Oleh:
Andrew Fabian, S.Ked
04081882225001
Pembimbing:
DR. Dr. Rusmawardiana, Sp. D.V.E, Subsp. D.T, FINSDV, FAADV
Judul Referat
Oleh
04081882225001
Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
Kepaniteraan Klinik di Bagian/KSM Dermatologi dan Venereologi RSUP
Dr. Mohammad Hoesin/Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang Periode 27 Februari – 26 Maret 2023
Pembimbing,
ii
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-
Nya, penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Klasifikasi dan
Pemeriksaan Kusta” tepat waktu. Referat ini dibuat guna memenuhi salah
satu syarat ujian kepaniteraan klinik di Bagian/KSM Dermatologi dan
Venereologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penulis
iii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….. i
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………….... ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….... iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. iv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………….. v
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………... vi
PENDAHULUAN............…………………………………………………………... 1
KLASIFIKASI DAN PEMERIKSAAN KUSTA…………….....………………... 1
DEFINISI.............................……………………………………………………... 3
KLASIFIKASI KUSTA……….....….................……………....………………... 3
PEMERIKSAAN KUSTA…………………………………………………......... 13
INSPEKSI PADA LESI….....………...............................………………......... 13
PALPASI SARAF TEPI…....…………...............................……………......... 15
DAFTAR GAMBAR
iv
Gambar 1. Kusta Tuberculoid…………….……………………….…………..……... 7
v
Gambar 2. Kusta Borderline Tuberculoid………...…………………………...……... 7
Gambar 3. Kusta Indeterminate................…................………………………..…….. 8
Gambar 4. Kusta Borderline……..........................................………………..………. 8
Gambar 5. Kusta Borderline Lepromatous……...............................…………..…….. 9
Gambar 6. Facies Leonine/Wajah Singa………………….......................……..…….. 9
Gambar 7. Kusta Lepromatous……………….....………………………………..….. 11
Gambar 8. Kusta Lepromatous pada telinga anak.........…………………..…………. 11
Gambar 9. Kusta Lepromatous Histoid………..............................…………………... 12
Gambar 10. Lucio Phenomenon….....................................................………………... 12
Gambar 11. Pemeriksaan Saraf Sensoris Kusta………….....................….........…….. 13
Gambar 12. Pemeriksaan N. Auricularis magnus ……………………….......………. 15
Gambar 13. Pemeriksaan N. Ulnaris………............................………………......…... 16
Gambar 14. Pemeriksaan N. Poplitea lateralis…..............................…………….…... 16
Gambar 15. Pemeriksaan N. Tibialis posterior………...........................…………….. 17
Gambar 16. Pemeriksaan motorik n. ulnaris………...........…………………………. 17
Gambar 17. Pemeriksaan motorik n. medianus……..................…………………….. 18
Gambar 18. Pemeriksaan motorik n. radialis............................................................... 19
Gambar 19. Pemeriksaan motorik n. peroneus communis……………........………... 19
Gambar 20. Formulir POD Kusta……………………..............................…………... 20
vi
DAFTAR TABEL
vi
KLASIFIKASI DAN PEMERIKSAAN KUSTA
Andrew Fabian, S.Ked
Pembimbing: DR. Dr. Rusmawardiana, Sp.D.V.E, Subsp. D.T, FINSDV, FAADV
Bagian/KSM Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang
PENDAHULUAN
Kusta (nama lain Lepra atau Morbus Hansen atau Hansen Disease) adalah
salah satu penyakit tertua yang masih ada hingga sekarang ini dan tercatat banyak
sekali dalam sejarah manusia. Penyakit ini dikenal hampir 2000 tahun sebelum
Masehi. Penyakit ini banyak tercatat dalam sejarah seperti Mesir, India (1400
SM), Tiongkok (600 SM), dan di Mesopotamia (400 SM). Literatur seperti
Alkitab juga mencatat penyakit ini dalam istilah bahasa Ibrani ‘tzaarath’.
Penyakit ini dideskripsikan berwarna ‘seperti salju’ ketika Musa menarik
tangannya dari saku bajunya.
Kusta adalah penyakit infeksi kronik disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae menular melalui kontak erat dengan penderita kusta.
