Anda di halaman 1dari 17

KELOMPOK 4

MATA KULIAH EKONOMI POLITIK

“KETERKAITAN MASALAH EKONOMI POLITIK DAN DAMPAKNYA TERHADAP


KESEJAHTRAAN MASYARAKAT”

Dosen Pengampuh :Regina, SE.,M,Si.

Disusun Oleh:

ALFI WIDIYANTI (210906502060)


AINIL QALBY AMRAN (210906501031)
TANIA TRI WAHYUNI TAHA (210906502026)
NABILAH HAFIZHAH (210906500018)
DWIFANI SYUHRA RITONGA (210906502070)
ERWINSYAH (210906501021)

PROGRAM STUDI EKONOMI PEMBANGUNAN


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan
karunia-Nya sehingga Makalah Ekonomi politik ini dapat diselesaikan dengan baik.
Tidak lupa shalawat dan salam semoga terlimpahkan kepada Rasulullah Muhammad
SAW, keluarganya, sahabatnya, dan kepada kita selaku umatnya.
Kami ucapkan terima kasih kepada Ibu Regina, SE.,M,Si. ,selaku dosen
pembimbing pada mata kuliah Ekonomi Politik ,yang telah memberikan arahan serta
bimbingannya selama ini sehingga penyusunan makalah dapat dibuat dengan sebaik-
baiknya.
Penyusunan makalah ini bertujuan untuk memenuhi nilai tugas dalam mata kuliah
ekonomi politik berkelanjutan. Selain itu, pembuatan makalah ini bertujuan agar
menambah pengetahuan dan wawasan baik bagi penulis maupun pembaca .
Kami menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan Makalah ekonomi
politik ini sehingga kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
penyempurnaan makalah ini.Kami mohon maaf jika di dalam makalah ini terdapat
banyak kesalahan dan kekurangan, karena kesempurnaan hanya milik Yang Maha
Kuasa yaitu Allah SWT, dan kekurangan pasti milik kita sebagai manusia. Semoga
Makalah Ekonomi politik ini dapat bermanfaat bagi kita semuanya.

Makasaar, 12 november 2023

PENULIS
DAFTAR ISI
BAB 1

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang

B.RUMUSAN MASALAH

Dari rumusan masalah tersebut, penulis merumuskan masalah seperti berikut :


1. Apa hubungan ilmu politik dan Ilmu ekonomi ?
2. Bagaimana sistem kekuasaan ?
3. Bagaimana implementasi kebijakan pemerintah?
4. Bagaimanaa perkembangan konsep wolfore state ?
5. Apa faktor pendorong welfare state ?
6. Bagaimana welfare state sebagai prinsip?
7. Bagaimana sejarah skeptisme ?
8. Apa kasus ekonomi politik dan dampaknya terhadap kesejahtraan masyarakat?
C.TUJUAN
1. Untuk mendefinisikan hubungan ilmu politik dan Ilmu ekonomi
2. Untuk mengidentifikasi bagaimana sistem kekuasaan negara
3. Untuk mengidentifikasi Bagaimana implementasi kebijakan pemerintah
4. Untuk mengidentifikasi faktor pendorong welfare state
5. Untuk mengidenntifikasi Bagaimana welfare state sebagai prinsip
6. Untuk mengidentifikasi Bagaimana welfare state sebagai prinsip
7. Untuk mengetahui kasus ekonomi politik dan dampaknya terhadap kesejahtraan
masyarakat
BAB II

PEMBAHASAN

IMPLEMENTASI KEBIJAKAN PEMERINTAH

Hakekat implementasi merupakan rangkaian kegiatan yang terencana dan bertahap


yang dilakukan oleh pelaksana dengan didasarkan pada kebijakan yang telah
ditetapkan oleh otoritas berwenang. Kajian implementasi merupakan proses merubah
gagasan atau program mengenai tindakan dan bagaimana kemungkinan cara
menjalankan perubahan tersebut. (Sunarti Neti, 2016) .

