Anda di halaman 1dari 12

ANALISIS SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP KORUPSI PEMBANGUNAN MESJID

RAYA SENAPELAN BERDASARKAN UNDANG UNDANG


NOMOR 30 TAHUN 2002 DI KOTA PEKANBARU

Andri Deshi Utomo 2374101143


Yolanda Fadila 2374101010
Yurdaningsih 2374101128

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LANCANG KUNING PEKANBARU

2024 M. /1446 H.
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karna atas segala

rahmatnya penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Analisis sosiologi

hukum terhadap korupsi pembangunan mesjid raya senapelan berdasarkan undang

undang nomor 30 tahun 2002 di kota pekanbaru”. Makalah ini penulis buat dengan

semaksimal mungkin melalui literatur literatur yang memadai sehingga dapat memperlancar

pembuatan makalah ini.

Dan harapan penulis semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman

bagi para pembaca. Terlepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih ada

kekurangan baik dari susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karna itu dengan tangan

terbuka penulis menerima kritikan saran dari pembaca agar penulis dapat memperbaiki

makalah ini.

Pekanbaru, Januari 2024

2
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi sangat berbeda dengan tindak pidana

yang lain, diantaranya karena banyaknya lembaga yang berwenang untuk melakukan proses

peradilan terhadap tindak pidana korupsi. Kondisi demikian merupakan konsekuensi logis dari

predikat yang di letakkan pada tindak pidana tersebut sebagai extra ordinary crime (kejahatan

luar biasa). Sebagai tindak pidana yang dikategorikan sebagai extra ordinary crime tindak

pidana korupsi mempunyai daya hancur yang luar biasa dan merusak terhadap sendi sendi

kehidupan suatu negara dan bangsa. Dampak dari tindak pidana korupsi dapat dilihat dari

terjadinya berbagai macam bencana yang menurut Nyoman Serikat Putra Jaya bahwa akibat

negatif dari adanya tindak pidana korupsi sangat merusak tatanan kehidupan bangsa, bahkan

korupsi merupakan perampasan hak ekonomi dan hak sosial masyarakat Indonesia.

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah lembaga negara yang dibentuk dengan

tujuan meningkatkan daya guna dan hasil guna terhadap upaya pemberantasan tindak pidana

korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk berdasarkan UUNo 30 Tahun 2002 tentang

Komisi pemberantasan tindak pidana korupsi, dalam pasal 1 UU No 30 Tahun 2002 ini

menentukan: bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi merupakan serangkaian tindakan

untuk mencegah dan memberantas korupsimelalui upaya koordinasi, supervisi, monitor,

penyelidikan, penyidikan penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan peran

serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Seperti yang

dimaksud dalam UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas

dari korupsi, kolusi dan nepotisme, diharapkan dapat dibebaskan dari segala bentuk perbuatan

yang tidak terpuji, sehingga terbentuk aparat dan aparatur penyelenggara negara yang benar

1
benar bersih dan bebas dari korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Korupsi merupakan masalah serius karena dapat membahayakan stabilitas dan

keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, serta membahayakan

pembangunan ekonomi, sosial politik, dan menciptakan kemiskinan secara massif sehingga

perlu mendapat perhatian dari pemerintah dan masyarakat serta lembaga sosial. Salah satu

upaya untuk menekan tingginya angka korupsi adalah upaya pencegahan. Upaya serius KPK

dalam memberantas korupsi dengan pendekatan pencegahan merupakan upaya cerdas.

Pendekatan ini menunjukkan bahwa KPK menyadari bahwa masa depan bangsa yang lebih

baik perlu dipersiapkan dengan orang orang yang paham akan bahaya korupsi bagi peradaban

bangsa.

