-nya untuk mengangkat jabatan-jabatan semisal: patih, adipati,
panglima perang, dan lainnya. Kepada pendherek-nya, Dipanegera pula
memberikan anugerah nama. Mangkuwijaya mendapat nama Pangeran
Mangkudiningrat, Mangkudirja mendapat nama Pangeran Natapraja, Martayuda
mendapat nama Wiryanagara, Jarot mendapat nama Tumenggung Wiryadirja,
Demang Pajang mendapat nama Kreta Pengalasan.
Dengan disaksikan oleh Pangeran Mangkubumi dan Patih Suryamanggala,
Pangeran Dipangera pula menugaskan para adipati-nya untuk memimpin di
daerah-daerah tertentu. Adipati Danukusuma ditugaskan sebagai pimpinan di
Pagelen, Adipati Adiwinata di Kedu, dan Tumenggung Cakranegara di
Gamplong. Selain itu, Diponegoro menempatkan pasukan-pasukannya untuk
berbaris di beberapa wilayah semisal sebelah barat Yogyakarta, sebelah timur
Yogyakarta, Gunungkidul, dan lain-lain.
Sewaktu Pangeran Diponegoro tengah melakukan pertemuan dengan para
pendherek-nya, datanglah dua orang yang mengenakan pakaian ala orang
Belanda. Mereka adalah Muhammad Ngarepah dan Mulya Sentika yang
menyatakan untuk menjadi pengikut Diponegoro. Oleh Diponegoro, Muhammad
Ngarepah mendapat nama Tumenggung Secanegara dan Mulya Sentika mendapat
nama Tumenggung Kretanagara.
Tidak diduga oleh Pangeran Diponegoro bila dukungan perjuangannya
bukan hanya datang dari Yogyakarta, namun pula dari Surakarta. Pasukan
Surakarta yang baru saja menaklukkan prajurit Mangkunegara di Randugunting
dipimpin oleh Tumenggung Surareja. Kepada Diponegoro, Surareja menyatakan
kesediannya untuk membantu perjuangannya untuk melawan pasukan murtad dan
kafir Belanda.
Pangeran Diponegoro amatlah berbahagia ketika Kiai Maja dan Kiai
Kwaron datang ke Selarong bersama istri, anak, dan keluarganya. Dengan tegas,
keduanya menyatakan segaris dengan perjuangan Diponegoro dalam memerangi
si murtad dan si Kafir Belanda.
Kebahagiaan Pangeran Diponegoro semakin sempurna semenjak
datangnya bantuan dari Surakarta, Muhammad Ngarepah, Mulyasentika, Kiai
Maja, dan Kiai Kwaron; Selarong mengalami kemakmuran. Berbeda dengan
Yogyakarta yang telah menyerupai hutan habis terbakar. Banyak rumah, termasuk
ndalem Sindurejan, ndalem Mangkualaman, dan ndalem Wiranegaran telah habis
dibakar. Beberapa bangunan yang masih berdiri kokoh di Yogyakarta, di
antaranya: istana kesultanan Yogyakarta, masjid besar di Kauman, dan loji.

116
Di balik kebahagiaannya, Pangeran Diponegoro merasakan kedukaan yang
dalam bila mengingat Pangeran Suryabrangta dan Pangeran Suryawijaya
saudaranya serta Pangeran Dipakusuma putranya masih dipenjara oleh Residen
Belanda di dalam loji. Namun, Diponegoro masih merasa bersyukur sesudah
Pangeran Mangkudipura, Pangeran Suryadipura, Pangeran Suryadi, dan Pangeran
Tepasuta yang tidak dipenjara di dalam loji itu menyusul ke Selarong. [ ]

117
PERANG DIMAYA
SELAGI Pangeran Dipangera baru berbincang dengan saudara-saudaranya,
menghadaplah Tumenggung Secanagara. Kepada Diponegoro, Secanagara
melaporkan bahwa pasukan Belanda di bawah komando Tumenggung
Danuningrat dari Kedu telah menyerang pasukannya yang berbaris di Dimaya.
Mendengar laporan Secanagara, Diponegoro segera mengirim pasukan Bulkiya
yang berjumlah tigaratus tigabelas prajurit di bawah komando Kiai Muhammad
Bahwi ke Dimaya.
Semula Muhammad Bahwi yang mendapat nama dari Pangeran
Dipangerga yakni Muhammad Usman Ali Basah itu menjadi penghulu di
Tegalreja. Sungguhpun sudah tua, namun keberaniannya dalam berperang
melawan pasukan murtad dan kafir Belanda tak pernah surut. Terlebih ketika
pasukan Bulkiyah yang dipimpinnya didukung oleh Haji Abdulkadir dan Haji
Mustafa. Selain pasukan Bulkiyah, pasukan dari Selarong yang berjumlah
limaratus orang di bawah kepemimpinan Muhammad Salim, Ngabdulrakub, dan
Ngabdulatip turut datang ke Dimaya.
Setiba di Dimaya, pasukan Gulkiya yang mendapat dukungan pasukan
Selarong di bawah komando Tumenggung Secanagara di sisi kanan, Tumenggung
Kretanagara di sisi kiri, dan Muhammad Usman Ali Basah yang berperang
sebagai cucuking ajurit segera menyerbu musuh seusai bende ditabuh tiga kali itu
berkumandang di angkasa.
Dengan pusaka Kiai Barububa, Muhammad Usman Ali Basah
mengomando pasukannya untuk mergerak ke depan. Tanpa mengenal takut,
pasukan Ali Basah itu menerobos hujan peluru yang ditembakkan oleh pasukan
Belanda. Hingga takdir bicara, di mana Ali Basah berhadapan dengan
Tumenggung Danuningrat. Perang antara kedua panglima perang itu tak bisa
dihindarkan lagi.
Naas bagi Tumenggung Danuningrat. Ia tewas di tangan Muhammad
Usman Ali Basah. Mengetahui pimpinan pasukan Kedu itu telah tewas, pasukan
Bulkiya mengamuk seperti sekawanan banteng terluka. Menyerang serdadu-
serdadu Belanda dengan membabi buta. Para serdadu Belanda yang selamat dari
amukan pasukan Bulkiyah melarikan diri dari medan perang.
Sesudah mendapat kejayaan di medan perang, Muhammad Usman Ali
Basah beserta pasukannya tidak pulang ke Selarong. Melalui seorang gandhek,
Ali Basah hanya mengabarkan kepada Pangeran Diponegoro bahwa pasukannya
yang mengalami kejayaan sesudah memorakporandakan pasukan Danuningrat itu
tetap berbaris di dusun Pesantren di tlatah Kedu.
Selain di Dimaya, perang pula terjadi di Pajang, Sukowati, Gunungkidul,
Ledok Gowong, Banyumas, dan Parakan. Sungguh pada saat itu, tanah Jawa telah
menjadi medan perang antara pasukan kafir Belanda beserta begundal-
begundalnya melawan pasukan Diponegoro. Bila diibaratkan tanah Jawa telah
menjadi periuk besar yang berisi mayat-mayat prajurit berkuahkan darah. [ ]

118
DIPONEGORO
MENGUNGSI KE SUNGAI SOKA
DIKISAHKAN kemudian tentang Jenderal De Kock. Sesudah berkunjung di
Surakarta, Jenderal De Kock datang di Yogyakarta. Kepada Ranadiningrat, De
Kock memerintahkannya untuk menyampaikan surat kepada panglima perang dari
Selarong, yakni Patih Suryamanggala. Isi surat tersebut, bahwa De Kock ingin
bertemu dengan Pangeran Diponegoro.
Berangkatlah Ranadiningrat ke Selarong. Seusai bertemu dengan Patih
Suryamanggala, Ranadiningrat menyampaikan surat itu. Dari Suryamanggala,
surat itu disampaikan pada Pangeran Diponegoro. Sesudah berembuk dengan
Pangeran Mangkubumi dan para kiai, Diponegoro berkenan untuk membalas surat
dari De Kock. Isi surat balasan, bahwa Diponegoro tidak bersedia bertemu dengan
De Kock.
Sepeninggal Ranadiningrat yang telah membawa surat balasan, Pangeran
Diponegoro dinobatkan sebagai raja bergelar Kangjeng Sultan Abdul Khamid
Herucakra Kabirul Mukmin Sayidin Panatagama Kalifah Rosulullah ing Jawa
pada hari Senin. Beberapa hari seusai penobatan Diponegoro sebagai raja,
Selarong mendapat serangan dari pasukan Belanda.
Mendengar suara senapan dari kejauhan, Pangeran Diponegoro segera
memerintahkan Suryamanggala beserta pasukannya untuk menghadapi pasukan
musuh. Karena Suryamanggala sedang memiliki urusan, Diponegoro mengambil
alih kepemimpinan sebagai panglima perang. Menyadari pasukannya mulai
melemah, Diponegoro disarankan oleh Pangeran Mangkubumi yang berganti
nama Kangjeng Panembahan itu untuk mundur dari medan perang.
Menyelamatkan pasukannya dengan menaiki puncak bukit.
Pasukan Belanda yang tidak mengejar pasukan Diponegoro itu justru
bergerak ke Selarong. Sesudah merusak seluruh kitab al-Quran, pasukan belanda
itu membakar masjid dan pesanggrahan di Selarong. Kiai Kwaron yang tidak
mampu menghadapi amuk musuh ketika berada di masjid itu berhasil meloloskan
diri sesudah peluru-peluru musuh tak melukai tubuhnya.
Mengetahui pasukan Selarong yang berpisah dengan Kangjeng
Panembahan itu naik ke puncak bukit, Pangeran Adisurya dan Pangeran
Sumanagara dengan seribu prajuritnya berniat memberikan bantuan kepada
Pangeran Diponegoro. Sesudah menghadap Diponegoro yang berada di atas gua
Selarong, kedua pangeran itu menyatakan kesediaannya untuk membantu
melawan pasukan kafir Belanda.
Berkat saran Kiai Maja, Pangeran Diponegoro berniat meninggalkan
Selarong untuk pergi ke sungai Soka. Namun tidak semua pendherek Diponegoro
turut ke sungai Soka. Pengalasan dan Mangunagara diperintahkan oleh Dipangera
agar tetap bertahan di Selarong. Sesudah meriam Kiai Naga diledakkan,
Diponegoro dan pasukannya bergerak ke sungai Soka.
Di tengah perjalanan, Pangeran Diponegoro dihadang oleh Kiai Lurah.
Kepada Diponegoro, Kiai Lurah menyatakan ingin mati sabil dengan menyerang
pasukan Belanda. Sungguhpun sudah dilarang oleh Diponegoro, Kiai Lurah nekat.

119
Hingga pada hari Jumat, Kiai Lurah yang menyerang pasukan kafir Belanda itu
gugur sebagai pahlawan.
Mendengar kabar duka bahwa Kiai Lurah gugur di medan perang, hasrat
Pangeran Diponegoro untuk melawan pasukan Belanda kembali berkobar-kobar.
Namun sebelum Diponegoro mengerahkan pasukannya untuk menyerang pasukan
Belanda, malam telah datang. Berkat saran Kiai Maja, Diponegoro menarik
pasukannya ke sungai Soka.[ ]

120
DIPONEGORO
MENYERANG MANGIR
SETIBA di Sungai Soka, Pangeran Diponegoro sakit. Berkat pertolongan yang
dilakukan oleh Pangeran Behi dan Pangeran Jayakusuma, sakit Dipangera berhasil
disembuhkan. Keesokan paginya, sewaktu Diponegoro masih tertidur, datanglah
Natareja berserta empatpuluh anggota pasukannya datang ke Sungai Soka.
Kepada Diponegoro, Natareja menyarankan agar meninggalkan sungai Suka.
Memberikan bantuan pasukannya yang tengah berperang melawan pasukan
Belanda di Mangir.
Beserta pasukannya, Pangeran Diponegoro yang telah sembuh dari sakit
itu bergerak ke Mangir. Sesampai tujuan, perang antara pasukannya melawan
pasukan musuh tak bisa dihindari. Dalam perang itu, pasukan Belanda berhasil
diporakporandakan. Para begundal Belanda yang selamat dari perang itu
meninggalkan medan laga.
Dari Mangir, Pangeran Diponegoro membawa pasukannya kembali ke
Selarong. Di tempat itulah, pasukannya kembali berperang melawan pasukan
Belanda. Karena kalah jumlah pasukan dan persenjataan, Diponegoro beserta
pasukannya meninggalkan medan laga. Naik ke gunung. Mengungsi di tlatah
Kerebet. Dari Kerebet, Diponegoro bergerak ke Terucuk. Dari Terucuk,
Diponegoro menyeberang sungai Praga. Di sebelah timur Mangir, Diponegoro
tinggal untuk sementara waktu.
Menyadari pasukannya mulai melemah, Pangeran Diponegoro mengirim
surat melalui seorang gandhek pada Muhammad Usman Ali Basah di Kedu. Isi
surat, Diponegoro meminta bantuan pasukan dari Kedu. Tak lama kemudian,
pasukan Bulkiyah dari Kedu itu datang. Sesudah mendapat bantuan pasukan
Bulkiyah, Diponegoro menyeberangi sungai Praga dari barat ke timur.
Perang antara pasukan Diponegoro dan pasukan Belanda kembali terjadi.
Namun dalam perang itu, pasukan Belanda dapat dipukul mundur hingga
mengungsi di Yogyakarta. Sesudah musuh meninggalkan medan laga,
Diponegoro beserta para ulama dan pasukannya membuat pesanggrahan di Sekar
Ageng. Di sana, mereka tinggal.
Bertepatan malam pada bulan Mulud, Pangeran Diponegoro beserta para
ulama dan pasukannya bersalawatan. Seusai salawatan, mereka membahas
mengenai perkiraan kapan datangnya pasukan kafir dari Yogyakarta yang
mendapat dukungan pasukan Surakarta ke Sekar Ageng. Dugaan mereka benar.
Seusai gerebeg mulut, pasukan kafir Yogyakarta menyerbu Sekar Ageng.
Akibatnya, perang antara pasukan Diponegoro dan pasukan musuh dari
Yogyakarta kembali terjadi di pesawahan.
Pangeran Diponegoro amat marah. Sungguhpun pasukan musuh dari
Yogyakarta dapat didesak hingga banyak yang tewas, namun beberapa pendherek-
nya gugur di medan laga. Pasukan Islam yang gugur, di antaranya: Kiai Guru
Kasongan Ngabulraup, Kiai Muhammadsantri, Raden Tumenggung Jadrana, dan
tiga orang haji pesantren.