Budi Winarno menyatakan bahwa Implementasi kebijakan merupakan alat


administrasi hukum dimana berbagai aktor, organisasi, prosedur dan teknik yang
bekerjasama untuk menjalankan kebijakan guna meraih dampak (Sunarti Neti, 2016)
atau tujuan yang diinginkan (Haryati Roebyantho, 2014 ). Menurut Daniel Mazmanian
dan Paul Sabatier mendefinisikan Implementasi Kebijakan sebagai: ”Pelaksanaan
keputusan kebijaksanaan dasar”, biasanya dalam bentuk undang-undang, namun dapat
pula berbentuk perintah-perintah atau keputusan-keputusan eksekutif yang penting atau
keputusan badan peradilan. Lazimnya, keputusan tersebut mengidentifikasi masalah
yang ingin diatasi, menyebutkan secara tegas tujuan atau sasaran yang ingin dicapai,
dan berbagai cara untuk menstrukturkan atau mengatur proses implementasinya”
(Leo Agustino dalam Haryati Roebyantho, Nu

Pendekatan kontijensi atau situasional dalam implementasi kebijakan yang


mengemukakan bahwa implementasi kebijakan banyak didukung oleh adaptabilitas
implementasi kebijakan tersebut. Mengimplementasikan suatu kebijakan publik dapat
dilakukan dua pilihan, yaitu langsung mengimple- mentasikan dalam bentuk program-
program dan diimplementasikan melalui formulasi kebijakan derivat atau turunan dari
suatu kebijakan publik. (Sirajuddin, 2014)
Menurut teori implementasi kebijakan Edward III (Winamo dalam Sunarti Neti, 2016 ),
faktor- faktor yang mendukung implementasi kebijakan, yaitu:

(a) Ukuran-ukuran dan tujuan kebijakan


Dalam implementasi, tujuan-tujuan dan sarana-sarana suatu program yang akan
dilaksanakan haris diidentifikasi dan diukur karena implementasi tidak dapat
berhasil atau mengalami kegagalan bila tujuan- tujuan itu tidak dipertimbangkan
(b) Sumber-sumber kebijakan
Sumber-sumber yang dimaksud adalah mencakup dana atau perangsang
(incentive) lain yang mendorong dan memperlancar implementasi yang efektif.
(c) Komunikasi abtar organisasi dan kegiatan- kegiatan pelaksanaan.
Implementasi dapat berjalan efektif bila disertai dengan ketepatan komunikasi
antar para pelaksana.
(d) Karakteristik badan-badan pelaksana
Karakteristik badan-badan pelaksana erat kaitannya dengan struktur birokrasi.
Struktur birokrasi yang baik akan mempengaruhi keberhasilan implementasi
kebijakan. suatu
(e) Kondisi ekonomi ekonomi, social dan politik dapat mempengaruhi badan-badan
pelaksana dalam pencapaian implementasi kebijakan.
(f) Kecenderungan para pelaksana (implementers)
(g) Intensitas kecenderungan-kecenderungan dari para pelaksana kebijakan akan
mempengaruhi keberhasilan kebijakan.

Kebijakan pemerintah adalah merupakan suatu proses yang dilakukan untuk


keperluan tertentu untuk memecahkan suatu permasalahan yang ada hubungannya
dengan kepentingan umum. Kebijakan mengandung suatu unsur tindakan untuk
mencapai tujuan dan umumnya tujuan tersebut ingin dicapai oleh seseorang, kelompok
ataupun pemerintah. (Sunarti Neti, 2016)