Seperti Pada kasus Korupsi pembangunan mesjid Raya Senapelan di Pekanbaru

kemudian juga sudah melakukan penetapan tersangka atas kasus Korupsi pembangunan

mesjid yakni Keempat tersangka yakni SY selaku KPA merangkap PPK, AM selaku Direktur

CV Watashiwa Miazawa, AB selaku Direktur PT Riau Multi Cipta Dimensi, dan IC selaku

pihak swasta atau pemilik pekerjaan Keempat tersangka dilakukan penahanan. Penahanan

dilakukan untuk mempercepat proses penyidikan. Kemudian, dikhawatirkan tersangka

melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Keempat orang tersangka diduga melakukan

korupsi pada pembangunan fisik Masjid Raya Senapelan Pekanbaru pada Dinas PUPR-PKPP

Riau tahun 2021.

B. Rumusan Masalah

Dalam makalah ini tentu banyak rumusan masalah yang akan kami bahas yaitu:

1. Bagaimana Analisis Sosiologi Terhadap Kasus Korupsi Pembangunan Mesjid Raya

Senapelan di Kota Pekanbaru?

2. Bagaimana Tinjauan Kasus dikaitkan Dengan Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002?

2
C. Identifikasi Masalah

Korupsi merupakan permasalahan dari tahun ke tahun yang masih menjadi perhatian

publik. Pemerintah dalam melaksanakan tugasnya, diberikan wewenang yang luas dalam

mengatur hingga menyelesaikan segala permasalahan yang dialami oleh masyarakatnya. A.M.

Donner dalam Djenal Hoesen membagi pemerintahan dalam dua tingkat kekuasaan

(dwipraja), yaitu alat pemerintahan yang berfungsi menentukan haluan politik Negara (politiek

taakstelling) dan alat pemerintahan yang berfungsi menyelengarakan atau merealisasikan

politik Negara yang telah ditentukan (verwekenlijking van de taak)

Kronologi. Pada kasus korupsi mesjid raya Senapelan di Pekanbaru ini pada tahun

2021 Dinas PUPR-PKPP melaksanakan pengerjaan fisik Masjid Raya Senapelan Pekanbaru.

Dana pembangunan bersumber dari APBD dengan pagu anggaran sebesar Rp 8.654.181.913.

Untuk pengerjaannya, dilaksanakan oleh CV Watashiwa Miazawa dengan nilai kontrak

sebesar Rp 6.321.726.003,54. Pekerjaan dilaksanakan selama 150 hari kalender, yang dimulai

sejak 3 Agustus sampai 30 Desember 2021, Kemudian, pada 20 Desember 2021, PPK

meminta untuk mencairkan pembayaran 100 persen, sedangkan bobot pekerjaan baru

diselesaikan sekitar 80 persen. Tetapi, dilaporkan bobot atau volume pekerjaan 97 persen.

Berdasarkan perhitungan fisik oleh ahli, bobot pekerjaan yang dikerjakan diperoleh

ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan dan volume pekerjaan 78,57 persen (kekurangan volume

pekerjaan) Berdasarkan perhitungan fisik oleh ahli, bobot pekerjaan yang dikerjakan diperoleh

ketidaksesuaian spesifikasi pekerjaan dan volume pekerjaan 78,57 persen (kekurangan volume

pekerjaan).

3
BAB II

PEMBAHASAN
1. Analisis Sosiologi Terhadap Kasus Korupsi Pembangunan Mesjid Raya Senapelan di
Kota Pekanbaru

Berdasarkan pada kasus Korupsi pembangunan mesjid Raya Senapelan di Pekanbaru

kemudian juga sudah melakukan penetapan tersangka atas kasus Korupsi pembangunan

mesjid yakni Keempat tersangka yakni SY selaku KPA merangkap PPK, AM selaku Direktur

CV Watashiwa Miazawa, AB selaku Direktur PT Riau Multi Cipta Dimensi, dan IC selaku

pihak swasta atau pemilik pekerjaan Keempat tersangka dilakukan penahanan. Penahanan

dilakukan untuk mempercepat proses penyidikan. Kemudian, dikhawatirkan tersangka

melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Keempat orang tersangka diduga melakukan

korupsi pada pembangunan fisik Masjid Raya Senapelan Pekanbaru pada Dinas PUPR-PKPP

Riau tahun 2021.

