Anda di halaman 1dari 7

Makalah ini dipublikasikan dalam buku:

Kawruh Nusantara: Bunga Rampai Pemikiran Arsitektur, Persembahan untuk Prof. Josef Prijotomo.
Penerbit: K-Media, Yogyakarta, 2018. ISBN: 978-602-451-232-3.

Membangun Landasan Filosofis


Bidang Studi Arsitektur Nusantara

IWAN SUDRADJAT
[iwansudr@gmail.com]
Kelompok Keahlian Sejarah, Teori dan Kritik Arsitektur
Sekolah Arsitektur, Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan
Institut Teknologi Bandung
Abstrak

Artikel ini merupakan hasil kontemplasi tentang landasan filosofis yang perlu
dibangun untuk menempatkan bidang studi Arsitektur Nusantara di atas prinsip-
prinsip dasar pengembangan pengetahuan yang relevan dan valid, dengan
mengadopsi perspektif pemahaman yang bersifat emic, serta bertujuan
mengkonstruksikan tubuh pengetahuan (body of knowledge) dan teori lokal yang
kontributif terhadap pemahaman tentang khasanah Arsitektur Nusantara yang
bersifat majemuk secara mendalam dan kontekstual.
Kata kunci: Arsitektur Nusantara, bidang studi, landasan filosofis

Arsitektur Nusantara Sebagai Bidang Studi

Dalam artikel ini terminologi “Arsitektur Nusantara” dipahami sebagai bidang studi
arsitektur yang melengkapi atau komplementer terhadap berbagai tradisi dan
perspektif studi arsitektur yang telah berkembang (sejarah seni, sejarah arsitektur,
antropologi, arkeologi, geografi budaya, studi folklore, dan lainnya). Kehadiran
Arsitektur Nusantara memiliki alasan (raison d’être) yang absah, karena secara
spesifik berfokus pada sistem pengetahuan dan tradisi berarsitektur yang berakar
kuat pada konteks geografis dan sosial budaya komunitas lokal (indigenous) di bumi
Nusantara. Bisa dipahami bahwa ranah studi Arsitektur Nusantara akan banyak
beririsan atau tumpang tindih dengan tradisi dan perspektif studi arsitektur yang
telah berkembang, namun Arsitektur Nusantara memiliki visi, misi dan tujuan
pengembangan keilmuan yang spesifik. Sebagai bidang studi yang bersifat otonom,
Arsitektur Nusantara berhasrat untuk mengembangkan pengetahuan dan kerangka
teoritis yang berakar pada realitas empirik dan otentik bumi Nusantara, sebagai
strategi resiliensi dan resistensi terhadap dominasi paradigma dari Barat yang dalam
banyak situasi tidak relevan dan cenderung menyesatkan. Arsitektur Nusantara
diharapkan bisa menjadi sarana pemberdayaan dan pencerahan dalam menuju
pembangunan pengetahuan arsitektur di bumi Nusantara yang otentik dan otonom,
bukan produk derivatif atau deduktif dari paradigma berpikir Barat.
Ditinjau dari keluasan ranah dan kompleksitas isu yang harus dicakupi oleh bidang
studi Arsitektur Nusantara, tidak bisa dipungkiri bahwa Arsitektur Nusantara perlu
dipelajari secara holistik dengan pendekatan multidisiplin (multidisciplinary) atau
lintasdisiplin (interdisciplinary). Ego sektoral disiplin keilmuan arsitektur
1
dikhawatirkan hanya akan menghasilkan serpihan pengetahuan terfragmentasi yang
mungkin dianggap penting oleh peneliti arsitektur, namun tidak mampu memberikan
gambaran pengetahuan arsitektur lokal yang mendalam, utuh dan komprehensif.

Bidang studi Arsitektur Nusantara akan dapat mencapai kedewasaannya hanya bila
mampu mengembangkan landasan filosofis, kerangka teoritis, dan pendekatan
metodologis yang bersifat inklusif terhadap seluruh aspek yang tercakup dalam
lingkup ranah studinya, dan membuka diri bagi keterlibatan partisipan dari berbagai
bidang studi terkait, seperti arsitektur, teknologi bangunan, antropologi, sosiologi,
sejarah, geografi budaya, konservasi bangunan, klimatologi, ekologi, fotogrametri,
dan lainnya.

