Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN PENDAHULUAN

”ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN UROLITHIASIS”

Oleh:
Dwi Kuswono
225070209111019

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

DEPARTEMEN KEPERAWATAN FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS BRAWIJAYA

2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur saya panjatkan kepada ALLAH SWT atas Rahmat dan hidayahnya
sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan tugas Laporan Pendahuluan kasus
“Urolithiasis” dengan baik. Tim penulis berharap laporan pendahuluan Ini dapat
menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.
Kami menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari kata sempurna, sekiranya ada
kritik dan saran yang membangun demi penyempurnaan laporan pendahulaun ini akan
kami terima denga senang hati
Pada kesempatan ini, kami juga mau mengucapkan terimakasih yang berlimpah
kepada semua pihak yang telah memberikan kami semangat dan motivasi dalam pembuatan
tugas laporan pendahuluan ini. Kepada Para dosen pengampu mata kuliah KMB2, dan juga
kepada teman-teman seperjuangan yang membantu kami dalam berbagai hal. Harapan
kami, informasi dan materi yang terdapat dalam laporan pendahuluan ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.
Demikian makalah ini kami buat, apabila terdapat kesalahan dalam penulisan,
ataupun adanya ketidaksesuaian materi yang kami angkat pada makalah ini, kami mohon
maaf. Untuk itu, kami sangat mengharapkan kritik dan sarat yang membangun dari
pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

Malang, 13 Maret 2023

Tim Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN COVER .................................................................................... i

KATA PENGANTAR .................................................................................. ii

DAFTAR ISI ................................................................................................. iii

1. Definisi ............................................................................................. 1

2. Etiologi ............................................................................................. 1

3. Faktor Risiko .................................................................................... 2

4. Patofisiologi ..................................................................................... 5

5. Tanda dan Gejala ............................................................................. 5

6. Pemeriksaan Diagnostik................................................................... 7

7. Komplikasi ....................................................................................... 8

8. Tatalaksana Medis ........................................................................... 8

9. Asuhan Keperawatan ....................................................................... 11

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 16

iv
UROLITHIASIS

1. DEFINISI

Urolithiasis adalah pembentukan batu di saluran kemih yang meliputi batu


ginjal, batu ureter, batu buli, dan batu uretra. Pembentukan batu dapat terjadi ketika
tingginyakonsentrasi kristal urin yang membentuk batu seperti zat kalsium, oksalat,
asam urat dan/atau zat yang menghambat pembentukan batu (sitrat) yang rendah
(Ramadhan et al., 2022).
Urolithiasis merupakan suatu kondisi dimana jumlah batu di panggul atau
kelopak ginjal, serta di saluran kemih lebih dari satu (Ramadhan et al., 2022).
Urolithiasis merupakan kumpulan batu saluran kemih, namun secara rinci ada
beberapa penyebutannya. Berikut ini adalah istilah penyakit batu bedasarkan letak batu
antara lain: (Prabawa & Pranata, 2014):
1) Nefrolithiasis disebut sebagai batu pada ginjal
2) Ureterolithiasis disebut batu pada ureter
3) Vesikolithiasis disebut sebagai batu pada vesika urinaria/ batu buli
4) Uretrolithisai disebut sebagai batu pada ureter
2. ETIOLOGI
Pada dasarnya urolithiasis merupakan penyakit yang berifat multifaktoral,
dimana beberapa faktor yang terlibat yaitu wilayah geografis, distribusi ras, status
sosial ekonomi, aktivitas, kebiasaan dan pola berkemih, serta kebiasaan diet (konsumsi
protein tinggi, hiperkalori dan diet berlemak termasuk asupan cairan). Beberapa faktor
tersebut akan berkontribusi terhadap dua penyebab utama urolithiasis yaitu stasis urine
dan supersaturasi urine. Supersaturasi urine yang terjadi merupakan presipitasi kristal
seperti kalsium, asam urat, dan folat. Sementara itu, statis urine dapat meningkatkan
risiko pembentukan batu saluran kemih karena terjadi kristalisasi dalam dalam urine
yang tidak bergerak, dimana hal ini merupakan penyebab paling besar dari urolithiasis
(Ramadhan et al., 2022).
3. FAKTOR RESIKO

Pada umumnya urolithiasis terjadi akibat berbagai sebab yang disebutfaktor


resiko. Terapi dan perubahan gaya hidup merupakan intervensi yangdapat mengubah
faktor resiko, namun ada juga faktor resiko yang tidak dapat diubah (Wardana, 2017).

