Anda di halaman 1dari 96

Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

1
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat dan karunianya
sehingga Buku Ajar Endometriosis telah dapat diselesaikan. Buku ajar
ini merupakan bagian dari pengabdian sebagai pendidik selama lebih
dari 25 tahun di dunia pendidikan, diharapkan buku ini dapat dijadikan
sebagai pedoman bagi mahasiswa memahami endomtriosis secara
lebih menyeluruh mulai dari definisi sampai penanganannya

Terimakasih disampaikan kepada semua pihak yang ikut berperan dan


membantu dalam penyelesaian buku ini. Kami menyadari masih
terdapat kekurangan dalam buku ini untuk itu kritik dan saran terhadap
penyempurnaan buku ini sangat diharapkan. Semoga buku ini dapat
memberi maanfaat bagi semua yang membutuhkannya.

Terimakasih

“Education is The Most Powerful weapon


which you can use to change the world”
--Nelson Mandela--

Denpasar, Agustus 2020


Putra Adnyana

i
Daftar isi

................................................................................................................ 1

Kata Pengantar ......................................................................................... i

Daftar isi .................................................................................................. ii

Daftar Gambar ....................................................................................... iv

Pendahuluan ........................................................................................... 1

Definisi Endometriosis............................................................................. 4

Epidemiologi Endometriosis.................................................................... 4

Patogenesis Endometriosis ..................................................................... 6

Komposisi Cairan Folikel Pada Ovarium Dengan Endometriosis ........... 11

Stress Oksidatif pada endometriosis ..................................................... 14

Apoptosis pada endometriosis .............................................................. 29

Peran mitokondria pada endometriosis ................................................ 39

Mekanisme infertilitas pada wanita dengan endometriosis. ................ 42

Endometriosis dan gangguan anatomi pelvis ................................... 42

Endometriosis dan gangguan fungsi ovarium .................................. 43

Endometriosis dan fertilisasi ............................................................ 46

Endometriosis dan perkembangan embryo ................................... 47

ii
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Endometriosis dan reseptivitas endometrium ................................. 47

Endometriosis dan implantasi embryo. ........................................... 48

Endometriosis dan risiko terjadinya abortus ................................... 50

Endometriosis dan lingkungan peritoneum ..................................... 50

Klasifikasi Endometriosis ....................................................................... 52

Diagnosis Endometriosis ....................................................................... 55

Manajemen Penderita endometriosis terkait infertilitas...................... 58

Ekspektan manajemen ..................................................................... 60

Medikamentosa pada endometriosis ............................................... 61

Prosedur pembedahan dengan atau tanpa obat. ............................ 64

Manajemen Endometriosis berdasarkan tempat layanan .................. 66

RINGKASAN ........................................................................................... 71

Daftar Pustaka ....................................................................................... 75

iii
Daftar Gambar

Gambar 1. Teori implantasi (menstruasi retrograde) terjadinya


endometriosis ...................................................................... 7
Gambar 2. Perkembangan Terbentuknya Lesi Endometriosis ............ 10
Gambar 3. Pembagian derajat endometriosis .................................... 53
Gambar 4. Staging Endometriosis ....................................................... 55
Gambar 5. Reaksi Autooksidasi Fe. ..................................................... 12
Gambar 6. Modulasi keseimbangan redoks sepanjang siklus
menstruasi. ........................................................................ 15
Gambar 7. Peranan stress oksidatif dalam patofisiologi
endometriosis .................................................................... 19
Gambar 8. Sumber elemen besi dalam rongga peritoneum penderita
endometriosis. ................................................................... 21
Gambar 9. Gambar Jaringan “toksik” dari cairan endometrioma ....... 23
Gambar 10. Perubahan molekuler yang disebabkan oleh sel
endometriosis yang melapisi permukaan dalam kista. ..... 25
Gambar 11. Rangkain kejadian yang terjadi pada jaringan ovarium
sehat disekitar endometrioma. 8-OHdG, 8-
hydroxydeoxyguanosine; PAI-I, plasminogen activator
inhibitor-I; ROS, reactive oxygen species; TGF,
transforming growth factor; TSP-I, throbospondin-I. ........ 29

iv
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Gambar 12. Mekanisme apoptosis dan nekrosis sel akibat ROS ........... 30
Gambar 13. Transformasi ganas endometriosis: keseimbangan antara
pembentukan ROS dan pembentukan antioksidan
endogen............................................................................. 33
Gambar 14. Jalur patologi apoptosis yang diinduksi oleh ROS & NOS .. 34
Gambar 15. Folikulogeneis abnormal pada endometriosis .................. 39

v
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Pendahuluan

Endometriosis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya


kelenjar endometrium dan stroma diluar kavum uterus yang
menyebabkan terjadinya inflamasi kronis. Gejala utama yang terjadi
pada penyakit ini adalah nyeri panggul dan infertilitas, serta dapat
memberikan dampak negatif terhadap kehidupan sosial, pekerjaan dan
fungsi psikologi. Endometriosis terjadi sekitar 10% dari semua wanita
pada usia reproduksi, dan terjadi sekitar 30-45% pada populasi infertil
yang disertai dengan keluhan nyeri panggul. Keluhan yang paling umum
dari pasien berupa nyeri panggul secara siklik yang meningkat sesaat
sebelum menstruasi dan kemudian berkurang pada saat menstruasi
banyak, adanya dismenore, dispareunia, dan lainnya. Gejala klinis
tersebut kemungkinan berkaitan dengan proses perdarahan berulang.
Namun sebaliknya, beberapa penderita endometriosis tetap
asimptomatik sehingga seringkali tidak terdiagnosis. Gold standar untuk
diagnosis endometriosis adalah tampak adanya lesi yang terlihat selama
prosedur pembedahan baik secara laparoskopi atau laparotomi yang
dikonfirmasi dengan pemeriksaan histologi.1,2 Endometriosis
diklasifikasikan ke dalam 4 derajat yaitu derajat I (minimal), derajat II
(ringan), derajat III (sedang), dan derajat IV (berat) berdasarkan pada
lokasi, penyebaran, dan kedalaman implantasi endometriosis, ada dan
beratnya perlengketan (adesi), serta ada dan ukuran endometrioma
ovarium. Sebagian besar wanita memiliki endometriosis derajat minimal

1
atau ringan, yang ditandai dengan implantasi superfisial dan adesi
ringan. Endometriosis derajat sedang dan berat ditandai dengan adanya
kista coklat dan adesi yang lebih berat. Derajat endometriosis tidak
berkaitan dengan timbulnya atau keparahan dari keluhan, dan
endometriosis stadium IV sering disertai infertilitas.3 Beberapa faktor
risiko terjadinya endometriosis telah diidentifikasi meliputi menarke
yang terlalu dini, siklus menstruasi yang pendek, menoragia, nulipara,
berat badan rendah, dan obesitas. Faktor risiko tersebut
menggambarkan pengaruh estrogen terhadap endometriosis.
Endometriosis juga memiliki pewarisan poligenik dan predisposisi
genetik dengan meningkatnya insiden pada garis keturunan pertama
dan pada kembar monozigot. Polusi lingkungan, disregulasi imunologi,
keadaan inflamasi yang persisten dan perubahan epigenetik menambah
risiko penyakit. Supresi terhadap ovulasi dapat menurunkan kadar
estrogen dan menurunkan risiko endometriosis dan keparahan gejala.
Oleh karena itu, paritas dan memperpanjang waktu menyusui
dipertimbangkan sebagai faktor proteksi1. Etiologi endometriosis
sampai saat ini masih belum jelas. Teori Sampson berupa teori
implantasi merupakan teori yang paling umum diterima sebagai asal
mula terjadinya endometriosis. Sampson pertama kali mempublikasi
teorinya pada tahun 1927 yang menyatakan bahwa elemen yang
diperlukan untuk berkembangnya endometriosis meliputi menstruasi
retrograde, adanya sel viabel di dalam menstruasi retrograde, dan

2
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

implantasi jaringan endometrial viabel pada peritoneum. Menstruasi


retrograde merupakan aliran balik darah menstruasi melalui saluran
tuba falopi yang bermuara di kavum peritoneum. Pembentukan lesi
endometriosis meliputi proses survival, attachment, pertumbuhan,
proliferasi, neoangiogenesis, dan invasi pada tempat ektopik.
Menariknya, menstruasi retrograde bukan merupakan fenomena yang
unik dan dapat dialami oleh sebagian besar wanita. Secara normal,
sistem imun akan mengeleminasi sel-sel tersebut, mencegah terjadinya
implantasi pada kavum peritoneum. Apabila sistem imun gagal, maka
akan berkembang endometriosis. Tidak semua wanita dengan
menstruasi retrograde terjadi endometriosis. Beberapa teori mencoba
untuk menjelaskan alasan dibalik mengapa endometriosis tidak terjadi
pada semua wanita. Meskipun patofisiolgi terjadinya endometriosis
belum dapat dipahami sepenuhnya, namun telah terbukti bahwa
endometriosis berkaitan dengan ketidakseimbangan antara reactive
oxygen species (ROS) dan tersedianya antioksidan. Organ reproduksi
perempuan sangat rentan terhadap dampak buruk dari ROS yang
merusak protein, lipid, dan struktur DNA. Jumlah emisi ROS bergantung
dari keseimbangan dari produksi radikal bebas (Proses prooksidatif) dan
eliminasi oleh antioksidan (Proses pertahanan antioksidan). Terjadinya
peningkatan stress oksidatif pada endometriosis dapat sebagai suatu
penyebab atau sebagai konsekuensi dari patofisiologi endometriosis. 1,2,4
Reactive Oxygen Species (ROS) berupa anion superoksida (O2-) atau

3
radikal hidroksil (OH). ROS yang berlebihan akan mengakibatkan
pelepasan ion Calcium (Ca2+) dari Endoplasmik retikulum yang
mengakibatkan permiabelitas membran mitokondria menjadi tidak
stabil dan selanjutnya akan terjadi nekrosis dan apoptosis mitokondria
yang ditandai dengan dikeluarkannya mediator biomolekuler
cytochrome C. Akibat terjadinya kerusakan mitokondria maka produksi
ATP akan menurun dan penurunan kadar ATP pada penderita
5
endometriosis dilaporkan sebanyak 65 % oleh Hsu, et al. Kadar ATP
yang rendah dan penurunan jumlah kopi dari mtDNA tidak hanya
berkaitan dengan kualitas oosit yang rendah, namun juga berkaitan
dengan penurunan kualitas perkembangan embrio dan tingkat
implantasi dan plasentasi yang suboptimal. 6

Definisi Endometriosis

Endometriosis adalah kelainan ginekologi jinak dan kompleks, yang


ditandai dengan adanya kelenjar dan stroma endometrium diluar kavum
uteri. Kata ensometriosis berasal dari Yunani, endon, berarti ”di dalam”,
metra, berarti ”uterus” dan osis, berarti ”abnormal atau penyakit” 7.

Epidemiologi Endometriosis

Prevalensi endometriosis bervariasi, mulai dari 0,7 - 11% pada populasi


yang mencari pelayanan kesehatan, 2-22 % ditemukan pada saat

4
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

tindakan bedah tubektomi, 17-47% pada wanita infertil, dan 2-74 %


pada wanita dengan nyeri pelvis kronis.8 Namun demikian, prevalensi
pasti penyakit ini sulit ditentukan dengan pasti, karena diperlukan
tindakan laparoskopi untuk menegakkan diagnosis definitif dan
seringkali seorang wanita mengalami penyakit ini namun asimtomatik
dan tidak terdiagnosis.9 WHO-Reproductive Health Library (2014)
mencatat bahwa angka kejadian endometriosis dengan manifestasi
klinis infertilitas adalah sekitar 10 %. Pada tahun 2012, Practice
Committee of The American Society For Reproductive Medicine (ASRM)
melaporkan bahwa kejadian endometriosis pada winita infertil adalah
lebih dari 50 %.9,10 Menyatakan bahwa wanita dengan endometriosis
hampir 30-50% mempunyai kesulitan untuk mendapatkan keturunan. Di
Indonesia sendiri didapatkan angka kejadian endometriosis dengan
manifestisi klinis infertilitas adalah sekitar 20 – 60 %.11
Laporan dari beberapa Rumah Sakit di Indonesia seperti Rumah
Sakit Dr.Soetomo Surabaya mencatatat angka kejadian endometriosis
sebesar 37.2% di kalangan pasien dengan infertilitas dan Rumah Sakit Dr
Cipto Mangunkusumo mencatat angka kejadian endometriosis sebesar
69,5% pada pasien yang mengeluh kesulitan mempunyai keturunan.12 Di
Bali belum ada laporan mengenai angka kejadian endometriosis dengan
manifestasi klinis infertilitas. Ini menunjukkan sistim pencatan di
Indonesia khususnya di Bali belum berjalan dengan baik.

5
Rerata usia diagnosis endometriosis ditegakkan berkisar antara
usia 25-35 tahun.13 Endometriosis jarang ditemukan pada gadis
premenarch namun dapat ditemukan pada lebih dari setengah gadis
remaja dan wanita muda berusia kurang dari 20 tahun yang
mengeluhkan nyeri pelvis kronis atau dyspareunia. 14 Sebagian besar
kasus pada gadis berusia kurang dari 17 tahun terkait dengan anomali
Mullerian.15 Lokasi organ yang menjadi tempat berkembangnya
endometriosis, berdasarkan urutan, paling sering ditemukan pada
ovarium, dan selanjutnya cul-de-sac anterior dan posterior, ligamentum
latum posterior, ligamentum uterosakralis, uterus, tuba fallopi, colon
sigmoid, appendix, ligamentum rotundum. Lebih jarang ditemukan di
vagina, cervix, septum rectovaginal, caecum, ileum, kanalis inguinalis,
bekas luka abdomen atau perineum, vesika urinaria, ureter, dan
umbilicus.16

Patogenesis Endometriosis

Patogenesis penyakit ini cukup rumit. Endometriosis dapat melibatkan


berbagai organ, memiliki berbagai penampakan klinis, dan responsif
terhadap hormon, sehingga dalam sejarahnya telah diusulkan beberapa
teori mengenai patogenesis penyakit ini. Teori transplantasi
memaparkan bahwa endometriosis timbul akibat transplantasi jaringan
tersebut dari dalam uterus ke lokasi lain dalam tubuh. Banyak metode

6
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

transplantasi, antara lain limfogenik, hematogenik, dan iatrogenic bagi


lokasi yang jarang ditemukan.17 Patogenesis yang paling mudah
dipahami adalah melalui mekanisme aliran menstruasi retrograde dari
dalam uterus melalui tuba fallopi sampai ke kavum abdomen.18 Teori ini
didukung oleh temuan darah menstruasi pada wanita dengan tuba
paten yang menjalani laparoskopi pada saat perimenstruasi. 19

Gambar
Gambar 1 Teori implantasi (menstruasi retrograde) terjadinya endometriosis4

7
Jaringan tersebut juga harus mampu menghindari sistem imun selama
proses perlekatan pada epitel ovarium atau mesothelium peritoneum,
invasi epitel, membentuk jaringan neurovaskular, dan mampu terus
tumbuh dan bertahan hidup agar dapat terbentuk fokus endometriosis
selain melalui aliran menstruasi retrograde.20,21 Peningkatan volume
peritoneum dan peningkatan sel-sel radang seperti prostaglandin F2
alpha (PGF2 alpha), inflammatory cytokines seperti IL-1, IL-6, TNFα dan
angiogenic cytokines seperti IL-8 dan vascular endotelial growth factor
(VEGF) yang diproduksi oleh makrofag juga ditemukan pada wanita
dengan endometriosis.22,23 Peningkatan sel-sel radang ini menyebabkan
terjadinya peradangan sistemik pada wanita dengan endometriosis dan
belum diketahui pasti apakah peningkatan dari sel-sel radang ini
merupakan predisposisi terjadinya endometriosis atau endometriosis
menyebabkan terjadinya produksi sel-sel radang yang berlebihan.
Teori metaplasia coelomik memaparkan bahwa mesotelium
peritoneum termasuk epitel permukaan ovarium dapat berubah
menjadi endometrium melalui metaplasia. Teori ini berkembang dari
kenyataan bahwa ductus Muller yang selanjutnya membentuk uterus,
berasal dari intrusi epithelium coelomic, sehingga diduga organ yang
juga berasal dari epithelium coelomic juga dapat mengalami metaplasia
menjad iepitel endometrium dan stromanya, akhirnya menimbulkan
endometriosis.24 Hal ini jarang ditemukan pada spesimen histologis,
namun pada kultur sel epitel permukaan ovarium bersama dengan sel