Bakteri ini dapat menyerang kulit, saraf tepi, saluran pernapasan atas, mata, dan
organ lain seperti hati, ginjal, dan lainnya kecuali susunan saraf pusat. Penyakit
kusta diawali muncul bercak hipopigmentasi atau eritematosa pada kulit mati rasa.
Penyakit ini memerlukan masa inkubasi cukup lama, kisaran 40 hari sampai 40
tahun dengan rerata 3-5 tahun. Kusta merupakan penyakit ditakuti dan
menimbulkan stigma di masyarakat karena dapat menyebabkan disabilitas,
mutilasi jari tangan maupun kaki, luka borok, kebutaan dan lainnya. 1,2
Saat ini, Indonesia masih menduduki peringkat ketiga negara dengan
penderita kusta terbanyak di dunia, setelah India dan Brazil. Berdasarkan data dari
Kementerian Kesehatan pada tahun 2018, masih terdapat beberapa provinsi
contohnya Papua, Papua Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Selatan yang belum mencapai angka eliminasi kusta. 3,4
Menurut angka WHO berdasarkan laporan dari 159 negara, 208.619 kasus
kusta baru dilaporkan secara global pada tahun 2018. Prevalensi di seluruh dunia
1
yang dilaporkan pada akhir tahun 2018 adalah 184.212 kasus (rasio 0,2/10.000).
Pada tahun 2018, Brazil dan India menyumbang 79,6% dari semua kasus kusta
baru. Selain itu, 23 negara prioritas menyumbang 96% kasus di seluruh dunia
pada tahun 2018. Pada tahun 2021, kusta menyumbang sebanyak 140.546 kasus di
seluruh dunia. India, Brazil, dan Indonesia menyumbang 1.55% dengan jumlah
penderita kusta > 10.000 orang. 3,5
Indonesia sendiri memiliki epidemiologi kusta yang diatur oleh Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (InfoDatin). Indonesia sekarang
berada dalam peringkat ketiga setelah India dan Brazil dengan jumlah Penderita
Kusta baru pada tahun 2017 mencapai 15.910 Penderita Kusta (angka penemuan
Penderita Kusta baru 6,07 per 100.000 penduduk). 4,6
Kusta memiliki tiga gejala utama, yaitu lesi kulit yang mati rasa,
penebalan pada nervus perifer, dan ditemukannya Basil Tahan Asam (BTA) pada
kerokan jaringan kulit. WHO menyatakan bahwa setiap individu di negara
endemik yang menunjukkan lesi kulit dengan kehilangan sensorik yang pasti atau
didapatkan apusan kulit positif dapat didiagnosis dengan kusta. 1,2,6,7
Kusta dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Tidak hanya
karena masalah fisik, kusta merupakan penyakit yang sering distigmatisasi oleh
masyarakat (ditakuti dan dikucilkan masyarakat sekitarnya). Jika mengenai saraf,
akan menyebabkan kerusakan yang ireversibel. Dengan demikian, diagnosis dini
dan terapi adekuat diperlukan untuk mencegah dan mengendalikan penyakit
infeksi kronis ini. 1,2,6,7
Berdasarkan SNPPDI 2019, tingkat kompetensi untuk kusta adalah 4. Pada
tingkat kemampuan ini, lulusan dokter diharapkan mampu melakukan diagnosis
klinik dan penatalaksanaan penyakit sampai tuntas. Selain itu, lulusan dokter juga
diharapkan mampu melakukan pemeriksaan kusta dengan teliti. 8
2
KLASIFIKASI DAN PEMERIKSAAN KUSTA
DEFINISI
Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae dan Mycobacterium lepromatosis yang bersifat
intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat. Nama lain dari kusta adalah Morbus Hansen
untuk mengenang G.A.Hansen yang berhasil mengidentifikasi kusta pada
1874 di Norwegia. 1,5,6,9–11
KLASIFIKASI KUSTA
Kusta sendiri dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu berdasarkan sistem