Anderson mengemukakan pendapatnya tentang kebijakan pemerintah sebab kata


kebijakan sering dikaitkan dengan perintah sehingga menimbulkan pengertian baru
yaitu kebijakan pemerintah dikutip oleh (Islamy dalam Sunarti Neti, 2016)
mengemukakan pendapatnya tentang kebijakan pemerintah, sebagai berikut:
1. Bahwa kebijakan pemerintah itu selalu mempunyai tujuan tertentu atau tindakan
yang beorientasi pada tujuan;
2. Bahwa kebijakan itu berisi tindakan- tindaoan atau pola-pola tindakan pejabat-
pejabat pemerintah;
3. Bahwa kebijakan itu adalah apa yang benar- benar dilakukan pemerintah;
4. Bahwa kebijakan pemerintah itu bisa bersifat positif dalam arti merupakan
beberapa bentuk tindakan pemerintah mengenai suatu masalah tertentu atau
bersifat negatif, dalam arti merupakan keputusan pejabat pemerintah untuk tidak
melakukan sesuatu.
5. Bahwa kebijakan pemerintah setidak- tidaknya dalam arti positif didasarkan atau
selalu dilandaskan pada peraturan perundang- undangan dan bersifat memaksa.

Pihak-pihak yang memiliki wewenang kekuasaan dapat menuntut dan


mendapatkan kepatuhan yang sempurna.

Menurut Sunggono fungsi utama dari Negara adalah mewujudkan, menjalankan


dan melaksanakan kebijaksanaan bagi seluruh masyarakat. Hal ini berkaitan dengan
tujuan-tujuan penting kebijakan pemerintah pada umumnya (Sunarti Neti, 2016) , yaitu :

a. Memelihara ketertiban umum (Negara sebagai stabilisator);


b. Memajukan perkembangan dari masyarakat dalam berbagai hal (Negara
sebagai stimulator);
c. Memadukan berbagai aktifitas (Negara sebagai koordinator);
d. Menunjuk dan membagi benda material dan material negara sebagai distributor)

Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa suatu kebijakan haruslah


memberikan manfaat bagi seluruh anggota masyarakat bukan sekedar hanya untuk
kepentingan pemerintah belaka akan tetapi suatu kebijakan haruslah sesuai dengan
keinginan dan harapan masyarakat sehingga akan menerima, taat dan patuh serta
dengan kesadaran diri siap untuk melaksanakan kebijakan yang dibuat pemerintah
tersebut, sehingga apabila keinginan pemerintah sebagai penguasa tidak sesuai
dengan keinginan dan harapan masyarakat sebagai penerima dampak dari kebijakan
tersebut naka dalam pelaksanaannya kebijakan tersebut akan mengalarni hambatan
dan kebijakan tersebut tidak akan pernah berjalan secara efektif.
Perkembangan Konsep Walfare State
Pemikiran tentang Negara Kesejahteraan telah ada sejak sekitar abad ke-18.
Menurut Bessant, Watts, Dalton, dan Smith (2006), konsep dasar negara kesejahteraan
muncul pada abad ke-18 ketika Jeremy Bentham (1748-1832) mengusulkan ide bahwa
pemerintah bertanggung jawab untuk menjamin kebahagiaan terbesar (atau
kesejahteraan) dari sebanyak mungkin warga negaranya. Bentham menggunakan
istilah 'utilitas' untuk menjelaskan konsep kebahagiaan atau kesejahteraan.
Berdasarkan prinsip utilitarianisme yang dikembangkannya, Bentham menyatakan
bahwa segala sesuatu yang dapat meningkatkan kebahagiaan dianggap baik,
sementara yang menyebabkan penderitaan dianggap buruk. Ia berpendapat bahwa
tindakan pemerintah harus selalu diarahkan untuk meningkatkan kebahagiaan
sebanyak mungkin orang. Kontribusi Bentham dalam hal reformasi hukum, peran
konstitusi, dan penelitian sosial untuk pengembangan kebijakan sosial membuatnya
diakui sebagai "bapak negara kesejahteraan" (father of welfare states).
Pada tahun 1850-an, Otto Von Bismarck menjadi pelopor konsep Negara
Kesejahteraan di Prusia (Triwibowo & Bahagio, 2006:xvi). Di masa lalu, di Eropa dan
Amerika, gagasan tentang Negara Kesejahteraan pernah bertentangan dengan konsep
negara liberal kapitalistik. Namun, perlawanan antara kedua konsep besar tersebut
justru menghasilkan negara-negara yang makmur, terutama di Eropa Barat dan
Amerika Utara, di mana penduduknya menikmati kehidupan sejahtera. Warga negara di
negara-negara tersebut dapat menikmati layanan kesehatan dan jaminan hari tua
melalui program asuransi kesehatan dan pensiun, pendidikan gratis, dan sebagainya.
Sebagai contoh, di Jerman, warga negara dapat menikmati jaminan sekolah gratis
hingga tingkat Universitas, mendapatkan jaminan penghidupan yang layak dari segi
pendapatan dan standar hidup, layanan transportasi yang murah dan efisien, serta
dukungan dari negara bagi yang menganggur. Semua layanan negara ini sebenarnya
dibiayai oleh masyarakatnya sendiri melalui sistem asuransi dan perpajakan, dengan
fokus utama pada peningkatan kualitas sumber daya manusia dari warga negara
(human investment).
Tokoh lain yang ikut mempopulerkan sistem negara kesejahteraan adalah Sir
William Beveridge (1942) dan T.H. Marshall (1963). Di Inggris, dalam laporannya
tentang Social Insurance and Allied Services, yang dikenal sebagai Beveridge Report,
Beveridge menyebutkan want, squalor, ignorance, disease, dan idleness sebagai 'the
five giant evils' yang harus diatasi (Spicker, 1995; Bessant, et al, 2006). Dalam laporan
tersebut, Beveridge mengusulkan sistem asuransi sosial komprehensif yang
dianggapnya mampu melindungi individu dari awal kehidupan hingga akhir (from cradle
to grave). Pengaruh laporan Beveridge tidak hanya terbatas di Inggris, melainkan juga
menyebar ke negara-negara lain di Eropa, termasuk Amerika Serikat, dan kemudian
menjadi dasar pengembangan skema jaminan sosial di negara-negara tersebut.
Sayangnya, sistem ini memiliki kelemahan. Karena didasarkan pada prinsip dan skema
asuransi, sistem ini tidak dapat mencakup risiko-risiko yang dihadapi manusia, terutama
jika mereka tidak mampu membayar kontribusi (premi). Asuransi sosial tidak berhasil
merespons kebutuhan kelompok-kelompok khusus, seperti orang cacat, orang tua
tunggal, dan mereka yang tidak dapat bekerja dan mendapatkan pendapatan dalam
jangka waktu lama. Manfaat dan pertanggungan asuransi sosial juga seringkali tidak
memadai, karena jumlahnya kecil dan hanya mencakup kebutuhan dasar secara
minimal.
Dalam konteks kapitalisme, Marshall berargumen bahwa warga negara memiliki
tanggung jawab kolektif untuk ikut memperjuangkan kesejahteraan sesama melalui
lembaga yang disebut negara (Harris, 1999; dalam Suharto, 2006). Karena pasar tidak
sempurna dalam menyediakan layanan sosial yang seharusnya menjadi hak warga
negara, terjadi ketidakadilan. Untuk menjamin stabilitas sosial dan mengurangi dampak
negatif kapitalisme, Marshall berpendapat bahwa negara harus mengurangi
ketidakadilan pasar. Baginya, sistem negara kesejahteraan dianggap sebagai bentuk
kompensasi yang harus dibayar oleh kelas penguasa dan pekerja guna menciptakan