8
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

stroma endometrium menunjukkan pembentukan struktur luminal


kelenjar jika ditambahkan estradiol (E2).26 Hal ini menunjukkan aliran
menstruasi retrograde dapat menjadi pemicu perubahan jaringan
mesothel epitelium.26
Teori sisa ductus Muller memaparkan bahwa dalam
perjalanan diferensiasi dan migrasi ductus Muller, beberapa sel
primordial dapat tersebar didasar panggul posterior. Hal ini dapat
menjelaskan mengapa endometriosis ssering ditemukan pada cavum
Douglas, ligament uterus akralis, septum rekto vaginal, bahkan
ditemukan endometriosis pada wanita muda dengan sindrom Mayer
Rokitansky Kuster Hauser.27
Teori defek imun mencoba menjelaskan bahwa terdapat
ketidak mampuan tubuh untuk menolak sel – sel endometrium ektopik
tersebut. Hal ini didukung oleh temuan peningkatan sel – sel radang
dalam cairan peritoneum wanita denga endometriosis, namun
aktivitasnya menunjukkan kecenderungan untuk mendukung
pertumbuhan melalui sekresi faktor pertumbuhan dan sitokin yang
merangsang proliferasi jaringan endometrium ektopik dan menghambat
fungsi perusaknya.28 Sel peritoneal wanita dengan endometriosis juga
menunjukkan ekspresi berlebihan reseptor penghambat pemusnahan
oleh sel NK.29 Cairan folikel dan cairan peritoneum yang diperoleh dari
wanita dengan endometriosis mampu merangsang pertumbuhan kultur
sel stroma endometrium.12. Adesi dan neovaskularisasi juga

9
kemungkinan disebabkan oleh adanya metabolisme heme yang
bersumber dari hemolisis sel darah dalam kavum peritoneum.
Akumulasi heme lebih lanjut dapat memulai proses pembentukan
radikal bebas, inflamasi, memicu perlekatan sel yang akhirnya memicu
terbentuknya lesi endometriosis. Tingginya radikal bebas tidak disertai
dengan peningkatan aktivitas antioksidan, sebaliknya, dalam cairan
folikel dan cairan peritoneum wanita dengan endometriosis didapatkan
penurunan aktivitas antioksidan.22,30

Gambar 2 Perkembangan Terbentuknya Lesi Endometriosis


Dalam Kavum Pelvis20

10
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Komposisi Cairan Folikel Pada Ovarium Dengan Endometriosis

Endometriosis mempengaruhui jaringan sekitarnya. Berbeda dengan


kista non-endometriosis, endometrioma tidak dikelilingi oleh kapsul
sebagai barrier fisik antara isi kista dengan jaringan normal ovarium,
namun dinding endometrioma adalah jaringan tipis korteks ovarium itu
sendiri atau jaringan fibroreaktif.35 Demikian pula komposisi cairan kista
endometrioma dapat mempengaruhi korteks dan folikel yang sedang
berkembang disekitarnya.
Cairan kista endometrioma mengandung heme yang berlebihan
karena proses hemolisis eritrosit berulang dalam kista tersebut,
menghasilkan hemosiderin, heme, atau deposisi Fe yang menyebabkan
reaksi inflamasi kronis dan memicu reaksi oksidatif. Kadar Fe dalam
cairan endometrioma bisa mencapai 10.000 kali lipat kadar serum. 36
Cairan folikel pada ovarium dengan endometrioma stadium III dan IV
ditemukan mengandung besi lebih tinggi dibandingkan cairan folikel
pada ovarium wanita yang menjalani IVF karena faktor tuba. 37 Kadar
besi total meningkat bermakna, pada satu ovarium, pada folikel yang
berdekatan dengan endometrioma dibandingkan dengan folikel yang
berjauhan dari endometrioma, begitu pula pada folikel dari ovarium
kontralateral.35 Hasil serupa juga diperoleh pada analisa Ferritin H dan
L, didapatkan lebih tinggi pada folikel yang berdekatan dengan
endometrioma dibandingkan kontralateral.38 Deposisi besi dapat
menimbulkan reaksi oksidatif melalui proses autooksidasi atau reaksi

11
Fenton menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) berupa anion
superoksida (O2-) atau radikal hidroksil (OH). (Bagan 2.1)

A. Hb-Fe2+ (OksiHb) + O2 Hb-Fe2+ - O2 Hb-Fe3+ (metHb) +


O2-
B. Fe2+ + H2O2  Fe3+ + OH- +OH

Gambar 3. Reaksi Autooksidasi Fe.39

Autooksidasi hemoglobin juga menghasilkan ROS yang merusak seperti


hidrogen peroksida. Reaksi Oksidasi menyebabkan transisi dari
deoksiHb menjadi metHb. Hidrogen peroksida bereaksi dengan
deoksiHb atau metHb dan membentuk ferryl hemoglobin yang sangat
reaktif. Besi ferrous (Fe2+) mengkatalisa baik reaksi Fenton dan
peroksidase lipid, menghasilkan ROS. Besi yang terikat oleh
nontransferrin amat besar kemungkinannya membentuk radikal bebas
reaktif.39
Analisa proteomik menggunakan mass spectrometry untuk
mengetahui profil protein cairan folikel proksimal terhadap
endometrioma dibandingkan kontrol menemukan terdapat peningkatan
proses katabolik terkait hidrogen peroksida pada cairan folikel di
kelompok endomettrioma.40 Ditemukan pula peningkatan beberapa
protein yang terkait dengan mekanisme kematian sel, seperti ubiquitin,

12
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

protein S100-A8, Annexin A1, yang dapat mengkonfirmasi keterlibatan


stres oksidatif dalam maturasi folikel.8,41,42
Endometriosis dapat memicu reaksi inflamasi.43 Berbagai
mediator pro inflamasi cytokine seperti Interleukin (IL)-8, IL-6, IL-13, IL-
17 dan Ca 125 telah ditemukan dalam kista endometrioma. Cairan folikel
pada wanita dengan endometriosis unilateral dan bilateral
dibandingkan dengan dua kelompok kontrol, dan didapatkan kadar IL-6
dan IL-8 setara antara kedua kelompok, namun TNF-α hanya dapat
dideteksi pada endometrioma bilateral. Pada penelitian yang sama,
folikel dengan kadar sitokin tinggi, dengan atau tanpa endometrioma
didapatkan pada ovarium tersebut, juga didapatkan kaitan dengan
ambilan oosit yang lebih rendah.44
Komposisi cairan folikel penderita endometriosis derajat sedang-
berat banyak mengandung sitokin proinflamasi dan Reactive Oxigen
Species (ROS). Cairan kista endometrioma mengandung heme yang
berlebihan karena proses hemolisis eritrosit berulang dalam kista
tersebut, menghasilkan hemosiderin, heme, atau deposisi Fe yang
menyebabkan reaksi inflamasi kronis dan memicu reaksi oksidatif.2. ROS
akan merusak jaringan epitel dan stroma ovarium sehingga cairan kista
endometriosis akan berdifusi masuk kedalam folikel dengan akibat
cairan folikel akan banyak mengandung sitokin dan iron. Iron memediasi
terbentuknya ROS melalui reaksi Fenton berupa superokside anion atau
radikal hidroksil yang merangsang terjadinya stress oksidatif. ROS yang

13
berlebihan akan mengakibatkan pelepasan ion Calcium (Ca2+) dari
Endoplasmik retikulum yang mengakibatkan permiabelitas membran
mitokondria menjadi tidak stabil dan tejadi kerusakan dan kematian sel
yang ditadandai dengan keluarnya mediator biomolekuler cytochrome
C. Akibat terjadinya kerusakan mitokondria maka produksi ATP akan
menurun dan penurunan ATP akibat kerusakan mitokondria dilaporkan
sebanyak 65 % oleh Hsu, et al.5

Stress Oksidatif pada endometriosis

Stress oksidatif terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan antara ROS


dan antioksidan. ROS merupakan molekul yang memiliki suatu elektron
yang tidak berpasangan dan menstabilkan dirinya dengan
mengekstraksi elektron dari molekul lain dalam tubuh, seperti lemak,
asam nukleat dan protein. Antioksidan merupakan suatu mekanisme
pertahanan yang dibentuk oleh tubuh untuk menetralisir ROS. ROS
memiliki peran fisiologis yang penting dalam tubuh dengan
mempengaruhi fungsi reproduksi. Bertugas sebagai pemberi sinyal
molekul, ROS dapat memodifikasi proses reproduksi seperti fungsi tuba,
maturasi oosit dan folikulogenesis. Makrofag dan jaringan apoptosis
endometrium yang menempel pada kavum peritoneum melalui
menstruasi retrograde dapat menginduksi stress oksidatif pada wanita
dengan endometriosis.1,45

14
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

eNOS: endothelial nitric oxide synthase; SOD: superoxide dismutase


Gambar 4. Modulasi keseimbangan redoks sepanjang siklus menstruasi.1

Sama seperti sel kanker, endometriosis memiliki


kecenderungan untuk invasi jaringan, pertumbuhan yang tidak
terkontrol, kemampuan angiogenesis, kemampuan menghindari
apoptosis dan penyebaran jauh. Survival jangka panjang dan proliferasi
lesi endometriosis tergantung pada suplai pembuluh darah yang
adekuat melalui angiogenesis dan proteksi dari apoptosis. Diketahui

15
bahwa pada endometriosis terjadi peningkatan produksi ROS yang
berkaitan dengan peningkatkan laju proliferasi. ROS bertindak sebagai
second messenger untuk proliferasi sel. Terjadinya peningkatan ROS
berkaitan dengan proliferasi sel melalui aktivasi jalur sinyal mitogen
activated protein kinase (MAPK).1,35
Endometriosis merupakan suatu proses inflamasi kronis, yang
menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivasi makrofag sehingga
melepaskan sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL) 2, 4, 10, TNF-
dan IFN-. Pada kasus dengan deep infiltrating endometriosis (DIE)
terdapat peningkatan kadar serum dan peritoneal IL-33 dibandingkan
dengan tanpa endometriosis dan endometriosis superfisial. Peningkatan
aktivitas makrofag dan inflamasi merupakan penyebab utama
meningkatnya stress oksidatif. Proses inflamasi dan stimulasi
hiperestrogenik pada endometriosis berkaitan dengan proses rantai
makanan yang berkesinambungan (feed-forward cycle) oleh
peningkatan kadar cyclooxygenase 2 (COX2) dan CYP19A1, yang
menyebabkan produksi terus menerus dari prostaglandin dan estrogen.1
Jaringan endometrium dan darah menstruasi yang ditemukan
di dalam rongga peritoneum bertindak sebagai antigenik dan aktivasi
makrofag. Jumlah dan aktifitas makrofag di dalam cairan peritoneum
pada endometriosis mengalami peningkatan, yang menyebabkan
peningkatan fagositosis antigen sehingga melepaskan ROS. Bersamaan
dengan terjadinya peningkatan aktivitas makrofag, terjadi juga

16
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

peningkatan regulasi faktor transkripsi NF-B selama proses


endometriosis. NF-B selanjutnya dapat meningkatkan keadaan
inflamasi lebih jauh lagi dan menyebabkan aktivasi banyak gen yang
menginduksi progresi dari endometriosis. Peningkatan NF-B juga dapat
disebabkan oleh peningkatan kadar besi dan juga dapat dilepaskan oleh
makrofag, yang ditemukan oleh Lousse dkk., dimana memiliki
kemampuan untuk mensekresi faktor transkripsi tersebut. NF-B
kemudian dapat berikatan dengan DNA dan menyebabkan transkripsi
dari gen yang mengkode sitokin, faktor pertumbuhan, faktor angiogenik,
molekul adesi dan menginduksi enzim seperti nitric oxide (NO) synthase
dan COX. Salah satu tipe utama dari molekul adesi yang dapat diaktivasi
melalui proses tersebut yaitu intercellular adhesion molecule-1 (ICAM-
1). mRNA dan protein ICAM-1 juga ditemukan meningkat pada sel
ektopik endometrial. Dimana pada penelitian yang dilakukan oleh
Gonzalez-Ramos yang meneliti lesi endometriosis hitam dan merah
menemukan bahwa implantasi lesi endometriosis memiliki kemampuan
proliferasi sangat besar dan memiliki ekspresi ICAM-1 yang besar.
Aktivasi konstitusi dari faktor transkripsi NF-B juga ditemukan pada lesi
merah. Dimana semenjak lesi merah terjadi pada tahap awal dari proses
endometriosis, pengukuran dan target kadar NF-B dapat digunakan
sebagai diagnosis awal dan target terapi untuk menurunkan
progresivitas dari penyakit.1,35

17
Kelompok enzim lain yang mempunyai peranan dalam
peningkatan ROS dan progresi penyakit endometrial adalah MMPs.
Berbagai tipe MMPs dihasilkan oleh sel stroma endometrial dan
memainkan peran sepanjang siklus menstruasi. MMPs merupakan
enzim proteolitik yang terlibat dalam proses remodeling dan degradasi
matriks ekstraseluler. Pada endometriosis, proses remodeling jaringan
merupakan komponen yang penting dalam patofisiologi endometriosis.
Tissue inhibitors of matrix-metalloproteinases (TIMPs) merupakan
regulator dari bentuk aktif MMPs. Dalam proses terjadinya implantasi
sel ektopik, matriks ekstraseluler dari mesotelial peritoneum harus
didegradasi, yang di fasilitasi oleh MMPs. Selain itu, faktor pertumbuhan
angiogenik seperti VEGF juga meningkat pada cairan peritoneum wanita
endometriosis. Dimana makrofag dan sel-sel imun lainnya diaktivasi
selama proses inflamasi yang mempunyai kemampuan untuk
menghasilkan peningkatan jumlah VEGF. Pertahanan utama tubuh
dalam melawan stress oksidatif adalah antioksidan. Molekul tersebut
mendonasikan elektron untuk ROS sebagai perintah untuk
menginaktivasi ROS, membatasi produksinya atau merusak sumber
penyebabnya. Antioksidan dapat berupa enzimatik seperti katalase dan
glutathione peroxidase, atau berupa non-enzimatik seperti vitamin A, C
dan E. Wanita dengan endometriosis cenderung memiliki pembentuk
stress oksidatif yang tinggi pada cairan peritoneum.1

18
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Gambar 5. Peranan stress oksidatif dalam patofisiologi endometriosis.1

Besi merupakan elemen penting yang tergabung pada berbagai


molekul tubuh, termasuk hemoglobin (Hb). Namun, produksi yang
berlebihan dan peningkatan kadar besi pada cairan peritoneum oleh
karena menstruasi retrograde menyebabkan stress oksidatif. Sel-sel
endometrial ditemukan pada kavum abdomen dari 59-79% wanita
menstruasi, namun tidak semua berkembang menjadi endometriosis,
hal tersebut dapat disebabkan oleh karena adanya kegagalan atau
efisiensi mekanisme proteksi melawan peningkatan kadar besi, seperti
makrofag sebagai pemelihara hemostasis besi, haptoglobin untuk
mengikat Hb dan produksi kompleks hemopexin-heme. Makrofag
memainkan peranan yang besar dalam hemostasis kadar besi dan
memiliki kemampuan pagositosis eritrosit, dan melepaskan Hb dan

