Anda di halaman 1dari 8

Machine Translated by Google

DEKONSTRUKSI MAKNA SIMBOLIS


ARSITEKTUR KERATON SURAKARTA

Titis S. Pitana1, I Gde Semadi Astra2,


I Made Suastika2, IB Gde Yudha Triguna3

1
Program Pascasarjana Universitas Udayana
2
Fakultas Sastra Universitas Udayana
3
Universitas Hindu Indonesia Email :
titis_pitana@yahoo.com

ABSTRAK

Disertasi ini merupakan hasil penelitian yang berjudul ”Dekonstruksi


Makna Simbolik Arsitektur Keraton Surakarta”. Kajian ini dimaksudkan untuk
tidak memahami arsitektur Keraton Surakarta sebagai perwujudan fisik
perencanaan dan perancangan arsitektur. Sebaliknya, dalam penelitian ini
Keraton Surakarta menjadi objek material kajian dekonstruksi makna simbolik
yang berfokus pada tiga masalah utama: (1) penyebab dekonstruksi makna
simbolik terhadap arsitektur Keraton Surakarta; (2) proses dekonstruksi
makna simbolik; dan (3) implikasi dekonstruksi terhadap kehidupan sosial
budaya keraton dan masyarakat Surakarta.

Kata kunci: dekonstruksi, simbol, arsitektur, Keraton Surakarta

PENGANTAR

Ketika jiwa orang Jawa tergerus jauh dalam siklus sejarah, kata
'budaya' tidak bisa berarti 'kepercayaan' seperti yang selama ini dipahami oleh kebanyakan ahli. Untuk simbolik

pemaknaan keraton sebagai upaya menggali makna kebaruan dan kekiniannya


Nampaknya “kepercayaan” bukanlah kompromi untuk memahami budaya masa kini. "Keyakinan" sebagai

puncak pemikiran sejauh ini belum dicapai oleh pikiran rasional dalam tradisi ilmiah,
baik positivistik maupun interpretatif. Karena kata “kepercayaan” dalam kajian ketimuran
mistisisme telah dipahami lebih baik sebagai wacana spiritual daripada ide rasional yang
berlaku untuk praktik sosial-budaya. Dari dimensi inilah dekonstruksi
Makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta diarahkan untuk melampaui
Machine Translated by Google

paradoks kebenaran rasionalisme-realisme dan kritik serta intuisionisme yang akan datang

untuk apa yang disebut 'epistemologi' dalam ilmu, khususnya dalam studi budaya.

Secara fisik, arsitektur Keraton Surakarta dapat dikatakan sebagai sebuah

karya asli budaya Jawa yang memiliki simbol-simbol yang mengandung pesan dan nasihat

untuk generasi selanjutnya. Namun, pesan dan nasihat di balik simbol tersebut tidak ada

makna jika tidak dipahami. Simbol yang ada di Keraton Surakarta adalah

ekspresi yang tidak bisa ditandatangani hanya dengan materialisasi fisik. Karena itu, para

Makna simbolik Keraton Surakarta harus selalu dicari sesuai dengan maknanya

ruang dan waktu penafsir. Dengan kata lain, interpretasi ke dalam simbol-simbol tersebut

Keraton Surakarta tidak akan pernah berhenti atau akan terus mengalami dekonstruksi. Oleh karena itu, untuk menafsirkan

simbol pola desain ruang dan elemen konstruksi di Keraton

Surakarta, perlu dipahami latar belakang sejarah dan prosesnya

pembentukan.

Dekonstruksi makna simbolik yang berkelanjutan di sini harus diambil

sebagai proses yang tidak pernah berhenti sehingga makna baru harus selalu “menjadi” dan

terfragmentasi oleh ruang dan waktu penafsir. Meskipun sejarah telah mencoba membuat a

periodisasi aktivitas manusia sejak ribuan tahun yang lalu, sebagai totalitas pandangan hidup,

Adalah mendasar bahwa dalam sejarah umat manusia tidak pernah ada pemisahan mutlak

antara pikiran, tindakan, ruang, dan waktu sebagai momen. Dengan demikian tidak mudah untuk mengetahuinya

pemisahan mutlak antara pikiran dan hasilnya dalam ruang kehidupan yang tidak terikat

up to time secara kontekstual, seperti halnya manusia yang tidak dapat dipisahkan dari budayanya dan

kehidupan sosial.