Faktor yang tidak dapat diubah antara lain: umur atau penuaan, jenis kelamin,
riwayat keluarga, penyakit-penyakit sepertihipertensi, diabetes mellitus dan lain-lain.

1
1. Jenis Kelamin
Pasien dengan urolithiasis umumnya terjadi pada laki-laki 70-81%
dibandingkan dengan perempuan 47-60%, salah satu penyebabnya adalah adanya
peningkatan kadar hormon testosteron dan penurunan kadar hormon estrogen pada
laki-laki dalam pembentukan batu (Vijaya, et al., 2013). Selain itu, perempuan
memiliki faktor inhibitor seperti sitrat secara alami dan pengeluaran kalsium
dibandingkan laki- laki (NIH 1998-2005 dalam Colella, et al., 2005; Heller, et al.,
2002).
2. Umur
Urolithiasis banyak terjadi pada usia dewasa dibanding usia tua, namun
bila dibandingkan dengan usia anak-anak, maka usia tua lebih sering terjadi (Portis
& Sundaram, 2001). Rata-rata pasien urolithiasis berumur 19-45 tahun (Colella, et
al., 2005; Fwu, et al., 2013; Wumaner, et al., 2014).
3. Riwayat Keluarga
Pasien yang memiliki riwayat keluarga dengan urolithiasis ada
kemungkinan membantu dalam proses pembentukan batu saluran kemih pada
pasien (25%) hal ini mungkin disebabkan karena adanya peningkatan produksi
jumlah mucoprotein pada ginjal atau kandung kemih yang dapat membentuk
kristal dan membentuk menjadi batuatau calculi (Colella, et al., 2005).

4. Kebiasaan diet dan obesitas


Intake makanan yang tinggi sodium, oksalat yang dapat ditemukan pada teh,
kopi instan, minuman soft drink, kokoa, arbei, jeruk sitrun, dan sayuran berwarna
hijau terutama bayam dapat menjadi penyebab terjadinya batu (Brunner & Suddart,
2015). Selain itu, lemak, protein, gula, karbohidrat yang tidak bersih, ascorbic acid
(vitamin C) juga dapat memacu pembentukan batu (Colella, et al., 2005; Purnomo,
2012).
Peningkatan ukuran atau bentuk tubuh berhubungan dengan resiko
urolithiasis, hal ini berhubungan dengan metabolisme tubuh yang tidaksempurna
(Li, et al., 2009) dan tingginya Body Mass Index (BMI) dan resisten terhadap
insulin yang dapat dilihat dengan adanya peningkatan berat badan dimana ini
berhubungan dengan penurunan pH urin (Obligado & Goldfarb, 2008). Penelitian
lain juga dilakukan oleh Pigna, et al., (2014) tentang konten lemak tubuh dan
distribusi serta faktor resiko nefrolithiasis menyatakan bahwa rata-rata
reponden. Memiliki berat badan 91,1 kg dengan rata-rata lemak total 24,3 kg.

2
Berdasarkan pemeriksaan pH urin dan SI asam urat dalam 24 jam sertapengukuran
adiposa di berbagai bagian tubuh didapatkan bahwa lemak tubuh sangat erat
hubungannnya dengan pembentukan batu asam urat dibanding berat badan total
dan BMI yang rendah, hal ini dapat dikarenakan adanya kebiasaan yang buruk
dalam mengontrol diet. Colella, et al., (2005) menyatakan kebiasaan makan
memiliki kemungkinan berhubungan dengan status sosial diatas rata-rata terhadap
kejadian urolithiasis.
5 . Faktor lingkungan
Faktor yang berhubungan dengan lingkungan seperti letak geografis dan
iklim. Beberapa daerah menunjukkan angka kejadian urolithiasis lebih tinggi
daripada daerah lain (Purnomo, 2012). Urolithiasis juga lebih banyak terjadi pada
daerah yang bersuhu tinggi dan area yang gersang/ kering dibandingkan dengan
tempat/ daerah yang beriklim sedang (Portis & Sundaram, 2001). Iklim tropis,
tempat tinggal yang berdekatan dengan pantai, pegunungan, dapat menjadi faktor
resiko tejadinya urolithiasis (Colella, et al., 2005).
6 . Pekerjaan
Pekerjaan yang menuntut untuk bekerja di lingkungan yang bersuhu
tinggi serta intake cairan yang dibatasi atau terbatas dapat memacu kehilangan
banyak cairan dan merupakan resiko terbesar dalam proses pembentukan batu
karena adanya penurunan jumlah volume urin (Colella, et al., 2005).
Aktivitas fisik dapat mempengaruhi terjadinya urolithiasis, hal ini
ditunjukkan dengan aktivitas fisik yang teratur bisa mengurangi resiko terjadinya
batu asam urat, sedangkan aktivitas fisik kurang dari 150 menit per minggu
menunjukkan tingginya kejadian renal calculi seperti kalsium oksalat dan asam
urat (Shamsuddeen, et al., 2013).