Landasan Filosofis

Landasan filosofis merupakan prioritas utama yang perlu dibangun dalam


mengembangkan suatu bidang studi, karena akan menentukan bagaimana dalam
bidang studi tersebut masalah akan diformulasikan, pertanyaan akan diturunkan,
dan informasi akan dihimpun untuk menjawab pertanyaan. Landasan filosofis juga
akan menentukan orientasi teoretis dan paradigma yang akan dianut komunitas
akademik dalam membangun pengetahuan dan dalam pemanfaatannya. Landasan
filosofis bidang studi Arsitektur Nusantara perlu diartikulasikan secara jelas, melalui
pemerian tentang landasan ontologis, epistemologis, dan metodologisnya.

Landasan Ontologis
Isu ontologis berkaitan dengan gagasan tentang realitas dan karakteristiknya.
Bidang studi Arsitektur Nusantara berhasrat mengungkapkan realitas empirik
arsitektur lokal di bumi Nusantara yang sangat beragam. Dengan demikian, secara
ontologis bidang studi Arsitektur Nusantara menganut pandangan bahwa realitas
arsitektural yang distudinya bersifat majemuk, karena hadir dan dipahami oleh
komunitas lokal yang konteks lingkungan dan budayanya sangat beragam. Realitas
hanya dapat dipelajari secara holistik dalam konteksnya, karena realitas bersifat
utuh, tidak dapat dipecah menjadi bagian-bagian yang terpisah. Prediksi dan kontrol
atas realitas berada di luar jangkauan peneliti, karena yang bisa dicapai hanyalah
tahap pemahaman tertentu (verstehen).

Landasan Epistemologis
Isu epistemologis berkaitan dengan gagasan tentang bagaimana realitas bisa
diketahui, dan pengetahuan apa yang bisa dihasilkan. Karena berkepentingan
dengan realitas empirik arsitektur lokal di bumi Nusantara yang beragam, maka
secara epistemologis bidang studi Arsitektur Nusantara menganut posisi realist yang
berkeyakinan bahwa pengetahuan hanya bisa dicapai melalui observasi realitas
empirik di lapangan yang akan menghasilkan bukti-bukti untuk memverifikasi realitas
empirik tersebut. Bidang studi Arsitektur Nusantara juga menganut posisi nominalist,
bahwa pengetahuan yang dicapai merupakan hasil interpretasi dari pengalaman
atas realitas arsitektural yang dikonstruksikan oleh komunitas-komunitas lokal dalam
konteks ruang dan waktu tertentu.

2
Pengetahuan apa yang perlu dibangun untuk memahami realitas empirik arsitektur
lokal di bumi Nusantara yang sangat beragam? Minimal terdapat 5 (lima) jenis
pengetahuan yang perlu dibangun oleh bidang studi Arsitektur Nusantara, yaitu:
1. Pengetahuan tentang Obyek Arsitektural
2. Pengetahuan tentang Konteks Sejarah
3. Pengetahuan tentang Konteks Budaya
4. Pengetahuan tentang Konteks Sosial
5. Pengetahuan tentang Sistem Simbol
Kelima jenis pengetahuan tersebut saling terkait satu dengan lain, sehingga dalam
kenyataan empiris tidak terisolasi antara satu dengan lainnya (Gambar 1). Namun
untuk keperluan analisis peneliti dapat mendeskripsikan atau merepresentasikan
masing-masing pengetahuan tersebut secara terpisah, dan pada tahap kemudian
mengintegrasikannya kembali sesuai dengan situasi, kondisi, dan konteksnya.

1. Pengetahuan tentang Obyek Arsitektural


Obyek arsitektural sebagai ujud budaya material perlu didokumentasikan dalam
bentuk deskripsi tekstual yang lengkap, gambar terukur yang akurat, serta
rekaman audio visual yang informatif, agar dapat berfungsi sebagai sumber data
ilmiah yang andal tentang bangunan dan elemen-elemen pembentuknya,
karakteristik spasial dan estetika bangunan, konstruksi serta material bangunan,
sistem pertukangan dan tradisi membangun, tipologi bangunan dan
perkembangannya. Pengetahuan tentang obyek arsitektural dapat digunakan
sebagai bukti tentang capaian kualitas budaya material suatu komunitas lokal
dalam rona ruang dan rentang waktu tertentu.