Kajian ini dimaksudkan untuk tidak memahami arsitektur Keraton Surakarta sebagai a

perwujudan fisik perencanaan dan desain arsitektur. Sebaliknya, dalam penelitian ini, the

Arsitektur Keraton Surakarta dianggap sebagai objek material kajian tentang

dekonstruksi makna simbolik difokuskan pada tiga hal: (1) penyebab terjadinya

makna dekonstruksi simbolik arsitektur Keraton Surakarta; (2), proses dari

dekonstruksi, dan (3) implikasi dekonstruksi tersebut terhadap kehidupan sosial budaya

dan masyarakat Keraton Surakarta

Secara umum, penelitian ini dimaksudkan untuk mendeskripsikan konstruksi dan dekonstruksi

budaya Jawa yang berakar di Keraton Surakarta dengan kearifan lokal yang tercermin dalam

arsitektur Keraton Surakarta. Pada gilirannya penelitian ini bertujuan untuk mengungkapkan dan menjelaskan

2
Machine Translated by Google

rekonstruksi budaya dalam rangka memperkaya budaya bangsa sebagai bagian dari karya ilmiah

mengembangkan pengetahuan dan ilmu pengetahuan. Secara khusus, penelitian ini memiliki tiga tujuan: (1) untuk mengetahui

dan memahami penyebab dekonstruksi makna simbolik Keraton

Surakarta; (2) mengetahui dan memahami proses-proses dekonstruksi

makna simbolik Keraton Surakarta; dan (3) mengetahui dan memahami

implikasi dekonstruksi makna simbolik Keraton Surakarta

terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat keraton dan masyarakat Surakarta.

Studi ini memiliki dua makna. Pertama, signifikansi teoritis, penelitian ini

diharapkan dapat memberikan kontribusi yang berarti bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan ilmu pengetahuan,

khususnya ilmu arsitektur dan budaya. Selain itu diharapkan dapat menambah dan melengkapi

studi sebelumnya tentang arsitektur Jawa dan arsitektur Nasional. Apalagi untuk

akademisi, penelitian ini dapat digunakan sebagai referensi untuk mengetahui bidang-bidang yang memungkinkan untuk selanjutnya

penelitian yang belum dapat tercakup dalam penelitian ini. Kedua, signifikansi praktis, ini

Studi ini diharapkan dapat membuka wawasan masyarakat dan memperluas pandangan mereka tentang kearifan lokal

terkandung dalam budaya lokal mereka dalam menghadapi dampak budaya global. Selain ini

kajian dapat digunakan oleh pengambil keputusan publik dalam kaitannya dengan kehidupan sosial budaya.

DISKUSI

Penelitian ini merupakan penelitian Kajian Budaya yang menggunakan metode kualitatif, dan

analisis data interpretatif berbasis kualitatif-deskriptif dan hermeneutika. Secara umum a

penelitian dengan analisis kualitatif didefinisikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif dalam

bentuk kata, idiom, dan/atau ungkapan, termasuk tindakan yang dapat diamati—oleh

penekanan pada pengembangan konsep dan pola data; memperhatikan keduanya

latar dan subjek secara holistik sehingga merupakan variabel yang tidak dapat dipisahkan; menjadi humanistik;

memahami makna sebagai dasar tindakan partisipan; memahami

ruang lingkup situasi yang terbatas; dan menjadi seni kriya yang mengutamakan penguasaan dan feeling

keterlibatan (Bungin, 2003:147).

Dalam penelitian ini teori dekonstruksi Derrida diposisikan sebagai grand

teori untuk menjawab tiga masalah studi yang dalam penerapannya didukung oleh tiga

teori lain yang digunakan secara eklektik, yaitu (1) teori kekuasaan dan pengetahuan Foucault,

(2) Semiotika komunikasi visual Eco, dan (3) teori resepsi Jauss.