19
heme. Selanjutnya, molekul tersebut akan dipecah menjadi besi, ferritin,
karbon monoksida dan bilirubin melalui enzim yang disebut heme
oxygenase 1 (HO-1). Hb yang dilepaskan dari eritrosit juga dapat
berikatan dengan haptoglobin (Hp), yang merupakan protein scavenger.
Kompleks Hb-Hp kemudian dikenali oleh suatu reseptor scavenger
CD163 pada permukaan makrofag dan difagositosis. Pada akhirnya,
sejumlah heme yang bebas melayang dilepaskan selama metabolisme
Hb akan berikatan dengan hemopexin, yang memiliki kemampuan
sebagai antioksidan.1,45
Feritin merupakan suatu antioksidan, mengikat besi yang
memungkinkan untuk menurunkan jumlah elemen yang tersedia untuk
menghasilkan stress oksidatif melalui reaksi Fenton. Namun, oleh
karena peningkatan jumlah eritrosit yang terdapat pada kavum
peritoneum pada wanita endometriosis, sistem pengikat feritin secara
cepat menjadi kewalahan, menyebabkan terjadinya pelepasan besi ke
dalam kavum peritoneum, kemudian ikut terlibat dalam reaksi Fenton
membuat radikal hidroksil (OH), dan menghasilkan stress oksidatif.
Penyebab lain dari ketidakseimbangan ROS-antioksidan adalah
menurunnya jumlah bilirubin, merupakan suatu antioksidan potensial
yang dihasilkan oleh heme oxygenase (HO) yang memecah heme. Kadar
HO-1 ditemukan meningkat pada endometrium ektopik khususnya pada
lesi merah, tetapi tidak pada mesotelial peritoneum atau makrofag.
Penurunan ekspresi dari enzim HO-1 menyebabkan tidak terbentuknya

20
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

produk akhir dari pemecahan heme, bilirubin, pembentukan dan


kemampuan antioksidan akan menghilang. Peningkatan kadar OH-1
pada endometriosis juga bertujuan untuk menginduksi proses autopagi.
Autopagi merupakan mekanisme pertahanan metabolik dengan
menangkap suatu makromolekul dan selanjutnya didegradasi. Aktivasi
secara luas dari proses autofagi sangat letal terhadap sel, yang
menyebabkan kematian sel autopagi. Secara keseluruhan, kelebihan
besi menyebabkan peningkatan proliferasi lesi endometrial dan progresi
dari endometriosis. 1,45

Gambar 6. Sumber elemen besi dalam rongga peritoneum penderita


endometriosis.45

Kista endometrioma adalah suatu lesi endometriosis yang


mengandung cairan dengan kandungan heme yang berlebih yang
dihasilkan oleh perdarahan berulang dalam kista tersebut selama siklus
mestruasi. Suatu penelitian menunjukkan kadar besi total dalam cairan

21
kista endometriotis dan serum sebesar 250 mg/L dan 1 mg/L,
menunjukkan kadar yang lebih tinggi dalam cairan kista. Hemosiderin,
heme, atau deposisi besi, ROS, enzim proteolitik dan molekul inflamasi
dalam lesi endometriotis dipikirkan sebagai pemicu stress oksidatif dan
inflamasi kronis yang dapat merusak jaringan sehat disekitarnya. Heme
dan besi bebas yang dilepaskan dari hemoglobin merupakan komponen
toksik. Kerusakan biomolekul akibat oksidasi dari komponen tersebut
diperoleh melalui dua proses yaitu autooksidasi atau reaksi Fenton. 2,35,39
Autooksidasi adalah proses degradasi hemoglobin nonenzimatik yang
dimulai oleh hidrogen peroksida atau ROS lainnya. Proses ini berjalan
lambat. Hemoglobin teroksidasi dari bentuk ferrous teroksigenasi
(oxyHb-Fe2+) menjadi bentuk Ferri metHb (metHb-Fe3+) dengan
pembentukan anion superoksida (O2−) dengan jalur autooksidasi sebagai
berikut : Hb-Fe2+ (OksiHb) + O2  Hb-Fe2+ - O2  Hb-Fe3+ (metHb) + O2-
Autooksidasi hemoglobin juga menghasilkan ROS yang merusak seperti
Hidrogen Peroksida (H2O2). Reaksi oksidasi menyebabkan transisi dari
deoksiHb menjadi metHb. Hidrogen peroksida bereaksi dengan
deoksiHb atau metHb dan membentuk ferryl hemoglobin yang sangat
reaktif.2,35
Reaksi Fenton, besi ferrous (Fe2+) labil mengkatalisa baik reaksi
Fenton dan peroksidase lipid, menghasilkan ROS. Besi yang terikat oleh
nontransferrin memiliki kemungkinan yang sangat besar membentuk
radikal bebas reaktif. Pembentukan radikal bebas oksigen seperti radikal

22
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

hidroksil (OH) oleh besi telah ditunjukkan dalam reaksi Haber-Weiss


dan Fenton sebagai berikut: Fe2+ + H2O2  Fe3+ + OH- +OH, Radikal
superoksid berkaitan dengan pembentukan Fe2+ dan H2O2 dan
selanjutnya memproduksi OH.2,35

Gambar 7. Gambar Jaringan “toksik” dari cairan endometrioma.35

Eritrosit di dalam kista endometriosis cenderung mengalami hemolisis,


hemoglobin yang dilepaskan rentan mengalami autooksidasi dan dapat
secara spontan merubah oksihemoglobin (oksiHb, ferrous Fe2+) menjadi
methemoglobin (metHb, Ferri Fe3+). Perubahan ini menunjukkan
pergeseran ke arah pembentukan ROS secara berlebihan yang
berpotensi menimbulkan kerusakan jaringan pada wanita dengan
endometriosis.2 ROS meliputi anion superoxide, hydrogen peroxide dan
hydroxyl radicals. Stress oksidatif terjadi ketika produksi ROS melebihi

23
kapasitas pertahanan antioksidan seluler untuk membuang agen toksik
tersebut, dengan mengubah ROS manjadi keadaan inaktif. Faktor-faktor
yang secara spesifik berkaitan dengan stress oksidatif yang terdapat
dalam cairan kista yaitu: 35,39
1. Kadar lactose dehydrogenase (digunakan sebagai marker
kerusakan jaringan) dimana ditemukan sebesar 7.717  4.540
IU/l di dalam kista endometrium dibandingkan dengan 64,5 
102,5 IU/l pada kista ovarium jinak lainnya,
2. Konsentrasi lipid peroxide secara signifikan lebih tinggi pada
kista endometriosis dibandingkan dengan jenis kista yang
lainnya, dan
3. 8-hydroxydeoxyguanosine (8-OHdG, merupakan suatu
nukleosid teroksidasi dari DNA yang sangat sering dideteksi
sebagai marker kerusakan DNA) dimana kadarnya lebih tinggi
dibandingkan jenis kista lainnya.
Jadi, cairan pada kista endometriosis merupakan inducer yang kuat
terhadap stress oksidatif dalam sel-sel yang sehat. Stress oksidatif yang
diinduksi oleh ROS merubah fungsi seluler dengan mengatur ekspresi
gen dan aktivitas protein dari sitokin proinflamasi, molekul adesi, faktor
pertumbuhan dan angiogenik yang selanjutnya mempengaruhi kerja
normal dari jalur sinyal penting, seperti, jalur mitogen-activated protein
kinase (MAPK), faktor transkripsi AP-I, jalur NF-B dan hypoxia-inducible
transcription factors. Faktor-faktor lokal dalam kista dinyatakan

24
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

bertanggung jawab terhadap terjadinya perubahan genetik pada sel-sel


endometriosis yang melapisi bagian dalam endometrioma ovarium yang
meliputi.35
1. Faktor inflamasi dan sitokin, melalui aktivasi NF-B, dapat
meningkatkan angiogenesis, proliferasi sel, menghambat
apoptosis dan produksi ROS yang selanjutnya menginduksi
terjadinya kerusakan dan mutasi genetik,
2. Perubahan keseimbangan hormon steroid atau responsivitas
terhadap estrogen, yang berkaitan dengan patogenesis
terjadinya kanker ginekologi,
3. Stress oksidatif yang berkaitan dengan besi, saat ini dinyatakan
sebagai pemicu yang paling penting, yang mampu untuk
merusak “fragile sites” pada genom, meliputi jalur rentan p53.

Gambar 8. Perubahan molekuler yang disebabkan oleh sel endometriosis yang


melapisi permukaan dalam kista.35

25
Tidak seperti kista non-endometriotic lainnya (dermoid dan
serus atau musinus), yang memiliki anatomi kapsul yang asli,
endometrioma tidak dikelilingi oleh suatu kapsul. Batas antara cairan
kista dengan jaringan ovarium normal hanya merupakan suatu dinding
tipis dengan tebal 1 mm, yang dibentuk dari korteks ovarium tersebut
atau jaringan fibroreaktif. Berdasarkan atas bukti-bukti yang ditemukan,
terdapat rangkaian kejadian yang terjadi di dalam jaringan ovarium yang
mengelilingi endometrioma meliputi35
1. ROS berdifusi masuk ke dalam sel-sel disekitar atau terbentuk
di dalam jaringan sehat sebagai respon adanya kista,
ditunjukkan dengan adanya kadar 8-OHdG (merupakan suatu
marker kerusakan DNA) 10 kali lebih tinggi pada jaringan
sekitar endometrioma dari pada tipe kista lainnya. Hal
tersebut dapat terjadi melalui beberapa mekanisme yang
meliputi: adanya kista yang secara keseluruhan menyebabkan
distorsi struktur dari arsitektur ovarium yang memicu reaksi
inflamasi ovarium lokal yang menyebabkan produksi ROS,
selain itu adanya faktor-faktor dalam kista seperti besi, yang
dapat menyebar ke jaringan sekitar sehingga menyebabkan
pembentukan ROS, dan beberapa ROS bersifat membrane
permeable sehingga dapat menjadi molekul parakrin untuk
jaringan sekitarnya. Telah terbukti bahwa ROS secara

26
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

potensial dapat meyebabkan kerusakan katastropik pada


jaringan sehat jika dibiarkan.
2. ROS dan TGF- dapat menginduksi terjadinya fibrosis jaringan,
yang juga melibatkan kerja dari enzim proteolitik. Manifestasi
patologi dari fibrosis berupa adanya ekspansi elemen
mesenkimal, meliputi miofibroblas yang mensintesis sebagian
besar kolagen dan fibronektin, akumulasi protein ECM dan
kontraksi jaringan yang berlebihan.
3. Meningkatnya fibrosis menyebabkan berkurangnya sel-sel
stromal spesifik pada korteks. Sel stromal sangat penting
untuk membentuk folikel dan bekerja sebagai mediator dari
sinyal nutrisi dan molekuler. Metabolisme oksidatif ikut
terlibat di dalam setiap tahap perkembangan folikel ovarium
dan maturasi oosit. Ketidakseimbangan stress oksidatif dalam
lingkungan cairan folikel ovarium memiliki dampak yang
merusak perkembangan oosit dan embrio, dan luaran
kehamilan. Dimana hal tersebut menginduksi apoptosis oosit
dan nekrosis folikel tahap awal. Sehingga adanya
endometrioma dapat menurunkan tingkat ovulasi spontan
pada ovarium dan mengurangi jumlah folikel yang
berkembang dan oosit.
4. Pembentukan fibrosis dalam jaringan kortikal juga merupakan
suatu gambaran patogenik umum dari kehilangan folikuler

27
dimana densitas folikuler pada jaringan sehat paling sedikit 2
kali lebih tinggi dari pada jaringan disekitar kista
endometriosis.
5. Terjadi metaplasia otot polos, yang sebagian besar terjadi
pada tepi kista endometriosis dan merusak jaringan otot polos
fisiologis pada stroma kortikal dan folikel periovulasi.
6. Terjadi penghambatan angiogenesis ovarium dan kehilangan
kapiler sebagai konsekuensi secara langsung dari peningkatan
kadar ROS dan secara tidak langsung oleh kerusakan seluler
yang selanjutnya memicu over-expression dari faktor-faktor
yang mempengaruhi sistem vaskuler seperti TSP-I. Kadar TSP-
I disekitar sel-sel otot polos vaskuler meningkat secara tajam
sebagai respon terhadap injury. Melalui ekspresi reseptor
permukaan sel CD47, TSP-I mangaktivasi adenylate cyclase
dan merangsang apoptosis. Selain itu, TSP-I juga dapat
merangsang produksi ROS pada sel otot polos vaskuler dan
menginduksi disfungsi vaskuler dengan meningkatkan stress
oksidatif.

28
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Gambar 9. Rangkain kejadian yang terjadi pada jaringan ovarium sehat


disekitar endometrioma. 8-OHdG, 8-hydroxydeoxyguanosine; PAI-I,
plasminogen activator inhibitor-I; ROS, reactive oxygen species; TGF,
transforming growth factor; TSP-I, throbospondin-I.

Apoptosis pada endometriosis

Apoptosis mengacu pada kematian sel yang terprogram, ditandai


dengan kondensasi sel tanpa adanya inflamasi. Berbeda dengan nekrosis
yang merupakan suatu kematian sel patologis yang ditandai dengan
adanya pembengkakan dan inflamasi sel. Peningkatan ROS dan kalsium
menimbulkan fenomena yang disebut dengan mitochondrial
permeability transition (MPT), yang kemudian akan menyebabkan
terjadinya depolarisasi mitokondria dan uncoupling dari fosforilasi
oksidatif. MPT akan menyebabkan sekuestrasi dan degradasi lysosomal
dari mitokondria melalui proses autofagi.

29
Gambar 10. Mekanisme apoptosis dan nekrosis sel akibat ROS

Mekanisme kematian sel melalui jalur nekrosis diawali dengan adanya


Iskemia atau reperfusion injury yang akan meningkatkan Ca2+ di
mitokondria dan pembentukan ROS, hal ini akan menyebabkan
teraktifasinya MPT. Setelah terbentuknya MPT, perubahan dari ATP
akan memulai proses kematian sel. Apabila penurunan ATP terjadi
karena tergganggunya fosforilasi oksidatif dari mitokondria, akan terjadi
kerusakan barrier permeabilitas membran plasma yang akan
menyebabkan nekrosis. Sedangkan mekanisme kematian sel melalui
jalur apoptosis baik secara ekstrinsik maupun intrinsik diawali dengan
terjadinya pembengkakkan mitokondria setelah terbentuknya MPT

30
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

akibat aktivasi oleh ROS yang menyebabkan pelepasan dari molekul


proapotosis, seperti cytochrome c yang akan menyebabkan aktifasi dari
caspase 3 dan pada akhirnya terjadi apoptosis. Apabila kadar ATP pada
akhirnya mengalami penurunan setelah terjadi aktifasi dari caspase 3,
maka proses ini akan berlanjut dan akan terjadi nekrosis sekunder.
Peran kalsium dalam proses kematian sel baik melalui apoptosis
maupun nekrosis seperti dijelaskan pada bagan 1 sebelumnya bahwa
adanya stress akan memicu peningatan influx ion Ca2+ yang bersamaan
dengan meningkatnya ROS akan membentuk MPT dan memulai sekuens
proses kematian sel baik melalui jalur apoptosis atau nekrosis. Proses
kematian sel secara nekrosis diawali dengan terjadinya overload
intraseluler Ca2+, dan proses apoptosis juga terjadi melalui signaling
dari ion Ca2+. Cedera sel akan menyebabkan influx Ca2+ ekstraseluler
dan akan menyebabkan peningkatan Ca2+ di sitosol. Hal ini akan
menyebabkan aktifasi dari ATPase yang akan berdampak pada
penurunan ATP, aktifasi dari fosfolipase dan protease yang pada
akhirnya akan menyebabkan kerusakan membran sel, begitu juga halnya
dengan aktifasi dari endonuklease yang akan menyebabkan kerusakan
kromatin pada nukleus. Dari berbagai proses ini maka akan terjadi
kematian sel, baik melalui jalur apoptosis maupun nekrosis.
Terbentuknya ROS dapat memicu terjadinya apoptosis dan
kematian sel dengan akibat terbukanya lapisan luar mitokondria dan
terlepasnya faktor pro-apoptosis seperti cytochrome C, namun