Gambar 1 Sistem Pengetahuan Bidang Studi Arsitektur Nusantara

3
2. Pengetahuan tentang Konteks Sejarah
Obyek arsitektural tidak dapat dipahami dengan baik tanpa informasi tentang
konteks kesejarahannya. Konteks sejarah diperlukan untuk menjawab beberapa
pertanyaan sebagai berikut:
a. Faktual: apa yang dibangun, kapan dibangun, di mana dibangun, siapa yang
membangun atau pemiliknya?
b. Eksplanatif: bagaimana dan mengapa dibangun, motivasi, gagasan atau
kekuatan apa yang melandasinya?
c. Estetik: seperti apa karakteristik visual, pola perkembangan stilistik, dan
makna yang terkandung di dalamnya?
d. Struktural: apa inti atau hakekat dari kehadirannya dalam komunitas atau
masyarakat terkait.
e. Kontekstual: situasi dan kondisi bagaimana memungkinkan atau mendukung
suatu hal terjadi.
3. Pengetahuan tentang Konteks Budaya
Budaya sebagai perilaku yang dipelajari sepanjang hidup mencerminkan sistem
kepercayaan, nilai-nilai, prinsip mental, dan struktur kognitif dari suatu komunitas
lokal. Klasifikasi, variasi penataan, makna obyek arsitektur dan konfigurasi
spasial sangat dipengaruhi oleh pandangan dunia (world view), kosmologi,
dinamika dan integrasi budaya suatu komunitas lokal (identitas etnik, interaksi
antar etnik, dan proses akulturasi).
4. Pengetahuan tentang Konteks Sosial
Struktur serta dinamika sosial dan ekonomi dalam suatu komunitas lokal sangat
mempengaruhi disposisi dan distribusi obyek arsitektur serta ragam aktivitas
yang diwadahinya. Perbedaan usia, status sosial, dan peran gender
menentukan sistem penamaan, pengelompokan, penggunaan, dan hierarki
ruang dan bangunan.
5. Pengetahuan tentang Sistem Simbol
Elemen dekoratif, estetik, dan simbolik sangat menentukan karakter dan makna
arsitektur suatu komunitas lokal. Pengetahuan tentang sistem simbol diperlukan
untuk memahami bagaimana bangunan dan lingkungan bekerja sebagai bagian
dari sistem komunikasi dan interaksi sosial yang mengekspresikan identitas,
status, dan nilai sosial, serta makna budaya yang dibagi bersama oleh
komunitas lokal.

Landasan Axiologis

Isu axiologis berkaitan dengan gagasan tentang nilai. Pengetahuan tentang realitas
empirik arsitektur lokal di bumi Nusantara tidak bebas nilai, karena selalu bersifat
perspektivis, parsial, dan kontekstual, dikonstruksikan secara spesifik menurut
kerangka pemahaman anggota komunitasnya serta interpretasi dari penelitinya.

Landasan Metodologis

Isu metodologis berkaitan dengan cara-cara untuk mempelajari realitas empirik


arsitektur lokal di bumi Nusantara yang bersifat kompleks, dari sudut pandang
4
komunitas lokal (emic). Realitas empirik merupakan hasil interaksi berbagai faktor
secara serempak menurut pola yang tidak bisa diduga sebelumnya, sehingga untuk
memahami pengalaman dan situasi yang kompleks tersebut diperlukan metodologi
yang bersifat kompleks juga. Realitas empirik tidak bisa dipisahkan dari berbagai
rona fisik, historis, budaya, sosial dan sistem simbolik yang melingkupinya.

Peneliti Arsitektur Nusantara menganalisis data secara induktif (bottom up), untuk
menghasilkan unit-unit informasi dan konsep-konsep yang semakin tinggi
rampatannya. Penerapan berbagai metode kualitatif seperti pengamatan lapangan,
wawancara mendalam, studi dokumen, akan menjadi kekuatan utama studi
Arsitektur Nusantara. Tabel 1 menyajikan rangkuman tentang landasan filosofis
bidang studi Arsitektur Nusantara.

