Anda di halaman 1dari 7

Nama : Ikhsan Al furqan

Nim : 210102241
MK : Hukum Ekonomi
Syariah

CRITICAL REVIEW FATWA


MUI

Fatwa Dewan Syariah Nasional No: 50/Dsn-Mui/Iii/2006 Tentang Akad Mudharabah


Musytarakah
MEMUTUSKAN
Menetapkan

Pertama : Ketentuan Umum

Mudharabah Musytarakah adalah bentuk akad Mudharabah di mana pengelola (mudharib)


menyertakan modalnya dalam kerjasama investasi tersebut.
Kedua:Ketentuan Hukum

Mudharabah Musyarakah boleh dilakukan oleh LKS, karena merupakan bagian dari hukum
Mudharabah.
Ketiga:Ketentuan Akad

1. Akad yang digunakan adalah akad Mudharabah Musyarakah, yaitu perpaduan dari
akad Mudharabah danakad Musyarakah.
2. LKS sebagai mudharib menyertakan modal atau dananya dalam investasi bersama nasabah.

3. LKS sebagai pihak yang menyertakan dananya (musytarik)


memperoleh bagian keuntungan berdasarkan porsi modal
yang disertakan.
4. Bagian keuntungan sesudah diambil oleh LKS sebagai musytarik dibagi antara LKS sebagai
mudharibdengan nasabah dana sesuai dengan nisbah yang disepakati.
5. Apabila terjadi kerugian maka LKS sebagai musytarik menanggung kerugian sesuai dengan

porsi modalyang disertakan.

Keempat:

Ketentuan Penutup

1. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi
perselisihan di antara para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui
Badan Arbitrase Syari'ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui
musyawarah.
2. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di
kemudian hari ternyata terdapat kekeliruan
Critical Fatwa :
Critical saya dari fatwa di atas yaitu ;
1. Fatwa ini memberikan gambaran umum tentang Mudharabah Musyarakah,
tetapi kurang memberikan penjelasan mendalam tentang mekanisme
operasional dan implementasinya.
2. Dalam definisi Mudharabah Musyarakah Lebih banyak penjelasan dapat
diberikan mengenai karakteristik Mudharabah Musyarakah, serta contoh
konkret untuk memudahkan pemahaman praktis.
3. Fatwa sebaiknya lebih merinci tentang bagaimana risiko dan tanggung
jawab dibagi antara LKS sebagai mudharib dan nasabah, terutama dalam
situasi kerugian.
4. Detail lebih lanjut mengenai perhitungan dan distribusi keuntungan serta
tanggung jawab dalam situasi kerugian perlu disampaikan agar tidak
terjadi ketidakjelasan.
5. Penjelasan lebih rinci tentang tata cara dan prosedur penggunaan Badan
Arbitrase Syari'ah dalam penyelesaian sengketa akan membantu
pemahaman para pihak yang terlibat.
6. Bahasa yang digunakan perlu mudah dipahami oleh masyarakat umum dan
pemangku kepentingan agar fatwa ini dapat diaplikasikan dengan efektif.
7. Dengan perubahan dalam praktik keuangan dan investasi, fatwa ini
mungkin perlu diperbarui atau dikembangkan untuk tetap relevan dengan
konteks ekonomi dan bisnis yang berkembang.

8. Fatwa sebaiknya memberikan pedoman tentang pengawasan dan


implementasi Mudharabah Musyarakah agar dapat diaplikasikan dengan
baik dalam praktik.

Fatwa Dewan Syari'ah Nasional No: 07/Dsn-Mul/Iv/2000 Pembiayaan Mudharabah (Qiradh)

MEMUTUSKAN

Menetapkan

Pertama:Ketentuan Pembiayaan:

1. Pembiayaan Mudharabah adalah pembiayaan yang disalurkan olch LKS kepada pihak lain
untuk suatu usaha yang produktif.
2. Dalam pembiayaan ini LKS sebagai shahibul maal (pemilik duna) membiayai 100 %
kebutuhan suatu proyek (usahu). sedangkan pengusaha (nasabah) bertindak sebagai mudharib
atau pengelola usaha.
3. Jangka waktu usaha, tatacara pengembalian dana, dan pembagian keuntungan ditentukan
berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak (LKS dengan pengusaha).
4. Mudharib boleh melakukan berbagai macam usaha yang telah disepakati bersama dan sesuai
dengan syari'ah; dan LKS tidak ikut serta dalam managemen perusahaan atau proyek tetapi
mempunyai hak untukmelakukan pembinaan dan pengawasan.
5. Jumlah dana pembiayaan harus dinyatakan dengan jelas dalam bentuk tunai dan bukan piutang.