Madrid, Ridley-Jopling dan WHO secara praktis digunakan dalam pelayanan
kesehatan. 1,2,6,7,11
A. Klasifikasi Madrid
Klasifikasi Madrid sebenarnya merupakan sistem klasifikasi pertama yang
secara internasional untuk kusta pada 1953 sebagai usaha untuk
mengetahui jenis-jenis kusta. Klasifikasi ini terbagi menjadi 4, yaitu: 1,11
Indeterminate (I)
Tuberkuloid (T)
Borderline – Dimorphous (B)
Lepromatous (L)
3
kulit, biopsi, dan hasil neurologis dari tubuh. Hal ini memberi para
profesional medis perkiraan yang masuk akal tentang respons imun yang
akan dihasilkan. Temuan yang disebutkan sebelumnya juga terkait dengan
basil tahan asam yang ada di dermis penderita. Kebanyakan klasifikasi ini
digunakan untuk penelitian/riset. 1,2,6,7
Secara gambaran klinis, klasifikasi ini dibagi menjadi 5, yaitu (1)
Tuberculoid [TT], (2) Borderline Tuberculoid [BT], (3) Borderline [BB],
(4) Borderline Lepromatous [BL], dan (5) Lepromatous [LL]. Bagian
Indeterminate (I) tidak termasuk dalam spektrum ini. Tipe kusta TT dan
BT termasuk dalam tipe Paucibacillary (PB) dan tipe kusta BB, BL, dan
LL termasuk dalam tipe Multibacillary (MB). Perlu diketahui bahwa tipe
TT dan LL adalah 100% tipe yang stabil. Artinya, tipe ini tidak bisa
berubah lagi dan merupakan tipe murni dari kusta. Berikut adalah
penjabaran masing-masing tipe kusta. 1,5,6,10,11
4
Tabel 2. Klasifikasi dari kusta multibacillary (MB) menurut Ridley-Jopling 2,6
Sifat Lepromatous (LL) Borderline Borderline (BB)
Lepromatous (BL)
Bentuk Lesi Makula; Makula; plak; papul Plak; dome-shaped
infiltrat/plak difus; (kubah); punched
papul; nodus out
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung,
tidak ada kulit sehat masih ada kulit kulit sehat jelas
sehat ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Simetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar dan
agak berkilat
Anestesia Tidak ada sampai Tidak jelas Lebih jelas
tidak jelas
BTA
Lesi Kulit Banyak (ada Banyak Agak banyak
globus)
Sekret Hidung Banyak (ada Biasanya negatif Negatif
globus)
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negative
5
Tabel 3. Klasifikasi kusta PB dan MB menurut WHO 2,6
Karakteristik Paucibacillary (PB) Multibacillary (MB)
Jumlah 1-5 lesi/kelainan kulit > 5 lesi/kelainan kulit
Bentuk Makula datar, papul yang Makula datar, papul yang
meninggi, nodus meninggi, nodus
Warna Hipopigmentasi/eritema Hipopigmentasi/eritema
Distribusi Asimetris Lebih simetris
Anestesi Jelas Kurang jelas
Kerusakan Saraf Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
BTA Negatif Positif
7
c. Indeterminate (I)
Pada tipe indeterminate, tidak bisa ditentukan dengan jelas batas dan
lesinya. Lesi yang tampak biasanya hanya makula saja. Jumlah lesi yang
ditemukan batasnya tidak jelas atau tidak ada sama sekali. Jumlahnya dapat
ditemukan satu atau beberapa lesi, dengan bentuk bervariasi. Permukaan lesi
halus dan berkilat. Jika dilakukan pemeriksaan BTA, tampak jumlah BTA
bisa positif lemah atau negatif. 1,6
8
Gambar 4. Kusta Borderline 11
11
Gambar 9. Kusta Lepromatous Histoid 11
PEMERIKSAAN KUSTA
Pemeriksaan lesi kulit dimulai dari inspeksi melihat morfologi lesi, dan
pemeriksaan fungsi saraf pada lesi kulit yaitu fungsi sensoris dan otonom pada
daerah lesi. Kemudian, dilakukan palpasi pada saraf tepi diikuti dengan
pemeriksaan motorik pada penderita.