3
Machine Translated by Google

Dekonstruksi makna simbolik Keraton Surakarta

arsitektur bukanlah peristiwa yang terjadi secara alami; sebaliknya, itu berasal dari

resistensi atau keberatan terhadap logosentrisme yang dibuat atas dasar metafisika keraton.

Artinya terjadi dekonstruksi makna simbolik Keraton Surakarta

arsitektur adalah peristiwa yang disebabkan oleh kematian metafisik Keraton Surakarta. Itu

“kematian” di sini mungkin bisa terjadi karena dibuat mati oleh orang luar

logosentrisme pencipta makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta

dan/atau karena kematiannya sendiri akibat penolakan metafisik anggota keraton

melawan logosentrisme yang telah mereka ciptakan.

Kematian metafisik Keraton Surakarta yang merupakan akumulasi dari

resistensi dan/atau keberatan terhadap metafisika itu sendiri dipicu oleh tiga aspek: (1)

Perubahan status dan peran Keraton Surakarta dari menjadi boneka kekuasaan Perusahaan

pada masa penjajahan sampai dengan status swa-praja (otonomi) dan menjadi

warisan budaya di era republik Indonesia; (2) Keraton Surakarta di

konstelasi global, di mana ada tekanan rasionalitas modern pada

moralitas keraton yang menjadikan keraton sebagai korban kapitalisme dan sarana pariwisata

komodifikasi sehingga keraton tidak lagi memiliki ruang untuk mengartikulasikan keberadaannya sendiri;

dan (3) coup d'etat untuk kekuasaan, dimana muncul dua raja setelah coup d'etat

peristiwa Keraton Surakarta yang menolak metafisika eksistensial keraton


sebagai pusat kosmos dan model kebudayaan Jawa.

Dalam logika Derridian, interpretasi simbol di keraton Surakarta

arsitektur adalah proses yang berkelanjutan. Materialisasi arsitektur adalah sarana

komunikasi visual di mana, untuk Umberto Eco, dalam interpretasi simbol ada

terjadi proses semiosis dan kanon , yaitu proses penyatuan atau penggabungan suatu entitas

(representamen) dengan entitas lain yang disebut 'objek'. Proses ini menghasilkan tidak pernah

mengakhiri rantai relasi. Gerakan tanpa henti inilah yang kemudian diformulasikan oleh Eco dan

Derrida sebagai proses semiosis tak terbatas (Broadbent, 1980:382-383).

Proses ini kemudian digunakan untuk mengetahui dan memahami jejak-jejak dekonstruksi

makna simbolis Keraton Surakarta yang dapat dipahami kejelasannya

melalui proses-proses berikut. Pertama, dekonstruksi makna simbolik

“pola desain dan bangunan” yang terjadi melalui tiga proses, yaitu (1) dari

ajaran hidup terhadap warisan budaya; (2) dari sakral ke profan; dan (3) dari

4
Machine Translated by Google

simbol birokrasi feodalistik hingga institusi keluarga domestik. Kedua ,

dekonstruksi makna simbolik “terwujudnya Keraton Surakarta

arsitektur” yang terjadi melalui empat proses, yaitu (1) bentuk bangunan: dari

simbol keagungan/kemuliaan untuk ketakutan; (2) terkait bangunan: dari simbol

kesadaran ruang untuk komunikasi; (3) bangunan pembatas: dari simbol

tentang pemeliharaan kesakralan sampai batas geografis; dan (4) aksesoris: dari

pesan moral untuk aksesoris konstruksi. Ketiga, dekonstruksi simbolik

makna “Raja dan Keraton Surakarta” yang terjadi melalui tiga proses,

yaitu (1) Raja Jawa: dari simbol dewa-raja menjadi pembawa tugas orang Jawa

budaya; (2) Keraton Surakarta: dari simbol pusat kosmik hingga pariwisata

daya tarik; dan (3) lambang Keraton Surakarta: dari lambang kesatuan kosmik
dengan aksesori yang dikomodifikasi.