Tabel 1 Landasan Filosofis Bidang Studi Arsitektur Nusantara

Landasan Pertanyaan Penjelasan


Filosofis

Ontologis Bagaimana sifat realitas Realitas bersifat majemuk, karena hadir dan dipahami
dan karakteristiknya? oleh komunitas lokal yang konteks lingkungan dan
budayanya sangat beragam.

Epistemologis Bagaimana realitas bisa Realitas hanya bisa diketahui melalui observasi
diketahui, dan pengetahuan empirik di lapangan. Pengetahuan yang dicapai
apa yang bisa dihasilkan? merupakan hasil interpretasi dari pengalaman atas
realitas yang dikonstruksikan dalam konteks ruang
dan waktu tertentu.

Axiologis Bagaimana pandangan Pengetahuan tidak bebas nilai, karena selalu bersifat
tentang nilai? perspektivis, parsial, dan kontekstual, dikonstruksikan
secara spesifik menurut kerangka pemahaman dan
interpretasi tertentu.

Metodologis Bagaimana cara untuk Untuk memahami pengalaman dan situasi yang
mempelajari realitas? kompleks, diperlukan metodologi yang bersifat
kompleks juga, karena realitas tidak bisa dipisahkan
dari berbagai rona fisik, historis, budaya, sosial dan
sistem simbolik yang melingkupinya.

Analisis Komparatif Kritis

Bidang studi Arsitektur Nusantara harus menjauhkan diri dari pendekatan


essentialist yang hanya berfokus pada karakteristik dan tipologi permanen, serta
secara sempit berkepentingan dengan pencarian kesamaan dan generalisasi.
Bidang studi Arsitektur Nusantara berbasis pada asumsi bahwa setiap komunitas
memiliki tradisi yang unik dan dinamis, sehingga tidak bisa digeneralisasikan dan
dibakukan.
Ranah budaya dan tradisi Arsitektur Nusantara hanya dapat dipahami melalui
konsep variasi, transisi, dan transformasi di dalam kerangka ruang dan waktu
tertentu, dengan menerapkan analisis komparatif yang bersifat kritis. Analisis

5
komparatif diperlukan untuk: 1) memahami suatu fenomena atau obyek yang belum
diketahui dengan cara membandingkan dengan yang sudah diketahui; 2) memahami
variasi, ragam serta perkembangannya menurut konteks ruang dan waktu; 3)
mengidentitikasi keteraturan dalam perilaku serta keunikan karakteristik suatu
budaya.

Analisis komparatif kritis dalam bidang studi Arsitektur Nusantara dapat dilakukan
dengan pendekatan intensive comparative methods (Smith and Peregrine, 2011), di
mana skolar berfokus pada sejumlah kecil kasus yang dianalisis secara mendalam
dengan kontekstualisasi yang meluas, hingga diperoleh temuan yang konklusif dan
tervalidasi dengan baik.

Etika dalam Bidang Studi Arsitektur Nusantara

Bidang studi Arsitektur Nusantara dibentuk oleh keskolaran dan para skolar. Belajar
dari kritik Edward Said tentang Orientalisme (said, 1979), Arsitektur Nusantara
sebagai subyek keskolaran jangan sampai dikarakterisasikan sebagai the exotic
other, di mana skolar berpandangan bahwa pengetahuan hanya bisa dibangun
secara rasional dan intelektual menggunakan daya penalaran yang dimilikinya,
karena komunitas lokal tidak bisa bicara atas nama dirinya dan memerlukan
panduan keahlian para skolar untuk membangun masa depan mereka.
Skolar di bidang studi Arsitektur Nusantara harus menjauhkan diri dari sikap-sikap
yang patronizing dan arrogant. Etika ideal bagi bidang studi Arsitektur Nusantara
adalah membuka dan mengintegrasikan partisipasi skolar dan komunitas lokal
dalam membangun pengetahuan tentang khasanah arsitektur yang otentik di bumi
Nusantara. Masyarakat lokal perlu dilibatkan secara aktif, agar secara interaktif turut
berpartisipasi dalam proses penghimpunan dan analisis data, pengembangan pola,
kategori dan tema, serta dalam proses validasinya. Dengan demikian peneliti
Arsitektur Nusantara tidak bersifat intrusif terhadap dunia kehidupan komunitas lokal,
tetapi justru turut memberdayakan dan menjaga keberlanjutannya.