121
Karena kemarahannya, Pangeran Diponegoro ingin menghadapi pasukan
musuh. Kiai Maja melarangnya. Dengan mengelus dada untuk meredam
amarahnya, Diponegoro meninggalkan medan laga bersama pasukannya.
Mundurnya Diponegoro ini justru pasukan musuh dapat mengepung Tumenggung
Mretalaya, Syekh Abdultalkah, dan Ngabdurahman. Berbekal semangat jihat,
ketiganya yang siap mati sabil itu berperang melawan pasukan musuh hingga
porak-poranda. Mereka yang selamat kembali ke Yogyakarta dengan membawa
mayat panglima perangnya. [ ]

122
DIPONEGORO DI JUMENENG
DI PESANGGRAHAN, Pangeran Diponegoro dihadap oleh Kiai Maja,
Muhammad Usman Ali Basah, dan Pangeran Behi. Di tengah pembicaraan, Ali
Basah meminta izin untuk menjenguk keluarganya. Mengingingat sesudah perang
di Dimaya hingga di Sekar Ageng, Ali Basah belum sempat pulang ke rumah.
Oleh Diponegoro permintaan izin Ali Basah dikabulkan.
Sesudah Ali Basah meninggalkan Sekar Ageng, Pangeran Diponegoro
yang mendapat bantuan seribu prajurit dari Pangeran Sumanagara itu
meninggalkan Sekar Ageng. Tidak ada tempat yang bakal dituju oleh Dipanegera
selain di Jumeneng yang terletak di sebelah barat laut Yogyakarta. Diponegoro
pula mendapat bantuan seribu prajurit dari Tumenggung Japenawang dan
limaratus prajurit dari Kedu.
Baru beberapa hari tinggal di Jumeneng, pasukan Diponegoro diserbu oleh
pasukan musuh dari Yogyakarta. Karena jumlah pasukan dari Yogyakarta sangat
banyak, pasukan Dipanegera berhasil dilumpuhkan. Karenanya, Diponegoro
menarik pasukannya. Meninggalkan Jumeneng. Dengan melewati Pamriyan,
pasukan Diponegoro menuju Langon. Dari Langon, pasukan Diponegoro bergerak
ke dusun Jeksa. Dusun besar yang diapit dua sungai.
Memertimbangkan tinggal di dusun Jeksa kurang aman, Pangeran
Diponegoro disarankan oleh para pendherek-nya untuk naik ke Gunung Suwela
yang masih di wilayah dusun itu. Sesudah Diponegoro beserta pasukannya di
Gunung Sewala, pasukan musuh tak berani memburunya. Di tempat paling aman
itulah, Diponegoro memiliki kesempatan untuk mengatur siasat perangnya di
dalam melawan pasukan musuh.
Ketika dihadap oleh para pendherek, Pangeran Diponegoro mengubah
nama dari sebagian mereka. Diponegoro memerintahkan kepada mereka untuk
berbaris di wilayah-wilayah yang ditentukan. Tumenggung Jayanagara, Haji
Ngisa, Haji Ibrahim beserta seribu prajurit diperinthakan untuk berbaris di sebelah
selatan Yogyakarta. Raden Sumadiningrat, Raden Jayawinata, Raden
Suryabrangta, Kiai Rajaniti, Raden Sumadirja, Raden Demang, Raden Jayawinata
beserta pasukannya untuk berbaris di Jimatan. Syekh Haji Muda, Raden Resa
Kusuma, beserta seratus prajurit untuk berbaris di kota besar Dolahresa.
Tumenggung Suranagara, Mangunagara, Sudiranagara, Nitinagara, Surajarja,
Ranupati beserta tujuhratus prajuritnya untuk berbaris di sebelah timur
Yogyakarta. Jayapranata, Syekh Abdulrahman, Wirareja, beserta tigaratus prajurit
untuk berbaris di Remame dan Purbalingga. Raden Danukusuma, Raden
Jayasudarga, dan Pangeran Suryakusuma untuk berbaris di Pagelen.
Memerintahkan pada Syekh Jayamustafa dan Tumenggung Jayaprawira untuk
berbaris di Lowanu.
Sesudah mendapatkan perintah dari Pangeran Diponegoro, para
pendhereknya yang mendapat tugas untuk berbaris di wilayah masing-masing itu
meninggalkan desa Jeksa. Sepeninggal mereka, Diponegoro beserta pasukannya
yang tertinggal di Jeksa untuk sejenak beristirahat. [ ]

123
PASUKAN BULKIYAH MENYERBU IMOGIRI
SEWAKTU berkumpul dengan para pendherek-nya, Pangeran Dipangegara
dihadap oleh Tumenggung Jayanagara. Sesudah mendengar penurutan Jayanagara
yang meminta bantuan pasukan dari Jeksa, Diponegoro mengirim pasukan ke
Imogiri. Bersama Jayanagara, pasukan Jeksa di bawah komando Muhamnmad
Usman Ali Basah itu berangkat ke Imogiri.
Sesampai Imogiri, pasukan Bulkiyah di bawah Muhammad Usman Ali
Basah berhasil menaklukkan pasukan Sala yang merupakan antek Belanda itu.
Perang kedua pasukan itu sangat ramai. Saling serang dengan berbagai jenis
senjata: senapan, tombak, pedang, dan keris. Sekian lama berperang, pasukan Sala
berhasil dipukul mundur. Para prajurit yang selamat dari perang meninggalkan
medan laga. Sesudah mengalami kejayaan, pasukan Bulkiyah kembali ke Jeksa.
Dikisahkan kemudian tentang perang di Tempel. Raden Wirakusuma yang
kalah perang melawan pasukan Belanda di bawah komando Kolonel Gibas itu
meminta bantuan pada Pangeran Diponegoro. Maka Diponegoro segera mengirim
Kangjeng Gusti Muhammad Iman Abdulkamil dan Tumenggung Martalaya ke
Tempel.
Perang antara pasukan Jeksa dan pasukan Belanda sangatlah sengit.
Namun berkat kegigihan pasukan Jeksa, pasukan Belanda berhasil dipukul
mundur. Akibat kejayaan atas pasukan Belanda, pasukan Jeksa berhasil membawa
dua meriam yang kemudian diserahkan pada Diponegoro.
Lain kisah perang di Imogiri dan di Tempel, lain pula kisah perang di
sebelah timur Yogyakarta, tepatnya di Prambanan. Pasukan Diponegoro di bawah
komando Raden Suranagara, Raden Kakrasana, dan Kiai Ajali berhasil
menaklukkan barisan kafir di bawah komando Mayor Legur. Akibat
kemenangannya melawan pasukan kafir, pasukan Diponegoro berhasil membawa
satu meriam ke Jeksa. Mayor Legus sendiri tewas dibunuh oleh Raden
Suranagara.
Mengetahui pasukan Belanda mulai tidak berdaya menghadapi pasukan
Diponegoro, Jenderal Dekok membebaskan Pangeran Mangkubumi dan Pangeran
Mertasana yang dibuang ke Ambon. Keduanya bebas sesudah menyanggupi untuk
memushi Diponegoro. Sesudah sampai di Jawa, Mangkubumi datang ke Surakarta
dan Mertasana datang di Yogyakarta.
Sementara di Lagon, pasukan Diponegoro diserbu oleh pasukan kafir
Belanda. Karena tak berdaya menghadapi pasukan musuh, pasukan Diponegoro
mengungsi ke Kota Giri. Di tempat itulah, Kangjeng Pangeran Muhammad Abu
Bakar, Kiai Guru Kwaron, dan Raden Ayu Ngabehi wafat. Abu Bakar
dimakamkan di Kedu, Kiai Kwaron dimakamkan di Kota Giri, dan Raden Ayu
Ngabehi di Clereng.
Serangan pasukan kafir Belanda semakin membabi buta. Akibat serangan
itu, pasukan Diponegoro dibuat kocar-kacir. Syekh Ismail dan Syekh Bulawi yang
berhasil ditangkap musuh itu berakhir dengan kematian sabil. Bukan hanya kedua
ulama itu, Tumenggung Kretanagara dan Mertawijaya berhasil ditangkap musuh.
Mengetahui Mertawijaya gugur di tangan musuh, Tumenggung Mandalika
mengamuk pasukan musuh seperti banteng terluka. Karena Mandalika kebal

124
senjata, pasukan musuh mundur dari medan perang. Sesudah menghadap
Diponegoro di Jeksa, Mandalika wafat. Sebulan kemudian, perang yang terjadi di
Lowanu mengakibatkan Tumenggung Jayaprawira gugur di tangan musuh.
Selagi berduka cita atas gugurnya para pendherek-nya di medan perang,
Pangeran Diponegoro dihadap oleh seseorang yang bernama Syekh Abdullah.
Kepada Diponegoro, Abdullah menyatakan, “Katahuilah, Kangjeng Pangeran!
Kiai Maja menjadi pendherek Pangeran tidak tulus dari hati. Ia memiliki maksud
pribadi di balik perjuangan Pangeran.”
“Enyahlah kau dari hadapanku, Kafir!”
Syekh Abdullah undur diri dari hadapan Pangeran Diponegoro. Tak lama
kemudian, Abdullah meninggal. Sepeninggal Abdullah, Diponegoro mendengar
kabar bila pasukannya yang berbaris di Ledok mendapatkan serangan musuh.
Sungguhpun banyak pasukan kafir Belanda yang tewas, namun Tumenggung
Ondakara yang merupakan pendherek Diponegoro gugur sabil di medan perang.
Selain berita perang yang telah berakhir di Ledok, Pangeran Diponegoro
mendengar kabar bahwa pasukannya di bawah komando Muhammad Usman Ali
Basah berperang melawan pasukan musuh di Pagelen. Baru saja diterima berita
perang dari Pagelen, Diponegoro menerima berita bahwa pasukannya tengah
terlibat perang melawan pasukan musuh di Trerayem, Tempel, dan Plered.
Sungguh! Diponegoro sangat gusar mendengar berita itu. [ ]

125
PASUKAN JEKSA
MENGALAMI KEKALAHAN
DI TANAH Mataram kembali menjadi medan pertempuran antara pasukan
Pangeran Diponegoro dari Jeksa melawan pasukan murtad dan kafir Belanda. Di
Pleret pasukan Jeksa di bawah komando Muhammad Usman Ali Basah dan
Ngabdulatip berperang melawan pasukan murtad dari Mangkunegaran. Dalam
perang tersebut pasukan Jeksa berhasil meraih kejayaan di medan laga.
Pasukan Jeksa yang dipimpin oleh Tumenggung Jayanegara bertempur
melawan pasukan murtad dan kafir Belanda di Imogiri dan Gunungkidul.
Karenanya, Jayanegara tidak bisa memberikan bantuan kepada pasukan Jeksa
yang tengah bertempur di wilayah Mataram lainnya.
Sementara pasukan Jeksa yang berbaris di sebelah timur Yogyakarta
tengah bertarung melawan pasukan murtad di bawah komando Pangeran
Mangkunegara. Semula pasukan murtad berhasil didesak oleh pasukan Jeksa.
Namun sesudah mendapatkan bantuan pasukan kafir Belanda, pasukan murtad
menjadi lebih mengungguli pasukan Jeksa.
Mengetahui pasukan Jeksa yang berperang melawan pasukan murtad dan
kafir Belanda itu mulai terdesak, Pangeran Mangkunegara memerintahkannya
untuk mundur. Namun pasukan Jeksa lebih memilih hancur dalam perang sabil itu
ketimbang meninggalkan medan laga sebagai pecundang.
Perang mulai seimbang, sesudah pasukan Jeksa mendapatkan bantuan
pasukan dari Muhammad Usman Ali Basah dan Haji Ngisa. Lambat-laun pasukan
murtad dan kafir Belanda berhasil didesak hingga banyak serdadunya yang tewas.
Namun sesudah pasukan murtad dan kafir Belanda mendapat tambahan kekuatan,
pasukan Jeksa berhasil diporakporandakan hingga banyak prajuritnya yang tewas.
Sungguhpun banyak anggota pasukan Jeksa yang tewas dalam perang
melawan pasukan murtad dan kafir Belanda, namun Muhammad Usman Ali
Basah berhasil dikeluarkan dari medan laga. Mengetahui seribuan prajurit Jeksa
tewas sebagai tumbal perang, Jenderal De Kock merasa sangat bahagia.
Sesudah mendapatkan kemenangan perang di sebelah timur Yogya,
pasukan murtad dan kafir Balanda memburu pasukan Jeksa sampai Pleded.
Karena sudah ditinggalkan oleh pasukan Jeksa di bawah komando Muhammad
Usman Ali Basah, pasukan murtad dan kafir dengan mudah menguasai Plered.
Ketika berperang melawan pasukan murtad dan kafir Belanda, anggota
pasukan Jeksa yang mati sabil di medan perang sejumlah seratus duapuluh orang,
antara lain: Dolah, Haji Ibrahim, Tumenggung Wiryadirja, Raden Jayasumitra,
Mas Panji Kancil, Raden Wanawijaya, Raden Surasantika, Raden Trunadriya, dan
Raden Mukadinata.
Sesudah mengalami kekalahan melawan pasukan murtad dan kafir
Belanda di bawah komando Pangeran Mangkunagara yang berbaris di sebelah
timur Yogyakarta, Pangeran Diponegoro mengirim pasukan Jeksa di bawah
komando Pangeran Natapraja dan Raden Jayanagara.
Bersama pasukan Jeksa, Pangeran Natapraja dan Raden Jayanagara
meninggalkan Jeksa. Menyeberangi sungai Praga. Dari Semen, pasukan Jeksa

