Anda di halaman 1dari 33

Referat

KLASIFIKASI DAN PEMERIKSAAN KUSTA

Oleh:
Andrew Fabian, S.Ked
04081882225001

Pembimbing:
DR. Dr. Rusmawardiana, Sp. D.V.E, Subsp. D.T, FINSDV, FAADV

BAGIAN/KSM DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS
SRIWIJAYA RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN
PALEMBANG
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Judul Referat

KLASIFIKASI DAN PEMERIKSAAN KUSTA

Oleh

Andrew Fabian, S.Ked.

04081882225001

Telah diterima dan disetujui sebagai salah satu syarat dalam mengikuti ujian
Kepaniteraan Klinik di Bagian/KSM Dermatologi dan Venereologi RSUP
Dr. Mohammad Hoesin/Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
Palembang Periode 27 Februari – 26 Maret 2023

Palembang, 1 Maret 2023

Pembimbing,

DR. Dr. Rusmawardiana, Sp. D.V.E, Subsp. D.T, FINSDV, FAADV

ii
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas karunia-
Nya, penulis dapat menyelesaikan referat dengan judul “Klasifikasi dan
Pemeriksaan Kusta” tepat waktu. Referat ini dibuat guna memenuhi salah
satu syarat ujian kepaniteraan klinik di Bagian/KSM Dermatologi dan
Venereologi RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang Fakultas
Kedokteran Universitas Sriwijaya.

Penulis juga menyampaikan terima kasih kepada DR. Dr.


Rusmawardiana, Sp. D.V.E, Subsp. D.T, FINSDV, FAADV selaku
pembimbing yang telah membimbing dalam penulisan dan penyusunan
referat ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dokter-dokter
Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) bagian Dermatologi dan
Venereologi, dan semua pihak yang telah membantu dalam menyelesaikan
referat ini.

Penulis menyadari bahwa referat ini masih memiliki kekurangan dan


kesalahan akibat keterbatasan pengetahuan dan kemampuan penulis. Oleh
karena itu, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun
untuk perbaikan referat ini di masa mendatang. Semoga karya tulis ini
bermanfaat bagi pembaca.

Palembang, 1 Maret 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL……………………………………………………………….. i
HALAMAN PENGESAHAN…………………………………………………….... ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….... iii
DAFTAR ISI……………………………………………………………………….. iv
DAFTAR GAMBAR……………………………………………………………….. v
DAFTAR TABEL…………………………………………………………………... vi
PENDAHULUAN............…………………………………………………………... 1
KLASIFIKASI DAN PEMERIKSAAN KUSTA…………….....………………... 1
DEFINISI.............................……………………………………………………... 3
KLASIFIKASI KUSTA……….....….................……………....………………... 3
PEMERIKSAAN KUSTA…………………………………………………......... 13
INSPEKSI PADA LESI….....………...............................………………......... 13
PALPASI SARAF TEPI…....…………...............................……………......... 15

PENULISAN LEMBAR POD KUSTA.................................................................... 20


PENUTUP....................................…………………………………………………... 23
DAFTAR PUSTAKA…………………………………………………….................. 24

DAFTAR GAMBAR
iv
Gambar 1. Kusta Tuberculoid…………….……………………….…………..……... 7

v
Gambar 2. Kusta Borderline Tuberculoid………...…………………………...……... 7
Gambar 3. Kusta Indeterminate................…................………………………..…….. 8
Gambar 4. Kusta Borderline……..........................................………………..………. 8
Gambar 5. Kusta Borderline Lepromatous……...............................…………..…….. 9
Gambar 6. Facies Leonine/Wajah Singa………………….......................……..…….. 9
Gambar 7. Kusta Lepromatous……………….....………………………………..….. 11
Gambar 8. Kusta Lepromatous pada telinga anak.........…………………..…………. 11
Gambar 9. Kusta Lepromatous Histoid………..............................…………………... 12
Gambar 10. Lucio Phenomenon….....................................................………………... 12
Gambar 11. Pemeriksaan Saraf Sensoris Kusta………….....................….........…….. 13
Gambar 12. Pemeriksaan N. Auricularis magnus ……………………….......………. 15
Gambar 13. Pemeriksaan N. Ulnaris………............................………………......…... 16
Gambar 14. Pemeriksaan N. Poplitea lateralis…..............................…………….…... 16
Gambar 15. Pemeriksaan N. Tibialis posterior………...........................…………….. 17
Gambar 16. Pemeriksaan motorik n. ulnaris………...........…………………………. 17
Gambar 17. Pemeriksaan motorik n. medianus……..................…………………….. 18
Gambar 18. Pemeriksaan motorik n. radialis............................................................... 19
Gambar 19. Pemeriksaan motorik n. peroneus communis……………........………... 19
Gambar 20. Formulir POD Kusta……………………..............................…………... 20

vi
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Klasifikasi dari kusta paucibacillary (PB) menurut Ridley-Jopling…….…. 4


Tabel 2. Klasifikasi dari kusta multibacillary (PB) menurut Ridley-Jopling..….….... 5
Tabel 3. Klasifikasi dari PB dan MB menurut WHO................................................... 6

vi
KLASIFIKASI DAN PEMERIKSAAN KUSTA
Andrew Fabian, S.Ked
Pembimbing: DR. Dr. Rusmawardiana, Sp.D.V.E, Subsp. D.T, FINSDV, FAADV
Bagian/KSM Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang

PENDAHULUAN
Kusta (nama lain Lepra atau Morbus Hansen atau Hansen Disease) adalah
salah satu penyakit tertua yang masih ada hingga sekarang ini dan tercatat banyak
sekali dalam sejarah manusia. Penyakit ini dikenal hampir 2000 tahun sebelum
Masehi. Penyakit ini banyak tercatat dalam sejarah seperti Mesir, India (1400
SM), Tiongkok (600 SM), dan di Mesopotamia (400 SM). Literatur seperti
Alkitab juga mencatat penyakit ini dalam istilah bahasa Ibrani ‘tzaarath’.
Penyakit ini dideskripsikan berwarna ‘seperti salju’ ketika Musa menarik
tangannya dari saku bajunya.
Kusta adalah penyakit infeksi kronik disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium leprae menular melalui kontak erat dengan penderita kusta.
Bakteri ini dapat menyerang kulit, saraf tepi, saluran pernapasan atas, mata, dan
organ lain seperti hati, ginjal, dan lainnya kecuali susunan saraf pusat. Penyakit
kusta diawali muncul bercak hipopigmentasi atau eritematosa pada kulit mati rasa.
Penyakit ini memerlukan masa inkubasi cukup lama, kisaran 40 hari sampai 40
tahun dengan rerata 3-5 tahun. Kusta merupakan penyakit ditakuti dan
menimbulkan stigma di masyarakat karena dapat menyebabkan disabilitas,
mutilasi jari tangan maupun kaki, luka borok, kebutaan dan lainnya. 1,2
Saat ini, Indonesia masih menduduki peringkat ketiga negara dengan
penderita kusta terbanyak di dunia, setelah India dan Brazil. Berdasarkan data dari
Kementerian Kesehatan pada tahun 2018, masih terdapat beberapa provinsi
contohnya Papua, Papua Barat, Maluku, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan
Sulawesi Selatan yang belum mencapai angka eliminasi kusta. 3,4
Menurut angka WHO berdasarkan laporan dari 159 negara, 208.619 kasus
kusta baru dilaporkan secara global pada tahun 2018. Prevalensi di seluruh dunia

1
yang dilaporkan pada akhir tahun 2018 adalah 184.212 kasus (rasio 0,2/10.000).
Pada tahun 2018, Brazil dan India menyumbang 79,6% dari semua kasus kusta
baru. Selain itu, 23 negara prioritas menyumbang 96% kasus di seluruh dunia
pada tahun 2018. Pada tahun 2021, kusta menyumbang sebanyak 140.546 kasus di
seluruh dunia. India, Brazil, dan Indonesia menyumbang 1.55% dengan jumlah
penderita kusta > 10.000 orang. 3,5
Indonesia sendiri memiliki epidemiologi kusta yang diatur oleh Pusat
Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI (InfoDatin). Indonesia sekarang
berada dalam peringkat ketiga setelah India dan Brazil dengan jumlah Penderita
Kusta baru pada tahun 2017 mencapai 15.910 Penderita Kusta (angka penemuan
Penderita Kusta baru 6,07 per 100.000 penduduk). 4,6
Kusta memiliki tiga gejala utama, yaitu lesi kulit yang mati rasa,
penebalan pada nervus perifer, dan ditemukannya Basil Tahan Asam (BTA) pada
kerokan jaringan kulit. WHO menyatakan bahwa setiap individu di negara
endemik yang menunjukkan lesi kulit dengan kehilangan sensorik yang pasti atau
didapatkan apusan kulit positif dapat didiagnosis dengan kusta. 1,2,6,7
Kusta dapat menyebabkan ulserasi, mutilasi, dan deformitas. Tidak hanya
karena masalah fisik, kusta merupakan penyakit yang sering distigmatisasi oleh
masyarakat (ditakuti dan dikucilkan masyarakat sekitarnya). Jika mengenai saraf,
akan menyebabkan kerusakan yang ireversibel. Dengan demikian, diagnosis dini
dan terapi adekuat diperlukan untuk mencegah dan mengendalikan penyakit
infeksi kronis ini. 1,2,6,7
Berdasarkan SNPPDI 2019, tingkat kompetensi untuk kusta adalah 4. Pada
tingkat kemampuan ini, lulusan dokter diharapkan mampu melakukan diagnosis
klinik dan penatalaksanaan penyakit sampai tuntas. Selain itu, lulusan dokter juga
diharapkan mampu melakukan pemeriksaan kusta dengan teliti. 8

2
KLASIFIKASI DAN PEMERIKSAAN KUSTA
DEFINISI
Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang disebabkan oleh
Mycobacterium leprae dan Mycobacterium lepromatosis yang bersifat
intraselular obligat. Saraf perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan
mukosa traktus respiratorius bagian atas, kemudian dapat ke organ lain
kecuali susunan saraf pusat. Nama lain dari kusta adalah Morbus Hansen
untuk mengenang G.A.Hansen yang berhasil mengidentifikasi kusta pada
1874 di Norwegia. 1,5,6,9–11

KLASIFIKASI KUSTA
Kusta sendiri dibagi menjadi tiga klasifikasi, yaitu berdasarkan sistem
Madrid, Ridley-Jopling dan WHO secara praktis digunakan dalam pelayanan
kesehatan. 1,2,6,7,11
A. Klasifikasi Madrid
Klasifikasi Madrid sebenarnya merupakan sistem klasifikasi pertama yang
secara internasional untuk kusta pada 1953 sebagai usaha untuk
mengetahui jenis-jenis kusta. Klasifikasi ini terbagi menjadi 4, yaitu: 1,11
 Indeterminate (I)
 Tuberkuloid (T)
 Borderline – Dimorphous (B)
 Lepromatous (L)