Kasus korupsi mesjid raya Senapelan di Pekanbaru ini pada tahun 2021 Dinas PUPR-

PKPP melaksanakan pengerjaan fisik Masjid Raya Senapelan Pekanbaru. Dana pembangunan

bersumber dari APBD dengan pagu anggaran sebesar Rp 8.654.181.913. Untuk

pengerjaannya, dilaksanakan oleh CV Watashiwa Miazawa dengan nilai kontrak sebesar Rp

6.321.726.003,54. Pekerjaan dilaksanakan selama 150 hari kalender, yang dimulai sejak 3

Agustus sampai 30 Desember 2021, Kemudian, pada 20 Desember 2021, PPK meminta untuk

mencairkan pembayaran 100 persen, sedangkan bobot pekerjaan baru diselesaikan sekitar 80

persen. Tetapi, dilaporkan bobot atau volume pekerjaan 97 persen. Berdasarkan perhitungan

fisik oleh ahli, bobot pekerjaan yang dikerjakan diperoleh ketidaksesuaian spesifikasi

pekerjaan dan volume pekerjaan 78,57 persen (kekurangan volume pekerjaan) Berdasarkan

perhitungan fisik oleh ahli, bobot pekerjaan yang dikerjakan diperoleh ketidaksesuaian

spesifikasi pekerjaan dan volume pekerjaan 78,57 persen (kekurangan volume pekerjaan).

4
Dijelaskan bahwasanya jika dilihat pada perspektif sosiologi korupsi, tindakan korupsi

dianggap sebagai gejala sosial yang menjadi masalah sosial di dalam masyarakat karena

dengan adanya korupsi kehidupan di masyarakat menjadi tidak damai dan bila tidak

diberantas beberapa aspek kehidupan didalam masyarakat juga terus terpengaruh.

Dampak yang ditimbulkan dari tindak pidana korupsi sendiri yaitu dapat merugikan

keuangan negara, serta hal tersebut juga berimbas pada melemahnya sektor ekonomi negara,

yang menyebabkan tujuan negara tidak tercapai secara optimal. Itu sebabnya korupsi tidak

lagi bisa diberantas dengan cara biasa, tetapi harus dilakukan dengan cara yang luar biasa

dimana harus diberantas sampai ke akar-akarnya dan dituntut dengan cara luar biasa.

Pada kenyataannya Mesjid yang seharusnya menjadi tempat beribadah, mesjid

merupakan sentral kehidupan Islam, karena menjadi tempat bagi kegiatan ibadah

penghambaan kepada Tuhan. Bahkan pembangunan rumah Allah, yakni masjid pun dikorupsi

tentunya perlu hukuman yang berat bila perlu untuk korupsi pembangunan masjid, agar ada

efek jera. Maka dari pada itu perilaku korupsi secara sosiologis adalah kebalikan dari tindakan

hukum sebagai kontrol sosial yang dapat dikatakan sebagai aspek hukum normatif dari

kehidupan masyarakat atau untuk memberikan definisi perilaku yang menyimpang dan

konsekuensinya, termasuk larangan, perintah, penalti dan pengembalian uang.

2. Tinjauan Kasus dikaitkan Dengan Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002

Dalam Ketetapan MPR RI Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggaraan Negara Yang

Bebas dan Bersih dari KKN, Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan

Negara Yang Bebas dan Bersih dari KKN, serta Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999

Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang

Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan

Pasal 43 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana

Korupsi, sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang

5
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, badan khusus yang dibentuk guna memerangi tindak

pidana korupsi selanjutnya disebut sebagai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini merupakan lembaga yang memiliki

kewenangan dalam melakukan koordinasi. dan supervisi, termasuk melakukan penyelidikan,

penyidikan, dan penuntutan. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ini adalah

sebagai tanggapan terhadap sulitnya pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia,

disamping itu pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia belum dapat dilaksanakan

secara optimal. Pembentukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga dengan pertimbangan

bahwa pemberantasan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh lembaga pemerintah belum

berfungsi secara efektif dan efisien

Korupsi telah menjadi kejahatan yang dianggap merusak sendi-sendi kehidupan

bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi

sudah masuk dalam kategori membahayakan. Korupsi di Indonesia merupakan persoalan

bangsa yang bersifat recurrent dan darurat yang telah dihadapi Indonesia dari masa ke masa

dalam rentang waktu relatif lama sehingga pengadilan khusus korupsi diharapkan dapat

membantu menyelesaikan sejumlah kejahatan korupsi masa lalu agar mengembalikan harta

kekayaan yang hilang.