126
bergerak menuju Jalasutra. Sesudah tiga malam tiga hari tinggak di Jalasutra,
pasukan Jeksa yang tidak kuasa menghadapi pasukan musuh dari Tanjungtirta itu
bergerak mundur menuju Ngelud. Dari Ngelud, pasukan Jeksa kembali berbaris di
sebelah barat sungai Praga.
Ketika pasukan Jeksa berbaris di sebelah barat Sungai Praga, pasukan
Mangkunegara berbaris di sebelah timur sungai Praga. Karena itulah, para
pendherek Pangeran Diponegoro yang tinggal di sebelah timur Praga mengungsi
bersama keluarganya ke tempat yang lebih nyaman.
Sementara, pasukan Jeksa yang berbaris di sebelah utara Yogyakarta telah
takluk pada pasukan murtad dan kafir Belanda. Pasukan Jeksa di bawah komando
Pangeran Adisurya yang berbaris di Gamping tidak berdaya lagi menghadapi
pasukan murtad dan kafir Belanda. Kekalahan dalam menghadapi pasukan musuh
pun dihadapi oleh pasukan Jeksa yang berbaris di Baligo.
Mengingat semakin kuatnya pasukan murtad dan kafir Belanda dari
Yogyakarta, pasukan Jeksa yang selamat dari perang menyeberangi sungai Praga.
Menghadap pada Pangeran Diponegoro untuk melaporkan kegagalannya di dalam
menghadapi pasukan musuh.
Selang beberapa hari, Pangeran Diponegoro mendapat laporan dari telik
sandi bahwa pasukan murtad dan kafir Belanda yang berhasil menyeberangi
sungai Praga itu telah berbaris di Pudhak. Sontak Diponegoro yang masih sakit itu
ingin tampil sebagai panglima perang di dalam menghadapi pasukan musuh.
Namun, niat Dipangera itu diurungkan sesudah mendapat nasihat dari Kiai Maja
dan Pangeran Ngabehi.
Berkat nasihat Pangeran Ngabehi yang mendengar kabar bahwa pasukan
musuh telah bergerak ke Jeksa, Pangeran Diponegoro meninggalkan tempat itu.
Sewaktu pasukan musuh sampai di Jeksa, pasukan Diponegoro bergerak ke sungai
Wunglon. Dari Sungai Wunglon, pasukan Diponegoro bergerak ke sungai
Sungga, dan berakhir di Pudhak. Karenanya sesudah pasukan musuh di Jeksa,
pasukan Diponegoro berada di Pudhak.
Sewaktu berada di Pudhak, Pangeran Diponegoro mendapatkan laporan
dari telik sandi bahwa pasukannya yang berbaris di Pagelen berhasil ditaklukkan
oleh pasukan musuh. Laporan inilah yang kemudian membuat Diponegoro
merasakan sudah terjatuh tertimpa tangga. Sungguh Diponegoro merasakan
sangat berduka saat menjelang tengah malam. Di mana seluruh anggota
pasukannya telah tertidur pulas. [ ]

127
DIPONEGORO DIDATANGI
RATU KIDUL
TENGAH malam, seluruh pasukan dari Jeksa itu telah tertidur hingga
mendengkur. Berbeda dengan pasukannya, Pangeran Diponegoro yang merasa
sangat berduka karena pasukannya mulai mengalami kekalahan demi kekalahan
perang itu tak mampu untuk memejamkan mata.
Bersama datangnya angin selatan yang bertiup beraroma kesturi,
muncullah seorang perempuan mengenakan pakaian serba hijau bermahkota emas
dengan diapit dua pengiringnya di hadapan Pangeran Diponegoro. “Kenapa
Pangeran bersedih? Kiranya beban apa yang Pangeran tanggung?”
“Tak ada beban yang aku tanggung, selain memikirkan pasukanku yang
semakin lemah, sementara pasukan musuh semakin kuat dan perkasa. Hingga
perang demi perang yang terjadi, pasukanku mengalami kekalahan. Sudah tak
terbilang, anggota pasukanku telah mati sabil, Ratu Kidul.”
“Jangan khawatir, Pangeran!” Ratu Kidul tersenyum dengan wajah
berbinar serupa purnama yang tak tersaput awan. “Semula kau berjanji, bila sudah
masanya, kau bersedia menikahiku. Bila Pangeran tak ingkar janji, aku akan
menolongmu. Tak perlu bantuan dari pasukanmu yang ada, aku dan pasukanku
sanggup menyingkirkan semua musuhmu di tanah Jawa.”
“Tidak, Ratu Kidul. Tak ada janji lagi di antara kita.” Pangeran
Diponegoro menolak tawaran bantuan bersyarat dari penguasa Laut Selatan itu.
“Selain itu, Ratu Kidul. Aku tak mengharapkan bantuanmu. Aku hanya
mengharapkan bantuan sepenuhnya dari Allah Tangala. Hanya kepada Dia, aku
meminta bantuan. Hanya kepada Dia, aku berlindung. Bukan kepada kau.
Demikian pula, bukan kepada syetan, iblis, atau jin dari dunia kegelapan.”
Mendengar jawaban tegas dari Pangeran Diponegoro, Ratu Kidul yang
tampak kecewa itu lenyap dari pandangan. Lenyap bersama dua pengirinya seperti
gumpalan-gumpalan asap yang tersapu angin. Lenyap tanpa meninggalkan jejak.
Tanpa meninggalkan pesan apapun kepada Dipanegera.
Selepas Ratu Kidul berserta kedua pengiringnya, Pangeran Diponegoro
melaksanakan salat malam. Seusai menghadap Allah tuhannya, Diponegoro
sejenak merenung untuk menentukan langkah apa yang harus diambil esok hari.
Namun sebelum mendapatkan gambaran yang jelas, Diponegoro tak kuasa
melawan rasa kantuknya. Tertidur hingga fajar datang. [ ]

128
DIPONEGORO BERPERANG
MELAWAN SAUDARA SENDIRI
FAJAR tiba. Pasukan Dipangera meninggalkan Pudhak. Di Kamal, pasukan
Dipangera bertempur melawan pasukan murtad dan kafir Belanda. Melihat
pasukan musuh yang datang dari utara Yogyakarta tampak menyusuri jalan di
tepian bukit itu menuju Kamal, pasukan Diponegoro mundur dari medan laga.
Bergerak menuju Panggung.
Dari Panggung, pasukan Dipangeraga bergerak ke Kota Giri. Di Kota Giri
itulah pasukan Diponegoro mendapat serangan yang hebat dari pasukan murtad
dan kafir Belanda. Karena kalah perang, pasukan Diponegoro berlari menuju
Breja, dan berakhir di Badhut. Kuta Giri yang telah ditinggalkan oleh pasukan
Diponegoro itu kemudian dibakar oleh pasukan musuh.
Tak diduga oleh Pangeran Diponegoro. Badhut dikepung oleh pasukan
murtad dan kafir Belanda di bawah komando Jenderal Pagen dari tiga penjuru –
Katebon, Kemiri, dan Gunung Kanigara. Diperhitungkan tak mampu menghadapi
pasukan musuh dalam kondisi dikepung, pasukan Diponegoro yang berhasil
meloloskan diri dari kepungan itu bergerak ke Kasuran.
Di Kasuran, pasukan Diponegoro yang baru saja melaksanakan salat Jumat
itu bertempur melawan pasukan Pagen. Di bawah panglima perang Muhammad
Usman Ali Basah dan Kiai Maja, pasukan Diponegoro berhasil membantai
banyak tentara mush. Jenderal Pagen yang selamat dari maut itu berlari ke puncak
bukit.
Sesudah mengalami kejayaan, pasukan Diponegoro bergerak ke
Landhangan dan berlanjut ke Banyuhurip. Sesampai Banyuhurip, pasukan
Diponegoro berperang melawan pasukan musuh yang melibatkan para kerabat
dan putra Diponegoro sendiri, di antaranya: Pangeran Suryawijaya, Pangeran
Martasana, Pangeran Nata Baya, Sontawijaya, Purwakusuma, Murdaningrat,
Panular, Danupaya, Adiwijaya, dan Adiwinata.
Mendengan laporan bahwa para kerabat dan putranya sendiri bergabung
dengan pasukan musuh, Pangeran Diponegoro sangat sedih. Terlebih ketika ketika
mendengar kabar bahwa Pangeran Panular, Danupaya, Adiwijaya, dan Adiwinata
tewas dalam perang di Kasuran itu.
Usai berperang di Kasuran, pasukan Diponegoro bergerak ke Lengkong.
Dari Lengkong, pasukan Diponegoro bergerak ke Kemusuh. Sesudah beristirahat
seminggu, pasukan Diponegoro bergerak ke Jipang dan berlanjut ke Selarong.
Sebelum sampai tujuan, pasukan Diponegoro dihadang oleh pasukan musuh.
Maka, berperanglah kedua pasukan itu sampai titik darah penghabisan.
Berkat kegigihannya, pasukan Diponegoro berhasil memorakporandakan
pasukan musuh. Sesudah anggota pasukan musuh yang masih hidup
meninggalkan medan laga, pasukan Diponegoro bergerak ke dusun Puluhan. Di
dusun itulah, pasukan Diponegoro beristirahat. [ ]

129
PASUKAN DIPONEGORO
MENDAPAT KEJAYAAN
PANGERAN Diponegoro dihadap oleh Dhaheng Markincing. Dari Markincing,
Diponegoro mendapat laporan bahwa pasukan musuh yang terbagi menjadi dua
itu berbaris di Mangir dan di Kali Asat. Markincing menambahkan bahwa jumlah
anggota pasukan musuh yang berbaris di Kali Asat lebih besar ketimbang jumlah
anggota pasukan Diponegoro di Mangir.
Mendengar laporan Dhaheng Markincing, Pangeran Diponegoro segera
memerintahkan pada Pangeran Adisurya untuk menyerang Mangir. Sementara,
Muhammad Usman Ali Basah diperintahkan untuk menyerang Kali Asat.
Bersama pasukannya, berangkatlah kedua panglima perang andalan Diponegoro
itu ke tempat tujuannya masing-masing dengan semangat jihad yang menyala.
Berkobar-kobar.
Sesampai tujuan, pasukan Diponegoro segera bertempur melawan
pasukan musuh. Mengetahui pasukannya berhasil dipukul mundur oleh pasukan
musuh, Diponegoro yang kemudian tampil sebagai panglima perang itu meminta
bantuan pada Muhammad Usman Ali Basah untuk turut menyerang Mangir.
Dengan mendapatkan tambahan kekuatan, pasukan Diponegoro berhasil
menaklukkan pasukan musuh yang bercokol di Mangir.
Sesudah Mangir dikuasai, Pasukan Diponegoro berhasil melumpuhkan
pasukan musuh yang bercokol di Kali Asat, Jeksa, dan Pagelen. Sesudah
mengalami kejayaan perang di Kali Asat, pasukan Diponegoro bergerak di dusun
Sumuran. Di dusun itulah, pasukan Diponegoro mendapat serangan dari pasukan
musuh yang datang dari Yogyakarta dengan jumlah pasukan lebih besar dan
persenjataan lebih lengkap.
Perang antara pasukan Diponegoro dan pasukan murtad dan kafir Belanda
kembali terjadi di dusun Sumuran. Berkat pertolongan Illahi, pasukan Diponegoro
berhasil memukul mundur pasukan musuh. Usai mendapatkan kejayaan di medan
laga itu, pasukan Diponegoro bergerak ke Pendawa. Dari Pendawa, pasukan
Diponegoro bergerak ke Sambirata. Di wilayah itulah, Pangeran Dipangera
mengatur siasat perang dan membagi tugas kepada para pendherek-nya.
Kepada Sumadiningrat dan Nataraja, Pangeran Diponegoro
memerintahkan untuk berbaris bersama pasukannya di Prambanan. Surareja dan
Ranupati mendapat tugas untuk berbaris bersama pasukannya di Nyamplung.
Sementara, Urawan ditugaskan untuk berbaris bersama pasukannya di Kajiwan.
Berangkatlah ketiga panglima perang beserta pasukannya itu dari hadapan
Pangeran Diponegoro. Tak lama kemudian, perang antara pasukan Diponegoro
dan pasukan musuh kembali terjadi di Prambanan dan Kejiwan. Dalam perang itu,
pasukan Dipanagara berhasil membuat kocar kacir pasukan musuh. Sungguhpun,
banyak anggota pasukannya yang gugur. [ ]