B. Klasifikasi Menurut Ridley – Jopling


Klasifikasi dari Ridley-Jopling dinamakan berdasarkan penemunya
yaitu Ridley dan Jopling pada tahun 1966. Klasifikasi ini dibuat
berdasarkan gambaran klinis, bakteriologik, dan imunologik pasien kusta.
Mulai dari respons imun yang intens dengan sejumlah kecil organisme
tuberkuloid hingga respons minor dengan peningkatan jumlah sel
multibasiler. Secara keseluruhan, klasifikasi ini diterapkan menggunakan

3
kulit, biopsi, dan hasil neurologis dari tubuh. Hal ini memberi para
profesional medis perkiraan yang masuk akal tentang respons imun yang
akan dihasilkan. Temuan yang disebutkan sebelumnya juga terkait dengan
basil tahan asam yang ada di dermis penderita. Kebanyakan klasifikasi ini
digunakan untuk penelitian/riset. 1,2,6,7
Secara gambaran klinis, klasifikasi ini dibagi menjadi 5, yaitu (1)
Tuberculoid [TT], (2) Borderline Tuberculoid [BT], (3) Borderline [BB],
(4) Borderline Lepromatous [BL], dan (5) Lepromatous [LL]. Bagian
Indeterminate (I) tidak termasuk dalam spektrum ini. Tipe kusta TT dan
BT termasuk dalam tipe Paucibacillary (PB) dan tipe kusta BB, BL, dan
LL termasuk dalam tipe Multibacillary (MB). Perlu diketahui bahwa tipe
TT dan LL adalah 100% tipe yang stabil. Artinya, tipe ini tidak bisa
berubah lagi dan merupakan tipe murni dari kusta. Berikut adalah
penjabaran masing-masing tipe kusta. 1,5,6,10,11

Tabel 1. Klasifikasi dari kusta paucibacillary (PB) menurut Ridley-Jopling 2,6


Sifat Tuberculoid (TT) Borderline Intermediate (I)
Tuberculoid (BT)
Bentuk Lesi Makula saja; Makula dibatasi Makula saja
makula dibatasi infiltrat; infiltrate
infiltrat saja
Batas Jelas Jelas Tidak ada sampai
tidak jelas
Jumlah Satu, dapat Beberapa atau satu Satu atau beberapa
beberapa dengan satelit
Distribusi Asimetris Masih asimetris Variasi
Permukaan Kering bersisik Kering bersisik Halus, agak
berkilat
Anestesia Jelas Jelas Tidak ada sampai
tidak jelas
BTA Hampir selalu Negatif atau hanya Negatif biasanya
negatif (+1)
Tes Lepromin +3 (Positif kuat) +1 atau +2 (Positif Positif lemah atau
lemah) negative

4
Tabel 2. Klasifikasi dari kusta multibacillary (MB) menurut Ridley-Jopling 2,6
Sifat Lepromatous (LL) Borderline Borderline (BB)
Lepromatous (BL)
Bentuk Lesi Makula; Makula; plak; papul Plak; dome-shaped
infiltrat/plak difus; (kubah); punched
papul; nodus out
Batas Tidak jelas Agak jelas Agak jelas
Jumlah Tidak terhitung, Sukar dihitung, Dapat dihitung,
tidak ada kulit sehat masih ada kulit kulit sehat jelas
sehat ada
Distribusi Simetris Hampir simetris Simetris
Permukaan Halus berkilat Halus berkilat Agak kasar dan
agak berkilat
Anestesia Tidak ada sampai Tidak jelas Lebih jelas
tidak jelas
BTA
Lesi Kulit Banyak (ada Banyak Agak banyak
globus)
Sekret Hidung Banyak (ada Biasanya negatif Negatif
globus)
Tes Lepromin Negatif Negatif Biasanya negative

C. Klasifikasi Menurut WHO


Selain klasifikasi Ridley-Jopling, WHO (World Health Organization) juga
menggunakan sistem klasifikasinya sendiri. Sama seperti Ridley-Jopling,
WHO membagi kusta menjadi tipe Paucibacillary (PB) dan
Multibacillary (MB). Sistem klasifikasi ini lebih ditujukan kepada
pelayanan medis di lapangan. 1,2,6,7

WHO pertama kali membuat sistem klasifikasi ini pada tahun


1981. Pada saat itu, klasifikasi kusta termasuk dengan pemeriksaan
kerokan jaringan kulit. Mengingat keterbatasan pemeriksaan tersebut,
maka WHO menyederhanakan klasifikasi kusta berdasarkan hitung lesi
kulit dan saraf yang terkena. Sebuah laporan dari WHO 1997 menyatakan
tidak perlu untuk melakukan kerokan jaringan kulit. Namun, jika tersedia
di lapangan, pemeriksaan ini boleh dilakukan untuk membantu diagnosis
kusta. 1,6,12

5
Tabel 3. Klasifikasi kusta PB dan MB menurut WHO 2,6
Karakteristik Paucibacillary (PB) Multibacillary (MB)
Jumlah 1-5 lesi/kelainan kulit > 5 lesi/kelainan kulit
Bentuk Makula datar, papul yang Makula datar, papul yang
meninggi, nodus meninggi, nodus
Warna Hipopigmentasi/eritema Hipopigmentasi/eritema
Distribusi Asimetris Lebih simetris
Anestesi Jelas Kurang jelas
Kerusakan Saraf Hanya satu cabang saraf Banyak cabang saraf
BTA Negatif Positif

