Government’s legitimacy is based on creating a feeling among its constituents that it is correct:
legitimasi pemerintah didasarkan pada validasi konstituennya bahwa pada akhirnya
termanifestasi suatu kondisi yang dapat membenarkan setiap putusan pemerintah
- Basis legitimasi pemerintah adalah dengan menciptakan perasaan dan validasi langsung
dari konstituensinya.
- Legitimasi terletak pada basis pola pikir (mind) dan kepercayaan kolektif (collective
beliefs)
- Dengan adanya legitimasi yang maksimal, maka pemerintah dengan perangkatnya
(kepemimpinan, kebijakan, institusi) dapat memberikan kepatuhan yang bisa diikuti
masyarakat tanpa perlu adanya eskalasi dalam perangkat pemaksaan dan penindasan.
Namun karena ajaran agama kebanyakan diajarkan dalam basis tradisi, doktrin dan
catatan yang sangat terbuka atas interpretasi bebas maka terjadilah justifikasi politik yang
mampu menciptakan ketimpangan
Exhibit A: doktrin predestinasi dan ajaran Kristen masa kolonialisasi Belanda, mengenai
ada orang yang masuk surga ataupun neraka, di mana adanya predestinasi menciptakan
hubungan timpang antara tipe manusia superior dan yang tidak. Hal ini dipraktikkan
dalam politik apartheid yang menciptakan hubungan supremasi kulit putih dan menilai
kulit hitam sebagai kelompok manusia yang tidak layak masuk surga dan hanya hadir di
dunia menjadi pesuruh
Exhibit B: penggunaan injil alkitab yang di luar konteks mengisahkan bahwa masyarakat
kulit hitam diwariskan dari kutukan putra Nuh, Ham yang akhirnya melahikan keturunan
budak. Dan justifikasi bahwa perbudakan ada dikarenakan kehendak dan firman Tuhan
mengizinkan hal itu terjadi.