130
PASUKAN DIPONEGORO MENYERANG
DELANGGU
PASUKAN murtad dan kafir yang terdiri dari orang-orang Mangkunegara,
Sumenep, dan Belanda telah meninggalkan Yogyakarta. Mereka berkumpul di
Delanggu. Tak ada tujuan yang akan mereka capai, selain memersiapkan pasukan
untuk berperang melawan pasukan Diponegoro.
Berita tentang berkumpulnya pasukan musuh di Delanggu terdengar oleh
Pangeran Diponegoro. Karenanya bersama pasukannya yang mendapatkan
dukungan Kiai Imam Kasan Besari, Pangeran Diponegoro bergegas meninggalkan
Prambanan untuk menyerang Delanggu.
Perang antara pasukan Diponegoro melawan pasukan musuh yang sama-
sama kuatnya berlangsung sangat lama. Sungguhpun kedua pasukan sudah
kehilangan banyak prajurit, namun perang belum menunjukkan pasukan mana
yang kalah atau mana yang unggul.
Dengan semangat berkobar-kobar, pasukan Diponegoro yang diperkuat
oleh Kiai Imam Kasan Besari, Kiai Maja, Muhammad Usman Ali Basah, Basah
Abdulatif, Basah Abdulkamil, Pangeran Adisurya, Ngurawan, dan Abdullah
Prawiradirja menyerang pasukan Delanggu serupa sekawanan banteng terluka.
Sementara, pasukan musuh yang diperkuat oleh para putra Surakarta tak begitu
mudah untuk menyerah.
Lambat laun, pasukan musuh yang semula terdesak berubah mendesak
pasukan Diponegoro sesudah mendapat bantuan pasukan Belanda. Melihat
pasukannya terdesak, Pangeran Diponegoro yang tak menghendaki korban di
pihaknya kian menyerukan kepada para panglima perangnya untuk menarik
pasukannya segera mundur dari medan laga.
Sesudah pasukan Diponegoro mundur dari medan laga, Kiai Imam Kasan
Besari tampil di medan laga seorang diri. Diponegoro terperangah ketika Kasan
Besari melawan pasukan musuh, tiba-tiba datang angin besar dari arah tenggara
yang membawa kobaran api. Akibat amuk angin berapi, banyak anggota pasukan
musuh yang terbakar punggungnya. Banyak orang Sumenep yang membantu
pasukan musuh berkaparan di medan laga. Tewas sebagai tumbal perang.
Tak kenal istilah mundur selangkah, Kiai Imam Kasan Besari terus
menghadapi pasukan musuh yang mendapatkan bantuan orang-orang Kelaten,
Kalitan, dan Surakarta. Karena malu dengan Kasan Besari, seluruh pasukan
Diponegoro kembali menyerang pasukan musuh. Perang pun berakhir, ketika
pasukan musuh berhasil diporak-porandakan oleh pasukan Diponegoro.
Pasukan Diponegoro kembali mengalamai kejayaan sesudah berhasil
menaklukkan pasukan musuh di Kedu. Dengan membawa meriam dan
persenjataan rampasan, pasukan Diponegoro bergerak ke Kuripan. Di sana,
pasukan Diponegoro menghimpun kekuatan untuk menghadapi pasukan musuh
dengan jumlah lebih besar dan senjata lebih lengkap. [ ]

131
PENDHEREK DIPONEGORO
BERKEPALA BOTAK
SEKIAN lama Pangeran Diponegoro beserta pasukannya tinggal di Koripan. Dari
Koripan, pasukan Diponegoro itu bergerak menuju pengging. Sewaktu di
Pengging itu, Dipanegera teringat pada Selareja saat menyaksikan kolam milik
Sunan Sala (Sunan Pakubuwana VI) yang dipenuhi ikan-ikan dan bulus.
Diponegoro pula teringat kepada istri-istrinya yang tinggal di Rejasa.
Karena bayangan wajah istri-istrinya senampak menari-nari di pelupuk
mata, Pangeran Diponegoro tidak memerhatikan perkataan Kiai Maja yang
mengingatkan tujuannya untuk melakukan serangan ke Kalitan. Merasa tidak
diperhatikan oleh Diponegoro, Kiai Maja mengambil keputusan sendiri untuk
menyerang Kalitan. Tanpa seizin Diponegoro, Kiai Maja mengerahkan
pasukannya untuk menyerang Kalitan.
Perang antara pasukan Kiai Maja melawan pasukan Kalitan tidak dapat
dihindari lagi. Karena serangan pasukan Kiai Maja tidak menerapkan strategi
yang benar, pasukan Kalitan berhasil memukulnya mundur dari medan laga.
Bahkan beberapa anggota pasukan Kiai Maja, termasuk Syekh Mataram yang
sangat dekat dengan Pangeran Diponegoro, gugur di medan laga.
Dengan membawa rasa malu, Kiai Maja menarik pasukannya dari medan
laga. Kiai Maja pun menjadi takut kepada Pangeran Diponegoro ketika
Muhammad Usman Ali Basah melaporkan bahwa Syekh Mataram telah gugur di
medan pertempuran.
Mendengar Syekh Mataram gugur di medan laga, Pangeran Diponegoro
membagi pasukannya menjadi tiga bregada. Bregada kanan mengepung loji
Kalitan dari arah timur, bregada kiri mengepung loji dari arah barat, dan bregada
tengah di bawah Muhammad Usman Ali Basah.
Sesudah pasukannya berhasil mengepung loji Kalitan, Pangeran
Diponegoro berubah pikiran untuk tak melakukan serangan. Mengingat
Diponegoro yang kembali terbakar rindu pada istri-istrinya itu ingin segera pulang
ke Ngrejasa. Menemui istri-istrinya yang sangat ia cintai.
Kepada Pangeran Diponegoro, Ali Basah bertanya, “Kenapa Pangeran
mengurungkan niat untuk menggempur loji Kalitan? Kenapa pula Pangeran
hendak pulang ke Ngrejasa?”
“Menyerang loji Kalitan tidak ubah berjuang untuk mendapatkan tulang
tak berisi. Lebih baik kita pulang ke rumah masin-masing dulu! Lebih baik kita
beristirahat dulu untuk memulihkan kekuatan sebelum menyerang Sala. Selagi
kau dan seluruh pendherek-ku beristirahat di rumah masing-masing, hendaklah
mencukur rambut kepala hingga botak.”
Mendengar perintah Pangeran Diponegoro yang kemudian pulang ke
Ngrejasa, Ali Basah beserta pasukannya beramai-ramai mencukur rambutnya
hingga botak. Hingga saat itu, pasukan musuh bisa membedakan mana
pasukannya dan mana pasukan Diponegoro. Hal inlah yang justru menguntungkan
bagi pasukan musuh. [ ]

132
DIPONEGORO MENDAPAT BANTUAN
PANGERAN WIJIL
BENDERA perang kembali dikibarkan. Pangeran Diponegoro yang telah
meninggalkan Ngrejasa itu memaciu kudanya menuju tlatah Pajang. Sesudah
tinggal di pesanggrahan Kedaran, Diponegoro dan pasukannya mendapat
serangan pasukan musuh yang datang dari Bayalali. Sungguhpun kalah jumlah
anggota pasukan dalam perang di Jramgulung itu, pasukan Diponegoro berhasil
memukul mundur pasukan Bayalali yang datang menyerupai air bah.
Pasukan Diponegoro tak bisa dianggap remeh. Berkat dukungan Kiai
Imam Kasan Besari, Kiai Maja, Pangeran Bei, Basah Abdulatif, Basah Adul
Rakhim, Pangeran Natapraja, Muhammad Usman Ali Basah, dan lainnya;
pasukan Diponegoro berhasil menaklukkan pasukan musuh yang bercokol di dua
wilayah – Pacitan dan Ngawen.
Mengetahui pasukan Diponegoro semakin tangguh hingga selalu dapat
mementahkan setiap serangan pasukan murtad dan kafir Belanda, Jenderal Dekok
menerapkan strategi yang dianggap jitu. Melakukan pendekatan kepada Sultan
Sepuh untuk mengirim surat pada Diponegoro cucunya. Isi surat agar Diponegoro
bersedia menyudahi perang melawan Belanda. Mengingat kesalahan tidak
bertumpu pada Jenderal De Kock, melainkan pada residen Belanda di Yogyakarta.
Tetapi, siasat De Kock itu tidak mempan. Dengan spirit jihat, Diponegoro tetap
melawan pasukan musuh yang dianggap sebagai gerombolan kaum kafir.
Spirit jihat Pangeran Diponegoro kian berkobar. Karena Surakarta menjadi
sarang orang murtad dan kafir Belanda, Diponegoro yang menerima saran Kiai
Maja itu ingin menyerang wilayah kekuasaan Sunan Pakubuwana itu.
Berangkatlah Diponegoro beserta pasukannya menuju Menang. Di Menang itulah,
pasukan Diponegoro dihadang oleh pasukan musuh dari Sala hingga terjadi
pertempuran sengit.
Berperang melawan pasukan Sala di Menang, bagi pasukan Diponegoro
serasa memijat buah tomat. Karenanya tidak membutuhkan waktu lama, pasukan
Diponegoro berhasil memukul mundur pasukan musuh. Sesudah mengalami
kejayaan, pasukan Diponegoro bergerak di Gowok, Sukareja.
Sewaktu berbaris di Gowok, pasukan Diponegoro kembali mendapatkan
serangan dari pasukan musuh dengan kekuatan lebih besar. Mengetahui bahwa
Kiai Imam Kasan Besari, salah seorang kerabat Sala yang menjadi pemimpin
pasukan Diponegoro, pasukan musuh yang sebagian besar anggotanya terdiri dari
orang-orang murtad itu mundur dari medan laga. Kembali ke Sala.
Baru saja beristirahat, pasukan Diponegoro kembali kedatangan pasukan
musuh yang telah berbaris di Wiyagang. Bergegas pasukan Diponegoro
menyambutnya dengan spirit berkobar-kobar. Seusai berhasil memukul mundur
pasukan musuh, Diponegoro bertemu dengan Pangeran Wijil pamannya. Kepada
Diponegoro, Pangeran Wijil menyatakan kesediaannya untuk membantu
perjuangan orang-orang Islam. Diponegoro terharu saat mendengar pernyataan
Pangeran Wijil yang keluar dari relung hatinya. [ ]

133
DIPONEGORO
TERKENA PELURU DI DADANYA
PANGERAN Diponegoro dan Pangeran Wijil masih berbincang di balik
pepohonan. Di tengah perbincangan mereka, menghadaplah Kiai Maja.
Melaporkan kepada Diponegoro bahwa pasukan Bulkiyah di bawah komando
Muhammad Usman Ali Basah yang berperang melawan pasukan murtad dan kafir
Belanda itu mulai kewalahan.
Terbakar oleh laporan Kiai Maja yang takut mati sabil di medan laga itu,
Pangeran Diponegoro beserta Pangeran Wijil sontak melompat ke gigir kuda.
Dengan serempak, mereka memacu kuda. Menuju arah tenggara dari
pesanggrahan di Wiyagang. Di mana pasukan Bulkiyah masih berperang melawan
pasukan musuh dengan sisa-sisa kekuatannya.
Menyaksikan Pangeran Diponegoro dan Pangeran Wijil memacu kudanya
menuju medan perang, Abdullah Prawiradirja dan Raden Jayanagara
menghadangnya. Kepada kedua pangeran itu, Prawiradirja menyediakan diri
sebagai perisai. Sesudah diterima tawaran itu, mereka berkuda di belakang
Prawiradirja dan Jayanagara.
Apes bagi Pangeran Diponegoro dan Pangeran Wijil. Sungguhpun dalam
perlidungan Abdullah Prawiradirja dan Raden Jayanagara, keduanya berhasil
ditembus peluru yang melesat dari moncong senapan musuh. Sebagaimana Wijil
yang terkena peluru pada kakinya, Diponegoro pula terkena peluru di dadanya.
Karena dilindungi keris Kiai Sarotama, peluru hanya melukai dada Diponegoro
hingga mengeluarkan darah. Memerahkan putih jubahnya.
Tanpa berpikir panjang, Abdullah Prawiradirja dan Raden Jayanagara
yang menyaksikan Diponegoro dan Wijil terkena peluru musuh segera melarikan
mereka dari medan laga. Muhammad Usman Ali Basah dan Kiai Imam Kasan
Besari yang mengetahui Diponegoro terluka di dadanya segera mengeluarkan
pusakanya – Kiai Barutuba, dan Kiai Abijaya. Dengan serempak, mereka maju ke
medan laga. Namun mereka urung berperang sesudah mendapat perintah
Diponegoro melalui seorang gandek untuk mundur dari medan pertempuran.
Karena luka di dada hingga tidak sanggup berjalan, Pangeran Diponegoro
ditandu oleh para pendherek-nya. Sesudah sejenak istirahat di dusun Kemiri,
Pangeran Diponegoro dibawa pulang menuju Ngrejasa. Setiba Diponegoro di
tujuan, Ratu Panembahan, seluruh istri, dan putranya menangis. Mereka yang
berdiri mengitari tandu menangis saat melihat luka di dada Diponegoro.
Kiranya luka pangeran Diponegoro membuat Ratu Panembahan siang
malam menangis. Karena selalu memikirkan nasib Diponegoro putranya, Ratu
Panembahan jatuh sakit hingga menemui ajalnya. Sesudah meninggal, Ratu
Panembahan dimakamkan di Imogiri, Bantul. [ ]