Berikut adalah penjelasan tipe kusta berdasarkan klasifikasi Ridley-


Jopling dan WHO.
a. Kusta Tuberkuloid (TT)
Lesi tuberkuloid bersifat soliter atau sedikit jumlahnya (lima atau kurang)
dan didistribusikan secara asimetris. Lesi mungkin hipopigmentasi atau
eritematosa dan biasanya kering, bersisik, dan tidak berambut. Lesi khas kusta
tuberkuloid adalah plak eritematosa besar dengan batas yang jelas dan tinggi
yang miring ke pusat atrofi yang rata. Ini telah digambarkan sebagai memiliki
penampilan "a saucer right side up". Lesi juga dapat berupa makula dan
hipopigmentasi atau eritematosa, menyerupai lesi klinis yang tidak pasti.
Adanya indurasi yang teraba dan temuan neurologis membedakan lesi
tuberkuloid dari lesi indeterminate secara klinis. Lokasi yang paling umum
adalah wajah, ekstremitas, atau thoraks; Scalp, aksila, inguinal, dan perineum
tidak terlibat. 13
Lesi tuberkuloid bersifat anestesi atau hypesthetic dan anhidrotik, dan
terjadi pembesaran terhadap lesi di saraf perifer superfisial atau proksimal,
lunak, atau keduanya. Nervus auricularis magnus dan n. peroneus communis
mungkin terlihat membesar. Keterlibatan saraf merupakan tanda awal dan
menonjol pada kusta tuberkuloid, yang menyebabkan perubahan karakteristik
pada kelompok otot yang dipersarafi. Mungkin ditemukan atrofi otot-otot
interoseous tangan, dengan dengan wasting pada eminesia pada thenar dan
hypothenar, kontraktur jari, kelumpuhan otot-otot facialis, dan drop foot.
6
Kerusakan nervus facialis secara dramatis meningkatkan risiko keterlibatan
okular dan hilangnya visus. Evolusi lesi pada umumnya lambat. Seringkali
terdapat remisi spontan pada lesi dalam waktu sekitar 3 tahun, atau remisi
dapat terjadi lebih cepat dengan pengobatan. Involusi spontan dapat
meninggalkan gangguan pigmen. 13

Gambar 1. Kusta Tuberculoid 13

b. Kusta Borderline Tuberculoid (BT)


Kusta BT mirip dengan lesi tuberkuloid, tetapi dengan ukuran lesi
yang lebih kecil dan lebih banyak. Karakteristik dari lesi BT adalah lesi satelit
yang mengelilingi makula atau plak yang besar. 13

Gambar 2. Kusta Borderline Tuberculoid 13

7
c. Indeterminate (I)
Pada tipe indeterminate, tidak bisa ditentukan dengan jelas batas dan
lesinya. Lesi yang tampak biasanya hanya makula saja. Jumlah lesi yang
ditemukan batasnya tidak jelas atau tidak ada sama sekali. Jumlahnya dapat
ditemukan satu atau beberapa lesi, dengan bentuk bervariasi. Permukaan lesi
halus dan berkilat. Jika dilakukan pemeriksaan BTA, tampak jumlah BTA
bisa positif lemah atau negatif. 1,6

Gambar 3. Kusta Indeterminate 11

d. Borderline Borderline (BB)


Pada kusta BB, lesi kulit banyak (tetapi dapat dihitung) dan terdiri dari
plak merah berbentuk ireguler. Lesi satelit yang kecil dapat mengelilingi plak
yang lebih besar. Lesi timbul generalisasi tetapi asimetris. Tepi lesi tidak jelas
batasnya seperti yang terlihat di lesi polar tuberkuloid. Saraf mungkin
menebal dan lunak, tetapi anestesi hanya moderat pada lesi. 13

8
Gambar 4. Kusta Borderline 11

e. Kusta Borderline Lepromatous (BL)


Pada kusta BL, lesi simetris dan banyak (terlalu banyak untuk
dihitung) dan mungkin termasuk makula, papula, plak, dan nodul. Jumlah lesi
kecil dari lepromatosa melebihi jumlah lesi tipe borderline yang lebih besar.
Keterlibatan saraf muncul setelahnya; Saraf bisa membesar, lunak, atau
keduanya, dan penting untuk dicatat bahwa lesi yang terlibat itu simetris.
Sensasi dan berkeringat di atas lesi adalah normal. Pasien biasanya tidak
menunjukkan ciri-ciri kusta lepromatosa penuh, seperti madarosis (kehilangan
alis), keratitis, ulserasi hidung, dan facies leonine (wajah singa). 13