31
hemoglobin dan heme juga memicu ekspresi gen antioksidan yang akan
mencegah kematian sel dengan menetralisir ROS (O 2- dan OH). Bagian
atas dari gambar di bawah menunjukkan pembentukan ROS yang
berperan dalam memicu apoptosis, kemungkinan melalui jalur mitogen-
activated protein (MAP) kinase. Caspase-3 dan bcl-2 juga terlibat dalam
proses apoptosis terkait ROS. Parameter ini menunjukkan suatu proses
induksi apoptosis fisiologis pada endometriosis. Bagian bawah dari
gambar transformasi ganas endometriosis. menunjukkan system
produksi antioksidan endogen yang dapat merubah ROS menjadi
senyawa intermediet dengan derajat reaktivitas lebih rendah. Eritrosit
memiliki banyak enzim yang mengkatalisa pemecahan H2O2 dan O2-.
Aktivitas prooksidan juga diatur oleh feritin, transferin, reseptor
transferin, cubilin, transporter metal divalen, transporter besi, dan
protein regulator besi. Gen yang mengkode antioksidan antara lain
heme oxygenase (HO), Superoxide dismutase (SOD), Glutathione
peroxidase (GPX), peroxiredoxins (PRX), Catalase (CAT), dan nuclear
factor erythroid 2-like 2 (NFE2L2).2

32
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Gambar 11. Transformasi ganas endometriosis: keseimbangan antara


pembentukan ROS dan pembentukan antioksidan endogen. 2

Nitric oxide (NO) adalah molekul yang penting untuk proses


biologi reproduksi sebagai pemelihara kehamilan pada keadaan yang
fisiologis. Akan tetapi, pada konsentrasi yang tinggi, NO memiliki efek
yang merusak pada gamet, embrio, fungsi ovarium. Dimana telah
dinyatakan bahwa IL-10, yang meningkat pada tahap awal
endometriosis, dapat merangsang perlepasan NO oleh makrofag. NO
synthase, enzim yang pada akhirnya menghasilkan NO melalui konversi
L-arginine menjadi L-citrulline, dapat ditemukan dalam 3 bentuk, yang
meliputi bentuk neuronal, NOS1, bentuk indusibel NOS2 (iNOS) dan
bentuk endothelial NOS3 (eNOS). Pada wanita endometriosis dengan
infertilitas memiliki makrofag dengan aktivitas iNOS yang tinggi dan

33
selanjutnya melepaskan kadar NO yang lebih tinggi dibandingkan tanpa
endometriosis. Makrofag pada peritoneum memiliki kemampuan untuk
bergerak dari kavum peritoneum ke bagian lain pada sistem reproduksi
wanita seperti tuba falopi dimana tempat fertilisasi terjadi dan menjadi
tempat untuk meningkatkan kemampuan untuk menghasilkan NO yang
meningkatkan risiko terjadinya infertilitas.1

Gambar 12. Jalur patologi apoptosis yang diinduksi oleh ROS dan NOS 1

Kadar NOS dan NO berhubungan dengan kadar hormon


reproduksi estrogen dan progesteron. Ketika sampel gula darah puasa
diambil dari wanita endometriosis dengan infertilitas, ditemukan bahwa
terdapat hubungan yang positif antara kadar estrogen dan progesteron

34
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

dengan kadar protein eNOS. NO mengaktivasi COX2, selanjutnya terjadi


peningkatan kadar prostaglandin seperti prostaglandin E2 dan
menyebabkan peningkatan kadar aromatase. Akibat dari peningkatan
estrogen menyebabkan perangsangan ekspresi gen eNOS yang lebih
jauh melalui lengkung umpan balik positif. NO merupakan suatu
vasodilator dan merupakan salah satu mediator utama dari
endothelium-dependent vasodilation. Pada endometriosis, NO
merupakan bagian dari pengatur aliran darah yang mempengaruhi
kemampuan angiogenesis, suatu komponen krusial dari ketahanan lesi
endometriosis, dimana pada endometriosis terjadi penurunan dari flow-
mediated vasodilatation. Kadar asymmetric dimethylaginine, yang
merupakan penghambat NO synthase endogen secara signifikan
meningkat pada endometriosis, yang berkaitan dengan penurunan dari
fungsi endotel.1
Secara umum oksidan dan antioksidan berada dalam
keseimbangan, namun pada endometriosis terjadi ketidakseimbangan.
Dalam merespon heme dan besi yang menginduksi stress oksidatif, gen
NFR2 mengatur ekspresi berbagai enzim detoksifikasi dan antioksidan
seperti NQO1, GSTP1, dan GPX yang berkurang pada endometriosis. 2
Yamaguchi menemukan bahwa cairan kista endometrioma
mengandung konsentrasi tinggi besi bebas dibandingkan cairan kista
jinak nonendometriotik. Deteksi faktor terkait stress oksidatif juga
ditemukan meningkat, seperti kadar LDH sebagai marker kerusakan sel,

35
PAO, marker antioksidan, LPO, marker oksidatif, dan 8-OhdG.
Pengukuran ROS invitro intraselular antara sel endometrium normal dan
sel permukaan ovarium menunjukkan peningkatan jika diberikan cairan
kista endometriosis.36 Ngo melakukan pengukuran produksi ROS berupa
Superoksid dan Hidrogen peroksida dan antioksidan dalam sel
endometrium dan sel endometriotik melalui spectrofluorimetry dan
aktivitas enzim antioksidan menemukan peningkatan produksi ROS dan
penurunan aktivitas catalase dan glutahion peroxidase.46
Terdapat hubungan antara endometriosis dan peningkatan
apoptosis sel-sel granulosa. Adanya perubahan pada kinetik siklus sel
granulosa menyebabkan terjadinya kegagalan pertumbuhan folikel dan
maturasi oosit pada endometriosis. Dalam penelitian yang melibatkan
30 wanita infertil yang mejalani program IVF, melaporkan bahwa rerata
laju apoptosis sel-sel granulosa tertinggi pada kelompok dengan
endometriosis dibanding kelompok wanita infertil yang disebabkan oleh
faktor tubal, faktor suami, maupun faktor idiopatik.47 Terdapat hipotesis
bahwa interaksi antara faktor-faktor yang berperan pada proses
apoptosis normal seperti produk-produk gen supresor tumor (Rb, p53)
dan protein siklin juga bersifat abnormal pada endometriosis derajat
berat. Semakin berat derajat apoptosis, pertumbuhan folikel semakin
terganggu dan jumlah oosit yang dapat diambil dan dibuahi juga
menurun jika dibandingkan dengan penyebab infertilitas yang lain.
Endometriosis juga berhubungan dengan gangguan siklus sel (cell cycle)

36
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

pada sel-sel granulosa. Penelitian sebelumnya melaporkan bahwa siklus


sel granulosa pada pasien endometriosis bersifat abnormal dibanding
siklus sel pada pasien dengan penyebab infertilitas lain. Siklus sel terdiri
dari fase G1, S, G2, dan M. Fase G1 adalah fase duplikasi inlet, S adalah
fase di mana DNA disintesis, G2 adalah fase yang menghubungkan fase
S dan fase M. Pada fase M, terjadi pembelahan sel membentuk 2 sel
anak (daughter cells). Persentase sel granulosa yang berada pada fase S
lebih tinggi pada pasien endometriosis dibanding pasien infertil dengan
penyebab yang lain. Persentase sel granulosa yang berada pada fase
G2/M lebih rendah pada pasien endometriosis. Peningkatan apoptosis
sel granulosa menyebabkan kualitas oosit yang jelek dan mengurangi
fertilisasi dan tingkat kehamilan.7,47
Apoptosis sel granulosa menyebabkan gangguan di dalam
pertumbuhan dan maturasi oosit dan berhubungan dengan penurunan
produksi growth differentiation factor-9 (GDF-9) yang merupakan faktor
penting untuk folikulogenesis normal dan fertilitas. Kegagalan
folikulogenesis tersebut menyebabkan berkurangnya kualitas oosit.
Sitoskleton dari oosit metafase II dipengaruhi oleh faktor proinflamasi
yang terdapat pada cairan peritoneum endometriosis yang
menyebabkan terbentuknya spindel miosis abnormal dan kesalahan
penyelarasan kromosom (misalignment). Spindel miosis mempunyai
peran yang penting dalam memelihara organisasi kromosom dan
pembentukan second polar body. Kesalahan organisasi dari spindel

37
miosis dapat menyebabkan dispersi kromosom, kegagalan fertilisasi
normal, dan perkembangan yang abnormal. Perubahan dari spindel
merupakan salah satu penyebab terjadinya infertilitas dan atau
keguguran berulang pada pasien dengan endometriosis. ROS
memberikan efek yang buruk pada oosit, dimana ROS dapat berdifusi
dan masuk ke membran sel dan merubah sebagian besar molekul seluler
seperti lemak, protein dan asam nukleat. Hal tersebut menyebabkan
terjadinya perubahan pada mitokondria, embryo cell block, pemecahan
dan apoptosis ATP. Oleh karena itu, faktor-faktor proinflamasi dan ROS
yang terdapat pada cairan folikel endometrioma dapat berdifusi dan
mempengaruhi komunikasi autokrin-parakrin dari folikel ovarium dan
meyebabkan perubahan siklus sel dan meningkatkan apoptosis sel
granulosa. Selain itu, adanya faktor proinflamasi dan ROS dapat
mempengaruhi oosit berupa spindel miosis yang abnormal,
misalignment kromosom dan penurunan produksi GDF-9. Hal tersebut
menyebabkan kerusakan komunikasi oosit-sel granulosa dan
folikulogenesis yang abnormal dan menyebabkan penurunnya kualitas
oosit.48

38
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Gambar 13. Folikulogeneis abnormal pada endometriosis.48

Peran mitokondria pada endometriosis

Pada sel manusia mengandung kurang lebih 100 sampai 1000


mitokondria. Secara struktur mitokondria terdiri dari 4 komponen yaitu:
1. Membran bagian luar (outer membrane) yang permiabel terhadap ion
dan molekul tertentu. 2. Ruang intermediate (intermediate space), yang
mempunyai komposisi yang sama dengan cytosol. 3. Membran bagian
dalam (inner membrane) yang merupakan tempat respirasi dari
rangkaian preotein. Inner membrane ini berupa lipatan krista yang
banyak sehingga merupakan area permukaan yang luas. 4. Bagian dalam
mitokondria (inner part) / matrik, merupakan tempat sebagian besar
reaksi metabolik.

39
Mitokondria merupakan pabrik energi sel. Energi dihasilkan
melalui proses fosforilasi oksidatif oleh mitokondria sehingga
mitokondria merupakan sumber spesies oksigen reaktif (reactive oxygen
species / ROS). Varian DNA mitokondria (mtDNA) mungkin memainkan
peran sebagai etiologi beberapa penyakit autoimun dan inflamasi
kronis. Dalam sebuah penelitian dilaporkan bahwa polimorfisme DNA
mitokondria berhubungan dengan risiko endometriosis.49 Varian mtDNA
16189 dan kombinasi mtDNA 16189 dan 10398 meningkatkan risiko
menderita endometriosis.5
Mengingat peran mitokondria yang sangat penting dalam fungsi
sel, sangat memungkinkan bahwa mutasi mtDNA yang mempengaruhi
kompleks enzim respirasi oksidatif terlibat dalam patogenesis
endometriosis melalui akumulasi spesies oksigen reaktif (ROS) dan
apoptosis yang diinduksi mitokondria disfungsional. Varian mt16189
telah terbukti berhubungan dengan resistansi insulin, sindroma
metabolik, dan kerentanan terhadap diabetes mellitus tipe 2.50,51,52
Pada oosit yang menua (aging), terjadi disfungsi mitokondria
yakni peningkatan kerusakan mtDNA, aneuploidi kromosom, apoptosis,
penurunan potensial membran mitokondria, serta perubahan pada
ekspresi gen mitokondria. Hsu, et al. (2014) melaporkan bahwa disfungsi
mitokondria juga terjadi pada sel-sel kumulus (sel granulosa) pada
pasien-pasien dengan endometriosis. Akibat disfungsi mitokondria,
terjadi peningkatan apoptosis dan stress oksidatif pada oosit.

40
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Pada wanita dengan endometriosis derajat sedang-berat akan


terjadi perubahan komposisi cairan folikel yang banyak mengandung
sitokin proinflamasi dan Reactive Oxigen Species (ROS). Cairan kista
endometrioma mengandung heme yang berlebihan karena proses
hemolisis eritrosit berulang dalam kista tersebut, menghasilkan
hemosiderin, heme, atau deposisi Fe yang menyebabkan reaksi
inflamasi kronis dan memicu reaksi oksidatif.2 ROS akan merusak
jaringan epitel dan stroma ovarium sehingga cairan kista endometriosis
akan berdifusi masuk kedalam folikel dengan akibat cairan folikel akan
banyak mengandung sitokin dan iron. Deposisi besi dapat menimbulkan
reaksi oksidatif melalui proses autooksidasi atau reaksi Fenton
menghasilkan Reactive Oxygen Species (ROS) berupa anion superoksida
(O2-) atau radikal hidroksil (OH). ROS yang berlebihan akan
mengakibatkan pelepasan ion Calcium (Ca2+) dari Endoplasmik
retikulum yang mengakibatkan permiabelitas membran mitokondria
menjadi tidak stabil dan selanjutnya akan terjadi nekrosis dan apoptosis
mitokondria yang ditandai dengan dikeluarkannya molekul pro-
apoptosis cytochrome C. Akibat terjadinya kerusakan mitokondria maka
produksi ATP akan menurun dan penurunan kadar ATP pada penderita
endometriosis dilaporkan sebanyak 65 %.5

41
Mekanisme infertilitas pada wanita dengan endometriosis.

Endometriosis dan gangguan anatomi pelvis


Terjadinya distorsi uterotubal telah diketahui sebagai salah satu
mekanisme menurunnya fertilitas pasien dengan endometriosis.
Perlekatan dapat menyebabkan distorsi antara tuba dan ovarium, yang
menyebabkan gangguan pengambilan oosit oleh fimbrie tuba. Kissler et
al. 2006 melaporkan bahwa endometriosis dapat menyebabkan
berkurangnya kemampuan transportasi dari uterotubal. Mereka
menyimpulkan bahwa gangguan hyperperistalsis dan dysperistalsis dari
transportasi uterotubal pada wanita dengan endometriosis merupakan
penyebab infertilitas wanita. Endometriosis berat juga dihubungkan
dengan kejadian perlekatan pelvis dan distorsi anatomi pelvis yang
kemungkinan sebagai penyebab terjadinya gangguan anatomi dan
mekanik pada kasus infertilitas. Faktor lain sebagai penyebab terjadinya
distorsi dari anatomi pelvis pada kasus infertilitas adalah endometrioma
yang besar. Somigliana et al. 2006 menemukan bahwa pengangkatan
endometrioma denagn laparoskopi secara signifikan akan
mengingkatkan fertilitas.

Endometriosis dan gangguan feedback Pituitary – ovarian.


Pada siklus wanita yang normal, pituitary akan mengeluarkan FSH dan
LH untuk merangsang folikel agar berkembang. Kemudian steroid yang
dihasilkan folikel ini akan memberikan umpan balik positif dan negatif

42
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

kepada pituitary untuk terjadinya LH surge sehingga akan terjadi ovulasi.