7. Cairan

Asupan cairan dikatakan kurang apabila < 1 liter/ hari, kurangnya intake
cairan inilah yang menjadi penyebab utama terjadinya urolithiasis khususnya
nefrolithiasis karena hal ini dapat menyebabkanberkurangnya aliran urin/ volume
urin (Domingos & Serra, 2011). Kemungkinan lain yang menjadi penyebab
kurangnya volume urin adalah diare kronik yang mengakibatkan kehilangan
banyak cairan darisaluran gastrointestinal dan kehilangan cairan yang berasal dari
keringat berlebih atau evaporasi dari paru-paru atau jaringan terbuka. (Colella, et
al., 2005). Asupan cairan yang kurang dan tingginya kadar mineral kalsium pada
air yang dikonsumsi dapat meningkatkan insidenurolithiasis (Purnomo, 2012).

3
Beberapa penelitian menemukan bahwa mengkonsumsi kopi dan teh
secara berlebihan dapat meningkatkan resiko terjadinya urolithiasis. Begitu hal
nya dengan alkohol, dari beberapa kasus didapatkan bahwa sebanyak 240 orang
menderita batu ginjal karena mengkonsumsi alkohol hal ini disebabkan karena
seseorang yang mengkonsumsi alkohol secara berlebih akan banyak kehilangan
cairan dalam tubuh dan dapat memicu terjadinya peningkatan sitrat dalam urin,
asam urat dalam urin dan renahnya pH urin. Selain itu, mengkonsumsi minuman
ringan (minuman bersoda) dapat meningkatkan terjadinya batu ginjal karena efek
dari glukosa dan fruktosa (hasil metabolisme dari gula) yang terkandung dalam
minuman bersoda menyebabkan peningkatan oksalat dalam urin.
8. Co-Morbiditi
Hipertensi berhubungan dengan adanya hipositraturia danhiperoksalauria
(Kim, et al., 2011). Hal ini dikuatkan oleh Shamsuddeen, et al., (2013) yang
menyatakan bahwa kalsium oksalat (34,8%), asam urat (25%) dan magnesium
(42,9%) pada pasien hipertensi dapat menjadi penyebab terjadinya urolithiasis dan
padaumumnya diderita pada perempuan (69%).
Prevalensi pasien diabetes mellitus yang mengalami urolithiasis
meningkat dari tahun 1995 sebesar 4,5% menjadi 8,2% pada tahun 2010
(Antonelli, et al, 2014). Urolithiasis yang dikarenakan diabetes mellitus terjadi
karena adanya resiko peningkatan asam urat dan kalsium oksalat yang membentuk
batu melalui berbagai mekanisme patofisiologi (Wong, 2015). Selain itu, diabetes
mellitus juga dapat meningkatkan kadar fosfat (25%) dan magnesium (28,6%)
yang menjadi alasan utama terjadinya renal calculi atau urolithiasis pada pasien
diabetes mellitus (Shamsuddeen, et al., 2013).
4. PATOFISIOLOGI
Banyak faktor yang menyebabkan berkurangnya aliran urin dan menyebabkan
obstruksi, salah satunya adalah statis urin dan menurunnya volume urin akibat
dehidrasi serta ketidakadekuatan intake cairan, hal ini dapat meningkatkan resiko
terjadinya urolithiasis. Rendahnya aliran urin adalah gejala abnormal yang umum
terjadi (Colella, et al., 2005), selain itu, berbagai kondisi pemicu terjadinya
urolithiasis seperti komposisi batu yang beragam menjadi faktor utama bekal
identifikasi penyebab urolithiasis.
Batu yang terbentuk dari ginjal dan berjalan menuju ureter paling mungkin
tersangkut pada satu dari tiga lokasi berikut:
a. sambungan ureteropelvik;

4
b. titik ureter menyilang pembuluh darah iliaka
c. sambungan ureterovesika.