Gambar 5. Kusta Borderline Lepromatous 13

Gambar 6. Facies Leonine/Wajah Singa 11


9
f. Kusta Lepromatous (LL)
Kusta LL dapat timbul langsung atau berkembang setelah kusta
indeterminate atau dari kusta borderline. Lesi kulit kusta lepromatosa terutama
terdiri dari makula pucat atau infiltrasi difus kulit. Terdapat kecenderungan
penyakit ini menjadi semakin buruk tanpa pengobatan. Kusta lepromatosa
dapat dibagi menjadi bentuk polar (LLp) dan bentuk subpolar (LLs);
bentuk-bentuk ini mungkin berbeda. Lesi lepromatosa makula didistribusikan
secara difus dan simetris ke seluruh tubuh. 13
Makula tuberkuloid berukuran besar dan sedikit jumlahnya, sedangkan
makula lepromatosa tampak kecil dan banyak. Makula lepromatosa berbatas
tidak jelas, tidak menunjukkan perubahan tekstur kulit, dan menyatu tanpa
adanya rasa ke dalam kulit di sekitarnya. Terdapat sedikit atau tidak ada
kehilangan sensasi atas lesi, tidak ada penebalan saraf, dan tidak ada
perubahan dalam hidrosis. Kerontokan rambut yang lambat dan progresif
terjadi dari sepertiga luar alis, kemudian bulu mata, dan akhirnya tubuh;
Namun, rambut kulit kepala biasanya tetap tidak berubah. 13
Infiltrasi lepromatosa dapat dibagi menjadi jenis difus, plak, dan
nodular. Jenis difus ditandai dengan perkembangan infiltrasi difus wajah,
terutama dahi, madarosis, dan penampilan kulit yang berlilin dan berkilau,
kadang-kadang digambarkan sebagai "varnished/menyelimuti." Kusta difus
Lucio (DLL) adalah bentuk yang mencolok, tidak biasa kecuali di Meksiko
barat dan daerah Amerika Latin tertentu lainnya, di mana hampir sepertiga
dari kasus lepromatosa mungkin dari jenis ini. Bentuk kusta lepromatosa ini
ditandai dengan infiltrasi lepromatosa difus pada kulit; Lekroma lokal tidak
terbentuk. Komplikasi unik dari subtipe ini adalah keadaan reaksional yang
disebut sebagai fenomena Lucio (erythema necroticans). 13
Infiltrasi dapat dimanifestasikan oleh perkembangan nodul yang
disebut lepoma. Nodul awal tidak didefinisikan dengan baik dan paling sering
terjadi di bagian akral: telinga, alis, hidung, dagu, siku, tangan, bokong, atau
lutut. 13
10
Keterlibatan saraf selalu terjadi pada kusta lepromatosa tetapi
berkembang sangat lambat. Seperti halnya lesi kulit, penyakit saraf simetris
secara bilateral, biasanya dalam pola stocking-glove. Pola ini sering salah
didiagnosis sebagai neuropati diabetik di Amerika Serikat. 13

Gambar 7. Kusta Lepromatous 13

Gambar 8. Kusta Lepromatous pada telinga anak 11

11
Gambar 9. Kusta Lepromatous Histoid 11

Gambar 10. Lucio Phenomenon 13

PEMERIKSAAN KUSTA
Pemeriksaan lesi kulit dimulai dari inspeksi melihat morfologi lesi, dan
pemeriksaan fungsi saraf pada lesi kulit yaitu fungsi sensoris dan otonom pada
daerah lesi. Kemudian, dilakukan palpasi pada saraf tepi diikuti dengan
pemeriksaan motorik pada penderita.

12
INSPEKSI PADA LESI
I. PEMERIKSAAN SENSORIS
Pemeriksaan sensoris pada lesi yaitu dengan termal/suhu (misalnya dengan
tabung reaksi, dingin 20 oC dan panas 40 oC), raba/taktil (dengan kapas/tisu),
dan nyeri (dengan jarum). Selain itu, pemeriksaan otonom melalui tes anhidrosis
dilakukan dengan menilai keringat pada lesi saat pasien berkeringat. Pemeriksaan
uji Gunawan dilakukan dengan menandai daerah lesi dari bagian sentral ke perifer
dengan menggunakan bolpoin tinta. Setelah itu dilihat apakah tinta memudar atau
tidak. Apabila pada lesi tinta tidak memudar, maka fungsi otonom pada lesi
dikatakan tidak normal. 2

Gambar 11. Pemeriksaan Saraf Sensoris Kusta 2


a. Rasa Suhu
Rasa Suhu menggunakan tabung reaksi panas (40 oC) dan dingin (20 oC). 1
1. Mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian kedua
tabung tersebut ditempelkan pada daerah yang dicurigai
2. Lakukan tes control terlebih dahulu untuk memastikan orang yang
diperiksa tahu mana panas dan dingin.
3. Bila daerah yang diperiksa dicurigai positif, maka sensasi suhu di daerah
tersebut terganggu.

b. Rasa taktil/raba
Rasa taktil/raba menggunakan kapas yang terpilin/dilancipkan ujungnya. 1
Pemeriksaan ini bertujuan untuk menilai apakah pada lesi terdapat anestesi,
hipoestesi, dan hiperestesi.

13
1. Pasien harus duduk dalam pemeriksaan
2. Pemeriksa harus menjelaskan jika pasien merasakan pada bagian tubuhnya
ada yang disinggung dengan kapas, pasien harus menunjukkan bagian
mana yang disinggung dengan jari telunjuk. Lakukan dengan mata terbuka
terlebih dahulu.
3. Jika mengerti, pasien disuruh menutup mata atau menutup dengan
kain/karton jika perlu.
4. Periksa lesi kulit dan bagian kulit yang lain, perlu diperiksa sensibilitasnya
5. Bandingkan kulit yang sehat dan kulit yang sakit pada penderita kusta.
6. Bercak di kulit periksa di tengahnya, bukan di pinggirnya.

c. Rasa nyeri
Rasa nyeri dapat menggunakan ujung jarum yang tajam dan pangkal tangkainya
yang tumpul. Pemeriksa menusuk pada kulit pasien dan pasien harus bisa
membedakan rasa tajam dan tumpul. 1

II. PEMERIKSAAN OTONOM


Pemeriksaan otonom dilakukan untuk menguji hipohidrosis pada pasien
kusta. Pada pasien kusta terjadi gangguan saraf otonom yang ditandai hipohidrosis
(gangguan berkeringat). Hipohidrosis juga dapat terjadi akibat atrofi pada kelenjar
keringat. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan Pensil Gunawan.
Pensil Gunawan adalah pensil tinta yang bila terkena air akan luntur (blobor).
Dokter Gunawan menggunakan pensil tersebut guna menilai hipohidrosis atau
anhidrosis pada lesi kusta.