Dalam hal pertanggungjawaban pidana, maka pertanggungjawaban hukum yang harus

dibebankan kepada pelaku pelanggaran hukum pidana berkaitan dengan dasar untuk

menjatuhkan sanksi pidana. Dilihat dari sudut terjadinya suatu tindakan yang terlarang

(diharuskan), seseorang akan dipertanggungjawab-pidanakan atas tindakan-tindakan tersebut

bersifat melawan hukum (dan tidak ada peniadaan sifat melawan hukum atau

rechtvaardigingsgrond atau alasan pembenar) untuk itu. Dilihat dari sudut kemampuan

bertanggungjawab maka hanya seseorang yang “mampu bertanggung jawab” yang dapat

dipertanggungjawab (pidana) kan.

Kasus korupsi mesjid raya Senapelan di Pekanbaru para tersangka dijerat dengan
6
primair, yakni pasal 2 ayat (1) jo pasal 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo

pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Serta subsidair, pasal 3 Jo Pasal 18 Undang-undang Nomor 31

Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31

Tahun 1999 jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Dan secara objektif ancaman di atas 5 tahun

penjara, maka yang para tersangka ditahan dan dititipkan di Rutan Kelas I Pekanbaru selama

20 hari ke depan.

Sesuai dengan tugas dan kewenangan yang diberikan oleh undang-undang kepada

Komisi Pemberantasan Korupsi terlihat bahwa lembaga ini mempunyai kewenangan yang

sangat luas di bandingkan dengan instansi penegak hukum yang lain. Oleh karena itu Komisi

Pemberantasan Korupsi sering disebut sebagai lembaga yang super body. Komisi

Pemberantasan Korupsi menurut Pasal 3 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang

Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan

wewenangnya bersifat independent dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Pada dasarnya Tindak pidana korupsi bertitik tolak pada tingkah laku atau tindakan

yang tidak bermoral, tidak etis, dan/atau melanggar hukum untuk kepentingan pribadi dan/atau

golongan yang merugikan keuangan negara, maka untuk memberantas tindak pidana korupsi

tersebut, di samping mengoptimalkan hukum pidana, juga harus menggunakan sarana hukum

perdata. Proses perdata dilakukan dalam pengembalian kerugian keuangan negara dengan

menggunakan instrumen civil forfeiture. Civil forfeiture menjadi suatu alternatif yang sangat

baik. Bahkan dalam praktiknya, ditemukan bahwa prosedur civil forfeiture dinilai lebih efektif

dalam mengambil kembali aset-aset yang dicuri oleh oknum tindakan korupsi ini agar dapat

mengembalikam aset negara yang telah dikorupsi.

7
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

1. Analisis Sosiologi Terhadap Kasus Korupsi Pembangunan Mesjid Raya


Senapelan di Kota Pekanbaru

Pada kasus Korupsi pembangunan mesjid Raya Senapelan di Pekanbaru kemudian juga

sudah melakukan penetapan tersangka atas kasus Korupsi pembangunan mesjid yakni

Keempat tersangka yakni SY selaku KPA merangkap PPK, AM selaku Direktur CV

Watashiwa Miazawa, AB selaku Direktur PT Riau Multi Cipta Dimensi, dan IC selaku

pihak swasta atau pemilik pekerjaan Keempat tersangka dilakukan penahanan. Keempat

orang tersangka diduga melakukan korupsi pada pembangunan fisik Masjid Raya

Senapelan Pekanbaru. Perspektif sosiologi korupsi, tindakan korupsi dianggap sebagai

gejala sosial yang menjadi masalah sosial di dalam masyarakat karena dengan adanya

korupsi kehidupan di masyarakat menjadi tidak damai dan bila tidak diberantas beberapa

aspek kehidupan didalam masyarakat juga terus terpengaruh.