134
DE KOCK MENGIRIM SURAT PERDAMAIAN
HAMPIR seluruh wilayah Pagelen berhasil dikuasai oleh pasukan Diponegoro.
Karena pasukan musuh di Jona terus meledek pada pasukan Islam yang tidak
bernyali mengadapinya, Pangeran Diponegoro memerintahkan kepada Basah
Abdulatif untuk melakukan penyerangan.
Bersama pasukannya, pasukan Islam berangkat ke Jona. Setiba di tujuan,
perang antara pasukan Islam dan pasukan murtad dan kafir itu sontak pecah.
Dengan gagah berani, pasukan Islam di bawah aba-aba Tumenggung Kertanagara
terus maju tanpa gentar atas lesatan ribuan peluru yang disemprotkan dari
moncong senapan musuh. Hingga suratan takdir tak bisa ditolak. Kertanagara
gugur di medan perang saat puluhan peluru menghunjam sekujur tubuhnya.
Sepeninggal Tumenggung Kertanagara, semangat juang Basah Abdulatif
dan pasukannya bukannya semakin surut, melainkan semakin pasang serupa amuk
lautan dengan gelombang yang garang. Menerjang musuh baik di kiri, di kanan,
dan di depan. Hingga lambat laun pertahanan pasukan musuh di bawah komando
Mayor Bukus itu mulai terkoyak. Tanpa menununggu aba-aba dari Bukus, seluruh
tentara Jona yang masih hidup berlarian tunggang langgang. Memasuki loji untuk
menyelamatkan jiwa dan raga mereka.
Mengetahui seluruh tentara Jona memasuki loji, pasukan Islam
mengepungnya dari delapan penjuru. Sungguhpun sudah terkepung, namun
pasukan Islam belum berhasil menundukkan pasukan yang berlindung di dalam
loji. Karenanya, Pangeran Diponegoro meminta bantuan pada pasukannya yang
berbaris di Mataram. Baru saja bala bantuan datang, para serdadu telah
meninggalkan Jona tanpa sepengetahuan pasukan Islam.
Perang di Jona, dalam perkiraan Jenderal De Kock, bukan perang yang
terakhir. Karena tidak menghendaki perang terus belangsung hingga menguras
kerugian harta, benda, jiwa, dan raga pada pihak Belanda; De Kock menawarkan
perdamaian pada Pangeran Diponegoro melalui secarik surat.
Surat Jenderal De Kock disampaikan oleh seorang Inggris bernama
Setewer kepada Kiai Maja. Oleh Kiai Maja, surat yang tidak diteruskan pada
Pangeran Diponegoro itu dibalasnya dengan menolak tawaran perdamaian dari De
Kock.
Usai surat Jenderal De Kock, datang surat dari Pangeran Purbaya. Surat
dari Purbaya yang ditujukan pada Pangeran Diponegoro itu berupa kritik bahwa
menjadi raja tidak bisa dilakukan sendiri, melainkan ditetapkan berdasarkan
aturan-aturan pemerintah kolonial Belanda. Lagi-lagi Kiai Maja menanggapi surat
Purbaya itu dengan menyatakan bahwa Diponegoro menjadi raja sesudah
dinobatkan oleh para ulama. Menjadi raja karena kehendak Allah Tangala.
De Kock diakui sebagai jenderal yang tidak mudah putus asa. Sungguhpun
surat baik dari dirinya maupun Pangeran Purbaya tidak mendapat tanggapan
sesuai harapan, namun De Kock terus melakukan pendekatan dengan jalan damai.
Sungguhpun di balik tujuan di dalam mencipta perdamaian di tanah Jawa itu
masih merupakan tanda tanya besar. [ ]

135
DE KOCK DAN DE BOSCH
PERANG Diponegoro kembali pecah di tanah Jawa. Di Gunungkidul, tepatnya di
Giring, perang antara pasukan Islam melawan pasukan murtad dan kafir Belanda
berlangsung dengan sengit. Akibat perang itu, Tumenggung Mangunagara gugur
di medan laga. Sesudah mengalami kekalahan di Giring, pasukan Diponegoro
kembali berperang melawan pasukan musuh baik di Pagelen, Jejeran, maupun di
Danalaya.
Perang yang terjadi di Danalaya, banyak anggota pasukan Diponegoro
yang gugur di medan perang. Bila disebutkan bahwa mereka yang mati sahid. di
antaranya: Mas Dulah Jayengwardaya, Mas Panji Buntara, Syekh Muhammad,
dan seorang haji dari Gading.
Sesudah Jenderal De Kock yang menjadi pimpinan pasukan musuh tidak
muncul lagi di medan perang, Pangeran Diponegoro berkenan untuk
meninggalkan Danalaya. Sesudah tinggal di Pajang selama tujuh malam tujuh
hari, Diponegoro berpindah di Banyumeneng.
Di Banyumeneng, Pangeran Diponegoro dihadap oleh Kangjeng
Panembahan, Pangeran Ngabehi, para putra, dan kerabat. Sewaktu Diponegoro
tengah berbincang dengan Kangjeng Panembahan, menghadaplah Kiai Maja
untuk menyerahkan surat dari Komisaris De Bosch, wakil raja Belanda. Sesudah
membacanya, Diponegoro mengetahui bahwa tugas Jenderal De Kock telah
diambil alih oleh Komisaris De Bosch.
Pangeran Diponegoro pula membaca isi surat yang menyatakan bahwa
Belanda mengajak berdamai dan meresmikannya sebagai raja di tanah Jawa. Oleh
Diponegoro, maksud dan tujuan surat dari Komisaris De Bosch itu disampaikan
kepada Kangjeng Panembahan.
Menanggapi surat dari Komisaris De Bosch, Kangjeng Panembahan
menyatakan pada Pangeran Diponegoro, “Sebaiknya ananda menerima tawaran
perdamaian dari Jenderal De Bosch! Seyogianya pula ananda bersedia diangkat
oleh Jenderal De Bosch sebagai raja di tanah Jawa. Mengingat para leluhur
ananda pula diangkat dan diresmikan oleh Belanda sebagai raja di tanah Jawa.”
“Saran Paman akan ananda pertimbangkan.” Pangeran Diponegoro
mengalihkan pandangannya dari Kanjeng Panembahan ke arah Kiai Maja.
“Bagaimana menurut Kiai? Apakah Kiai sepakat dengan apa yang disarankan oleh
Paman Panembahan?”
“Ampun, Pangeran.” Kiai Maja menghaturkan sembah pada Pangeran
Diponegoro. “Menurut pendapat hamba Kangjeng Pangeran sudah diangkat oleh
para ulama sebagai raja Islam di tanah Jawa. Karenanya buat apa menghadap
Komisaris De Bosch bila hanya ingin dinobatkan sebagai raja. De Bosch, orang
kafir. Betapa aneh bila Pangeran yang telah diakui sebagai raja Islam kemudian
dinobatkan kembali sebagai raja di tanah Jawa oleh orang kafir. Karenanya, tak
perlu Pangeran memenuhi tawaran De Bosch baik diresmikan sebagai raja
maupun untuk memerundingkan perdamain. Dus, perang di tanah Jawa ini bukan
Pangeran yang memulai, namun si kafir Belanda.”
Mendengar saran Kiai Maja yang bertentangan dengan saran Kangjeng
Panembahan, Pangeran Diponegoro serasa dihadapan dua pilihan yang sangat

136
rumit. Namun seusai merenung sekian lama, Diponegoro yang menjadi raja
beredasarkan syariat Islam itu menerima saran Kiai Maja.
Seusai sekian lama terdiam, Pangeran Diponegoro menyatakan di hadapan
Kangjeng Panembahan, Kiai Maja, Pangeran Bei, seluruh kerabat, dan para putra
bahwa dirinya tak bersedia menanggapi surat dari Jenderal De Bosch. Menolak
untuk melakukan perundingan perdamaian dengan Belanda. Tidak bersedia
diangkat dan diresmikan sebagai raja di tanah Jawa oleh De Bosch, sungguhpun
mengaku sebagai wakil raja Belanda yang sah. [ ]

137
DIPONEGORO MENYATUKAN
TIGA PUSAKA
PANGERAN Diponegoro yang semula berada di Junut telah kembali di
Jahalanang. Sewaktu di Jahalanang, Diponegoro yang tengah berbincang dengan
Pangeran Abdulmajid, Kiai Imam Kasan Besari, Muhammad Usman Ali Basah,
Pangeran Ngabehi, dan para pendherek lainnya itu dihadap oleh Kiai Maja.
Di hadapan Pangeran Diponegoro, muncul perselisihan pendapat antara
Kiai Maja dengan Muhammad Usman Ali Basah. Perselisihan pendapat yang
melibatkan pula Pangeran Ngabehi itu mengenai perkara lebih rumit mana menata
dusun atau menata agama. Menurut Ali Basah lebih rumit mengatur dusun
ketimbang agama. Sementara menurut Kiai Maja lebih rumit mengatur agama
ketimbang mengatur dusun.
Menanggapi perselisihan pendapat antara Kiai Maja dan Muhammad
Usman Ali Basah, Pangeran Abdulmajid mengatakan bahwa dirinya yang bukan
ulama akan lebih rumit mengatur dusun ketimbang mengatur agama. Sementara,
Pangeran Ngabehi menjelaskan bahwa mengatur dusun atau mengatur agama
sama-sama rumitnya. Perbedaannya terletak siapa yang melaksanakan.
Kiai Maja yang salah paham saat mendengar tanggapan dari Pangeran
Ngabehi itu sontak berang. “Hei, Ali Basah! Kalau begitu, tidak ada gunanya
perang ini! Mengingat merebut dusun sama artinya mendapatkan murka Allah?”
Kurang berkenan atas perselisihan pendapat antara Kiai Maja, Ali Basah,
Abdulmasjid, dan Ngabehi yang menyerupai berebut pepesan kosong itu,
Pangeran Diponegoro menanggapi dengan nada pelan, “Hendaklah kalian ketahui!
Jika badan tanpa nyawa, apa namanya? Bila tak dapat dilihat, maka nyawa tak
memiliki wujud nyata.”
Sontak suasana di ruang pertemuan itu senyap. Tak lama kemudian,
suasana senyap itu pecah ketika Pangeran Diponegoro memerintahkan pada Kiai
Kasan Besari dan Muhammad Usman Ali Basah untuk menyerahkan pusakanya.
Sesudah ketiga pusaka – Kiai Sarotama, Kiai Barutuba, dan Kiai Abijaya – di
tangannya, Diponegoro meleburnya dalam satu kesatuan.
Tujuan Pangeran Diponegoro melebursatukan ketiga pusaka itu sebagai
lambang bahwa para pendherek dan yang di-dhereki harus bersatu padu untuk
mencapai satu tujuan. Bukan saling berselisih yang merupakan awal dari
perceraian dan kehancurannya. Crah agawe bubrah, rukun agawe santosa. [ ]

138
TUJUAN KIAI MAJA TERBONGKAR
COBAAN demi cobaan terus menimpa Pangeran Diponegoro. Sesudah salah
seorang istrinya yang tengah hamil muda itu meninggal, Diponegoro dihadapkan
dengan persoalan perselisihan antar pendherek-nya. Kiai Imam Kasan Besari
berselisih dengan Pangeran Abdulmajid dan Kiai Maja berselisih dengan
Tumenggung Cakranagara dari Pajang.
Karena cobaan Illahi yang dihadapinya, Pangeran Diponegoro
meninggalkan Banyumeneng. Pulang ke Mataram untuk menghibur diri dengan
menikmati anggungan perkutut dari dalam langgar kecil yang dikelilingi sungai.
Bila hari Jumat, Diponegoro kembali ke Banyumeneng hanya untuk
melaksanakan ibadah Jumat.
Ketika hati masih berkabung atas meninggalnya salah satu istrinya,
Pangeran Dipangera dihadap oleh Kiai Maja. Di hadapan Diponegoro, Kiai Maja
yang berhasrat mengajarkan ilmu pemerintahan itu berujar, “Hendaklah Pangeran
ketahui! Hamba menghadap bukan untuk meminta petunjuk, melainkan akan
menyampaikan ilmu yang sangat berguna bagi Pangeran. Maknanya ilmu, bila
dilaksanakan. Sementara maknanya agama, bila yang menjalankan memiliki
kesentosaan jiwa. Karena anugerah Allah Tangala yang diturunkan di dunia,
terdiri dari empat orang: raja, uliya, pendeta, dan mukmin. Mereka itulah yang
berkarya untuk Allah Tangala. Antara satu dan lainnya tak boleh bertukar
pekerjaan. Karenanya, terserah kepada Kangjeng Pangeran untuk memilih salah
satu pekerjaan. Bila Kangjeng Pangeran memilih menjadi raja, tak sekiranya
merangkap sebagai uliya, pendeta, atau mukmin. Sekali lagi, Kangjeng Pangeran.
Pilihlah salah satu dari empat pekerjaan itu! Pekerjaan yang tidak Kangjeng
Pangeran pilih, pasrahkan kepada hamba!”
“Heh, Paman Maja!” Wajah Pangeran Diponegoro sontak serupa piringan
termbaga terbakar. “Begitu lancang kau bicara! Jadi kau tak mau diungguli oleh
Abdulmajid, karena ingin menjadi wali seperti Sunan Giri kepada Sultan Demak
dulu? Sehingga, kau dapat memerintahku? Benar, aku muridmu. Tapi aku tak
merasa mendapat ilmu darimu. Ingat! Sebelum kau ada, aku sudah dicipta oleh
Allah Tangala. Semula aku memberikan tugas kepadamu untuk menafsir makna
di dalam al-Quran. Sungguh tak aku duga, kau memiliki tujuan seperti itu.”
Wajah Kiai Maja tertunduk tajam ke bumi. Dalam diri yang diliputi rasa
malu, Kiai Maja tak bernyali menatap wajah Pangeran Diponegoro.
“Enyahlah dari hadapanku, Paman!
Kiai Maja undur diri dari hadapan Pangeran Diponegoro.
Selepas Kiai Maja, Pangeran Diponegoro memasuki langgar. Duduk
dengan wajah serupa matahari berselimutkan awan tipis. Dalam hati, Diponegoro
menyesal menerima pengabdian Kiai Maja. Pengabdian yang tak tulus.
Pengabdian yang diracuni tujuannya pribadi. Menjadi raja di atas raja.
Penyesalan bukan hanya pada Pangeran Diponegoro. Kiai Maja pun
menyesali dengan apa yang telah dilakukan. Melalui Kangjeng Panembahan dan
Pangeran Bei, kesalahan Kiai Maja diampuni oleh Diponegoro. Sejak itu, Kiai
Maja kembali bersatu dengan pasukan Diponegoro. [ ]

