Anda di halaman 1dari 4

Dakwah secara rahasia ( Sirriyatud Dakwah)

Nabi Muhammad saw. mulai menyambut perintah Allah dengan mengajak manusia untuk
menyembah Allah semata dan meninggalkan berhala. Akan tetapi dakwah Nabi ini dilakukannya
secara rahasia untuk menghindari tindakan buruk orang-orang Quraisy yang fanatik terhadap
kemusyrikan dan paganisme. Nabi Muhammad saw. tidak menampakkan dakwahnya di majelis-
majelis umum orang-orang Quraisy dan tidak melakukan dakwah kecuali kepada orang yang
memiliki hubungan kerabat atau kenal baik sebelumnya.

Orang-orang yang pertama masuk Islam ialah Khadijah binti Khuwailid ra., Ali bin Abi Thalib,
Zaid bin Haritsah [mantan budak Rasulullah saw. dan anak angkatnya], Abu Bakar bin Abi
Quhafah, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwan, Abdur-Rahman bin Auf, Sa’ad bin Abi
Waqqash dan lainnya.

Mereka ini bertemu dengan Nabi secara rahasia. Apabila salah seorang di antara mereka ingin
melaksanakan salah satu ibadah, ia pergi ke lorong-lorong Makkah seraya bersembunyi dari
pandangan orang-orang Quraisy.

Ketika orang-orang yang menganut Islam lebih dari tiga puluh lelaki dan wanita, Rasulullah saw.
memilih salah seorang dari mereka, yaitu rumah al-Arqam bin Abil Arqam, sebagai tempat
pertama untuk mengadakan pembinaan dan pengajaran. Dakwah pada tahab ini menghasilkan
sekitar empat puluh lelaki dan wanita penganut Islam. Kebanyakan dari mereka adalah orang-
orang fakir, kaum budak, dan orang-orang Quraisy yang tidak memiliiki kedudukan. (lihat lebih
lanjut Sirah Ibnu Hisyam 1/249-261)

BEBERAPA IBRAH

1. Sebab siriyah pada permulaan dakwah Rasulullah saw.


Tidak diragukan lagi bahwa kerahasiaan dakwah Nabi saw. selama bertahun-tahun pertama ini
bukan karena kekhawatiran Nabi saw. terhadap dirinya. Hal ini karena ketika beliau dibebani
dakwah dan diturunkan kepadanya firman Allah, “Hai orang-orang yang berselimut, bangunlah,
lalu berikanlah peringatan,” beliau sadar bahwa dirinya adalah utusan Allah kepada manusia.
Karena itu beliau yakin bahwa Ilah (Rabb) yang mengutus dan membebaninya dengan tugas
dakwah ini mampu melindungi dan menjaganya dari gangguan manusia. Kalau Allah
memerintahkan agar melakukan dakwah secara terang-terangan sejak hari pertama, niscaya
Rasulullah saw. tidak akan mengulurnya sedetik pun sekalipun menghadapi resiko kematian.

Akan tetapi Allah memberikan ilham keapadanya. Ilham kepada Nabi saw. adalah semacam
wahyu kepadanya agar memulai dakwah pada tahapan awal dengan rahasia dan tersembunyi agar
tidak menyampaikan kecuali kepada orang yang telah diyakini akan menerimanya. Ini
dimaksudkan sebagai pelajaran dan bimbingan bagi para da’i sesudahnya agar melakukan
perencanaan secara cermat dan mempersiapkan sarana-sarana yang diperlukan untuk mencapai
sasaran dan tujuan dakwah. Akan tetapi hal ini tidak boleh mengurangi rasa tawakkal kepada
Allah semata dan tidak boleh dianggap sebagai faktor yang paling menentukan sebab hal ini akan
merusak prinsip keimanan kepada Allah, disamping bertentangan dengan tabiat dakwah kepada
Islam.
Dari sini dapat diketahui bahwa uslub dakwah Rasulullah saw. pada tahapan ini merupakan
siyasah syari’ah [politik syari’ah] darinya sebagai imam, bukan termasuk tugas-tugas tablighnya
dari Allah sebagai Nabi.

Berdasarkan hal itu, para pimpinan dakwah Islamiyah pada setiap masa boleh menggunakan
keluwesan dalam cara bedakwah, dari segi sirriyah dan jahriyah atau kelemah lembutan dan
kekuatan, sesuai dengan tuntutan keadaan dan situasi masa dimana mereka hidup. Keluwesan
yang dimaksud adalah keluwesan yang ditentukan oleh syariat Islam berdasarkan realitas sirah
Nabi saw., sesuai dengan empat tahapan yang telah disebutkan, selama tetap mempertimbangkan
kemaslahatan kaum Muslimin dan dakwah Islamiyah pada setiap kebijaksanaan yang
diambilnya.