Pada wanita endometriosis aksis pituitary – ovarian ini mengalami
disfungsi sehingga menggangu mekanisme umpan balik. Ternyata
wanita dengan endometriosis memiliki pola sekresi LH yang abnormal
dan masalah ini akan menyebabkan gangguan pertumbuhan folikel,
gangguan ovulasi dan gangguan perkembangan korpus luteum. 60

Endometriosis dan gangguan fungsi ovarium


Folikulogenesis- Selama fase folikuler yang normal, perkembangan
folikel dikontrol oleh keseimbangan hormonal. FSH akan menyebabkan
folikel tumbuh dan berkembang dan akan menghasilkan estradiol,
activin dan inhibin, dan sebaliknya akan memberikan umpan balik
sebagai kontrol terhadap aksis hypothalamus-pituitari – ovarium. Pada
folikel yang berkembang ini sel-selnya akan mengalami perubahan
dimana akan dibentuk rongga yang berisi cairan dan terbentuknya
60
reseptor LH sebagai persiapan ovulasi. Folikulogesis akan terganggu
pada wanita dengan endometriosis, dimana terjadi penurunan dari
jumlah folikel preovulatory, pertumbuhan folikel, folikel dominan dan
konsentrasi estradiol. Cahill dan Hull pada tahun 2000, melaporkan
bahawa cairan folikel pasien endometriosis akan menurunkan
konsentrasi estradiol, androgen dan progesterone dan meningkatkan
activin. Selanjutnya Abae at all tahun 1994 menjelaskan bahwa cairan
folikel pasien endometriosis mengandung sitokin dan growth factor

43
yang dapat mempertahankan lesi endometriosis dan cenderung
menggangu optimalisasi folikulogenesis.
Ovulasi- Proses ovulasi akan mengalami gangguan pada pasien
dengan endometriosis. Pada ovulasi yang normal diperlukan adanya
lonjakan LH, proteolitik enzym, sitokin, molekul inflammatory dan
steroid hormon . Pada wanita dengan endometriosis , mekanisme untuk
terjadinya ovulasi yang normal ternyata mengalami gangguan.
Kegagalan ovulasi ini dikenal dengan LUF syndrome dan kejadian ini
dikaitkan dengan endometriosis dan infertilitas wanita.62 “Lutenized
unruptur follicle” adalah suatu kelainan dimana folikel tidak pecah
walaupun ovulasi telah diperkirakan harus terjadi dengan ditemukannya
beberapa tanda ovulasi yang tidak langsung seperti : tempratur badan
basal bifasik, endometrium dalam masa sekresi, dan meningkatnya
kadar progesterone pada fase luteal. Kelainan ini menunjukkan suatu
siklus yang normal secara endokrinologik, namun setelah lonjakan LH
terjadi, tidak disertai dengan pecahnya folikel . Pada pasien
endometriosis , hal ini mungkin disebabkan karena konversi folikel
dominan yang telah matang langsung menjadi korpus luteum tanpa
pelepasan sel telur. Telah dilaporkan bahwa insiden LUFS pada
penderita endometriosis sekitar 20 % dan prevalensinya lebih tinggi
pada endometriosis sedang dan berat dibandingkan pada endometriosis
ringan.

44
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Fungsi Luteal- Setelah ovulasi pada siklus yang normal, sel


granulosa dan sel teka akan berubah menjadi korpus luteum. Fungsi
utama dari transformasi ini adalah untuk memproduksi progesterone
guna mempersiapkan rahim dalam proses implantasi dan kehamilan.
Gangguan fungsi luteal telah terbukti didapatkan pada pasien
endometriosis.63 Pada fase luteal dini pola sekresi estrogen dan
progesterone akan mengalami gangguan pada wanita dengan
endometriosis. Sehingga pasien endometriosis dengan gangguan fase
luteal akan mensekresi sedikit progesterone dibanding pasien yang
sehat dan diduga defisiensi fase luteal hanya terjadi pada penderita
endometriosis berat terutama jika terjadi kerusakan jaringan
endometrium yang luas akibat pembentukan endometrioma yang besar.
Kualitas oosit- Penelitian terakhir menunjukkan bahwa wanita
dengan endometriosis menunjukkan kejadian apoptosis yang meningkat
dari sel cumulus yang mengelilingi oosit. 64 Apoptosis sel ovarium
merupakan indikator yang baik dari jeleknya kualitas oosit. Kematian sel
kumulus mungkin menurunkan kualitas oosit sebagai akibat dari
hilangnya dukungan sel kumulus terhadap oosit. Morpologi adalah salah
satu indikator potensial bagi oosit untuk menghasilkan embryo.
Karakteristik morpologi oosit meliputi defek ekstrasitoplasmik dan
sitoplasmik. Defek ekstrasitoplasmik akan mengurangi angka fertilisasi
yang meliputi abnormalitas polar bodi I dan terbentuknya ruang

45
perivitelline yang besar. Defek sitoplasmik juga akan mengurangi angka
fertilisasi yang meliputi granulasi sitoplasma dan adanya vacuola. 61
Mansour et al. 2007 menemukan bahwa terjadi kerusakan DNA
yang signifikan pada oosit yang diinkubasikan pada cairan pritoneaum
pasien endometriosis dibandingkan pasien normal. Ganguan
petumbuhan folikel akan menyebabkan berkurangnya konsentrasi
estradiol dalam sirkulasi selama fase pre-ovulatory dan berkurangnya
konsentrasi estradiol dan progesterone pada fase luteal dini yang akan
mengganggu terjadinya lonjakan hormon luteinizing sehingga
mengakibatkan jeleknya kualitas oosit pada pasien endometriosis. Diaz
et al. 2000 dalam penelitiannya juga menyatakan bahwa endometriosis
berat tidak mempengaruhi angka implantasi, dan rendahnya angka
kehamilan mungkin disebabkan oleh jeleknya kualitas oosit dan
embryo.64

Endometriosis dan fertilisasi


Efek cairan folikel terhadap ikatan antara zona pellucida dan
spermatozoa telah diteliti pada pasien endometriosis. Seperti yang
dilaporkan oleh Qiao et al. 1998 menyatakan bahwa pasien dengan
endometriosis mempunyai efek penghambat yang kuat terhadap ikatan
antara zona pellucida dan spermatozoa dalam cairan folikel
dibandingkan dengan pasien tanpa endometriosis sehingga akan dapat
menggangu interaksi gamet. Produk yang disekresi makropag seperti

46
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

TNF- akan dapat menggangu ikatan sperma dan zona pellucida yang
mengakibatkan infertilitas pada pasien endometriosis.

Endometriosis dan perkembangan embryo


Endometriosis memberikan pengaruh negatip terhadap perkembangan
embryo. Penyimpangan inti dan sitoplasma (fragmentasi sitoplasma)
pada embryo wanita dengan endometriosis 6 kali lebih banyak
dibanding wanita tanpa endometriosis, 64 Gelapnya sitoplasma,
berkurangnya jumlah sel dan meningkatnya frekwensi embryo yang
tidak berkembang menyebabkan hanya sedikit embryo yang dapat
ditransfer.65. Apoptosis dari embryo wanita endometriosis dapat terjadi
melalui beberapa mekanisme seperti meningkatnya konsentrasi sitokin
dan “reactive oxygen species” (ROS). Sitokin seperti TNF  dapat
meningkatkan apoptosis. Sedangkan ROS dapat merusak DNA.

Endometriosis dan reseptivitas endometrium


Reseptivitas endometrium adalah kemampuan endometrium untuk
menerima dan memberikan tempat bagi berkembangnya embryo.
Prosesnya sangat komplek, melibatkan hormonal, sitokin, molekul
adesi, dan faktor lainnya. Pada wanita, reseptivitas endometrium
ditandai dengan adanya integrin v3. Integrin adalah sel reseptor
permukaan yang memediasi signyal intraseluler. 50% wanita
endometriosis tidak menunjukkan adanya integrin v3. HOXA 10 ,

47
diketahui sebagai stimulator yang poten terhadap ekspresi Integrin
v3 , dan merupakan factor transkripsi dari Homeobox yang dihasilkan
oleh endometrium yang normal.66 Menurunnya ekspresi endometrium
dan gangguan methylasi dari HOXA 10 dilaporkan terjadi pada wanita
dengan endometriosis yang mengakibatkan terjadinya defisiensi
Integrin v3. Biomarker lain untuk reseptivitas endometrium seperti
glycodelin A, osteopontin, leukemia inhibitory factor, dan
lysophosphatidic acid receptor 3 juga didapatkan menurun pada wanita
dengan endometriois.67 Dengan demikian pada endometriosis akan
terjadi penurunan faktor yang mempengaruhi reseptivitas
endometrium, disamping itu juga terjadi gangguan hormon steroid.
Secara normal, pada saat implantasi reseptor estrogen akan berkurang,
tetapi pada wanita dengan endometriosis akan terjadi peningkatan
reseptor estrogen endometrium. Sebaliknya progesterone yang sangat
diperlukan untuk reseptivitas endometrium justru menurun.
Peningkatan progesterone seharusnya sebanding dengan estrogen agar
reseptivitas endometrium menjadi baik untuk implantasi blastokist.

Endometriosis dan implantasi embryo.


Telah banyak literature yang menyatakan bahwa terjadi gangguan
implantasi pada pasien dengn endometriosis. Apakah defek itu
disebakan karena endometrium yang abnormal atau defek pada
embryo, masih diperdebatkan. Minici et al. 2008 menyatakan bahwa

48
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

lingkungan disekitar kavum uteri , terutama dengan meningkatnya


kadar TNF- peritoneum diperlukan untuk desidualisasi yang
merupakan syarat untuk implantasi yang optimal . Lessey et al. 1994
melaporkan bahwa terjadi penurunan ekspresi integrin v3, molekul
seluler adesif pada endometrium pasien dengan endometriosis selama
“window implantation”.68 2009 menunjukkan bahwa HOXA -10 pada
stroma endometrium adalah sangat rendah selama “window of
implantation dari pasien endometriosis. Penelitian lain menunjukkan
bahwa pasien infertile dengan endometriosis mempunyai abnormalitas
produksi IL -11 dan leukemia inhibitory factor dengan akibat
terganggunya reseptivitas endometrium.69. Evaluasi terhadap
implantasi embryo pada wanita dengan endometriosis cukup sulit dan
cenderung memberikan hasil yang tidak konsisten. Wanita dengan
endometriosis dilaporkan lebih banyak mengalami kegagalan implantasi
dari pada kontrol.70 Angka implantasi sangat sulit untuk diukur oleh
karena adanya variasi prosedur pasien seperti: adanya perbedaan
jumlah embryo yang ditransfer, seleksi sperma, oosit dan embryo.
Dengan demikian terjadi penurunan yang signifikan dari angka
implantasi per transfer embryo pada program IVF dari wanita dengan
endometriosis. Pengaruh terhadap implantasi embryo dikaitkan dengan
adanya gangguan hormonal, kelainan embryo dan atau kelainan
endometrium. Kelainan embryo dapat berupa keterlambatan
71
pertumbuhan dan keterlambatan penetasan blastosit.

49
Endometriosis dan risiko terjadinya abortus
Wanita dengan endometriosis akan memiliki risiko keguguran dan
bahkan keguguran berlulang yang lebih tinggi72. Mekanisme dari
“spontaneous pregnancy loses“ tidak diketahui secara pasti, tetapi
diperkirakan banyak factor yang berpengaruh seperti immunodefisiensi
B sel dan autoantibody72.
Beberapa hasil penelitian tidak menunjukkan adanya
peningkatan kejadian “ spontaneous pregnancy loss “ setelah implantasi
, tetapi dilaporkan bahwa pasien yang menjalani program “IVF “ dengan
stimulasi ovulasi dan pemilihan embryo yang akan ditransfer merupakan
factor yang mempengaruhi keberhasilan.73 mencatat bahwa angka
abortus menjadi nol setelah dilakukan pembedahan terhadap wanita
yang mengalami endometriosis, dengan demikian dikatakan bahwa
endometriosis sendiri sebenarnya memegang peranan dalam “
pregnancy loss “ ini. Walaupun bukti definitive, bahwa endometriosis
sebagai penyebab abortus masih kurang, ternyata wanita dengan
endometriosis mempunyai risiki tinggi terjadinya abortus.

Endometriosis dan lingkungan peritoneum


Lesi endometriosis akan mensekresikan protein dan akan merubah
lingkunagn peritoneum yang diperkirakan mempengaruhi keberadaan,
ketahanan dan munculnya keluhan endometriosis. Haney et al. 1981
melaporkan kadar lekosit yang lebih tinggi dalam cairan peritoneal pada

50
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

penderita endometriosis dibandingkan wanita normal, dan keadaan ini


akan mengaktifkan makrofag. Makrofag akan sangat mudah melewati
bagian distal tuba. Penelitian secara in vitro menunjukkan bahwa
makrofag pada cairan peritoneum pada penderita infertile dengan
endometriosis memfagositosis lebih banyak sperma. Jika makrofag ini
memasuki sistim reproduksi melalui tuba, maka akan terbentuk
antibody terhadap sperma yang akhirnya mematikan sperma sehingga
terjadi infertilitas. Produk sekresi makrofag meningkat pada pasien
endometriosis seperti : enzym proteolitik IL-I, IL-6, IL-8 dan IL-10, TNF ,
growth factor ( TGF -  dan VEGF , nerve growth factor, Insulin like
growth factor-2 ) , cellular remodeling enzym seperti : matrix
metalloproteinase’s ( MMPs) dan tissue inhibitors metalloproteinase’s (
TIMPs). Konsekwensi bahan yang dikeluarkan oleh lesi endometriosis ini
belum diketahui secara pasti, tetapi adanya gangguan lingkungan cairan
peritoneum secara jelas dapat menggangu proses reproduksi antara
lain: mengurangi gerakan sperma, menganggu interaksi sperma – sel
telur, kegagalan fimbria menangkap sel telur, pada saat ovulasi, dan
menghambat pertumbuhan embrio. Selain itu peningkatan ekspresi
factor-faktor pertumbuhan diatas dalam cairan peritoneal akan
menyebabkan peningkatan aktifitas angiogenik sehingga merangsang
terjadinya adesi ang luas. Data ini menunjukkan bahwa proses inflamasi
cairan peritoneal pada endometriosis bisa sebagai penyebab
infertilitas.74

51
Klasifikasi Endometriosis

Klasifikasi derajat endometriosis mengacu pada konsensus dari


American Society for Reproductive Medicine classification of
endometriosis 1996. Skoring ini tergantung dari penetrasi sel
endometrium pada daerah peritoneum, ovari dan tuba, luas
perlengketan/adhesi, ada tidaknya partial culdesac obliteration, kista
endometrioma dan ada tidaknya ditemukan perlengketan pada organ
lain seperti vagina, cervix, kandung kemih dan organ extra pelvic lainnya,
sehingga klasifikasi / staging endometriosis inidibagi menjadi 4 derajat
yaitu;
1. Minimal (stage 1) : skor :1-5
2. Mild ( stage II) : skor :6-15
3. Moderate (stage III) : skor :16-40
4. Severe (stage IV) : skor :>40

52
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Gambar 14 Pembagian derajat endometriosis3

Skoring ini didapatkan dari pemeriksaan laparoskopi.