6. LKS sebagai penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah kecuali jika
mudharih(nasabah) melakukan kesalahan yang disengaja, lalai, atau menyalahi perjanjian.
7. Pada prinsipnya, dalam pembiayaan mudharabah tidak ada jaminan, namun agar mudharib
tidak melakukan penyimpangan, LKS dapat meminta jaminan dari mudharih atau pihak ketiga.
Jaminan ini hanya dapat dicairkan apabila mudharib terbukti melakukan pelanggaran terhadap
hal-hal yang telah disepakati bersama dalam akad.
8. Kriteria pengusaha, prosedur pembiayaan, dan mekanisme pembagian keuntungan diatur oleh
LKS dengan memperhatikan fatwa DSN.

9. Biaya operasional dibebankan kepada mudharib


10. Dalam hal penyandang dana (LKS) tidak melakukan kewajiban atau melakukan pelanggaran
terhadapkesepakatan, mudharib berhak mendapat ganti rugi atau biaya yang telah dikeluarkan.

Kedua : Rukun dan Syarat Pembiayaan:


1. Penyedia dana (sahibul maal) dan pengelola (mudharib) harus cakap hukum.

2. Pernyataan ijab dan qabul harus dinyatakan oleh para pihak untuk menunjukkan kehendak
mereka dalammengadakan

kontrak (akad), dengan memperhatikan hal-hal berikut:

a. Penawaran dan penerimaan menunjukkan tujuan kontrak (akad). harus secara eksplisit

b. Penerimaan dari penawaran dilakukan pada saat kontrak


c. Akad dituangkan secara tertulis, melalui korespondensi, atau dengan menggunakan cara-cara
komunikasimodern.
3. Modal ialah sejumlah uang dan/atau aset yang diberikan oleh penyedia dana kepada mudharib
untuktujuan usaha dengan syarat sebagai berikut:

a. Modal harus diketahui jumlah dan jenisnya.


b. Modal dapat berbentuk uang atau harang yang dinilai. Jika modal diberikan dalam
bentuk aset,maka aset tersebut harus dinilai pada waktu akad.
c. Modal tidak dapat berbentuk piutang dan harus dibayarkan kepada mudharib, baik
secarabertahap maupun tidak, sesuai dengan kesepakatan dalam akad.

4. Keuntungan mudharabah adalah jumlah yang didapat sebagai kelebihan dari modal. Syarat
keuntunganberikut ini harus dipenuhi:

a. Harus diperuntukkan bagi kedua pihak dan tidak boleh disyaratkan hanya untuk satu
pihak.
b. Bagian keuntungan proporsional bagi setiap pihak harus diketahui dan dinyatakan
pada waktu kontrak disepakati dan harus didan beri prosentasi (nisbah) dari keuntungan
perubahan nisbah harusberdasarkan kesepakatan dalam akad
c. Penyedia dana menanggung semua kerugian akibat dari mudharabah, dan pengelola
tidak boleh menanggung kerugian apapun kecuali diakibatkan dari kesalahan disengaja,
kelalaian, atau pelanggaran kesepakatan.
5. Kegiatan usaha oleh pengelola (mudharib), sebagai perimbangan (muqabil) modal yang
disediakan olehpenyedia dana, harus memperhatikan hal-hal berikut:
a Kegiatan usaha adalah hak eksklusif mudharib, tanpa campur tangan penyedia dana, tetapi
ia mempunyai hak untuk melakukan pengawasan.
b. Penyedia dana tidak boleh mempersempit tindakan pengelola sedemikian rupa yang dapat
menghalangi tercapainya tujuan mudharabah, yaitu keuntungan.
e. Pengelola tidak boleh menyalahi hukum Syari'ah Islam dalam tindakannya yang

berhubungan dengan mudhara-bah,dan harus mematuhi kebiasaan yang berlaku dalam


aktifitas itu.
Ketiga:Beberapa Ketentuan Hukum Pembiayaan:

1. Mudharabah boleh dibatasi pada periode tertentu.


2. Kontrak tidak boleh dikaitkan (mu'allaq) dengan sebuah kejadian di masa depan yang belum
tentu terjadi.
3. Pada dasarnya, dalam mudharabah tidak ada ganti rugi, karena

pada dasarnya akad ini bersifat amanah (yad al-amanah), kecuali akibat dari kesalahan disengaja,
kelalaian,atau pelanggaran kesepakatan.
4. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara
kedua belahpihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrasi Syari'ah setelah
tidak tercapai kesepakatanmelalui musyawarah
Critical Fatwa :
Critical saya mengenai fatwa di atas yaitu ;
1. Fatwa memberikan definisi umum tentang Pembiayaan Mudharabah, tetapi dapat diperkaya
dengan penjelasan lebih rinci tentang konsep Mudharabah untuk memudahkan pemahaman.
2. Fatwa menyatakan pada prinsipnya tidak ada jaminan, namun lebih baik memberikan
panduan lebih lanjut mengenai kondisi atau keadaan di mana jaminan dapat diminta untuk
menjaga keamanan pembiayaan.
3. Meskipun dijelaskan bahwa LKS tidak ikut serta dalam manajemen perusahaan atau proyek,
lebih baik memberikan pedoman lebih spesifik tentang sejauh mana pengawasan yang
diperbolehkan dan bagaimana pembiayaan dapat dipantau.
4. Kriteria yang harus dipenuhi oleh pengusaha (mudharib) dapat dijabarkan lebih rinci agar
memastikan kecakapan hukum dan kemampuan dalam mengelola usaha.
5. Detil lebih lanjut mengenai mekanisme penggunaan jaminan dan prosedur penyelesaian
sengketa melalui Badan Arbitrase Syari'ah akan memberikan kejelasan yang lebih baik.
6. Penjelasan lebih lanjut mengenai perhitungan dan pembagian keuntungan serta tanggung
jawab dalam situasi kerugian akan membantu para pihak memahami mekanisme tersebut.
7. Lebih rinci menjelaskan perlindungan hukum bagi kedua belah pihak dapat menjamin
keadilan dan keberlanjutan pembiayaan.

Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia No:110/Dsn-Mui/Ix/2017 Tentang


Akad Jual Beli

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : FATWA TENTANG AKAD JUAL BELI
Pertama : Ketentuan Umum

1. Akad Jual Beli adalah akad antara penjual (al-Ba) dan pembeli (al-Musytari yang
mengakibatkan berpindahnya kepemilikan obyek yang dipertukarkan (barang [mabi mutsman-
dan harga tsaman]).
2. Penjual (al-Ba’i’) adalah pihak yang melakukan penjualan barang dalam akad jual beli, baik
berupa orang (Syakhshiyah thabi iyah- natuurlijke persoon) maupun yang dipersamakan dengan
orang baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum (Syakhshiyah I'tibariah syakhshiyah
hukmiyah.(rechtsperson / ‫االعتبارية الحكمية الشخصية‬
3. Pembeli (al-Musytari) adalah pihak yang melakukan pembelian dalam akad jual beli, baik
berupa orang (Syakhshiyah thabi iyah natuurlijke persoon) maupun yang dipersamakan dengan
orang baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum (Syakhshiyal tibariah syakhshiyah
hukmiyah rechtsperson).
4. Wilayah ashliyyah (a) adalah kewenangan yang dimiliki oleh penjual karena yang
bersangkutanberkedudukan sebagai pemilik.
5. Wilayah niyabiyyah (y) adalah kewenangan yang dimiliki oleh penjual karena yang
bersangkutan berkedudukan sebagai wakil dari pemilik atau wali atas pemilik.
6. Mutsman mabi adalah barang atau hak yang dijual: mutsman mahi merupakan imbangan atas
tsaman yang dipertukarkan.
7. Tsaman harga adalah harga sebagai imbangan atas matsman yang dipertukarkan.