139
ABDUL KAMIL GUGUR
DI MEDAN PERANG
DUKA masih menyelimuti hati Pangeran Diponegoro. Belum berhasil melupakan
istrinya yang meninggal semasih hamil muda, Diponegoro dihadapkan pada
persoalan sakitnya Ratu Kedaton. Hingga suatu saat yang telah digariskan oleh
Allah Tangala, Ratu Kedaton meninggalkan Diponegoro untuk selamanya.
Genaplah sudah, tiga istri Pangeran Diponegoro – Raden Ayu
Manubrangta, Raden Ayu Basah, dan Raden Ayu Retnadewati. Sementara, empat
istri Diponegoro yang lain: Raden Ayu Retna Kusuma, Raden Ayu Retnaningrum,
Raden Ayu Retnaningsih, Raden Ayu Retnakumala.
Sungguhpun dalam kedukaan yang teramat dalam, Pangeran Diponegoro
tetap tegak berdiri sebagai pimpinan tangguh pada seluruh pendherek-nya dalam
memerangi kaum murtad dan kafir Belanda. Melalui para panglima perangnya,
Diponegoro berhasil menumpas musuh yang mengharubiru di tlatah Pagelen,
Kedu, dan Waja.
Bukan hanya di tlatah barat yang berhasil ditaklukkan oleh Pangeran
Diponegoro, melainkan pula di bang wetan. Melalui panglina perangnya yakni
Tumenggung Sastradilaga, Pasukan murtad dan kafir Belanda yang berbaris di
Rajekwesi dan Lasem berhasil diporakporandakan.
Usai pasukannya berhasil melumpuhkan pasukan musuh yang berbaris di
Rajekwesi dan Lasem, Pangeran Diponegoro kembali berduka atas kemangkatan
Kangjeng Sultan Sepuh (Sri Sultan Hamengkubuwana II) kakeknya. Diponegoro
pun prihatin. Di mana semula Yogyakarta yang semula dikuasainya kembali
dalam cengkeraman musuh sesudah Tumenggung Sastradilaga tergoda dengan
seorang putri Cina.
Keprihatinan Pangeran Diponegoro makin serasa bertumpuk-tumpuk saat
mendengar laporan bahwa perang Di Baligo telah menewaskan Tumenggung
Martaduwirya. Perang di Kanigara pun telah menewaskan Mas Rongga yang
tinggal di dusun Gancahan.
Pangeran Diponegoro makin merasakan kedukaan yang teramat dalam
ketika mendengar laporan bahwa Raden Dolah Prawirakusuma dan Abdul Kamil
Muhammad Ali Basah telah gugur saat menghadapi pasukan murtad dan kafir
Belanda. Gugurnya Abdul Kamil bukan hanya menyayat-nyayat hati Diponegoro,
namun membuat hujan air mata di dusun Sambirata.
Sesudah tujuh hari pemakaman jenazah Abdul Kamil Muhammad Ali
Basah, Pangeran Diponegoro menunjuk kepada Dolah Prawiradirja atau Sentot
Prawiradirja sebagai penggantinya. Seusai mendapat perintah dari Diponegoro,
Sentot Prawiradirja memimpin pasukannya untuk menyerang pasukan musuh
yang berbaris di sebelah timur sungai Praga. Perang pun pecah. Akibat perang itu,
banyak anggota pasukan musuh tewas.
Beberapa hari sesudah perang yang terjadi di sebelah timur sungai Praga,
Ki Hurawan menderita sakit. Karenanya, Pangeran Diponegoro mengistirahatkan
Ki Hurawan. Sebagai penggantinya, Diponegoro bekenan mengangkat Pangeran
Abdul Rakhim sebagai pengalima perang. [ ]

140
DIPONEGORO MENDAPAT
SURAT DARI DE KOCK
PANGERAN Diponegoro mendapat laporan bahwa pasukan Islam di Pagelen
yang dipimpin oleh Basah Abdul Muhyika dan Basah Abdul Latif diserbu oleh
pasukan musuh. Karena terdesak, pasukan Islam itu meninggalkan Pagelen dan
mengungsi di Wates.
Menanggapi laporan mengenai kekalahan pasukan Islam di Pagelen,
Pangeran Diponegoro memanggil pasukan Islam yang berbaris di sebelah timur
Praga di bawah komando Sentot Prawiradirja untuk membantu pasukan yang ada
di Wates guna melakukan serangan balik ke Pagelen.
Pasukan musuh bukan hanya menyerang pasukan Diponegoro di Pagelen,
melainkan pula di Sambirata. Pasukan musuh yang datang di Sambirata berasal
dari Kedu dengan melewati Jeksa. Datangnya pasukan musuh di Sambirata yang
tak bisa ditanggulangi oleh Pangeran Pakuningrat dan Jayapideksa itu dilaporkan
pada Diponegoro.
Sesudah salat Jumat, pasukan Islam yang dipimpin langsung oleh
Pangeran Diponegoro itu bersiaga untuk mengahadapi pasukan musuh. Dengan
serempak, pasukan Islam itu bergerak menuju Monggang. Di desa itulah, pasukan
Islam disambut dengan serangan meriam dari pasukan musuh. Karena tak mampu
melawannya, pasukan Islam bergerak mundur menuju Ngrejasa. Dari Ngrejasa,
pasukan Islam bergerak ke sungai Tebah.
Di tengah kesulitan dalam menghadapi musuh di Sambirata, Pangeran
Diponegoro yang mendapat masukan dari para pendherek-nya mengatur siasat
perang dengan cara mengepung. Karenanya melalui seorang gandhek, Diponegoro
memerintahkan pada pasukannya yang ada di Wates, sebelah timur Praga, dan
Pagelen untuk mengupung pasukan musuh di Sambirata. Karena dikepung,
pasukan musuh menjadi kebingungan sendiri.
Dalam kebingungannya hingga tidak bisa menentukan arah, pasukan
musuh yang mendapat serangan dari empat penjuru itu berlari ke arah Tanjung.
Karena mendapat serangan dari pasukan Islam, pasukan murtad dan kafir Belanda
itu bergerak dari Tanjung ke arah Nanggulan. Semasa bergerak mundur itu,
banyak anggota pasukan musuh yang tewas menjadi tumbal perang. Mayat-mayat
musuh banyak berkaparan di sepanjang jalan.
Sungguhpun anggota pasukan musuh banyak yang tewas, beberapa
anggota pasukan Islam pun menjadi tumbal perang. Panji Dasamuka tewas
dengan tubuh hancur dengan darah bersimbah di tanah. Muhammad Usman Ali
Basah terkena pelor hingga terpental jauh. Karena kesaktian dan perlindungan
Allah Tangala, Ali Basah dapat selamat dari maut.
Seusai perang, Pangeran Diponegoro berada di barisan yang bercokol di
Kedu. Tidak lama kemudian, Diponegoro bergerak ke Pengasih. Sesudah
pesanggrahan yang dibangun oleh Tomadigda itu selesai, Diponegoro tinggal di
Pengasih. Di Pengasih itulah, Diponegoro mendapat surat dari Jenderal De Kock
yang disampaikan oleh Residen Palek dari Magelang. Isi surat itu menyatakan
bahwa Belanda mengajak Diponegoro untuk berdamai [ ].

141
DIPONEGORO
MENERIMA SURAT DARI BETAWI
BERSAMA para pendherek-nya, Pangeran Diponegoro masih membahas
mengenai surat dari Jenderal De Kock yang menyatakan bahwa Belanda
mengajak berdamai. Di tengah serunya pembahasan, Kiai Maja turut mendukung
agar pemintaan De Kock itu ditolak. Diponegoro beserta para pendherek-nya
sepakat untuk tidak membalas surat yang datang dari loji Magelang itu.
Seusai pembahasan surat dari Jenderal De Kock, Kiai Maja berpamitan
kepada Pangeran Diponegoro untuk pulang ke Pajang. Sungguhpun, para
pendherek kurang menyepakati kalau Kiai Maja pulang ke Pajang, namun
Diponegoro mengizinkannya.
Tidak lama kemudian datanglah Sentot Prawiradirja dari Pagelen. Di
hadapan Pangeran Diponegoro, Prawiradirja melaporkan bahwa pasukannya telah
berhasil melumpuhkan pasukan musuh baik di Pagelen Barat maupun Pagelen
Tengah. Singkatnya, seluruh wilayah Pagelen sudah bisa dikuasainya. Mendengar
laporan Prawiradirja, Diponegoro merasa sangat bahagia.
Waktu terus bergerak. Hingga suatu saat, Pangeran Diponegoro ingin
meninggalkan Pengasih untuk bertempat tinggal di Pagelen yang sudah aman dari
serangan musuh. Namun sebelum pergi, datanglah Kiai Maja yang telah berjanji
kepada Mayor Belanda untuk menghentikan peperangan.
Di hadapan Pangeran Diponegoro, Kiai Maja mengutarakan isi hatinya
agar perang dihentikan. Diponegoro yang mengetahui bahwa perkataan Kiai Maja
tidak bisa dipegang, sontak marah. Karena ingin bertemu kembali dengan Mayor
Belanda itu, Kiai Maja meminta pamit pada Diponegoro untuk mati sabil.
Selepas Kiai Maja, Pangeran Diponegoro pergi ke Pagelen. Sewaktu
ditinggal oleh Dipanegera, Pengasih diserang pasukan musuh yang berbaris di
Nanggulan. Sungguhpun banyak pasukan Islam yang gugur saat mendapat
serangan musuh, namun Pengasih dapat direbut kembali sekembali Diponegoro
berserta pasukannya dari Pagelen.
Beberapa hari sesudah tinggal di Pengasih, Pangeran Diponegoro
mendapatkan surat perdamaian dari Jenderal De Kock yang disampaikan oleh
Kiai Kasan Besari, Kiai Dhadhapan, dan Kapten Rup. Sesudah membaca surat
dari De Kock yang berisikan permohonan penghentian perang serta mengetahui
bahwa Kiai Maja berada di Betawi, wajah Diponegoro tampak terbakar. Seusai
memberikan mandat pada Raden Basah, Raden Ngabehi, Dolah Badarrodin, dan
Pangeran Puryawija untuk mengembalikan Kapten Rup; Diponegoro
meninggalkan ruang pertemuan itu.
Raden Basah yang disertai Raden Ngabehi, Dolah Badarrodin, dan
Pangeran Puryawija menemui Kapten Rup. Kepada Kapten Rup, Raden Basah
menyatakan bahwa Pangeran Diponegoro tidak mau memenuhi permintaan
Jenderal De Kock. Sesudah mendapat jawaban dari Raden Basah, Kapten Rup
kembali ke Betawi dengan tangan kosong. [ ]