Teori Arsitektur Nusantara

Teori Arsitektur Nusantara dapat didefinisikan sebagai seperangkat konsep, definisi


dan proposisi yang menyajikan pandangan sistematik tentang sistem pengetahuan
dan tradisi berarsitektur yang berakar kuat pada konteks geografis dan sosial
budaya komunitas lokal (indigenous) di bumi Nusantara.

Untuk membangun Teori Arsitektur Nusantara, terdapat 4 prakondisi yang harus


dipenuhi oleh para skolar, yaitu:
1. Adanya pemahaman serta kesadaran tentang perlunya membangun teori
lokal untuk menjelaskan fenomena spesifik dan kontekstual yang tidak
terjangkau oleh teori-teori arus utama yang umumnya berakar kuat pada
budaya Barat;
2. Dikuasainya paradigma, prosedur dan metode penelitian kualitatif yang
relevan untuk bidang studi Arsitektur Nusantara beserta berbagai versi
pengembangannya;
3. Dikuasainya peta ranah substantif dari bidang studi Arsitektur Nusantara;

6
4. Adanya motivasi yang kuat untuk memperkaya domain keilmuan dengan teori
lokal yang berkandungan pengetahuan mendalam, spesifik dan kontekstual.

Teori Arsitektur Nusantara dapat berupa teori substantif dan teori formal. Teori
substantif berisi interpretasi atau penjelasan teoretis tentang area permasalahan
atau isu tertentu dalam lingkup terbatas. Teori substantif biasanya digunakan untuk
menjelaskan dan mengatasi masalah atau isu yang dijumpai dalam suatu rona
spesifik. Sementara itu teori formal bersifat lebih abstrak, berkaitan dengan isu
generik yang dapat diterapkan dalam lingkup yang lebih luas. Pada tahap awal teori
Arsitektur Nusantara yang dikembangkan kebanyakan akan merupakan teori
substantif, karena sangat terfokus pada permasalahan atau isu tertentu yang ada
pada area yang spesifik. Kelak setelah dihasilkan sejumlah teori substantif, dapat
dilakukan pengkombinasian dan konseptualisasi untuk menghasilkan teori formal
yang memiliki jangkauan keberlakuan lebih luas.

Teori Arsitektur Nusantara yang baik harus memenuhi prinsip parsimony (simpler is
better), dapat diungkapkan secara sederhana, ringkas, tepat, tetapi mampu
menjelaskan fenomena secara memadai. Teori Arsitektur Nusantara juga harus
komprehensif, tetapi tidak dicirikan oleh kompleksitas yang berlebihan. Perlu diingat
bahwa teori senantiasa bersifat provisional, tidak ada satu teoripun yang mampu
menjelaskan suatu fenomena secara sempurna sepanjang masa. Teori menawarkan
penjelasan atau jawaban yang bersifat parsial atau tentatif, dan selalu memiliki
ketidakpastian dan celah ketidaksempurnaan, sehingga dari waktu ke waktu teori
harus selalu diperbaharui.

Referensi

Asquith, Lindsay and Velingga, Marcel (2006), Vernacular Architecture in the Twenty-
First Century: Theory, education and practice, Taylor & Francis.
Creswell, John W. (2013), Quantitative Inquiry & Research Design: Choosing Among
Five Approaches, 3rd Edition, Sage Publication Inc.
Juan A. Garcia-Esparza (2012), “Epistemological paradigms in the perception and
assessment of vernacular architecture”, International Journal of Heritage Studies,
pp. 1-20.
Paul Oliver (2000), “Ethics and Vernacular”, in Paul Oliver (2006), Built to Meet
Needs, Elsevier Ltd.
Prem Chandra (2010), “Notes on the Ethics of Studying Vernacular Architecture”, in
th
5 International Seminar on Vernacular Settlements (ISVS), Colombo, Sri Lanka:
University of Moratuwa.
Said, Edward (1979), Orientalism, New York: Vintage Books.
Smith, Michael E and Peregrine, Peter (2011), “Approaches to Comparative Analysis
in Archaeology” in Michael E. Smith (ed), The Comparative Archaeology of
Complex Societies, Cambridge University Press, pp. 4-20.

Anda mungkin juga menyukai