2. Tinjauan Kasus dikaitkan Dengan Undang Undang Nomor 30 Tahun 2002

Melalui Undang Undang Nomor Komisi Pemberantasan Korupsi menurut Pasal

Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi adalah

lembaga Negara yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independent

dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun. . Korupsi telah menjadi kejahatan yang

dianggap merusak sendi-sendi kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Kerugian negara

yang diakibatkan oleh tindak pidana korupsi sudah masuk dalam kategori

membahayakan. Korupsi di Indonesia merupakan persoalan bangsa yang bersifat

recurrent dan darurat yang telah dihadapi Indonesia dari masa ke masa dalam rentang

waktu relatif lama sehingga pengadilan khusus korupsi diharapkan dapat membantu

menyelesaikan sejumlah kejahatan korupsi masa lalu agar mengembalikan harta kekayaan
8
yang hilang.

B. Saran

1. Diharapkan tentunya Pada kasus Korupsi Pembangunan Mesjid Raya Senapelan di

Kota Pekanbaru dilihat dari Analisis Sosiologi Terhadap Kasus tersebut tentunya

memiliki dampak yang serius dan tentunya menjadi masalah sosial maka dari itu kita

menginginkan agar masalah seperti ini bisa diatasi agar tidak terjadi lagi.

2. Diharapkan agar pelaku korupsi untuk dihukum seberat-beratnya agar mendapatkan

efek jera untuk apa yang telah dilakukannya karena telah merampas harta negara.

9
DAFTAR PUSTAKA

Hartanti Evi, 2007, Tindak Pidana Korupsi, Sinar Grafika, Jakarta.


Drs. Ermansjah Djaja,SH.,MSi, 2008, Memberantas Korupsi Bersama KPK, Sinar
Grafika, Jakarta, hal.183
Wachid Moch Abd, 2017, Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh Kpk,
Universitas Wisnuwardhana, Malang.
Roleh Adri Fernando, 2017, Kedudukan Komisi Pemberantas Korupsi Dalam Sistem
Ketatanegaraan Indonesia,Lex Privatum edisi (Volume V/ Nomor 10).
Badjuru Acmad, 2018, Peran Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Sebagai Lembaga
Anti Korupsi Di Indonesia, (Semarang: Jurnal Bisnis dan Ekonomi (JBE).
Suwarnatha I Nyoman Ngurah, 2012, Penguatan Eksistensi Lembaga Anti Korupsi
Pemberantas Korupsi Dalam UUD 1945, (Jurnal Konstitusi, Vol. II, No 1),
Denpasar.
Pohan sarmadan, 2014, Perbandingan Lembaga Anti Korupsi Di Indonesia Dan
Beberapa Negara Dunia, (Jurnal Justitia Vol. 1 No. 03), Fakultas Hukum,
Universitas Muhammadiyah Tapanuli Selatan.
Moch. Abd. Wachid, Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi Oleh KPK, Nomor 1
periode Nov. 2015 Hal. 104 – 121
Achmad Azharditya Susanto, Felix Fernando, Analisis Sosiologi Korupsi terhadap
Praktik Gratifikasi pada Layanan Publik Pemerintah, Volume 05, Nomor
12,Desember 2022
Harkristuti, Harkrisnowo. 2009. Korupsi, Konspirasi dan Keadilan di Indonesia, dalam
Jurnal Kajian Putusan Pengadilan DICTUM, L e I P 1.
Tri Andrisman. 2009. Analisis Penegakan Hukum Tindak Pidana Korupsi oleh Komisi
Pemberantasan Korupsi, Studi Penegakan dan PengembanganHukum, ISBN:
978-602-7509-50-4.
Selfi Suriyadinata, Ananda Putra Rezeki, Kedudukan dan kewenangan komisi
pemberantasan korupsi Dalam Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Ditinjau
Dari Persepektif Hukum Ketatanegaraan, Volume 05., Nomor 01., Tahun 2023.

10

Anda mungkin juga menyukai