stabilitas sosial serta merawat masyarakat kapitalis. Layanan sosial yang diberikan
pada dasarnya menjadi representasi material dari hak-hak warga negara untuk
menanggapi konsekuensi-konsekuensi kapitalisme.
Secara umum, negara kesejahteraan merujuk pada suatu model pembangunan
ideal yang menitikberatkan pada peningkatan kesejahteraan melalui pemberian peran
yang lebih signifikan kepada negara dalam memberikan pelayanan sosial secara
universal dan komprehensif kepada seluruh warganya. Di Inggris, konsep welfare state
dianggap sebagai alternatif terhadap the Poor Law yang seringkali menimbulkan stigma
karena hanya ditujukan untuk memberikan bantuan kepada orang-orang miskin
(Suharto, 1997; Spicker, 2002). Berbeda dengan sistem dalam the Poor Law, negara
kesejahteraan berfokus pada penyelenggaraan sistem perlindungan sosial yang
menjadi hak setiap warga negara (right of citizenship) dan kewajiban negara (state
obligation). Tujuan negara kesejahteraan adalah menyediakan layanan sosial bagi
seluruh penduduk, tanpa memandang status sosial atau ekonomi mereka, baik orang
tua maupun anak-anak, pria maupun wanita, kaya maupun miskin. Negara
kesejahteraan berusaha untuk mengintegrasikan sumber daya dan menyusun jaringan
pelayanan yang dapat memelihara dan meningkatkan kesejahteraan (well-being) warga
negara secara adil dan berkelanjutan.
 Teori Welfare Sfafe Dalam Perspektif Barat
1. Oleh Ramesh Mishra, Lawrence M fredmen dan M Boekman, walfare
state merupakan tanggung jawab dan kewajiban Negara yang meliputi :
(a). Pemenuhan kebutuhan dasar hidup (basic needs); (b). Pelayanan
sosial; dan (c). Intervensi ekonomi pasar.
2. Sedangkan menurut Ross Cranston Weldare State adalah lebih menitik
beratkan sebgai tanggung jawab Negara dalam kesejahteraan warga
negaranya dalam pemenuhan basic needs dan pelayanan sosial.
3. Witilhelm Aubert member pengertian Welfare State hanyala sebagai
kwajiban Negara dalam memenuhi hak warga Negara terkait dengan
pemenuhan basic needs.Kewajiban Negara baru muncul apabila terjadi
klaim dari warga Negara yang menuntuk hak tersebut.
 Model-model Negara welfare State
Di dunia ini, ada beberapa model welfare state sesuai dengan idiologi disetiap
negara itu, yaitu:
1. Model Institusional (Universal)
Model istitusional ini juga disebut dengan model Universal maupun The
Scandinavia Welfare State (dipengaruhi oleh faham liberal). Model ini
memandang bahwa kesejahteraan adalah merupakan hak seluruh warga
negara, sehingga pelayanan dilakukan secara tetap serta tidak lagi
memandang kedudukan sosial dan ekonomi masyarakat. Model ini
kemudian diterapkan di negara-negara seperti Swedia, Finlandia,
Norwegia dan Denmark.
2. Model Koorporasi (Bismarck)
Model ini seperti model Institution/universal, dan sistem jaminan sosialnya
juga dilakukan secara melembaga dan luas, tetapi yang cukup memberi
perbedaan adalah kontribusi terhadap berbagai jaminan sosial berasal
dari tiga pihak, yaitu pemerintah, dunia usaha dan buruh (pekerja).
Dimana pelayanan jaminan sosial diselenggarakan oleh negara dan
diberikan kepada mereka yang bekerja atau yang mampu memberikan
konstribusi melalui skema asuransi. Konsep ini dianut oleh negara-negara
Jerman dan Austria.
3. Model Residual
Model seperti ini, menerapkan pelayanan yang selektif dan dipengaruhi
paham konservatif dan didorong oleh idielogi Neo-liberal dan pasar bebas.
Negara memberi pelayanan sosial, khususnya kebutuhan dasar, dan ini
diberikan terutama kepada kelompok-kelompok yang kurang beruntung
(disadvantaged groups), yaitu kelompok orang miskin, penganggur,
penyandang cacat, dan orang lanjut usia yang tidak kaya. Model ini model
institusional/universal yang memberikan pelayanan sosial berdasar hak
warga negara dan memiliki cakupan yang luas. Tetapi seperti di jalankan
di Inggris, jumlah tanggungan dan pelayanan relatif kecil dan berjangka
pendek dari pada model institusion/universal. Perlindungan sosial dan
pelayanan secara temporer dan diberikan secara ketat dan efisien, serta
dalam waktu singkat. Jika sudah dirasa cukup akan segera diberhentikan.
Model ini dianut oleh negara-negara Aglo-Saxson meliputi Inggris,
Amerika Serikat, Australia dan New Seland.
4. Model Minimal.
Model minimal ini ditandai dengan pengeluaran pemerintah untuk
pembangunan sosial yang sangat kecil. Progam jaminan sosial dan
kesejahteraan diberikan secara sporadis, parsial dan minimal dan
umumnya diberikan kepada pegawai negeri, anggota ABRI dan pegawai
swasta yang mampu membayar premi. Model ini pada umumnya
memberikan anggaran sangat kecil dalam belanja sosial, karena negara
tersebut masih tergolong negara miskin atau bahkan tidak memiliki
political wiil terhadap pembangunan dibidang sosial, sehingga pelayanan
sosial diberikan secara sporadis, temporal dan minimal. Model ini dianut
oleh negara-negara latin seperti; Brazil, Italia, Spanyol, Chilie, sedangkan
di kawasan Asia seperti negara Srilanka, Filipina, Korea Selatan dan
Indonesia.