142
KEDUKAAN DEMI KEDUKAAN
DIPONEGORO
DITOLAKNYA permintaan perdamaian dari Jenderal De Kock pada Pangeran
Diponegoro kembali menimbulkan perang antara pasukan Islam melawan pasukan
murtad dan kafir Belanda. Perang yang pertama kali terjadi di Jelatar dan Sepuran.
Dalam perang itu, Prawiradeksana yang merupakan pendherek Diponegoro gugur
di medan perang.
Hampir saja, pasukan Islam dapat mendekati benteng di Sepuran. Namun,
Allah Tangala belum menghendakinya. Kuda yang ditunggangi Basah Ngabdul
Muhyiki, kakinya terkena meriam hingga tewas. Karenanya bersama datangnya
malam, pasukan Islam mundur dari medan laga.
Di suatu tempat yang jauh dari jangkauan pasukan musuh, Syekh Dolah
Abdul Kadir melelehkan air mata duka cita atas gugurnya Prawiradeksana.
Sesudah jenazah Prawiradeksana yang berbau harum itu diserahkan pada
Pangeran Diponegoro, pagi harinya dimakamkan di tanah Gowong.
Sungguh Pangeran Diponegoro sangat berduka atas gugurnya
Prawiradeksana. Kedukaan Diponegoro semakin menimbun di dalam hati saat
mendengar laporan bahwa pesanggrahan-nya di Pengasih diluluhlantakkan oleh
pasukan musuh hingga keluarganya yang selamat mengungsi ke Galur. Air mata
Diponegoro tak terbendung lagi seusai mengetahui bahwa Tumenggung
Cakranagara mati sabil saat memertahankan pengasih dari amuk musuh.
Menyadari perjuangan masih panjang, Pangeran Diponegoro menghapus
air mata. Semangat juang Diponegoro bangkit kembali. Kepada Basah
Prawiradirja dan Basah Somanagara, Diponegoro memerintahkan untuk
menyerang lagi terhadap pasukan musuh di Genthan. Dalam perang itu, bahu
Prawiradirna terkena meriam. Panji Wanengprang gugur di medan laga.
Selain di Genthan, perang antara pasukan Islam dan pasukan murtad dan
kafir Belanda terjadi di Galur. Dalam perang hidup dan mati itu, Raden
Jayanagara mati sabil di medan laga. Mendengar kabar gugurnya Jayanagara,
Pangeran Diponegoro sangat berduka. Hati Diponegoro berselubung duka saat
mendengar kabar duka bahwa Dolah Sura Musthofa, Tumenggung Karkiya,
Puthut Somondha, dan Prawira Jatmika turut gugur di medan laga.
Perang yang berlangsung di Galur telah usai. Karena teramat lelah,
Pangeran Diponegoro mengistirahatkan pasukannya. Sehari kemudian,
Diponegoro yang disertai pasukannya menaiki gunug Crema. Di di wilayah
Crema itulah, Diponegoro mendengar laporan bahwa Muhammad Usman Ali
Basah, Mas Dolah Khaji Mansura, Mas Panji Suraturkiya telah gugur saat
berperang melawan pasukan musuh di medan laga.
Ketika di gunung Crema, Pangeran Diponegoro beserta pasukannya
diserbu musuh. Karena datangnya pasukan musuh seperti banjir bandang, pasukan
Islam melarikan diri ke Tangkilan. Setiba di Tangilan, kembali terjadi perang
antara kedua pasukan.
Melihat tanda-tanda kekalahan pasukan Islam sesudah Mas Pengulu,
Pangeran Ngabehi, dan Pangeran Pakuningrat terjatuh karena kudanya terkena

143
pelor; Pangeran Diponegoro memberikan pertolongan. Saat itulah, pasukan musuh
menyerang serempak pada Diponegoro dengan berbagai jenis senjata. Bila
Pangeran Prabu tidak segera memberikan perlindungan, Diponegoro
dimungkinkan sudah tertangkap atau dibunuh.
Sungguhpun selamat dari maut, Pangeran Diponegoro merasa tersayat-
sayat hatinya sewaktu mengetahui bahwa beberapa pendherek-nya – Mas Dolah
Prawirarana, Mas Dolah Prawirayuda, Mas Dolah Sumadipura, Mas Slamet, Mas
Rongga Puthut Guritna, Suryagoma, Syekh Haji Muhamad Tayib, dan Syekh Haji
Muhamad Kasan gugur di medan laga.
Pasukan Islam yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro meninggalkan
Tangkilan sesudah bertempur melawan pasukan musuh. Dari Tangkilan,
Diponegoro bergerak menuju Prajeg. Dari Prajeg, Diponegoro bergerak ke Siluk.
Di tempat itulah, Diponegoro mengistirahatkan pasukannya.
Sekian lama tinggal di Siluk, Pangeran Diponegoro berkenan untuk
kembali ke Tangkilan. Dari Tangkilan, Diponegoro bergerak di Kemojing. Dari
Kemojing, Diponegoro bergerak ke Tulungan. Dari Tulungan, Diponegoro
berakhir kembali ke Sambirata.
Perang gerilya yang dilakukan Pangeran Diponegoro dengan berpindah
dari satu tempat ke tempat lain itu membuat Jenderal De Kock pusing tujuh
keliling. Karenanya sekian lama, pasukan murtad dan kafir Belanda tidak
melakukan serangan pada pasukan Diponegoro.
Perang antara pasukan Islam dan pasukan murtad dan kafir Belanda yang
sekian lama vakum itu kembali terjadi di Bendungan, Gadingan, dan tepian sungai
Praga. Karena pasukan musuh terlalu kuat, banyak anggota pasukan Islam gugur
di medan laga. Dari mereka yang gugur, di antaranya: Prabu Diningrat,
Tumenggung Puthut Lawa, Tumenggung Mertadirja, Mas Rongga Pasekan, Mas
Behi, Kertawongsa, dan seorang haji dari Sekar Arum.
Di Sangir, pasukan Islam bertempur melawan pasukan murtad dan kafir
Belanda. Sungguhpun Pangeran Diponegoro dapat selamat dari serangan musuh,
namun banyak pendherek-nya yang gugur di medan lagi. Di antara mereka yang
gugur: Ngabehi Abdul Rahman, Pangeran Jayakusuma, dan Raden Hatmakusuma.
Dengan meninggalnya paman dan kedua putranya itu, Diponegoro kembali
dilanda kedukaan tiada tara. [ ]

144
DIPONEGORO
SAKIT DI LOBANG ANDHONG
SELEPAS perang di Sangir, Pangeran Diponegoro tinggal di Penathak dengan
melalui Waja. Dari Pinathak, Diponegoro bergerak ke Kejawan, Ngrema, dusun
Palumpon di tlatah Panjer. Dari Palumbon, Diponegoro bergerak ke Selamanik,
Gowong. Di Gowong itulah, Diponegoro menderita sakit. Di pesanggrahan
Lobang Handong, Diponegoro tinggal.
Selagi menderita sakit Diponegoro menyampaikan ilmu agama kepada
Pangeran Abdul Rakhim putranya. Sehingga seperti seorang yang mendapatkan
cahaya matahari sehabis langit berselimutkan awan, Abdul Rakhim merasa
dicerahkan jiwanya oleh Diponegoro.
Di Hulu Badung, Pangeran Dipanegera berpapasan dengan pasukan musuh
di bawah komando Mayor Maligis. Diponegoro diburu sambil dihujani peluru.
Diponegoro berlari ke dalam hutan. Untuk menyelamatkan jiwanya, Diponegoro
bersembunyi di dasar jurang.
Berhari-hari Pangeran Diponegoro tinggal di dasar jurang. Sesudah
pasukan musuh meninggalkan bibir lubang jurang, Diponegoro baru mendaki
jurang itu untuk kembali tinggal di Lobang Andong. Saat itu, para pendherek dan
ketiga putranya tampak berduka saat melihat keadaan kesehatan Diponegoro.
Di antara para pendherek Pangeran Diponegoro, Basah Mertanagara yang
paling berduka saat itu. Bukan semata sakitnya Diponegoro yang membuat
Mertanagara berduka, namun ketiga pusaka – Kiai Rondhon Kiai Gagaksara, dan
Kiai Mundhingwangi – telah patah gagangnya. Dalam batin, Mertanagara bilang,
“Tak lama lagi, petaka akan menimpa Kangjeng Pangeran.”
Sungguh! Ketika Basah Mertanagara melihat keadaan Pangeran
Diponegoro yang sakit dengan kedua kaki membengkak itu sangat prihatin. Tanpa
bisa mengendalikan perasaannya, Mertanagara menitikkan air mata di pipinya.
Tak lama kemudian, Mertanagara undur diri dari hadapan Diponegoro. Kembali
berkumpul dengan pasukannya yang berbaris di Palumbon.
Selepas Basah Mertanagara, Pangeran Diponegoro yang kembali
menyampaikan ajaran agama kepada Abdul Rakhim itu tetap tinggal di Lobang
Andong. Di tempat itulah, Diponegoro hanya ditunggui oleh dua abdinya,
Bantengwareng dan Rata.
Ketika Pangeran Diponegoro mulai sehat, para pendherek-nya
menyarankan untuk berpindah pesanggrahan dari Lobang Andhong ke hutan
Laban. Diponegoro mengikuti saran dari para pendherek-nya.
Semasa tinggal di hutan Laban, Diponegoro yang ditemani oleh delapan
abdinya itu perlahan-lahan sembuh dari sakitnya sesudah mendapat pengobatan
dari Nyai Hasmarataruna. [ ]

145
ABDUL RAKHIM
MENINGGAL DI SIRNABAYA
DIBERITAKAN bahwa pasukan Islam yang dipimpin oleh ketiga Basah telah
tunduk pada pasukan murtad dan kafir Belanda. Dari takluknya pasukan Islam,
keempat ulama – Kiai Pengulu, Abdullah Badarrodin, Kiai Mlangi, dan Haji
Himam Raji – menyepakati tawaran perdamaian dari pasukan musuh.
Berbeda dengan sikap Abdullah Badarrodin, Kiai Mlangi, dan Haji
Himam Raji. Pangeran Abdul Rakhim yang merupakan putra Pangeran
Diponegoro itu memiliki sikap bila pasukan Islam tidak mengalami kejayaan atas
pasukan murtad dan kafir Belanda, lebih baik mati.
Tak diduga oleh pasukan Diponegoro yang berbaris di Kejawan akan
datangnya pasukan musuh. Oleh Basah Mertanagara, Abdul Rakhim yang tak
sepakat dengan adanya perdamaian antara pasukan Islam dan pasukan murtad dan
kafir Belanda itu diminta naik ke gunung Sirnabaya. Sewaktu Abdul Rakhim
berlari ke puncak gunung Sirnabaya, pasukan musuh memburunya dengan
senapan-senapan yang memuntahkan ribuan peluru.
Abdul Rakhim telah sampai di puncak gunung Sirnabaya. Sebelum
pasukan musuh menyentuh kulitnya, Abdul Rakhim yang mendapat ilmu dari
Pangeran Diponegoro ayahnya itu meloloskan sukma dari raganya. Raga Abdul
Rakhim terjatuh di tanah. Sukmanya kembali pada sang Pencipta.
Mengetahui Abdul Rakhim tak lagi bernyawa, pasukan musuh serempak
mendekatinya. Sebelum membawa mayat Abdul Rakhim, pasukan musuh mundur
teratur. Mereka takut pada seekor singa besar bernama Tepeng yang menunggui
mayat Abdul Rakhim.
Seusai pasukan musuh dan singa Tepeng jauh dari mayat Abul Rakhim,
pasukan Islam mendekatinya. Mereka membawa mayat Abdul Rakhim. Mencuci,
menyalatkan, dan menguburkannya di puncak gunung Srinabaya dengan tata cara
agama Islam.
Beberapa hari sesudah pemakaman jenazah Abdul Rakhim, singa Tepeng
menghdap Pangeran Diponegoro di hutan Laban. Bila dapat berbicara, singa itu
mengatakan bahwa putra tercintanya telah gugur di medan laga. Sontak
Diponegoro yang dapat membaca raut muka duka si Tepeng itu menitikikan air
mata kedukaan. Membasahi pipi yang mulai berkeriput.
Belum kering air matanya, Pangeran Diponegoro yang berada di hutan
Laban itu dikepung musuh. Berkat pertolongan Allah Tangala, pasukan musuh tak
melihat keberadaan Diponegoro. Sesudah pasukan musuh meninggalkan tepian
hutan Laban, Diponegoro berpindah pesangggrahan di Wadhas Malang.
Dari Padhas Malang, Diponegoro mendaki gunung Sirnabaya untuk
menziarahi Abdul Rakhim putranya. Dari Sirnabaya, Diponegoro bergerak ke
Maratega. Dari Maratega, Diponegoro berpindah ke Sampang.
Ketika di hutan Sampang, sepuluh orang dari pihak musuh mengetahui
keberadaan Pangeran Diponegoro. Berkat perlindungan Allah Tangala, lima orang
yang ingin menangkap Diponegoro itu tewas dimangsa singa. Lima orang lainnya
berhasil turun dari hutan Sampang dengan selamat. [ ]