Walaupun tingkatan endometriosis dapat ditentukan, namun berat
ringannya penyakit ini tidak selalu berhubungan linear dengan tingkat
reproduksi wanita. Namun demikian, sistem skoring ini tidak
menyertakan penilaian nyeri atau penilaian Deep Infiltrating
Endometriosis. Sistem ini juga tidak dapat menilai kemungkinan hamil
pada pasien endometriosis. Keunggulan sistem ini adalah merupakan
sistem yang paling banyak digunakan di dunia. Sistem ini relatif mudah
digunakan dan klasifikasinya mudah dipahami oleh pasien.31

53
Fokus endometriosis pada dasarnya tersusun dari tiga
komponen: epitel kelenjar endometrium, stroma endometrium, dan
stroma dengan fibrosis yang membentuk lesi pada daerah dengan
inflamasi kronis yang terkait dengan endometriosis. Temuan fibrosis
terkait dengan infiltrasi sel – sel radang, seperti makrofag, sel mast,
monosit, eosinofil granulosit, dan basofil granulosit, proliferasi fibroblas,
metaplasia otot polos, angiogenesis, dan persarafan. Serupa dengan
endometrium uterus, kelenjar ektopik dan sel stroma juga
mengekspresikan reseptor estrogen dan progesteron. Jaringan tersebut
juga merespon steroid sex, dengan menunjukkan reaksi desidua pada
wanita hamil.21 Morfologi sel epitel kelenjar dapat berubah menjadi
epitel duktus Mullerian, sel epitel Tuba Fallopi, epitel kelenjar, kanalis
endoservikal, dengan sel menyerupai apokrin, dan epitel usus. 32
Perubahan ini biasanya terjadi sebagai respon terhadap inflamasi, dan
membantu sel merubah lingkungan sekitarnya untuk beradaptasi lebih
baik.33

54
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Gambar 15 Staging Endometriosis.34

Diagnosis Endometriosis

Diagnosis klinis dan penatalaksanaan endometriosis yang tepat dapat


dimulai di perawatan kesehatan primer, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan ultrasonografi dapat membantu menegakkan diagnosis;
namun, pemeriksaan fisik dan / atau USG normal tidak mengecualikan
diagnosis endometriosis dan, demikian juga, pemeriksaan abnormal
atau USG tidak mengkonfirmasi diagnosis. Layanan perawatan sekunder
harus bertujuan untuk menggabungkan pendekatan tim multidisiplin
(MDT) (misalnya, ginekologi, manajemen nyeri, spesialis Infertilitas,
radiologi, psikologi, fisioterapi, dietetika, pediatri / kesehatan remaja)
dengan keahlian dalam endometriosis jika memungkinkan. Hanya
sebagian kecil orang dengan nyeri panggul persisten yang akan

55
mengalami endometriosis sebagai satu-satunya penyebab nyeri dan
pembedahan saja tidak cukup untuk meredakan gejala mereka. Dalam
kasus ini, pendekatan multidisiplin direkomendasikan.
1. Pertimbangkan endometriosis dari menarche dan seterusnya
untuk pasien dengan satu atau lebih gejala atau tanda berikut:
a) dismenore yang membatasi aktivitas dan kualitas hidup
sehari- hari
b) nyeri panggul siklis atau non siklikal
c) dispareunia (rasa sakit yang dalam selama atau setelah
hubungan seksual)
d) perut kembung
e) gejala gastrointestinal yang tidak dapat dijelaskan,
terutama bila sifatnya siklik dan nyeri yang berhubungan
dengan buang air besar termasuk dyschezia
f) gangguan kencing yang tidak dapat dijelaskan, terutama
bila bersifat siklis
g) sub-fertil yang tidak dapat dijelaskan.

2. Lakukan evaluasi sistematis yang komprehensif, termasuk


konteks pasien dan riwayat keluarganya yang lebih luas. Gejala
yang tersebut di atas tidak spesifik atau terbatas pada
endometriosis, jadi pertimbangkan diagnosis lain.

56
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

3. Setiap penilaian fisik harus sesuai dengan usia pasien,


kematangan sosial dan budaya. Periksa seluruh fisik pasien,
tidak hanya panggul, karena mungkin ada penyebab dan gejala
lain.
4. Untuk pasien yang telah aktif secara seksual, pemeriksaan
spekulum dan pemeriksaan bimanual juga dapat dilakukan

Investigasi kecurigaan endometriosis dapat dilakukan dengan


serangkain oemeriksaan fisik dan penunjang sebagai berikut:

1. Pemeriksaan fisik normal dan / atau USG tidak menyingkirkan


diagnosis endometriosis.
2. Ultrasonografi
a) Ultrasonografi menggunakan probe perut dan vagina jika
sesuai. Pemeriksaan vagina mungkin tidak cocok untuk
pasien yang belum aktif secara seksual. Kebijakan
mempertimbangkan teknik pemeriksaan yang sensitif dan
faktor budaya adalah suatu kewajiban.
b) Endometriosis stadium I dan II tidak terlihat pada
pemeriksaan USG. Penyakit stadium III terkadang terlihat
pada pemeriksaan USG. Penyakit stadium IV sering terlihat
pada pemeriksaan USG

57
c) Jika USG memberikan tanda-tanda yang menunjukkan
kondisi lain, seperti adenomiosis, ini tidak mengecualikan
diagnosis endometriosis yang terjadi bersamaan.

3. MRI
a) Jangan gunakan MRI sebagai alat diagnosis utama untuk
endometriosis.
b) MRI panggul paling baik digunakan dalam perawatan
sekunder untuk mengetahui dugaan endometriosis
dalam, yang mungkin juga melibatkan organ panggul
lainnya.
c) Jika MRI menunjukkan tanda-tanda yang menunjukkan
kondisi lain, seperti adenomiosis, ini tidak menyingkirkan
diagnosis endometriosis bersamaan

Manajemen Penderita endometriosis terkait infertilitas

Endometriosis seharusnya dipandang sebagai penyakit kronis yang


ditandai oleh nyeri pelvis dan infertility. Keadaan ini memerlukan
penanganan yang bersifat individual dan jangka panjang dengan tujuan
untuk memaksimalkan penanganan medis dan menghindari prosedur
pembedahan yang berluang. Penanganan klinis endometriosis
sesungguhnya bersifat individual, tergantung dari keluhan, umur, lama

58
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

infertilitas, faktor suami, derajat endometriosis dan riwayat keluarga.


Untuk sebagian besar wanita, penanganannya memerlukan pengobatan
kombinasi yang saat ini terdiri dari medikamentosa, pembedahan atau
kombinasi dari ke duanya. Pendekatan penanganan infertilitas pada
penderita endometriosis yang didiagnosis dengan laparoskopi, secara
garis besar dapat dibedakan antara endometriosis yang disertai dan
yang tanpa disertai kerusakan mekanik pada organ pelvis.53
Prosedur bedah: Jika endometriosis dengan perlekatan yang
luas dan menyebabkan distorsi mekanik pada beberapa organ pelvis,
(stage 3 dan 4) maka penanganannya tidak banyak kontroversi.
Pembedahan konservatif, terutama bedah rekonstruksi, apabila dapat
memperbaiki kondisi anatomis, maka pembedahan konservatif
rekonstruksi harus dilakukan. Beratnya permasalahan tergantung pada
adhesi adneksa, obstruksi tuba dan jaringan endometrioma pada
ovarium. Pengangkatan atau destruksi deposit endometriotik yang tidak
disertai adanya adesi, diperkirakan tidak akan meningkatkan fertilitas
penderita. Juga tidak ada bukti bahwa pembedahan berulang akan
meningkatkan kesempatan untuk hamil. Kista endometriosis
(endometrioma) merupakan kista yang paling sering dijumpai pada
ovarium dan memerlukan penanganan yang cermat. Endometrioma
dapat menyebabkan nyeri dan infertilitas. Pembedahan berlulang pada
endometrioma akan menurunkan cadangan ovarium dan justru akan
menurunkan fertilitasnya. Endometrioma ini dapat ditangani dengan

59
kistektomi dan destruksi (drainase dan koagulasi). Kistektomi dapat
menurunkan risiko kambuhnya endometrioma, tetapi akan sangat
banyak jaringan ovarium yang rusak. Dengan drainase dan koagulasi,
akan sedikit jaringan ovarium yang rusak dan mungkin dapat
mempertahankan fertilitasnya, tetapi kekambuhannya akan tinggi.
Endometriosis tanpa kerusakan mekanik pada organ pelvis (stage 1 dan
2), penanganannya masih konroversi. Beberapa pendekatan telah
diusulkan antara lain ekspektan manajemen, obat-obatan dan
kombinasi prosedur bedah dan obat-obatan.

Ekspektan manajemen
Beberapa peneliti memakai strategi pengobatan yang disebut ekspektan
manajemen. Penderita endometriosis yang didiagnosis dengan
laparoskopi, akan di observasi untuk mencapai suatu kehamilan tanpa
terapi. Dasar dari ekspektan manajemen adalah bahwa endometriosis
yang ringan tanpa disertai keluhan simptomatik tidak akan memberikan
efek pada fertilitas. Ternyata hal ini merupakan salah satu strategi
penanganan yang sangat efektif. Sejumlah penderita endometriosis
ringan dengan keluhan infertilitas akan hamil setelah diagnosis
laparoskopi ditegakkan.

60
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Medikamentosa pada endometriosis


Prinsip pemberian obat pada endometriosis yaitu menekan ovarium
dalam memproduksi hormon steroid. Akibatnya jaringan endometriotik
akan menjadi atropi. Sistem terapi ini disebut terapi supresi. Beberapa
jenis obat yang biasanya digunakan untuk supresi endometriosis antara
lain: Testosteron derivat: Danazol, Gestrionone, Progestogens,
Dyhydrogesterone, Noreethisteron. GnHR analog: Triptorelin
(Gonapeptyl), Goserelin (Zoladex), Leuprorelin (Tapros). Hormonal lain:
Kontrasepsi oral, Mirena, dan depo-provera.
Sebelumnya, telah banyak laporan penelitian pada literature
yang memperlihatkan angka kehamilan yang tinggi pada kasus
endometriosis, baik setelah prosedur bedah maupun dengan obat-
obatan. Sayangnya, penelitian tersebut tidak melibatkan group kontrol
yang merupakan group tanpa pengobatan. Selanjutnya beberapa
penelitian yang menggunakan kontrol tidak menemukan efektivitas
obat terapi supresi dalam meningkatkan fertilitas pada.58 Telima S 1998
membandingkan 18 penderita dengan pengobatan danazol, 17
medroksiprogesteron dan 14 dengan palsebo, kemudian menemukan
angka konsepsi kumulatif setelah 30 bulan masing-masing 33 %, 42 %
dan 46 %.59
Rekomendasi untuk terapi hormone eksogen untuk pasien
yang dicurigai endometriosis. Pil progesteron saja (POPs) dan progestin
adalah manajemen hormonal lini pertama dari dugaan endometriosis,

61
Sebagian besar pedoman yang diterbitkan merekomendasikan
penggunaan pil kontrasepsi oral gabungan (COCP) sebagai pengobatan
hormonal lini pertama untuk endometriosis. 75 Namun, bukti bahwa
COCP menjadi jenis pengobatan hormonal yang paling tepat untuk
pengendalian gejala dan pengendalian perkembangan penyakit tidak
meyakinkan dan beberapa penulis mempertanyakan paradigma ini. 76
Hanya ada satu percobaan terkontrol plasebo acak yang diterbitkan
yang menyelidiki efektivitas COCP dalam mengobati nyeri panggul dan
dismenorea pada pasien dengan endometriosis.77 Penurunan skor nyeri
skala analog visual sebesar 50 persen dilaporkan tetapi tidak dilaporkan
nyeri panggul-menstruasi atau dispareunia. Dalam studi komparatif
tidak terkontrol lainnya, sekitar 50 persen pasien dengan dismenorea
hanya mengalami perbaikan sebagian atau tidak ada perbaikan pada
nyeri dan tidak ada nilai prediksi dalam respon pasien terhadap terapi,
apakah mereka kemudian ditemukan memiliki endometriosis yang
terbukti secara histologis atau tidak.77,78

Beberapa uji coba terkontrol plasebo secara acak menunjukkan


progestin oral seperti medroxyprogesterone,dienogest,
79,80,81,82
dydrogesterone,dan norethisterone, efektif dalam mengurangi
nyeri pelvis terkait endometriosis. Studi acak lainnya telah menghasilkan
dienogest menjadi progestin lini pertama yang paling disukai untuk

62
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

mengobati endometriosis di negara maju.83 Tidak ada otoritas pengawas


yang menyetujui penggunaan COCP untuk pengobatan endometriosis.
Penggunaan terapi progesteron saja harus diimbangi dengan
pengendalian gejala, kemanjuran kontrasepsi dan efek samping
pengobatan. Efek samping yang umum termasuk ketidakteraturan
menstruasi dan perubahan suasana hati. Pasien yang tidak dapat
mentolerir terapi progestin saja, atau mereka yang gejalanya tidak
terlalu berat, mungkin lebih cocok untuk uji coba pil kontrasepsi oral
kombinasi (COCP) plus atau minus terapi progestin komplementer.
Jika, setelah enam bulan, terapi hormonal eksogen jenis apa pun gagal
mengendalikan gejala dan meningkatkan kualitas hidup, disarankan agar
dilakukan rujukan ke layanan perawatan sekunder.
Poin praktis untuk penggunakan progestin adalah sebagai
berikut, pertama, Mulailah pada hari ke-1 menstruasi. Kedua, Lebih
disukai meresepkan dengan dosis yang cukup untuk menghasilkan
anovulasi sehingga menyebabkan amenorea / oligomenorea. Ketiga,
Pertimbangkan kepadatan tulang: beberapa terapi progestin oral,
seperti norethisterone, telah terbukti melindungi kepadatan mineral
tulang84. Medroksiprogesteron asetat jangka panjang (Depo-Provera)
dan dienogest oral (Visanne) dapat dikaitkan dengan penurunan
reversibel kepadatan mineral tulang pada remaja yang harus dipantau
85,86
pada pasien di bawah usia 20 tahun. Masuk akal untuk melakukan
studi kepadatan tulang pada mereka yang melanjutkan terapi progestin

63
selama dua tahun atau lebih, dan mengulanginya setelah itu tergantung
pada rekomendasi studi. Sebagian besar pasien, setelah penggunaan
medroksiprogesteron asetat, menunjukkan pemulihan spontan dalam
kepadatan mineral tulang ke tingkat dasar selama dua sampai tiga tahun
berikutnya.87 Hilangnya kepadatan mineral tulang dapat dicegah dengan
penggunaan terapi estrogen 'tambah kembali' ( ad back therapi) secara
88,89,90
bersamaan dalam bentuk 1 mg estrodiol valerate (Progynova)
Keempat, Jika terjadi perdarahan yang mengganggu, strategi yang
disarankan meliputi: a) meningkatkan dosis progestin, b) lima hari terapi
estrogen dosis rendah (mis., Progynova 1 mg od), c) Doxycycline 100 mg
selama lima hari. Kelima, Jika terapi hormon tidak efektif, rujuk ke
perawatan sekunder.

Prosedur pembedahan dengan atau tanpa obat.


Walaupun prosedur bedah pada kasus endometriosis tanpa adesi atau
distorsi mekanik masih kontroveris, namun tindakan elektro koagulasi
pada jaringan endometriotik kecil yang dilakukan pada saat laparoskopi
lebih disukai sebagai alternatif tindakan. Hal ini dikarenakan tidak akan
menunda waktu pencapaian kehamilan akibat penggunaan terapi
supresi, disamping itu juga tanpa efek samping. Nowroozi et al. 1987.
melaporkan bahwa angka kehamilan yang lebih tinggi dicapai setelah
elektro koagulasi saat laparoskopi dibandingkan dengan ekspektan
manajemen. Semetara peneliti lain tidak menemukan perbedaan

64
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

tersebut. Kombinasi preosedur bedah dan obat-obatan juga telah


dicoba. Namun secara obyektif tidak meningkatkan fertilitas penderita
berdasarkan uji klinik yang adekuat.
Akhir-akhir ini, para ahli menyatakan bahwa penanganan yang
efektif terhadap kasus endometriosis dengan infertilatas meliputi
pembedahan konservatif dan Assisted Reproductive Technology ( ART ).
Pembedahan dengan mengangkat implant endometriosis derajat ringan
sampai berat menunjukkan peningkatan fertilitas pada dua penelitian
RCT.54 Adamson et al. 1993 melaporkan bahwa endometriosis derajat
berat yang dilakukan pembedahan untuk memperbaiki anatomi pelvis
dapat meningkatkan fertilitas.55
Disisi lain IVF – ET dikatakan merupakan salah satu protokol
untuk menangani kasus endometriosis dengan infertilitas setelah
protokol yang lain mengalami kegagalan. Aboulghar et al. 2003
menyatakan bahwa jika tujuannya adalah untuk mengatasi infertilitas,
maka IVF-ET tanpa pembedahan sebelumnya mungkin merupakan
pilihan terbaik. Dengan demikian, pasien dengan endometriosis derajat
berat dianjurkan untuk mengikuti program IVF-ET sebagai langkah
pengobatan pertama sebelum tindakan pembedahan. Carlo Bulletti et al
2010 menyatakan bahwa penanganan yang benar terhadap wanita
infertile dengan endometriosis adalah kombinasi pembedahan dan IVF
–ET. Penangan ini (pembedahan dan IVF –ET) memberikan angka
kehamilan 56,1 % dibandingkan dengan 37,4 % bila hanya dilakukan