Faktor-faktor Pendorong Munculnya Walfare State


Pertama, faktor ekonomi. Kehidupan ekonomi setelah revolusi industri secara
nyata mendorong munculnya konsep walfare state. Dampak revolusi industri mengubah
pola ekonomi masyarakat dari pertanian dan perdagangan yang terbatas menjadi
ekonomi industri, yang mengakibatkan ketergantungan pada upah dari majikan.
Pemerintah kemudian menjadi satu-satunya sumber perlindungan bagi para pekerja,
bertujuan untuk memastikan kewajiban mereka terpenuhi dan menyusun program-
program yang diperlukan agar para pekerja dapat hidup layak dalam berbagai situasi.
Tindakan yang sangat penting di antaranya adalah menyusun program asuransi,
memaksa pekerja untuk menabung sebagai bentuk persiapan menghadapi tantangan
yang mungkin timbul di masa depan.
Kedua, faktor politik juga berperan penting. Pada abad kedua puluh, perluasan
hak pilih ke segmen masyarakat (sebelumnya sangat terbatas) menciptakan kesadaran
baru di kalangan pemilih bahwa hak pilih mereka merupakan alat yang efektif untuk
memengaruhi kebijakan yang akan diambil oleh para politisi. Pemilih semakin
menyadari bahwa hak pilih mereka dapat menjadi alat tekan yang kuat untuk memaksa
politisi merancang program-program khusus jika ingin terpilih. Awalnya, hak pilih sangat
terbatas, terbatas pada penduduk laki-laki kulit putih dalam demokrasi kuno atau pra-
abad dua puluh, dan hak politik hanya dimiliki oleh mereka yang kaya. Namun, dengan
berkembangnya hak pilih universal, tidak hanya kelompok kaya yang relatif tidak
membutuhkan perlindungan ekonomi dari negara, tetapi juga kelompok miskin yang
ideologis membutuhkan perlindungan negara untuk memenuhi kebutuhan ekonomi,
terutama dalam kewajiban negara memastikan pemilik modal memenuhi kewajiban
mereka terhadap pekerja dan kebutuhan dasar lainnya. Pada tahap perkembangannya,
hubungan otomatis antara pemilih dan rancangan program telah menghapus konsep
politik partai, membuat welfare state menjadi isu bi-partisan seiring waktu, terutama di
Inggris dan Amerika Serikat.
Ketiga, faktor psikologis. Secara umum, manusia memiliki dorongan untuk
mencapai kehidupan yang sejahtera. Berkurangnya pengaruh agama di negara-negara
Barat seiring dengan masa pencerahan dan munculnya revolusi industri telah
mengubah orientasi hidup mayoritas penduduk. Kesejahteraan bukan lagi dianggap
sebagai keinginan yang tidak bermoral, bahkan telah diungkapkan dengan jelas dalam
konteks kehidupan politik, sesuatu yang sebelumnya tidak terpikirkan karena dianggap
sebagai nilai profan. Di negara-negara berkembang, hasrat untuk merdeka dari
penjajahan tidak hanya bersifat politis, melainkan juga didorong oleh keinginan untuk
memiliki kehidupan yang lebih baik melalui pengaturan sendiri. Oleh karena itu, segala
bentuk demokrasi cenderung mengadopsi ide welfare state sebagai bagian integral dari
ideologi politik, bukan hanya sebagai tuntutan ekonomis semata.
CONTOH KASUS