12
INSPEKSI PADA LESI
I. PEMERIKSAAN SENSORIS
Pemeriksaan sensoris pada lesi yaitu dengan termal/suhu (misalnya dengan
tabung reaksi, dingin 20 oC dan panas 40 oC), raba/taktil (dengan kapas/tisu),
dan nyeri (dengan jarum). Selain itu, pemeriksaan otonom melalui tes anhidrosis
dilakukan dengan menilai keringat pada lesi saat pasien berkeringat. Pemeriksaan
uji Gunawan dilakukan dengan menandai daerah lesi dari bagian sentral ke perifer
dengan menggunakan bolpoin tinta. Setelah itu dilihat apakah tinta memudar atau
tidak. Apabila pada lesi tinta tidak memudar, maka fungsi otonom pada lesi
dikatakan tidak normal. 2
b. Rasa taktil/raba
Rasa taktil/raba menggunakan kapas yang terpilin/dilancipkan ujungnya. 1
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai apakah pada lesi terdapat anestesi,
hipoestesi, dan hiperestesi.
13
1. Pasien harus duduk dalam pemeriksaan
2. Pemeriksa harus menjelaskan jika pasien merasakan pada bagian tubuhnya
ada yang disinggung dengan kapas, pasien harus menunjukkan bagian
mana yang disinggung dengan jari telunjuk. Lakukan dengan mata terbuka
terlebih dahulu.
3. Jika mengerti, pasien disuruh menutup mata atau menutup dengan
kain/karton jika perlu.
4. Periksa lesi kulit dan bagian kulit yang lain, perlu diperiksa sensibilitasnya
5. Bandingkan kulit yang sehat dan kulit yang sakit pada penderita kusta.
6. Bercak di kulit periksa di tengahnya, bukan di pinggirnya.
c. Rasa nyeri
Rasa nyeri dapat menggunakan ujung jarum yang tajam dan pangkal tangkainya
yang tumpul. Pemeriksa menusuk pada kulit pasien dan pasien harus bisa
membedakan rasa tajam dan tumpul. 1
14
ditunggu sekitar beberapa menit, kulit normal akan berkeringat tetapi lesi kusta
tetap kering
Siapkan pasien dalam posisi duduk. Lakukan perabaan pada bagian posterior dari
maleolus medial. Periksa tiga hal yaitu: terdapat pembesaran saraf/tidak,
konsistensi kenyal/keras dan terdapat rasa nyeri tekan/tidak. Lakukan
pemeriksaan pada kedua kaki.
16
Gambar 15. Pemeriksaan N. tibialis posterior 2
17
b. Lakukan pemeriksaan n. medianus 2
• Tekuk pergelangan tangan pasien ke belakang lalu pegang jari telunjuk, jari
tengah dan jari manis pasien.
• Minta pasien menggerakkan jempolnya ke arah atas secara aktif.
• Jika pasien dapat melakukannya, dorong jari tersebut pada bagian pangkal
ke arah sebaliknya.
• Bandingkan hasil pemeriksaan tangan kiri dan kanan.
• Disabilitas hasilnya yang terbagi atas kuat, sedang (lemah) atau lumpuh.
Tuliskan keterangan hasil pemeriksaan apabila hasilnya lemah.