65
pembedahan saja (Coccia ME et al. 2008). Secara teoritis dengan IVF-ET
ini mempunyai beberapa keuntungan-keuntungan antara lain
menghindarkan sperma dan sel telur dari lingkungan cairan peritoneal
yang toksik, mengurangi hambatan akibat gangguan ovulasi,
tersedianya sejumlah sel telur preovulatoar, dan tersedianya jumlah
sperma yang cukup untuk terjadinya fertilisasi. Selain itu juga,
keberadaan endometriosis tidak mempengaruhi tingkat kesuksesan IVF-
ET selama tidak ada distorsi mekanik yang menghambat terjadinya
konsepsi. Beberapa peneliti melaporkan angka kehamilan yang tinggi
pada endometriosis ringan dan moderat setelah IVF-ET maupun
inseminasi intra uterine, sedangkan pada endometriosis berat, angka
kehamilannya sangat rendah disebabkan oleh terganggunya fungsi
reproduksi .56,57

Manajemen Endometriosis berdasarkan tempat layanan


sistem penananganan kasus ginekologi di negara kita menggunakan
sistem rujukan berjenjang, sehingga diharapkan pasien yang dapat
ditangani di tingkat primer bias diberikan oleh dokter di layanan primer
berdasarkan kompetrnsi dan sumber daya yang dimiliki, begitu pula di
tingkat sekunder dan tersier, terdapat beberapa strategi penanganan
endometriosis yang disesuaikan dengan tempat layanannya sebagai
berikut:
1. Manajemen endometriosis di kesehatan primer

66
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

a) Dismenore dapat diperbaiki dengan penggunaan obat


antiinflamasi non steroid (NSAID). Penggunaan obat-obatan
yang dikendalikan secara teratur, seperti opioid, tidak tepat
karena mengandung risiko yang signifikan, termasuk
memperburuk gejala.
b) Mendorong strategi manajemen nyeri non-farmakologis
seperti perubahan gaya hidup (misalnya, diet, olahraga dan
tidur), stimulasi saraf listrik transkutan (TENS), psikologi
nyeri, dan spesialis fisioterapi kesehatan wanita.
c) Pengobatan hormonal harus menjadi pengobatan lini
pertama kecuali jika pasien ingin hamil. Ini bisa menjadi
tambahan untuk penggunaan analgesik tetapi terutama
bagi mereka yang gagal merespons terapi analgesik saja.
d) Beri tahu pasien dengan dugaan endometriosis bahwa
pengobatan hormonal bisa efektif dalam mengendalikan
gejala, tetapi mungkin tidak mengontrol perkembangan
penyakit.
e) Untuk pasien dengan kecurigaan tinggi atau diagnosis
endometriosis yang dikonfirmasi, terapi dominan progestin
mungkin menawarkan peluang terbaik untuk menghentikan
perkembangan penyakit dan pengendalian gejala.
f) Perawatan hormon pelepas gonadotropin harus disediakan
untuk manajemen perawatan sekunder.

67
2. Manajemen endometriosis di pelayanan kesehatan sekunder
dan tersier
a) Rujuk pasien ke layanan ginekologi perawatan sekunder
jika mereka memiliki gejala yang tidak terkontrol yang
tidak merespons manajemen perawatan kesehatan
primer.
b) Manajemen bedah
 Lakukan semua pembedahan secara laparoskopi
kecuali ada kontraindikasi.
 Jangan gunakan laparoskopi untuk mendiagnosis
endometriosis saja.
 Tawarkan laparoskopi untuk tujuan eksisi penyakit jika
manajemen medis gagal.
 Lakukan laparoskopi sesuai dengan Ruang Lingkup
Praktik Klinis yang diatur dalam Pedoman untuk
melakukan prosedur endoskopi
 Perawatan khusus, keahlian dan pengetahuan tentang
teknik terbaik dibutuhkan oleh ahli bedah yang
melakukan pengangkatan endometrioma ovarium,
terutama jika pemeliharaan kesuburan sangat
penting.

68
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

 Rujuk pasien dengan dugaan endometriosis susukan


dalam ( DIE) ke ginekolog dengan keahlian bedah
khusus dalam menangani penyakit tersebut, yang
didukung oleh MDT. Untuk pasien dengan
endometriosis susukan dalam yang menjalani operasi
laparoskopi, ahli bedah harus melengkapi grafik skor
Enzian pada saat operasi untuk mengetahui tingkat
penyakitnya.
 Jika laparoskopi dilakukan dan endometriosis tidak
dikonfirmasi, tawarkan penilaian dan penanganan
nyeri lebih lanjut. Rujuk pasien kembali ke penyedia
layanan kesehatan primer mereka dengan rencana
manajemen yang tepat untuk mengendalikan gejala.
Jika gejalanya menetap, tawarkan penilaian spesialis
lebih lanjut.
 Dokter yang mempertimbangkan pengobatan
laparoskopi ketiga atau lebih pada pasien harus
mencari pendapat MDM.
 Membuat catatan operasi terperinci pada mereka
yang menjalani operasi laparoskopi yang menguraikan
lokasi dan tingkat penyakit dan eksisi yang dicapai
serta, jika memungkinkan, bukti foto.

69
3. Histerektomi dikombinasikan dengan manajemen bedah
a) Ketahuilah bahwa histerektomi bukanlah obat untuk
endometriosis.
b) Jika diindikasikan histerektomi (misalnya jika pasien
mengalami adenomiosis atau perdarahan menstruasi yang
berat yang tidak merespons pengobatan lain), buang
semua lesi endometriotik yang terlihat pada saat
histerektomi.
c) Lakukan histerektomi (dengan atau tanpa ooforektomi8)
secara laparoskopi bila memungkinkan bila
dikombinasikan dengan terapi bedah endometriosis,
kecuali terdapat kontraindikasi.
d) Manajemen bedah jika subfertilitas merupakan masalah
 Pertimbangkan eksisi ditambah adhesiolisis untuk
endometriosis dengan berkonsultasi dengan spesialis
fertilitas.
 Pada adanya penyakit stadium III atau IV, mungkin
tepat untuk meninggalkan penyakit tersebut, jika
kesuburannya terganggu.

70
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

RINGKASAN

Endometriosis merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan adanya


kelenjar endometrium dan stroma diluar kavum uterus. Endometriosis
diklasifikasikan ke dalam 4 derajat, dimana endometriosis derajat
sedang dan berat ditandai dengan adanya kista coklat (endometrioma)
dan adesi yang lebih berat dibandingkan dengan derajat ringan.
Endometriosis merupakan suatu proses inflamasi kronis, yang
menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivasi makrofag sehingga
melepaskan sitokin proinflamasi seperti interleukin (IL) 2, 4, 10, TNF-
dan IFN-, yang menyebabkan peningkatan fagositosis antigen sehingga
melepaskan ROS. Bersamaan dengan terjadinya peningkatan aktivitas
makrofag, terjadi juga peningkatan regulasi faktor transkripsi NF-B
yang selanjutnya dapat meningkatkan keadaan inflamasi lebih jauh lagi
dan menyebabkan aktivasi banyak gen yang menginduksi progresi dari
endometriosis. NF-B berikatan dengan DNA dan menyebabkan
transkripsi dari gen yang mengkode sitokin, faktor pertumbuhan, faktor
angiogenik, molekul adesi dan menginduksi enzim seperti nitric oxide
(NO) synthase dan COX.
Hemosiderin, heme atau deposisi besi, ROS, enzim proteolitik
dan molekul inflamasi dalam lesi endometriosis dipikirkan sebagai
pemicu stress oksidatif dan inflamasi kronis yang dapat merusak
jaringan sehat disekitarnya. Heme dan besi bebas yang dilepaskan dari
hemoglobin merupakan komponen toksik. Kerusakan biomolekul akibat

71
oksidasi dari komponen tersebut diperoleh melalui dua proses yaitu
autooksidasi yang menghasilkan anion superoksida serta hydrogen
peroxide dan reaksi Fenton yang menghasilkan hydroxyl radical yang
bersifat sangat reaktif (ROS). Stress oksidatif terjadi ketika produksi ROS
melebihi kapasitas pertahanan antioksidan seluler untuk membuang
agen toksik tersebut, dengan mengubah ROS manjadi keadaan inaktif.
Stress oksidatif yang diinduksi oleh ROS merubah fungsi seluler dengan
mengatur ekspresi gen dan aktivitas protein dari sitokin proinflamasi,
molekul adesi, faktor pertumbuhan dan angiogenik yang selanjutnya
mempengaruhi kerja normal dari jalur sinyal penting, seperti, jalur
mitogen-activated protein kinase (MAPK), faktor transkripsi AP-I, jalur
NF-B dan hypoxia-inducible transcription factors. ROS dapat berdifusi
masuk ke dalam sel-sel disekitar atau terbentuk di dalam jaringan sehat
sebagai respon adanya lesi atau kista endometriosis. ROS dan TGF-
dapat menginduksi terjadinya fibrosis jaringan, yang juga melibatkan
kerja dari enzim proteolitik. Meningkatnya fibrosis menyebabkan
berkurangnya sel-sel stromal spesifik pada korteks yang berperan
penting dalam pembentukan folikel. Ketidakseimbangan stress oksidatif
dalam lingkungan cairan folikel ovarium dapat menginduksi apoptosis
oosit dan nekrosis folikel tahap awal. Sehingga adanya endometrioma
dapat menurunkan tingkat ovulasi spontan pada ovarium dan
mengurangi jumlah folikel yang berkembang dan oosit.

72
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Pembentukan ROS berperan dalam memicu terjadinya apoptosis,


kemungkinan melalui jalur mitogen-activated protein (MAP) kinase serta
Caspase-3 dan bcl-2. Selain itu pada endometriosis terjadi peningkatan
produksi NO yang dilepaskan oleh makrofag yang diinduksi oleh
peningkatan kadar IL-10, yang selanjutnya dapat menginduksi terjadinya
apoptosis yang dapat merusak gamet, embrio, fungsi ovarium. Adanya
peningkatan apoptosis dan perubahan kinetik siklus sel granulosa
menyebabkan terjadinya kegagalan pertumbuhan folikel dan maturasi
oosit pada endometriosis. Semakin berat derajat apoptosis,
pertumbuhan folikel semakin terganggu dan jumlah oosit yang dapat
diambil dan dibuahi juga menurun. ROS memberikan efek yang buruk
pada oosit, dimana ROS dapat berdifusi dan masuk ke membran sel dan
merubah sebagian besar molekul seluler seperti lemak, protein dan
asam nukleat. Hal tersebut menyebabkan terjadinya perubahan pada
mitokondria, embryo cell block, pemecahan dan apoptosis ATP. Oleh
karena itu, faktor-faktor proinflamasi dan ROS yang terdapat pada
cairan folikel endometrioma dapat berdifusi dan mempengaruhi
komunikasi autokrin-parakrin dari folikel ovarium dan meyebabkan
perubahan siklus sel dan meningkatkan apoptosis sel granulosa. Selain
itu, adanya faktor proinflamasi dan ROS dapat mempengaruhi oosit
berupa spindel miosis yang abnormal, misalignment kromosom dan
penurunan produksi GDF-9. Hal tersebut menyebabkan kerusakan

73
komunikasi oosit-sel granulosa dan folikulogenesis yang abnormal dan
menyebabkan penurunnya kualitas oosit.

74
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Daftar Pustaka

1. Harlev A., Gupta S., Agarwal A. 2015. “Targeting oxidative stress


to treat endometriosis”. American Center for Reproductive
Medicine, Cleveland Clinic, Cleveland, OH, USA. Expert Opin.
Ther. Targets, vol. 19 (10), pp. 1-18.

2. Iwabuchi T., Yoshimoto C., Shigetomi H., Kobayashi H. 2015.


“Oxidative Stress and Antioxidant Defense in Endometriosis
and Its Malignant Transformation”. Oxidative Medicine and
Cellular Longevity, vol. 2015, pp. 1-7.

3. American Society for Reproductive Medicine (ASRM). 2012.


“Endometriosis”. A guide for patients revised 2012.

4. Siva AB., Srivastava P., Shivaji S. 2014. “Understanding the


pathogenesis of endometriosis through proteomics: Recent
advances and future prospects”. Proteomics Clin. Appl, vol. 8,
pp. 86-98.

5. Hsu AL, Townsend PM, Oehninger S, Castora FJ. 2014.


Endometriosis may be associated with mitochondrial
dysfunction in cumulus cells from subjects undergoing in vitro
fertilization-intracytoplasmic sperm injection, as reflected by
decreased adenosine triphosphate production. Fertility and
Sterility. 103 (2): 347-352.e1

6. Chappel S. The Role of Mitochondria from Mature Oocyte to


Viable Blastocyst. Hindawi Publishing Corporation Obstetrics

75
and Gynecology International Volume, Article ID 183024, pp 1-
10, 2013.

7. Gupta S., Goldberg JM., Aziz N., Goldberg E., Krajcir N., Agarwal
A. 2008. “Pathogenic mechanisms in endometriosis-associated
infertility”. Fertility and Sterility, vol. 90, no. 2, pp. 247-257.

8. Atallah M, Krispin A, Trahtemberg U, et al. 2012. Constitutive


neutrophil apoptosis:regulation by cell concentration via
S100 A8/9 and the MEK-ERK pathway. PLoS ONE. 7:e29333.

9. Augoulea, A, A Alexandrou, M Creatsa, N Vrachnis, and I


Lambrinoudaki. 2012. Pathogenesis of endometriosis: the role
of genetics, inflammation and oxidative stress. Arch Gynecol
Obstet 286 99-103.

10. Bulletti, C, ME Coccia, S Battistoni, and A Borini. 2010.


Endometriosis and infertility. J Assist Reprod Genet27 441-447

11. Baziad, A. 1992. Endometriosis and abnormal bleeding.


Jakarta: Bina. Pustaka Sarwono Prawirohardjo.

12. Oepomo, TD. 2007. Dampak endometriosis pada kualitas hidup


wanita, Obstetrics and Gynaecology. Surakarta: Universitas
Sebelas Maret Bahtiyar MO, Seli E, Oral E, Senturk LM, Zreik TG,
Arici A. 1998. Follicular Fluid of Women With Endometriosis
Stimulates The Proliferation Of Endometrial Cells. Hum Reprod.
13 (12): 3492-3495

13. Hediger ML, Hartnett HJ, Louis GM. 2005. Association of


endometriosis with body size and figure. Fertil Steril. 84:1366.

76
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

14. Laufer MR. 2000. Premenarcheal endometriosis without an


associated obstructive anomaly: Presentation, diagnosis, and
treatment. Fertil Steril. 74:S15.

15. Nawroth F, Rahimi G, Nawroth C, Foth D, Ludwig M, Schmidt T.


2006. Is There An Association Between Septate Uterus And
Endometriosis. Hum Reprod. 21 (2): 542-544

16. Schenken RS, Barbieri RL, Falk SJ. 2013. Pathogenesis, Clinical
Features, and Diagnosis of Endometriosis. UptoDate. Literature
review current until March 2013. (Accessed at 29th April 2017)

17. Victory R., Diamond M.P., Johns D.A. Villar’s nodule: a case
report and systematic literature review of endometriosis
externa of the umbilicus. J. Minim. Invasive
Gynecol. 2007;14:23–32

18. Sampson JA. 1927. Peritoneal endometriosis due to the


menstrual dissemination of endometrial tissue into the
peritoneal cavity. Am J Obstet Gynecol. 14:422–69.

19. D'Hooghe TM, Debrock S. 2003. Evidence that endometriosis


results from the dislocation of basal endometrium? Hum
Reprod, 18: 1130

20. Khan KN. 2014. Visible and Invisible (Occult) Endometriosis. in


Endometriosis: Pathogenesis and Treatment. Springer. 19-32

21. Honda R, Katabuchi H. 2014. Pathological Aspect and


Pathogenesis of Endometriosis, in Endometriosis: Pathogenesis
and Treatment. Springer. 9-17.

77
22. Bedaiwy, MA, T Falcone, RK Sharma, JM Goldberg, M Attaran,
DR Nelson, and A Agarwal. 2002. Prediction of endometriosis
with serum and peritoneal fluid markers: a prospective
controlled trial. Hum Reprod17 426-431.