Kematian metafisik Keraton Surakarta sebagai faktor penyebab

dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta, dan

dijelaskan oleh diskusi di trek dekonstruksi akhirnya memberikan beberapa

berimplikasi terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat keraton dan Surakarta

masyarakat. Pertama, terhadap struktur sosial keraton dan masyarakat Surakarta yang dapat

diidentifikasi dari dua fakta sosial, yaitu (1) Keraton Surakarta saat ini menjadi bagian dari
administrasi lokal (kelurahan) ; dan (2) komunitas Keraton Surakarta kini menjadi bagian

masyarakat Surakarta. Kedua, terhadap institusi sosial yang dapat diidentifikasi

dari dua fakta sosial, yaitu: (1) Keraton Surakarta telah menjadi milik masyarakat

kedekatan budaya; dan (2) Keraton Surakarta telah menjadi lembaga yang melegitimasi

bangsawan modern. Ketiga, terhadap sistem kekerabatan dan proses pembentukan nilai yang

dapat diidentifikasi melalui dua fakta sosial, yaitu (1) masyarakat Keraton Surakarta

telah menjadi bangsawan ”ajur-ajer” (terbenam dengan rakyat biasa); dan (2) Keraton

Perjuangan Surakarta untuk menjadi model kebudayaan Jawa. Keempat, menuju ruang

pembentukan kesadaran baru yang didirikan oleh Keraton Surakarta dalam menanggapi

berbagai perubahan akibat modernisme global.

5
Machine Translated by Google

TEMUAN

Pertama, ada tiga pihak yang berperan sebagai subjek yang melakukan the

dekonstruksi makna simbolik arsitektur Keraton Surakarta: the

pemerintah, masyarakat Keraton Surakarta, dan masyarakat di luar Keraton Surakarta.

(1) Otoritas, yang secara historis dapat dibedakan menjadi dua, yaitu otoritas kolonial

pada masa penjajahan dan kekuasaan pemerintahan pada masa Republik

zaman Indonesia. Dalam hal ini baik otoritas kolonial maupun otoritas pemerintah

berfungsi sebagai pemegang kunci logosentrisme kapitalistik yang telah membunuh metafisika

Keraton Surakarta dan menggantikannya dengan rasionalitas modernis.

(2) Masyarakat Keraton Surakarta, yaitu anggota internal keraton yang

sengaja atau tidak sengaja telah melakukan isolasi metafisik (kosmologis).

Keraton Surakarta dengan mengubah kesakralan keraton menjadi parodi budaya.

Bahkan, keterbatasan dimensi material yang bersumber dari masalah ekonomi memiliki a

korelasi yang lebih signifikan terhadap dimensi kognitif Keraton Surakarta

masyarakat sehingga ruang-ruang arsitektur keraton menjadi hampa tak terawat

ruang-ruang yang pada akhirnya berujung pada penolakan metafisik keraton itu sendiri.

(3) Orang di luar Keraton Surakarta yang memiliki respon tubuh spontan terhadap

ruang arsitektur berongga Keraton Surakarta. Ruang-ruang yang digunakan untuk

dijadikan sebagai wadah kegiatan (representasi peristiwa) yang dianggap layak untuk dilakukan

“diuntungkan” dengan mengabaikan metafisika Keraton Surakarta melalui kultural

improvisasi.

Kedua, dalam menjalankan fungsinya sebagai lembaga kebudayaan (the duty-carrier of

budaya Jawa), Keraton Surakarta dihadapkan pada tiga kendala utama:

secara ekonomi, psikologis, dan sosial.

(1) Hambatan ekonomi, yaitu keterbatasan kondisi keuangan keraton sekedarnya

mendukung keberadaannya sendiri.

(2) Kendala psikologis, yaitu beban psikologis yang dialami Keraton

Surakarta sebagai dampak tidak adanya otonomi politik.