Karena itu jumhur fuqaha sepakat jika jumlah kaum Muslimin sedikit atau lemah posisinya
sehingga diduga keras mereka akan dibunuh oleh para musuhnya tanpa kesalahan apapun –bila
musuh itu telah sepakat akan membunuh mereka- maka dalam keadaan seperti ini harus
didahulukan kemaslahatan menjaga atau menyelamatkan jiwa; karena kemaslahatan agama
dalam kasus seperti ini belum dapat dipastikan.

Al-‘Izzu bin Abdul Salam menyatakan keharaman melakukan jihad [perang] dalam kondisi
seperti ini.
“Apabila tidak terjadi kerugian, kita wajib mengalah (tidak melakukan perlawanan) karena
perlawanan (dalam situasi seperti ini) akan mengakibatkan hilangnya nyawa disamping
menyenangkan orang-orang kafir yang menghinakan para pemeluk agama Islam. Perlawanan
seperti ini menjadi mafsadah [kerugian] semata, tidak mengandung maslahat.” (Qawaa’idul
Ahkam fii Masahilil Anam, 1/95)

Al-Buthy berkata: “Mendahulukan kemaslahatan jiwa di sini hanya dari segi lahiriyah. Akan
tetapi pada hakekatnya, juga merupakan kemaslahatan agama. Hal ini karena kemaslahatan
agama [dalam situasi seperti ini] memerlukan penyelamatan nyawa kaum Muslimin agar mereka
dapat melakukan jihad pada medan-medan lain yang masih terbuka. Jika tidak, kehancuran
mereka dianggap sebagai ancaman terhadap agama itu sendiri dan pemberian peluang kepada
orang-orang kafir untuk menerobos jalan yang selama ini tertutup.

Singkatnya, wajib mengadakan perdamaian atau merahasiakan dakwah apabila tindakan


menampakkan dakwah atau perang itu akan membahayakan dakwh islaminyah. Sebaliknya,
tidak boleh merahasiakan dakwah apabila bisa dilakukan secara terang-terangan dan akan
memberikan faedah. Tidak boleh mengadakan perdamaian dengan orang-orang yang dhalim dan
memusuhi dakwah apabila telah cukup memiliki kekuatan dan pertahanan. Juga tidak boleh
berhenti memerangi orang-orang kafir di negeri mereka apabila telah cukup memiliki kekuatan
dan sarana untuk melakukannya.”

2. Orang-orang yang pertama masuk Islam dan Hikmahnya


Sirah menjelaskan kepada kita bahwa orang-orang yang masuk Islam pada tahapan [marhalah]
ini kebanyakan mereka terdiri atas orang-orang fakir, lemah, dan kaum budak. Apa hikmah dari
kenyataan ini? Apa rahasia tegaknya Daulah Islamiyah di atas pilar-pilar yang terbentuk dari
orang-orang seperti mereka ini?
Jawabannya: fenomena ini merupakan hasil alamiyah dari dakwah para Nabi pada tahapannya
yang pertama. tidakkah anda perhatikan bagaimana kaum Nuh mengejeknya karena orang-orang
yang mengikutinya hanyalah orang-orang kecil mereka?

“Kami tidak melihat kamu, melainkan [sebagai] seorang manusia [biasa] seperti kami, dan kami
tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di
antara kami yang lekas percaya saja…” (Hud: 27)

Tidakkah anda perhatikan bagaimana Fir’aun dan para pendukungnya memandang rendah para
pengikut Musa sebagai orang-orang hina yang tertindas sampai Allah menyebut mereka setelah
menceritakan kehancuran Fir’aun dan para pendukungnya?

“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang telah tertindas itu, negeri-negeri bagian timur bumi
dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya.” (al-A’raaf: 137)

Tidakkah anda perhatikan bagaimana kelompok elite kaum Tsamud menolak Nabi Shaleh.
Hanya orang-orang tertindas di antara mere ayang mau beriman kepadanya hingga Allah
mengatakan tentang mereka dalam firman-Nya:
“Pemuka-pemuka yang menyombongkan diri di antara kaumnya berkata kepada orang-orang
yang dianggap lemah yang telah beriman di antara mereka: “Tahukah kamu bahwa Shaleh di
utus (menjadi Rasul) oleh Tuhannya?”. mereka menjawab: “Sesungguhnya Kami beriman
kepada wahyu, yang Shaleh diutus untuk menyampaikannya.” orang-orang yang
menyombongkan diri berkata: “Sesungguhnya Kami adalah orang yang tidak percaya kepada apa
yang kamu imani itu”. (al-A’raaf: 75-76)

Sesungguhnya hakekat agama yang dibawa oleh semua Nabi dan Rasul ialah menolak kekuasaan
dan pemerintahan manusia serta kembali pada kekuasaan dan pemerintahan Allah semata.
Hakekat ini terutama sekali bertentangan dengan “ketuhanan” orang-orang yang mengaku
sebagai tuhan, dan sesuai dengan keadan orang-orang yang tertindas dan diperbudak sehingga
reaksi penolakan terhadap ajakan untuk berserah diri kepada Allah semata datang, terutama dari
orang-orang yang mengaku berdaulat tersebut. Adapun orang-orang yang tertindas menyambut
dengan baik.