Perjalanan batu dari ginjal ke saluran kemih sampai dalam kondisi statis
menjadikan modal awal dari pengambilan keputusan untuk tindakan pengangkatan
batu. Batu yang masuk pada pelvis akan membentuk pola koligentes yang disebut batu
staghorn (Endar, 2016)

5. MANIFESTASI KLINIS
Urolithiasis dapat menimbulkan berbagi gejala tergantung pada letak batu,
tingkat infeksi dan ada tidaknya obstruksi saluran kemih (Brooker, 2009). Beberapa
gambaran klinis yang dapat muncul pada pasien urolithiasis:
a. Nyeri
Nyeri pada ginjal dapat menimbulkan dua jenis nyeri yaitu nyeri kolik dan
non kolik. Nyeri kolik terjadi karena adanya stagnansi batu pada saluran kemih
sehingga terjadi resistensi dan iritabilitas padajaringan sekitar (Brooker, 2009).
Nyeri kolik juga karena adanya aktivitas peristaltik otot polos sistem kalises
ataupun ureter meningkat dalam usaha untuk mengeluarkan batu pada saluran
kemih. Peningkatan peristaltik itu menyebabkan tekanan intraluminalnya
meningkat sehingga terjadi peregangan pada terminal saraf yang memberikan
sensasi nyeri (Purnomo, 2012). Nyeri non kolik terjadi akibat peregangan kapsul
ginjal karena terjadi hidronefrosis atau infeksi pada ginjal (Purnomo, 2012)
sehinggamenyebabkan nyeri hebat dengan peningkatan produksi prostglandin E2
ginjal (O’Callaghan, 2009). Rasa nyeri akan bertambah berat apabila batu
bergerak turun dan menyebabkan obstruksi. Pada ureter bagian distal (bawah) akan
menyebabkan rasa nyeri di sekitar testis pada pria dan labia mayora pada wanita.
Nyeri kostovertebral menjadi ciri khas dari urolithiasis, khsusnya nefrolithiasis
(Brunner & Suddart, 2015).
b. Gangguan miksi
Adanya obstruksi pada saluran kemih, maka aliran urin (urine flow)
mengalami penurunan sehingga sulit sekali untuk miksi secara spontan. Pada
pasien nefrolithiasis, obstruksi saluran kemih terjadi di ginjal sehingga urin yang
masuk ke vesika urinaria mengalami penurunan. Sedangkan pada pasien
uretrolithiasis, obstruksi urin terjadi di saluran paling akhir sehingga kekuatan
untuk mengeluarkan urin ada namun hambatan pada saluran menyebabkan urin
stagnansi (Brooker, 2009). Batu dengan ukuran kecil mungkin dapat keluar secara

5
spontan setelah melalui hambatan pada perbatasan uretero- pelvik, saat ureter
menyilang vasa iliaka dan saat ureter masuk ke dalam buli-buli (Purnomo, 2012).
c. Hematuria
Batu yang terperangkap di dalam ureter (kolik ureter) sering mengalami
desakan berkemih, tetapi hanya sedikit urin yang keluar. Keadaan ini akan
menimbulkan gesekan yang disebabkan oleh batu sehingga urin yang dikeluarkan
bercampur dengan darah (hematuria) (Brunner & Suddart, 2015). Hematuria tidak
selalu terjadi pada pasien urolithiasis, namun jika terjadi lesi pada saluran kemih
utamanya ginjal maka seringkali menimbulkan hematuria yang masive, hal ini
dikarenakan vaskuler pada ginjal sangat kaya dan memiliki sensitivitasyang tinggi
dan didukung jika karakteristik batu yang tajam pada sisinya (Brooker, 2009).
d. Mual dan muntah
Kondisi ini merupakan efek samping dari kondisi ketidaknyamanan pada
pasien karena nyeri yang sangat hebat sehingga pasien mengalami stress yang
tinggi dan memacu sekresi HCl pada lambung (Brooker, 2009). Selain itu, hal ini
juga dapat disebabkan karena adanya stimulasi dari celiac plexus, namun gejala
gastrointestinal biasanya tidak ada (Portis & Sundaram, 2001).
e. Demam
Demam terjadi karena adanya kuman yang menyebar ke tempat lain.
Tanda demam yang disertai dengan hipotensi, palpitasi, vasodilatasi pembuluh
darah di kulit merupakan tanda terjadinya urosepsis. Urosepsis merupakan
kedaruratan dibidang urologi, dalam hal ini harus secepatnya ditentukan letak
kelainan anatomik pada saluran kemih yang mendasari timbulnya urosepsis dan
segera dilakukan terapi berupa drainase dan pemberian antibiotik (Purnomo,
2012).
f. Distensi vesika urinaria
Akumulasi urin yang tinggi melebihi kemampuan vesika urinaria akan
menyebabkan vasodilatasi maksimal pada vesika. Oleh karena itu, akan teraba
bendungan (distensi) pada waktu dilakukan palpasi pada regio vesika (Brooker,
2009).
6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Menurut Brunner & Suddart, (2015) dan Purnomo, (2012) diagnosis
urolithiasis dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan seperti:

➢ Kimiawi darah dan pemeriksaan urin 24 jam untuk mengukur kadar kalsium, asam
urat, kreatinin, natrium, pH dan volume total (Portis & Sundaram, 2001).

6
➢ Analisis kimia dilakukan untuk menentukan komposisi batu.

➢ Kultur urin dilakukan untuk mengidentifikasi adanya bakteri dalam urin


(bacteriuria) (Portis & Sundaram, 2001).

➢ Foto polos abdomen

Pembuatan foto polos abdomen bertujuan untuk melihat kemungkinan adanya


batu radio-opak di saluran kemih. Batu-batu jenis kalsium oksalat dan kalsium fosfat
bersifat radio-opak dan paling sering dijumpai diantara batu jenis lain, sedangkan
batu asam urat bersifatnon opak (radio-lusen) (Purnomo, 2012). Urutan radiopasitas
beberapabatu saluran kemih seperti pada tabel:
Tabel 2.1 Urutan Radio-opasitas beberapa jenis batu saluran kemih
Jenis Batu Radio-Opasitas
Kalsium Opak
MAP Semiopak
Urat/ Sistin Non-opak

Sumber: Purnomo, 2012

➢ Intra Vena Pielografi (IVP)


IVP merupakan prosedur standar dalam menggambarkan adanya batu pada
saluran kemih. Pyelogram intravena yang disuntikkan dapat memberikan
informasi tentang baru (ukuran, lokasi dan kepadatan batu), dan lingkungannya
(anatomi dan derajat obstruksi) serta dapat melihat fungsi dan anomali (Portis &
Sundaram, 2001). Selain itu IVP dapat mendeteksi adanya batu semi-opak ataupun
non-opak yang tidak dapat dilihat oleh foto polos perut. Jika IVP belum dapat
menjelaskan keadaan saluran kemih akibat adanya penurunan fungsi ginjal,
sebagai penggantinya adalah pemeriksaan pielografi retrograd (Brunner &
Suddart, 2015; Purnomo, 2012).
➢ Ultrasonografi (USG)
USG sangat terbatas dalam mendiagnosa adanya batu dan merupakan
manajemen pada kasus urolithiasis. Meskipun demikian USG merupakan jenis
pemeriksaan yang siap sedia, pengerjaannya cepat dan sensitif terhadap renal
calculi atau batu pada ginjal, namun tidak dapat melihat batu di ureteral (Portis &
Sundaram, 2001). USG dikerjakan bila pasien tidak memungkinkan menjalani
pemeriksaan IVP, yaitu pada keadaan-keadaan seperti alergi terhadap bahan

7
kontras, faal ginjal yang menurun, pada pada wanita yang sedanghamil (Brunner
& Suddart, 2015; Purnomo, 2012). Pemeriksaan USG dapat menilai adanya batu
di ginjal atau buli-buli, hidronefrosis, pionefrosis, atau pengerutan ginjal (Portis &
Sundaram, 2001).
7. KOMPLIKASI
Komplikasi yang terjadi adalah (Yanti & Leniwita, 2019):
a) Sumbatan: akibat pecahan batu.
b) Infeksi: Akibat disemininasi partikel batu ginjal atau bakteri akibat
obstruksi.
c) Kerusakan fungsi ginjal: akibat sumbatan yang lama sebelum pengobatan
dan pengangkatan batu ginjal.
8. TATA LAKSANA MEDIS
Penatalaksanaan batu saluran kemih bertujuan untuk menghilangkan obstruksi,
mengobati infeksi, menghilangkan rasa nyeri dan mencegah terjadinya gagal
ginjal. Berikut adalah penatalaksanaan yang dilakukan untuk pasien dengan
Urolithiasis (Aji, 2020):