146
DIPONEGORO DIPERDAYAI BELANDA
AWAL mula, Mayor Bokus memerintahkan kepada seorang kapten Belanda dan
Abdullah Badarrodin untuk menyampaikan surat perdamaian kepada Pangeran
Diponegoro. Sebelum sampai ke tangan Diponegoro, utusan Bokus itu bertemu
dengan Basah Gandakusuma. Karena Gandakusuma menolak untuk
menyampaikan surat itu pada Diponegoro.
Mayor Bokus tidak kurang akal. Sesudah Basah Gandakusuma menolak
untuk menyampaikan surat itu pada Pangeran Diponegoro, Bokus memercayakan
kepada Kiai Penghulu, Abdullah Badarrodin, dan Kiai Mlangi. Melalui ketiga
ulama itu, surat perdampaian berhasil disampaikan pada Diponegoro.
Mayor Bokus sangat beruntung. Surat perdamaian yang disampaikan oleh
tiga ulama itu ditanggapi dengan baik oleh Pangeran Diponegoro. Singkatnya,
Diponegoro menerima permohonan damai dari Bokus. Disertai Basah
Mertanagara yang kemudian berganti nama Kiai Bandayuda dan Basah
Gandakusuma, Diponegoro bersedia bertemu dengan Jenderal De Kock untuk
membahas mengenai perdamian antara kubu Islam dan kubu murtad dan kafir
Belanda.
Berangkatlah Pangeran Diponegoro beserta rombongan dari Sampang.
Setiba di Rema Kamal, Diponegoro disambut oleh Kolonel Cleerens. Karena
Jenderal De Kock masih berada di Betawi, Cleerens meminta Diponegoro untuk
tinggal di pesanggrahannya di Kejawan. Dari Kejawan, pesanggrahan Diponegoro
berpindah di Menoreh.
Sekian lama tinggal di Menoreh, Pangean Diponegoro diminta oleh
Kolonel Cleerens untuk bertemu dengan Jenderal De Kock yang baru saja tiba di
Magelang. Berangkatlah Diponegoro ke Magelang.
Karena sekian lama tak ada bahasan perdamaian antara Pangeran
Diponegoro dan Jenderal De Kock, Basah Mertanagara marah-marah di dalam
loji. Karena takut pada Mertanagara, De Kock beralasan bahwa urusan
perdamaian sudah dikuasakan pada Mayor Duktus, residen Salatiga yang tengah
berada di Semarang.
Sungguhpun merasa dipermainkan oleh Jenderal De Kock, Pageran
Diponegoro yang tak disertai para pendherek-nya itu, pergi ke Semarang. Belum
lama tinggal di Semarang, Diponegoro mendapat kabar dari Duktus bahwa
Jenderal Pan De Bosch di Betawi ingin bertemu dengan sang pangeran.
Disertai oleh kedua istrinya yakni Raden Ayu Retnaningrum dan Raden
Ayu Retnaningsih, Pangeran Diponegoro pergi ke Betawi. Sesampai Betawi,
Diponegoro mendapat kabar dari Kapten Rup bahwa Jenderal Pan De Bosch
sedang berada di Bogor. Lain hari, Diponegoro diminta oleh Rup untuk menemui
De Bosch bukan di Betawi, melainkan di Menado.
Dengan kapal dari pelabuhan Sunda Kelapa, Pangeran Diponegoro yang
meninggalkan Betawi itu pergi ke Menado. Di Menado, Diponegoro bertemu
dengan Residen Pitermat. Dari Pitermat yang sangat malu kepada bangsanya
sendiri itu, Diponegoro mengetahui bahwa dirinya telah ditipu dan diperdayai
oleh tokoh-tokoh Belanda di Jawa. [ ]

147
DAFTAR PUSTAKA
^ Sastronaryatmo, Moelyono. 1981. Babad Diponegoro jilid II, PNRI, Balai
Pustaka
^ Komari. Irawan, Yudi. Hermawan, Bambang. 2010. Babad Diponegoro jilid I,
PNRI
^ Diponegoro, Pangeran. tanpa tahun. Babad Diponegoro. Narasi
^ https://id.wikipedia.org
^ https://alangalangkumitir.wordpress.com

148
TENTANG PENULIS
SRI WINTALA ACHMAD, pernah studi di Fak. Filsafat UGM Yogyakarta.
Menggubah karya sastra dengan bahasa Inggris, Indonesia, dan Jawa. Karya-karya
sastranya dipublikasikan di Kompas, Republika, Suara Karya, Suara Pembaruan,
Suara Merdeka, Lampung Pos, Trans Sumatera, Bangka Pos, Solo Pos, Surabaya
Pos, Banjarmasin Pos, Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Bernas, Masa Kini,
Yogya Pos, Merapi, Fajar Sumatera, Amanah (Malaysia), Aksara International
Journal of Indonesian Literature (Australia), Suara Muhammadiyah, Gong,
Artista, Jayabaya, Mekarsari, Jaka Lodhang, Sempulur, dll.
Antologi sastra dan esai kolektifnya: Pelangi (Karta Pustaka/Rasialima,
1988); Nirmana (Wirofens Group, 1990); Alif-Lam-Mim (Teater Eska/SAS,
1990); Zamrud Katulistiwa (Balai Bahasa Yogyakarta/Taman Budaya
Yogyakarta, 1997); Sastra Kepulauan (Dewan Kesenian Sulawesi Selatan, 1999);
Pasar Kembang (Komunitas Sastra Indonesia, 2000); Embun Tajali (FKY 2000);
Lirik Lereng Merapi (Dewan Kesenian Sleman, 2000); Bilah Belati di Depan
Cermin (Dewan Kesenian Sleman, 2002); Di Batas Jogja (FKY, 2002); Code
(FKY, 2005); Musik Puisi Nasional (LKiS, 2006); Malioboro (Balai Bahasa
Yogyakarta, 2008); Perempuan Bermulut Api (Balai Bahasa Yogyakarta, 2010);
Tiga Peluru (Kumpulan Cerpen Pilihan Mingguan Minggu Pagi Yogyakarta,
2010); Pasewakan (2011), Kembali Jogja Membaca Sastra (Rumah Budaya
Tembi, 2011); Suluk Mataram (Great Publisher, 2011); Jejak Sajak (Jambi, 2012);
Dari Sragen Memandang Indonesia (Dewan Kesenian Sragen, 2012); Sauk Seloko
(Dewan Kesenian Jambi, 2012); Indonesia di Titik 13 (Dewan Kesenian
Pekalongan, 2013); Spring Fiesta [Pesta Musim Semi] (Indonesian & English
Poetry Grup & Araska Publisher, 2013); Tifa Nusantara I (Temu Penyair
Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2013); Sesotya Prabangkara ing Langit
Ngayogya (Yogyakarta, 2014); Negeri Langit (Komunitas Radja Ketjil Jakarta,
2014); Rantau Cinta, Rantau Sejarah (Jurnal Sajak, 2014); Tifa Nusantara II
(Temu Penyair Nusantara – Dewan Kesenian Tangerang, 2015); Pesta Rakyat
Sleman (Digna Pustaka dan Lingkar Budaya Sleman, 2015); Jalan Remang
Kesaksian (LPSK/Rumah Budaya Tembi, 2015); Jejak Tak Berpasar (Komunitas
Sastra Indonesia/Yayasan Laksita, 2015); Memandang Bekasi (Dewan Kesenian
Bekasi/Dinas Parbudpora Kabupaten Bekasi, 2015); Ngelmu Iku Kelakone Kanthi
Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Ije Lela Tifa Nusantara 3 (Marabahan,
2016); Klungkung Tanah Tua, Tanah Cinta (Klungkung Bali, 2016); Matahari
Cinta Samudra Kata (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2016); Seratus Puisi Qurani
(2016); Kopi Penyair Dunia (2016); Pesan Damai untuk Seluruh Manusia
(PCIUN Maroko, 2017); Kota Terbayang (Taman Budaya Yogyakarta, 2017);
Puisi Tentang Bogor (2017); Puisi Tentang Masjid (2017); Dari Partai Demokrat
untuk Indonesia (2017); Senja Jati Gede (2017); Jajah Desa Milang Kori (Balai
Bahasa Yogyakarta, 2017), Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa
Tengah, 2018), dan Dari Cempuring ke Sunan Panggung (Balai Bahasa Jawa
Tengah, 2018).
Novel dan fiksi sejarahnya: Centhini: Malam Ketika Hujan (Diva Press
Yogyakarta, 2011); Dharma Cinta (Laksana, 2011); Jaman Gemblung (Diva

149
Press Yogyakarta, 2011); Sabdapalon (Araska, 2011); Dharma Gandul: Sabda
Pamungkas dari Guru Sabdajati (Araska, 2012); Ratu Kalinyamat: Tapa Wuda
Asinjang Rikma (Araska, 2012); Kiamat: Petaka di Negeri Madyantara (In AzNa
Books, 2012); dan Centhini: Kupu-Kupu Putih di Langit Jurang Jangkung
(Araska, 2012).
Buku-buku lainnya: Membuka Gerbang Dunia Anak (Annora Media,
2009); Suyudana Lengser Keprabon (In AzNa Books, 2011); Kisah Jagad
Pakeliran Jawa (Araska, 2011); Wisdom Van Java (In AzNa Books, 2012);
Falsafah Kepemimpinan Jawa: Soeharto, Sri Sultan HB IX & Jokowi (Araska,
2013); Sejarah Kejayaan Singhasari & Kitab Para Datu (Araska, 2013); Babad
Tanah Jawa (Araska, 2014); Sejarah Raja-Raja Jawa (Araska, 2014); Satriya
Piningit (Araska, 2014); Geger Bumi Mataram (Araska, 2014); Geger Bumi
Majapahit (Araska, 2014); Ensklopedia Kearifan Jawa (Araska, 2014); Sejarah
Perang di Bumi Jawa (Araska, 2014); Sejarah Runtuhnya Kerajaan-Kerajaan di
Nusantara (Araska, 2014); Ensklopedia Raja-Raja Nusantara (Araska, 2014);
Ensklopedia Karakter Tokoh-Tokoh Wayang (Araska, 2014); Wanita dalam
Khasanah Pewayangan (Araska, 2015); Aja Dumeh: Buku Pintar Kearifan Orang
Jawa (Araska, 2015); Panduan Praktis Menjadi Penulis Andal: Karya Ilmiah,
Artikel, Resensi, Apresiasi & Kritik Seni, Naskah Lakon, Puisi, Cerpen, dan Novel
(Araska, 2015); Buku Induk Bahasa dan Sastra Indonesia (Araska, 2015); Mahir
Peribahasa Indonesia (Araska, 2015); Buku Induk EYD (Araska, 2015); Politik
dalam Sejarah Kerajaan Jawa (Araska, 2016); Babad Tanah Jawa: dari
Watugunung yang Menikahi Ibunya hingga Geger Pecinan (Araska, 2016);
Petuah-Petuah Leluhur Jawa (Araska, 2016); Babad Giyanti: Palihan Nagari dan
Perjanjian Salatiga (Araska, 2016); 13 Raja Paling Berpengaruh Sepanjang
Sejarah Kerajaan di Tanah Jawa (Araska, 2016); Sejarah Kerajaan-Kerajaan
Besar di Nusantara (Araska, 2016); Menulis Kreatif itu Gampang (Araska, 2016);
Sejarah Pemberontakan Kerajaan di Jawa (Araska, 2017); Filsafat Jawa (Araska,
2017); Sejarah dan Asal-Usul Orang Jawa (Araska, 2017); Sejarah Raja-Raja
Jawa dari Kalingga hingga Mataram Islam (Araska, 2017); Sejarah Istri-Istri
Raja Jawa (Araska, 2017); Sejarah Islam di Tanah Jawa (Araska, 2017); Kisah
Horror Ketemu Genderuwo (Araska, 2017); Sang Jenderal: Riwayat Hidup,
Perjuangan, dan Cinta Jenderal Soedirman (Araska, 2017); Sejarah Perang
Kerajaan-Kerajaan di Nusantara (Araska, 2017); Etika Jawa (Araska, 2018);
Filsafat Kepemimpinan Jawa (Araska, 2018); Kronik Perang Saudara dalam
Sejarah Kerajaan di Jawa 1292-1767 (Araska, 2018); Sejarah Runtuhnya
Sriwijaya dan Majapahit (Araska, 2018); Hitam Putih Mahapatih Gajah Mada
(Araska, 2018); Sultan Agung: Menelusuri Jejak-Jejak Kekuasaan Mataram
(Araska, 2019), Sejarah Kejayaan Singhasari Antara Mitos, Fakta, Pesona, dan
Sisi Kelamnya (Araska, 2019), Untung Surapati: Pemberontakan Seorang Budak
(Araska, 2019), Ratu Kalinyamat (Araska, 2019), dan Hitam Putih Majapahit
(Araska, 2019).
Bersama Indra Tranggono dan R. Toto Sugiharto, menulis buku Profil
Seniman dan Budayawan Yogyakarta #15 (Taman Budaya Yogyakarta, 2016).
Bersama Indra Tranggono dan R. Toto Sugiharto, menulis buku Profil Seniman
dan Budayawan Yogyakarta #16 (Taman Budaya Yogyakarta, 2017).

150
Karya puisi liriknya yang bertajuk Elegi Putri Pembayun mendapat
nominasi 16 besar dalam Kompetisi Cipta Puisi Esai Indonesia yang
diselenggarakan oleh Jurnal Sastra (2014). Puisinya yang bertajuk Amsal Alif
mendapat penghargaan dalam Kompetisi Penulisan puisi Indonesia 100 Puisi
Qurani yang diselenggarakan oleh Parmusi (2016). Puisinya yang bertajuk Masjid
Agung Mataram mendapat nominasi dalam Kompetisi Puisi tentang Masjid
(2017). Puisinya yang bertajuk Jam Pelajaran Pertama mendapatkan nominasi
dalam Kompetisi 100 Puisi dari Demokrat untuk Indonesia. Cerpennya yang
bertajuk Di Insang Ikan-Ikan, Tuhan Bersemayam mendapat juara II dalam
Kompetisi Penulisan Cerpen Indonesia yang diselenggarakan oleh Komunitas
Negeri Batu (2017).
Nama kepenyairannya dicatat dalam Buku Pintar Sastra Indonesia
(Pamusuk Eneste, Penerbit Kompas, 2001), dan Buku Apa dan Siapa Penyair
Indonesia (Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Hasan Aspahani, Rida K
Liamsi, dan Sutardji Calzoum Bachri, Yayasan Hari Puisi, 2017). Profil
kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai
Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta,
2017), dan Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018).
Tinggal di Gejawan, Balecatur, Gamping, Sleman, Yogyakarta. Alamat
email: sriwintalaachmad2018@gmail.com.

151

Anda mungkin juga menyukai