“Krisis Global 2008”

Pada tahun 2008, terjadi krisis keuangan global yang dipicu oleh masalah dalam
sektor perbankan dan pasar properti. Kebijakan ekonomi dan regulasi yang kurang
ketat di negara Amerika Serikat, berperan dalam mendorong perilaku risiko dalam
industri keuangan. Krisis ini memicu resesi ekonomi yang berdampak pada hilangnya
pekerjaan, penurunan pendapatan, dan kesulitan ekonomi bagi banyak masyarakat di
seluruh dunia

Pada tahun 2007-2009, Amerika Serikat (AS) mengalami krisis keuangan hebat
yang akhirnya menjadi resesi global karena menghasilkan efek domino pada negara-
negara lain. Kejadian ini merupakan kemerosotan ekonomi terlama dan terparah sejak
masa Great Depression tahun 1929. Berawal dari krisis subprime mortgage di mana
banyak bank yang melakukan investasi di sana dalam bentuk instrumen derivatif.
Namun gelembung mulai pecah ketika debitur gagal bayar akibat kenaikan suku bunga
The Fed. Berikut adalah ulasan selengkapnya mengenai krisis tahun 2008.

Krisis tahun 2008 dilatarbelakangi oleh upaya The Fed selaku bank sentral AS
dalam memberlakukan kebijakan moneter seperti tingkat suku bunga dan standar
pinjaman yang rendah. Kebijakan tersebut bermaksud untuk mengatasi dampak dari
fenomena dotcom bubble, serangkaian skandal akuntansi perusahaan, hingga
serangan teroris 9/11. Alhasil suku bunga The Fed yang semula 6,1% pada Mei 2000
turun menjadi 1% pada Juni 2003.

Mengapa suku bunga dibuat lebih rendah? Karena The Fed ingin meningkatkan
kembali kondisi ekonomi dengan cara memperbanyak uang yang beredar untuk bisnis
dan konsumen dengan harga murah. Dampaknya, banyak orang yang memanfaatkan
momentum itu untuk membeli rumah dengan tingkat bunga KPR yang rendah. Tidak
terkecuali debitur yang sebenarnya tidak layak menerima pinjaman KPR (subprime
mortgage). Tingginya permintaan akhirnya meningkatkan harga perumahan di
sana.Melihal hal itu, banyak bank dan perusahaan pembiayaan KPR yang kemudian
meramu KPR yang sudah disalurkan itu.
Adapun kebijakan dari Securities and Exchange Commision (SEC) membuat risiko
makin besar. Pada Oktober 2004 diberlakukan pelonggaran syarat modal bersih untuk
lima bank investasi antara lain Goldman Sachs, Merrill Lynch, Lehman Brothers, Bear
Stearns, dan Morgan Stanley. Ini memungkinkan kelima bank untuk meningkatkan
investasi awal hingga 30 sampai 40 kali lipat.

Detik-detik menuju krisis mulai terlihat ketika suku bunga perlahan naik dan
kepemilikan rumah mencapai titik jenuh. Pada Juni 2004 suku bunga The Fed
mencapai 5,25%. Angka ini terus berlaku hingga Agustus 2007. Kepemilikan rumah di
AS juga mencapai puncaknya sebesar 69,2% pada tahun 2004. Harga rumah pun turun
di awal tahun 2006.Mereka yang beli rumah dengan bunga mengambang mau tidak
mau harus bayar bunga lebih besar dengan kondisi nilai rumah yang sudah turun.
Akhirnya debitur subprime mortgage banyak yang gagal bayar karena kesulitan bayar
utang KPR.