a. Pengurangan nyeri
Penanganan segera yang harus dilakukan dalam kolik renal atau uretra
adalah mengurangi atau menghilangkan rasa nyeri dengan:
1) Pemberian morfin atau meperidine untuk mencegah syock dan sinkop
akibat nyeri.
2) Mandi air hangat area pinggul
3) Pemberian cairan, kecuali pada pasien dengan gagal jantung kongestif
yang memerlukan pembatasan cairan. Pemberian cairan dapat
meningkatkan tekanan hidrostatik pada ruangan di belakang batu
sehingga mendorong passe batu ke bawah. Masukan cairan sepanjang
hari mengurangi konsentrasi kritaloid urin, mengencerkan urin dan
menjamin haluaran urin yang besar.
b. Pengangkatan Batu
1) ESWL (Extracorporal Shock Wave Lithotripsy)
Prinsip dari ESWL adalah memecah batu saluran kencing
dengan menggunakan gelombang kejut yang dihasilkan oleh mesin dari

8
luar tubuh. Sesampainya di batu, gelombang kejut tadi akan melepas
energinya. Alat ini memecah batu ginjal, batu ureter proksimal, atau
batu buli-buli tanpa tindakan invasif dan tanpa pembiusan. Batu dipecah
menjadi fragmen- fragmen kecil sehingga mudah dikeluarkan melalui
saluran kemih. tidak jarang pecahan batu yang sedang keluar akan
menimbulkan perasaan nyeri.
2) Endurologi
Beberapa tindakan endurologi yaitu:
a) PNL (Percutaneous Nephro Litholapaxy)
Pengeluaran batu yang berada di saluran ginjal dengan cara
memaksukkan alat endoskopi ke sistem kalises melalui insisi pada
kulit. Batu kemudian dikeluarkan atau dipecah terlebih dahulu
menjadi fragmen-fragmen kecil.
b) Litotripsi
Memecah batu buli-buli atau uretra dengan memasukkan alat
pemecah batu ke dalam buli-buli. Pecahan batu dikeluarkan dengan
evakuator Ellik.
c) Ureteroskopi
Memasukkan alat uretroskopi peruretram guna melihat
keadaan ureter atau sistem pielo-kaliks ginjal. Dengan memakai
energi tertentu batu yang berada di dalam ureter maupun sistem
pelvikalises dapat dipecah melalui tuntunan ureteroskopi ini.
d) Ekstansi Dormia
Pengeluaran batu ureter dengan menjarinngnya melalui alat
keranjang Dormia.
3) Bedah Laparaskopi
Pembedahan laparaskopi untuk mengambil batu saluran kemih
saat ini sedang berkembang. Cara ini banyak dipakai untuk menngambil
batu ureter.
4) Bedah Terbuka
Pembedahan terbuka itu antara lain : pielolitotomi atau
nefrolitotomi, untuk mengambil batu pada saluran ginjal, dan

9
ureterolitotomi untuk mengambil batu di ureter. Tidak jarang pasien
harus menjalani tindakan nefrektomi atau pengambilan ginjal karena
ginjalnya sudah tidak berfungsi dan berisi nanah (pionefrosis),
korteksnya sudah sangat tipis, atau mengalami pengerutan akibat batu
saluran kemih yang menimbulkan obstruksi dan infeksi yang menahun.
Selain itu obat-obatan yang dapat digunakan antara lain
a) Batu asam urat dengan obat potasium alkali dan allopurinol.
b) Batu karena infeksi (strufit) dengan antibiotika dan AHA (Amino
Hydroxamic Acid).
c) Batu kalsium dengan natrium selulosa fosfat, thiazide, orthofosfat,
potasium sitrat, magnesium sitrat, allopurinol, potasium alkali,
pyridoxin, kalsium suplemen.