Pasien kusta diminta melakukan gerakan-gerakan (exercise) bagian tubuh


yang terkena lesi kusta atau diberi minuman air hangat agar berkeringat. Pensil
digoreskan mulai dari bagian tengah lesi kusta menuju kulit sehat sekitar lesi
tersebut; karena keringat di luar lesi lebih banyak maka akan tampak goresan
pensil tinta menjadi lebih tebal (blobor, merembes) pada kulit yang sehat. - Cara
lain adalah dengan menyuntikkan pilokarpin subkutan di perbatasan lesi kusta

14
ditunggu sekitar beberapa menit, kulit normal akan berkeringat tetapi lesi kusta
tetap kering

PALPASI SARAF TEPI


a. Pemeriksaan penebalan saraf tepi
Palpasi dilakukan untuk melihat adanya penebalan saraf dan apakah terdapat rasa
nyeri pada pasien. Beberapa saraf utama yang mengalami gangguan pada pasien
kusta adalah n. auricularis magnus, n. ulnaris, n. tibialis posterior dan n. poplitea
lateralis.

 Pemeriksaan n. auricularis magnus


Pasien diminta menoleh sejauh mungkin ke arah berlawanan dari lokasi nervus
yang akan diperiksa. Palpasi secara sistematis sesuai dengan arah m.
sternokleidomastoideus (dari arah belakang telinga ke sternum). Apabila teraba
pembesaran saraf, lakukan palpasi secara tegak lurus dari saraf yang teraba.
Periksa tiga hal yaitu: terdapat pembesaran saraf/tidak, konsistensi kenyal/keras
dan terdapat rasa nyeri tekan/tidak. Lakukan pemeriksaan pada saraf kiri dan saraf
kanan. 2

Gambar 12. Pemeriksaan N.auricularis magnus 2


 Pemeriksaan n. ulnaris
Topang tangan pasien menggunakan tangan pemeriksa (posisi bersalaman)
dengan posisi sedikit fleksi. Tangan pemeriksa yang bebas meraba sulkus n.
ulnaris yang terdapat di bagian medial siku (menggunakan satu atau tiga jari).
Periksa tiga hal yaitu: terdapat pembesaran saraf/tidak, konsistensi kenyal/keras
15
dan terdapat rasa nyeri tekan/tidak. Lakukan pemeriksaan pada kedua lengan. 2

Gambar 13. Pemeriksaan N. ulnaris 2

 Pemeriksaan n. poplitea lateralis


Siapkan pasien dalam posisi duduk dengan kedua kaki menggantung. Lakukan
perabaan pada bagian lateral dari capitulum fibulae ke arah posterior
menggunakan tiga jari. Periksa tiga hal yaitu: terdapat pembesaran saraf/tidak,
konsistensi kenyal/keras dan terdapat rasa nyeri tekan/tidak. Lakukan
pemeriksaan pada kedua kaki. 2

Gambar 14. Pemeriksaan N. poplitea lateralis 2

 Pemeriksaan n. tibialis posterior 2

Siapkan pasien dalam posisi duduk. Lakukan perabaan pada bagian posterior dari
maleolus medial. Periksa tiga hal yaitu: terdapat pembesaran saraf/tidak,
konsistensi kenyal/keras dan terdapat rasa nyeri tekan/tidak. Lakukan
pemeriksaan pada kedua kaki.

16
Gambar 15. Pemeriksaan N. tibialis posterior 2

b. Pemeriksaan Fungsi Motorik Saraf Tepi (VMT/Voluntary Muscle Test)


Pada pemeriksaan ini, saraf-saraf tepi yang harus diperiksa sebagai berikut. 2
a. Lakukan pemeriksaan n. ulnaris
• Pegang jari telunjuk, jari tengah dan jari manis pasien dan meminta pasien
merapatkan jari kelingking secara aktif.
• Apabila pasien dapat melakukannya, sisipkan kartu di antara jari kelingking
dan jari manis. Minta pasien untuk menahan kartu tersebut sambil
pemeriksa mencoba menarik kartu secara perlahan.
• Bandingkan hasil pemeriksaan tangan kiri dan kanan.
Catat hasilnya yang terbagi atas kuat, sedang (lemah) atau lumpuh. Tuliskan
penjelasan hasil pemeriksaan tersebut. 2

Gambar 16. Pemeriksaan motorik n. ulnaris 1,2

17
b. Lakukan pemeriksaan n. medianus 2

• Tekuk pergelangan tangan pasien ke belakang lalu pegang jari telunjuk, jari
tengah dan jari manis pasien.
• Minta pasien menggerakkan jempolnya ke arah atas secara aktif.
• Jika pasien dapat melakukannya, dorong jari tersebut pada bagian pangkal
ke arah sebaliknya.
• Bandingkan hasil pemeriksaan tangan kiri dan kanan.
• Disabilitas hasilnya yang terbagi atas kuat, sedang (lemah) atau lumpuh.
Tuliskan keterangan hasil pemeriksaan apabila hasilnya lemah.