Perusahaan pembiayaan subprime mortgage New Century Financial


menghasilkan pinjaman hampir US$60 miliar pada tahun 2006. Namun sesaat setelah
gelembung pecah pada tahun 2007, mereka bangkrut. Disusul oleh pemberi pinjaman
subprime lainnya. Bahkan selama bulan Februari-Maret 2007 ada lebih dari 25 pemberi
pinjaman yang bangkrut. Pada Juni 2007 Bear Stearns menghentikan redemption di
dua hedge fund yang mereka kelola. Hal ini mendorong Merrill Lynch untuk menyita
aset sebesar US$800 juta dari hedge fund tersebut.

Kronologi Penting Selama Masa Krisis, pada Agustus 2007,Interbank market yang
membuat uang bergerak di seluruh dunia “membeku”. Hal ini diakibatkan oleh faktor
fear pelaku pasar. Bahkan Norther Rock meminta Bank of England untuk pendanaan
darurat karena masalah likuiditas.Pada Oktober 2007 bank Swiss UBS menjadi bank
besar pertama yang merugi hingga US$3,4 miliar dari investasi terkait
subprime.Beberapa bulan kemudian The Fed dan bank sentral dunia lainnya berupaya
untuk memberi pinjaman miliaran dolar ke pasar kredit global yang terhenti karena
harga asset turun. Selain itu suku bunga mulai diturunkan hingga ke 4,25%. Sayangnya
langkah ini kurang ampuh untuk menenangkan pasar.
Maret 2008,Pada periode ini ekonomi AS bisa dibilang berada dalam kondisi yang
paling buruk. Pada Januari 2008 The Fed kembali memangkas suku bunga acuan
menjadi 2,5% guna memperlambat krisis ekonomi. Selagi lembaga keuangan
membenahi masalah likuiditas, pasar saham di seluruh dunia mengalami kemerosotan
terparah sejak serangan teroris 9/11. Bank investasi raksasa Bear Stearns runtuh dan
diakuisisi oleh JPMorgan Chase dengan harga yang murah pada Maret 2008.

September 2008,Dampak dari krisis subprime mortgage kian meluas dan


menyebah ke seluruh sektor keuangan. IndyMac Bank menjadi salah satu bank
terbesar AS yang terkena imbas hingga bangkrut. Dua perusahaan lenders Fannie Mae
dan Freddie Mac diperiksa oleh pemerintah AS.

ANALISIS STUDI KASUS

Berdasarkan studi kasus Krisis global AS di tahun 2008 ,dapat di indentifiikaisi


beberapa dampak nya,yaitu :

 Dampak Ekonomi Politik:

1. Resesi Ekonomi: Krisis ini menyebabkan resesi ekonomi global yang


signifikan. Negara-negara di seluruh dunia mengalami penurunan
pertumbuhan ekonomi, pengangguran meningkat, dan sektor keuangan
terguncang.

2. Bailout dan Stimulus Paket: Pemerintah banyak negara terpaksa


menyediakan bailout besar-besaran untuk menyelamatkan lembaga
keuangan yang hampir bangkrut. Selain itu, banyak negara juga
meluncurkan paket stimulus ekonomi untuk mendorong pertumbuhan.

 Dampak Terhadap Kesejahteraan Masyarakat:

1. Pengangguran dan Ketidakpastian Ekonomi: Dampak terbesar dirasakan


oleh masyarakat dalam bentuk pengangguran yang meningkat dan
ketidakpastian ekonomi. Banyak orang kehilangan pekerjaan, rumah, dan
tabungan mereka.
2. Penurunan Kesejahteraan Sosial: Penurunan ekonomi menyebabkan
peningkatan tingkat kemiskinan, kesulitan akses terhadap layanan.

BAB

Kesimpulan

Saran
Pada makalah ini masih ada kekurangan dan banyak hal yang belum kami bahas
tentang “Pariwisata Berkelanjutan” dan kami harapkan kepada pembaca agar
mengkritiki serta membenahi kekurangan dari makalah ini.

DAFTAR PUSTAKA

Anda mungkin juga menyukai