9. ASUHAN KEPERAWATAN
a. Pengkajian (Aji, 2020):
1) Data objektif mencakup:
a) Riwayat adanya infeksi saluran kemih kronis, obstruksi sebelumnya.
b) Menngeluh nyeri akut, berat, nyeri kholik.
c) Penurunan haluaran urin, kandung kemih penuh, rasas terbakar, dan
dorangan berkemih.
d) Mual/ muntah, nyeri tekan abdomen.
e) Riwayat diit tinggi purin, kalsium oksalat, dan/atau fosfat.
f) Tidak minum air dengan cukup.
2) Data obyektif meliputi:
a) Peningkatan tekanan darah dan nadi.
b) Kulit pucat.
c) Oliguria, hematuria.
d) Perubahan pola berkemih.
e) Distensi abdominal, penurunan atau tidak ada bising usus.
f) Muntah.

10
g) Nyeri tekan pada arae ginjal saat dipalpasi.
3) Riwayat penyakit sekarang:
a) Penurunan haluaran urin.
b) Kandung kemih, rasa terbakar.
c) Dorongan berkemih, mual/muntah.
d) Nyeri abdomen.
e) Nyeri punggung.
f) Nyeri panggul.
g) Kolik ginjal.
h) Kolik uretra.
i) Nyeri waktu kencing.
j) Lamanya nyeri.
k) Demam.
4) Riwayat penyakit yang lalu
a) Riwayat adanya ISK kronis.
b) Obstruksi sebelumnya.
c) Riwayat kolik ginjal/ bleder tanpa batu yanng keluar.
d) Riwayat trauma saluran kemih.
5) Riwayat penyakit keluarga
a) Riwayat adanya ISK kronis.
b) Penyakit atau kelainan gagal ginjal lainnya.
6) Pemeriksaan fisik (Yanti & Leniwita, 2019):
Anamnesis tentang pola eliminasi urine akan memberikan data
yang kuat. Oliguria, disuria, gross hematuria menjadi ciri khas dari
urothiliasis, kaji TTV, biasanya tidak perubahan yang mencolok pada
urolithiasis. Takikardia akibat nyeri hebat, nyeri pinggang , distensi
vesika pada palpasi vesika (vesikolithiasis), teraba massa keras/ batu
(urolithiasis).
a) keadaan umum, pemeriksaan fisik sampai pada tanda-tanda sakit
berat tergantung pada letak batu dan penyulit yang ditimbulkan.
Terjadi nyeri/ kolik renal pasien juga dapat mengalami gangguan
gastrointestinal dan perubahan.

11
b) Tanda-tanda vital, kesadaran tekanan darah, frekuensi nadi ,
frekuensi napas, suhu, dan indeks massa tubuh (IMT).
c) Pada pemeriksaan palpasi regio flank sinitra didapatkan tanda
ballotement (+) dan pada perkusi nyeri ketok kostovertebral angke
sinistra (+)
7) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang gangguan urolithiasis antara lain (Yanti &
Leniwita, 2019):
1) Urinalisis : warna kuning, cokelat gelap, berdarah. Secara umum
menunjukkan adanya sel darah merah, sel darah putih, dan kristal
(sistin, asam urat, kalsium oksalat), serta serpihan , mineral, bakteri,
pH urine asam (meningkatkan sistim dan batu asam urat) atau
alkalin meningkatkan magnesium, fosfat amonium, atau batu
kalsium fosfat.
2) Urine (24 jam): kreatinin , asam urat , kalsium, fosfat, oksalat atau
sistin meningkat.
3) Kultur urine : menunjukkan adanya infeksi saluran kemih
(stapilococus aureus, proteus, klebsiela, pseudomonas).
4) Survei biokimia : peningkatan kadar megnesium, kalsium, asam
urat, fosfat, protein dan elektrolit.
5) BUN / kreatinin serum dan urine : abnormal (tinggi pada serum/
rendah pada urine) sekunder terhadap tingginya batu obstruktif pada
ginjal menyebabkan iskemia/ nekrosis.
6) Kadar klorida dan bikarbonat serum : peningkatan kadar klorida dan
penurunan kadar bikarbonat menunjukkan terjadinya asidosis
tubulus ginjal.
7) Hitung darang lengkap : sel darah putih mungkin meningkat,
menunjukkan infeksi / septikemia.
8) Sel darah merah : biasanya normal
9) Hb, Ht : abnormal bila pasien dehidrasi berat atau polisitemia terjadi
(mendorong presipitasi pemadatan) atau anamia (pendarahan,
disfungsi ginjal)