8. Bai al-musawamah adalah jual beli dengan harga yang disepakati melalui proses tawar-
menawar dan ra 'sul mal-nya (harga perolehan ditambah biaya-biaya yang diperkenankan) tidak
wajib disampaikan oleh penjual kepada pembeli. Bai al- musawamah sering disebut dengan jual
beli biasa (Bai al-'adiyy ‫العادي البيع‬

9. Ba’i’ al-amanah adalah jual beli yang ra sul mal-nya wajib disampaikan oleh penjual kepada
pembeli.
10. Bai al-muzayadah adalah jual beli dengan harga paling tinggi yang penentuan harga (tsaman)
tersebutdilakukan melalui proses tawar menawar.
11. Bai al-munaqashah adalah jual beli dengan harga paling rendah yang penentuan harga
(tsaman) tersebutdilakukan melalui proses tawar menawar.

12. Al-Bai al-hal terkadang disebut juga dengan al-bai al-mu ajjal/naqdan adalah jual beli yang
pembayaran harganya dilakukan secara tunai
13. Al-Bai al-mu ajjal adalah jual beli yang pembayaran harganya dilakukan secara tangguh.

14. Al-Bai bi al-taqsith adalah jual beli yang pembayaran harganya dilakukan secara
angsur/bertahap.
15. Bal' al-salam adalah jual beli dalam bentuk pemesanan atas suatu barang dengan kriteria
tertentu yangharganya wajib dibayar tunai pada saat akad.
16. Bai al-istishna adalah jual beli dalam bentuk pemesanan pembuatan suatu barang dengan
kriteria tertentu yang pembayaran harganya berdasarkan kesepakatan antara pemesan
(pembeli/mustashni) dan penjual (pembuat/shani).
17. Bai al-murabahah adalah jual beli suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada
pembeli danpembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.

Kedua: Ketentuan terkait Shigat al-Aqd

1. Akad Jual Beli harus dinyatakan secara tegas dan jelas serta dipahami dan dimengerti oleh
penjual dan pembeli.
2. Akad Jual Beli boleh dilakukan secara lisan, tertulis, isyarat, dan perbuatan/tindakan, serta
dapat dilakukan secara elektronik sesuai syariah dan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.

Ketiga : Ketentuan terkait Para Pihak

1. Penjual (al-Bai’) dan pembeli (al-Musytari) boleh berupa orang atau yang dipersamakan
dengan orang, baik berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum, berdasarkan peraturan
perundang- undangan yang berlaku.
2. Penjual (al-Bai’) dan pembeli (al-Musyari) wajib cakap hukum (ohliyah) sesuai dengan
syariah dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3. Penjual (al-Bai’) dan pembeli (al-Musytari) wajib memiliki kewenangan (wilayah) untuk
melakukan akad jual beli, baik kewenangan yang bersifat ashliyyah maupun kewenangan yang
bersifat niyabiyyah, seperti wakil.
Keempat : Ketentuan terkait Mutsman (Mabi')

1. Mutsman/mabi’ boleh dalam bentuk barang dan/atau berbentuk hak, serta milik penjual secara
penuh (al-milk al-tam-
2. Mutsman/mabi’ harus berupa barang dan/atau hak yang boleh dimanfaatkan menurut syariah
(maqawwam) serta boleh diperjualbelikan menurut syariah dan peraturan perundang- undangan
yang berlaku.
3. Mutsman/mabi’ harus wujud, pasti tertentu (l), dan dapat diserahterimakan (magefur al-taslim)
pada saat akad jual beli dilakukan, atau pada waktu yang disepakati jika akad yang. dilakukan
menggunakan akad jual beli salam atau akad jual beli Istishna
4. Dalam hal mabi berupa hak. berlaku ketentuan dan batasan sebagaimana ditentukan dalam
Fatwa MUI nomor 1/MUNAS VII/5/2005 tentang Perlindungan Hak Kekayaan Intelektual dan
peraturan perundang- undangan yang berlaku.
Kelima:Ketentuan terkait Tsaman