Hakekat ini tampak dengan jelas dalam dialog yang berlangsung antara Rustum, komandan
Persia pada saat perang al-Qadisiyah, dengan Rub’i bin Amir, seorang prajurit biasa di jajaran
tentara Sa’ad bin Waqqash. Rustum berkata kepadanya: “Apa yang mendorong kalian
memerangi kami dan memasuki negeri kami?” Rub’i bin Amir menjawab: “Kami datang untuk
mengeluarkan siapa saja dari penyembahan manusia kepada penyembahan Allah semata.”

Selanjutnya Rub’i melihat barisan manusia di sebelah kiri dan kanan Rustum tunduk rukuk
kepada Rustum lalu Rub’i berkata dengan penuh keheranan, “Salam ini, kami mendengar tentang
kalian hal-hal yang mengagumkan, tetapi aku tidak melihat kaum yang lebih bodoh dari kalian.
Kami kaum Muslimin tidak saling memperbudak antara satu dan lainnya. Aku mengira kalian
semua sederajat sebagaimana kami. Akan lebih baik dari apa yang kalian perbuat jika kalian
jelaskan kepadaku bahwa sebagian dari kalian menjadi tuhan bagi sebagian lainnya.”
Mendengar ucapan Rub’i ini, orang-orang yang tertindas di antara mereka saling berpandang
seraya bergumam, “Demi Allah, orang Arab ini benar.” Namun bagi para pemimpin, ucapan
Rub’i ini ibarat halilintar yang menyambar mereka sehingga salah seorang di antara mereka
berkata, “Dia telah melemparkan ucapan yang senantiasa dirindukan oleh para budak kami.”
(lihat kisah lengkapnya dalam kitab Itmamul Wafa fii Siratil Khulafa’ h. 100)

Akan tetapi , ini tidak berarti bahwa keislaman orang-orang yang tertindas itu tidak bersumber
dari keimanan, bahkan bersumber dari kesadaran dan keinginan untuk bebas dari penindasan dan
kekuasaan para tiran. Hal ini baik para tokoh Quraisy maupun kaum tertindasnya sama-sama
berkewajiban mengimani Allah semata dan membenarkan apa yang dibawa oleh Muhammad
saw. Tidak seorang pun dari mereka kecuali mengetahui kejujuran Nabi saw. dan kebenaran apa
yang disampaikannya dari Rabb-nya. Kaum elite dan para tokoh tidak tunduk mengikuti Nabi
saw. karena dihalangi oleh faktor gengsi kepemimpinan mereka.
Contoh yang paling nyata adalah pamannya, Abu Thalib. Sementara itu kaum tertindas dan
lemah dengan mudah mau menerimanya dan mengikuti Nabi saw. karena mereka tidak dihalangi
oleh suatu apapun. Selain itu keimanan pada uluhiyah Allah akan menumbuhkan rasa ‘izzah
[wibawa] pada diri seseorang dan menghapuskann rasa gentar pada kekuatan selainn dari
kekuatan-Nya. Perasaan yang merupakan buah keimanan kepada Allah ini, pada waktu yang
sama, memberikan kekuatan baru dan menjadikan pemiliknya merasakan kebahagiaan.

Dari sini kita dapat mengetahui besarnya kebohongan yang dibuat oleh para musuh Islam di
masa sekarang ketika mereka mengatakan bahwa dakwah yang dilakukan oleh Muhammad saw.
hanyalah berasal dari inspirasi lingkungan Arab tempat ia hidup. Dengan kata lain, dakwah
Muhammad saw. hanya mencerminkan gerakan pemikiran Arab di masa itu.

Seandainya demikian, niscaya hasil dakwah selama tiga tahun tersebut tidak berjumlah empat
puluh orang lelaki dan wanita, dan dari kebanyakan mereka itu adalah kaum fakir, tertindas, dan
budak, bahkan ada yang dari negeri asing: Shuhaib ar-Rumi dan Bilal al-Habsyi.

Pada pembahasan mendatang kita akan ketahui bahwa justru lingkungan Arab sendirilah yang
justru memaksa Nabi saw. untuk melakukan hijrah dari negerinya dan memaksa pengikutnya
berpencar-pencar, bahkan pergi hijrah ke Habasyah. Semua itu karena kebencian lingkungan
tersebut terhadap dakwah yang mereka tuduh sebagai gerakan nasionalisme Arab.

Anda mungkin juga menyukai