12
10) Hormon paratiroid : meningkat bila ada gagal ginjal, (PTH
merangsang reabsorpsi kalsium dari tulang meningkatkan sirkulasi
serum dan kalsium urine).
11) Foto roungen : menunjukkan adanya kalkuli atau perubahan
anatomis pada area ginjal dan sepanjang ureter.
12) IVP : memberikan konfirmasi cepat urothiliasis , seperti penyebab
nyeri abdominal atau panggul. Menunjukkan abdomen pada struktur
anatomis (distensi ureter) dan garis bentuk kalkuli.
13) Sistoureteroskopi : visualisasi langsung kandung kemih dan ureter
dapat menunjukkan batu dan efek obstruksi.
14) CT scan : mengidentifikasi / menggambarkan kalkuli dan massa
lain, ginjal, ureter, dan distensi kandung kemih.
15) USG ginjal : untuk menentukan perubahan obstruksi lokasi batu.

b. Diagnosa Keperawatan (Yanti & Leniwita, 2019):


Diagnosa keperawatan merupakan tahap kedua dalam proses setelah
melakukan pengkajian, yang merupakan suatu penilaian klinis tentang
respons individu, keluarga, atau komunitas terhadap masalah kesehatan atau
proses kehidupan actual ataupun potensial sebagai dasar pemilihan
intervensi keperawatan untuk mencapai hasil tempat perawat bertanggung
jawab. Adapun diagnosa pada pasien yaitu ditemukan pada pra operasi dan
pos-operasi antara lain :
1) Pra-operasi
a) Nyeri berhubungan dengan peningkatan frekuensi/ dorongan
kontraksi ureteral.
b) Perubahan eliminasi urine berhubungan dengan situasi kandung
kemih oleh abtu, iritasi ginjal , atau ureteral.
c) Kekurangan volume cairan berhubungan dengan mual/ muntah.
d) Risiko tinggi terhadap cedera berhubungan dengan adanya batu pada
saluran kemih (ginjal).
e) Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurang
terpajan/mengingat; salah interpretasi informasi.

13
2) Post-operasi
a) Risiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan
hemoragi/hipovolemik.
b) Nyeri akut berhubungan akibat insisi bedah.
c) Perubahan eliminasi perkemihan berhubungan dengan penggunaan
kateter.
d) Risiko infeksi berhubungan dengan insisi operasi dan pemasangan
kateter.
c. Intervensi Keperawatan (Yanti & Leniwita, 2019):
Intervensi adalah pengembangan strategi desain untuk mencegah,
mengurangi, dan mengatasi masalah-masalah yang telah diidentifikasikan
dalam diagnose keperawatan.

d. Implementasi Keperawatan (Yanti & Leniwita, 2019):


Implementasi adalah tahap pelaksanaan terhadap rencana tindakan
keperawatan yang telah ditetapkan untuk perawat bersama klien.
Implementasi dilaksanakan sesuai dengan intervensi yang telah
direncanakan.
e. Evaluasi Keperawatan (Yanti & Leniwita, 2019):
Evaluasi merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan.
Kegiatan evaluasi ini merupakan kegiatan dalam menilai tindakan
keperawatan yang telah ditentukan untuk mengetahui pemenuhan
kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses
keperawatan.

14
DAFTAR PUSTAKA

Aji, P. T. (2020). Modul Praktikum Keperawatan Medikal Bedah 2 Penulis Prima


Trisna Aji ., S . Kep ., Ns ., M . Kep Surakarta Tahun 2020. 1–204.

Endar, M. (2016). Asuhan keperawatan batu buli. Journal of Chemical


Information and Modeling, 53(9), 1689–1699.

Ramadhan, M. P., Waluyo, A., & Masfuri, M. (2022). Aplikasi Teori Virginia
Henderson Pada Pengkajian Keperawatan Pasien Dengan Urolithiasis. Jurnal
Keperawatan Muhammadiyah Bengkulu, 10(2), 120–131.
https://doi.org/10.36085/jkmb.v10i2.3668

Wardana, I. N. G. (2017). Bagian anatomi fk unud universitas udayana denpasar


2017. Urolithiasis, 28.

Yanti, A., & Leniwita, H. (2019). Modul Keperawatan Medikal Bedah II.
Keperawatan, 1–323.

15

Anda mungkin juga menyukai