23. Pizzo, A, FM Salmeri, FV Ardita, V Sofo, M Tripepi, and S


Marsico. 2002. Behaviour of cytokine levels in serum and
peritoneal fluid of women with endometriosis. Gynecol Obstet
Invest 54 82-87.

24. Okamura H, Katabuchi H. 2001. Detailed morphology of human


ovarian surface epithelium focusing on its metaplastic and
neoplastic capability. Ital J Anat Embryol. 106:263–76

25. Okamura H, Katabuchi H, Nitta M, Ohtake H. 2006. Structural


changes and cell properties of human ovarian surface
epithelium in ovarian pathophysiology. Microsc Res Tech.
69:469–81.

26. Zheng W, Li N, Wang J. 2005. Initial endometriosis showing


direct morphologic evidence of metaplasia in the pathogenesis
of ovarian endometriosis. International Journal of
Gynecological Pathology, vol. 24, no. 2, pp. 164–172.
27. Troncon JK, Zani ACT, Vieira ADD, Poli-Neto OB, Nogueira AA,
Rosa-e-Silva JC. 2014. Endometriosis in a Patient with Mayer-
Rokitansky-Küster-Hauser Syndrome. Case Reports in
Obstetrics and Gynecology Volume 2014, Article ID 376231, 4
pages

78
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

28. Herrington JL, Bruner-Tran, KL, Lucas JA, Osteen KG. 2011.
Immune Interactions In Endometriosis. Expert Rev Clin
Immunol. 7(5): 611–626

29. Sikora J, Mielczarek-Palacz A, Kondera-Anasz Z. 2011. Role of


Natural Killer cell activity in the pathogenesis of endometriosis.
Current Medicinal Chemistry. vol. 18, no. 2, pp. 200–208.

30. Langendonckt AV, Casanas-Roux F, Dolmans M-M, Donnez J.


2002. Potential involvement of hemoglobin and heme in the
pathogenesis of peritoneal endometriosis. Fertil Steril. 77:561–
70.

31. Haas D, Shebl O, Shamiyeh A, Oppelt P. 2012. The rASRM score


and the Enzian classification for endometriosis: their strengths
and weaknesses. Acta Obstet Gynecol Scand. 91:1-5

32. Kitawaki J, Kado N, Ishihara H, Koshiba H, Kitaoka Y, Honjo H.


2002. Endometriosis: the pathophysiology as an estrogen-
dependent disease. J Steroid Biochem Mol Biol. 83:149–55.

33. Okamura H, Katabuchi H. 2005. Pathophysiological dynamics of


human ovarian surface epithelial cells in epithelial ovarian
carcinogenesis. Int Rev Cytol. 242:1–54.

34. Premkumar G. Role of Laparoscopic Surgery in Endometriosis


Associated Infertility- Literature Review. World Journal of
Laparoscopic Surgery, January-April 2008;1(1):9-15

35. Sanchez AM., Vigano P., Somigliana E., Bordignon PP. Vercellini
P., Candiani M. 2014. “The distinguishing cellular and molecular

79
features of the endometriotic ovarian cyst: from
pathophysiology to the potential endometrioma-mediated
damage to the ovary”. Human Reproduction Update, vol. 20,
no. 2, pp. 217-230.

36. Yamaguchi K, Mandai M, Toyokuni S, Hamanishi J, Higuchi T,


Takakura K, Fujii S. 2008. Contents of Endometriotic Cyst,
Especially the High Concentration of Free Iron, Are a Possible
Cause of Carcinogenesis in the Cysts through the Iron – Induced
Persistent Oxidative Stress. Clin Cancer Res. 14 (1). 32- 40

37. Singh AK, Chattopadhyay R, Chakravarty B, Chaudhury K.


2013. Markers of oxidative stress in follicular fluid of women
with endometriosis and tubal infertility undergoing IVF.
Reprod Toxicol. 42:116–24

38. Benaglia L, Paffoni A, Mangiarini A, et al. 2015. Intrafollicular


iron and ferritin in women with ovarian endometriomas. Acta
Obstet Gynecol Scand. 94:646–53

39. Yoshimoto C., Iwabuchi T., Shigetomi H., Kobayashi H. 2015.


“Cyst uid iron-related compounds as useful markers to
distinguish malignant transformation from benign
endometriotic cysts”. Cancer Biomarkers, vol. 15, no. 4, pp.
493–499.
40. Regiani T, Cordeiro FB, da Costa Ldo V, et al. 2015. Follicular
Fluid Alterations In Endometriosis: Label-Free Proteomics By
MS(E) As A Functional Tool For Endometriosis. Syst Biol
Reprod Med. 61:263–76

80
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

41. Bianchi M, Giacomini E, Crinelli R, Radici L, Carloni E,


Magnani M. 2015. Dynamic transcription of ubiquitin genes
under basal and stressful conditions and new insights into
the multiple UBC transcript variants. Gene. 573:100–9.

42. Parente L, Solito E. 2004. Annexin 1: more than an anti-


phospholipase protein. Inflamm Res. 53:125–32.

43. S. E. Bulun, Y.-H. Cheng, P. Yin et al., “Progesterone resistance


in endometriosis: link to failure to metabolize
estradiol,” Molecular and Cellular Endocrinology, vol. 248, no.
1-2, pp. 94–103, 2006. View at Publisher · View at Google
Scholar · View at Scopus
44. Opoien HK, Fedorcsak P, Polec A, Stensen MH, Aboyholm T,
Tanbo T. 2013. Do endometriosis induce an inflammatory
reaction in nearby follicles. Hum Reprod.28:1837-1845.

45. Donnez J., Binda MM., Donnez O., Dolmans M. 2016. “Oxidative
stress in the pelvic cavity and its role in the pathogenesis of
endometrisis”. Fertility and Sterility,
http://dx.doi.org/10.1016/j.fertnstert.2016.07.1075.

46. Ngo C, Chereau C, Nicco C, Weill B, Chapron C, Batteux F. 2009.


Reactive Oxygen Species Controls Endometriosis Progression.
The American Journal of Pathology. 175 (1) : 225-234

47. Toya M., Saito H., Ohta N., Saito T., Kaneko T., Hiroi M. 2000.
“Moderate and severe endometriosis is associated with
alterations in the cell cycle of granulosa cells in patients
undergoing in vitro fertilization and embryo transfer”. Fertility
and Sterility, vol. 73(2), pp. 344-350.

81
48. Hendarto H. 2012.”Pathomechanism of infertility in
endometriosis”. In Endometriosis-Basic Concepts and Current
Research Trends. No. 8, pp 243-254.

49. Cho S., Lee Y.M., Choi Y.S., Yang H.I., Jeon Y.E., Lee K.U. 2012.
“Mitochondria DNA Polymorphisms Are Associated with
Susceptibility to Endometriosis”. DNA and Cell Biology, pp. 317-
322.

50. Poulton J., Luan J., Macaulay V., Hennings S., Mitchell J.,
Wareham N.J. 2002. “Type 2 diabetes is associated with a
common mitochondrial variant: evidence from a population
based case-control study”. Hum Mol Genet, vol. 11, pp. 1581–
1583.

51. Bhat A., Koul A., Sharma S., Rai E., Bukhari S.I., Dhar M.K., et al.
2007. “The possible role of 10398A and 16189C mtDNA variants
in providing susceptibility to T2DM in two North Indian
populations: a replicative study”. Hum Genet, vol. 120, pp. 821–
826.

52. Weng S.W., Liou C.W., Lin T.K., Wei Y.H., Lee C.F., Eng H.L. 2005.
”Association of mitochondrial deoxyribonucleic acid 16189
variant (T->C transition) with metabolic syndrome in Chinese
adults”. J Clin Endocrinol Metab, vol. 90, pp. 5037–5040.
53. Haney A. The pathogenesis and aetiology of endometriosis. In
Modern approach to endometriosis. Dordrecht: Kluwer
Academic Publisher, 1991:3-19.
54. Marcoux S, Maheux R, Berube S (1997) Laparoscopic surgery in
infertile women with minimal or mild endometriosis Canadian

82
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

Collaborative Group on endometriosis.N Engl J Med 337:217-


222.
55. Adamson GD, Hurd SJ, Pasta DJ, Rodrigues BD, (1993).
Laparoscopic endometriosis treatment: is it better?. Fertil Steril
59:35-44.
56. Jones HW, Acosta AA, Garcia JE (1984 ) Three Years Of IVF at
Norfolk . Fertil Steril 42 : 862-834.
57. 41.Dodson WC, Haney AF(1991) Controlled Ovarian
Hyperstimulation and Intrauterine Insemination for treatment
on infertile.Fertil Steril 55:447-467.
58. Shenken RS, Malinak RL (1982) Conservative surgery Versus
Expectant Management for the infertile patients with
endometriosis. Fertil Steril 1371:183-186.
59. Telima S. (1998) Danazol and Medroxyprogesterone ascetate
Inefficaious in the treatment on Infertility in
endometriosis.50:872-578.
60. Julie A.W. Stilley.Julie A Birt. Kathy L. Sharpe-Timms.Cellular
and moleculr basis for endometriosis-associated infertility. Cell
Tissue Res. Di unduh tanggal 3 February 2012

61. Rienzi L, Ubaldi FM, Iacobelli M, Minasi MG, Romano S, Ferrero


S, Sapienza F, Baroni E, Litwicka K, Greco E ( 2008 ).Significance
of metaphase II human oocyte morphology on ICSI outcome.
Fertil Steril 90: 1692-1700.
62. Donnez J, Thomas K ( 1982 ). Incidence of the luteinized
unruptured follicle syndrome in fertile women with
endometriosis. Eur J Obstet Gynecol Reprod Biol 14: 187-190.
63. Cunha-Filho JS, Gross JL, Bastos de Souza CA, Lemos NA,
Giugliani C, Freitas F, Passos EP (2003 ). Physiophatological

83
aspect of corpus luteum defect in infertile patiens with mild /
minimal endometriosis.J Assist Reprod Genet 20 : 117-121.
64. Brizek CL, Schlaff S, Pellegrini VA, Frank JB, Worrilow KC (1995)
Increased incidence of aberrant morphological phenotypes in
human embryogenesis - an association with endometriosis. J
Assist Reprod Genet 12:106-112
65. 17.Garrido N, Navarro J, Garcia-Velasco J, Remoh J, Pellice A,
Simon C, (2002) The endometrium versus embryonic quality in
endometriosis-relatedinfertility. Hum Reprod Update 8:95-
103.
66. Eun Kwon H, Taylor HS (2004) The role of HOX genes in human
implantation. Ann N Y Acad Sci 1034:1-18.
67. Giudice LC, Telles TL, Lobo S, Kao L (2002) The molecular basis
for implantation failure in endometriosis.Ann N Y Acad Sci
955:252-264
68. Matsuzaki S, Canis M, Darcha C et al ( 2009) HOXA-10
expression in the mid-secretory endometrium of infertile
patients with endometriosis, uterine fibromas, or unexplained
infertility. Hum Reprod,2009; Advance access published:1-8
69. Dimitriadis E, Stoikos C, Stafford-Bell M et al ( 2006) Interleukin-
11.IL-11 receptor  and leukemia inhibitory factor are
dysregulated in endometrium of infertile women with
endometriosis during implantation window. J Reprod immunol
69:53-64.
70. Arici A, Oral E, Bukulmez O, Duleba A, Olive DL, Jones EE (1996)
The effect of endometriosis on implantation :result from the
Yale Universityin vitro fertilization and embryo transfer
program. Fertil Steril 65:603-607.

84
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

71. Bazer F, Spencer T, Johnson G, Burghardt R, Wu G (2009)


Comparative aspect of implantation.Reproduction 138:195-
209.
72. Gleicher N, el-Roeiy A, Confino E, Friberg J ( 1989) Reproductive
failure because on autoantibodies : unexplained and pregnancy
wastage. Am J Obstet Gynecol 160:1376-1380.
73. Metzger DA, Olive DL, Stohs GF, Franklin RR ( 1986) Association
of endometriosis and spontaneous aborion: effect of control
group selection. Fertil Steril 45:18-22.
74. Haney A. The pathogenesis and aetiology of endometriosis. In
Modern approach to endometriosis. Dordrecht: Kluwer
Academic Publisher, 1991:3-19
75. Neil P, Johnson N, Hummelshoj L. 2013. Consensus on current
management of endometriosis. Human Reproduction
2013(28): 1552-68.
76. Casper F. 2017. Progestin-only pills may be a better first-line
treatment for endometriosis than combined estrogen-
progestin contraceptive pills. Fertility and Sterility 107: 533–36.
77. Harada T, Momoeda M Taketani Y et al. 2008. Low-dose oral
contraceptive pill for dysmenorrhea associated with
endometriosis: a placebo-controlled, double- blind,
randomized trial. Fertility and Sterility 90: 1583–1588.
78. Jenkins T, Liu C and White J. 2008. Does response to hormonal
therapy predict presence or absence of endometriosis Journal
of Minimally Invasive Gynecology 2008(15): 82–86.
79. Brown J, Kives S and Akhtar M. 2012. Progestins and anti-
progestins for pain associated with endometriosis. Cochrane
Database of Systematic Reviews. DOI:
10.1002/14651858.CD002122.pub2

85
80. Strowitzki T, Faustmann T, Gerlinger C et al. 2010. Dienogest in
the treatment of endometriosis related pelvic pain: a 12 week,
randomized, double blind, placebo controlled study. European
Journal of Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology
151(2): 193–98.
81. Overton C, Lindsay P, Johal B et al. 1994. A randomized, double
blind, placebo controlled study of luteal phase dydrogesterone
(Duphaston) in women with minimal to mild endometriosis.
Fertility and Sterility 62: 701–7.
82. Morotti M, Venturini P, Biscaldi et al. 2017. Efficacy and
acceptability of long- term norethindrone acetate for the
treatment of rectovaginal endometriosis. European Journal of
Obstetrics & Gynecology and Reproductive Biology 213: 4–10.
83. Moghissi K and Boyce C. 1976. Management of endometriosis
with oral medroxyprogesterone. Obstetrics & Gynecology. 47:
265–7
84. Caird L, Reid-Thomas V, Hannan W et al. 1994. Oral
progestogen-only contraception may protect against loss of
bone mass in breast-feeding women. Journal of Clinical
Endocrinology 41(6): 739.
85. Scholes D, LaCroix A, Ichikawa L et al. 2005. Change in bone
mineral density among adolescent women using and
discontinuing depot medroxyprogesterone acetate
contraception. Archives of Pediatrics & Adolescent Medicine
159(2): 139.
86. Ebert A, Dong L, Merz M et al. 2017. Dienogest 2mg Daily in the
Treatment of Adolescents with Clinically Suspected
Endometriosis: The VISanne Study to Assess Safety in
Adolescents. Journal of Pediatric and Adolescent Gynecology
30: 560–7.

86
Buku ajar E n d o m e t r i o s i s

87. World Health Organization. 2005. Technical consultation on the


effects of hormonal contraception on bone health, Geneva,
Switzerland, WHO Weekly Epidemiological Record.
URL:https://www.who.int/reproductivehealth/publications/
family_planning/hc_ bone_health/en/. 25: 633–641.
contraception on bone health, Geneva, Switzerland, WHO
Weekly Epidemiological.
88. Lopez L, Grimes D, Schulz K et al. 2014. Steroidal
contraceptives: effect on bone fractures in women. Cochrane
Database of Systematic Reviews 2014, Issue 6. Art. No.:
CD006033. DOI: 10.1002/14651858.CD006033.pub5
89. Kulvinder K, Allahbadia G, Singh M. 2018. Use of Dienogest or
Gonadotropin Releasing Hormone Agonist with Add back
Hormone Therapy in Longterm Endometriosis Medical
Management. Open Access Journal of Gynaecology 3(1): 1–9.
90. Cundy T, Ames R, Horne A et al. 2003. A randomized controlled
trial of estrogen replacement therapy in long-term users of
depot medroxyprogesterone acetate. Journal of Clinical
Endocrinology. 88: 78–81.

87
88

Anda mungkin juga menyukai