(3) Rintangan sosial, yaitu takdir sejarah yang menstigmatisasi Keraton

Surakarta sebagai pihak yang dituding sebagai penganut feodalisme yang ditentang

bertentangan dengan prinsip demokrasi yang dianut dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

6
Machine Translated by Google

V. KESIMPULAN

Dekonstruksi makna simbolik Keraton Surakarta

arsitektur adalah sebuah peristiwa yang disebabkan oleh kematian metafisik Keraton Surakarta sebagai sebuah

akumulasi perlawanan dan/atau keberatan terhadap metafisika itu sendiri. Kedua ,

Jejak dekonstruksi makna simbolis Keraton Surakarta adalah

proses dekonstruksi yang terjadi pada tiga dekonstruksi simbolik

makna: (1) dekonstruksi makna simbolik dari “rancangan dan bangunan

pola”; (2) dekonstruksi makna simbolik dari “perwujudan dari

Arsitektur Keraton Surakarta”; (3) dekonstruksi makna simbolik

“Raja dan Keraton Surakarta”. Ketiga, dekonstruksi makna simbolik

Keraton Surakarta memiliki empat implikasi terhadap kehidupan sosial budaya keraton dan

masyarakat Surakarta: (1) terhadap struktur sosial keraton dan masyarakat Surakarta; (2)

terhadap pranata sosial keraton dan masyarakat Surakarta; (3) terhadap hubungan kekerabatan

sistem dan proses pembentukan nilai; dan (4) menuju pembentukan ruang baru

kesadaran yang dibangun oleh Keraton Surakarta dalam menanggapi berbagai perubahan akibat

modernisme global.

REFERENSI

Behrend, ET 1982. Kraton dan Kosmos di Jawa Tradisional. Madison: Universitas


Wiscosin.

Broadbent, G., Bunt, R., dan Jencks, C. 1980. Tanda, Simbol, dan Arsitektur. New York: John
Wiley & Sons Ltd.
Bungin, Burhan. 2006. Analisis Data Penelitian Kualitatif: Pemahaman Filosofis dan Metodologis
ke Arah Penguasaan Model Aplikasi. Jakarta: PT Rajagrafindo Persada.

Faisal, Sanapiah 2005. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada.

Grenz. Stanley J. 2001. A Primer On Postmodernism Pengantar untuk Memahami


Postmodernisme. Terj. Wilson Suwanto. Yogyakarta: Yayasan Andi.
Ibrahim, Julianto 2008. Kraton Surakarta dan Gerakan Anti Swapraja. Yogyakarta:
Malioboro Press.

Larson, Goerge D. 1990. Masa Menjelang Revolusi: Keraton dan Kehidupan Politik di Surakarta,
1912 – 1942 (terjemahan oleh: Lapian, AB). Yogyakarta: Gajah Mada Press.

Marsudi 2001. “Nilai Arsitektur Pada Simbolisme Keraton Kasunanan Surakarta” (tesis).
Semarang: Progam Pascasarjana Universitas Diponegoro.

7
Machine Translated by Google

Santosa, Imam 2006. "Kajian Estetika dan Unsur Pembentuknya pada Keraton Surakarta" (disertasi).
Bandung: Program Pascasarjana Institut Teknologi Bandung.

Setiadi, B., dkk. 2000. Raja di Alam Republik: Karaton Surakarta dan Paku Buwono XII.
Jakarta: Bina Rena Pariwara.

Soeratman, Darsiti 1989. Kehidupan Dunia Keraton Surakarta, 1830 – 1939.


Yogyakarta: Taman Siswa.

Supariadi 1998. “Masa Pemerintahan Surakarta Sunan Paku Buwana IV 1788-1820: Priyayi dan Kiai
Pada Masa Transisi Kolonial” (tesis). Yogyakarta: Program Pascasarjana Universitas Gajah
Mada.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih disampaikan kepada (1) Prof. Dr. I Gde Semadi Astra, selaku Promotor; (2) Prof.
Dr. I Made Suastika, SU, sebagai Kopromotor I; dan (3) Prof. Dr. IB Gde Yudha Triguna, MS, selaku
Ko-promotor II atas kesabaran dan motivasinya mulai dari penyusunan proposal hingga penyelesaian
disertasi. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Rektor Universitas Udayana, Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana beserta jajarannya, dan Ketua Program Doktor Kajian
Budaya Universitas Udayana beserta jajarannya.

Anda mungkin juga menyukai