Gambar 17. Pemeriksaan motorik n. medianus 1,2

c. Lakukan pemeriksaan n. radialis


 Pemeriksa memegang pergelangan tangan pasien
 Meminta pasien mengangkat pergelangan tangan sepenuhnya ke
belakang
 Dorong punggung tangan untuk menguji ketahanan ototnya

18
Gambar 18. Pemeriksaan motorik n.radialis 1

d. Lakukan pemeriksaan n. peroneus komunis


• Peganglah bagian distal-posterior tungkai bawah pasien.
• Minta pasien mengangkat kakinya.
• Dorong punggung kaki pasien untuk melihat ketahanan ototnya.
• Bandingkan hasil pemeriksaan tangan kiri dan kanan
Disabilitas hasilnya yang terbagi atas kuat, sedang (lemah) atau lumpuh. Tuliskan
keterangan hasil pemeriksaan apabila hasilnya lemah.

Gambar 19. Pemeriksaan motorik n. peroneus communis 1,2

e. Pemeriksaan motorik lainnya


19
Periksa juga pada pasien apakah terdapat trikiasis, kelumpuhan n. facialis,
lagophthalmos pada pasien.

PENULISAN LEMBAR POD KUSTA


Dalam melakukan pemantauan dan pencegahan disabilitas pada kusta dapat
menggunakan lembar pencatatan pencegahan disabilitas/prevention of disability
(POD) berikut ini: 2

Gambar 20. Formulir POD Kusta 2


Langkah-langkah pengisian lembar POD:
1. Lakukan pemeriksaan nyeri tekan saraf yaitu n. ulnaris, n. poplitea lateralis
dan n. tibialis posterior sesuai dengan cara pemeriksaan saraf pada pasien
kusta.
2. Isi bagian kekuatan motorik tangan dan kaki
• Lakukan pemeriksaan fungsi motorik n. ulnaris, n. medianus dan n.
peroneus komunis.
3. Isi bagian gambar tangan dan kaki
 Apabila terdapat pemendekan jari, tandai dengan garis pendek (-).
20
 Apabila terdapat luka atau kulit pecah, gambar sesuai ukurannya. Pada
kulit yang pecah tandanya adalah garis panjang (–). Tuliskan ukuran luka
dalam satuan cm.
 Apabila ada jari yang kiting (clawing), berikan tanda S (kiting dan kaku)
atau C (kiting tanpa kaku).
 Lakukan pemeriksaan sensibilitas dengan menopang punggung tangan
penderita dan sentuhlah tangan dengan bolpoin secara tegak lurus sesuai
dengan titik pada gambar. Minta pasien untuk memperhatikan
pemeriksaan dan menunjuk lokasi yang diperiksa bila terasa dan pada
tempat sentuhan yang tepat. Bila pasien mengerti cara pemeriksaan,
lanjutkan pemeriksaan dengan meminta pasien menutup mata dan
menghadap ke arah belakang. Lakukan pemeriksaan ini dengan waktu
dan lokasi yang tidak beraturan agar pasien tidak menerka-nerka arah
sentuhan selanjutnya.
 Beri tanda X (bila pasien tidak di Lakukan langkah yang sama untuk
pemeriksaan pada kaki. Sebaiknya posisi kaki yang akan diperiksa di
pangkukan ke atas lutut tungkai sebelahnya.
4. Isilah kolom kesimpulan pemeriksaan dengan menanyakan kapan pertama
kali pasien mengalami lagoftalmos, nyeri tekan pada saraf (tanda neuritis
akut), hipestesi/anestesi dan penurunan kekuatan motorik. Apakah dalam 6
bulan terakhir? Tanyakan juga apakah terdapat lesi kulit yang mengalami
ulserasi.
5. Lakukan edukasi pada pasien cara perawatan diri yang benar.
 Catat apakah pasien dapat memejamkan mata dan berkedip dengan normal
atau tidak.
 Amati refleks kedip tanpa memberitahu pasien?
 Apakah terdapat trikiasis?
 Apakah pasien jarang mengedipkan mata?
 Apakah terdapat lagoftalmos?
 Apakah bagian bawah bola mata tidak tertutup sempurna, terdapat iritasi
21
dan/atau luka pada mata?
 Apakah kelopak mata bawah kendur dan mata sering berair?
 Periksa gangguan pada kelopak mata
 Minta pasien memejamkan mata kemudian ukur celah antar kelopak mata
dan catat hasilnya Selain menggunakan lembar POD, pemeriksaan mata
yang lebih spesifik untuk deteksi dini kecacatan mata pasien kusta dapat
dilakukan menggunakan daftar tilik pemeriksaan mata, merasakan atau
menunjuk lokasi yang disentuh) atau V (bila pasien dapat menunjuk
lokasi yang disentuh dengan tepat) pada titik di gambar.