1. Hargadalam akad jual beli harus sudah dinyatakan secara pasti pada saat akad, baik ditentukan
melalui tawar menawar (bai al- musawamah), lelang (bai al-muzayadah), atau tender (hat al-
munaqashah).
2. Harga
perolehan wajib disampaikan oleh penjual hanya dalam jual beli amanah seperti jual beli
murabahah, dan tidak wajib dalam selain jual beli amanah.
3. Pembayaran harga dalam jual beli boleh dilakukan secara tunai (al- bai' al-hal), tangguh (al-bai
al-mu ajjal), dan angsur/bertahap (al- bai' bi al-taqsith).
4. Harga dalam jual beli yang tidak tunai (bai al-mu'ajjal/bai al- taqsith) boleh tidak sama dengan
harga tunai (al-bai" al-hal).
Keenam:Ketentuan Kegiatan dan Produk

1. Dalam hal akad jual beli dilakukan dalam bentuk pembiayaan murabahah, maka berlaku
dhawahith dan hudud sebagaimana terdapat dalam fatwa DSN-MUI Nomor 04/DSN-
MUI/IV/2000 tentang Murabahah.
2. Dalam hal jual beli dilakukan dengan akad jual beli salam, maka berlaku dhawahith dan hudud
sebagaimana terdapat dalam fatwa DSN-MUI Nomor 05/DSN-MUV/IV/2000 tentang Jual Beli
Salam.
3. Dalam hal jual beli dilakukan dengan akad jual beli istishna, maka berlaku dhawahith dan
hudud sebagaimana terdapat dalam fatwa DSN-MUI Nomor 06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual
Beli Istishna danNomor 22/DSN-MUI/III/2002 tentang Jual Beli Istishna Paralel
Ketujuh: Ketentuan Penutup

1. Setiap akad jual beli wajib memenuhi rukun dan syarat-syaratnya; apabila tidak terpenuhi
rukun dan/atausyarat-syaratnya, maka perjanjiannya batal.
2. Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara
para pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui lembaga penyelesaian sengketa berdasarkan
syariah sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku setelah tidak tercapai
kesepakatan melalui musyawarah.

3. Penerapan fatwa ini dalam kegiatan atau produk usaha wajib terlebih dahulu mendapatkan
opini dari Dewan Pengawas Syariah dan memperhatikan fatwa-fatwa DSN-MUI terkait.
4. Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata
terdapat kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya

Critical Fatwa :
Critical saya dari fatwa ini yaitu
1. sebagian kalimat menggunakan istilah asing tanpa penjelasan yang dapat mempersulit
pemahaman bagi yang tidak terbiasa dengan terminologi tersebut.
2. Beberapa ketentuan terkait jenis-jenis akad seperti salam, istishna, dan murabahah perlu
dijelaskan lebih rinci agar lebih dapat di pahami oleh masyarakat umum yang mungkin
kurang familiar dengan istilah-istilah tersebut.
3. Ketentuan terkait kewenangan penjual dan pembeli harus diperjelas agar tidak menimbulkan
kebingungan atau kesalahan dalam melaksanakan akad.
4. Penjelasan mengenai penjelasan harga dalam berbagai jenis akad perlu lebih rinci untuk
menghindari ketidakjelasan, terutama dalam konteks pembayaran tunai, tangguh dan
bertahap.
5. Metode penyelesaian sengketa melalui lembaga berdasarkan syariah sebaiknya dijelaskan lebih
spesifik, termasuk prosedur dan kriteria yang digunakan.
6. Dalam konteks transaksi modern, seperti pembayaran elektronik, fatwa ini mungkin perlu
diperbarui atau ditambahkan agar sesuai dengan perkembangan teknologi dan praktik bisnis
saat ini.
7. Untuk memastikan pemahaman yang lebih luas, fatwa ini sebaiknya menggunakan bahasa
yang mudah dipahami oleh masyarakat umum.

Anda mungkin juga menyukai