18
Gambar 18. Pemeriksaan motorik n.radialis 1
22
PENUTUP
Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang sudah ada sejak 2000 tahun
SM. Penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat,
terutama menyerang kulit dan saraf perifer. Terdapat banyak usaha untuk
mengklasifikasikan kusta. Namun, yang paling sering digunakan adalah
klasifikasi menurut WHO dan Ridley-Jopling. Klasifikasi menurut WHO terdapat
2 tipe, yaitu tipe Pausibasiler (PB) dengan sedikit atau tidak ditemukan bakteri
dan tipe Multibasiler (MB) dengan jumlah bakteri yang banyak, sedangkan
menurut Ridley-Jopling terdapat 5 tipe kusta, yaitu TT (tuberculoid polar, bentuk
stabil), BT (borderline tuberculoid), BB (mid borderline), BL (borderline
lepromatous), dan LL (lepromatosa polar, bentuk stabil). Untuk menegakkan
diagnosis, WHO merekomendasikan untuk mencari salah satu dari tiga tanda
utama penyakit (cardinal signs), yaitu lesi yang mati rasa, penebalan saraf perifer,
dan ditemukan BTA positif. 2,4,7,9,11,13,14
Pemeriksaan kusta dibagi menjadi menjadi pemeriksaan saraf sensoris,
saraf motoric dan otonom. Pemeriksaan dimulai dari inspeksi pada lesi yang
dicurigai kusta. Pada lesi, dilakukan pemeriksaan sensoris berupa rasa taktil
dengan kapas yang dilancipkan ujungnya, rasa nyeri dengan menggunakan jarum,
dan suhu dengan menggunakan tabung reaksi panas dan dingin. Pemeriksaan saraf
otonom meliputi tes anhidrosis dengan tinta Gunawan. Kemudian, dilakukan
pemeriksaan palpasi dengan meraba saraf perifer apakah terdapat penebalan dan
rasa nyeri. Terakhir, otot-otot yang dipersarafi oleh saraf perifer tersebut diperiksa
dengan melakukan Voluntary Muscle Test. Pemeriksaan lain untuk memeriksa
kelumpuhan n. facialis dan lainnya juga harus dilakukan. Semua aspek
pemeriksaan ini dicatat pada lembar POD (Prevention of Disability) Kusta. 1,2,6,7,15
DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H. Kusta. 2nd ed. Sjamsoe-Daili
ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editors. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2003.
23
2. Widaty S, Menaldi SLS, Marissa M, Miranda E, The VV, Halim PA. Panduan
Perawatan Pasien Kusta [Internet]. 1st ed. The VV, Halim PA, editors. Jakarta:
Departemen Dermatologi dan Venereologi RSCM/FKUI; 2019 [cited 2023 Mar
3]. Available from: https://fk.ui.ac.id/dept/dermatovenereol/
3. World Health Organization. Leprosy: Number of New Leprosy Cases [Internet].
World Health Organization. 2021 [cited 2023 Mar 4]. Available from:
https://apps.who.int/neglected_diseases/ntddata/leprosy/leprosy.html?
geog=0&indicator=i0&date=2021&bbox=-246.3982631578948,-
62.897000000000006,246.3982631578948,90.59700000000002&printmode=true
4. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Hapuskan Stigma dan
Diskriminasi Terhadap Kusta. Jakarta; 2018.
5. Smith DS. Leprosy [Internet]. Medscape. 2020 [cited 2023 Mar 4]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/220455-overview
6. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Kusta. In: Wisnu IM, Sjamsoe-Daili
ES, Menaldi SL, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . 7th ed. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2019. p. 87–102.
7. Siswati AS, Rosita C, Triwahyudi D, Budianti WK, Mawardi P, Dwiyana RF, et
al. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi
Indonesia. Siswati AS, Rosita C, Triwahyudi D, Budianti WK, Mawardi P,
Dwiyana RF, et al., editors. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin Indonesia; 2021.
8. KKI. Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia.
2019. p. 169.
9. Kementerian Kesehatan RI. PMK No.11 Tahun 2019 Tentang Penanggulangan
Kusta. Indonesia; 2019.
10. Bhandari J, Awais M, Robbins BA, Gupta V. Leprosy [Internet]. StatPearls
Publishing. 2022 [cited 2023 Mar 3]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559307/
11. Salgado CG, Cardoso de Brito A, Salgado UI, Spencer JS. Leprosy. In: Kang S,
Amagai M, Bruckner AL, Enk AK, Margolis DJ, McMichael AJ, et al., editors.
Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. USA: McGraw-Hill Education; 2019. p. 2892–
24
924.
12. World Health Organization. WHO Expert Committee On Leprosy [Internet].
Geneva; 1998 [cited 2023 Mar 3]. Available from:
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/42060/WHO?sequence=1
13. James WD, Elston DM, Treat JR, Rosenbach MA, Neuhaus IM. Hansen Disease.
In: Andrew’s Disease of The Skin Clinical Dermatology. 13th ed. Elsevier Inc.;
2020.
14. World Health Organization. Guidelines for the Diagnosis, Treatment and
Prevention of Leprosy. Guidelines Development Group, editor. USA: World
Health Organization; 2018.
15. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Penatalayanan Kesehatan dan Tatalaksana
Kusta. 2019.
25
s
26