22
PENUTUP
Kusta adalah penyakit infeksi kronik yang sudah ada sejak 2000 tahun
SM. Penyebabnya ialah Mycobacterium leprae yang bersifat intraselular obligat,
terutama menyerang kulit dan saraf perifer. Terdapat banyak usaha untuk
mengklasifikasikan kusta. Namun, yang paling sering digunakan adalah
klasifikasi menurut WHO dan Ridley-Jopling. Klasifikasi menurut WHO terdapat
2 tipe, yaitu tipe Pausibasiler (PB) dengan sedikit atau tidak ditemukan bakteri
dan tipe Multibasiler (MB) dengan jumlah bakteri yang banyak, sedangkan
menurut Ridley-Jopling terdapat 5 tipe kusta, yaitu TT (tuberculoid polar, bentuk
stabil), BT (borderline tuberculoid), BB (mid borderline), BL (borderline
lepromatous), dan LL (lepromatosa polar, bentuk stabil). Untuk menegakkan
diagnosis, WHO merekomendasikan untuk mencari salah satu dari tiga tanda
utama penyakit (cardinal signs), yaitu lesi yang mati rasa, penebalan saraf perifer,
dan ditemukan BTA positif. 2,4,7,9,11,13,14
Pemeriksaan kusta dibagi menjadi menjadi pemeriksaan saraf sensoris,
saraf motoric dan otonom. Pemeriksaan dimulai dari inspeksi pada lesi yang
dicurigai kusta. Pada lesi, dilakukan pemeriksaan sensoris berupa rasa taktil
dengan kapas yang dilancipkan ujungnya, rasa nyeri dengan menggunakan jarum,
dan suhu dengan menggunakan tabung reaksi panas dan dingin. Pemeriksaan saraf
otonom meliputi tes anhidrosis dengan tinta Gunawan. Kemudian, dilakukan
pemeriksaan palpasi dengan meraba saraf perifer apakah terdapat penebalan dan
rasa nyeri. Terakhir, otot-otot yang dipersarafi oleh saraf perifer tersebut diperiksa
dengan melakukan Voluntary Muscle Test. Pemeriksaan lain untuk memeriksa
kelumpuhan n. facialis dan lainnya juga harus dilakukan. Semua aspek
pemeriksaan ini dicatat pada lembar POD (Prevention of Disability) Kusta. 1,2,6,7,15

DAFTAR PUSTAKA
1. Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H. Kusta. 2nd ed. Sjamsoe-Daili
ES, Menaldi SL, Ismiarto SP, Nilasari H, editors. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2003.
23
2. Widaty S, Menaldi SLS, Marissa M, Miranda E, The VV, Halim PA. Panduan
Perawatan Pasien Kusta [Internet]. 1st ed. The VV, Halim PA, editors. Jakarta:
Departemen Dermatologi dan Venereologi RSCM/FKUI; 2019 [cited 2023 Mar
3]. Available from: https://fk.ui.ac.id/dept/dermatovenereol/
3. World Health Organization. Leprosy: Number of New Leprosy Cases [Internet].
World Health Organization. 2021 [cited 2023 Mar 4]. Available from:
https://apps.who.int/neglected_diseases/ntddata/leprosy/leprosy.html?
geog=0&indicator=i0&date=2021&bbox=-246.3982631578948,-
62.897000000000006,246.3982631578948,90.59700000000002&printmode=true
4. Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI. Hapuskan Stigma dan
Diskriminasi Terhadap Kusta. Jakarta; 2018.
5. Smith DS. Leprosy [Internet]. Medscape. 2020 [cited 2023 Mar 4]. Available
from: https://emedicine.medscape.com/article/220455-overview
6. Wisnu IM, Sjamsoe-Daili ES, Menaldi SL. Kusta. In: Wisnu IM, Sjamsoe-Daili
ES, Menaldi SL, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin . 7th ed. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2019. p. 87–102.
7. Siswati AS, Rosita C, Triwahyudi D, Budianti WK, Mawardi P, Dwiyana RF, et
al. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter Spesialis Dermatologi dan Venereologi
Indonesia. Siswati AS, Rosita C, Triwahyudi D, Budianti WK, Mawardi P,
Dwiyana RF, et al., editors. Jakarta: Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan
Kelamin Indonesia; 2021.
8. KKI. Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia. Konsil Kedokteran Indonesia.
2019. p. 169.
9. Kementerian Kesehatan RI. PMK No.11 Tahun 2019 Tentang Penanggulangan
Kusta. Indonesia; 2019.
10. Bhandari J, Awais M, Robbins BA, Gupta V. Leprosy [Internet]. StatPearls
Publishing. 2022 [cited 2023 Mar 3]. Available from:
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK559307/
11. Salgado CG, Cardoso de Brito A, Salgado UI, Spencer JS. Leprosy. In: Kang S,
Amagai M, Bruckner AL, Enk AK, Margolis DJ, McMichael AJ, et al., editors.
Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. USA: McGraw-Hill Education; 2019. p. 2892–
24
924.
12. World Health Organization. WHO Expert Committee On Leprosy [Internet].
Geneva; 1998 [cited 2023 Mar 3]. Available from:
http://apps.who.int/iris/bitstream/handle/10665/42060/WHO?sequence=1
13. James WD, Elston DM, Treat JR, Rosenbach MA, Neuhaus IM. Hansen Disease.
In: Andrew’s Disease of The Skin Clinical Dermatology. 13th ed. Elsevier Inc.;
2020.
14. World Health Organization. Guidelines for the Diagnosis, Treatment and
Prevention of Leprosy. Guidelines Development Group, editor. USA: World
Health Organization; 2018.
15. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Penatalayanan Kesehatan dan Tatalaksana
Kusta. 2019.

25
s

26

Anda mungkin juga menyukai